Judul dan ilustrasi komik karya anak negeri di atas ini rasanya pas untuk menggambarkan perasaan kami. Seorang pelayan kesehatan masyarakat yang dipercaya menangani kami justru menghardik supaya kami menjauh agar tak merepotkannya. Maklum menurut berita di media massa, jasa mereka tak dihargai sepantasnya oleh pemerintah. Akibatnya, mereka tak ikhlas melayani masyarakat terlebih-lebih kaum pengemis seperti kami. Meski kami pun kalau tak kesulitan sangat tak mau juga mengemis-ngemis bantuan pemerintah begini. Rasanya nista jika kami sanggup membayar sendiri tapi justru menadahkan tangan tanpa malu-malu.
Hati ini hancur berkeping-keping mendapati berita resmi yang dua hari terakhir ini ramai dipercakapkan orang soal pendanaan warga negara yang sakit. Selagi kami PBI masih resah membayangkan masa depan pengobatan kami, pemerintah dengan jumawa mengesahkan program pengobatan untuk pejabat negara di akhir masa jabatan kepala negara. Dinyatakan bahwa pejabat beserta keluarganya dijamin oleh asuransi, yang dapat digunakan untuk berobat di luar negeri. Meski asuransi itu sesungguhnya berasal dari gaji mereka sendiri yang dipotong untuk iuran Askes yang kini dileburkan ke dalam sistem jaminan kesehatan yang baru, akan tetapi tetap terkesan kurang adil. Apa pun alasannya ~kata pemerintah sih kesehatan para pejabat harus prima~, tetapi akan jadi sangat bertolak belakang dengan pemeliharaan kesehatan rakyat. Kami selalu ditekan untuk tidak menggunakan obat-obatan mahal meski yang paling cocok dengan kondisi kami cuma dari jenis itu dengan alasan keterbatasan dana negara, tetapi mereka yang berkelebihan dan pasti mampu dimanjakan dengan pengobatan di luar negeri yang ditanggung asuransi.
Pil pahit! Rasanya tak ada yang lebih mematahkan semangat hidup kami selain keputusan itu. Tak ada pula semangat untuk menggapai kesembuhan meski dulu istri walikota kami dan lurah desa menyatakan secara eksplisit bahwa mereka yang didaftarkan secara otomatis untuk menerima BPI JKN adalah kami pengguna Jamkesmas berpenyakit berat terutama gagal ginjal terminal, kanker dan leukemia. Janjinya waktu itu, ongkos haemodyalisa/cuci darah, kemoterapi dan radiasi serta transfusi darah para penyandang penyakit itu akan dicukupi sebagai bentuk tanggung jawab sosial pemerintah terhadap rakyat. Sebuah janji yang tak kami harap hanya sekedar angin surga belaka.
***
Hari ini anak saya berangkat mengajukan permohonan bantuan kemoterapi lagi ke DKK. Sebab akibat tertundanya kemoterapi siklus kedua saya yang lalu, tumor saya makin menyakiti. Artinya perbaikannya tak sepadan dengan rasa sakit yang ditimbulkan. Karena itu dokter saya berpesan untuk segera mengurusnya. Kemoterapi saya tak boleh mundur dari tanggal yang ditentukan, awal minggu kedua bulan depan.
Meski pagi-pagi hujan lebat sudah bertandang ke bumi, tanpa mengeluh anak saya berangkat segera. Payung yang setia menghuni tasnya ditebarkan. Saya sendiri cuma menunggu harap-harap cemas di atas pembaringan saya berselang-seling dengan mengisi buku harian saya ini.
Kira-kira dua jam kemudian dia mengabari bahwa urusannya belum selesai. Ibu pejabat yang mengepalai counter Jamkesda tak bisa segera memutuskan, sebab atasannya sang kepala seksi sedang cuti natal. Sudah saya duga sejak dulu, dia bersaudara dengan sahabat saya sewaktu remaja, penganut Katholik yang taat. Wajah mereka soalnya mirip sekali sih, bak pinang dibelah dua.
Saya meminta anak saya bersabar sekejap. Jika hingga tiba saatnya istirahat makan siang belum juga diputuskan, saya minta dia menarik kembali berkas kami. Urusan kami saya sarankan untuk mundur hingga pejabat itu masuk kantor kembali. Dia pun setuju. Malah katanya dia optimis kali ini tak dipersulit lagi. Sebab kepala counter menanyai obat-obat mana yang disetujui bulan lalu.
Ternyata setelah anak saya tiba du rumah, baru saya ketahui secara lengkap apa yang terjadi.
Hari ini pasien lumayan banyak, sedangkan pegawai yang melayani ada yang cuti. Kesibukan kerja dengan sendirinya meningkat. Ketika berkas permohonan kami diterima, ibu kepala counter berusaha membaca dengan cermat dengan membalik-balik berkas kami. Di situ ada disertakan surat keterangn permohonan obat yang dibekalkan dokter saya guna mengatasi kebingungan seandainya mereka tak mengerti mengapa kemoterapi saya yang sedang berjalan tak lagi menggunakan obat yang dulu pernah diberikan. Intinya, obat-obat sitostatika yang dulu tidak cocok untuk saya. Sedangkan obat yang cocok dan ampuh, harganya tak terjangkau. Sehingga untuk itu kami mengalah meniadakan obat yang terkuat dan termahal. Bahkan ketika masih juga mereka tolak, kami langsung berinisiatif menurunkan mutunya dengan harapan cukup menolong walau mungkin masa pemberian obat harus diperpanjang dibandingkan semestinya.
Benar saja, kepala counter menanyakan apa maksud surat dokter saya juga obat-obat apa yang didanai bulan lalu. Anak saya menjelaskan kepadanya. Sepertinya dia berusaha menyimak baik-baik, namun telinganya tidak selaras dengan otak serta tangannya yang sedang bekerja. Akibatnya cukup lama dia bergulat mengerjakan permohonan kami. Berulang kali beliau keluar-masuk ke area dalam kantornya untuk mendiskusikan ini. Ternyata menurutnya pimpinan sedang cuti natal dan tak menjawab telepon darinya. Bahkan ketika dikirimi SMS pun tak juga dijawab.
Setelah menunggu cukup lama, beliau menanyai anak saya berkas-berkas permohonan kami bulan lalu. Untung anak saya selalu membawa serta sehingga dia bisa memperlihatkannya.
Diambilnya berkas di tangan anak saya, kemudian setelah meneliti dengan ekspresi wajah berkerut kening beliau bertanya pula, "mas, jadi dulu yang diacc obat yang mana ya? P atau A?"
"P, bu, seperti permintaan tulisan tangan dokter di resep," jawab anak saya.
Pejabat itu terdiam lagi sejenak dan terus jua bertanya, "lha sekarang penghitungan harganya beda ya? Kok bisa lebih murah yang bulan lalu?" Matanya diarahkan ke wajah tenang anak saya yang sudah mulai terbiasa dengan situasi semacam ini.
"Saya kurang tahu bu, itu urusan apoteker RS," kata anak saya jujur. Memang dalam hal pengadaan obat pihak apoteker RS tak pernah melibatkan pasien sama sekali. Kami hanya dibekali resep yang harga obatnya sudah mereka hitung dan tuliskan di resep.
"Ini maunya obat apa, P atau Px?" Cecarnya lagi.
"Ya P bu, seperti tulisan dokter di situ, Px 'kan hanya nama dagangnya," jelas anak saya berharap-harap cemas.
"Ya sudah mas, saya acc," kata beliau seraya segera menggoreskan penanya dijawab anak saya dengan pernyataan terima kasih banyak.
Ah, lega rasanya mendapat obat kemoterapi lagi yang menjadi gantungan hidup saya. Duh, ngerinya jika sama sekali saya tak didanai. Dari mana saya harus mencari dananya meski saya tahu dan sadari selama ini pintu rizki Allah selalu saja terbuka untuk dikucurkan kepada kami. Tetapi patut kah kami berharap selamanya? Allah mengayomi semua manusia. Tentu masih sangat banyak umat yang harus diberiNya.
Dalam pada itu di benak dan telinga Andrie anak saya tercetak jelas episode yang dialami pasien baru dokter saya yang minggu lalu mengajukan permohonan pendanaan kemoterapinya yang kedua dengan obat sangat standard yang menurut anak saya berharga di bawah sejuta untuk masing-masing komponennya.
Obat-obatan yang itu-itu juga ditolak. Tentu saja amat mengejutkan, mengingat pasien tak berganti obat seperti pada kasus saya. Dia kemudian mempertanyakan sebabnya. Waktu itu sang ibu Kepala Seksi belum bercuti. Beliau tak mau menghadapi pasien sendiri sehingga melalui kepala counter disampaikan jawaban bahwa saat itu uang anggaran Jamkesmas sudah disetorkan kembali ke kas negara sehubungan tutup tahun dan akan terjadi pergantian sistem.
Mengingat si pemohon benar-benar masyarakat yang membutuhkan karena tak punya penghasilan tetap lagi semenjak sakit, dia tak mau menerima alasan ini begitu saja. Didebatnya si pejabat dengan mengatakan dia merasa tak menyalahi prosedur dengan meminta pendanaan obat-obatan yang tercantum di dalam Daftar Perincian Harga Obat (DPHO) apotek RS. Obat termurah pula. ~Perhatikan, beda dengan kasus saya yang karena tak mempan dengan obat itu harus minta yang lebih mahal yang tak masuk DPHO.~ Tapi si pejabat tetap bersikukuh dengan mengatakan tidak mungkin lagi mengucurkan dana mengingat pasien ini termasuk pemohon baru. Adapun katanya, dulu dia diberi disebabkan belas kasihan mereka saja.
"BELAS KASIHAN" suatu kata-kata yang keras dan tajamnya terasa menyengat perasaan kami orang tak berpunya. Kami memang patut dikasihani. Tapi kami rasa adalah wajar jika kami menggunakan hak kami untuk mendapat bantuan kesehatan sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945. Kedatangan kami tidak seperti pengemis yang merengek-rengek minta belas kasihan pada orang lain yang tak ada kaitan atau kewajiban apa pun padanya. Kami cuma datang kepada negara.
Si pasien kemudian balik bertanya soal haknya sebagai rakyat tidak mampu, sehingga ibu pejabat kemudian membicarakannya lagi dengan pimpinannya. Alhamdulillah perdebatan itu selesai juga dengan diluluskannya permohonan obat. Satu alasan lagi yang dipakai sebagai senjata adalah "miss communication" entah antara siapa dengan siapa. Masya Allah!
Beginilah kisah kami hari ini tanpa berniat merusak citra dan nama baik pemerintah yang telah banyak berjasa menolong memperpanjang nyawa saya. Sebab mereka itu sebetulnya masih sangat pro rakyat lho. Tadi mereka menjelaskan bahwa, pemerintah kota kami belum tentu ikut program JKN. Mereka sendiri belum mendapatkan kepastiannya. Lagi pula program yang dicanangkan resmi bergulir besok lusa dipastikan tak bisa berjalan serempak di Indonesia. Jadi, untuk itu kami masih diharapkan menggunakan akses yang berjalan saat ini, melalui administrasi Jamkesda. Ah, senang juga mendengar informasi berguna ini. Semoga saja kali ini bukan juga hanya angin surga.
Anak saya kemudian langsung menyerahkan berkas kembali ke apotek RS, selagi saya berkirim informasi melalui SMS kepada dokter saya yang saya yakini sedang sibuk memeriksa para pasiennya yang semakin mengantri. Saya tak memerlukan jawaban beliau, cuma ingin mengajak bersyukur dan melegakan hatinya saja. Soalnya beliau sangat peduli pada pasiennya dan khawatir atas nasib saya. Tidak seperti para petinggi negara yang seakan-akan cuma mementingkan dirinya sendiri saja. Tapi untunglah kata anak saya siang tadi, peraturan presiden tentang jaminan pengobatan pejabat dan keluarganya ke luar negeri sudah dibatalkan kok. Lha mbok ya gitu, bertimbang rasa sedikit lah. Apa pantas kalau sampai disindir rakyat dengan ungkapan ORANG MISKIN DILARANG SAKIT?!
(Bersambung)
iya betulBu, banyak pegawai pemerintah yg masih pro rakyat. Tapi setiap baca kisah2 seperti yg Ibu tulis saya suka jadi "gemeees" sama semua koruptor itu (yg ketahuan ataupun belum).
BalasHapusIya sih, memang nggemesin banget. Yang minta bantuan Jamkesda mesti ngotot-ngototan meminta haknya, mereka yang korupsi malah semena-mena pamer kemewahan hasil korupsinya. Sementara itu kalau sampai koruptor dihukum, hukumannya cuma gitu-gitu aja belum bisa bikin kapok.
Hapus