Powered By Blogger

Kamis, 30 Mei 2013

DALAM BAYANG-BAYANG DUNIA MAYA

Keterbatasan diri saya semenjak sakit membuat saya banyak duduk berpangku tangan. Sebab tak banyak kegiatan yang bisa dilakukan yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada rasa sakit saya. Akibatnya, saya jadi semakin sering melongok dunia maya. Lalu dari situ saya menemukan sesuatu yang mengusik perhatian dan pemikiran saya.

Tentu tentang diri saya sendiri, sebab saya tak mau bertutur tentang orang lain. Saya merasa tidak pada tempatnya kalau mengorek-ngorek kehidupan orang lain yang tak bersangkut paut dengan diri saya. Sekali pun ada yang menarik untuk diketahui dari mereka, bahkan kemudian kita berkilah bermaksud mempelajari kasus yang terjadi di kehidupan mereka untuk pembelajaran, tapi tak saya lakukan.

Saya memang manusia yang unik, begitu pernah terlontar dari mulut orang-orang yang saya kenal di dunia nyata. Sering saya menangiskan kepedihan di dalam jurnal-jurnal yang saya simpan di dunia maya tanpa menutup-nutupi jati diri saya, kata mereka. Saya katakan tujuan saya hanyalah untuk membuang segala yang membebani batin setuntas-tuntasnya, agar tak ada yang keliru menilai dan menimbang-nimbang siapa diri saya. Sebab saya toch hanya manusia biasa. Pribadi yang punya kelemahan juga dan tentu tak lepas dari banyak kesalahan.

Tapi kiranya tidak demikian yang ada di benak para netter yang entah dengan cara bagaimana bisa menjangkau saya. Di sini, di dalam tempat persemayaman ini, ketika saya buka riwayat pembaca blog saya, banyak didapati kata-kata kunci yang menarik perhatian saya hingga menimbulkan tanda tanya yang mendalam. Ada apa kiranya diri saya sehingga mesin pencari yang menjadi motor penggerak hubungan sosial di dunia maya ini sering membawa kata-kata kunci yang diketikkan sembarang orang di sembarang tempat menuju ke rumah maya saya.

Seperti apa yang saya dapati sekarang ini. Ada sedikitnya dua kata-kata kunci yang membuat saya terperangah. Yang pertama berbunyi "apa si kunci kuat dan tabah" dan satu lainnya tertulis "jurnal pengalaman emosional post......." Kata kunci kedua tidak lengkap terekam di dashboard saya, tetapi saya yakin dia membicarakan mengenai postings yang sudah banyak saya rekam di buku harian elektronik saya ini. Naluri saya mengatakan demikian.

"Kuat" dan "tabah" merupakan label yang ingin dicari pembaca di luaran sana pada blog saya. Tak jelas benar alasannya, tetapi saya menduga-duga bahwa pencarinya menganggap saya merupakan makhluk yang kuat dan tabah di dalam menjalani ujian-ujian hidup yang datang berangkai sepanjang nafas mengaliri jiwa saya. Dari mana mereka tahu tentang pribadi saya tak jelas benar, namun yang saya rasakan mereka memiliki keterikatan dengan diri saya di masa lalu. Sehingga saya menganggap pencarinya berasal dari lingkungan keluarga saya sendiri, setidak-tidaknya teman-teman lama yang amat banyak dari berbagai kalangan.






Kalau dicari di internet, maka kira-kira seperti gambar yang saya temukan di atas itulah diri saya. Ada sisi-sisi gelap yang mengguncang kehidupan, tapi senantiasa saya lawan sebisa-bisanya dengan berpayung kepada Kehendak Illahi yang seringkali juga tak bisa saya taklukkan. Jadi intinya, saya hanyalah manusia biasa seperti kebanyakan manusia lainnya yang tidak punya kekuatan apa-apa di dunia yang luas ini. Hanya dengan bersandar kepada Allah melalui kesabaran dan ketawakalan saja saya tetap bisa bertahan.

Dulu ketika saya pertama kali mengalami masalah yang amat mengguncang batin, saya kerap bangun di tengah malam untuk mengadukan kepada Tuhan. Tak peduli dinginnya winter yang menurunkan salju untuk menutupi atap tempat tinggal saya, tetap saya gelar tikar sembahyang saya. Separuh menggigil saya sampaikan  beratnya rasa yang nyaris tak tertanggungkan. Setelah itu saya buka kitab suci untuk menyusuri satu demi satu isi di dalamnya sampai saya menemukan Firman-FirmanNya yang menjelaskan mengenai perihal hidup dan kehidupan ini. 

Apa yang saya lakukan sebetulnya didasari perenungan akan keadaan dan nasib orang-orang yang saya sayangi di sekitar saya. Anak-anak yang masih membutuhkan dampingan saya membuat saya bersemangat untuk bisa menerima dan menjalankan semua aturan main yang diinginkan Tuhan melalui Firman-Firman itu. Saya singkirkan egoisme yang tak bisa dipungkiri bermain-main di batin saya. Tentu saja terasa berat. Namun cinta saya kepada mereka mampu membius ego itu. Sehingga emosi saya teredam dengan sendirinya lalu melahirkan apa yang disebut orang sebagai ketabahan itu. Hasil yang saya tuai kemudian adalah mengalirnya kasih sayang yang tulus dari banyak pihak, terutama tentu saja dari anak-anak saya sendiri itu. Hingga sekarang, nyaris tak putus-putus.

***

Dunia maya memang unik. Tak hanya kedua kata-kata kunci itu saja yang tergores di riwayat pengunjung pada dashboard saya. Masih ada lagi kata-kata yang berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut penyakit saya. Contohnya mengenai penyakit adenomyosis saya. Juga manfaat daun sirsak bagi kesehatan. Keduanya menjadi satu dalam kalimat "daun sirsak untuk adenomyosis". Juga mengenai persiapan, prosedur dan penanggulangan efek kemoterapi. Khusus untuk hal ini tak terbilang banyaknya kata-kata kunci yang masuk. Jika bukan karena dunia maya, mana mungkin kumpulan pengalaman yang saya tulis bisa dirasakan manfaatnya oleh sembarang orang bukan? Apalagi saya termasuk pribadi yang pasif, yang hanya akan berinteraksi jika saya amat tertarik kepada seseorang atau jika orang-orang datang menyapa saya terlebih dahulu. Sebab, sesungguhnya ada rasa rendah diri yang kadang menjerit dari dasar jiwa akibat tempaan persoalan yang dulu membebani saya. Jadi, saya yakini dunia maya memang punya keistimewaan sendiri. Dia akan menghubungkan setiap orang yang menjejakkan kakinya di sana baik disadari maupun tidak.

Inilah adanya saya di dunia maya. Agaknya banyak yang mengira saya punya segudang pengalaman. Lalu mesin pencari fakta pun senang menunjukkan blog saya kepada mereka. Padahal siapa lah saya ini. Hanya manusia yang terbuat dari seonggok daging biasa, yang ke dalamnya ditiupkan ruh oleh sang Maha Pencipta. Tak ada bedanya dengan anda sekalian bukan? Selanjutnya, marilah kita teruskan hubungan kita meski tak secara kasat mata dan tidak juga menjadi hubungan pribadi. Silaturahmi itu selalu menyenangkan untuk dinikmati selagi hidup baik di dunia maupun kelak setelah kita menutup mata. Sebab dengan banyaknya teman semasa di dunia, akan mengalir menganak sungai bagai bah doa-doa baik bagi kita di akhirat kelak.
 

Minggu, 26 Mei 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (63)






Awan mendung dengan matahari yang mengintai malas di sela-selanya menjadi pembuka hari yang menandai ketidaknyamanan dalam hidup saya seharian ini. Walau saya tahu hujan lebat semalam mengabarkan bahwa sepertinya musim penghujan akan datang kepagian, tetapi saya tetap tidak siap bahkan dibalut kemuraman. Untung saja ini bukan hari Sabtu jadwal saya berobat ke Rumah Sakit sehingga saya bisa bersantai menghabiskan hari-hari di atas pembaringan saya saja. Tapi tak urung saya tidak juga mudah terlelap, sebab saya sudah kembali dilanda "bad mood". Temper tantrum itu datang lagi seakan-akan ingin menguasai jiwa saya yang kelabu.

Sebetulnya yang membuat saya ingin marah hanyalah masalah sepele. Besan sepupu saya hari ini menikahkan putrinya. Kami diundang datang, karena sewaktu sepupu saya menikahkan anak gadisnya di Jawa Timur tahun lalu saya tak dapat datang. Soalnya saya sudah dalam keadaan sakit. 

Bagi saya, undangan ini wajib kami utamakan. Tidak saja disebabkan kami belum berkesempatan berkenalan dengan pihak pengundang, melainkan juga karena sepupu saya beserta keluarganya tak dapat hadir di Bogor sini. Kendala jarak dan keadaan kesibukan keluarganya lah penyebabnya. Mengingat itu, saya tak ingin mengecewakan kemenakan saya yang khusus datang mengantarkan undangan itu dengan tangan malam-malam rintik gerimis ke rumah saya. Saya pastikan anak-anak saya harus datang seawal mungkin mewakili keluarga besar kami, mewakili sepupu saya, tentunya.

Anak-anak saya bersedia. Dengan syarat saya tidak ikut sebab mereka khawatir saya akan tergoda hidangan perhelatan yang tentunya mengandung banyak pantangan bagi saya. Kakak saya pun menyatakan akan datang dengan anak-menantunya. Tapi saya menyuruh anak-anak saya untuk berangkat sendiri, sebab lokasi pesta jauh sekali dari rumah lagi pula melewati daerah pusat perbelanjaan yang biasanya padat wisatawan luar kota. Untuk itu saya sarankan mereka menyewa kendaraan sekalian berziarah ke makam keluarga berhubung sejak saya sakit tak pernah lagi kami menengok makam. Di Bogor yang sudah kesulitan tanah pemakaman, kita harus sering-sering berziarah supaya makam keluarga kita terawat. Sekarang di Bogor banyak sekali makam-makam yang tiba-tiba dikabarkan lenyap begitu saja, tergantikan oleh makam baru karena keluarga pemiliknya tidak pernah kelihatan berziarah. Jadi saya khawatir itu terjadi pada keluarga kami seperti yang dulu sering diberitakan di media massa, terutama di pemakaman umum Cina.

Ternyata anak saya malas ke makam. Kata mereka, tak pantas berziarah memakai kemeja batik rapi. Walau saya usulkan untuk pulang berganti pakaian dulu, mereka tetap tak mau. Ya, saya mencoba mengerti. Berkenaan dengan akan tibanya awal Ramadhan, kiranya anak-anak saya ingin berziarah massal bersama warga kota lainnya di masa itu seperti adat kebiasaan di kampung kami.

Kemudian saya minta mereka menyewa angkutan kota, sebab di kota kami yang bertetangga dengan kota metropolitan sama sekali tak ada taksi. Satu-dua yang kelihatan melintas adalah taksi sewaan dari Jakarta yang mengantarkan penumpangnya ke Bogor. Saya ingatkan bahwa menjaga silaturahim dengan cara tidak terlambat tiba di tempat undangan merupakan adab ummat Islam. Anak saya mengerti, namun mereka lebih memilih ikut dengan keluarga kakak saya yang entah akan berangkat kapan. Akibatnya sepagi itu saya marah-marah tak ada habisnya. Sehingga anak-anak saya pun merasa jengah, lalu menuruti kemauan saya. Mereka berangkat lebih dulu serta tiba dua puluh menit lebih awal dari keluarga kakak saya.

Seharusnya dengan begitu saya tak perlu kecewa lagi. Tapi entah mengapa, saya tetap saja memendam sisa-sisa amarah yang mengakibatkan luka pada tumor saya terasa sangat menusuk-nusuk. Parahnya lagi pagi-pagi jaringan listrik sudah mati sehingga tak ada sarana hiburan. Bahkan sekedar untuk membaca pun ruangan terasa gelap ditelan awan mendung di angkasa. Akhirnya saya terpaksa menelan obat pereda rasa sakit yang sudah dua hari ini sengaja saya tinggalkan mengikuti anjuran dokter. Saya berharap akan merasa lebih baik karenanya.

Saya habiskan waktu untuk mengobrol dengan kemenakan saya yang sejak dipindahkan tugasnya dari pabrik ke kantor pusat perusahaan di Jakarta, jarang tidur di rumah. Sebab pulang-pergi Bogor-Jakarta tak menjanjikan dia tiba tepat waktu di kantornya setiap hari. Kemenakan saya menghidangkan sepiring nasi ketan untuk sarapan saya tanpa diminta, sedang dia sendiri makan kue-kue kecil sambil menyeruput teh manis panas yang kepulan asapnya tertangkap mata saya. Lalu siangnya sambil menunggu listrik tersambung kembali, kami makan sebungkus pecal yang bumbunya legit meski tidak terlalu kental. Sungguh nikmat yang meredakan amarah saya agaknya.

Ah ya, mengobrol bisa meredam stress juga. Bahkan sambil mengobrol itu saya teringat pesan kakak saya yang pernah merawat almarhum suaminya penderita kanker. Waktu itu kepada anak-anak dan kakak sulung saya yang tinggal menemani saya dia berpesan untuk bersabar jika kelak setelah menjalani kemoterapi saya menjadi galak. Dulu suaminya juga pemarah seperti keadaan saya sekarang. Tapi dia tahu itu bukan sifat aslinya, melainkan bawaan dari rasa tak nyaman yang diakibatkan oleh rangkaian pengobatan kanker yang sakitnya tak tertahankan. Belum lagi di hari-hari terakhirnya, almarhum ipar saya sama sekali tak mau makan, selalu merasa kepanasan sehingga minta bertelanjang dada. Duh, saya tak mau menjadi seperti itu. Lebih-lebih lagi saya tak mau mati sekarang dalam keadaan menyusahkan orang lain. Maka lagi-lagi saya merasa harus banyak beristighfar guna mengadukan hal saya kepada Tuhan. Kemenakan saya tersenyum menanggapi hal ini.

Saya kemudian mengambil air sembahyang sebab sudah masuk waktunya sembahyang dhuhur, bertepatan dengan suara adzan kaji dari masjid di kejauhan. Saya hadapkan wajah dan hati saya hanya kepadaNya, seraya memohon ampunan atas kelakuan saya yang menyusahkan perasaan anak-anak saya. Tentu sekalian memohon kesembuhan yang sesembuh-sembuhnya karena penyakit ini tak ada baik-baiknya selain membantu menyadarkan saya bahwa saya harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Itulah yang sekarang menjadi landasan saya untuk semakin mempelajari agama. Saya takut segera mati tanpa bekal untuk dinikmati di alam kubur.

Sedang berdzikir tiba-tiba kedengaran salam anak-anak di muka pintu. Dengan sumringah mereka menceritakan perhelatan yang mereka datangi. Tak dinyana, di mana pun kami berada, ke mana pun keluarga saya melangkah, selalu saja ada orang-orang yang memiliki keterkaitan dengan keluarga kami. Kata anak saya, pengantin wanitanya tak lain dan tak bukan adik kelasnya semasa di SMA! "Dik Aning yang pertama mengenali saya, dia tanya belakangan kepada dik Gissa ~kemenakan saya yang mengundang ke pernikahan Aning~ apakah saya kak Andrie kakak kelasnya di SMA?" cerita anak saya Andrie. Subhanallah! Anak saya konon terperangah mendengar namanya disebut-sebut pengantin. Dia menyadari bahwa riasan pengantin itu telah "merubah" wajah si anak dara sedemikian rupa sehingga dia tak lagi mengenali temannya dulu. Kemudian mereka sekali lagi bersalam-salaman. Tapi kali itu adalah salam persaudaraan yang insya Allah abadi, sebab kini kami terikat kekerabatan jadinya. Mulailah hati saya yang penuh nafsu busuk tercerahkan oleh peristiwa tak terduga itu meski mendung tetap saja menaungi angkasa, menggantungkan awan-awan gelap yang sepertinya sarat air tapi malas untuk menumpahkannya ke bumi.

(Bersambung)

Jumat, 24 Mei 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (62)






Angka yang konon menurut orang-orang merupakan angka keberuntungan itu sudah saya lewati di blog ini. Jurnal saya kali ini akan jadi jurnal ke 301. Tak disangka, setelah memindahkan jurnal-jurnal saya yang lama dari suatu tempat karena keterpaksaan, selama hampir setahun di sini saya sudah berhasil mencapai angka 300. Meski tentu saja isi jurnal saya tak ada yang istimewa atau bagus sehingga menyedot banyak pembaca. Tapi tak mengapa juga, toch tujuan saya membuat blog ini hanyalah untuk mencatatkan semua pengalaman sehari-hari saya saja. Sasarannya pun bukan masyarakat luas, melainkan diri sendiri dan keluarga saya. Namun saya pada akhirnya mereguk kebahagiaan juga sebab tanpa terasa sudah lebih dari lima puluh orang yang menjadi pengikut saya di sini dengan pembaca yang juga lumayan jumlahnya meski saya tahu mereka tak semuanya mengikuti blog saya secara tercatat.

Selama menulis jurnal di sini sudah banyak orang yang masuk untuk mencari tahu segala sesuatu hal mengenai penyakit kanker dan pengobatannya, juga penyakit-penyakit kandungan. Ada yang memasukkan kata kunci "biaya endoskopi di Yogya", "bekas infus kemoterapi bengkak", "endometriosis berobat ke Singapura", "dialog komunikasi perawat dengan pasien" hingga "disuruh gunduli rambut" dan macam-macam hal yang kadangkala membuat saya bertanya-tanya sendiri, mengapa mesin pencari menempatkannya ke blog saya. Lalu dengan demikian merasa sia-siakah saya menulis blog ini?

Tidak. Saya tak menganggap demikian, karena tak ada suatu kesia-siaan yang pernah saya perbuat selama ini jika saya mendengarkan dengan baik apa yang pernah dikatakan sebagian teman-teman dan kerabat saya tentang kegemaran saya tulis-menulis. Menulis di sini justru mendatangkan banyak manfaat, setidak-tidaknya saya jadi banyak kenalan baru.

***

Kali ini saya menulis jurnal terpicu oleh penuturan seorang pramuniaga toko furniture yang melayani kami membeli kursi meja belajar. Soalnya, suatu malam tanpa disangka-sangka, kursi yang sedang saya duduki di muka layar personal computer saya tiba-tiba patah kakinya menyebabkan saya jatuh terduduk di lantai. Untung saya dalam posisi yang nyaman, sehingga saya sama sekali tidak celaka. Namun berhubung ruang belajar kami berada di lantai dua yang terbuat dari kayu, maka bunyi gedebag-gedebug si kursi jelas mengagetkan seisi rumah. Mana lagi saya ikut-ikutan menjerit kaget. Lha bagaimana sih, sedang enak-enaknya duduk mengetik tanpa bergoyang-goyang, tiba-tiba pantat saya langsung menyentuh lantai?! Usut punya usut, ternyata konstruksi kaki kursi itu yang rapuh. Sebab setelah diamat-amati dan dibanding-bandingkan dengan dua lagi kursi sejenis yang dipakai kedua anak-anak saya, kelihatan bahwa kedua kursi lainnya lebih kokoh.

Pramuniaga toko itu saya bisiki untuk tidak menyuruh delivery man mengantarkan kursi ke rumah sebelum pukul empat sore, soalnya saya masih mau pergi berobat ke sinshe sesudah dari toko. Dengan serta merta si tuan toko yang masih muda menanyai saya, siapa yang sakit, dan di mana sinshe itu berpraktek. Saya kemudian memberikan keterangan seperlunya, sambil menunjukkan penyakit saya yang kalau diamat-amati jelas nampak dari luar secara kasat mata.

Demi mendengar penjelasan saya, gadis pramuniaga tadi kemudian mengatakan teringat akan almarhumah ibundanya. Beliau katanya berpulang setelah menderita kanker payudara juga selama dua tahunan. Usianya masih muda, dan penyakitnya sempat diobatkan ke dokter serta menerima sembilan kali kemoterapi berikut penyinaran. Tapi ibundanya tak lagi tertolong meski secara fisik tubuhnya kelihatan gagah, tidak loyo bagaikan orang sakit pada umumnya. Nyaris tak ada bedanya dengan saya, katanya sih begitu.

Saya bertanya kepada dokter siapa ibundanya berobat. Dijawab bahwa ibunya berobat ke RSUPN di Jakarta. Di sanalah ibunya menjalani rangkaian kemoterapi dan radiasi yang mengakibatkan ibunya selalu sakit tak bergairah untuk bangun di minggu-minggu pertama pasca dikemoterapi. Bahkan katanya ibunya muntah-muntah hebat hingga mengakibatkan mulut serta kerongkongannya luka-luka. Sariawan, begitu pengertian saya sebab kakak ipar saya yang menderita kanker kandung kemih juga mengalaminya sebelum akhirnya meninggal juga. "Ibu hebat amat, kalau ibu saya sih, habis kemoterapi semingguan biasanya tiduran melulu," komentarnya seraya merapatkan kedua telapak tangannya ke kepala menggambarkan istirahat ibunya.

"Tapi katanya ibu si teteh kelihatan gagah?" Sergah saya bingung mencernakan kata-katanya yang saling bertolak belakang tadi. Saya pandangi wajahnya yang kuning langsat berseri-seri dihiasi rambut hitam lebat yang diikat rapi.

"Iya, tapi sebetulnya sih sakit bu, maunya tidur-tiduran saja," jawabnya lagi menegaskan. "Badannya gemuk, nggak kurus kering sih...........," ia memperkuat lagi penggambaran tentang sosok ibunya. "Jadi Mamah saya nggak kelihatan kayak orang sakit banget, cuma ya sekarang sih sudah meninggal juga lah," ia mengakhiri ceritanya.

Saya kemudian menceritakan bahwa saya hanya merasa sedikit lesu, tidak muntah-muntah, cuma kehilangan selera makan ditambah tidak sariawan namun menderita bisul-bisul di kepala. Saya buka tudung kepala saya untuk menunjukkannya yang segera disambutnya dengan sahutan, "aiiiiih...... seperti rambut ibu saya, habis dikemoterapi langsung botak. Saya nggak nyangka ibu kayak Mamah saya."

Pembicaraan kami menimbulkan decak kagum dia dan tuan tokonya. Mereka kemudian merasa penasaran akan sinshe saya. Bahkan dari perbincangan kami, tuan tokonya minta alamat sinshe untuk mengobatkan keluarganya yang juga sakit keras. Tentu saja saya berikan dengan senang hati, karena menurut sinshe saya dia tidak boleh mengiklankan diri oleh nenek-moyangnya, namun dilarang menolak pasien yang datang kepadanya oleh sebab cara-cara lain misalnya karena tertarik setelah mendapati ada pasiennya yang tertolong.

***

Kemoterapi jelas menyiksa. Itu satu penegasan lagi bagi saya. Belum pernah saya dengar pasien kemoterapi yang tidak merasa disusahkan oleh efek kemoterapinya. Bahkan pada akhirnya setelah masa yang menyusahkan itu berakhir, pasien belum tentu juga bisa mempertahankan jiwanya. Yang akhirnya menyerah direnggut kanker tak bisa dikatakan sedikit. Ya, sebab kalau menurut pengarang dan penyanyi Dee alias Dewi Lestari di dalam sebuah cerita pendeknya, "kemoterapi ~adalah~ racun yang berbohong jadi obat" (Lara Lana, di dalam Filosofi Kopi).

Definisi asal-asalan tapi benar yang dikatakan Dee tadi menurut saya tepatnya adalah racun ~yang digunakan untuk membunuh sel jahat~ yang menyamar dengan nama obat. Ini jelas berbeda dengan jejamuan sinshe yang alami karena tidak mengandung unsur bahan kimia sama sekali. Jejamuan ini justru mendandani diri sehingga menjadi perawat yang memelihara tubuh penderita agar kuat menjalani "racunisasi" tadi. Jejamuan tak mengakibatkan rusaknya sel-sel sehat pada tubuh saya dan sejumlah penderita kanker yang mendobeli kemoterapi mereka dengan jejamuan herbal. Sebuah buku yang dihadiahkan oleh teman maya saya yang ditulis oleh penderita kanker indung telur yang sudah berhasil melewati kemoterapinya mengatakan bahwa herbal Amerika yang dimakannya bersama-sama obat kemoterapi membantunya kuat mengatasi efek samping kemoterapi. Begitu pun berita di sebuah koran nasional tentang kolaborasi pengobatan herbal Cina dengan pengobatan modern pada sebuah RS khusus kanker di China seperti yang sudah saya tuturkan dulu menyatakan hal yang sama.

Ketika siang itu saya berkonsultasi dengan sinshe, dia memberikan gambaran membaik pada kelenjar ketiak saya yang di minggu sebelumnya dinyatakan agak membengkak, sehingga persis seperti hasil rabaan pemeriksaan dokter mengharuskan saya dikemoterapi sekali lagi minggu depan. Ya, kemoterapi untuk kasus saya, kanker payudara stadium III-B yang agresif memang dirancang sebanyak 3 atau 4 kali dengan jeda waktu masing-masing tiga minggu supaya mengecil dan mudah untuk dioperasi. Sinshe tertawa geli waktu mengingat saya keliru membeli obat padanya. Agaknya gara-gara saya alpa menelan jamu antipembengkakan selama tiga hari lah tumor saya membesar. Lalu mengecil setelah saya kembali menelannya beberapa waktu belakangan ini.

Tak semua kanker payudara dikemoterapi 3 atau 4 kali seperti saya. Masing-masing tergantung kondisi tumornya, pada stadium berapa dengan tingkat keganasan (grade) seperti apa. Ibu pramuniaga toko furniture yang saya jumpai hari itu ternyata meninggal setelah menerima 9 kali kemoterapi. Juga saya sempat berjumpa dengan teman seruangan yang menjalani 6 serta 7 kali kemoterapi. Saya termasuk yang tidak perlu berlama-lama di awalnya, akan tetapi direncanakan dokter onkologi saya, kelak sesudah dioperasi akan dikemoterapi lagi selama setahun penuh mengingat penyakit saya merupakan kasus kambuhan yang berpindah tempat dari organ reproduksi menuju ke payudara. Tak mengapa, saya tetap akan membentengi diri dengan pengobatan sinshe ini.

Hal itu amat didukung abang R sahabat karib kakak saya yang sudah kehilangan istrinya akibat penyakit kanker kelenjar getah bening. Kemarin dulu dia menelepon lagi, sebelum saya berangkat ke sinshe sekedar menanyai kabar terakhir saya. Begitu baik dan penuh perhatiannya dia kepada saya, sampai dia mengingatkan agar saya tak bosan berobat ke sinshe sebab sinshe merupakan pengobat alternatif yang pas. Dulu istrinya tidak dibawanya ke sinshe, melainkan kepada seorang kyai yang memberinya jejamuan juga tapi menggunakan cara pembedahan guna melawan sel jahat itu. Tentu saja selain pasiennya merasa amat kesakitan, hal ini tidak dapat dibenarkan. Semua berakhir sia-sia, si pasien wafat dalam penderitaan yang tak terkirakan. 

Saya pun berjanji kepada bang R untuk mengikuti sarannya. Sekali lagi saya merasakan betapa banyaknya limpahan cinta untuk saya setiap hari. Allahu Akbar! Hanya karena Kebesaran Tuhan jua lah saya merasakan semua itu.

(Bersambung)

Senin, 20 Mei 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (61)






"WHY ME?" Mengapa mesti saya? Itu pertanyaan yang kerap mengotori pikiran saya yang gelap ketika saya dapati hanya diri saya seorang yang mengidap kanker payudara di keluarga inti saya, padahal kami lima bersaudara perempuan semua. Dua orang kakak saya meski pernah menjalani pembedahan payudara, tetapi hanya untuk mengangkat benjolan yang tumbuh yang dinamakan "fibro adenoma" sejenis tumor jinak yang tidak membahayakan saja, begitu kalau saya tak salah tangkap. 

Kanker payudara dengan segala jenis yang ruwet memang jadi hantu menakutkan bagi perempuan mana pun tak terkecuali saya. Wujudnya di dalam bayangan serupa hantu merah yang menyala di kegelapan. Amat mengerikan, membuat saya sering terbata-bata mencari tahu sendiri apa itu kanker payudara, bagaimana gejalanya pada masing-masing penderita dan bagaimana pula kiatnya untuk berjuang menyelamatkan diri dari cengkeramannya.




Selama berobat nyaris setahun ini saya mendapati dua saja jenis kanker payudara. Yakni kanker yang tumornya teraba dari luar, serta yang tak teraba. Tumor yang teraba ini seperti yang saya idap, terasa gatal di dalam sana serta nyeri seakan-akan dicubit-cubit. Ada juga yang mengistilahkan seperti ditusuk-tusuk. Perasaan nyeri ini dialami juga oleh teman baik saya yang membawa saya berobat ke sinshe, meski dia menderita tumor yang tak teraba dari luar. Menurut dirinya dan cerita sinshe teman saya bertandang ke sinshe bukan untuk mengobatkan benjolan di payudara, melainkan untuk menotok wajahnya yang kelihatan kusam. Maklum sewaktu ke sana pertama kalinya, dia cuma mengikuti kakaknya yang akan menotok wajah. Tapi kemudian sensor tangan sinshe kami ketika meraba telapak kaki teman saya menunjukkan bahwa dia punya benjolan di payudaranya, mulailah dia diterapi.

Teman saya tentu terkejut, sebab selama ini dia tidak pernah merasa ada benjolan di situ. Namun dia memang merasa kadang-kadang payudaranya terasa agak nyeri. Treatment sinshe yang berulang-ulang seminggu satu atau dua kali akhirnya memunculkan benjolan itu ke atas permukaan. Lalu payudaranya mulai bengkak membesar, nyerinya semakin intens. Setelah itu keluarlah cairan dari puting payudaranya, persis seperti yang dikeluhkan pasien lain yang saya temui di RS. Bedanya, pasien RS benjolannya teraba dari luar seperti benjolan saya. 

Tumor teman saya tak pernah jelas apa pemicunya, tak seperti para pasien di RS yang diharuskan dokter memeriksakan jaringan tumor mereka ke laboratorium Pathologi Anatomi (PA). Sebab di sinshe tak pernah diminta untuk memeriksakan jaringan tumor, bahkan memegang-megang tumor itu pun hanya boleh dilakukan oleh sinshe yang menurutnya punya enerji positif untuk menekan penyakit pasien. Memang benar, jika jaringan sel kanker dilukai baik dengan cara sederhana yaitu dibiopsi, jaringan itu akan menjadi agresif lalu cepat tumbuh kembali seperti yang saya alami mengenai kista-kista yang dulu setiap tahun bertumbuhan di indung telur saya.

Tapi berdasarkan pengalaman dari RS, hasil pemeriksaan PA saya menunjukkan tumor saya disebabkan oleh virus Her2. Bukan oleh hormon seperti ibu Sunenti yang saya ceritakan di jurnal yang lalu. Tentu saja obatnya pun berbeda. Sekali dikemoterapi, saya menerima tiga jenis obat, yakni cyclophospamide, doxorubicin, dan antrasilin ~jika tidak salah catat~ yang semuanya dicampur sehingga diistilahkan juga sebagai "obat koktail kemoterapi". Salah satunya berwarna merah serupa syrup yang menyegarkan.






Adapun semua obat-obatan itu kata perawat sangat sensitif cahaya sehingga harus diselubungi dengan alumunium foil seperti yang tampak pada gambar. 

Pada pasien yang terkena kanker disebabkan gangguan hormonal, mereka hanya dikemoterapi dengan satu macam obat saja. Itu terjadi pada ibu Sunenti dan seorang pasien lain lagi yang suaminya sering saya jumpai ketika kami sama-sama mengurus Jaminan Kesehatan di Dinas Kesehatan Kota (DKK). Tapi kemudian mereka disuntik dengan obat tertentu berisi hormon gonadotrophine, yang diberi nama dagang zoladex. Agaknya obat ini sulit diperoleh di pasaran, buktinya pasien terpaksa bersabar menunggu stock obat tersedia di apotik RS. 

Mengenai pasien yang satu itu suaminya nampak amat prihatin. Jelas sekali tergambar kekecewaan di wajahnya yang dihiasi bulu-bulu yang tumbuh tak rapi. Katanya, si istri seharusnya sudah dikemoterapi tetapi lagi-lagi terganjal oleh kondisi fisiknya yang tidak prima. Kadar haemoglobin di dalam darahnya amat rendah sehingga dokter terpaksa menundanya. Semua ini diakibatkan oleh seringnya pendarahan dari luka masif di tumornya seperti yang juga saya alami. Sayangnya luka perempuan itu lebih luas dan darah yang keluar pun jumlahnya tak tanggung-tanggung, sering mencapai seember sehari, begitu cerita sang suami dengan suara lirih nyaris tak terdengar. Waktu itu sang istri dibiarkannya menunggu di area lobby dokter sementara dia berdesak-desak dengan banyak pasien mengantri obat di apotik. Sempat juga saya sapa istri si bapak yang semakin kelihatan kurus kering tak bergairah. Saya pun tahu bahwa dia pernah sampai diharuskan menginap di RS karena kondisinya yang tidak baik itu.

***

Kemarin pagi, kejutan lagi-lagi menghampiri saya. Ketika baru saja usai merapikan diri, saya menerima panggilan telepon dari nomor yang tak tercatat di ponsel saya. Ketika saya terima, suara itu membuat saya terkaget-kaget tak percaya. Pasalnya sudah dua puluh tahun saya tak bertemu orangnya. Tapi benar, saya tak salah duga. Mbakyu Giek, begitu saya memanggilnya, adalah teman lama saya di DWP semasa muda di luar negeri dulu. Suaminya yang datang dari seberang sudah lama pensiun sebab usianya memang jauh lebih senior dibandingkan kami. Jadi sejak itu saya pun tak pernah lagi berjumpa mereka.

Tiba-tiba kata mbak Giek, dia dan keluarga ada di daerah Sentul akan singgah menengok saya sebab mendengar dari temannya teman saya akan keadaan saya yang tengah sakit. Bu Upik perempuan itu memang tidak saya kenal, tetapi pernah ikut dengan teh Ade salah satu teman baik saya yang boleh dikatakan hatinya lekat pada saya, dulu datang menengok saya. Suatu hari dia bertegur sapa dengan mbak Giek dan tiba-tiba teringat bahwa suami mbak Giek adalah pensiunan pegawai Kemenlu. Lalu dia bercerita bahwa dia habis menengok saya ikut sahabatnya seraya menanyakan apakah mbak Giek mengenal saya.

Tentu saja mbak Giek terkejut karenanya. Menurut mbak Giek sungguh tak terbayangkan saya akan menjadi seperti sekarang. Karena itu dia kemudian minta nomor ponsel saya kepada bu Upik yang mendapatkannya dari teh Ade tercinta. Dan dengan kenekadannya kemarin pagi beliau singgah menjenguk saya.

Serangkum cinta diberikannya kepada saya lewat sapaan lembut serta pelukan yang tak terkira hangatnya. Begitu pun suami mbak Giek yang tak lagi banyak bicara menyampaikan doa terbaiknya untuk saya dan anak-anak. "Ini ipar saya, dia perawat di RS Pertamina dan pernah menderita kanker juga," ujar mbak Giek memperkenalkan keluarganya yang baru sekali itu saya temui.

Ternyata ipar mbak Giek bilang, pengobatan kanker memang tidak mengenakkan. Saya termasuk pasien yang beruntung sebab saya tak mengalami mual-muntah serta kerontokan rambut yang parah. Bahkan semula beliau tak menyangka bahwa saya pun pernah mengalami pengangkatkan indung telur juga rahim seperti dirinya yang terkena kista indung telur dulu. Menurutnya apa yang dilakukan dokter saya sekarang termasuk tindakan yang cermat. Saya didukung untuk menjalani sekali lagi kemoterapi saya sebelum dioperasi. Katanya itu untuk mengecilkan jaringan tumor saya agar dokter mudah mengambil semuanya tanpa tersisa. Dengan begitu kemungkinan kekambuhan bisa dihindari atau diminimalisir. Beliau pun juga mendorong saya untuk terus saja melakukan diet seperti yang sudah saya jalani sekarang atas anjuran sinshe saya, sebab dia membuktikan manfaat diet itu yakni kanker di indung telurnya tak pernah tumbuh lagi.

Luar biasa senangnya hati saya kemarin, sampai-sampai saya terlupa menginginkan foto bersama sebagai kenang-kenangan. Yang ada saya terharu menerima kunjungan amat istimewa itu.

Adanya persahabatan memang luar biasa indah. Tak hanya dari mbak Giek, tadi sore pun saya disapa oleh sahabat terkarib saya hingga sekarang ketika saya sudah di luar kepengurusan DWP. Melalui pesan singkat istri pejabat penting di kementerian kami menyatakan maafnya sejak kunjungannya beberapa minggu lalu belum lagi sempat menjenguk saya. Karena kemenakannya akan menikah beliau cuma menanyakan keadaan terakhir saya pasca kemoterapi minggu lalu. Juga minta diberitahu apa langkah selanjutnya, apakah akan dikemoterapi lagi atau sudah pasti dioperasi.

Tak tertahankan air mata saya mengucur membaca SMS itu. Berat rasanya menerima kenyataan bahwa di balik label yang diterakan seseorang pada saya bahwa saya adalah makhluk terjahat yang paling dibenci orang, ternyata saya masih diperhatikan seseorang yang saya tahu tak layak lagi berteman dengan saya. Sebab saya ini hanya seorang buangan yang sedang bergulat meniti kehidupan baru saya, semoga masih saja di dunia ini belum berpindah ke alam baka. Sesungguhnya Allah dengan segala KemahakaryaanNya alangkah nikmatnya untuk manusia yang hina-dina.

(Bersambung)


Sabtu, 18 Mei 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (60)




"TEMPER TANTRUM" begitu saya mengira tentang apa yang tengah terjadi pada diri saya saat ini. Persis seperti gambar perempuan di suatu situs yang saya temukan dengan cara googling. Sebab sejak pagi rasanya saya ingin marah-marah saja, serba salah dan serba tersinggungan. Penyebabnya apa, saya tak jelas benar. Tapi saya memang tak menafikan bahwa rasa sakit yang menyengat membuat diri saya merasa tidak nyaman.

Namun besok tentunya akan jadi lain. Sebab selain saya menerima kiriman jamu dari sinshe saya yang kemarin dulu terlupa saya beli, besok juga harinya saya berkonsultasi kepada dokter onkologi. Akhirnya besok beliau akan berpraktek insya Allah pagi hari, pengakuannya begitu ketika saya menanyakan melalui pesan singkat. Seperti diketahui kesibukan dokter saya ini begitu padat, sehingga seringkali beliau mengorbankan waktu prakteknya di kampung halamannya sendiri yang "diwariskan" orang tuanya, dokter onkologi pertama di kota ini. Akibatnya tentu saja pasien terpaksa ditangani penggantinya yang meski pun teliti dan telaten tetapi bukan dokter onkologi melainkan dokter bedah umum senior.

Jamu sinshe sudah saya makan tadi siang. Tentu saja belum kelihatan efeknya karena baru sekali telan. Jadi, selain rasa nyeri masih samar-samar ada, hawa panas di tubuh saya masih menyengat membuat peluh mengucur begitu saja melewati lekuk-liku wajah saya menuruni dahi dan pipi. Begitulah adanya, saya katakan dulu, saya merasakan hot flushes yang tak mengenakkan itu setelah saya dikemoterapi yang pertama kali. Lalu efeknya kemudian selain rambut saya rontok, akarnya meradang sehingga menimbulkan bisul-bisul kecil di beberapa tempat yang sekarang alhamdulillah teratasi dengan pemberian salep antibiotik saja. 

***

Jurnal kali ini kemarin terpaksa berhenti sampai di atas sebab kondisi tubuh saya terasa tidak fit. Seharian saya malas melakukan apa-apa, sehingga pembaringan menjadi solusi saya untuk menghabiskan detik-detik waktu yang terus berjalan. Dalam pada itu saya renungi lagi semua perjalanan hidup termasuk perjalanan penyakit saya. Tak terkira panjangnya.

Semula saya pernah jadi orang berkecukupan yang bahagia meski sudah sakit-sakitan. Penyakit yang saya bawa sejak kecil dulu kerap mengantarkan saya ke ruang praktek dokter. Hingga ketika menikah saya sempat mencicipi jasa Rumah Sakit untuk mengeluarkan anak-anak saya melalui operasi Kaisar. Itu adalah pengalaman kedua serta ketiga saya menjalani pembedahan, sebab pembedahan pertama berupa tonsilektomi alias bedah amandel berlangsung semasa saya lulus Sekolah Dasar. Waktu itu saya beruntung mendapat teman senasib, yakni putra sahabat orang tua saya yang juga jadi teman bermain saya kalau keluarga besar pegawai di kantor ayah saya berkegiatan bersama. Berdua kami ditempatkan di satu kamar meski dia lelaki dan saya perempuan. Lelaki yang punya sifat jahil itu menggoda saya dengan menakut-nakuti waktu tahu saya ngeri menghadapi pisau bedah. Tapi toch dia juga dan orang tuanya yang memanjakan saya dengan semangkuk besar es krim Pieter's sesudahnya sebagai pembeku darah bekas operasi. 

Lalu operasi Kaisar itu terpaksa dilakukan karena kondisi letak bayi-bayi di kandungan saya yang tak pernah sempurna di tempat yang seharusnya. Bahkan anak sulung saya meninggal karena kegagalan sewaktu saya terpaksa mencoba melahirkannya secara alamiah. Tapi meski begitu, kesehatan saya sebetulnya selalu prima. Tak pernah saya mengalami penyulit semisal kasus keracunan kehamilan, pendarahan dan sebagainya.

Setelah itu meja-meja bedah berikutnya saya jalani di luar negeri baik untuk kasus kehamilan ektopik (hamil di luar kandungan) maupun keguguran dan tumbuhnya kista di alat-alat reproduksi saya. Di luar itu ada lagi tambahan yang tak berkaitan dengan sel-sel liar itu, yakni pembedahan untuk mengangkat sejumlah gigi saya yang rusak serta pengikisan tulang bahu dan yang tak pernah terduga, pemotongan sebagian usus halus saya segera setelah saya keluar dari ruang pemulihan sehabis pengangkatan salah satu indung telur saya. Namun ini semua ada hikmahnya. Kesebelas operasi tadi justru mendekatkan saya kepada Allah Sang Pemilik Hayat serta akhirnya anak-anak saya yang menjadi begitu sayang kepada saya. 

***

Renungan saya itu menjadi dasar akan kesiapan saya menghadapi dokter hari Sabtu (18/05) kemarin. Saya menghadap onkologis saya untuk memeriksakan kondisi fisik saya seminggu pasca kemoterapi sebagai hal yang wajib dilakukan semua pasien sekaligus menetapkan langkah berikutnya yang akan diambil. Apakah saya tidak perlu menjalani sekali lagi kemoterapi sehingga saya akan segera dioperasi. Begitu maksudnya.

Dari rumah sudah saya rencanakan untuk mengeluhkan tentang kelenjar ketiak yang agak membengkak itu kepada dokter. Maka nantinya akan saya persilahkan beliau menetapkan sendiri apa langkah yang terbaik. Sama sekali tak ada kebimbangan atau pun kerisauan dalam diri saya. Dioperasi atau berlanjut kemoterapi kembali semua sama baiknya.

Maka beruntunglah saya ketika saya mendapat giliran ketujuh di dokter onkologi pagi itu, ketambahan menantu saudara saya yaitu Zuster Ninik siap bertugas mengasisteni beliau. Saya bertegur sapa sejenak ketika dia baru selesai briefing di ruangan Zuster Maria untuk penugasannya hari itu. "Sampai jumpa di klinik onkologi ya bulik, saya bertugas di situ hari ini dan dokter akan datang pukul sembilan atau sepuluh pagi," pesannya sambil tersenyum  menjawab sapaan saya. 

Saya kemudian memeriksakan diri ke laboratorium terlebih dulu sebagai bekal pemeriksaan dokter nanti. Suasana sudah cukup ramai meski belum pukul delapan pagi. Seorang ibu tua yang kelihatan senang mengobrol kedengaran bercakap-cakap dengan pasien di sebelahnya yang agaknya pasien tetap di RS ini. Sedangkan ibu tua itu datang untuk mengantarkan suaminya yang memiliki kadar gula darah yang tinggi, demikian yang tertangkap dari percakapan mereka. Alangkah berbaktinya dia kepada suami, begitu anggapan saya waktu saya dengar dia melarang suaminya mengurus administrasi keuangan sendiri. Dimintanya suaminya duduk menunggu selagi semua proses diselesaikan olehnya dengan sigap.

Anak saya pun sama, rela melakukan itu untuk saya seperti biasanya, sehingga saya cukup menyediakan badan saya untuk diambil darah di dalam ruang laboratorium yang sempit itu. Hasilnya alhamdulillah baik semua termasuk kadar haemoglobin, eritrocit, leukocit dan sebagainya yang biasanya tidak memenuhi standar pada pasien yang dikemoterapi. Saya pun sudah mengira itu, sehingga ketika saya menyelinginya dengan acara makan pagi berdua anak saya di kantin rumah sakit saya tenang-tenang saja. Saya bahkan menegaskan bahwa saya siap menjalani operasi segera kalau dokter menghendakinya nanti. Anak saya mengangguk-angguk saja, sebab dia begitu sadar saya justru merasa senang akan segera terbebaskan dari penyakit saya. Padahal penyakit itu sudah bertahun-tahun mengikuti saya, seperti hantu yang menakut-nakuti tanpa nama yang jelas. Maka, ibu semacam apakah saya kalau tidak bersyukur atas kebaikan, bakti dan kasih sayang anak-anak saya kepada saya? Tak heran karenanya jika di dalam dashboard situs saya ini terlacak kata kunci pencarian yang entrinya berbunyi "anakku pengganti tugas suamiku...." dan "tegar bernasib mujur". Boleh jadi mereka yang pernah membaca-baca di situs saya ini maupun situs lama yang terpaksa rebah sebab terkubur waktu menganggap hidup keluarga saya adalah sesuatu yang istimewa.

Di muka klinik onkologi deretan bangku masih banyak yang kosong. Tapi sedikit demi sedikit pasien berdatangan, yang ternyata sebagian merupakan pasien-pasien di klinik sebelah menyebelah. Sampai akhirnya saya bertemu dengan ibu Rus, pasien yang sudah tiga kali saya jumpai di situ dengan kasus kanker payudara kambuhan. 

"Sudah dapat obat suntiknya bu?" Tanya saya ketika dia mau menjejeri saya begitu saya melambaikan tangan. Dia menggelengkan kepalanya. Agaknya sekedar disuntik apalagi dikemoterapi baginya merupakan proses yang sulit. Memang betul dia pun berobat gratisan dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat seperti yang saya gunakan sekarang ini. Jadi agaknya, pengadaan obat menjadi lebih sulit dibandingkan harus membeli sendiri. Konon harganya memang berjuta-juta untuk satu ampul.

Pasien ini mengidap kanker dari penyebab yang berbeda dengan saya. Yakni diakibatkan oleh hormon, bukan oleh virus. Jika virus yang menyerang saya dinamai "Her-2" (dibaca her two), maka dirinya dinyatakan negatif dari virus itu namun meiliki kadar hormonal yang tinggi di dalam tubuhnya yang memicu timbulnya sel-sel kanker. Penyakitnya sudah berlangsung bertahun-tahun, merupakan penyakit kambuhan namun sekarang dia belum juga dioperasi. Selain kesulitan mendapat obat suntik, dia yang hanya menerima satu infus obat kemoterapi ~dibandingkan saya yang mendapat tiga tabung infus yang berbeda-beda~ pun harus menunggu lama untuk menemukan obat infusan itu. Pengakuannya sudah dua bulan sejak perintah kemoterapi dikeluarkan dokter, seperti yang saya dengar ketika dia datang ke ruangan kemoterapi minggu lalu untuk menanyakan gilirannya. Alangkah menderitanya dia. Sebab hari itu pun dia mengatakan nyeri yang ditimbulkan tumornya nyaris tak tertahankan lagi. Karenanya dia terpaksa menelan obat pereda nyeri yang dibelinya bebas setiap hari. Walau soal obat pereda nyeri ini sih sama halnya dengan saya. Saya mendapat resep dokter untuk digunakan sewaktu-waktu tapi saya manfaatkan setiap hari sebab begitu reaksi obat habis, sakit di pecahan tumor saya mendera lagi.

Obrolan kami akhirnya mendatangkan kenalan baru, juga seorang pasien dari wilayah Kabupaten. Ibu Sunenti, begitu beliau memperkenalkan dirinya, juga menderita tumor payudara akibat hormon. Tetapi kondisinya sudah pernah pecah seperti tumor saya. Dan dia pernah mengobatkannya di sebuah klinik tanaman obat. Sayang akibatnya luka tumornya justru mengeras dan berubah warna kehitam-hitaman akibat diobati dengan tanaman di sana yang diklaim pemiliknya sebagai obat luka jempolan. Perempuan ini dua tahun yang lalu juga sudah menjalani operasi, yang dikatakannya bukan operasi kanker melainkan tumor stadium dua. Lagi-lagi saya prihatin mendengarnya, sebab banyak pasien yang belum bisa membedakan apa itu tumor dan kanker. Jika sudah merujuk kepada stadium, maka pasti itu kanker alias tumor ganas. Ini diperkuat dengan pernyataannya bahwa dia pernah menjalani penyinaran (radiasi) serta kemoterapi seperti kami berdua. Sekarang yang menyebabkannya ingin berkenalan dengan bu Rus dan saya, adalah karena dia seperti bu Rus kesulitan mendapat obat suntikan. Selanjutnya supaya tidak jatuh mentalnya, Zuster Maria yang beberapa kali lalu lalang di dekat kami membisiki untuk mengobrol dengan perempuan berbaju hijau, yaitu saya, yang katanya kondisinya jauh lebih buruk daripada dirinya. Saya pun tersipu-sipu malu, sebab tak menyangka akan dijadikan rujukan pasien yang mulai kehilangan gairah hidup sewaktu kecewa menjalani pengobatan yang nyaris tak ada ujungnya ini.

***



Tak terasa dokter datang dan mulai berpraktek. Kebanyakan pasien justru belum datang karena mengira dokter akan berpraktek sore hari seperti biasanya. Tapi saya katakan kepada bu Nenti dan bu Rus hari ini beliau datang pagi, seperti janjinya kepada saya lewat SMS. Mereka terheran-heran saya bisa menghubungi dokter kami, meski mereka tahu dokter kami memang baik hati dan ramah tamah. Kami semua ternyata memang dibujuki olehnya untuk minta bantuan pemerintah sebab pengobatan kanker terkenal menguras harta benda seperti yang sudah saya alami. Saya katakan, saya tidak berani menelepon, tetapi daripada kecewa saya mengirim SMS malam hari meminta kepastian waktu praktek beliau di hari itu. Lalu beramai-ramai keduanya meminta nomor dokter untuk mereka catat di ponsel masing-masing.

Beberapa pasien yang tidak datang menyebabkan saya dipanggil lebih awal. Dengan diiringi senyumnya dokter menyambut saya dengan tangan terulur. "Apa kabar ibu?" Sapanya setelah bersalaman. Saya ceritakan bahwa kemoterapi ketiga saya sudah berjalan dikontrol dokter bedah umum seperti yang disarankannya. Hasilnya saya tidak muntah-muntah, pun bisul-bisul saya yang mulai sembuh tak meradang kembali. Cuma rasa panas di tubuh yang belum mau reda. Tak lupa saya sebutkan bahwa meski payudara saya cenderung mengecil tetapi kelenjar ketiak saya sakit dan agak sedikit membengkak. Saya pun berterus terang bahwa selama ini saya makan obat herbal sinshe juga selain obat yang diresepkannya. Kebetulan saya kehabisan stock obat antiradang dan antibengkak, sehingga saya kesakitan. Beliau tidak nampak terkejut atas laporan saya mengenai obat sinshe itu. Lagi pula saya tekankan bahwa saya memberi jarak dua jam antar obat-obatan itu. 

Saya kemudian berbaring di meja pemeriksaan, untuk diperiksa kali ini dengan amat teliti. Tangannya meraba cermat setiap sisi tumor saya, lalu beralih ke ketiak. Di ketiak itulah beliau membenarkan keluhan saya. "Ya, di sini, ya? Sedikit terinflamasi memang," putusnya. Beliau lalu mengingatkan ketika pertama kali datang berobat kepadanya kondisi payudara saya justru amat hebat. "Dulu payudara ibu flaring up sampai teraba besar sekali," katanya kemudian sebelum menanyai saya apakah saya bersedia dikemoterapi sekali lagi atau mau langsung dioperasi.

Saya katakan saya tidak bisa memutuskan untuk diri sendiri, karena saya bukan dokter. Seterusnya saya serahkan kepada beliau apa yang terbaik. Sebab saya tidak takut dioperasi meski saya tegaskan bahwa pihak RSK Dharmais kantor beliau sebagai PNS tidak menerima pasien dengan Jamkesda dari Bogor, hanya menerima pasien peserta Askes PNS. Karenanya saya tak berkeberatan dioperasi di Bogor dengan catatan beliau bersedia melimpahkan waktu pemeriksaan pasien kepada dokter bedah umum itu lagi. 

"Kalau dikemoterapi sekali lagi bagaimana?" Tantangnya sambil memperhatikan kesungguhan saya. "Itu tak jadi soal, sebab selama ini saya tak kena efek buruk seperti kebanyakan pasien lain. Bahkan kepala saya sekarang pun sudah mulai ditumbuhi rambut juga bisul-bisul saya mengering sembuh," jawab saya ringan. "Alhamdulillah kalau begitu, jadi kemo saja lagi ya mbak?" Tantangnya tajam yang segera saya sambut dengan anggukan tegas. 

Sejurus kemudian beliau mulai menyiapkan surat-surat keperluan persiapan kemoterapi saya yang diistilahkan sebagai "protokol kemo". Sementara itu jeng Ninik yang dulu saya panggil bu Zuster membantu saya dengan sepenuh hati termasuk kemudian mengantarkan saya secara khusus ke apotik untuk menyerahkan resep-resep obat kemoterapi saya dengan pesan khusus. Saya merasa bersyukur dan amat bahagia karenanya. Ternyata, saya masih harus menjalani sekali lagi kemoterapi itu sebelum kelak saya dioperasi untuk membuang jaringan yang mengganggu dan menyakiti saya. Tak apa saya lakukan dengan ikhlas, selama masih ada ketulusan cinta kasih orang-orang di sekitar saya, jalan panjang menuju ke kesembuhan bukan hal yang membuat saya menderita. Dunia tetap saja indah adanya.

(Bersambung)

Rabu, 15 Mei 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (59)





Belajarlah hingga ke negeri Cina, begitu pepatah lama berakar di dalam masyarakat Indonesia. Bahkan "indoktrinasi" itu pun ada di dalam ceramah-ceramah agama, yang menandakan bahwa sejak dulu kala ras Cina diakui Allah sebagai ras yang pandainya bukan main. Kita tak perlu takut-takut belajar dari Cina kalau kita ingin menjadi lebih baik, ingin maju, dan seterusnya. Begitulah intinya.

Pepatah itu kini bisa berubah menjadi "Berobatlah hingga ke negeri Cina". Percaya atau tidak, untuk para penderita kanker itu ada benarnya. Tidak hanya pada diri saya saja yang selama ini mendobeli pengobatan medis empiris dengan pengobatan a la Cina, yakni totok syaraf dan herbalnya, melainkan pada pasien-pasien kanker lainnya seperti yang ditulis sebuah harian nasional besar hari ini. "PENYAKIT KANKER Kolaborasi Obat Tradisional dan Modern bisa Effektif", demikian tulis SKH Kompas (16/05) di halaman 14 yang saya baca sambil sarapan barusan.

Berita yang ditulis dari Guangzhou sehubungan dengan Pertemuan Tenaga Medis dan Media dari Cina, Indonesia, Hongkong dan Makau itu menyatakan bahwa di RS Tumor Nanyang di Guangzhou yang dirintis tahun 1978 setidaknya 120.000 pasien tumor disembuhkan dengan tingkat hidup di atas 5 tahun mencapai 83,3 persen. Mereka menerima terapi herbal di sana, yang merupakan metoda pengobatan orang Timur, selain juga menjalani pengobatan Barat secara medis empiris. Karena keberhasilannya itu RS di Amerika Serikat pun mulai melirik penerapan pengobatan medis yang dikolaborasikan dengan pengobatan empirik ini. Tak heran kiranya, sebab dikutip Kompas, seorang perawat asal Surakarta yang sedang bekerja di RS Nanyang itu mengatakan bahwa pengobatan herbal ini memang menjadi andalan. Terbukti para pasien di situ antibodi atau zat kekebalan tubuhnya serta nafsu makan tidak menurun. Padahal umumnya pasien yang menerima kemoterapi merasa sel darah putihnya turun, antibodinya berkurang dan tidak bernafsu makan.

Saya setuju benar dengan pernyataan ini. Sebab selama menjalani pengobatan dari sinshe saya yang memang orang Indonesia bernenek moyang dari Guangzhou, saya tak pernah menjadi sesakit pasien kemoterapi pada umumnya. Kadar haemoglobin saya senantiasa dinyatakan baik dan siap untuk menjalani kemoterapi berikutnya, bahkan saya boleh dikata tidak pernah muntah-muntah. Hanya nafsu makan saja yang berkurang, meski toch dengan dipaksakan saya masih sanggup menelan makanan tanpa ada yang keluar lagi. Kelemahan perut saya hanya sedikit, sehingga tubuh saya masih kelihatan segar-bugar. Banyak orang yang menengok saya maupun bertemu secara tak sengaja yang terkagum-kagum karenanya. Adapun berkurangnya antibodi saya hanya pada kulit kepala yang ditumbuhi bisul-bisul kecil yang tidak parah. Saya beruntung tidak sampai mengalami sariawan di seluruh rongga mulut apalagi hingga ke kerongkongan seperti yang dikeluhkan para pasien pada umumnya. Percaya atau tidak, obat dokter tidak banyak diberikan kepada saya. Sekarang pun saya hanya mendapat asupan asam folat, obat pereda nyeri serta anti mual yang amat sangat jarang saya telan.

***





Herbal adalah unsur alamiah yang diciptakan Allah. Semua orang pasti menyetujui pendapat saya ini. Dan bagaimana pun juga orang yang tak meragukan Allah beserta penciptaanNya tak bisa mengingkari bahwa herbal baik yang berupa sayur-sayuran, buah-buahan, umbi-umbian maupun dedaunan dan akar-akaran banyak manfaatnya bagi tubuh. Di salah satu media internet pernah saya baca bahwa menurut penelitian/uji klinik yang dilakukan di luar negeri (Perth) sesungguhnya banyak tanaman yang mengandung unsur teurapetik (penyembuhan) tapi perlu digali dulu secara uji ilmiah. Tak sia-sia memang Allah menciptakan segala tetumbuhan.

Contohnya flavonoid, pigmen yang memberi warna pada tumbuh-tumbuhan mempunyai banyak kegunaan antara lain menekan radang, mengontrol kadar gula darah, memperbaiki respons imun, melawan sel kanker dan memproteksi terhadap serangan jantung. Pernyataan ilmiah ini sejalan dengan pendapat sinshe saya yang menyebutkan bahwa mengonsumsi buah-buahan berwarna cerah serta sayuran hijau tua brokoli dan bayam misalnya, amat baik untuk penderita kanker. Itu sebabnya saya diharuskannya mengonsumsi buah-buahan baik berupa buah segar maupun berupa juice setiap hari.

Akan tetapi flavonoid dalam buah-buah apa sajakah yang cocok untuk penderita kanker, itu perlu dipelajari lebih lanjut. Sebab artikel ilmiah tadi menuliskan bahwa kadar dan tipe flavonoid dalam tumbuhan bervariasi di dalam tiap jenis tumbuhan. 

Dalam artikel itu ditulis bahwa kanker merupakan penyakit peradangan. Ketika tubuh memproduksi radang sebagai reaksi terhadap luka atau infeksi, akan diproduksi molekul organik yang siap bereaksi (substrat) yang juga dapat mempengaruhi tumbuhnya kanker.

Bila terjadi radang kronis seperti tukak yang disebabkan bakteri di dalam perut, maka konsekuensinya tidak hanya memicu terjadinya kanker melainkan sekaligus memicu pertumbuhannya. 

Flavonoid itulah yang berperan dalam memerangi kanker baik sebagai antiradang, antikanker, dengan merangsang kematian sel kanker, antipenyebaran sel, antipertumbuhan sel darah baru bahkan mampu meningkatkan kerja kemoterapi serta mengurangi efek racun pemberian kemoterapi pada sel-sel tubuh yang masih sehat. Inilah kehebatan dari herbal. Maka tak ada salahnya jika sekarang kita kombinasikan saja kedua metoda pengobatan itu, medis empiris yang menganut aliran penelitian ilmiah barat dengan herbal yang juga sudah diteliti pakarnya secara penelitian timur. Bahkan saya jadi berharap, tak harus bergantung jauh-jauh ke negeri Cina, pakar pengobatan jamu Indonesia pun sebaiknya terus meneliti kemungkinan pemanfaatan tetumbuhan Indonesia untuk menekan kematian akibat kanker.

***




Catatan saya di atas bukan tanpa bukti hari-hari terakhir ini. Kemarin adalah saatnya saya diterapi sinshe. Saya mengeluhkan nyeri di sekitar ketiak saya yang imbasnya sampai ke tengah-tengah rongga dada karena saya sempat kehabisan stock jamu sinshe selama beberapa hari. Pasalnya jamu yang sudah dipermodern sehingga harga jualnya bisa ditekan sekaligus memudahkan pasien mengonsumsinya, ditempatkan di selongsong kapsul yang mirip satu sama lain. Sebagai orang awam yang tidak tahu-menahu saya keliru menandai obat-obatan itu. Sehingga ketika minggu lalu saya pergi berobat kepadanya, saya katakan bahwa saya kehabisan vitamin yang penampakan kapsulnya sangat serupa dengan jamu anti inflamasi/radang. Akibatnya saya jadi kelebihan suply vitamin tapi kehabisan sama sekali jamu anti radang itu. Baru kemarin sore sinshe saya menunjukkan, bahwa sebetulnya keduanya berbeda wajah. Sebab yang satu di selongsongnya ditandai dengan huruf kanji Cina untuk menamai, sedangkan vitamin tidak memakai tanda huruf. Ah ya, alangkah tidak telitinya saya.

Sinshe kemudian menotok syaraf saya dimulai dari telapak kaki terlebih dulu. Dia bilang, betul ada sedikit peradangan di kelenjar ketiak saya yang meningkat keaktifannya. Tapi tidak separah yang diduga. Apalagi saya katakan saya sempat mengonsumsi buah-buahan lebih banyak sebagai ganti jamu yang tak ada itu atas inisiatif saya sendiri. 

Selanjutnya kata sinshe, daya tahan tubuh saya masih cukup bagus. Sel-sel darah saya tidak ada yang terganggu. Pencernaan pun demikian, hanya menimbulkan berkurangnya nafsu makan namun saya tak sampai mual-muntah. 

Betul sekali, sinshe saya tepat! Sampai saat ini saya tidak seperi kebanyakan pasien lain, masih mampu makan dengan baik. Bahkan terkadang saya ingin makan yang tidak-tidak, yang tentu saja melanggar aturan diet sinshe saya. Benar-benar bisa dipercaya bahwa kolaborasi pengobatan tradisional dengan medis itu membawa manfaat. Lihatlah pada diri saya, ini contohnya yang nyata. Alhamdulillah!

(Bersambung)

Senin, 13 Mei 2013

MENAKAR PIKIRAN MANUSIA DI BALIK "ENTRI"






Awal keberadaan saya di lahan bermain ini adalah karena saya terlebih dulu memiliki sebuah akun Google sebagai alamat surat elektronik saya. Dulu sekali saya manfaatkan untuk membuka sebuah situs di lahan bermain yang kini sudah ditutup karena saya waktu itu merasa perlu membuka dua situs di tempat yang sama. Alasannya, tentu saja karena isi masing-masing situs itu tidak sama sehingga tak mungkin digabungkan. 

Bekal itulah yang akhirnya melahirkan blog ini pasca penutupan kedua situs saya. Dengan nekad saya gabungkan saja kedua-duanya yang masing-masing sudah punya banyak kontak, yakni semacam follower di blogger ini. Sebab saya kini sudah sakit-sakitan dan tak sanggup lagi untuk mengelola dua situs sekaligus. Kesempatan saya menulis serta mengkhayal tak banyak lagi, tersita oleh waktu istirahat yang semakin banyak dibutuhkan tubuh saya.

Semula saya cuma punya beberapa orang follower saja di sini, bahkan hingga kini. Sebab sejak di lahan bermain yang lama pun saya bukan tipe orang yang suka mencari teman. Cuma suka berteman tapi tanpa keterikatan yang mendalam. Soalnya saya merasa isi blog saya tidak begitu menarik, apalagi untuk kalangan orang-orang muda yang memang menguasai dunia maya. 

Di lahan bermain yang lama, siapa-siapa yang bisa masuk memberikan komentarnya sangatlah terbatas, terutama jika isi blog kita dikhususkan untuk para kontak saja. Sungguh berbeda dengan lahan di blogger ini. Dulu di sana setiap kontak yang masuk akan tercatat dengan baik pada setiap postingan. Sedangkan yang bukan kontak pun ada kelihatan. Bahkan istimewanya, jika seseorang yang masuk ke blog di situ tidak memiliki akun di sana, mereka tetap bisa membaca postingan yang ditujukan untuk semua pihak lalu mengomentarinya sekalian jika mereka memutuskan untuk bergabung membuka sebuah akun. 

Di masa itu kami sesama blogger di situ jadi satu kesatuan yang amat mesra. Pertemuan-pertemuan baik terencana mau pun tidak, dalam jumlah banyak atau sedikit sering sekali diadakan. Pertemuan ini diisi dengan silaturahmi bersama keluarga masing-masing pemilik blog sehingga rasa persaudaraan akhirnya terjalin benar sebagaimana kehidupan di dunia nyata. Komunikasi pun tidak lagi hanya sekedar saling menyapa, melainkan berbagi dan memberikan dukungan. Tak harus melalui tulisan terbuka, kami bisa membuatnya menjadi pribadi melalui suatu cara yang disebut sebagai "Personal Message". Tak salah lagi jika akhirnya komunikasi kami jadi sedemikian intens, menggairahkan dan seringkali bersifat kekeluargaan. Tapi sayang, lahan bermain kami yang lama tidak menampilkan riwayat apa kata kunci yang menyebabkan seseorang yang semula belum saling mengenal tiba-tiba bisa sampai di blog kita lalu merasa tertarik untuk menjalin silaturahmi seperti itu. Berbeda sekali dengan di blogger sini.

***

Setelah bergabung selama hampir setahun, saya akhirnya mulai menguasai teknologi yang dipunyai Blogger. Blogspot lahan bermain saya memiliki kemampuan untuk memantau laju pergerakan dan peredaran blog saya. Maksud saya, siapa saja orang yang datang ke blog saya dan dari mana, meski tidak ada namanya, bisa terpantau dengan jelas. Mereka membuat kolom berisi grafik dan entri-entri untuk menjelaskan itu. Dengan demikian, sebagai pemilik situs kita terpancing untuk senantiasa memperbaharui isi situs kita ketika kita sadari bahwa banyak orang dari berbagai belahan bumi tertarik datang setiap hari ke tempat kita. Statistik blog yang kita kelola ini, antara lain beginilah wujudnya :




 Kalau saya tampilkan di sini penuturan saya akan panjang. Jadi, sekarang lebih baik saya sarikan saja apa yang saya maksud. Grafik tadi masih diperinci oleh administrator blogger dengan menampilkan entri-entri mana saja yang dibuka oleh pengunjung blog saya. Diperjelas dengan apa yang mereka ketikkan di mesin pencari sehingga sampai di tempat saya. 

Sampai di situ saya bisa menerima penjelasannya. Namun sayang, ketika saya cermati perihal kata kunci yang mereka ketikkan, alangkah kecewanya saya. Sebab ada kata-kata yang tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan isi tulisan saya. Di mana kata-katanya mencerminkan sesuatu hal yang untuk saya sangat tidak baik, tidak menarik dan tidak sopan. Inilah contohnya :

Pada kolom "telusuri kata kunci" saya mendapati kata-kata, "anus perut bapak nafsu". Entah apa maksud seseorang yang memasukkan kata-kata kunci tersebut di mesin google. Entah bagaimana pula bisa tersangkut di blog saya, padahal saya tak pernah membahas soal anus, soal perut, soal bapak, apalagi soal nafsu. Kalau soal perut sih mungkin saja, ada beberapa jurnal saya yang membahas mengenai keluhan rasa sakit di perut. Soal bapak, boleh saja, karena ada kalanya saya bercerita mengenai keluarga saya secara lengkap termasuk tentang masa kecil saya bersama bapak dan ibu saya. Lha, tapi soal anus dan nafsu, bagaimana mungkin ada di sini coba?! :-(

Kalau dipikir-pikir, kelihatannya pencari info sedang kelimpungan ingin menakar nafsu syahwat seorang bapak-bapak, bukan?! Hahahaha....... gila sekali! Nafsu syahwat sampai di"ubek-ubek" di blog. Apa kiranya yang ada di hati dan pikiran pembaca yang begini? Wallahu 'alam.

Selain itu, ada kata-kata kunci lain yang juga mencengangkan saya. Antara lain bunyinya begini, "saya pun mengawasi pelaksanaan". Wah, apa pula ini? Pelaksanaan apa, dan mengapa saya harus mengawasinya? Hihihihihi....... aneh dan tak masuk akal.

Tapi alhamdulillah, entri-entri lainnya sih masih boleh lah, cukup masuk akal dan menyenangkan untuk disimak. Bunyinya antara lain begini, "saya diikuti rasa kaku yang", yang menurut saya merujuk kepada gejala-gejala penyakit seperti yang saya derita. Lalu "yang ternyata adalah doa yang", yang juga menyangkut beberapa jurnal saya yang berwacana agama. Kemudian, "ciri-ciri tumor ganas ovarium stadium" yang juga berkaitan dengan penyakit saya. Selanjutnya, sesuatu yang sudah sangat lama tak saya bahas di jurnal saya yang mana pun yakni, "dalam dekapan ibu mertua" sebab saya memang sudah tak lagi punya mertua sejak beliau dipanggil ke haribaanNya.

Jadi, bagaimana dengan lahan bermain yang ini? Untuk saya sih cukup unik dan menggemaskan. Walau syah-syah saja sih keberadaannya. Toch tidak secara spesifik menyinggung nama seseorang blogger. Yang jelas, di samping kata-kata kunci tadi, ternyata banyak lho yang memasukkan kata kunci "bundel jandra22" atau "bundel jandra blogspot" begitu saja untuk menjangkau saya dan keberadaan "rumah pertapaan" saya ini. Aih, asyik juga deh.........

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (58)







Nyeri. Itu perasaan yang timbul di tumor pada kelenjar ketiak saya semalam. Padahal sebelum tidur saya sengaja menelan obat pereda nyeri terlebih dulu untuk mengantisipasi seandainya tiba-tiba sengatan sakit itu datang di saat seharusnya saya lena dalam mimpi. Ketika dokter memeriksa saya di ruang kemoterapi kemarin dulu, beliau bertanya tentang rasa sakit itu. Sehebat apa saya menilainya. Secara jujur saya katakan di atas angka 6, yang artinya nyaris tak tertahankan tanpa bantuan obat. Sehingga akhirnya beliau mengalah menuliskan resepnya untuk saya, meski ternyata kemudian dicoret entah oleh siapa sebelum diserahkan kepada petugas apotik. Saya pun kemudian mengiba kepada perawat sebab saya rasa tak mungkin saya menahan nyeri yang boleh dikata sering datang itu tanpa obat dokter. Apalagi jamu herbal dari sinshe yang diklaim teman baik saya membantu menghilangkan rasa nyerinya, untuk saya tak membawa efek sebaik itu. Ya, setiap orang tentu punya daya tahan tubuh sendiri-sendiri, bukan?!

Jadi begitu bangun tidur dan turun ke ruang makan, yang pertama saya lakukan tentu saja seperti biasanya menyeduh kopi, membuat juice untuk sarapan pagi lalu mandi. Tapi hari ini saya sengaja makan dulu sebelum mandi. Sepiring ketan dengan semug teh jahe mengiringi kopi yang duluan masuk ke perut sebagai "pembuka aura pagi". Segera setelahnya saya menelan obat sebab denyutan di area tubuh saya yang sakit tak juga kunjung mereda. Dalam pada itu, saya sambil menonton televisi menjaring berita yang sayangnya kemudian diikuti berita duka cita tentang meninggalnya seorang presenter cantik, Nira Stania dalam usia 38 tahun. Kata berita tadi, setelah dua tahun mengidap kanker payudara ~yang sayangnya selama ini tak pernah ditampakkannya di layar kaca~, beliau berpulang menyerah kepada ganasnya penyakit ini. Innalillahi wa innailaihi rajiun. Semua yang bernyawa memang kepunyaanNya, dan akan kembali ke haribaanNya jua. Saya mendoakan yang terbaik bagi almarhumah Nira yang meninggalkan dua buah hati kecil-kecil seorang gadis berumur sekitar sebelas tahun dengan adik lelakinya yang kira-kira baru tujuh tahun saja. 

Berita meninggalnya Nira membuat saya terpukul juga. Sebab selama ini kalau saya melihatnya membawakan acara dengan baik di televisi, saya tak melihat bahwa dia dalam keadaan sakit. Padahal terus terang saja, saya baru sekitar satu-dua tahun ini mengamati wajahnya yang cantik dengan serius sebab dulunya dia selalu tampil pagi hari sebagai presenter berita infotaintment yang tak begitu saya nikmati. Baru sesudah dia tampil malam hari membawakan acara serius di sebuah stasion televisi ternama mata saya sering mengamati sosoknya. Tubuhnya selalu nampak fit, bugar cantik jelita. Ah, ternyata begitu pandainya dia menyembunyikan semua rasa sakitnya, persis seperti kata presenter Irfan Malik teman sepekerjaannya yang dikutip internet. 

***

Hari ini saya pun cuma berbaring di kasur sejak pagi hingga gelap malam. Bukan karena saya membayangkan kepergian Nira, melainkan kebetulan pula sakit yang mendera saya tak juga kunjung reda meski saya sudah minum obat. Dengan tidur saya berharap semuanya akan berlalu.

Nyatanya saya malah bermimpi. Di mimpi itu saya seakan-akan sedang bepergian beramai-ramai dengan suatu komunitas orang-orang muda yang memiliki anak-anak kecil naik sebuah mobil yang padat. Riuh sekali suasana di dalamnya. Tapi saya amat menikmatinya. Mobil berjalan menyusuri daerah tandus berbatu-batu yang mendaki tajam lalu menikung dan menukik. Saya tak tahu kami ada di mana dan akan ke mana. Yang jelas kami sepertinya berpiknik sampai akhirnya kami berhenti di sebuah tempat. Di situ kami turun. Saya mengambil air sembahyang lalu mencari tempat bersujud, sementara yang lain berpencaran sendiri-sendiri. Di antaranya ada yang berziarah ke sebuah makam keramat di daerah bukit. Entah bagaimana selanjutnya, yang saya ingat akhirnya adalah kami kembali naik mobil itu yang katanya akan dipakai mengantarkan saya ke tempat tinggal saya.

Keringat dingin membasahi pakaian saya di balik selimut begitu saya terjaga. Kedua anak saya ada di dekat saya sedang bermain games berdua. Nampaknya mereka sengaja ingin menemani saya, khawatir terjadi sesuatu pada diri saya. 

Mata saya nyalang melihat ke luar jendela. Matahari sudah redup. Bergegas saya menyebut nama Allah dan menggusur kaki ke kamar mandi. Saya nyaris terlambat menunaikan sembahyang sore hari. Maghrib hampir tiba. Anak-anak saya bilang mereka sengaja tak mau membangunkan saya, sebab takut saya terganggu dari tidur nyenyak saya. 

Sepercik-dua percik air menyadarkan saya sepenuhnya bahwa saya masih diberi panjang umur untuk terus-menerus mengabdi kepadaNya. Maka segera saya ambil telekung saya dan saya tunaikan Ashar yang tertunda jauh. Sambil berkomunikasi dengan Allah Swt air mata saya nyaris tumpah. Saya betul-betul ketakutan akan segera diambil menghadap kembali kepadaNya. Sebab saya tak kuasa juga mengatasi rasa nyeri yang kini terasa hingga di belahan dada saya. Tapi saya coba untuk menahan lelehan itu, hingga akhirnya saya larut kembali di dalam dzikir yang menyambungkan saya hingga ke waktu Maghrib. 

Lalu selepas maghrib saya gunakan untuk mengobrol dengan anak-anak supaya hati saya terhibur. Tapi saya ceritakan juga soal mimpi itu. Anak-anak tak berkomentar banyak. Mereka cuma minta saya senantiasa menyebut nama Allah dan menenangkan diri. Siapa pun tahu itu, batin saya. Akhirnya saya beranjak ke muka layar komputer pribadi saya untuk melanjutkan mengetik satu-dua baris isi hati saya. Tapi, ah, sayangnya saya belum mampu berkonsentrasi.

Akhirnya saya kembali ke atas kasur selepas makan malam. Hanya diselingi dengan menonton televisi sejenak. Jauh di dalam hati saya tetap ada rasa was-was akankah penyakit saya meruyak kembali? Semoga saja tidak. Hari-hari yang indah masih menantang untuk disambangi. Siapa bilang saya tidak ingin menikmatinya? Insya Allah kalau saya istirahatkan tubuh saya, saya pun bisa menikmati semuanya. Yaitu kemegahan alam yang sudah sangat lama tidak saya kunjungi disebabkan keterbatasan tenaga saya sekarang. 

(Bersambung)
 

Sabtu, 11 Mei 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (57)






Kejutan! Selalu saja ada kejutan di dalam rangkaian kehidupan saya. Tak habis-habisnya, semua datang bersusul-susulan satu demi satu. Tanpa kecuali hari kemarin, ketika saya menjalani kemoterapi saya yang ketiga, yang sedihnya tidak juga diawasi sendiri oleh onkologis saya, karena dokter yang satu ini sibuk mengoperasi para pasiennya seharian sehingga tak punya kesempatan untuk keluar menjenguk ruang kemoterapi yang diisi 3 orang pasiennya ditambah tentu saja satu pasien sejawatnya. Namun tak mengapa, dokter bedah umum yang biasa menggantikan beliau tetap bersedia menjalankan tugasnya dengan ketelitian yang saya akui tak ada bandingnya. Alhamdulillah!

Kejutan kemarin dihadiahkan oleh kerabat saya yang jarang berhubungan meski beliau cuma tinggal di Jakarta saja. Masalahnya saya jarang ke luar rumah dan beliau sendiri juga sibuk bersama keluarga besarnya. 

Tengah saya menunggu saatnya jarum infus dimasukkan, di antara keluar masuknya para petugas rumah sakit ke ruang kemoterapi tiba-tiba masuklah salah seorang perawat yang saya sudah sering berhubungan dan merupakan favorit saya. Wajahnya yang bulat, dihiasi senyuman, membuat saya menyukainya. Cantik, "moblong-moblong", begitu selalu saya gumamkan kepada anak saya yang menemani saya ke klinik dokter spesialis penyakit dalam tempatnya bertugas. Saya sudah menduga dia orang Jawa meski saya tak berani menanyakan dari mana asal orang tuanya.

Saya sempat mendengar beliau menanyakan nama saya kepada teh Nining, perawat onkologis yang juga saya sukai. Bersama bu Hajah, perawat berhidung mancung dengan wajah tirus hitam manis beliau menjawab bahwa saya ada di bilik ujung. Lalu perawat moblong-moblong tadi masuk menghampiri saya. Setelah menjawab bahwa saya adalah pasien dokter onkologis yang dicarinya, dia pun tersenyum. Sambil mengulurkan tangannya dia menanyai saya apakah saya mengenal bapak "M" yang namanya tak asing lagi di telinga saya sebab beliau merupakan kerabat kami. Ketika di awal tahun '60-an beliau akan menyelesaikan penulisan skripsinya di Universitas Gajah Mada, beliau harus melakukan serangkaian penelitian di Bogor. Untuk itu beliau bersama sahabatnya yang saya ingat bernama mas Nara, datang memperkenalkan diri kepada orang tua saya dan sempat tinggal sementara bersama kami. Di mata saya, bapak yang ternyata mertua dari Zuster Ninik, perawat tadi, biasa kami sapa sebagai mas Ranto, berwajah tampan dengan tubuh yang tegap. Kumisnya yang mentereng selalu tercukur rapi sehingga meskipun waktu itu saya masih di TK tetapi saya tidak pernah takut jika disapa dan didekati beliau. Bahkan seringkali kami bepergian bersama mencari angin di waktu sore atau Minggu bertamasya ke Kebun Raya yang merupakan satu-satunya tempat rekreasi waktu itu.

Mas Ranto dan istrinya yang juga moblong ramah, mbak Erna, bahkan pernah menengok saya ketika keluarga saya masih utuh menetap sementara di Austria. Jarak jauh yang harus beliau tempuh semalaman dengan Eurostar dari Jerman tidak menyurutkan langkah untuk mencari saya. Kami pun sempat berjalan-jalan melihat-lihat keindahan pusat kota Wina sambil menemani beliau mencari pernak-pernik yang berkaitan dengan musik klasik termasuk patung Wolfgang Amadeus Mozart yang terkenal itu. Dan yang mengharukan saya, di waktu sore beliau mengingatkan mantan suami saya untuk berbelok ke "Koffie Konditorei" alias kedai kopi karena katanya, mata saya sudah merindukan secangkir kopi kental yang mengepul-ngepul. Tentu saja mantan suami saya terperangah karena tak menyangka beliau mengenal kebiasaan saya sejati. Lalu dengan menggoda mas Ranto menjawab bahwa sejak balita saya selalu minum kopi pagi dan sore sambil duduk dengan ibu dan bapak saya pada waktu tea time. Wah, tak dinyana bukan?!

Saya bertanya kepada mbak Ninik yang masih memanggil saya dengan sebutan tante selayaknya orang asing bagi keluarga saya, namun segera bisa menyesuaikan diri dengan memanggil bulik atau ibu saja sebagaimana lain-lainnya, dari siapa dia tahu keberadaan saya hari itu. Pasalnya saya tidak pernah mampir memberitahukan jadwal kemoterapi saya yang diundur ini ke klinik dokter ahli penyakit dalam boss beliau. "Dari Papa kelihatannya, sebab saya terima BBM dari Mama tentang tante," katanya. Saya tak merasa yakin akan jawabannya, pasalnya saya merahasiakan penyakit saya kepada keluarga besar saya, kecuali orang-orang terdekat saya atau anak-anak saya, yakni mereka yang menjalin kontak di Facebook dengan mereka. Belakangan setelah tiba di rumah baru saya ketahui dari kakak saya bahwa ibu mertuanya tadi pagi menelepon sehingga akhirnya kakak saya berterus terang. Subhanallah, sungguh tak disangka-sangka, di RS yang lumayan lengkap untuk ukuran kota kami ini ternyata saya punya kerabat yang sewaktu-waktu saya harap bisa menjadi penghubung kalau saya mengalami sesuatu kesulitan dengan pihak rumah sakit. Alhamdulillah!



***



Tentu saja Zuster Ninik tak bisa berlama-lama menemui saya, beliau cuma menyampaikan doa dan salam dari keluarganya sebab harus segera menunaikan tugasnya. Tapi kami berjanji untuk senantiasa menjalin hubungan sejak itu. Berturut-turut dengan itu, perawat jaga mengukur tensi saya yang alhamdulillah terkontrol baik karena saya sekarang rutin mengonsumsi obat penurun tekanan darah yang diresepkan oleh atasan mbak Ninik. Setelah itu sambil menunggu datangnya dokter jaga ruangan saya mencuri-curi dengar percakapan perawat dengan para pasien. Ibu yang tepat di sebelah bilik saya sama-sama merupakan pasien dokter onkologi saya seperti halnya pasien di bilik VIP yang saya dengar memakai obat kelas satu yang baru saja launching itu, yakni Herceptin yang dulu diagendakan juga untuk saya namun tak terbayar karena harganya yang lima puluh dua juta rupiah untuk sekali kemoterapi. Sedangkan seorang lainnya adalah pasien onkologis satunya. Tapi sayang entah dengan alasan apa, onkologis yang ini tidak menampakkan diri hingga selesai dikemoterapi. Seperti yang sudah-sudah memang biasa beliau harus selalu ditelepon dulu berulang-ulang kali oleh para perawat jaga.

Setelah agak jemu barulah datang dokter jaga ruangan yang kembali memeriksa kesiapan fisik saya. Semua dinyatakan sangat baik seperti biasanya, yang saya duga karena diet ketat saya ditambah konsumsi obat-obat herbal dan totok syaraf itu. Beliau kemudian menginstruksikan untuk memulai kemoterapi, daripada terlalu lama menunggu dokter bedah datang sebab beliau baru saja mulai dengan beberapa pasien di kliniknya.



Sebagaimana biasanya, saya cuma diinfus sambil duduk dengan prosedur yang sama juga, yakni pengguyuran cairan di dalam tubuh dengan seliter Natrium Chlorida, baru dimasuki obat infus pertama yang berwarna putih. Sambil diinfus obat pertama dimasukkan kemudian obat-obatan lain melalui suntikan lewat slang infus sehingga menghasilkan efek "berkesan" seperti yang sudah saya ceritakan dulu. 


Kemoterapi sekarang bagi saya nyaris tak ada rasanya lagi. Sepertinya tubuh saya jadi terbiasa. Obat-obatan yang banyak itu masuk dengan sukses ke tubuh bahkan disertai obrolan-obrolan saya sepanjang siang baik dengan keluarga saya yang datang menemani maupun dengan para perawat di ruangan kemoterapi. Pun ketika obat suntikan yang menurut orang umumnya terasa sakit sewaktu dimasukkan, saya tidak bereaksi, bahkan terus saja berbincang sehingga salah seorang perawat menanyai apakah saya tidak kesakitan. Saya hanya tertawa kecil, sebab walau waktu jarum infus akan ditusukkan saya agak merasa seram, tetapi saya sih sudah kebal dengan semua prosedur rumah sakit. Maklum setelah kemoterapi ini akan tiba saatnya saya menjalani operasi yang kedua belas kali sepanjang hidup saya. Oh ya soal seramnya tusukan pertama tadi, lebih disebabkan oleh celetukan Zuster Nining yang mengatakan bahwa kali ini lokasi pengambilan nadi terbaik adalah di pangkal ibu jari saya yang pasti lebih sakit dibandingkan di daerah lainnya. Padahal sih setelah jarumnya masuk, ah, "cipiiiiillllll......." :-D











Saking asyiknya mengobrol dua-tiga kali labu infus habis isinya tanpa ketahuan. Untung ketika saya merasa ingin ke kamar kecil lagi untuk menguras isi kandung kemih seperti kebanyakan pasien kemoterapi lainnya, mata saya dan kemenakan matan suami sama-sama tertumbuk ke infus. Darah sudah berbalik naik dari pembuluh darah saya, sementara tetesan sudah berhenti sama sekali. Untung belum sampai menimbulkan gelembung udara yang akan membahayakan kerja jantung sehingga menewaskan pasien. Saya cuma bisa tersenyum kecut, begitu juga perawat yang melayani saya dengan baik. Agaknya mereka tengah berkonsentrasi kepada pasien di samping saya yang mengeluhkan nyerinya. Walau dia pulang pergi sendirian ke RS dari rumahnya di wilayah Kabupaten, ternyata dia menderita kanker tulang yang mengakibatkan nyeri itu. Tapi Subhanallah untuknya, dia mampu menyelesaikan seluruh perjalanan ganti berganti angkutan kota sebegitu seringnya. Tak terbayangkan andaikata saya yang harus mengalaminya. Pasalnya dengan rela dia melepaskan suaminya pergi bekerja, sementara anak-anaknya tinggal jauh di luar kota bahkan yang bungsu di rumah pun pergi sekolah. Begitu rupanya nasib masing-masing orang, untuknya saya mendoakan semoga Allah memberkahinya dengan kekuatan yang banyak. Apalagi ketika saya pulang maghrib yang berselisih tiga jam sejak kepulangannya, hujan mengguyur kota kami sangat deras disertai lolongan guruh dan petir yang sahut menyahut mewarnai angkasa kelam. Bagaimana jadinya andaikata ibu tadi masih di jalanan, pikir kami sekeluarga. Akhirnya saya tiba di rumah waktu Isya karena kelamaan menunggu obat di apotik meski angkutan kota yang kami sewa berkat jasa anak pengojek payung mudah didapat. Tapi kejadian seperti ini bukan kali pertama, sebab berhubung banyaknya obat yang saya terima, maka saya selalu jadi pasien yang paling akhir selesai dikemoterapi. Tak apalah, saya akan sembuh juga karenanya.





Itulah satu-satunya foto tempat perawatan saya yang saya dapati dari internet. Bogor tak pernah tidak kena hujan. Baik pagi maupun malam hujan selalu membasahi bumi seperti yang tampak di gambar itu. Ya, mau bagaimana lagi, kota kelahiran saya memang berjuluk "Kota Hujan" sih....?!

(Bersambung)
 

Pita Pink