Powered By Blogger

Kamis, 26 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (156)




Bunga cantik itu memang kecintaan saya. Kemarin saya sengaja menghadiakannya untuk diri sendiri, ketika saya kembali menapaki anak tangga gedung RS Kanker Dharmais menandai setahun pengobatan saya ke dokter. Dua puluh tiga Desember tahun lalu meski saya tidak tertatih-tatih, tapi keadaan saya cukup mengkhawatirkan sehingga teman-teman saya di Dharma Wanita Persatuan berinisiatif untuk mengobatkan saya dengan dana yang mereka kumpulkan sehubungan dengan bakti sosial yang biasa kami selenggarakan dalam peringatan HUT organisasi kami.

Lobby RS pagi itu tidak terlalu penuh, mungkin disebabkan menjelang liburan. Meski begitu tetap saja padat pengunjung, persis seperti setahun lalu waktu saya "berkenalan" dengan suasana RS. Sebab sesungguhnya meski penyakit yang mengancam jiwa saya sudah saya idap kurang lebih setahun, tetapi saya memang belum pernah pergi ke RS untuk memeriksakannya secara sungguh-sungguh. Keterbatasan ekonomi mengarahkan langkah saya ke pengobatan alternatif herbal Cina yang meski menolong tetapi tak membuat sel kanker saya melemah.

Waktu itu tanpa memperhitungkan jadwal cuti teman kami seorang pemeluk Katholik yang kebetulan menjabat sebagai salah satu direktur unit kerja di RSKD, kawan-kawan mengantarkan saya ke kantor beliau. Tumor saya sudah pecah menimbulkan bau dan rawan infeksi sehingga mengganggu kualitas hidup saya. Tentu saja unit kerja beliau masih beroperasi, tetapi beliau cuti natal pulang ke kampung halamannya. Jadi mau tidak mau saya tidak bisa diarahkan beliau bertemu langsung dengan dokter ahli bedah tumor. Tetapi melalui hubungan jarak jauh dengan stafnya, saya diantarkan ke poliklinik perawatan luka dan stoma. Di situlah kali pertama saya merasakan sentuhan tangan pegawai RS untuk kasus penyakit pada payudara dan kelenjar getah bening saya. 

Setelah luka saya dirawat dan membuat janji lagi dengan teman kami itu, tanggal 1 Januari saya diminta datang ke RS guna luka saya diobservasi. Meski RS tutup, tetapi untuk keadaan tertentu ada pegawainya yang melayani pasien, termasuk zuster Rita dari unit perawatan luka. Alangkah senangnya saya diperlakukan istimewa begini. Semangat saya untuk mempertahankan hidup lalu sembuh pun bertumbuh.

3 Januari 2013 saya bertemu di Poliklinik Unit Paliatif dengan perempuan ramah, teman seorganisasi wanita saya sendiri, dr. Maria Astheria Listyani Witjaksono M.PALL membawa perasaan gundah. Saya berpikir bahwa saya dipertemukan dengan dokter paliatif yang bertugas mendampingi pasien-pasien dalam kondisi berat karena penyakit saya tak mungkin bisa ditaklukkan lagi. Ternyata hasil konsultasi dengan perempuan Jawa yang manis ini mencerahkan batin saya. Menurut mbak Ria ~begitu saya memanggilnya~, unit paliatif dimaksudkan juga untuk mendampingi pasien yang baru berobat dalam keadaan sudah lanjut dan karenanya belum terdeteksi dengan baik. Mbak Ria memberi banyak masukan termasuk menunjukkan mana-mana pasien beliau yang telah berhasil lulus dari ujian penyakit mematikan ini.

Dari tangan dr. Maria saya langsung diantarkannya kepada seorang dokter ahli bedah kanker yang cukup berpengalaman, yaitu dr. Walta Gautama, Sp. B (K) Onk. untuk berkonsultasi. Lelaki yang belum genap berusia 50 tahun ini cukup piawai mendeteksi penyakit saya. Pengambilan data penyakit pasien mencakup juga riwayat kesehatan dirinya sendiri dan keluarganya. Setelah itu pasien diminta melakukan pemeriksaan penunjang yaitu USG, mammografi, roentgent dada dan pemindaian tulang (bone scanning).

Hasilnya disimpulkan segera, namun cermat, bahwa saya menderita kanker payudara stadium III-B dengan penyebaran di kelenjar getah bening ketiak. Berhubung saya bermukim di Bogor, maka saya ditanyai terlebih dulu apakah bersedia menjalani pengobatan pada koleganya yang jauh lebih junior di Bogor. Ada pun pasien kanker terutama yang dalam stadium lanjut, menurutnya punya segala keterbatasan. Pengobatan harus dilaksanakan secara intensif, berkesinambungan dan cermat sehingga banyak menyita waktu dan lama. Karena itu stamina pasien akan mudah turun mengakibatkan kelelahan yang harus diperbaiki dengan mengatur irama hidup agar bisa banyak beristirahat. Ini sungguh penjelasan yang masuk di akal.

Telinga saya langsung tegak demi mendengar dr. Walta menyebut nama seseorang yang merupakan warga masyarakat paling ternama di desa saya yang sebetulnya sih di tengah-tengah kota namun luas itu. Sikap rendah hati, dermawan, dan jiwa sosial keluarga itu menjadi buah bibir yang tak mungkin tak diketahui kebanyakan warga. Itulah sebabnya saya merasa bahagia akan dikirim berobat ke tangan dokter muda nan kami sedesa tahu merupakan murid tercerdas semasa sekolah dulu. Harapan akan sembuh di tangannya walau dalam serba keterbatasan saya melambungkan impian menggapai kesehatan prima yang rasa-rasanya seumur-umur belum pernah saya alami.

Secara jujur saya ungkapkan kepada dr. Maria bahwa semenjak sakit, saya sering berharap bisa datang berobat kepadanya setiap kali saya melintas di depan kediaman beliau yang menyisakan kejayaan ayah beliau, ahli onkologi pertama di kota kami yang boleh disebut sebagai perintis keahlian bedah tumor. Tapi keinginan itu tak pernah saya nyatakan apalagi sampai terwujud terkendala rasa rendah diri dan malu hati yang menghambat. Benak saya mengatakan, ongkos berobat kanker pasti sangat besar, sehingga warga masyarakat yang tak kuat secara finansial hanya akan merepotkan saja.

Dr. Maria menanggapi ucapan saya dengan senyuman dan kata-kata yang menyejukkan sambil membelai-belai punggung lengan saya. "Nggak usah takut mbak, berobat ke dia tidak sesusah yang mbak Lilik bayangkan. Pasti ada upaya mencari jalan untuk biaya pengobatan mbak," ujar mbak Ria lembut. Matanya mengerjap-ngerjap namun tak lepas memandangi bola mata saya yang mungkin saja sedang mencoba menahan luapan air mata yang nyaris merebak. Saya lupa sekarang bagaimana wajah saya saat itu. Seingat saya sih senang campur haru.

Akhirnya saya menginjakkan kaki di gedung RS Karya Bhakti (RSKB) Bogor awal tahun 2013 dan menjadi pasien poliklinik 16/Onkologi di bawah penanganan dr. Bayu Brahma Sp.B (K). Onk berbekal surat rujukan dr. Walta Gautama yang disetujui dr. Maria Witjaksono di RS Kanker Dharmais (RSKD) Jakarta. Sebagai pengalaman pertama, saya harus rela mendapat nomor giliran besar yang berarti pasien larut malam disebabkan banyaknya pasien beliau. Di situlah baru saya sadari bahwa masyarakat hingga di wilayah Kabupaten Bogor yang terjauh pun mengenal dan mengetahui keberadaan onkologis kebanggaan kami yang satu ini. Kecermatan beliau dalam mentalaksana pengobatan pasien, keramah tamahan, kesantunan serta jiwa sosial beliau seiring dengan sikap beliau yang informatif lah yang menjadikan beliau rujukan masyarakat Bogor. Padahal ada empat hari praktek dokter onkologi dalam seminggu dengan tenaga dua orang dokter yang handal.

Membaca rujukan kolega seniornya dan mendengar perkenalan diri saya yang singkat, beliau langsung memahami kondisi saya. Semua hasil pemeriksaan penunjang diperhatikan dengan teliti. Lalu saya diperiksa dengan rabaan jarinya. Beliau sepakat dengan koleganya menyatakan saya penderita stadium III B, sama dengan diagnosa sinshe yang membantu menangani saya. Tapi untuk membuktikan keganasan dan tipe serta penyebab tumor itu, saya harus dibiopsi dengan tusukan jarum (fine needle biopsy). Untuk itu saya diminta membeli peralatannya lalu menunggu hingga pasien habis untuk pelaksanaan biopsi itu sendiri. Saya pun harus rela mendapat giliran terakhir dari 3 orang pasien baru malam itu. Namun mengingat malam sudah larut, saya memilih pulang berbekal obat-obatan hormon yang sebelumnya juga sudah saya dapat dari RSKD. Sebab biopsi boleh ditunda hingga kunjungan berikutnya.

Rasanya malam itu saya belum begitu puas, tapi saya lega sebab sudah mulai menjalani langkah pengobatan yang tepat. Ke dokter dan menjalani serangkaian pemeriksaan yang bisa dipertanggungjawabkan sambil makan obat saya rasa menjadi jalan untuk sembuh. Kini tinggal saatnya menunggu biopsi dilakukan.

Sayangnya ketika tiba waktunya berkonsultasi ke klinik lagi dokter berhalangan praktek sehingga pasien beliau dilimpahkan ke klinik dokter spesialis bedah umum. Di situ saya juga mendapati dokter yang bagus sehingga ketika beliau menawari untuk dibiopsi, demi kecepatan pemeriksaan saya menyetujui. Hasilnya semakin menguatkan dugaan bahwa saya menderita tumor ganas stadium III B. Sehingga kemudian onkologis meminta contoh jaringan tumor saya diperiksakan lebih lanjut di Jakarta. Untuk itu saya kembali ke RSKD yang ternyata bekerja sangat lamban karena melanggar aturan yang telah ditetapkan membuat onkologis saya kecewa. Pasalnya beliau menganggap kasus saya perlu penanganan mendesak sebab anak sebar tumor saya di kelenjar getah bening sudah sangat besar.

Hasil pemeriksaan Patologi Anatomi menunjukkan bahwa kanker saya sangat ganas bersumber dari meningkatnya protein yang memicu aktifnya Her2-neu yakni semacam sel bawaan pada tubuh manusia. Sifatnya agresif pula. Tapi dokter tak hendak segera mengoperasi, melainkan menginginkan saya dikemoterapi dulu supaya tumornya mengecil sehingga mudah dioperasi. 

Membayangkan rencana ini, saya kebingungan. Terbayang ongkos mahal yang tak saya miliki. Meski begitu, perkataan dr. Maria terbukti. Onkologis saya menunjukkan jalannya. Saya diberi tahu untuk minta bantuan pemerintah lewat program Jamkesda. Segera saya mengurusnya hingga terkabul, meski sayang tak bisa dipakai membeli obat kemoterapi yang sesuai bagi saya karena harganya terlalu mahal. Akibatnya pasca dikemoterapi separuh lebih dari satu sesi yang seharusnya saya terima, tumor saya tak mengalami perbaikan dan dioperasi dengan tingkat kesulitan tinggi selama 4 jam. 

Untuk itu saya dibawa pindah dokter saya ke RSKD. Di sana sebagai RS Pusat Penelitian Penyakit Kanker, ruang bedahnya sangat memadai. Dokter-dokternya pun banyak, sehingga mengoperasi daerah kelenjar getah bening ketiak saya yang punya banyak pembuluh darah yang amat halus menjadi lebih aman. Nyatanya benar saja, meski nyaris semua serabut kelenjar getah bening saya dibuang sehingga berakibat cacat sebagai konsekuensinya, tetapi alhamdulillah saya selamat. Lengan saya tidak terpaksa diamputasi sebagai akibat kesalahan dokter waktu mengoperasi.

Sudahlah sangat beruntung demikian, saya pun dibebaskan dari sebagian besar biaya selama operasi dan perawatan. Padahal Jamkesda kota kami tak berlaku di RS itu. Dokter rela mengeluarkan biaya pribadinya untuk saya. Subhanallah! Mbak Ria teman saya benar lagi. Saya diberi jalan termudah untuk berobat. Terima kasih dan puji syukur saya nyaris tak ada habisnya.

Berhubung kondisi saya memang sangat buruk, maka ketika tumor itu segera tumbuh kembali di daerah supra clavicula saya hanya dua minggu sehabis dioperasi, dokter memutuskan untuk mengganti obat kemoterapi saya. Saya tidak jadi dikembalikan ke kampung, melainkan dicoba diikutkan penelitian obat yang diselenggarakan di situ. Semua usaha diupayakan bahkan hingga memancing perdebatan sengit. Tapi, beliau memang seorang pegawai yang baik. Setelah diyakini saya tak bisa diikutkan akibat kondisi saya itu, maka saya pun diambil kembali ke Bogor hingga sekarang. Dengan pemberian obat yang sesuai meski harga dan kualitasnya terbilang murahan, kini saya menjalani kemoterapi lagi dari awal didanai pemerintah. Obat ini lah yang saya harap bisa menuntaskan sel kanker saya. Itulah sebabnya setiap seminggu sehabis dikemoterapi saya harus berkonsultasi dan memeriksakan kondisi saya di RSKD.

***

Senin pagi (23/12) ini saya menghabiskan waktu di Instalasi Rehabilitasi Medik menemui dr.Indriani Sp. RM. Dokter ini menjadi rujukan pasca pembedahan yang mengakibatkan lengan kiri saya cacat. Dulu saya diwajibkan datang seminggu tiga kali untuk difisioterapi dan dipantau. Tapi sejak saya pulang ke RS di kampung halaman, 2 bulan lamanya saya tak datang lagi sehingga kedatangan kali ini jadi kejutan untuk mereka. Saya pun terkejut-kejut sebab pasien yang berkunjung bukan lagi orang-orang yang sama. Begitu juga perawat meski masih orang itu-itu juga, tetapi beberapa berpenampilan baru.

Dr. Indri menyatakan kondisi saya stabil. Berhubung saya tak sanggup lagi ke RSKD, maka lengan saya harus difisioterapi sendiri secara manual setiap pagi dan sore di rumah. Kegiatan itu akan membantu menjaga kondisi limfedema di lengan cacat ini. Tak lupa beliau mengingatkan bagaimana saya harus memperlakukan lengan saya serta mengolahragakannya agar tak terjadi kekakuan. Pertanyaan saya soal fisioterapi berkenaan dengan tumor di supra clavicula pun dijawabnya dengan baik. Saya boleh tetap melakukannya dengan gerakan pijatan dari bawah mengarah ke atas tetapi jangan mengenai daerah tumor itu. Alangkah leganya hati saya. Sebab di Bogor tak ada dokter ahli rehabilitasi medik yang khusus menangani pasien limfedema. Sehingga saya tak punya tempat untuk bertanya. Lalu jari-jari saya yang kaku akhir-akhir ini pun saya konsultasikan. Perawat menganjurkan saya minta rujukan ke dokter spesialis syaraf. Konon katanya ini harus diobati oleh dokter syaraf, bukan atasan beliau. Saya berjanji akan membicarakannya kelak dengan onkologis saya terlebih dulu.

Seyogyanya hari itu saya juga akan menghadap Dr.dr. Noorwati Sutandyo Sp. PD. KHOM untuk mengonsultasikan kondisi saya pasca kemoterapi yang dilakukan onkologis saya. Sesungguhnya saya bukan tak mempercayai kemampuan dokter saya, akan tetapi saya dan beliau lebih suka dievaluasi oleh seorang ahli kemoterapi yang juga tak pernah kami miliki di kota kami. Sayang dr. Noor sedang tak berada di tempat, sehingga kami mengalihkan jadwal konsultasi ke poliklinik bedah onkologi. Dalam pada itu saya minta izin lebih dulu melalui SMS.

Ternyata hari itu dokter saya punya tugas mengopersi pasien. Akibatnya praktek di poliklinik tertunda hingga pukul dua siang, dan pasien pun dibatasi hanya sampai 15 orang saja seperti jadwal hari Rabu di kampung. Lamanya menunggu yang melelahkan itu tidak membuat saya jemu, meski anak saya tampak mengantuk. Sebab para pasien beliau asyik berbagi cerita soal penyakit masing-masing dan pribadi dokter kami. Mula-mula saya hanya mengamat-amati dan mendengarkan saja. Terutama uraian seorang nenek cantik yang saya duga berdarah Minangkabau berkisah.

Mengamati penampilannya yang terkesan segar dan chic, kita bisa tahu status sosial beliau. Busananya serba merah cerah mulai dari kerudung hingga alas kakinya. Juga dikenakannya pashmina senada yang membuat kulit beliau semakin berseri-seri. Tampilan ini memupus kesan bahwa wanita di kisaran usia 70 tahun terkesan tua, out of date cenderung kusam. Beliau lah perkecualian itu.

Beliau tinggal di Jakarta, juga di Bogor di dekat RS tempat saya ditangani. Tetapi ternyata beliau cuma berobat di Jakarta saja, menggunakan fasilitas Askes suaminya seorang purna tugas pegawai tinggi suatu kementerian yang menjadi incaran banyak orang karena terkenal sebagai lahan basah. 

Bertahun-tahun lalu kanker payudara beliau sudah dioperasi oleh seorang dokter yang kini sudah wafat di RS Pondok Indah. Tapi kemudian penyakitnya kambuh, sehingga beliau berobat di RSKD. Bagian pendaftaran pasien baru memasukkan beliau ke klinik onkologis muda yang waktu itu baru mulai bertugas. Tak dinyana, beliau adalah putra kandung almarhum dokter senior yang menanganinya dulu. Dan dengan senang hati bersedia melanjutkan tugas ayahandanya. Ketika mendengar kisah ini saya tersenyum sendiri. Sebab itu juga yang banyak ditemui di kampung halaman kami. Istilahnya pasien turun-temurun warisan orang tua. Sementara itu si nenek cantik juga terlihat tersenyum diikuti pujian yang nyaris seragam dengan apa yang sering dilontarkan orang selama ini.

Pasien yang seorang lagi saya dengar baru berumur 59 tahun, meski wajahnya nampak lebih tua. Mungkin penyakitnya sama parah dengan saya, sebab tangannya juga dibalut. Kelihatannya dia pandai menjaga kondisi lengan itu karena bengkaknya tak sebesar saya. Tapi saya simak ceritanya semua penyangga sekresi kelenjar getah bening ketiaknya dibuang dalam operasi lebih dari enam jam. Katanya dia mengikuti program deteksi dini kanker payudara dua tahun yang lalu, di bawah tanggung jawab onkologis kami. Lalu sewaktu diketemukan tumbuh tumor di payudara yang menyebar ke kelenjar getah bening dia dikirim ke poliklinik dan ditangani beliau hingga sekarang. Dalam pengakuannya dia merasa sangat beruntung dalam penanganannya karena dokter muda kami sangat komunikatif dan cermat. 

Sang nenek bergaya menyatakan hal yang sama. Meski kemoterapi menyiksa, menyakiti antara lain dengan membuatnya enggan makan serta merasa kesemutan dan kebas di tangannya, tetapi onkologis kami bisa mengatasinya dengan memuaskan. Beliau membandingkannya dengan konsulen beliau seorang dokter ahli penyakit dalam yang menurutnya "begitu-begitu saja". Saya sendiri memang sering mendengar para pasien dokter yang satu itu mempercakapkan sikap dokter mereka. Tak tahan mendengar celoteh para pasien itu yang dibumbui juga oleh pasien lain, maka saya pun ikut-ikutan bicara. Saya perkenalkan diri sebagai pasien bawaan onkologis kami dari kampung. Jika berobat padanya pasien tak perlu ragu-ragu dan khawatir karena sikap beliau sangat kooperatif terhadap pasien serta hati-hati. Belum lagi kecermatan dan ketelitian sikapnya membuat beliau nyaris setara dengan para pakar yang sudah lama berpraktek. Siang itu pasien di muka poliklinik membenarkan perkataan saya.

Bahkan seorang di antaranya, ibu berumur 43 tahun memujinya seperti memiliki indra ke-enam. Pertama kali dia berobat di kampung halaman suaminya di Cirebon. Di sana payudaranya di mammografi serta dibiopsi, Hasilnya diperintahkan dokter untuk dikonsultasikan lebih lanjut ke Bandung atau Jakarta. Dengan pertimbangan dia punya rumah di Jakarta, maka dia memilih ke RSKD yang konon katanya tak sebegitu jauh dari kediamannya di Tanah Abang. Di sini bagian pendaftaran memasukkannya ke klinik onkologis kami. Dan puja-puji pun langsung dimulai.

Konon pada pertemuan pertama setelah membaca pengantar rujukan dan hasil pemeriksaan dokter di Cirebon, ibu ini langsung diperiksa dengan rabaan tangan. Berdasarkan itu, dokter kami langsung menganjurkan operasi. Persis seperti anjuran dokter di Cirebon. Yang mencengangkan si pasien, dokter kami tak memerlukan pemeriksaan ulang. Sehingga dia menganggap dokter kami bagaikan memiliki indra ke-enam. :-D

Kini para pasien itu sedang dikemoterapi atau sudah selesai sehingga perlu pemeriksaan ulang berkala. Tak ubahnya dengan saya yang juga pasien kemoterapi. Mereka sepakat dengan saya bahwa kemoterapi itu membuat pasien cepat lelah.

Mengingat saya kelelahan, saya putuskan untuk makan siang dulu seraya menunggu dokter. Bu Poer pemilik kantin langganan saya tercengang-cengang menyaksikan kedatangan saya. Terlontar dari mulutnya bahwa dia tak percaya saya akan kembali lagi. :-D Sayang sepiring kecil siomay organik yang dulu bisa saya lahap habis kini seperti sudah kehilangan kelezatannya. Saya cuma sanggup menghabiskan separuhnya akibat berkurangnya nafsu makan pasca kemoterapi.

Tapi untunglah pukul dua dokter mulai membuka poliklinik. Dan saya mendapat giliran kelima. Beliau memeriksa saya sendiri juga membuatkan jadwal baru untuk berkonsultasi dengan dr. Noor, sebab beliau baru bisa menetapkan langkah kemoterapi selanjutnya setelah itu. 

Khusus mengenai kesemutan dan kebas di lengan serta tangan saya, katanya tak perlu dikonsultasikan ke dokter ahli syaraf. Sebab itu juga efek daripada obat kemoterapi yang saya pakai sekarang. Saya diberinya obat untuk meredakannya.

"Jadi saya nggak perlu ke klinik dokter cantik seperti boneka Barbie yang di sebelah dr. Suks itu?" Tanya saya menegaskan, sebab sebetulnya saya juga ingin sesekali melihat sang dokter berambut ikal sepunggung dicat merah itu dari dekat.

"Yang mana? Oh yang di kampung ya?" Dokter saya bertanya balik sambil tersenyum.

"Ya, nggak perlu ya?"

"Nggak usah deh, makan obat aja, itu 'kan baru-baru saja terjadi setelah pakai obat "P" 'kan?" Jawabnya. "Bahkan kaki juga mulai kesemutan juga toch?"

"He.... he... he.... iya. Wis. Mas dokter itu pinter banget. Okay deh saya makan obat," sahut saya.

Anak saya tiba-tiba menyela menunjukkan resep dari dokter di IRM yang katanya bisa digunakan meredakan nyeri dan pegal-pegal lengan saya. Dia memang hanya mengizinkan saya makan obat atas sepengetahuan onkologis saya. Untung setelah dibaca saya diizinkan juga. Dan dalam pada itu kami pun berpamitan untuk bertemu akhir pekan di poliklinik 16. "Sampai jumpa Sabtu ya bu, hati-hati jaga kesehatan," ujar beliau seraya bangkit dari duduknya untuk menyalami saya seraya menepuk-nepuk bahu saya yang sehat dengan dekapan jemari yang hangat. Selalu ada ketenangan batin yang ditularkannya kepada saya. Pasti juga kepada para pasien lain.

(Bersambung)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pita Pink