Powered By Blogger

Kamis, 12 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (149)

Google si mesin yang cerdiknya super spesial menunjukkan kalau hati saya sedang bingung, raut muka saya menjadi seperti gambar di atas. Bibir memble ~jebleh~, alis naik terbang menjauhi kacamata dan kuku yang tak berdosa pun harus rela disakiti. Kelihatannya sih betul. Betul-betul sejelek itu. Whooooaaaaa!!

Penyebab kebingungan saya sebetulnya sepele. Cuma gara-gara anak saya menemukan sebuah buku mengenai penyakit kanker yang ditulis seorang dokter PNS di Jakarta empat belas tahun yang lalu, ketika dia dengan saudaranya mencari "harta karun" peninggalan kakek mereka. Buku yang ditemukan secara tidak sengaja itu membahas mengenai pengobatan kanker dengan ramuan tradisional yang diterbitkan dengan edisi sangat bagus oleh sebuah penerbit ternama. Saya langsung teringat buku itu saya yang membelinya sendiri untuk kakak saya di TB Gramedia, Grage Mall, Cirebon sewaktu saya singgah di kota itu. Walau membahas pengobatan teradisional, tetapi berhubung ditulis dokter maka di dalamnya ada tercantum obat-obat kemoterapi sitostatika yang menggunakan zat-zat kimia itu lho.

Lha, masalahnya di daftar obat sitostatika, ada obat saya yang masih dalam pencarian apotek RS karena katanya stock yang ada di seluruh kota sedikit di bawah dosis yang diminta onkologis saya. Yaitu jumlahnya persis sama dengan stock gudang-gudang farmasi itu. Inilah yang menimbulkan tanda tanya berbuntut kebingungan pada saya.

Dokter penulis buku itu sayangnya sudah wafat tahun lalu dalam usia muda 61 tahun, entah disebabkan apa. Padahal beliau terkenal sebagai dokter yang menekuni pengobatan herbal dan tradisional, akupunktur. Jadi seandainya sekarang saya ingin bertanya kebenaran data obat kemoterapi saya yang ditulis di bukunya ya sudah tidak bisa. Yang bisa saya menanyakan kepada dokter saya. Tapi hendaknya juga secara langsung dengan konsultasi ke ruang polikliniknya sambil memperlihatkan data di buku itu. Tapi sayang juga, hari praktek beliau sudah terlewat, sehingga saya harus menunggu kesempatan berikutnya, lusa.

Dalam ketidakpastian begini anak saya Andrie menyarankan agar nanti malam saya mengirim E-mail atau SMS berisi pertanyaan kepada onkologis saya. Bisa saja sih, dan itu sah, sebab kalau dianggap penting pasti akan dijawab segera. Namun saya jadi kurang puas karena tidak bisa saling bertanya jawab panjang lebar sampai saling memahami. Huh! Pusing lagi deh!

Si bungsu yang baru tahu kemudian setelah seharian membongkari lagi harta karun kakek-neneknya menyarankan untuk tidak buru-buru memutuskan berkonsultasi. Dalam pikirannya informasi yang sudah lama itu barangkali sekarang tak berlaku lagi. Siapa tahu pabrik obat sudah membuat dosis di atasnya. Begitu pendapatnya yang membuat saya bungkam.

Memang kalau sudah bertukar argumentasi dengannya, saya sering tiba-tiba merasa bodoh, kurang pengetahuan sebab serasa tergolong ke dalam "barang edisi lama". Mungkin saja anak saya salah. Artinya meskipun "out of date" tapi saya benar. Namun alasannya cukup masuk di akal. Sebab perkembangan ilmu pengetahuan sekarang amat pesat. Jadi sangat mungkin  obat ini diteliti ulang dan akhirnya dosis tertingginya ditingkatkan. Saya memang penderita kanker stadium akhir, jadi obat saya perlu dosis tertinggi.

Anak saya menyarankan untuk mencari tahu lewat internet. Kalau ternyata info yang ditemukan sama dengan info di buku itu, maka saya baru boleh menghadap onkologis saya. Sebab dia bilang saya akan mempermalukan diri sendiri lagi kalau datang ke dokter saya dengan informasi yang salah. Yaaaahhhhhh....... :-( Dan ternyata pendapatnya benar belaka. Obat saya memang dosis tertinggi itu, bukan seperti yang tertulis di buku zaman kuno yang kami temukan di rumah pusaka yang nyaris hancur. Bingung lagi.....

Begitulah suasana di rumah tangga saya. Cukup demokratis dan saling menghargai pendapat anggota keluarga lainnya. Lagi pula tak pernah ada perselisihan berarti di antara kami. Semua telah terbiasa saling berkomunikasi dan memahami.

***

Saya memahami betul bahwa kanker itu bukan tumor. Walau kedua-duanya adalah "tumbuhan" di dalam badan manusia, tapi kanker bersifat ganas sedangkan tumor itu jinak. Berhubung jinak, tumor tidak membahayakan. Beda sekali dengan kanker yang amat berbahaya apalagi bila telah menyebar dari tempat asal tumbuhnya. Inilah yang terjadi pada diri saya sehingga amat mengkhawatirkan onkologis saya.

Sebetulnya kanker itu tumbuh tidak seketika melainkan secara bertahap. Jika satu sel di antara sekian banyak sel normal di tubuh manusia tiba-tiba mengalami mutasi genetik lalu berkembang dan membelah diri, maka jadilah pertumbuhan awal sel kanker.

Soal pertumbuhan kanker itu menurut dr. Setiawan Dalimartha di dalam bukunya "Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Kanker" (Penebar Swadaya, 1999 hal. 3-4) adalah begini :

"Kanker tumbuh dan berkembang secara bertahap. Pertumbuhannya dimulai ketika satu sel dari sekian banyak sel normal tiba-tiba mengalami mutasi genetik. Sel tersebut kemudian berkembang dan membelah diri. Beberapa tahun kemudian, sel tersebut mengalami mutasi lagi yang menyebabkan pertumbuhan dan ukuran sel menjadi abnormal. Keadaan ini disebut fase displasia. Fase displasia terus berkembang dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat, dan akhirnya akan menjadi kanker in situ, yaitu kanker yang belum menembus batas jaringan kanker itu tumbuh. Beberapa tahun kemudian sel kanker bisa menembus jaringan basal dan menyusup ke jaringan sekitarnya. Keadaan ini dinamakan kanker invasif. Sel kanker juga dapat melepaskan diri dari tempat asalnya dan menembus pembuluh darah atau pembuluh getah bening (limfe). Kemudian bersama aliran darah atau getah bening, sel kanker terbawa ke bagian lain dari tubuh. Di tempat yang baru sel-sel kanker akan tumbuh dengan sifat-sifat yang sama dengan kanker induknya. Penyebaran kanker ke jaringan tubuh yang lainnya ini dinamakan anak sebar (metastasis). Biasanya kematian sukar dihindari bila telah terjadi metastasis."

Inilah yang terjadi pada diri saya sehingga amat mengkhawatirkan onkologis saya. Ini jugalah yang mengganggu pikiran saya jika obat yang saya butuhkan tak juga tersedia di kota kami. 'Kan sudah saya tekadkan 'tuh ya bahwa saya belum mau mati. Jadi mau tak mau saya harus membantu onkologis saya untuk mengakali kasus kelangkaan obat ini.

Terpikir di benak saya untuk pergi membeli sendiri ke Jakarta sebagai pusatnya Indonesia. Dalam pikiran saya masa' iya sih tidak ada stocknya juga?! Saya bisa mencari dana sendiri dulu untuk membelinya, baru kemudian minta penggantian. Tapi sebagai peminta-minta bantuan pemerintah kami khawatir dicap orang mampu yang mengemis mirip kejadian terjaring dan dibinanya dua pengemis pendatang di Jakarta yang ternyata kedapatan kaya-raya dengan uang puluhan juta di gerobaknya. Wah, bahaya juga kalau begitu.

Lalu terpikir untuk menghadap onkologis saya untuk menuliskan ulang resep obat itu dengan meminta dosis terbesar yang ada di gudang obat ditambah dosis terkecil dua ampul sehingga jumlahnya pas dengan kebutuhan saya. Nah ini yang paling mungkin saya lakukan lusa.

Eh ya Allah, ini pun ternyata diprotes anak saya. Katanya saya seperti orang sok pintar. Ingin menggurui pakar kanker yang paling masyhur di tempat kami. Duh, lagi-lagi bingung :-p

Terus bagaimana ya? Tak tahulah saya rasanya semua masih serba gelap.

Tapi tiba-tiba terbit kenekadan saya. Saya minta tolong anak saya saja untuk berkirim SMS kepada dokter saya. Dia pun patuh, sebab dia tahu muka saya sudah kusam ditekuk mirip cucian kotor. 

SMS itu bunyinya mohon persetujuan, sehubungan dengan ketiadaan stock obat C dosis 550 cc apakah mungkin dokter meresepkan satu ampul 450 cc ditambah 2 ampul @ 50 cc (dosis terendah)? Itu benar-benar berasal dari pikiran saya yang buntu dan kehabisan jalan untuk segera diobati.

Tak lama kemudian jawaban melegakan sepotong yang sopan seperti biasanya tersua. "Inggih, silahkan."

"Horray! Boleh 'kan?! Apa kata ibu?" seru saya kegirangan. Girang yang sesungguhnya sebab terbayang stock obat itu pasti mudah didapat! Dan kemoterapi bisa berlangsung dalam waktu dekat. Menggusur jerat kematian kembali menjauh entah beberapa langkah.

"Wadoooh yang senang....., sampai sebegitunya," komentar anak-anak. "Eh bu, jangan dulu senang. Siapa tahu justru dosis terendah juga sama sulitnya dengan dosis tertinggi," timpal si bungsu menggoyahkan kegembiraan saya yang tengah memuncak.

Buru-buru saya bantah dengan alasan ngawur saya. "Justru dosis terendah yang terbanyak di pasaran, you see?!"  Mata saya membeliak mengarah kepadanya yang sedang asyik browsing di PC nya sendiri. Setiap kami memang punya komputer masing-masing agar rahasia pribadi selalu terjaga rapat.

"Ha....ha....., iya deh. Besok mas ke RS tanya dulu ke bu Daisy apoteker. Baru kalau dia bilang mudah dilaksanakan, mas ngurus rujukan untuk ke poliklinik minta dituliskan resep baru," sahutnya.

"Tanya mas dokter dulu, ada di poli nggak hari Sabtu itu?"  Si kakak menyahut begitu mendengar instruksi berwujud usul adiknya.

"Atau eh, siapa tahu malah bisa tanpa resep baru, tinggal dia ambilkan seperti yang kita minta sekarang. Tapi untuk itu besok mas tunjukkan isi SMS mu dengan mas Surgonc dokter istimewa itu," timpal saya membuka wacana lain.

"Ckkk! Ya nggak bisa lah bu, 'kan wujudnya yang keluar dari gudang obat nanti lain. 3 ampul bukan satu seperti di resep aslinya," kata si bungsu yang dibenarkan kakaknya.

"Belum tentu, siapa tahu dia tulis di resep, obat diserahkan dalam dua ampul dosis terendah plus satu ampul dosis tinggi. Yang penting 'kan 550 cc, ya toch?!" Sanggah saya mulai terpancing suasana panas.

"Ya udah, kalau gitu aku tanya buka praktek di poli nggak ya?" Putus si kakak tanpa menunggu jawaban sebab tangannya langsung mengetik SMS.

Tak lama kemudian dokter budiman itu menjawab, "maaf poli tutup karena jadwal operasi besar. Nanti bisa minta tolong pak Omrin bawakan kertas resep ke Ruang Bedah atau minta tolong dituliskan resep oleh dr. Hadi aja lagi ya." Pak Omrin memang perawat bagian bedah yang paling senior dan berpengalaman sehingga beliau bebas masuk ke Ruang Bedah. Sedangkan dr. Hadi adalah dokter bedah umum senior yang menjabat direktur medik RS sehingga kerap diserahi pasien onkologi jika onkologis tak bisa menangani sendiri.

"Ya udah. Problem solved! besok tolong menghadap bu Daisy. Syukur-syukiur kalau tidak usah pakai dituliskan resep baru," putus saya senang.

"Okay, bune. Wis tenang wae ya saiki," ujar anak-anak seraya mengelus-elus punggung saya. Terasa kehangatan cinta mereka mengaliri darah dan jiwa saya.

"Yep! Jadi nanti Sabtu tuh kemowwwww........," seru saya gembira sekali tapi sayang segera layu karena disiram oleh kata-kata si bungsu yang menggundahkan.

"Ya, asal besok bisa langsung dapat obatnya. Lha kalau butuh resep baru aja resepnya belum dibuat, hayo?"

Ceeeeesssss!! Aduh, rasanya hati saya disiram segalon air es. Hiiiiiiiihhhhhh........ dingin amat!! Brrrrr........! Menggigilkan. Tapi ya sudah lah besok dicoba dulu. Namanya juga saya pasien nekad yang suka sok pintar dan sok tahu, gitu lho. Untungnya dokter saya baik hati, nggak jutek dan nggak ketus. Swear bukan sekedar puja-puji lho!

(Bersambung)

2 komentar:

  1. pasiennya pasti heboh nih, tapi untung Doketernya baik hati dan tidak sombong.. Makasih sharingnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai mbak Sari. Yang heboh bukan cuma pasiennya lho. Dokternya juga suka panik sendiri mikirin perjuangan nyawa saya sampai kata relawan kanker dia dikontak dokter menjelang tengah malam diminta mendampingi saya dan cari bantuan sedapat-dapatnya. :-)

      Susah lho cari dokter yang penuh empati begini. Salut saya kepada beliau.

      Hapus

Pita Pink