Powered By Blogger

Senin, 27 Juli 2009

"TIGA MENGUAK TAKDIR"

Judul di atas merupakan cuplikan dari pelajaran sastra yang aku dapatkan dulu di sekolah menengah. Sutan Takdir Alisjahbana, maksudnya, dikupas-tuntas oleh teman-teman beliau sesama sastrawan pada jamannya.

Dan kini yang terjadi dalam rumah tanggaku, bukan takdir yang itu. Namun takdir kehidupan yang sesungguhnya kusandang.

Berbekal tekad dan niatan untuk menjadi diri sendiri, kuberanikan diri berpisahan dari suamiku. Kulangkahkan kaki lebar-lebar ke luar dari sangkar emas yang dihadiahkannya bagiku, untuk kembali ke kandang kami yang menjorok di dalam suatu perumahan di luar kota metropolitan Betawi.

Di sinilah, di penjuru Bogor yang mulai pengap oleh desingan motor yang mengaum-aum dari  sebuah kendaraan baik roda dua, roda tiga maupun yang lebih dari itu, aku tinggal bersama anak-anak dan cucuku si peri kecil yang kadang menyentil.

---------

Bidadariku yang dilahirkan dari rahim kemenakanku, menjadi salah satu penyemangat hidupku. Umurnya belum lagi sembilan tahun, tapi tingkahnya sudah bak gadis remaja. Dengan manja dia memamerkan dandanan rambut gaya barunya seraya menyebut sejumlah nominal mata uang sebagai ongkos untuk merubah penampilannya hari itu.

"Rambutku dicuci, digunting, diblow dan disisir, semua ongkosnya tigapuluhlima setengah," katanya kemayu sambil meraba-raba ujung rambutnya yang rapi. Ombak di kepalanya tertata indah, lurus di bagian mahkota, dan bergelombang besar di dekat bahunya.

"Halah! Mahal amat?" Gerutuku sambil menghangatkan makan malam.

"Ih, biar aja atuh, 'kan yang bayar ibuku ini," jawabnya ketus sambil menatap cermin di atas wastafel pencuci tangan. Kupandangi anak-menantuku yang diam nyaris tanpa komentar.

"Jadi, kau biarkan dia berdandan macam orang dewasa begini?" selidikku panik.

Anak dan menantuku hanya diam membuang pandang ke lantai.

"Untuk suatu kepuasan sesaat kau habiskan dana begitu banyak? Kau lihat sendiri besok pagi, hilang sudah kecantikan di kepalanya," timpalku lagi memancing jawaban mereka.

"Habis, sudah begitu maunya, daripada dia nggak mau potong rambut bu. Kemarin kan ibu sendiri yang protes rambut cucu kepanjangan," anak perempuanku mulai mengeluarkan suara emasnya malu-malu entah takut-takut.

---------

Begitulah romantika kehidupan sekarang. Anak-anak seperti kehilangan kesempatan bermanja-manja dalam dekapan orang tuanya, sehingga sebagai penebus rasa bersalah, orang tua mereka rela berkorban apa saja demi menyenangkan anaknya.

Peri kecilku datang setiap pagi ke rumah kami diantarkan ayahnya yang akan menitipkan mobil tua mereka sebelum melanjutkan naik kendaraan umum ke kantornya, selagi istrinya, kemenakan perempuanku yang telah kuanggap sebagai anak telah berangkat lebih dulu ke pabrik furniture sedikit di batas kota.

Lalu si gadis kecil mampir sebentar ke area dapur, menyalamiku sambil minta seteguk susu sebelum mulai dengan kegiatannya menonton televisi. Sayang sekali kami tidak punya pembantu seorangpun, sehingga dia terpaksa kubiarkan asyik sendiri selagi aku mengerjakan pekerjaan ibu rumah tangga.

Dunia memang sudah berubah. Dulu, ketika ibunya masih kecil, kakakku memang bekerja juga sebagai guru. Tapi anak-anaknya tak pernah kesepian atau terlantar. Selalu ada ibuku atau aku yang menemani, mendampingi dan merawat mereka sebagaimana seharusnya.

Masih kuingat dengan jelas ritual pagi saat aku mengantarkannya ke gerbang rumah untuk menyaksikannya duduk manis di dalam kendaraan jemputan yang disopiri pak Maman. Di atas mobil sana sudah duduk lebih dulu Wida, Temmy, kakak beradik Nora, Sofia dan Dian serta Alex. Pintu mobil ditutup sempurna, lalu tangan kecilnya melambai padaku sampai hilang di kelokan jalan.

Di saat dia pulang nanti, ada aku atau ibuku yang siap membukakan pintu, menanyainya soal kegiatan di sekolah pagi itu serta mengajaknya makan siang serta tidur sebelum belajar sore hari. Kakakku, ibu anak-anak itu akan tersenyum senang sebelum menerima tugasnya memeriksa PR mereka, menemaninya makan malam dan mendongeng sebelum tidur.

Jaman sudah berubah. itu tak terjadi lagi kini. Tidak mustahil di esok hari, hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya tentu akan semakin jauh. Sebab manusia modern sekarang tidak lagi punya waktu untuk anak-anak dan keluarga mereka.

---------

Anak perempuanku berangkat saat kokok ayam jantan baru saja kedengaran. Dia hanya punya waktu untuk dirinya sendiri. Menurut penuturan cucuku si peri kecil, ibunya cuma menciumnya sejenak di dahi, lalu menghilang bersama deru ojeg yang mengantarkannya sampai ke pemberhentian bus pabrik yang mengantar-jemputnya setiap hari. Dia sendiri kemudian melanjutkan tidurnya tanpa diusik oleh sang ayah, menantuku yang punya kebiasaan berangkat ke kantor siang hari.

"Habis, jam tujuh angkot masih selalu penuh dengan pegawai yang mau ke Jakarta sih," alasan menantuku suatu hari. Aku cuma terdiam tak habis pikir. Kemana sudah etos kerja orang muda kantoran sekarang ini lari?

Di rumahku sehabis menyerah-terimakan anaknya kepadaku, dia makan sedikit dari persediaan makan pagi di mejaku. Lalu mencium tanganku hormat sebelum keluar rumah.

---------

Tadi pagi ritual itu berulang seperti biasanya. Aku tak banyak tanya dan tak banyak selidik. Kuanggap semuanya baik-baik saja. Maka kulanjutkan pekerjaan rumahku mencuci dan merapikan rumah.

Cucuku asyik menonton TV sambil menjawab pertanyaanku soal pekerjaan rumahnya dan pelajaran hari itu. "Ada PR yang belum dikerjakan mbah, Bahasa Sunda," kata cucuku.

"Kamu tidak bisa? Kenapa tidak kau tanya ibumu?" Tanyaku sekenanya, karena aku tahu anak-anakku tak ada seorangpun yang bisa berbahasa daerah dengan baik.

"Ibu nggak bisa, ayah lebih-lebih lagi, nggak ngerti," jawab cucuku terang-terangan, "ayo dong mbah, bantu aku," rajuknya sambil tak beringsut dari muka televisi.

Kulirik jam di atas televisi, sembilan tigapuluh. Sudah cukup siang untuk mengerjakan PR yang tertunda. Melihat wajah polosnya yang memelas, tergerak hatiku untuk meletakkan tangkai sapu. "Ya sudah, kalau begitu matikan televisinya, dan ambil bukumu. Bawa ke meja belajar," perintahku pada si peri kecil.

Patuh dilakukannya perintahku. Tapi buku itu tidak dibawanya ke ruang belajar di lantai atas. Dia terus mendekatiku yang masih bersibuk diri sejenak di ruang makan. "Disini aja ya mbah," rajuknya, "mbah 'kan bisa sambil kerja jadinya," mulut kecil itu termonyong-monyong.

"Ya sudah, buka bukumu," kataku menyetujui.

Pensil itu ditorehkannya ke buku baru yang belum tergores sedikitpun. Sementara itu sebelah tangannya lagi membuka halaman ketujuh dari buku cetak berkertas putih yang aku yakin jatuhnya harga pasti cukup mahal, tak seperti slogan pendidikan murah bebas-biaya yang digembar-gemborkan Menteri Pendidikan ktia.

Aku meneliti soal yang ditunjukkannya. Ah, mudah, pikirku. Hanya menerjemahkan kalimat ke dalam bahasa tinggi. Maka sambil meracik masakan, kudiktekan jawabannya sambil kuterangkan artinya satu demi satu dalam Bahasa Indonesia.

Selepas itu aku meninggalkan rumah untuk belanja ke warung tetangga langganan kami di ruko. Anakku lelaki si bungsu sibuk melanjutkan tugas merapikan rumah kami yang lumayan luas.

-----------

Aku masuk dari warung mendekati pukul dua belas. Kusiapkan makan siang untuk cucuku, sekalipun dia tak nampak batang hidungnya. "Mir........, Mira.........., makan dulu sayang, sebentar lagi jemputanmu datang," seruku mencarinya.

Tak ada sahutan dari mulutnya. Kulongokkan kepalaku ke kamar mandi, untuk mencari keberadaannya. Kamar mandi kami kosong belaka. Kutanya anak bungsuku, dia juga tak bisa menjawab. Bahkan di halaman rumahpun si kecil tak nampak. Iseng-iseng kubuka pintu kamar anakku yang tertutup.

Di situlah, di balik pintu, di sudut ruang dengan bersandar ke dinding di lantai cucuku menampakkan wajah kebingungan. Telepon rumah kami yang kebetulan nirkabel ada di genggamannya. Matanya redup dan nyaris kosong.

"Hei, kamu belum tukar seragam?" seruku panik. Aku yakin dalam seperempat jam lagi kendaraan jemputan cucuku pasti datang dengan deruman keras dan dering bellnya yang memekakkan telinga.

Wajahnya pucat pasi, membias di antara putihnya dinding. "Seragamku ketinggalan di rumah," keluhnya takut-takut. Pandang tidak berdosa itu ditujukannya padaku, lalu menunduk seiring dengan siraman dingin dari mataku.

"Bagaimana mungkin? Tadi pagi apa saja kerja ayah-ibumu?" bentakku panik.

"Ini aku sudah telepon ayah dan ibu. Kata ibu, ibu mau telepon ayah juga," jawab cucuku keluar dari konteks pertanyaanku.

"Orang tua teledor! Lalai mengurus anak sendiri!" gerutuku marah-marah tak karuan.

"Tadi rasanya udah aku bawa ke mobil, tapi sekarang nggak ada," sahut cucuku tanpa dosa.

"Ya sudah, hari ini kamu nggak ke sekolah. Tunggu mobil jemputanmu di depan, sebentar lagi pasti datang. Katakan kamu minta maaf atas kelalaian ini, dan kamu terpaksa tidak sekolah hari ini," perintahku sambil menyuruhnya bangkit.

Cucuku menurut. Dia beringsut meninggalkan ruangan sambil menahan tangis.

"Apa yang dilakukan ibumu tadi pagi? Bukankah dia yang harus bertanggungjawab terhadapmu?" tanyaku mendesak cucuku bicara.

Cucuku cuma menggelengkan kepalanya.

"Ayahmu juga, apa saja kerjanya? Minggu lalu kerudungmu ketinggalan, minggu sebelumnya ikat pinggangmu, selalu ada saja yang terlupa, bagaimana ini bisa terjadi? Kemarin dulu 'kan simbah bilang, bangun pagi. Jangan biasakan tidur larut malam. Mandi, minum susu, sarapan dan siapkan sendiri semua keperluan sekolahmu. Kau sudah jadi gadis cilik sekarang, tapi anak besar, kau mengerti?" omelku entah didengarnya entah pula tidak.

"Iya," jawab cucuku sepotong, sepenggal kalimat seraya menatap ke jalanan. Kebetulan mobil jemputan sudah nampak dan siap membunyikan bellnya. Dia berlari keluar, dan sekilas kudengar cucuku meneriakkan, "saya nggak sekolah ya pak, sampai besok!"

Sesak sekali dadaku! Takdir seorang nenek harus mengawasi cucunya. Kupikir dulu setelah anak-anak kami menjadi dewasa dan tumbuh sebagai diri sendiri, tugasku sebagai ibu akan ringan. Tapi, dunia telah membalikkan fakta itu.

Dengan terbukanya kesempatan bersekolah tinggi, para perempuan sekarang mendapat posisi yang baik di masyarakat. Sudah setara dengan lelaki, berpendidikan serta sanggup bersaing bekerja mencari nafkah. Itulah yang terjadi pada anak-anakku.

Mereka ikut membantu mencari nafkah, sehingga mereka tak lagi punya waktu yang cukup untuk suami dan anak-anak mereka. Sampai di rumah mereka sudah kelelahan.Tapi tak ada waktu untuk bersenang-senang memanjakan diri. Menyiapkan makan malam sudah jadi kewajiban mereka. Dan umumnya mereka siasati dengan membeli masakan di kedai-kedai nasi, sehingga tugas mereka tinggal menghangatkan sebelum disantap bersama.

Selepas itu anakku akan masuk ke ruang belakang menyetrika baju-baju yang sudah dicuci suaminya di mesin cuci tadi malam, diakhiri dengan menyapu dan membersihkan rumah. Sungguh suatu pola hidup yang sudah sangat bertolak belakang dengan gaya hidup di jamanku dulu. Lalu kapan mereka ada waktu untuk menemani anak-anak mereka?

Tak terasa aku menangis pedih. Cucuku rupanya harus bertumbuh seorang diri tanpa dampingan ibu yang telah memberinya kehangatan di gua garbanya sembilan bulan lamanya.

-------------

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh dering telepon yang segera diangkat cucuku. Lalu kedengaran dia bicara, "aku sudah selesai makan barusan,........... oh, iya, iya, sebentar ya bu,.........oom, oom......... ini ibuku mau bicara.........." suara itu menjauh ke lantai atas.

Anak bungsuku nampak keluar dari kamarnya dan berbicara di telepon dilanjutkan dengan instruksi kepada si peri kecil.

"Mir, buruan, ambil kunci rumah kalian di mobil ayah. Kita pergi sekolah. Kita ambil baju dulu naik ojeg, terus oom antar ke sekolah, ayo lekas. Bu guru nunggu asal kamu nggak kelamaan," perintah anakku pada kemenakannya yang sering minta disentil.

Peri kecilku tergesa-gesa merapikan tasnya, memasang kaus kaki dan sepatunya, lalu lari ke luar rumah lupa mengucapkan salam padaku diiringkan pamannya yang minta diri padaku mau mengantar si kecil.

Aku cuma bisa termangu-mangu, termenung lesu dan ragu akankah ibu guru mengizinkannya masuk kelas.

Di depan televisi kusantap makan siangku tanpa gairah. Hanya sepotong ikan mas yang mampu mengganjal perutku bertemankan sayur lodeh. Sementara itu di layar kaca Metro TV masih asyik dengan analisanya mengenai pengeboman di Jakarta.

Empat puluh menit berlalu ketika aku menjawab salam si bungsu. Keringat masih berleleran di dahi dan pipinya. "Untung ibu gurunya baik, tapi malunya itu lho bu," kata si bungsu tanpa kutanya.

"Jadi dari depan rumah aku naik sembarang angkot. Sopirnya bilang mau ngantar penumpang ke dalam, tapi aku boleh juga minta diantar ke rumah mbak Mel," cerita anakku.

"Angkot kubayar limabelas ribu. Dari rumah mbak Mell langsung nemu angkot. Terus si Mira bilang nyambung ojeg. Aku pikir sekolahnya masih jauh dari jalan besar."

"Ternyata gimana?" tanyaku penasaran.

"Ya Allah, bisa jalan kaki. Cuma dasar si Mira, dia mungkin panik campur baingung, dia minta ngojeg dan kesasar pula ke sekolah lain yang sama namanya cuma lain angkanya, nah, malunya itu lho disitu. Sopir ojegnya tanya apa kemenakannya baru kelas satu mas?"

"Lalu kau jawab apa?"

"Bukan, kelas tiga, tapi dia lagi panik," jawab anakku tersenyum-senyum. "Untung tukang ojegnya mau ngantar sekalian ke rumah. Jadi dia tunggu di depan pintu gerbang sampai aku selesai menyerahkan Mira."

"Terus apa kata gurunya?"

"Oh, dia sudah tahu masalahnya rupanya karena katanya sudah ada yang telepon menjelaskan masalah Mira. Cuma Mira dinasehati, lain kali kalau mau nginap di rumah nenek bawa seragam ya?"

"Hah? Nginap di rumah nenek? Dia nggak tahu apa?" potongku bingung.

"Naga-naganya sih nggak tahu. Maklum sekolah negeri kebanyakan murid," jawab anakku.

"Ah, bukan itu. Kehidupan sekarang ini yang membingungkan. Orang berumah tangga tapi tidak punya kesiapan. Jadi, bapak-ibu kerja semua, anak terlantar dan terpaksa dititipkan kesana-sini. Lha........, untung takdirnya ada saya, si nenek-tuwek!" balas saya sambil meneguk segelas es pala.

Anak bungsuku tertawa, "iya juga sih, untung juga ada saya. Kalau nggak ada saya, apakah nenek-tuwek sanggup dikerjai anaknya mesti ngibrit nganter cucu dengan gaya koboy?"

"Hahahahaha.......... ada-ada saja! Benar juga kamu! Takdirnya aku jadi nenek bawel, kamu jadi pengasuh, dan si mbak mu cuma bisa jadi pencari nafkah doang.........."

Tiga menguak takdir, batinku tersenyum kecut menyembunyikan gigi-gigi gingsulku yang mulai habis lagi keropos.

Jumat, 03 Juli 2009

BUKU HARIAN ROSA HIBRYDA

Setiap kali kubaca
Adalah derita yang lara
Dari kehidupan yang tersisa
Di ujung perjuangan berbisa

Disini kucatat
Tumpuan curahan hati
Dari seorang perempuan yang sendiri
Memencil memenjarakan diri di sudut bumi.
Pita Pink