Powered By Blogger

Rabu, 11 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (148)

Ada seorang kenalan baru pengidap kanker usus yang baru akan mulai dikemoterapi. Mengingat dia tahu saya sudah nyaris khatam dikemoterapi, maka dia bertanya apa saja gejala gangguan efek samping kemoterapi. Juga apakah itu langsung terasa sesaat setelah selesai dikemoterapi. Sebab dia mendengar cerita-cerita tidak enak dari sana-sini soal efek samping kemoterapi, tapi merencanakan ke RS mengendarai motor sendiri.

Saya jawab bahwa efek kemoterapi bersifat sangat individualistis. Umumnya orang mengeluhkan pusing, mual bahkan muntah-muntah dan lemas. Ada yang sudah dimulai sejak masih di ruang kemo, ada yang kemudian bahkan berselang hari seperti saya. Kata orang sih faktor psikologis yakni ketakutan menghadapi kemo merupakan satu penyebab mual-muntah di ruang kemo. Makanya zaman dulu bapaknya onkologis saya selalu menyuntik pasiennya dengan Valium sebagai obat penenang. Walau generasi penerusnya tidak lagi. Maka saya anjurkan pasien baru ini untuk naik angkutan kota saja, bila perlu menyewa supaya aman.

Begitulah kira-kira yang dirasakan orang sehabis dikemoterapi. Mual-muntah itu banyak dialami. Setidak-tidaknya kehilangan nafsu makan. Saya termasuk yang tak bernafsu makan, namun saya tetap nekad makan terus karena dalam pikiran saya tubuh yang kekuatannya dirusak obat sitostatika justru harus menerima nutrisi yang cukup. Jadi saya siasati dengan makan apa saja termasuk snacks dan buah kesukaan saya sedikit-sedikit tapi sering. Saya tidak memedulikan pantangan kecuali daging-dagingan. Nah khusus daging-dagingan setidak-tidaknya saya makan kaldu beningnya saja. Baik onkologis saya, dokter ahli penyakit dalam maupun mbak Ria teman saya ahli paliatif yang bertugas mendampingi pasien-pasien berat, memang menganjurkan makan banyak-bamyak protein untuk menguatkan stamina. Masuk di akal juga sih.

Dokter onkologi saya berteori, pasien kanker payudara tidak diharuskan berpantang makanan. Yang penting menjaga jumlahnya jangan sampai pasien kegemukan karena obesitas akan meningkatkan kadar hormon estrogen yang memicu sel kanker. Sayang waktu itu saya baru-barunya berobat, hasil Pathologi Anatomi saya belum keluar sehingga saya belum tahu bahwa kanker saya tidak disebabkan hormon, melainkan Her2-Neu. Ini sesuatu yang ada dengan sendirinya di dalam tubuh dan bisa memicu tumbuhnya sel kanker pada sebagian orang. Kelihatannya pada diri saya diakibatkan oleh tumpukan pikiran saya yang stress. Memang di masa lalu selain dihadapkan pada kondisi kesehatan saya yang sangat buruk, banyak masalah-masalah sosial yang mengganggu ketenangan batin saya. Padahal itu menurut dokter saya bisa menimbulkan kanker terutama pada orang dengan gen kanker di keluarganya. Untuk diketahui, 2 orang kakak saya mengidap kanker payudara, dan satu kemenakan saya mengidap kista di payudaranya lebih dari sekali.

Apa saja yang harus dipantang oleh penderita kanker payudara yang disebabkan aktifnya Her2 belum saya tanyakan kepada onkologis saya. Jika kelak tiba waktunya berkonsultasi saya harus menanyakannya segera. Sebab Her2-Neu diketahui bersifat sangat ganas dan agresif. Itu sebabnya dokter selalu mengingatkan bahwa saya harus bergerak cepat karena saya sedang berpacu melawan waktu.

Berpacu Dalam Melodi yang acara kuis menyanyi di TVRI itu sih bagus ya, lha kalau berpacu melawan waktu, apa bagusnya, coba?! Kan yang ditantang malaikat maut. Jadi mau tak mau saya harus tekun berobat dan pandai menjaga kondisi tubuh. Itulah sebabnya saya perlu bertanya pantangan apa yang mesti saya jaga di dalam makan-minum. Walau sejauh ini sih saya boleh dibilang paling fit di antara para pasien teman senasib saya. Kalau ingin bukti, silahkan lihat foto saya. Bentuk tubuh saya tidak kurus layu lho

Keadaan saya yang di atas rata-rata pasien dulunya berasal dari efek konsumsi jamu herbal Cina dan totok syaraf sinshe serta pantangan yang ditetapkannya. Saya sama sekali tidak makan daging juga telur kecuali dari ayam kampung. Sesekali saya makan ikan air tawar. Menu saya yang utama cuma sayur-mayur, tahu, tempe dan buah-buahan. Tapi setelah kemudian leukosit saya sempat turun drastis tiga kali, lama-lama saya tidak lagi mematuhi sepenuhnya. Ini artinya pengobatan alternatif tidak dijamin membantu menyembuhkan, cuma menjaga kondisi fisik pasiennya saja. Obat yang terutama justru obat-obat kimia, sitostatika alias kemoterapi itu. Sekarang ini selalu saya tekankan kepada para pasien yang entah disebabkan apa banyak yang datang bertanya ini dan itu seputar pengobatan kanker kepada saya. Apalagi ada saudara saya sendiri yang sedang sangat menderita karena kanker indung telur yang sudah merambah ususnya persis penyakit saya nyaris sepuluh tahun yang lalu. Saudara saya baru ke dokter ketika sudah sangat sakit ditangani pengobat alternatif yang mengandalkan pijatan dan juga obat-obat yang katanya herbal sedemikian lama.

Contohnya tadi pagi. Dalam rangka mempersiapkan kemoterapi saya yang masih belum ada kejelasan harinya hingga saat ini, saya berangkat ke RS. Saya sengaja tidak ke klinik onkologi melainkan ke klinik penyakit dalam untuk membicarakan hasil pemeriksaan laboratorium saya yang terbaru. Biasanya jika didapati ada bilangan yang kurang, pasien harus diobati dulu hingga semua normal termasuk tekanan darah. Ini kemudian dijadikan semacam "pass masuk" Ruang Kemoterapi dengan memberitahu terlebih dulu kepada onkologis yang mengomandani pengobatan pasien.

Baru saja saya akan melangkah naik ke angkutan kota yang sengaja saya sewa, ponsel saya berbunyi. Sudah ada sebuah SMS dan dua panggilan tidak terjawab di sana, sehingga dalam kesibukan merangkak naik ke kendaraan saya menjawabnya juga. Saya khawatir itu telepon penting dari pihak pendaftaran pasien RS.

Ternyata Icuy, teman SMA saya akan minta saran untuk kakak iparnya penderita kanker mulut rahim stadium 3-B. Saat ini pasien mengeluhkan rasa  nyeri di vaginanya terutama sehabis bersebadan dengan suaminya disertai keluarnya darah kental yang berbau dan banyak, panggulnya pun kerap nyeri. Dia sudah menempuh jalan yang benar, yakni pergi ke dokter. Dokter ini kemudian merujuknya ke RSUPN dr. Tjipto Mangoenkoesoemo di Jakarta untuk dikemoterapi. Tapi pasien berkeberatan. Agaknya dia sudah mendengar dari sana-sini soal efek kemoterapi yang menyiksa itu, sehingga dia memilih ke pengobat alternatif. 

Teman saya menanyai saya soal penggunaan rebusan daun sirsak serta jejamuan herbal yang tengah populer didewa-dewakan sebagai anti kanker dewasa ini. Tentu saja saya jawab nyaris semua saya coba, tetapi manfaatnya tidak banyak karena makan waktu lama sementara sel kanker sangat cepat bertumbuh. Saya menyarankan untuk patuh dikemoterapi sambil minum jamu herbal itu, yang difungsikan hanya sebagai penunjang saja. 

Agaknya teman saya memahami maksud saya. Pertanyaan selanjutnya adalah kepada siapa dan di mana saya berobat, sebab dia ingat saya juga sedang memperjuangkan mendapat kemoterapi. Saya sebut siapa dokter saya di Bogor ini sehingga dia bertanya apakah beliau ahli kebidanan dan kandungan. Tentu saja jawaban saya bukan, karena penyakit saya kini di payudara dan kelenjar getah bening hingga tengkorak kepala. Jadi dokter saya seorang onkologis atau ahli bedah kanker. Bahkan saya ingatkan siapa orang tuanya, yakni seorang pioneer ahli bedah kanker di kota kami. Karenanya meski belia, ilmunya sudah mantap oleh serangkaian latihan semasa mengasisteni almarhum ayahnya dulu. Teman saya sudah sangat senang mendengarnya. terlebih-lebih sewaktu saya menjawab mantap bahwa ongkos kemoterapi saya yang mahal itu dimintakan dana Jamkesda atas anjuran dokter saya. Dia menyatakan terima kasihnya dan berjanji akan membujuk kakak iparnya itu untuk juga berobat ke RS tempat saya berobat. Sebab rupanya dia juga ketakutan oleh ongkos kemoterapi dan perjalanan ke RS rujukan dokternya di Jakarta.

Ya, memang tak semua pasien ketakutan oleh efek samping kemoterapi saja. Orang-orang tertentu seperti saya yang sudah terbiasa menghadapi meja bedah dan rasa sakit, justru takut oleh ongkos pengobatan kanker. Sebab siapa sanggup menyediakan ongkos puluhan juta sekali kemoterapi belum termasuk biaya pembedahan dan radiasi jika diperlukan?

Sesampainya di RS saya masih punya waktu sangat lama dalam masa menunggu giliran. Sebab hari ini saya mendapat nomor antrian sepuluh dari lebih dari tiga puluh pasien. Untuk itu saya sempatkan menengok pasien baru yang baru sekali ini dikemoterapi ke Ruang Kemo. Tujuannya hanya untuk menyemangatinya saja. Zuster Nining mengizinkan saya masuk, bahkan tersenyum ketika menyadari bahwa pasien ini "bawaan" saya. Beliau begitu sadar saya banyak jadi tempat orang bertanya soal kanker dan penanganannya, meski saya cuma sekedar pasien yang awam.

Pasien ini nampak tenang didampingi pasangannya yang aktif bertanya dan mengurus keperluan ini-itu. Memang sebaiknya begitu. Pasien kemoterapi didampingi keluarganya sebab selama proses berlangsung dia sangat lemah dengan kemampuan yang terbatas. Lagi-lagi mereka mengucapkan terima kasih kepada saya dan anak saya yang dianggap sebagai pendamping mereka. Padahal saya sendiri masih perlu didampingi relawan kanker hahahaha.....

Tiba giliran saya diperiksa dokter, alhamdulillah semua dinyatakan baik-baik saja meski kadar leukosit saya masih sedikit di bawah batas normal. Apalagi thrombosit saya malah sedikit di atas normal. Tak ada hambatan untuk segera dikemoterapi dari sisi medis. Sehingga saya berharap apotek sudah siap dengan obat saya.

Ternyata alangkah sedihnya. Bu Daisy apoteker belia itu mengungkapkan secara gamblang bahwa obat saya belum lengkap. Ada satu komponen penting yang masih diupayakan dicari, karena stock gudang apotek dosisnya kurang sedikit dari kebutuhan saya yang diresepkan dokter onkologi. Padahal semua orang tahu, dosis itu harus tepat dihitung dari tinggi dan berat badan juga luasnya. Jika tidak tak akan manjur.

Huh! Lagi-lagi saya menahan kecewa. Untung saya ingat untuk berserah diri dalam doa kepasrahan kepada Sang Khalik. Maka dengan disertai permintaan maaf lagi-lagi tadi siang saya ganggu onkologis saya yang saya tahu sedang padat-padatnya menerima pasien di kantornya dengan pemberitahuan soal itu secara singkat dengan SMS. Lalu laporan lengkapnya saya ketik di E-mail. Saya tak mengharapkan balasan. Hanya sekedar agar beliau tak ketinggalan perkembangan keadaan saya. Dalam pada itu, saat ini tumor saya terasa menjadi nyeri. Berdenyut-denyut seperti menyuarakan protes kekecewaan hati saya. La haula wala quwwatta ilabillah......

(Bersambung)

4 komentar:

  1. bun obat dari apotiknya itu obat racikan gitu kah? mudah2an komponen yang diperlukan segera didapat ya bunda...

    salam
    /kayka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan kak Ika. Obat kemoterapi yang berdiri sendiri, nantinya pemakaiannya jadi satu dengan yang lain berganti-ganti. Kayaknya susah nyari dosis yang pas di Bogor sini. Tapi mereka masih tetap berusaha kok.

      Hapus
  2. mudah2an kekurangan obat kemo nya cepat terlengkapi ya bu...dan tetap...bu julie sebagai pemenangnya melawan tumor itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga ya mbak. Saya sekarang lagi bingung karena menemukan buku lama edisi '99 yang memuat obat yang saya butuhkan dosisnya yang ada di pasaran memang sedikit di bawah resep saya. Makanya saya nanti mau menghadap mas Surgonc untuk konsultasikan itu. Manusia 'kan ya tetap manusia walau dia ilmunya banyak. Bisa jadi ada kekeliruan hitungan atau salah tulis 'kan ya?!

      Hapus

Pita Pink