Powered By Blogger

Kamis, 19 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (153)

Saya punya pacar sekarang ini, setelah saya menjadi nenek-tuwek yang tak berdaya. Ini dilontarkan teh Eeng yang sesungguhnya punya nama cantik Herlina, salah seorang perawat di RS yang diam-diam kerap mengamat-amati saya. Orangnya memang ramah luar biasa sih, pokoknya tak menakutkan pasien.

Dan, believe it or not, pacar saya itu adalah dokter saya sendiri. Gyahahahaha...... Saya sampai ngakak setan mendengar gurauannya kemarin sore sewaktu saya sedang menunggu kedatangan onkologis saya di lobby RS.

Pemicu gurauan itu adalah karena saya kehabisan nomor giliran di poliklinik akibat saya mendahulukan penyelesaian masuk Ruang Kemoterapi, sedangkan dokter saya setiap Rabu membatasi pasiennya 15 orang saja disebabkan kesibukan kerja di kantornya di Jakarta. Untuk itu saya memaksa dokter saya menerima saya sebelum mulai melayani kelima belas pasien itu. Juga saya bujuk kemenakan saya yang kebetulan bertugas di poli onkologi serta seorang perawat senior lainnya untuk mengizinkan saya masuk. Jadi teh Eeng langsung iseng melabeli saya sebagai pacar istimewa dokter saya. 

"Wah teh Eeng langsung gitu deh.........," sahut saya terkaget-kaget. "Apa karena saya pasien bawel yang lumayan rewel ya?"

"Justru bawelnya ibu itu yang mengesankan. Makanya ibu ngomong apa aja, dr. Bayu mau ngladenin 'kan? Soalnya omongan ibu mengesankan orang cerdas, gitu," sahutnya sambil menunjukkan wajah serius.

"Wah, mulai deh nglantur. Ini cuma gara-gara saya masuk poli tanpa terdaftar 'kan?!" Sambar saya kembali ke pokok masalah.

"Enggak, beneran. Sampai saya mikir ibu Julie ternyata lebih tahu, lebih ngertian daripada saya ya," katanya entah dengan maksud apa.

"Lho 'kan tante saya rajin browsing jadi pengetahuannya luas," timpal kemenakan saya meluruskan.

"Ya nggak cuma itu sih. Pengalaman saya sakit bertahun-tahun juga mengajari saya banyak pengalaman yang otomatis jadi pengetahuan juga, nak Ninik," terang saya sejujurnya. 

"Oh pantesan, jadi kesayangan sang dokter. Apa pun yang ibu inginkan biasanya langsung diiyakan deh. Yang susah-susah dicarikan jalannya biar gampang, adeuuuuhhhhh....," goda teh Eeng lagi yang membuat kami semua tertawa bersama. "Ibu omongannya selalu nyambung dan masuk di akal sih, belum lagi berani kasih saran sama dokternya," tegasnya lagi membuat saya jadi mengerti apa maksudnya melabeli saya sebagai pacar sang dokter. Mungkin memang jarang pasien yang berani menyarankan ini-itu kepada dokternya. Alias saya yang keterlaluan. :-D walau nyatanya biasanya saran saya dipertimbangkan dan diterima dokter.

***

Obrolan tadi adalah akhir dari hari saya berkurung diri seharian di RS. Saya mulai kunjungan di RS pada pukul tujuh untuk dikemoterapi. Kemoterapi ini dambaan saya, sebab meski dengan obat-obat seadanya saya masih berharap akan sembuh mengingat tumor saya sempat mengecil setelah dikemoterapi sekali. Waktu itu saya diberi obat bermerek dagang (branded) dari kualitas unggulan meski tidak bisa lengkap. Obat termahal yang sebetulnya menurut penelitian sangat membantu pasien dengan penyebab kanker seperti yang saya alami justru, tidak diberikan karena harganya tak terjangkau.

Belakangan semuanya bahkan nyaris tak diberikan juga, atau cuma satu macam saja dengan alasan dana Jamkesda harus dibagi dengan orang banyak. Akibatnya kemoterapi saya tertunda sehingga saya berunding dengan dokter saya juga apoteker RS untuk menurunkan kualitas obat supaya dikabulkan. Obat "kw dua" yang di dalam istilah kedokteran disebut second line ini mempunyai isi dan komposisi yang sangat mirip dengan obat yang ditolak itu. Tapi jelas harganya jauh lebih murah. Bagi saya obat-obat semacam ini pun jadilah, mengingat dalam khasanah bahasa kita ada pepatah "tiada rotan akar pun jadilah."

Meski kualitas obat sudah diturunkan, tetapi pihak DKK sebagai pemilik dana tetap berkeberatan sehingga kemoterapi saya tertunda lagi. Karenanya anak saya langsung minta izin menghadap pejabat yang berwewenang membuat keputusan. Dia mengajak beliau berdiskusi sambil beradu argumentasi hingga akhirnya berhasil dikabulkan. Namun itu artinya kemoterapi saya sudah tertunda 17 hari, nyaris memasuki jadwal kemoterapi siklus ketiga. Inilah antara lain yang membuat zuster Eeng Herlina menilai saya cukup cerdas sehingga layak dijadikan pacar sang dokter yang terhormat, halah! Belum lagi waktu saya mempercakapkan libur akhir tahun yang disahuti dengan jadwal liburan dokter saya di poliklinik saya semakin diledek sebagai pacar sang dokter muda belia, tampan cerdas beristrikan putri Jawa secantik perempuan Timur Tengah. Gara-garanya nak Ninik bilang, hari Sabtu minggu ini dokter cuti karena ada sesuatu acara. Tapi dia lupa acara apa, sehingga saya sahuti ada perhelatan untuk putranya di Jakarta. "Oh iya, bener bulik," yang disambung teh Eeng sambil tertawa nakal, "tuh 'kan kalau pacar pasti serba ngerti deh." :-D

Kembali ke pelaksanaan kemoterapi. Hari itu hanya ada tiga orang pasien, dan sebagaimana biasa yang dua orang pasien onkologis titipan dari RSUD sehingga saya lah satu-satunya pasien asli di situ pada sang onkologis muda.

Saya sudah pernah juga bersama-sama seorang di antara mereka, ibu Nurhaedah penderita kanker payudara yang sewaktu pertama bertemu saya dulu belum dioperasi dokternya. Tapi kemarin katanya sudah dilaksanakan sebulan yang lalu dengan mengangkat juga kelenjar ketiaknya meski nampaknya tidak banyak sehingga tidak mengakibatkan lengannya cacat membengkak seperti saya. Tapi dia masih terus mengeluhkan sakit di daerah payudaranya itu. Melihat bu Edah sudah tiba di bagian registrasi pasien sebelum kami, anak saya kemudian mendesak saya segera masuk ke ruang kemoterapi agar saya bisa menduduki tempat yang nyaman kursi kerajaan saya. Nyatanya kemudian ada pasien lain yang lebih pagi dari beliau juga sih. Karenanya saya buru-buru masuk ke Ruang Kemoterapi meski di sana belum ada petugas. Para pembersih ruangan pun masih sibuk menyapu. Saya letakkan saja kantung perbekalan saya di spot favorit itu lalu kembali ke meja registrasi. Di sana petugasnya bertindak cekatan sebab sudah sangat hafal kepada saya dan anak saya sehingga urusan cepat selesai meski para perawat pun belum datang juga.

Hari itu zuster Nining bertugas pagi dengan zuster Nur. Sebagaimana biasa beliau datang lebih dulu dibandingkan sejawatnya diboncengkan sepeda motor sewaktu saya akan ke kantin. Saya kemudian melaporkan keberadaan saya dan minta izin mengisi perut supaya obat saya cepat masuk. Setelah itu baru pasien lain ikut masuk. Dan ternyata bu Edah masuk terakhir mendapat tempat di sebelah tengah berdampingan dengan saya, sehingga semua keluhannya tertangkap jelas di telinga saya. Sedikit-sedikit dia mengeluhkan rasa sakitnya baik di payudaranya maupun ketika obat suntik sedang dimasukkan mengaliri tubuhnya. Perempuan tua itu bahkan menjerit-jerit. Tapi saya pun menjerit juga ketika jarum infus akan ditusukkan. Sebab saya sudah tegang duluan demi menyadari pembuluh darah saya yang semua kecil, tipis dan bengkok-bengkok. Sehingga tak kurang dari 4 tusukan barulah saya berhasil diinfus. Tentunya menyusahkan para perawat dan menyakiti diri sendiri. Soalnya kunci sukses memasukkan jarum infus adalah pada kesiapan ketenangan jiwa pasien.

Kira-kira pukul sepuluh akhirnya dokter jaga menjenguk kami. Setelah diperiksa, barulah proses kemoterapi itu dimulai, di mana saya yang menempati posisi ketiga selalu dilayani paling akhir dan jadinya dipulangkan terakhir juga. Padahal koktail obat saya sekarang cuma dua labu saja sehingga disambut pertanyaan apoteker pengoplos obat yang tak paham masalah pendanaan obat saya dengan program Jamkesda yang seret itu. 

Saya terpana tak percaya waktu melihat tulisan yang tertera di tabung obat saya. Saya dibelikan obat bermerek, meski tetap yang kualitas kedua. "Teh Nining, hoooor..... geuning dipasihan landong A sanes P anu generik tea?" Tanya saya spontan

"Ah, sami bu, eta keneh wae boh A boh P," jawabnya menjelaskan bahwa merek A sama dengan P. 

"Tapi 'kan waktu itu dilarang membelikan yang bermerek oleh DKK. Harus generiknya meski sudah turun kualitas?" Tanya saya semakin tak mengerti.

"Ya. Kalau di RS Pemerintah harus yang generik. Tapi RS ini 'kan masih swasta belum diresmikan jadi RSUD. Jadi apotek kami punyanya yang bermerek. Nanti saya tanya teh Daisy dulu deh biar ibu puas," jawab teh Nining zuster ramah itu sambil tersenyum. Dia memang amat sabar dan sadar bahwa saya termasuk pasien yang serba ingin kejelasan. Saya pun jadi ikut tersenyum bersamanya meski katanya obat saya sangat keras dan potensial menimbulkan gangguan pada tubuh. Tapi nyatanya alhamdulillah saya baik-baik saja hingga saat ini. Entah lah mulai besok.

Saya pahami penjelasan perawat itu, bahwasannya RS Swasta tentunya harus mengejar profit sebab harus mendanai diri sendiri. Lain halnya dengan RS Pemerintah yang memang menggunakan anggaran negara. Lha coba bayangkan, dari mana RS Swasta bisa beroperasi kalau tidak banyak pemasukan? Sudah bagus mereka mau mendukung program kesehatan untuk rakyat dengan melayani masyarakat tak berpunya seperti saya. Jadi wajar lah jika Daftar Obat yang ditetapkan pemerintah diterjemahkan RS Swasta dengan obat bermerek alias paten.

Sejurus kemudian teh Nining kedengaran menelepon menanyakan hal itu. Bahkan agaknya karena tidak paham benar, dia sampai bertanya-tanya tentang bedanya obat saya yang dulu dan sekarang. Padahal sih saya sudah tahu bahwa isi mereka sangat serupa hanya berbeda kualitas saja. Yang sekarang rendahan, supaya harganya lebih murah.

Dokter bedah yang merupakan Ketua Tim Medis yang selalu diserahi tugas memantau jalannya kemoterapi baru menjenguk pukul dua siang. Saya pikir beliau menyempatkan diri untuk makan siang dan shalat dulu mengingat di RS ini para tenaga medis sangat agamis. Teh Nining pun mengira begitu. Rupanya kami keliru karena beliau ternyata sedang merawat pasien gawat darurat dengan luka infeksi yang serius. Bahkan ada juga pasien yang kakinya sudah diamputasi, diantarkan dari ruang perawatannya dengan tempat tidur RS. menurut penuturan anak saya, keadaannya cukup mengerikan.

"Selamat siang, dok, lapor diri, kemo saya terlambat nyaris tiga minggu, 17 hari karena terhambat prosedur administratif di DKK," lapor saya begitu beliau tiba di tempat saya.

"Oh begitu? Jadi ini ke berapa?" Balas beliau.

"Baru siklus kedua dok," jawab saya.

"Ibu ada keluhan?" Tanyanya.

"Alhamdulillah semua baik-baik saja kecuali tumor saya semakin nyeri, nampak membesar yang di supra clavicula. Sedangkan yang di cranium mengecil namun justru nyeri hingga menimbulkan sakit kepala," terang saya.

"Boleh saya lihat?" Pintanya dengan sopan.

Saya mengangguk sambil mulai melucuti bagian atas blouse saya. Di situ letak tumor saya, pada daerah bahu. Diraba-rabanya tumor itu sehingga saya mengaduh sedikit membuat beliau tahu pasti keadaannya. 

"Wah iya, merah nih, semoga obat yang sekarang bisa menolong ya bu, terus saja berdoa dan berharap," ujarnya nampak prihatin. Lalu beliau tiba-tiba berjalan memutar seperti hendak menjangkau kepala bagian belakang saya.

Segera saya mencegahnya sambil menunjukkan di mana letak tumor satunya, "maaf dok, ini di bagian dahi," kata saya bersamaan dengan perawat yang  mengiringi beliau. Beliau kemudian berpindah dan meneliti cermat apa yang kami tunjukkan. "Ini sakit juga bu?"

"Ya dok, kalau boleh saya minta pereda nyeri Ketesse dan Omeprazolenya, sebab stock saya besok pagi habis," pinta saya seraya membenarkan dugaannya. "Supaya nanti malam dr. Bayu tak usah menulis resep lagi untuk saya ya dok," rajuk saya. Sebetulnya sih saya tahu beliau amat baik dan tak pernah menyulitkan pasien.

"Kenapa mesti Ketesse bu? Kalau kebanyakan bahaya untuk lambung," terang beliau seakan-akan ingin mencoba memberikan sesutu obat yang cukup aman tapi ampuh juga untuk mengusir nyeri. Sebetulnya beliau betul. Sejak semalam sebelumnya lambung saya mulai terasa perih meski saya tak mengeluhkannya karena saya tahu di dalam obat kemoterapi saya yang ditelan, sudah terdapat obat sakit lambung dan anti muntah. Belum lagi obat anti muntah disuntikkan selama kemoterapi berlangsung.

"Boleh diganti dok, saya terima apa pun yang lebih aman," jawab saya senang.

"Analtram ya bu? Aman untuk lambung," kata dokter itu lagi. "Atau ibu justru suka pusing atau muntah menelan Analtram?" Beliau bertanya menunjukkan kehati-hatiannya. Beginilah dokter yang diperlukan masyarakat awam, kata hati saya.

"Wah, saya malah belum pernah makan itu dok. Silahkan saya coba," ujar saya tak berkeberatan.

"Okay, makan ini bu. Khasiatnya sama kok," ujarnya memutuskan.

"Bagus dok," tiba-tiba anak saya menimpali. "Sebab makan Ketesse juga ibu saya masih kesakitan tiap malam," terangnya sang penjaga dan perawat serta pelindung saya sekarang. Dia memang lebih memiliki perhatian terhadap seluruh keluarga dibandingkan ayahnya. Sesungguhnya lah dia barokah bagi keluarga kecil kami.

"Ya, saya ganti sekarang," putus dokter Hadian melegakan.

Sementara menjalani kemoterapi yang memakan waktu hampir tujuh jam itu, saya sama sekali tidak tertidur. Entah mengapa dalam masa-masa itu saya selalu merasa ingin buang air kecil. Jadi saya putuskan untuk membaca koran serta tabloid yang ringan untuk dipegang. Maklum dalam keadaan begini tangan saya tak bisa digunakan dengan baik semua. Yang kanan ditusuki jarum infus, yang kiri sudah terbatas digerakkan karena cacat yang harus selalu dibalut serta digendong. Sungguh berbeda dengan bu Titiek pasien yang baru saya kenal, dia tenang, cuma kedengaran sesekali mengobrol. Agaknya dia lebih memilih tidur. Sementara bu Edah yang juga kelihatannya sempat terlelap, sering menerima telepon yang nampaknya membicarakan sekitar usaha dagangnya. Pembicaraan itu selalu cukup lama dengan suara keras juga. Ah, tapi ini 'kan ruang bersama, siapa yang boleh melarang, coba?!

Menjelang selesai perawat berganti. Bu Haji ~begitu panggilan intimnya~ dengan rekannya yang baru saya lihat menegaskan bahwa saya harus jumpa dokter saya nanti malam di poliklinik onkologi guna minta disuntik Leukokin, obat peningkat sel darah putih yang akhir-akhir ini selalu rendah dihantam obat kemoterapi yang super beracun itu. Ya saya tentu saja tahu, soalnya pagi harinya zuster Nining mempertanyakan keberadaan obat itu yang seharusnya tidak pernah diperintahkan untuk diberikan kepada pasien. Meski tertera di protokol kemoterapi saya, dan saya jelaskan bahwa untuk kasus saya onkologis saya memerintahkan penyuntikan segera dilaksanakan begitu obat kemoterapi habis, tapi dia tetap berkeberatan. Kali ini alasannya, dia tak menerima penugasan langsung dari dokter. Bahkan katanya untuk menghubungi dokter di kantornya pun sulit. Sehingga saya berinisiatif untuk menghubungi sendiri lewat SMS mohon kesediaan beliau yang menyuntikkan nanti. Untung SMS saya segera dijawab dengan persetujuan, meski saya tegaskan saya sudah tidak kebagian nomor antrian pasien. "Inggih bu, monggo masuk saja. Smg kemo berjalan lancar dan aman," jawab dokter saya baik-baik. Bentuk perhatian yang menelurkan istilah pacar dari zuster Eeng juga agaknya. :-p

Dan lagi-lagi saya selesai paling akhir. Tapi saya tak pulang sebab tanggung juga kalau cuma dua jam di rumah, akan melelahkan saja. Jadi saya putuskan untuk langsung menuju klinik sambil berharap jeng Ninik menjalankan lemburannya di poli onkologi. Lewat dia, saya pasti akan mulus masuk duluan sebelum praktek resmi dimulai nanti.

Betul saja, meski masih sepi pasien tetapi jeng Ninik sudah ada. Lagi-lagi saya merasa ini berkah dari Tuhan juga. Semasa tubuh saya letih lesu dimasuki obat kemoterapi, jeng Ninik bersedia mendahulukan saya.

"Bulik, katanya bang Omrin mau disuntik ya? Tadi dia pesan mau nyuntikkan, daripada kelamaan nunggu dr. Bayu datang,"  tawar istri kemenakan saya dengan segera begitu mengetahui keberadaan saya.

"We lha mbak, matur nuwun. Tolong sampaikan pak Omrin bulik mau konsultasi. Tumorku  nyut-nyutan je mbak," tolak saya. Sesekali saya memanggilnya sebagai mbak untuk membiasakan anak-anak saya menghormatinya.

"Oh nggih sampun, monggo," jawabnya tak mendebat, "tumor mana yang sakit?" Tanyanya kemudian.

"Dua-duanya, yang di cranium malah bikin sakit kepala juga," ujar saya.

"Oooowww....., ya betul mesti dilihat dan dikonsultasikan. Eh, tapi bulik sekarang dah gagah lagi ya, nggak seperti waktu saya sowan ke rumah?" Tanyanya sambil meneliti menatap tajam gaya saya berdiri dan melangkah menuju kursi tunggu.

"Iya mbak, tapi ini artinya badan sudah merindukan kemo, harus direcharge karena efek kemo sudah habis 'kan ya artinya kemo sudah mesti ditambah," jawab saya panjang lebar.

"Oh iya ya. Untung akhirnya dikabulkan juga, semoga menyembuhkan bulik."

"Ya, memang susah keadaan sekarang ini, tahulah banyak hutang Jamkes 'kan?!" kata saya yang dibenarkannya dengan anggukan. Selanjutnya dia mulai kerja karena pasien banyak yang datang kesorean. Agaknya tak banyak yang tahu bahwa pengumuman hari itu, dokter akan tiba pukul setengah delapan malam sehabis menunaikan shalat terlebih dulu di rumahnya.

Dalam pada itu perempuan muda yang selalu datang dari rumahnya di wilayah kabupaten hanya berdua dengan ibunya datang. Saya menyapanya sambil menyampaikan bahwa dokter akan datang tiga jam lagi. "Wah....," seru mereka serempak. Sehingga akhirnya meninggalkan klinik entah akan kemana.

Sehabis itu bangku di samping saya diisi ibu-ibu kira-kira berumur 60 tahunan yang datang dengan kaki terpincang-pincang mirip saya. Ternyata beliau pasien baru dengan keluhan kanker payudara yang belum bisa dioperasi dan sedang dikemoterapi dengan obat suntikan berhubung tumornya lengket sekali dengan jaringan daging dadanya. Malam ini dia akan disuntik untuk yang keempat kalinya. Saya berharap dia akan segera tertolong mengingat kanker itu amat menyiksa. 

Konon dia datang berobat ke sini karena banyak teman dan tetangganya yang mengalamati ke onkologis yang satu ini. Mereka semua bilang, dokternya muda, komunikatif dan santun. Keramah-tamahannya bisa dilihat dari caranya menyambut dan mengakhiri pertemuannya dengan pasien. Siapa pun yang datang, dari strata sosial mana pun termasuk pengguna Jamkesda selalu disalaminya sambil berdiri, lalu disapa ramah sebelum masuk ke pembicaraan medis. Begitu pun ketika konsultasi berakhir, dokter akan menyalami dan berdiri sejenak sampai di sisi meja kerjanya. Sudah begitu, nenek yang satu ini bilang, "ganteng pula, hihihi....," sampai-sampai gigi si nenek yang sudah banyak tanggal terlihat sempurna.

Karena merasa letih dan ingin duduk lebih nyaman, saya mengajak anak saya pindah ke muka loket Askes yang tutup pada malam hari. Siapa pun tak ada di situ, sehingga suasana lebih nyaman untuk saya. Kemudian nak Ninik menyusul mengajak mengobrol melepas rindu, diikuti teh Eeng yang iseng ingin menggoda saya. Lalu bu Umi zuster paling senior juga lewat seraya menepuk bahu saya dan menyapa ramah. Padahal pernah ada pasien yang mengeluh katanya beliau bersikap judes sampai-sampai saya heran karenanya. Sebab di RS ini, menurut pengamatan pengalaman saya, standar keramahan petugas sudah sangat terjaga dengan baik.

Selepas anak saya shalat maghrib, nak Ninik kembali ke klinik karena pasien mulai ramai berdatangan lagi. Saya melepasnya dengan suka cita daripada dinilai orang mengganggu tugas perawat. Sedangkan pasangan ibu dan bapak tadi lewat di dekat saya sambil berpamitan akan ke luar dulu. Saya sendiri tentu saja tak bisa sembahyang karena sekarang gerakan saya amat terbatas sehingga saya melakukannya di atas pembaringan.

Cukup lama juga saya di situ hingga pak Nedy pasien baru yang saya perkenalkan dengan dokter dan baru selesai dikemoterapi minggu lalu datang. Darinya saya ketahui bahwa setiap Rabu, pasien onkologi berangkat mendaftar selepas subuh, supaya mendapat nomor antrian. Pantas saja saya yang mendaftar pukul tujuh sudah kehabisan. Tapi saya tidak mengeluh seperti kebanyakan pasien lain yang tak menjadi pasien beliau di RSKD, seperti ibu cantik berbaju biru yang menampakkan status sosialnya. Meski akhirnya diizinkan menyusup masuk juga, tetapi beliau tetap tak paham soal keterbatasan waktu dokter kami. Padahal sudah saya jelaskan bahwa pada hari itu, dokter bertugas di kantornya hingga kira-kira pukul empat sore, bahkan terkadang pukul setengah lima sebab banyaknya pasien. Adakalanya di sana saya pun ditolak, dianjurkan pulang bertemu di sini saja. Begitu baiknya beliau melayani pasiennya. Rasanya tak ada dokter sebaik itu. Pantas saja pasiennya banyak.

Pak Nedy cuma mengeluh sedikit mual-mual dan pusing sehabis dikemoterapi. Tapi sekarang ditambah konstipasi. saya katakan itu sangat biasa. Sebentar lagi tentu akan bertukar jadi diarhoea. Sekali lagi dia bersyukur bisa berkenalan dan menimba pengalaman dari saya termasuk soal obat yang belum tentu cocok itu. Sebab dulu saya memakai obat yang sama, tapi hasilnya tak manjur sama sekali. Setiap kami bertemu, anehnya selalu dia mencium punggung tangan saya seakan-akan saya ibundanya sendiri. Menurut anak saya dia memang bilang begitu padanya. Saya jadi tersanjung karenanya.

Baru saja kami mengobrol, dokter pun datang dengan gayanya yang santai juga tubuh yang tegap seperti selalu bugar. "Monggo bu," ujar beliau seraya menghampiri dan menyalami saya erat-erat. Sambil lalu bahu saya pun dipeluknya sejenak. Lalu kami beriringan masuk ke klinik diikuti tatap mata para pasien di selasar itu. Saya tak tahu apa yang ada di benak mereka. Ah, tapi saya tak perlu tahu itu.

Saya menunggu barang sejenak hingga beliau duduk di kursinya sedangkan kemenakan saya minta izin untuk saya. "Ya, silahkan mbak, saya udah ketemu kok," kedengaran dokter menyahut.

Lalu jeng Ninik ke luar berniat memanggil saya yang ternyata sudah di muka ruang konsultasi. Dan dokter pun serta-merta menanyakan obat suntik saya. "Iya nih mas dokter, teh Nining bilang dia tidak pernah disuruh melakukannya, jadi dia minta saya disuntikkan 'njenengan saja seperti yang terakhir bulan lalu," lapor saya sambil menyodorkan seampul obat suntik itu. "Tapi nanti dulu mas, saya mau bilang, tumor saya makin sakit euy, mana yang di cranium mulai ada gejala klinisnya, sakit kepala sedikit sesekali waktu," ujar saya mengemukakan keadaan terkini saya.

"Oh, mana?" Reaksi dokter segera seraya menatap kepala saya yang segera saya lucuti dari jilbab dan tangan anak saya yang segera membantu melucuti pakaian saya.

Diraba dan diamatinya kepala saya. Lalu berpindah ke tulang selangka saya. 

"Nah, di situ sakitnya dok," kata saya spontan waktu jemarinya yang sebetulnya lembut itu dirabakan ke tumor saya.

"Wah ya, gara-gara kemo tertunda sih. Ya nggak ada jalan lain bu, semoga yang akan datang kemonya nggak lagi terhambat-hambat deh. 'Kan ya repot kalau masalah birokrasi dilibat-libatkan," katanya menegaskan.

"Ah, apa boleh buat mas. Saya aminkan saja deh harapannya. Otherwise saya cari dana sendiri, kita combat sebisa-bisanya dengan kalimat Basmallah dan la haula wala quwwata. 'Kan sudah saya bilang murid terbodoh di sekolah menengah kita itu saya, jadi nggak mungkin dokter saya nggak sejuta kali lebih pandai 'gitu lho," sahut saya ringan yang dibalas dengan tawanya yang lepas. Lalu kepalanya diangguk-anggukkan tanda kesiap sediaannya. "Ingat lho, saya belum mau mati sebelum kanker bisa diperangi di desa kita," terus saja saya mengoceh seraya naik ke pembaringan siap akan disuntik.

Terus terang saja, suntik adalah hal yang paling mengerikan untuk saya, berkebalikan dengan tindakan operatif yang justru saya selalu siap sebab toch saya dalam keadaan dipingsankan. Maka saya segera minta nak Ninik menjegal saya sehabis mempersiapkan obat dan jarum suntiknya. Dalam pada itu dia segera memanggil koleganya, bu Yayah yang belum saya kenal untuk membantunya juga. Maklum dia melihat saya sangat tegang.

"Hei mas dokter, kok cuma diolesi alkohol sih?" Protes saya kepadanya waktu nak Ninik hanya mengusap-usap perut saya yang akan disuntik.

"Oh ya wis bu, ini saya kasih," sahut dokter yang mengerti maksud saya.

"Nah 'gitu dong, di srrrtttt-sssrrrttttt pakai spray, enak deh dingin," sahut saya pula bersyukur sambil tertawa merasakan zat cair itu disemprotkan ke seluruh permukaan kulit perut saya. "'Kan tahu toch saya mending surgery daripada injection begini," ungkap saya tak malu-malu membuat mereka tertawa kecil serempak. Lalu jarum itu ditusukkan disertai pernyataan dokter bahwa saya tak merasakan sakit. Tapi dengan nakal saya bantah dengan kata-kata yang menjengkelkan, "ah, ya sakit teuteup boss!" Dasar tidak tahu diri, ya?!

Setelah selesai menyuntik sambil dokter mencuci tangannya saya menanyakan diet apa yang mesti saya lakukan. Saya pahami penyebab kanker saya Her2-neu, faktor bawaan dari dalam tubuh berupa protein yang tiba-tiba aktif. Keadaan ini selalu saja saya ibaratkan sebagai virus meski sesungguhnya bukan.

Dietnya kata dokter tidak ada. Apa saja boleh dimakan asal pasien tidak sampai kegemukan. Hal ini memancing ingatan saya tentang apa yang dikatakan dokter onkologi lain bahwa Her2-neu juga dipicu oleh meningkatnya hormon estrogen. Walau dikoreksi dokter saya bahwa itu tidak betul.  Penyebabnya bukan hormonal. Tapi memang benar pasien jangan sampai kelebihan protein yang akan menyebabkan kegemukan, karena gemuk akan memicu aktifnya Her2-neu juga. Barulah kini saya mengerti dengan terang. Ternyata penjelasan dokter saya ini lebih sederhana dibandingkan dokter satunya dulu itu yang akhirnya membuat saya salah persepsi. Sekali lagi saya terbukti mendapat dokter yang cerdik dan cerdas.

Sambil berjalan pulang kemudian, saya pun teringat sepenggal kalimat zuster Eeng Herlina, "bu Julie pemuja berat dokter kita nih. Selalu aja beliau dipuji-puji setinggi langit." Nah sekarang bisa dilihat 'kan kenyataannya memang beliau layak dipuji. Persis seperti taktik beliau dalam mengatasi merosotnya sel darah putih saya seketika. Diubahnya protokol kemoterapi saya dengan memberikan suntikan segera sehabis dikemoterapi. Juga dosis obat saya dihitung diukur lebih cermat lagi meski sejatinya tetap mengikuti saran dokter ahli kemoterapi konsulen beliau di kantornya. Semogalah Allah mempermudah dan mempercepat penyembuhan saya, karena saya tahu dengan pasti bahwa segala kebaikan bersumber padaNya semata.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pita Pink