Powered By Blogger

Rabu, 30 Oktober 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (131)

DINAS KESEHATAN KOTA BOGOR

Gedung tua di sebelah lapangan olah raga kota kami yang dulu dijuluki "Stadion Purana" masih saja berdiri seperti dulu. Saya banyak menyimpan kenangan di situ. Dulu salah seorang kerabat mantan suami saya berdinas di sini, dan saya kerap datang kepadanya untuk mengurus asuransi kesehatan orang tua saya. Selain itu, di sampingnya arah ke belakang berdiri Puskesmas Kecamatan tempat tinggal kami sekarang, di mana untuk pertama kalinya saya mengenal pemeriksaan mata semasa di bangku SD dulu. Waktu itu tidak setiap Puskesmas yang masih diistilahkan Poliklinik/BKIA memiliki alat pemeriksaan mata. Termasuk poliklinik desa saya meski di tengah-tengah kota. Pokoknya kantor ini menggugah banyak kenangan termasuk soal rasa Soto Mie yang dulu berada di gerobak panggulan yang mangkal di muka pintu gerbangnya. Saya senang mengudapnya sambil duduk di bangku kayu seadanya.

Kemarin saya pun ke sana lagi. Seperti biasanya kali ini justru untuk mengurus keperluan diri sendiri. Memohon pendanaan obat-obat kemoterapi saya. Seperti yang ditugaskan apotik RS tempat saya berobat dengan bantuan dana Jamkesda Kota, pasien atau keluarganya harus menghadap pejabat DKK sendiri untuk pengajuan pembelian obat yang mahal.

Tak begitu lama saya menunggu, meski masyarakat cukup ramai. Seorang ibu yang saya kenali sebagai pasien kanker payudara dari RS lain ada juga. Kelihatannya dia sudah akan pulang. Tapi begitu melihat saya dia langsung menyapa, mengikuti saya ke bangku tunggu lalu duduk menanyai saya. Ternyata dia sekarang berganti dokter dan pindah RS ke tempat saya. Soalnya dokter yang merawatnya dulu di RS DKT dimutasi ke kota lain. Dia kini berobat pada onkologis kakak saya, dan harus mengulang kembali sesi kemoterapinya karena seperti halnya saya tumornya tumbuh lagi meski cenderung lebih lambat, yakni enam bulan sehabis dioperasi.

"Encan cageur keneh wae?" Tanyanya mengenai diri saya demi melihat saya masih saja seperti dulu. Bahkan kaki saya mulai terpincang-pincang.

"'Ncan," jawab saya membenarkan juga dalam bahasa daerah yang kasar kebiasaan masyarakat awam di kampung halaman saya. Lalu saya ceritakan meski sudah berhasil dioperasi dengan selamat di Jakarta, tapi dokter tak sanggup membasmi sel-sel kanker saya. Masih banyak tersisa di pembuluh-pembuluh darah yang mengakibatkan saya telah diserang lagi sehingga harus berganti obat dengan yang terkuat.

"Hoooorrrrr....., mun kitu kumaha sayah? Cocok teu kira-kira ku kemo ieu?" Tanyanya menyiratkan kebimbangan sambil memperlihatkan berkas kemoterapinya.

Saya melihatnya. Ah, itu koktail obat lama saya. Tapi saya bukan dokter, sedangkan dokter pun masih meraba-raba dalam meresepkan obat pasiennya.
Saya katakan saya tak tahu, sebab penyebab kanker seseorang berbeda-beda. Pasti obatnya pun lain-lain. "Ieuh, ubar sayah mah rek dibere nu pang mahalna ceunah mah. Soalna ku nu kitu geus teu mempan," kata saya. "Tapi meureun ieu ge teu dibikeun, da pan mahal pisan tea. Opat puluh tilu jutaeun kabehanana, sabulan," saya sudahi keterangan saya yang membuat wajahnya jadi terkejut-kejut. "Duh ya Alloh........ mahal amat." Matanya menatap kosong ke kertas resep di tangan saya.

Mulut itu terus mengoceh lagi. Sama-sama menyuarakan kesakitan lahir dan batin kami. Katanya dulu dia mendanai semua obat kemoterapinya sendiri, karena dia tidak berobat di tempat yang disetujui DKK. Sudah habis hartanya terjual, tinggal menyisakan sepotong rumahnya. Benar-benar cuma sebelah karena yang sebelah depan digadaikannya pembeli obat-obat mahal yang tak kunjung menyembuhkan itu. Saya perhatikan kepahitan di wajahnya. Meski dia kelihatan lebih segar dan sigap dibandingkan saya, tapi jelas dia pun kepayahan. Setiap malam dia tidak bisa tidur merasakan nyerinya, persis keadaan saya. Sementara itu bocah lelaki kecilnya terus berulah mengganggu suasana di sekitar kami hingga menguras kesabarannya. Saya semakin yakin bahwa kanker itu potensial memiskinkan manusia termasuk kesabarannya.

Saya katakan dokter onkologi saya pernah mencoba mencarikan obat gratis untuk saya. Tapi tak ada yang memberi karena kanker saya segera mengganas kembali. Ini sebabnya pagi ini saya datang akan "mengemis" belas kasihan pemerintah. Dia mengangguk-angguk selagi saya terus juga bercerita bahwa karena DKK tak bisa mendanai operasi saya di RSKD tempat onkologis saya berkantor, maka beliau turun tangan sendiri mendanai saya dan banyak lagi lainnya. "Subhanallah!" Akhirnya itu terlontar juga dari mulutnya sebelum berpamitan pulang. "Dokter saha?" Dia agaknya jadi penasaran mendengar pengakuan jujur saya.

Tiba giliran saya dipanggil. Sambil gemetaran saya sodorkan resep obat saya disertai permasalahan yang saya hadapi. Ibu Kepala Unit Kerja di situ yang biasanya selalu bicara dan bersikap tegas mau mendengarkan saya dengan seksama. Bahkan ketika saya ingatkan bahwa saya pernah diizinkannya dioperasi dokter saya di RSKD tanpa didanai Jamkesda, namun boleh kelak meminta biaya obat-obatan kemoterapi, pejabat itu membenarkan. Agaknya beliau memang ingat betul kepada saya.

Resep saya diperhatikannya. Cerita saya soal upaya ikut penelitian obat tapi gagal itu juga disimaknya. Sekaligus mencermati tumor yang saya pertontonkan. "Ya, orang 'kan nggak ada yang mau sakit ya bu. Pemerintah akan coba membantu ibu. Tapi melihat obat-obat ini baru pernah dimintakan kepada kami, saya harus bicarakan dulu di dalam ya, ibu bisa tunggu lagi," ujarnya kemudian.

"Silahkan bu, terima kasih. Seandainya yang teratas tak bisa dikabulkan, tolong berikan saya obat kedua dan ketiga saja. Saya sudah minta izin onkologis saya, ini ada SMS nya," kata saya lagi mengiba. Saya memang betul-betul ingin berobat dan berupaya sembuh. Karenanya penatalaksanaan penyakit saya selalu jadi bahan pemikiran cermat antara dokter saya dan saya. Sebagai dokter beliau mau bekerjasama dengan pasiennya. 

Tadi pagi sambil sarapan saya berkomunikasi lagi dengan beliau melaporkan hasil pertemuan saya dengan pihak apotik RS kemarinnya yang belum sempat saya infokan dengan E-mail. Sekaligus saya laporkan akan ke DKK. Saya mohon pertimbangan beliau obat-obat mana saja yang harus saya minta seandainya si obat utama yang "eksklusif" itu ditolak DKK. 

"Ya, minta yang dua B&C nya itu aja. Boleh bu, oke," pesan dokter saya yang tumben kali ini cepat sekali merespons SMS bersahut-sahutan. Agaknya beliau juga sedang sarapan pagi akan ke kantor.

"Hatur nuhun pisan pak, barakallahu! Sy sadari gak perlu mendewa2kan obat itu lagi. Slmt tgs, smg semakin membanggakan kami di kampung!" Jawab saya yang tak dinyana dijawabnya juga dengan canda tawa, "He.... he.... tp kampung kita 'kan keren ya bu. Pokoke Cimanggu pancen ouw ye!!" Membuat saya tersenang-senang bersemangat. Semangat ini tetap belum luntur sampai saya beroleh keputusan tentang pendanaan obat saya.

Cukup lama saya menunggu hingga satu demi satu nomor antrian dipanggil. Kedengaran seorang wanita muda berbusana rapi bertengkar hebat dengan petugas muda yang melayaninya. Biasanya orang semacam ini baru pertama kali datang mengurus sehingga secara prosedural persyaratan yang harus dilengkapinya kurang. Sebagai akibatnya ketika dia diminta pergi melengkapinya dia kecewa. Lalu berusaha membela diri dengan mengatakan yang sebaliknya. Kali ini kedengaran dia mengatakan bahwa si petugas tak mau mendengarkan permasalahannya baik-baik sejak semula, sehingga membuat si petugas cantik itu berang. Singkat cerita dia akhirnya pergi juga sambil menggerutu. Hilang sudah wajahnya yang terpelajar.

"Bu Julie, kami sudah bicara, juga sudah mengontak RS, tapi RS tak berhasil mengontak dokter untuk mendiskusikan obat ibu," kata pejabat yang melayani saya pada akhirnya. "Ini sudah jam istirahat. Kami berhenti dulu ya bu, sekarang silahkan ibu menunggu di luar atau pergi makan siang. Sambil menunggu jawaban dokter ibu ya," beliau berkata lembut. Adzan dhuhur memang belum lama dikumandangkan orang. Pasti ini jam dua belas, batin saya seraya melihat ke layar ponsel saya. Tak ada cara lain, saya pun mengikuti instruksi itu, ke luar gedung menuju jalan raya akan mencari makan siang. Kota kami kebetulan sedang tak terlalu terik.

***

Sambil makan siang soto mie yang kini tak lagi berani saya beli di tepi jalan plus juga tak mau lagi saya makan dagingnya saya mengobrol dengan anak saya. Kebetulan suasana di tempat makan itu kondusif. Pengunjung duduk agak berjauhan sehingga obrolan tak akan terganggu bising dari meja sebelah. Saya peringatkan anak saya untuk bertanggung jawab terhadap asupan makannya, sehingga dia memilih sepiring siomay yang jelas-jelas terbuat dari ikan, bukan daging ditambah telur, tahu dan kentang serta kubis sebagai sayurannya. Siomay ini makanan yang biasa saya makan setiap hari ketika saya masih rutin berobat tiga kali seminggu di Jakarta. Jadi hari ini saya memilih menu lain yang cenderung segar.

Kemudian pembicaraan beralih ke gaya hidup dan pola makanan yang menjadi pencetus kanker. Kami dulunya memang penggemar berat daging-dagingan, meski juga makan sayur dan kedelai. Tapi sayangnya kami lalai berolah raga walau tak merokok dan tak minum alkohol. Kesalahan ini makin fatal sebab anak-anak paling suka jajan makanan dalam kemasan kedap udara, bukan snack kiloan yang biasa saya beli di pasar. Sebab menurut mereka keripik singkong, kacang telur dan semacam itu rasanya kurang gurih.

Kini saya sudah menerima akibatnya yang menyakitkan dan menimbulkan kesulitan. Tapi kata banyak orang saya tetap kelihatan optimis bisa melewatinya. Saya sendiri tak terlalu percaya, sebab sesungguhnya rasa sakit  dan persoalan penanganan penyakit saya ini sempat membuat saya berkecil hati. 

"Ah, itu 'kan kata ibu. Nyatanya ibu tetap mau mengupayakan cari jalan berobat. Buktinya sekarang sakit-sakit ibu mau datang sendiri ke DKK," bantah anak saya berusaha menaikkan semangat hidup saya. Saya lihat wajahnya bersungguh-sungguh.

"Habis 'kan ya mas, kalau ibu nggak jalan sendiri nanti pihak DKK nggak percaya bahwa ibu betul-betul membutuhkan obat-obat ini," begitu alasan saya.

"Iya gitu. Makanya namanya ibu masih optimis bisa sembuh, punya semangat juang," sahut anak saya. Dikunyahnya siomay yang tak terlalu menggoda selera saya kali ini. Sebab beda sih dengan siomay warung langganan saya di Jakarta. Kalah variasi dan lagi bumbu kacangnya kasar.

Tiba-tiba terlintas lagi tayangan di sebuah stasion TV yang saya tonton pagi harinya. Di suatu RS digambarkan kunjungan komunitas relawan pemerhati anak-anak sakit keras yang dirawat di RS. Mereka datang menemani, memberikan hiburan sambil sesekali mengajak jalan-jalan pasien-pasien kecil itu untuk bermain bersama. 

Ada yang menderita kanker, juga penderita thalasemia yakni kelainan darah. Di wajah-wajah mereka masih terpancar sinar-sinar kehidupan. Sehingga si relawan berkomentar bahwa langkah kaki mereka untuk sering mendampingi para bocah itu terdorong oleh sikap optimisme yang mereka pancarkan sendiri. Para relawan ingin mengisi hari-hari suram yang sebagian artinya mendekati pintu sorga untuk memberikan kasih sayang kepada mereka sekaligus bercermin diri untuk menyukuri rahmat kesehatan yang selama ini mereka terima sebagai anugerah Tuhan. Tersimpulkan juga oleh saya pada akhirnya bahwa jika penderita penyakit berat memperlihatkan aura yang bagus, itu akan membawa dampak positif bagi sekelilingnya. Persis seperti ujaran dokter Maria teman saya, bahwa kegigihan saya berusaha sembuh membuat para tim medis yang menangani saya semakin bersemangat untuk mengupayakan kesembuhan saya.  Tak terasa mata saya basah. Sepercik air mulai menggenangi pelupuk mata saya. Saya tetap masih dalam wilayah abu-abu hingga siang itu, akan kah saya beroleh obat yang saya butuhkan untuk meringankan pikiran dan kerja keras para tim medis saya?

"Bu," tiba-tiba anak saya berkata lagi memecah pikiran saya.

"Hm, ya?"

"Kenapa ya bu kalau katanya pola makanan yang mengandung daging-dagingan merah maupun putih nggak bagus, bisa memicu kanker, kok dokter malah nyuruh pasien makan apa aja?" Meluncurlah pertanyaannya yang polos. Anak saya memang senang bertanya ini-itu sejak kecilnya dulu.

Setelah saya meneguk air putih yang melunturkan sisa-sisa kuah soto yang untungnya bening, saya pun menjawab tanpa berpikir lama. "Ya, 'kan sehabis dikemo pasien pada sakit tuh. Staminanya lemah, jarang lah yang seperti ibu. Jadi ya mesti diperbaiki lewat asupan sehat. Disuruh lah makan apa saja. Makanya ibu pilih makan ikan, atau kalau pun ada unsur dagingnya, sesuatu dengan kuah bening begini tapi jangan dimakan dagingnya."

"Eh, iya juga ya."

"Ayo ah, dah lama nih, nanti DKK keburu tutup kantor," ajak saya menyudahi makan siang. Sebetulnya sih saya segera ingin tahu apakah obat-obatan saya dikabulkan semua.

***

Kantor itu sudah kembali melayani masyarakat. Ibu kepala ruangan itu segera melambaikan tangannya begitu melihat kami datang. Bersamanya ada atasannya serta seorang koleganya. Ketiga perempuan itu nampaknya sedang membahas masalah saya.

"Begini bu, RS tidak bisa juga terhubung dengan dokter ibu, jadi kami tidak bisa bicara," ibu R ~inisial perempuan itu~ mendahului bicara seraya menatap kepada pimpinannya bergantian. 

"Oh, ini pasiennya ya?" Ibu pimpinan berwajah mirip sahabat Pramuka saya Agnes waktu remaja dulu tersenyum kepada saya.

"Ya, bu. Jadi bagaimana keputusan ibu?" Pancing saya.

"Begini, obat ini di atas plafon Jamkesda. Jadi kami harus bicara dengan dokter yang meresepkan bagaimana sebaiknya, tapi ya itu, belum tersambung juga."

"Ya bu, beliau setiap Selasa-Kamis ada jadwal di ruang bedah. Sulit mencarinya," sahut saya menerangkan. Kini saya hafal dengan sendirinya jadwal-jadwal onkologis saya setiap hari kerja. Hihihihi.... betul-betul sok tahu.

"Ya sudah ibu tunggu lagi ya," kata beliau dengan ramah.

"Tapi bu, seandainya susah dihubungi berikan saja B&C nya dulu, saya sudah menerima instruksi beliau tadi pagi via SMS yang penting kemo saya jalan akhir pekan ini. Saya benar-benar tak tahan lagi," pinta saya mengiba.

Beliau kembali tersenyum, lalu memencet-mencet ponselnya seperti akan menghubungi seseorang. "Ya, sebentar kita coba lagi," Setelah itu menghilang ke ruang dalam. 

Lama saya menunggu hingga akhirnya keputusan dibuat. Obat utama yang termahal itu tak bisa dibelikan Saya hanya dapat B&C yang juga berharga lebih dari separuh harga yang ditolak. Sedangkan obat-obatan lain yang ditelan harus saya danai sendiri meski nyaris mencapai lima ratus ribu Rupiah.

Ya sudah, itulah peruntungan saya. Tak baik bukan berpikir lama, memendam kecewa dan menolak takdir? Kali ini peruntungan saya cuma sekian. Namun itu sudah sangat baik daripada tak bisa beobat sama sekali. Lalu kami pun melangkah gontai menuju ke pembaringan saya. Lelah rasanya hari ini.

(Bersambung)

Selasa, 29 Oktober 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (130)

Minggu yang menggairahkan datang. Hari itu sepupu saya berjanji akan menjenguk saya. Pun juga kenalan baru saya sesama pasien yang kebetulan berjumpa saya di klinik onkologi beberapa waktu lalu. Jeng Rahmi, namanya. Pembawaannya yang hangat memudahkan kami menjalin komunikasi meski beliau termasuk kaum cerdik pandai yang jelas tak sekelas dengan saya si bibi dapur.

Sayang hari itu sakit saya masih saja merajalela membuat saya merana meski tak harus merintih. Anak-anak sudah mempersiapkan diri sebab mereka begitu merasa dihargai karena masih ada pihak-pihak yang menyayangi saya di balik label buruk yang dulu ditempelkan seseorang kepada saya. Jadi saya dibiarkannya menunggu di kamar di atas pembaringan yang sekarang tiba-tiba serasa terbuat dari papan dialasi tikar belaka. Sakit rasanya membaringkan diri di atasnya.

Dik Titin datang bersama adiknya disertai anak-anak mereka yang ingin naik Commuter Line dari Jakarta. Walau tertakjub-takjub menyaksikan saya yang masih kuat bangun tetapi tak urung mereka prihatin sekali atas tonjolan-tonjolan tumor di tubuh saya yang menyita perhatian sebab di dalam rumah kepala saya kini tak kuat lagi diselubungi jilbab. Rasanya panas dengan bertutup rapat begitu. Mungkin ini efek dari pengobatan yang dulu sudah saya terima. Jadi tanpa jilbab tumor saya bisa terlihat kalau diamati dengan jeli.

Sehari sebelumnya saya juga sudah kedatangan penjenguk. Yani teman SMP saya kembali datang mengantarkan bu Tuti, bibi sahabat saya di SMA, Ahmad yang sayangnya sekarang sudah wafat. Mereka juga merasa iba melihat saya meski saya tak nampak lunglai betul. Kata bu Tuti, begitu mendengar saya sakit dari Yani tetangganya putra-putrinya meminta beliau segera menjenguk sambil mengantarkan sehelai kain tenun Nusa Tenggara Timur yang kebetulan memang belum saya miliki. Melihat tenunan tradisional hijau indah itu saya jadi terpikir alangkah menariknya kain itu kalau saya kenakan di tubuh. Saya berkhayal akan ada saatnya nanti yang tak tahu bertepatan dengan peringatan apa. Pokoknya tiba-tiba terbersit pikiran bahwa saya pada hari istimewa itu terbungkus kain hijau itu nampak jadi cantik. :-)

Bu Tuti memang bukan siapa-siapa saya. Tapi hubungan kami menjadi dekat sebab hal-hal tertentu. Beliau hingga kini menetap di rumah kenangan saya dengan mantan suami yang kami serahkan sebagai tempat berteduh beliau sekeluarga dulu karena sesuatu dan lain hal. Sejak itu kami serasa bersaudara. Bukankah persaudaraan tak harus berarti karena ikatan darah?!

Hari Minggu ini memang menyenangkan. Sore harinya selepas Ashar jeng Rahmi datang dengan temannya yang diperkenalkan kepada saya sebagai Dian. Padahal hari sudah mendung berat. Tapi agaknya beliau memang begitu penuh perhatian kepada saya meski perkenalan kami tak disengaja hanya gara-gara penyakit kanker payudara saya. Blog ini lah penghubungnya. 

Di tangan beliau sekantung salak Bali yang besar-besar dan masir diberikannya kepada saya sebagai buah tangan sehabis bekerja di Bali awal minggu lalu. Namun tak hanya itu, perhatian tak terhingga jeng Rahmi justru semakin mempesona saya. Lalu mampu meningkatkan kesadaran bahwa saya cuma manusia biasa yang tak boleh lupa kepada Kebesaran Tuhan. Sebab bagaimana mungkin, orang-orang yang tak ada kait-kaitannya dengan keluarga saya tiba-tiba datang mencurahkan perhatian dan kasih sayang mereka begini? Apa lagi penyebabnya jika bukan Kehendak Allah? Coba saja bayangkan, jeng Rahmi ternyata sengaja minta diantar temannya untuk memberi saya uang yang amat mencukupi biaya pengobatan saya minggu ini. Terharu rasanya waktu beliau menggenggamkan amplop tebal itu ke tangan saya yang sakit seraya meminta saya segera menemui dokter onkologi kami keesokan harinya di kantor beliau di Jakarta. Kelihatannya jeng Rahmi mau bilang begini, "jangan ditunda-tunda, besok segera konsultasi lagi dengan mas dokter ya. Pergilah ke Jakarta. Banyak masyarakat yang masih membutuhkan catatan harian anda sebagai pemandu menjalani hari-hari dengan kanker." Subhanallah! Sungguh di luar dugaan. Tak bisa masuk di pikiran manusia biasa! Saya ini manusia tanpa guna dan tiada daya, tetapi ternyata tanpa diketahui masih bermanfaat juga bagi sesama justru di saat saya sakit. TUHAN MAHA KUASA! Saya merasa Tuhan sedang tersenyum kepada kami : Saya dan jeng Rahmi beserta para sahabatnya.

Mereka yang menjenguk saling membagi cerita masing-masing. Titin yang baru kehilangan paman dari pihak ibunya mengisahkan sakit almahum yang sangat singkat. Kanker hati langsung menyeruak di stadium IV mengakibatkan kakek berumur 70 tahun itu tak lagi mampu melawan. Beliau berpulang dalam perawatan kemenakannya karena tidak pernah bekeluarga. Pekerjaannya sebagai seniman. Anak saya dulu menjulukinya sebagai "simbah menggambar" sementara para kemenakannya belajar menari serimpi pada beliau. 

Melihat kenyataan itu, rasanya sulit memercayai nalar bahwa beliau ternyata punya banyak kawan di luaran sana. Sebab selain murid-murid tarinya, pergaulan beliau nyaris tak berkembang. Jika sudah asyik menorehkan kuasnya di kanvas, beliau seperti orang yang tak mau bergaul dan bergabung dengan orang lain lagi. Terpaku pada dunianya sendiri. Tapi Tuhan memang ajaib. Di saat beliau berpulang banyak pelayat yang datang membantu mengurus pemakaman hingga tahlilan selesai. Semuanya amat meringankan adik saya Titin yang senantiasa ikhlas berbagi kasih sayang dengan almarhum. Subhanallah!

Keajaiban-keajaiban Tuhan ini menggelayuti pikiran saya semalaman hingga mampu membuat saya tersenyum dalam sakit. Dan akhirnya lena tidur pun singgah walau cuma sesaat. Namun adzan kaji subuh nyaris jua lama terlewat seandainya saya tak terbangun oleh suara-suara penduduk yang mulai ke luar rumah akan mengejar angkutan umum ke kantor mereka di Jakarta. Pagi merebak membawa harapan baru. Pekan baru sudah tiba. Dokter akan kembali segar di dalam merawat kami para pasiennya, meski stamina mereka sempat terkuras habis. Ya Allah, berkahilah sepanjang hidup mereka!

***

Kang Jamil yang kini sudah seperti menyatu dengan keluarga saya tiba tepat pukul enam pagi. Ini pun seperti curahan rahmat juga, sebab beliau sepertinya tak pernah berkeberatan mengantar saya meski tanpa mendapat uang lelah yang patut. Bahkan suatu hari kedapatan dirinya sendiri justru sedang sakit. Baqaimana saya tak mesti bersyukur untuk segalanya?!

Dia ikut bahagia waktu saya beritahu bahwa ongkos berobat kali ini datang sendiri atas kemurahan seseorang yang baru saya kenal. Dengan wajah polos mulutnya tersenyum lebar nyaris selebar dahinya yang membawahi kepala berambut tipis. Matanya sedikit membelalak. '"Alhamdulillah, aeh, meuni ku sae rizki teh geuning aya we ti mana-mana. Sok keun we lah ditutup ku batur, tuluy dipangmukakeun nu sejen ku Alloh....," komentarnya. Ya, beliau betul. Jika Allah berkehendak tak ada sesuatu pun yang bisa menghalang-halangi KehendakNya itu.

"Terus dokter Bayuna geus dikontak rek pariksa ayeuna?" Sambungnya memperingatkan agar saya membuat janji terlebih dulu dengan dokter saya. "Beres," jawab saya. "Pan ieu ge dipiwarang ku anjeunna keneh kontrol ka ditu. Sigana rek pemeriksaan mesin deui yeuh, da tumor teh bet mingkinan nganyenyeri," ungkap saya panjang lebar. "Oh, sok atuh sing merenah.....," sambutnya seraya mulai melaju di jalanan. Begitu penuhnya perhatiannya kepada saya walau kami pun bukan sanak-saudara. Deru deram mesin Toyota pak Haji tetangganya yang bahkan belum pernah saya kenal meninggalkan rumah mengikuti arus ke Jakarta. Jalanan sudah padat, maklum ini hari Senin saat penduduk yang seperti dokter saya pun harus kembali berpangkalan di Jakarta.

Sepanjang jalan kami mengobrol. Pak Jamil bilang pintu rizki Allah itu tak nampak tapi nyata adanya. Dia menceritakan kehidupannya yang tak punya penghasilan tetap. Apalagi sampai bisa membeli lalu memiliki mobil sewaan. Tapi nyatanya setiap saat ada saja orang mencarinya membutuhkan bantuan jasa transportasi. Dan pak Haji tetangganya pun mengizinkan mobilnya yang satu ini dipinjamnya untuk mencari nafkah, sehingga dia bisa hidup layak lagi mandiri. Renungkanlah, betapa Agung Kuasa Tuhan yang Maha Kaya itu!

Dia bilang lagi, kesabaran akan membawa saya menuju kesembuhan. Asal saya tekun berobat dengan cara apa pun. Tak terasa air mata saya meleleh karena ucapannya. Betapa dia memang baik.

Kepadatan arus lalu lintas mengakibatkan kami tiba agak kesiangan. Ternyata onkologis saya bahkan belum tiba karena ayah sejawatnya wafat di Cibubur, jadi mereka serempak melayat. Namun zuster bermata indah berambut ombak digelung itu menenangkan saya untuk sabar menunggu klinik swasta dibuka. Sebab kalau saya nekad pindah ke klinik yang lebih siang belum tentu saya akan kebagian nomor antrian. "Mari, saya ukur tensi dan BB dulu ya bu," ajaknya ramah seraya menyeret mesin tensi menjauhi kursi pasien. "Hei, pasien siapa itu?" Tiba-tiba sejawatnya yang tengah mendata pasien hari itu berseru dari mejanya. "Dokter Bayu, nomor lima." Oh, syukur sekali belum mendapat nomor di atas lima. Itu yang saya gumamkan dalam hati seraya berpikir rupanya onkologis saya memang disukai banyak orang. Terbukti kemudian ketika para dokter mulai praktek, kliniknya merupakan klinik terpenuh. Tak cuma dua-tiga pasien saja.

Ketika akhirnya tiba giliran saya menghadap, saya segera menghambur menjeritkan keluhan saya. "Maaf dok, kemarin dulu lupa nggak lihat tumor ya? Tiba di rumah waktu saya ke kamar mandi kaget. Ketiak saya yang sakit merah luar biasa dan bengkak sekali. Eh, ini tumor rasanya ikut-ikutan, malah termasuk ini di dahi ada yang nongol lagi," lapor saya seraya mulai melucuti jilbab dan blouse saya. 

"Oh ya?! Yuk duduk situ aja," katanya kebingungan seraya menghampiri saya. 

"Hm, ini iritasi makin hebat. Udah program fisio jangan dipikir, asal bebatan jalan terus ya," ujarnya seraya memeriksa lokasi yang sakit. "Yang di dahi, oh..... iya. Kapan sih bone scanning terakhir?" Lanjutnya lagi seraya bertanya. Beliau lalu menyudahi pemeriksaannya.

"Ya waktu mau masuk program habis mastek itu," jawab saya menerangkan.

Beliau terdiam sejenak langsung menukas. "Ah, forget it! harusnya dibone scanned atau CT Scan ya. Tapi nggak usah ah. Tumor ini memang mesti cepat dikemo sih. Cepetan ya bu, urus ke DKK, nggak perlu mikir fisio," perintahnya membuat keputusan. Inilah antara lain yang saya sukai dari beliau. Di dalam bertindak menata laksana penyakit pasien beliau selalu penuh pertimbangan. Daripada saya mesti membayar mahal untuk ongkos pemindaian tulang atau pencitraan kepala dan fisioterapi lebih baik saya mengemis segera dana Jamkesda untuk kemo. Toch pemeriksaan-pemeriksaan penunjang itu baru saja dilakukan, belum berselang enam bulan. Ada nilai ekonomisnya di sini.

"Ya mas, segera saya urus kemo siang ini juga. Kebetulan tadi apotik sudah telepon untuk acc resep dan protokol kemonya ke DKK. Pasien mesti datang mengurus sendiri, sekarang tidak lewat RS lagi," jawab saya menyetujui.

"Ya wis bu, jalan deh. Hati-hati ya," pesannya.

Saya tersenyum seraya mengucapkan terima kasih. "Maaf ngrepoti ya dok. Habis malam itu sakitnya minta ampun euy! Sampai saya SMS mbak Rahmi yang di sektor VII itu lho minta dido'akan. Eh, kok malah kemarin sore beliau datang bawakan ongkos banyak sekali. Katanya saya mesti cepat konsul sama mas dokter di Jakarta. Subhanallah!!! Bingung saya merasakan kebaikan-kebaikan yang begini ini........"

Perawat menarik yang sayang saya belum pernah tahu namanya yang mengasisteni dokter sampai memandangi saya seperti takjub tak percaya. "Lho, iya lho mbak. Kami pasien di Bogor banyak yang kondisinya susah. Maklum di kampung, ya 'kan dok? Sering saya merasa berdosa sudah menyusahkan mas dokter karena kepapaan saya yang membuat kasus saya tak mudah ditangani......," ungkap saya menyuarakan suara hati dengan getaran di pita suara saya. "Berapa banyak sudah saya berhutang budi pada mas dokter dan orang-orang itu???" Pertanyaan ini serasa menggantung di udara dalam ruangan yang senyap. Kami disergap keharuan. Lalu hening sejenak.

"Makanya dok, saya mau usul sama dokter Kepala Puskesmas desa kita dan pak Lurah untuk mengadakan penyuluhan kanker payudara pas hari peringatan kanker payudara, Mas dokter yang bicara, saya bersaksi sebagai pasien yang terlambat berobat, biar yang lain nggak lagi-lagi menyusahkan mas Bayu," ujar saya tiba-tiba terpikir ingin melontar ide.

"Oh, gutt!!! Ayo!" sambut beliau cepat. 

"Wah, hari kanker payudara 'kan masih tahun depan," cetus perawat.

"Ya mudah-mudahan perjuangan saya sama dokter berhasil ya dok?! Do'akan aja mbak. Lha 'kan kami sudah betekad mau nekad. Ayo ganbatte! Siap dimulai, saya ke RSKB dulu ya, terima kasih dok........." Ucap saya seraya bersalaman dan meninggalkan ruang klinik, "assalamu'alaikum. Nanti hasilnya saya kabari by E-mail malam hari ya dok." 

"Okay, gut lak bu!" Sahutnya seraya tersenyum manis dan bersiap-siap dengan pasien berikutnya. Selasar sudah mulai sepi, tapi masih cukup banyak yang mengantri di muka klinik beliau. Hari tinggal sepotong sebelum kelam malam menyelimuti alam. Ah, beliau memang patut sekali naik daun sekarang. Dan saya bertekad akan mendukungnya.

***

Perjalanan yang lancar membuat kami tiba segera di RSKB walau tidak ngebut di jalanan. RS sudah sepi pasien. Tapi tetap masih ada sejumlah orang ketika saya menghadap petugas apotik. "Oh bu Julie, sebentar ya," katanya ramah.

Diperlihatkannya resep obat saya lalu disampaikannya bahwa penghitungan harga sudah selesai. Karena saya memakai obat termahal yang belum pernah diresepkan kepada pasien pengguna Jamkesda Kota yang lain maka saya harus membawa berkas resep itu ke DKK sendiri. Di sana saya harus membicarakan kemungkinan-kemungkinannya. Jika diizinkan untuk dibeli maka obat tidak diganti, resep pun disetujui. Tapi jika tak dikabulkan, maka resep dikembalikan kepada dokter untuk diganti dengan obat yang lebih murah atau ada kesepakatan lain.

"Oh........, begitu ya?! Wah susah nih," gumam saya sedih. Muka saya langsung tertunduk lesu. "Bu, sebetulnya saya bukannya mau membobol dana Jamkesda. Ibu tahu sendiri 'kan, saya lama nggak kelihatan di sini? Itu disebabkan kasus saya memang berat. Sehingga dokter menggunakan dana pribadinya membawa saya ke kantor beliau di Jakarta. Di sana saya akan diikutkan penelitian obat WHO supaya bisa dapat kemo gratis. Tapi tertolak karena tumor saya sudah tumbuh lagi. Makanya sekarang saya dipulangkan ke sini," ungkap saya separuh menangis.

"Ya bu, yang sabar ya bu. Semoga ada jalannya. Jadi besok ibu ke DKK saja dulu, semoga di-acc," sahut petugas apotik itu seraya menatap saya iba. tapi ada senyum mengembang di wajahnya. Saya terima lembaran resep itu dari tangannya. Dingin rasanya tangan saya, sedingin angin di musim gugur. Setelah memasukkannya ke berkas-berkas RS saya melangkah pulang.

Hari tak lagi indah. Yang indah cuma suara lelaki muadzin masjid yang menyeru ummat untuk memohon kepadaNya. Allahu akbar, Allahu akbar! Tiada Tuhan selain Allah. Dan kepadaNya saya mohon kekuatan.

(Bersambung)

Senin, 28 Oktober 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (129)

"Oh, this gonna be a terible story again.......!" Itulah yang tersirat di dalam benak saya ketika saya menggunakan jemari di tangan kanan saya yang normal untuk memulai mengisi halaman hari ini. Pasalnya lengan kiri saya berulah betul. Mulai dari pangkal lengan di bahu yang bersambungan dengan supra clavicula alias tulang selangka saya yang ditumbuhi tumor bengkak besar sekali sehingga nyerinya semakin menjadi-jadi. Dagingnya kemerahan, pegal dan ngilunya tak lagi terkatakan. Jadi saya benar-benar hanya mampu menggunakan tangan kanan saya saja. Satu cerita yang memprihatinkan....

Nyeri ini sudah berlangsung beberapa hari lamanya. Semula saya tak memperhatikan bengkak itu. Konsentrasi saya adalah mengurangi rasa nyeri yang amat mengganggu. Sebab setiap saya posisikan tangan saya di satu sisi tertentu, denyutan-denyutan itu menjalar ke sekujurnya. Untuk meredamnaya saya minta anak saya memijat-mijat lembut karena saya pikir ini diakibatkan keteledoran saya, 4 kali mangkir dari jadwal fisioterapi dan kontrol kliniknya. Terus terang saja fisioterapi untuk penderita limfedema semacam saya harus rutin tiga kali seminggu di RS Kanker di Jakarta, karena hanya RS itulah yang memiliki sarana untuk penderita limfedema. Akibatnya lama-lama saya kewalahan juga.

Di Instalasi Rehabilitasi Medik RS Kanker, pasien dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama pasien rawat jalan yang terdiri dari pasien terapi limfedema dan pasien terapi okupasi. Kedua pasien rawat inap yang dibawa ke klinik didorong dengan tempat tidur dari kamar perawatannya, dan ketiga pasien Intensive Care Unit untuk melatih anggota gerak mereka supaya bisa tetap berfungsi. Khusus penderita limfedema, tangan atau kaki yang terserang akan dipijat menggunakan mesin pijat khusus, kemudian setelahnya terapis melanjutkannya dengan pijatan tangan manual yang lembut diakhiri dengan pemakaian pembebat (bandage). Itu sebabnya fisioterapi ini tak bisa dilakukan di setiap RS termasuk di tempat saya berobat di daerah.

Untuk mengatasi rasa nyeri ini saya minta jejamuan kepada sinshe saya, tetapi tak banyak menolong. Lalu saya minta izin dr. Maria teman saya untuk menelan obat pereda nyeri yang sangat jarang saya makan sebab saya sengaja berniat mengurangi obat-obat kimiawi. Beliau mengizinkan sambil memberikan instruksi penggunaannya yang tepat. Tapi lagi-lagi pemakaiannya sangat saya minimalisir hingga tiba saatnya saya berkonsultasi dengan onkologis saya untuk mendapatkan izin darinya. 

Sabtu sore itu waktu hujan deras sedang mengguyur kota kami, saya berangkat menyewa angkutan kota. Kata pengumuman hari itu onkologis kami akan berpraktek mulai pukul 5 sore. Saya tengarai ini sehubungan dengan pekerjaan beliau di Jakarta pada sebuah RS yang menerima pasien-pasien tertentu. Tentu saja saya bangga kepada beliau sebab masih saja banyak pasien yang mencari beliau meski tidak di tempat tugasnya sebagai PNS. Bagi saya itu tandanya banyak yang memercayakan diri kepadanya. Tak dinyana beliau malah belum tiba. Mobilnya yang jantan mengilap belum nampak. Beberapa pasien sudah duduk menunggu di selasar muka klinik. Walau kata teh Ade perawat yang bertugas hari itu dokter akan tiba pukul tujuh sebab baru bisa meninggalkan tempatnya belum lama berselang. Tak mengapa pikir kami, daripada beliau tidak datang sama sekali, kelak ke mana kami harus menggantungkan nasib? Ada juga sih sebagian pasien yang memilih berganti dokter. Tapi banyak yang tak sudi "terlempar" ke tempat lain dengan seribu satu alasan walau kebanyakan karena dokter kami ramah-tamah dan informatif. Saya ingatkan kepada bu Maesaroh sesama pasien yang sudah nenek-nenek, bahwa penampilan dokter kami segar menyejukkan pandangan. Ternyata beliau pun tertawa geli, "hehehehe....... sumuhun geuning," ungkapnya setuju.

Begitu beliau tiba di muka klinik, yang pertama dilakukan dokter itu menyapa saya dengan pertanyaan, "kenapa nggak mulai-mulai kemo sih? Saya tunggu teleponnya nggak ada?!"

"Sekarang kami sudah mulai dapat kejelasan tentang dana Jamkesda. Nanti kita bicarakan di dalam ya dok, selamat tugas," jawab saya seraya melempar senyum dan mengacungkan ibu jari. Dibalasnya dengan senyuman, "oke, nanti ya."

Coba dipikir-pikir, di mana ada komunikasi antara pasien dengan dokternya bisa secair kami? Rasa-rasanya mungkin memang saya yang kebablasan. Tapi sangat boleh jadi ini ditunjang oleh keramah-tamahan beliau semata. Nyatanya terhadap pasien lainnya pun bahasa tubuh beliau patut diacungi jempol sehingga tak ada pasien yang takut bertanya-tanya mengenai segala hal yang berkaitan dengan penanganan penyakitnya. Saya sering mendengar sendiri dari balik dinding pemisah.

Saya menunggu giliran dengan semestinya. Di kiri saya tiga orang pasien duduk berjejer sambil mengobrol. Ketiga-tiganya pasien dari wilayah Kabupaten. Bahkan ada yang datang dari sekitar RSUD yang memiliki tenaga dokter onkologis juga. Tapi entah mengapa Puskesmas Desanya merujuk beliau ke kota di tempat kami berobat yang jelas-jelas lebih jauh. Menurut penuturannya tumornya di payudara tak bisa dioperasi lagi. Walau dokter sudah menggunakan segala keakhliannya tumor itu tetap menempel kuat di tempatnya. Jika dilihat secara kasat mata ibu muda ini tak nampak payah. Tapi jangan ditanya, meski masih gagah, berjalan tegak dan tak kurus kering ~walau juga tak gemuk~, beliau penderita stadium IV-A. 

Tumornya sudah luka pecah seperti kondisi saya dulu sehingga saya menularinya ilmu merawat dan membersihkan luka tumor. Yakni dicuci dengan cairan Natrium Chlorida, kemudian disalep dengan krim khusus selanjutnya ditutup kain kassa yang diperkuat dengan diapers bayi sebagai penyerap cairan yang sering keluar dari luka. Luka kanker begini memang sering mengeluarkan banyak darah juga nanah yang menimbulkan bau busuk. Itu gunanya diapers bayi, yakni penyerap cairan luka sekaligus penghambat bebauan.

Untuk mengatasi sakitnya dokter memberinya obat Xeloda yang harus rajin ditelan sepanjang masa. Obat yang mahal ini didanai program Jamkesda yang disarankan dokter untuk diurus semasa baru berobat dulu. Dia mengakui kepada kami bahwa sama halnya dengan saya, dia dulu terlambat berobat karena ketiadaan biaya. Ini mengakibatkan kesulitan tingkat tinggi dalam penanganan dan penyembuhannya. Untung pasien ini berobat kepada dokter yang mempunyai pengetahuan dan pandangan luas.

Di antara pasien itu ada yang menerima keberuntungan sama dengan saya dari dokter kami. Dia dibawa ke Jakarta juga dan biayanya diringankan seringan-ringannya. Tapi sampai malam itu kalau tidak saya beritahu, beliau tak akan pernah tahu seberapa banyak dokter kami mengeluarkan dana pribadinya ketika operasi itu berlangsung. Perempuan paruh baya itu langsung terdiam, terpukau oleh jumlah sangat besar yang telah terucap dari mulut saya. Subhanallah! Semoga Allah membalas segala kebaikan budi beliau sebanyak-banyaknya. Begitu mungkin yang digumamkannya di dalam hati pada gelap yang mulai pekat yang menemani kami di RS.

Teman kami yang seorang lagi malam itu membenarkan bahwa banyak pasien yang telah diupayakan dengan segenap daya oleh onkologis kami untuk sembuh, meski ternyata tak semua terotolong. Sudah ada 4 orang yang mendahului kami, bebernya seraya menyebut nama mewreka satu persatu. Sementara saya ingin tahu keadaan dan keberadaan dua orang lainnya yang sudah tak pernah lagi bertemu di RS. Sayang beliau tak tahu juga. "Bersiap-siaplah selalu, karena panggilanNya bisa datang sewaktu-waktu," beliau yang tertua di antara kami berempat memperingatkan membuat saya lalu kembali merenungi keadaan saya yang serba belum jelas ini.

"Bu Julie," panggil zuster Ade setelah dua di antara kami berempat ada yang selesai diperiksa. "Ya bu," jawab saya sambil melangkah masuk. "Silahkan duduk dulu ya bu," sambung teh Ade seraya melanjutkan pekerjaannya mempersiapkan berkas-berkas pasien. Memang di RS ini pasien akan diminta masuk ke klinik sebelum pasien sebelumnya selesai dan keluar dari klinik. Maksudnya supaya tak ada jeda waktu lama antara satu pasien dengan pasien berikutnya. Dari balik sekat pemisah tentu saja terdengar percakapan dokter dengan pasien di dalam yang bagi saya sedikit banyaknya malah menambah wawasan pengetahuan. Sehingga akibatnya seperti kata perawat pasien onkologis kami kebanyakan cerdas dan mudah menangkap penjelasan pihak RS.

Tak berapa lama zuster Ninik kerabat saya sendiri keluar diiringkan pasien yang selesai diperiksa, "Monggo bulik," sapanya seraya meneruskan pelayanan administrasi pasien sebelumnya. "Oh, nuwun nak," jawab saya tersenyum lebar.

Kami langsung masuk ke pokok pembicaraan, yakni soal permohonan pendanaan obat kemoterapi dengan Jamkesda. Agaknya dokter saya lupa bahwa beliau pada jadwal praktek sebelumnya tak sempat datang sehingga pasien yang membutuhkan persyaratan administrasi tertulis tak tertangani. Biasanya hal itu terjadi kalau pasien beliau di kantornya di Jakarta amat meluap seperti ketika naskah ini saya ketik, ada 51 orang berdasarkan laporan perawat yang mengasisteninya.

"Lha, kalau kita susah ketemu di sini, ibu aja yang ke Jakarta. Kemo jangan ditunda. Perlu apa lagi dari saya?" Kata beliau nampak gusar menahan kecewa campur kegelisahan mengingat kondisi saya yang terus memburuk. Asal jangan dilihat penampakan saya sih hihihihi..........

"Lha ini lho, protokol kemo belum ditandatangani dan dilengkapi dok. Capnya juga di sini. Belum lembar permintaan periksa lab, echo dan EKG adanya disini......," balas saya setengah menggantungkan kebingungan. Saya pandangi wajah beliau yang selalu rapi dan segar itu nampaknya mengerti.

"Oh iya ya. RS nya beda......," sahutnya seraya tersenyum-senyum sendiri.

"Nah kecuali boleh TST. Saya minta kemenakan saya zuster Ninik mengambilkan lembaran-lembarannya dan dicap duluan. Terus saya bawa ke Jakarta dengan berkas protokol kemo untuk panjenengan isi dan tanda tangani. Gimana, mas dokter?! Nak Ninik 'kan mau ya nolong bulik?" Sambut saya harap-harap cemas. Yang langsung disetujui keduanya. "Ya lain kali kalau kejadian lagi gitu aja deh bu, pokoknya kemo sesuai jadwal," putus dokter saya tegas. Kelihatan benar bahwa beliau tidak main-main dengan urusan penanganan penyakit saya. Ada permainan berpacu melawan ajal di sini.

Karena merasa sudah malam meski belum larut, sambil beliau menulis-nulis saya mengeluhkan rasa nyeri yang tak terkatakan itu. Tapi saya tak memperlihatkan tumor dan lengan saya. Saya tak mau menyita waktu beliau sebab pasien lainnya sesudah saya pasti juga sama-sama sedang menahan sakit. Jadi saya tak mau egois. Dokter mendengarkan dengan cermat lalu menyuruh melakukan ini-itu untuk penolongnya. Obat pereda nyeri saya ditambahnya, termasuk memberikan penetral asam lambung yang biasanya meningkat karena makan obat itu. Bahkan kemudian beliau memutuskan untuk memberi saya kemoterapi per oral (yang ditelan) kalau-kalau obat koktail kemoterapi saya tak segera diberikan. Maklum harganya sangat mahal melebihi perkiraan kami sebelumnya, yakni 43 juta Rupiah setiap bulan. Tak lupa beliau menekankan, jika kelak koktail kemoterapi didapat dan dipakai maka obat yang ditelan tadi harus dihentikan.

Proses kemudian berakhir di apotik karena ternyata koktail obat yang harus saya pakai merupakan obat jenis baru yang belum pernah diresepkan sebelumnya. Petugas apotik bilang mereka harus minta persetujuan dulu kepada Dinas Kesehatan Kota (DKK). Karena itu resep harus disimpan sehari untuk mencari tahu berapa pastinya harga obat itu agar dapat diajukan permohonannya ke DKK.Jadi saya ini akan jadi pengguna koktail obat itu untuk yang pertama kalinya dengan dana Jamkesda seandainya dikabulkan. Di dalam hati saya bermohon agar tercapai, sebab saya masih ingin hidup untuk berbagi kebaikan di dunia. 

"Kalau ditolak bagaimana, bu?" Tanya saya.

"Diganti dengan obat sejenis yang lebih murah, atau.......... tunggu sebentar ya bu, saya bicara dengan dokter ibu dulu," jawab petugas yang masih setia melayani pasien meski tentu saja sudah kelelahan. Lalu dia menghilang cukup lama sampai akhirnya memberikan jawaban bahwa dokter bersedia menghapus satu yang termahal di antara ketiga obat itu. Kami lalu dipersilahkan pulang menunggu dikabari di rumah karena keesokan harinya tiba hari Minggu. Secepatnya kami akan dikabari.

***

Mencapai rumah saya merasakan kelelahan yang sangat. Tentu saja campur nyeri yang menghunjam itu. Segera saya bertukar pakaian, mengambil air sembahyang dan makan malam supaya bisa cepat makan obat. Tak sengaja mata saya bertumbukan dengan cermin yang sudah lama saya hindari.

Alangkah terkejutnya saya ketika mendapati bayangan yang sangat buruk di cermin. Tubuh saya sepertinya tak lagi simetris. Lengan dan bahu yang sakit amat besar. kemerah-merahan pertanda bengkak. Saya menjerit ngeri sendiri sehingga mengejutkan anak saya. Dia lalu mencari tahu apa yang terjadi. Demi dilihatnya saya mencermati tubuh sakit saya sambil meringis dia pun mengertilah. Lalu saya minta untuk menghubungi dokter yang saya duga juga baru tiba di rumahnya atau bahkan masih di perjalanan. 

Telepon kami tak dijawab. Anak saya kemudian berkirim SMS yang alhamdulillah segera disambut dengan telepon. Tak ada percakapan apa pun dari anak saya selain gumaman "ya", dan "baiklah" dan "terima kasih". Agaknya dokter langsung bicara sepihak menjelaskan instruksinya. Benar sih, anak saya bilang dokter meminta saya ditenangkan, menelan obat penahan sakit dan mencoba tidur. Hanya kemoterapi lah yang bisa meringankan penderitaan saya. Bukan fisioterapi yang selama ini saya utamakan juga. Dokter meminta saya menemuinya di kantor beliau lusanya yaitu Senin (28/10) pagi sebelum akhirnya menutup telepon.

Saya menuruti nasehat beliau. Sayang nyeri itu begitu dominan. Setidak-tidaknya dia lebih menyita perhatian dibandingkan rasa lelah dan kantuk. Akibatnya saya gelisah berguling-guling di pembaringan. Mulai kembali siksaan nyeri keparat itu! Ingin rasanya saya menjerit seperti anak kecil. Tapi ah, malu! Anak saya saja begitu tenang menghadapi saya. Mereka bergantian berebutan membelai-belai tubuh saya yang sakit membuat hati semakin terkoyak rasa malu dan hutang budi kepada mereka. Nyata sekali kini saya tak lagi berdaya. 

Dalam kesakitan ini tiba-tiba saya teringat pasien kenalan baru saya yang tinggal tak jauh dari rumah. Beliau ternyata baru kembali dari luar kota waktu saya minta didoakan supaya bisa mengatasi sakit ini. Tapi betapa baik hatinya. SMS saya segera dijawabnya. Dia mengusulkan untuk segera menghubungi dokter seperti yang telah kami lakukan. Setelahnya beliau menjanjikan untuk menengok saya segera keesokan sorenya sambil berpesan agar saya sabar, tawakal, berdzikir terus memohon kekuatan. Wah, dunia ini, di sekeliling saya ternyata dihiasi pribadi dan akhlak-akhlak yang baik. Jadi rasanya saya semakin sayang kalau terpaksa harus segera pamitan menuju peraduan saya yang abadi. Maka saya akan terus bertekad melawan penyakit ini sampai kapan pun juga. Semoga saja panjang nyawa saya. Sepanjang kebaikan dan cinta kasih banyak pihak yang terus terulur kepada saya hingga saat ini. Barakallahu untuk mereka yang telah ikhlas melakukannya bagi saya! Salam erat!!!

(Bersambung)

Jumat, 25 Oktober 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (128)

"LEMBAH BIRU" demikian saya namakan "dunia" saya. Sebab saya mengenyam banyak haru-birunya kehidupan selama lebih dari setengah abad di dunia. Saya pernah hidup senang dimanjakan keadaan tapi sekaligus terselip coreng-moreng bilur-bilurnya luka ketika Allah menghendaki mencoba ketangguhan saya meneguhi iman saya kepadaNya. Itu sebabnya serial tak berujung ini saya namai "Serenada Dalam Lembah Biru".

Tak disangka, ternyata buku harian sederhana ini mendapat tempat di hati banyak netter. Soalnya kemarin saya menerima SMS jauh dari seberang benua yang menyatakan bahwa pengirimnya adalah teman dari teman saya yang tertarik membaca buku harian saya ini. Menurutnya saya dan anak-anak saya adalah makhluk yang tangguh dalam berjuang menyiasati hidup sulit yang penuh hambatan. Bahkan menjelang pintu kematian. Wanita itu menyatakan empati dan simpatinya terhadap apa yang dinamakannya perjuangan kami anak-beranak sekaligus mendoakan semoga Allah selalu memberikan kemudahan dan barokahNya. 

Beliau tak jauh berbeda dari teman-teman sekolah saya sendiri. Iwan dan istrinya Tetty, contohnya. Tak disangka-sangka pula kemarin pagi teman saya semasa di SMP ini menjenguk ke rumah setelah menanyakan alamat saya kepada Tati sahabat saya yang tinggal di dekat rumah. Kata Iwan yang kini sudah menyelesaikan pekerjaannya di sebuah Bank Pemerintah dia punya banyak waktu luang. Karenanya dia sering berselancar di internet dan menjalin komunikasi dengan teman-teman lama melalui jejaring sosial. Di komunitas itulah dia mendengar kabar sakitnya saya sehingga tergerak untuk mencari saya sekedar menunjukkan simpati dan upaya menolong. Banyak teman yang menggambarkan kondisi saya yang menghebat di sana sehingga di dalam bayangannya dia harus segera turun tangan mendampingi anak-anak saya menjalani hari-hari sulit ini. Padahal kami sudah genap empat puluh tahun berpisahan, terkendala jarak dan pekerjaan.

Dan Iwan yang mengoleh-olehi saya setabung suplemen herbal penjaga kesehatan yang konon ampuh melawan berbagai macam penyakit itu pun tak sendirian. Nampaknya Iwan yang nyatanya terkagum-kagum melihat sosok saya yang tak berpenampilan orang sakit langsung mengunggah soal pertemuannya dengan saya di jejaring sosial. Sehingga malam harinya, Hendriyani, juga teman di SMP yang terus bersama-sama hingga di SMA mengirimkan salam dan doa untuk saya lewat SMS. Dia pun menganggap saya tangguh. Katanya dia angkat topi. Seandainya dia yang mengalami nasib dan sakit seperti saya, dia merasa belum tentu kuat menjalaninya. Dia lalu mendoakan semoga upaya menggapai kesembuhan saya bersama dokter onkologi saya yang juga berarti adik kelasnya sendiri mendapat kemudahan jalan yang mulus dari Allah. Kelihatan betapa tulusnya perhatian dan kasih sayang teman-teman semua terhadap saya. Oh ya, tengah kami ~saya, Iwan dan Tetty~ mengobrol Iwan pun membacakan pesan dari Yenny teman kami lain lagi yang katanya berhasrat juga mengirimi saya suplemen herbal. Aduh tak dinyana, perhatian dan kasih sayang teman-teman kepada saya begitu meluap. Alhamdulillah, ini berarti berkat Tuhan yang besar bagi kami.

***

Nyonya Iwan alias Tetty bercerita tentang pengalamannya mengonsumsi herbal itu. Semula dia menderita kelainan pada kandungannya. Ketika hamil anak pertamanya dulu, dokter yang merawatnya terpaksa melakukan kuretase dua kali sebab si ibu hamil selalu mengalami perdarahan di usia kandungannya yang muda. Semula dokter akan melakukan kuretase ketiga, tetapi karena sudah merasa sangat kesakitan dia dan suaminya menolak. Kemudian kandungannya diperiksa secara teliti dan dinyatakan sebagai kehamilan di luar kandungan (hamil ektopik). Dalam pada itu dia merasakan ada keanehan di perut bagian bawah yang terasa seperti berisi benjolan keras. Akhirnya diputuskan mencari pendapat kepada dokter lain (second opinion) yang hasilnya dia dinyatakan mengidap kanker rahim neoplastik sehingga harus menjalani pembedahan segera. Tapi setelah itu dia sama sekali tak dikemoterapi atau diradiasi. Persis seperti yang dilakukan dokter-dokter di Singapura ketika dulu saya juga sakit di organ-organ reproduksi saya. Alasan dokter waktu itu, semua kista yang dibersihkan di rahim dan indung telur saya bersifat jinak.

Mendengar ceritanya mengenai kehamilan ektopik itu, saya langsung teringat pengalaman saya sendiri. Satu di antara kedua belas operasi saya adalah operasi untuk kasus hamil di luar kandungan ini. Waktu itu saya merasa menstruasi saya tidak teratur. Ketika sudah dua bulan tidak menstruasi, tiba-tiba perut bagian bawah saya terasa sakit serta saya mengalami perdarahan. Karena ambang rasa sakit saya diakui orang-orang tak sama dengan kebanyakan orang, maka saya pun masih bisa beraktivitas dengan baik sampai akhirnya darah yang mengalir dari organ kewanitaan saya semakin menjadi-jadi. Saat itulah baru saya merasa keskitan sehingga dilarikan ke rumah sakit dan langsung dibedah. Inilah pembedahan keempat yang saya alami sepanjang hidup. Beda benar pengalaman saya dengan pengalaman Tetty.

Selain kasus kandungan itu, istri teman saya ini juga pernah ditumbuhi apa yang menurutnya dinamakan kelenjar nyaris di sekujur tubuhnya. Ketika memeriksakan diri ke RS Kanker tempat saya berobat pada onkologis kolega onkologis saya dia akan dibedah untuk membuang kelenjar-kelenjar itu satu demi satu. Demi mendengar kata bedah dia ketakutan, sehingga mundur. Selanjutnya katanya sih dia mencoba suplemen herbal yang kemarin dihadiahkannya kepada saya. Dan hasilnya dia sembuh. Begitu juga dengan radang sinus suaminya serta penyakit-penyakit lain yang kerap membuat anak-anak mereka dirawat di RS.

Saya tak mengerti apa yang dimaksudkan kelenjar oleh teman saya ini. Menurut pengertian saya semasa sekolah dulu kelenjar adalah alat tubuh yang bisa menghasilkan cairan. Contohnya kelenjar ludah, kelenjar air mata, kelenjar keringat. Tapi yang saya tangkap dari penggambaran dalam ceritanya adalah benjolan-benjolan di dalam daging. Ini katanya harus dikorek satu per satu dengan pisau bedah. Itulah yang membuatnya ngeri.

Setelah Iwan dan istrinya pulang semakin banyak lagi yang menjenguk saya. Di antaranya Yani yang berambut jagung semasa kecilnya dulu. Kulitnya pun cenderung terang mirip kulit orang Eropa. Teman-teman saya tergerak menjenguk lagi ~dan lagi~ karena saya minta didoakan oleh Boetje salah satu teman kami yang rajin menanyakan kabar saya via SMS. Dan seperti biasanya saya selalu berterus terang menjawabnya. 

Yani bilang almarhum adiknya dulu juga menderita kanker. Penyakit membahayakan ini menyerang bapak dua orang anak pada pahanya. Tepatnya di tulang. Osteosarcoma namanya, membuat kakinya membengkak sebesar karung berisi 25 kg beras hingga harus diamputasi. Pasien mulai merasakan ketidak beresan ketika sering merasa nyeri seperti tulang-belulangnya ditarik-tarik di bagian kaki.

Tapi kanker belum tentu menghabisi nyawa seseorang. Dari obrolan dengan teman-teman saya kemarin terungkap juga bahwa sebagian dari para penderita kanker di sekitar mereka meninggal bukan disebabkan penyakit kankernya. Ada yang diganggu penyakit jantung juga seperti yang pernah saya alami tiga bulan yang lalu. Mirip dngan bujukan penambah semangat yang sering disampaikan sepupu saya, katanya orang tua sahabatnya tidak wafat oleh kanker payudara melainkan oleh faktor penyakit lain. Itu sebabnya teman-teman yang datang menjenguk saya terus menyemangati saya untuk tetap menjaga kondisi saya seperti sekarang agar tidak lunglai di atas pembaringan.

Prediksi mereka semangat hidup saya lah yang menambah kekuatan pada tubuh yang hendak dihabisi kanker. Mungkin di dalam hati mereka bertanya-tanya : "Tidak kah saya takut akan mati?" 

Kematian itu memang menakutkan. Sebab kita tak pernah tahu apa rasanya ketika nyawa sedang dicabut. Juga bagaimana menjalani hidup di alam yang baru. Sebab semasa hidup kita hanya bisa melihat sepetak tanah teronggok dengan lubang menganga yang siap menghimpit raga tanpa nyawa. Ibarat sebuah misteri, tak mungkin orang tak ketakutan dalam tanda tanyanya yang besar.

Tapi bagi pasien semacam saya ketika ditanya soal takut mati, maka saya hanya merasa bahwa jika kematian ini dimaksudkan Tuhan untuk menjawab tanda tanya tentang kapan rasa sakit saya akan sirna abadi, maka saya pasrah menghadapi ajal. Cuma saya masih ingin mengulurnya dengan segala upaya yang saya harap kelak bisa membantu memperbaiki kondisi banyak pasien lain serupa saya.

Inilah yang dulu membuat saya bersemangat memperjuangkan diri ikut penelitian sebagai subjek penggunaan suatu obat yang tengah dikembangkan. Bagusnya onkologis saya pun mendukung. Saya langsung teringat dokter paliatif yang kebetulan teman saya mengungkapkan bahwa tim medis yang menangani saya pun merasa terdorong untuk mencari segala cara menyembuhkan saya. Mereka seperti halnya Hendriyani teman saya, salut kepada usaha saya.

Ini jugalah yang kini mencuatkan niat mencoba menggunakan obat kemoterapi kualitas kedua hanya dengan pengawasan onkologis saja tanpa ahli kemoterapi yang tak pernah dimiliki RS kecil seperti tempat saya berobat. Saya katakan kepada onkologis saya bahwa saya percaya kepadanya, dan yakin akan penanganan yang dirancangnya untuk saya sebab saya ingin beliau lebih mumpuni lagi di dalam menangani kasus-kasus sulit. Anggaplah kasus saya sebagai batu ujian untuk menaik kelaskan beliau sehingga ilmunya bisa lebih banyak lagi. Kemudian kelak saya baru akan tersenyum bahagia dari alam mana pun karena menyaksikan beliau berada di area papan atas para pakar onkologis.

Ah teman-teman dan saudara-saudara saya yang baik, izinkan saya melakukan semua itu dengan menekan semua rasa nyeri yang disebabkan tumor saya kuat-kuat. Terima kasih atas oleh-oleh suplemen herbal mana pun yang terbukti telah menguatkan stamina saya. Juga doa-doa serta kunjungan-kunjungan penyemangat hidup saya. Semoga Allah memberikan balasan berupa kebaikan yang banyak. Hari sudah berganti pagi. Kini saatnya saya akan mengonsultasikan diri di klinik onkologi. Insya Allah semua akan baik-baik saja. Salam sehat dan tetap semangat!

(Bersambung)

Rabu, 23 Oktober 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (127)

Laman ini sudah sejam terbiarkan tanpa sepatah kata pun menghiasi dirinya. Bukan karena tak ada yang ingin saya catatkan di sini, melainkan karena saya tak tahu apa yang harus saya tuliskan untuk menggambarkan perasaan saya. Sebab seribu satu rasa berkecamuk mewarnai hati di dalam hari-hari kehidupan saya. Sebagai penderita kanker yang masih terkatung-katung menanti berlangsungnya pengobatan saya tentu terselip rasa khawatir menghadapi penyakit ini. Sebab telah berkali-kali dokter menekankan bahwa saya sedang berlomba dengan waktu.

Waktu. Saat sangkakala ditiup malaikat pecabut nyawa. Dan padang Mashar membentang terbuka gerbangnya untuk dimasuki jiwa yang dipanggilNya. Tuhan Maha Kuasa! Terima kasih. Saya belum mau mati! Maka jangan panggil saya untuk masuk ke sana sekarang!

Gara-gara pihak Tata Usaha RS menegur kami soal permintaan dana bantuan Jamkesda tempo hari, saya jadi bersitegang dengan anak saya. Soalnya besok saya sudah harus kembali ke klinik onkologi dengan dana Jamkesda. Berarti hari ini anak saya harus ke Puskesmas dan DKK untuk mengurus surat rujukan sebagai bukti penerima dana pemegang SKTM. Untung pihak Puskesmas dan DKK tidak rewel. Rujukan diberikan dengan mudah. Malah bu dokter kepala Puskesmas desa saya menanyakan tentang kondisi saya kepada anak saya. Kelihatan betul bahwa beliau sangat khawatir karena mengetahui benar keadaan kami.

***

Nyeri dan pegal. Itulah yang saya rasakan di tumor dan juga di kelenjar getah bening ketiak saya. Belum lagi pangkal paha saya yang ngilu, rasanya semakin menjadi-jadi. Tak ada obat yang bisa meredam sakitnya, sebab krim pereda nyeri otot pun terlarang untuk saya pakai karena limfedema memang istimewa. Daerah yang terserang itu tak boleh terkena panas. Jadi saya tak berani menggunakannya. Sedih dan bingung sekali rasanya. Hingga air mata yang selalu saya tahan nyaris membuncah ke luar. Tengah malam saya pun terbangun, menggelinjang gelisah dari satu sisi ke sisi lain tempat tidur saya berusaha mendapatkan kenyamanan. Sejak itu sampai pagi saya tetap terjaga membuat tubuh saya kini lunglai dan sedikit lebih mengantuk dibandingkan hari-hari biasanya.


Kanker adalah serupa hantu. Bagi seseorang yang pernah menderita dan sudah bertahun-tahun dinyatakan bersih, kanker ini tetap menakut-nakuti. Sebab jika pasien tak mau merubah gaya hidupnya menjadi gaya hidup sehat kanker dapat kambuh kembali.

Seorang nenek berumur tujuh puluh enam tahun pernah diobati tiga belas tahun yang lalu karena kanker payudara stadium terminal (IV). Kondisi itu membuat kankernya tak lagi dapat dioperasi. Jadi dokter mengobatinya secara paliatif yang bertujuan meringankan rasa sakitnya dengan teknik penyinaran (radiasi) juga kemoterapi. Pengobatan itu tak disangka mendatangkan hasil. Kankernya sempat dioperasi lalu dia dinyatakan sehat meski harus menjalani kontrol rutin setiap enam bulan sekali ke dokter onkologi. Namun nyatanya kini kankernya tumbuh kembali, dioperasi lagi juga dikemoterapi. Jadi, mengidap kanker sama dengan menjalani ujian hidup. Sulit untuk mengatakan bahwa kanker benar-benar bisa disembuhkan.

Seorang dokter yang menjadi dosen di daerah menderita kanker otak yang berawal dari kanker payudara. Semula kankernya baru mencapai stadium II A sehingga dioperasi dilanjutkan dengan kemoterapi. Setelah sempat dinyatakan sembuh tiba-tiba muncul rasa sakit yang disebabkan luka di dalam mulutnya. Ternyata dia menderita kanker lidah. Setelah kembali menjalani pengobatan dengan kemoterapi ditambah radiasi yang menghentikan serangan kankernya, kini, empat tahun sejak pertama ditemukan kanker itu telah menyerang otaknya. Tak ada ampun, ditinggalkannya pekerjaannya untuk selama-lamanya demi berkonsentrasi pada pengobatannya yang ternyata belum juga menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Tubuhnya semakin kurus dan lunglai. Dia yang semula mengasuh banyak mahasiswa kini harus bergantung pada perawat untuk menjalani kesehariannya. Betapa ngerinya!

Di klinik dokter ahli penyakit dalam saya juga sempat bertemu dengan pasien uzur penderita kanker di kelenjar thyroid. Bicaranya sudah mulai tidak jelas apalagi diperberat oleh penyakit stroke yang nyaris melumpuhkannya. Kata istrinya dulu beliau sudah juga dibawa onkologisnya ke RS Dharmais untuk ditreatment dengan teknik ablasi menggunakan zat iodine radio aktif. Gejala yang dialaminya dulu adalah benjolan di leher bagian depan, suara yang berubah akibat rusaknya pita suara di sekitar thyroid serta kesulitan bernafas. Lengkap sudah penderitaan kakek tua itu. Sehingga kini dia tetap rutin berobat dan kontrol ke klinik onkologi. Sayang dia terpaksa berganti dokter karena onkologisnya pindah dari kota kami. Tapi saya percaya di bawah dokternya yang baru yang dalam penilaian banyak orang cerdas dan tidak gegabah ini beliau akan tertangani dengan baik. Sebabnya onkologis kami tidak pelit bicara.

***

Harusnya malam ini saya kontrol ke klinik onkologi sekalian menyelesaikan resep kemoterapi yang sudah mendapat kejelasan tentang pendanaannya. DKK bisa mendanai lewat dana Jamkesda dengan kualitas obat yang diturunkan namun isi jenisnya sama. Hari Sabtu saya sudah melapor dengan SMS kepada onkologis saya tentang hal itu sekaligus mohon perkenan untuk berkonsultasi pada hari Rabu. Waktu itu beliau membolehkan sehingga pagi-pagi sekali anak saya sudah datang mendaftar. Hati saya sudah gembira dengan angan-angan yang menyenangkan, tapi tiba-tiba tadi siang dokter mendadak membatalkan jam praktek kliniknya. Seperti biasanya ini disebabkan ada kasus gawat darurat yang membuat pasien-pasien rawat jalan diminta mengalah. Tentu saja saya kecewa. 

Terbayang seandainya di kota kami pada satu RS ada lebih banyak jam praktek onkologis atau bahkan beberapa onkologis yang bekerja diangkat secara tetap, tentu semua pasien terlayani dengan baik. Lagi-lagi saya cuma bisa menghela nafas menahan sabar seraya menunggu semoga kelak pemimpin daerah kami yang baru berpikir tentang hal yang sama. Apalagi saya tahu persis penyakit kanker menghinggapi keluarga besarnya secara turun temurun. Setidak-tidaknya saya menghadiri doa kematian neneknya dulu, sedangkan ayahnya juga meninggal karena kanker seperti halnya beberapa sepupu beliau. Kanker itu memang cenderung bersifat genetis diwariskan dari satu generasi ke generasi di sebuah keluarga yang sama.

Beginilah rasanya jadi orang sakit yang tak punya biaya. Tentu pengobatan tak akan ada pilihan. Sudah beruntung onkologis saya menunjukkan jalan keluar untuk saya di antaranya minta bantuan DKK mendapat dana Jamkesda. Jika tidak saya pasti segera akan mati. Tadi siang pegawai pabrik obat yang sempat dihubungi anak bungsu saya beberapa minggu yang lalu untuk menanyakan harga obat langsung dari pabriknya meneleponnya. Dia menanyai bila anak saya siap akan membelikan obat untuk saya. Sebab katanya kemoterapi tak baik jika ditunda-tunda. Ya Allah, lorong hitam itu kembali mendekat mengingatkan saya untuk bersegera. Dan sebagai jawabnya saya cuma bisa berdoa dan berharap semoga dokter membuka kliniknya hari Sabtu nanti.

Jadi sebagai gantinya saya tadi berobat di sinshe menggunakan dana yang dikirimi teman baik saya. Sinshe kemudian menambahkan obat-obatan untuk meredakan keluhan nyeri saya. Dia bilang dia tetap bersedia mengupayakan menolong saya meski sekarang menjadi berat sebab kanker saya sudah sempat dilukai dengan operasi. Pesannya dulu, kalau ingin sembuh sempurna sebaiknya sel kanker tak dilukai. Hindari tindakan bedah bahkan menggaruk-garuk tumor yang sakit itu untuk menghindari luka. Tapi saya sudah terlambat. Akan kah saya bisa sehat kembali? Hanya kepada Allah saya pasrahkan semuanya.

(Bersambung)

Senin, 21 Oktober 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (126)

Lain dokter lain gayanya. Lain pasien lain lagi fisiknya. Saya dan kakak sulung saya sama-sama penderita kanker payudara. Sama-sama di dada kiri, cuma beda stadium.

Saya yang sudah dua tahun merasa sakit, ketika berobat setahun lalu sudah langsung ketahuan mencapai stadium III-B dengan ukuran massa tumor yang sangat besar. Sedangkan kakak saya yang baru menyadari sakitnya setengah tahun yang lalu dinyatakan penderita stadium II-A. 

Usia kami berjarak enam belas tahun. Artinya kakak saya sudah masuk golongan "senior citizen" yang melewati usia tujuh dasawarsa, sedangkan saya sedikit di atas setengah abad. Dengan sendirinya stamina kami berbeda. 

Meski masih nampak perkasa karena kakak saya pensiunan guru di sekolah kejuruan yang mengandalkan otot selain otaknya untuk mengajar, tetapi sesungguhnya staminanya sudah lemah. Tenaganya mulai kekurangan daya, tak bedanya dengan fisik saya yang memang sudah menyandang sakit lebih dari sepuluh tahun meski tak nampak secara kasat mata. Hanya rekam medik saya diberbagai RS lah yang bisa mengukuhkan pengakuan saya ini. :-D

Penyakit saya ditandai dengan mengerasnya payudara layaknya pengaruh hormonal pada wanita yang sedang menstruasi. Lama-lama di situ terasa nyeri seperti dicubit-cubit hingga mampu membangunkan saya dari lelap tidur malam hari. Selain itu timbul rasa gatal di seluruh permukaannya tanpa bisa diredam dengan garukan karena letaknya di dalam daging sana. Selanjutnya massa itu pecah menimbulkan bau akibat luka yang mengeluarkan nanah bercampur darah. Soal sakitnya tolong jangan ditanya.

Ada pun kakak saya mendapati benjolan yang kenyal di payudaranya yang juga menimbulkan sakit. Tapi beliau bilang sih seperti ditusuk-tusuk. Ada rasa gatal ditambah puting yang melesak serta tekstur kulitnya mengeriput. Mengingat ketika gadis kakak saya pernah menderita tumor jinak (fibro adenoma) maka dokter pun mencurigai penyakit yang telah dibuang dengan pembedahan lebih setengah abad yang lalu itu tumbuh kembali.

***

Dokter bedah tumor (onkologis) memeriksa contoh jaringan payudara kami yang sakit untuk melihat ada tidaknya keganasan. Caranya dengan mengambil massa tumor sedikit lalu diperiksa di laboratorium. Tindakan ini dinamakan biopsi. Ibu kami dulu juga menjalaninya ketika ketahuan mengidap sirosis hati.

Biopsi terdiri dari dua macam yakni sederhana dengan menggunakan jarum sangat halus serta terbuka berupa tindakan pembedahan di ruang bedah. Biopsi jarum ini dipakai onkologis saya karena resiko sakit pada pasien sedikit, paparan sel tumor terhadap udara terbuka nyaris tak ada sehingga tak membahayakan pasien dan lagi murah sebab cukup dilakukan di klinik saja. Kata kerabat saya yang almarhum ayah mertuanya penderita kanker, jika memungkinkan massa tumor jangan sampai berinteraksi dengan udara bebas karena dapat menjadi-jadi. Dulu almarhum dibiopsi terbuka. Setelah dikemoterapi ternyata tumornya muncul kembali lalu dibiopsi lagi untuk yang kedua kalinya. Sejak itu kondisi pasien memburuk. Jadi biopsi jarum yang dilakukan tanpa sayatan pada massa tumor ternyata dimaksudkan untuk mengurangi resiko buruk seperti itu.

Biopsi dengan jarum yang jauh lebih kecil jika dibandingkan jarum pengambilan darah di laboratorium benar-benar tak menyakiti pasien. Itu yang saya rasakan dulu meski tumor saya sudah luka menganga. Jaringan yang terangkat berupa lembaran tipis putih kekuning-kuningan serupa lemak/gajih ukurannya kecil sekali. Seingat saya kata dokter biopsi jarum selain bertujuan menetapkan ada tidaknya keganasan, juga mengetahui tingkat keganasan itu sendiri ~jika ganas~, apa penyebabnya serta berada di stadium berapa. Untuk diketahui kanker terdiri dari stadium I (awal) hingga IV (sangat lanjut/stadium terminal). Menurutnya hasil biopsi jarum ini cukup akurat sehingga beliau lebih memilihnya dibandingkan teknik biopsi terbuka.

Teknik biopsi terbuka dipilih onkologis kakak saya. Biopsi ini membutuhkan ruang bedah dan pembiusan karena dokter menyayat massa tumor pasiennya. Sayang saya tidak tahu persis seberapa banyak contoh jaringan yang diambil karena pasiennya pun dalam keadaan tidak sadar. Pasien perlu menginap di RS. Lamanya tergantung kesiapan fisik masing-masing. Kakak saya yang uzur perlu 3 malam, sama lamanya dengan masa perawatan pengangkatan payudara beserta kelenjar getah bening ketiak saya yang memakan waktu 4 jam.

Menurut dokternya, biopsi terbuka ini hasil pemeriksaan contoh jaringannya lebih baik. Dokter saya pun membenarkan. Karena yang diperiksakan memang lebih banyak. Jadi untuk menangani pasien stadium awal kata dokter kakak saya lebih baik diterapkan biopsi terbuka.

***

Prosedur penatalaksanaan pengobatan penyakit kanker pun ternyata tidak sama pada satu pasien ke pasien lain.  Ini tergantung ukuran tumor dan stadiumnya. Berhubung tumor saya sudah sangat besar dengan stadium lanjut mendekati stadium terminal, dokter tak mungkin membedahnya segera. Untuk mencapai hasil yang maksimal terangkatnya semua akar sel perlu lah tumor itu dikecilkan ukurannya. Usaha ini dilakukan dengan tindakan kemoterapi yang dinamai sebagai "neo-adjuvant therapy" sebelum dibedah. Saya diberi 4 kali (4 siklus). Tumor memang agak mengecil sesudahnya, sehingga memudahkan pembedahan. Sayang koktail obat kemoterapi yang saya terima tidak cocok untuk kasus saya. Jadi kemoterapi lanjutan yang saya jalani pasca operasi harus diganti dengan koktail obat yang sesuai. Semula niatnya saya tinggal menjalani dua kali kemoterapi lagi sesudah pembedahan sehingga genap menjadi enam kali sebagaimana aturannya. Sayang kemoterapi itu dianggap gagal di kali kelima, sehingga kelak setelah obat diganti saya harus memulai dari bilangan pertama lagi sebanyak 3 putaran sehingga jumlahnya menjadi delapan belas kali. Untuk saya, kemoterapi pasca pembedahan merupakan hal yang harus disegerakan (emergeny case).

Pada kakak saya penderita stadium awal dengan tumor sangat kecil, operasi justru didahulukan. Meski tak ada penyebaran ke kelenjar getah bening ketiak tetapi mengingat riwayat kanker payudara pada saudara sedarah dan sejarah tumor jinak pada dirinya, maka kelenjar getah bening ketiak kakak saya pun turut diambil sedikit. Istilahnya "dibersihkan" sebagai tindakan pencegahan. Setelah pembedahan barulah dikemoterapi sebanyak enam kali. Walau seharusnya jeda antara satu kemoterapi ke kemoterapi berikutnya ditentukan tiga minggu, tapi dalam kasus seperti kakak saya keterlambatan satu-dua minggu masih bisa ditoleransi. Onkologisnya bilang tidak akan membahayakan, karena tumornya toch sudah dibuang semua. Berbeda dari kasus saya yang tumornya harus dilumpuhkan dengan obat-obatan itu. Apalagi tumor saya yang tumbuh di pembuluh darah sekitar tulang selangka yang merupakan bagian dari kelenjar getah bening tidak bisa dioperasi.

Dokter mengatakan mental pasien harus dipersiapkan. Pasien harus diyakinkan dan diingatkan untuk tak merasa takut menghadapi penyakitnya yang sudah dibuang meski menimbulkan efek sakit fisik akibat kena obat kemoterapi. Hal ini tak mudah dilaksanakan. Karena ada pasien yang memang menpunyai pembawaan rasa khawatir yang terlalu besar. Akibatnya seperti kakak saya, psikisnya terganggu menimbulkan dampak kehilangan nafsu makan dan gairah hidup. Tapi saya justru berusaha melawan ketidakmujuran saya dengan membesar-besarkan rasa tenang berpasrah diri karena Allah jugalah yang mengatur alur kehidupan manusia. Alhamdulillah seumur-umur saya cuma sekali merasa perlu berkonsultasi dengan dokter paliatif untuk meminta jasanya.

Hari ini kepasrahan saya ada buahnya. Sudah bulat. Rasanya manis pula. Anda boleh percaya boleh tidak.

Berhubung keterbatasan dana di kantung kami sedangkan urusan kelangsungan pengobatan saya masih belum selesai, hari ini saya mangkir ke RSKD. Padahal seharusnya seminggu tiga kali kondisi limfedema tangan saya yang dioperasi ketiaknya harus difisioterapi. Ada mesin khusus untuk itu yang hanya dimiliki RSKD. Kondisi saya pun harus dipantau dan dicatat secara rutin sampai tumor saya menghilang kelak. Sayang kami mulai kewalahan mendanai perjalanan dan pengobatan sejauh itu. Apalagi kondisi saya tak lagi memungkinkan berdesak-desakan naik kendaraan umum. 

Mendengar diskusi diam-diam anak-anak saya, maka saya putuskan untuk melakukan pemijatan dengan tangan semampunya saja di rumah. Baru kelak kalau saya harus berkonsultasi dengan dokter ahli kemoterapi, saya sekalian ke Instalasi Rehabilitasi Medik. Saya siap untuk ditegur dianggap sebagai pasien tidak disiplin. Namun tak urung wajah anak-anak saya sepertinya kecewa juga melihat kenyataan ini sehingga mereka tetap mengharapkan ada pertolongan bagi kami. "Tapi ah, yang penting minggu ini ibu tetap bisa ke sinshe deh," hibur si bungsu yang saya benarkan. Ya, sinshe telah terbukti menjaga stamina saya.

Tak dinyana tiba-tiba tadi pagi datang kiriman untuk anak bungsu saya sejumlah ongkos ke sinshe seminggu. Subhanallah!!! Jawaban untuk mereka terbalas segera. Kiriman "Jamkes Kasiho" dari Mexico City yang belum sempat saya ceritakan kepada teman DWP kami yang menjadi penanggung jawab pengobatan saya adalah anugrah instant dari Sang Maha Pemurah. Maka kini berkaca-kaca mata saya yang memang ditutupi kaca mata karena terlalu bahagianya, Itulah sebabnya bagi penderita penyakit berat dianjurkan sekali untuk selalu berserah diri tapi bersemangat hidup. Hidup ini indah, manis rasanya, bukan?!

Oh ya soal limfedema itu, tak semua pasien yang kelenjar getah bening ketiaknya dioperasi akan mengalaminya. Contohnya kakak saya tetap normal sampai sekarang. Sebab limfedema yang berasal dari kata "limfe" (kelenjar getah bening) dan "oedema" (bengkak) ini terjadi tergantung dari berapa luasnya kelenjar itu dibuang dokter. Semakin banyak bagian-bagiannya yang dibuang kerusakan tentu saja semakin parah. Cairan di kelenjar getah bening itu tak ada penopangnya lagi sehingga turun melorot ke tangan menimbulkan pembesaran di sekujur lengan yang kita kenali sebagai bengkak.

Sampai kapan pun juga limfedema tak bisa dinormalkan kembali. Karenanya pasien memang cuma bisa pasrah diri dengan mempersiapkan mental sekuat baja. Inilah sebabnya saya bisa mengalahkan fisioterapi demi terapi di sinshe yang jelas-jelas membantu mengatasi efek samping kemoterapi saya. Besok anak saya akan kembali mengurus surat-surat untuk kontrol ke klinik onkologi. Insya Allah hari Rabu malam resep obat kemoterapi dari dokter onkologi saya sudah dapat diajukan. Dan ini artinya kemoterapi saya bisa dilanjutkan kembali. Saya benar-benar bertekad sembuh untuk membahagiakan anak-anak, dokter dan kerabat saya yang rela merawat menolong saya sejak lama. Maka jika Allah mengizinkan akan saya dedikasikan kasus penyakit saya sebagai latihan kerja bagi onkologis saya yang belia tapi cemerlang ini. Insya Allah. Bismillahirahmanirahim. La haula wa la quwwatta illa billah............

(Bersambung)



Sabtu, 19 Oktober 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (125)

"Bersyukur di setiap cuaca di sepanjang musim." Demikian diketikkan kenalan terbaru saya di ujung SMS sapaannya Sabtu pagi yang saya terima ketika saya sedang makan pagi di kantin RSKB yang punya nasi goreng dan gudeg lezat. Nasi dengan bumbu yang pas itu saya minta hanya dilauki telur saja sebab saya menghindari daging-dagingan termasuk daging ayam sejak saya sakit. Pagi tadi saya mesti minum obat juga meski saya dalam keadaan sedang menunggu praktek klinik penyakit dalam dibuka. Saya harus memeriksakan kesehatan saya sebelum kemoterapi berikutnya masuk lagi ke tubuh saya. Artinya tubuh saya harus dipersiapkan agar prima menggempur obat-obatan sitostatika yang terkenal sangat beracun itu.

Perempuan terpelajar pendidik itu sedang dalam persiapan ke Bali mengikuti konferensi internasional sewaktu tiba-tiba terbersit ingin mengontak saya. Barangkali pemicunya adalah isi buku harian saya di dunia maya ini yang kerap sengaja diaksesnya meski tanpa menjadi pengikut saya atau sekedar meninggalkan pesan. Saya tak terlalu yakin, tapi yang jelas dia terkesan pada isi buku harian saya. Selalu itu yang dinyatakannya kepada saya. Termasuk kata zuster Ninik kerabat saya yang pernah ditanyai olehnya mengenai pasien klinik onkologi pemilik blog "Sanctuary of Julie".

Syukur adalah keharusan untuk saya anak-beranak sekarang ini. Bayangkan dalam keadaan keluarga yang tidak lagi utuh, penyakit saya yang sudah lama menetap mengganggu semakin kejam. Saya tak mampu lagi berobat sehingga pasrah pada nasib. Ini saya lakukan juga demi kenyamanan dan kedamaian hati anak-anak saya yang belum ada yang mandiri.

Menghadapi situasi seperti ini tak terduga anak-anak menjadi semakin dekat satu sama lain, lebih mandiri sehingga bisa mengambil alih tugas-tugas rumah tangga saya. Selain itu cinta kasih mereka kepada saya meluap-luap hampir sama dengan semakin meluapnya cinta mereka kepada Tuhan dan ajaran-ajaranNya. Mereka menjadi semakin rajin beribadah dan menjauhi laranganNya. Inilah yang amat perlu saya syukuri.

Melihat perjuangan dan pengorbanan mereka merawat mengupayakan kesembuhan saya, maka tak ada kata lain selain syukur itu juga di dalam hati saya. Bayangkan dalam serba keterbatasan mereka ikhlas berbagi dengan saya supaya saya bisa berobat. Termasuk mengikuti saran baik teman-teman kami yang menghendaki saya berobat kepada dokter ahli di Jakarta meski artinya biaya pengobatan menjadi sangat besar padahal tak tahu harus didapat dari mana.

Tak boleh saya tak bersyukur menerima cobaan ini. Karena kenyataanya Allah menunjukkan dengan Kemaha-HebatanNya bagaimana saya harus mencari dana berobat. Mula-mula saya ditunjukiNya sanak kerabat dan teman-teman yang tulus menyayangi kami. Kemudian mereka menunjuki bahkan membuka jalan bagi saya berobat ke klinik dokter yang tepat yang sejak lama cuma mampu saya idam-idamkan. Selanjutnya di zaman manusia terlalu sibuk, dokter itu justru meluangkan waktu atas kehendaknya sendiri untuk mencarikan jalan mendapat biaya pengobatan bagi saya. Padahal pasien beliau selalu amat banyak. 

Belum lagi saya kemudian dibawa serta ke kantornya yang memiliki fasilitas amat baik supaya bisa tertangani. Jujur saja kasus penyakit saya memang sudah terlanjur berat. Sel-sel ganas itu meruyak mengokupasi separuh dada saya hingga meluas ke daerah-daerah di sekitarnya. Seandainya saya tak memperoleh jasa dokter yang satu ini, barangkali saja sudah lama saya tertimbun tanah untuk menciuminya selama-lamanya. Saya sudah mati, begitu lho.

Karena itu saya amat bersyukur atas karunia indah di saat penyakit saya kian meraja lela sekarang ini. Terkadang meski dengan lelehan air mata, tapi itu hanyalah manifestasi dari keharuan yang membuncah-buncah di lubuk hati. Saya pun menyapa Tuhan dengan sebentuk kepercayaan yang tulus serta permohonan semoga mereka yang telah berbaik hati kepada saya menerima balasan yang indah-indah sepanjang hidup mereka.

***

Sabtu pagi itu saya menggunakan fasilitas Jamkesda yang sudah saya miliki untuk memeriksakan diri ke dokter ahli penyakit dalam sesuai rujukan dokter onkologi sebelum program kemoterapi dimulai kembali. Rabu tiga hari sebelumnya, saya membayar sebagai pasien umum dikarenakan saya tak punya kesempatan untuk mengurus proses administrasi lainnya ke Dinas Kesehatan Kota. Sebab hari itu saya berobat di RSKD Jakarta sejak sehabis subuh berkonsultasi ke beberapa klinik sepengetahuan onkologis saya. 

Bahkan akhirnya saya tak sempat ke klinik onkologi sebab hari sudah menjelang sore. Tapi saya lega mendengar penjelasan perawat yang mengasisteni onkologis saya bahwa hari itu pak dokter akan langsung bertolak ke Bogor karena tak ada pasien gawat darurat yang membutuhkan operasi mendadak. Jadi saya putuskan saja untuk mengunjungi klinik beliau di RSKB Bogor tanpa dana Jamkesda. Toch kebaikan onkologis saya masih menyisakan ruang gerak yang cukup untuk saya berobat di RS. Mengingat beratnya penyakit saya onkologis saya berpendapat tak boleh menunda-nunda waktu untuk segera memulai rencana kemoterapi. Malam itu kami harus merancang ulang penatalaksanaannya dan menyiapkan prosedur administrasinya yang makan waktu lama.

Alangkah terkejutnya anak saya ketika mendaftar di RS pada hari Sabtu beberapa hari sesudah Rabu. Dia ditegur petugas bagian pendaftaran. Mereka menganggap saya tidak menenggang rasa menggunakan dana Jamkesda padahal saya nampak mampu terbukti dengan sesekali saya bisa membayar secara mandiri. Diingatkannya kami bahwa di luaran sana banyak masyarakat yang berebut dana Jamkesda namun tak mendapatkannya. Dengan begitu sepatutnya kami berkaca diri.

Seperti dipukul saya merasakan nyeri yang amat sangat. Melebihi nyeri yang ditimbulkan penyakit saya sendiri. Pasalnya kami sebetulnya hanya melakukan itu jika kami sedang mendapat banyak bantuan dari teman dan kerabat, terutama justru dari pihak dokter saya sendiri. Banyak biaya yang dibayarkan mereka tanpa saya harus menceritakannya ke mana-mana. Inilah yang tidak dimengerti pihak administrasi RS. Maka dengan ringkas anak saya mengatakan minta maaf sebab pada hari itu kami kehabisan waktu untuk mengurus administrasi Jamkesda setelah seharian berobat ke Jakarta. Pihak RS tidak mendebat namun tetap menyatakan kekecewaan mereka yang menyedihkan saya. Jadi agaknya kebaikan seseorang belum tentu bisa dimaknai positif oleh pihak-pihak lainnya. Alangkah sedihnya.

Namun beruntungnya saya karena dokter ahli penyakit dalam memberikan penjelasannya, bahwa agaknya pihak administrasi RS merasa kerepotan mengurus administrasi keuangan saya sebagai pasien Jamkesda. Ah betul juga, keberuntungan saya menerima pertolongan dari banyak pihak justru menimbulkan masalah bagi RS. Saya harus minta maaf untuk ini. Dan sebaiknya barangkali saja saya lebih baik menolak segala kebaikan yang sering saya terima dari dokter berjiwa sosial yang kini tak banyak lagi saya temui di masyarakat. Daripada saya membingungkan administrasi RS. :-D

Dokter ahli penyakit dalam bersedia menerima saya kembali untuk pemantauan jalannya kemoterapi yang akan datang. Dokter yang satu ini termasuk salah satu favorit saya juga, dikarenakan selalu mengucap kalimat suci "Bismillah......" sebelum melaksanakan pengobatan baik memeriksa pasien maupun menulis resep, serta tak segan-segan menjawab pertanyaan pasien yang datang menghadap kepada beliau membawa keluhan panjang. Saya perhatikan di atas meja kerja beliau, sebentuk buku agama tergeletak rapi namun tak berdebu. Saya yakin buku itu menjadi acuannya di dalam menangani para pasiennya. Tak heran jika kliniknya selalu penuh pasien meski beliau praktek nyaris setiap hari di RS ini.

Beliau mendengar terlebih dulu kisah penolakan kemoterapi saya di Jakarta. Setelah itu bertanya-jawab lalu memeriksa saya dengan cermat. Daerah sekitar jantung saya diketuk-ketuknya seraya mendapat perhatian lebih dibandingkan daerah-daerah lainnya. Saya pun ditanyai apakah saya merasakan sakit di situ. Tentu maksudnya untuk menilai apakah kondisi denyut jantung saya kini sudah membaik setelah saya diberi obat yang banyak. Puas mendapat jawaban saya bahwa saya tak merasakan sakit kecuali di area tumor saya yang rasanya menjalar hingga ke dada, serta pemeriksaan dokter jantung di minggu sebelumnya yang menyatakan bahwa kondisi ketidakteraturan denyut jantung saya sudah membaik maka saya diizinkannya duduk kembali. Beliau kemudian menuliskan resep yang sesuai dengan keadaan saya sekarang. Suplemen jantung ditiadakannya, sementara obat jantung pun dikurangi dosisnya. Adapun obat darah tinggi saya masih tetap diberikan dalam dosis yang sama. Beliau menambahkan juga suplemen untuk memelihara kadar darah merah dan darah putih saya yang akan sangat berguna untuk menjalani kemoterapi nanti. Dalam pada itu beliau tetap menyemangati saya untuk terus menjaga kondisi tubuh saya karena beliau membandingkan dengan kondisi kakak saya yang juga pasien kemoterapi di bawah pengawasan beliau. Saya berjanji untuk melaksanakannya. Bukankah niat saya memang sehat kembali sebagai persembahan berharga untuk anak-anak saya dan dokter yang budiman itu?

Menjelang dan sekembalinya dari RS saya memberitahukan keadaan saya kepada onkologis saya lewat SMS sekaligus minta izin konsultasi pada hari Rabu di Bogor saja. Terus terang kami mulai kesulitan menjangkau Jakarta karena segala keterbatasan kami semakin mempersulit gerak langkah kami. Dokter menjawab dengan baik. Saya diizinkan menemui beliau Rabu malam. Alangkah leganya hati saya karena berarti langkah selanjutnya menyelesaikan pembelian obat-obat kemoterapi sudah semakin jelas. Saya mendengar penjelasan dari perawat bahwasannya obat-obat yang didanai oleh Jamkesda pada masa sekarang ini berkurang jauh harganya dibandingkan dulu. Tapi khusus untuk obat-obat kemoterapi pihak DKK akan mengabulkan permintaan dokter dengan menurunkan kualitas obatnya sehingga harganya terjangkau. Yang utama isi kandungan obatnya pasti serupa dengan permintaan asli dokter onkologis yang tahu betul kebutuhan pasiennya. Jadi saya punya bayangan bahwa obat second line yang diresepkan dokter saya akan diberikan. 

Dengan kemudahan itu kami tinggal mengatur langkah selanjutnya yakni pelaksanaan kemoterapi dan manajemen keseharian pola hidup pasien. Hampir dapat dipastikan dokter onkologi kembali akan meminta bantuan jasa dari dokter ahli bedah umum senior yang mengetuai komite medik sebagai pengawas pelaksanaan kemoterapi selain dokter jaga yang bertugas pada saatnya nanti. Lalu kontrol seminggu pasca kemoterapi dilakukan di RSKD pada dokter ahli kemoterapi konsulen beliau selama saya berobat di sana. Dan pemeriksaan rutin lain-lainnya berada di bawah pengawasan dokter ahli penyakit dalam di RSKB sini termasuk pemantauan kondisi jantung saya melalui echocardiogram dan electrocardiography yang dilaksanakan oleh konsulen ahli penyakit jantung dan kardiovaskular sejawatnya. Hasil-hasil semua itu tentu saja saya laporkan tersendiri kepada onkologis saya yang akan mengevaluasi tindak selanjutnya penatalaksanaan penyakit saya. Gamblang, tak ada yang menjadi hambatan.

Jadi kemarin saya tiba di RSKB dengan rasa gundah separuh kecewa ingin marah, tetapi pulangnya melenggang dengan tenang. Penyebabnya saya sudah mendengar penjelasan perawat bahwa obat kemoterapi akan diberikan dengan diturunkan menjadi obat kualitas kedua alias second line. Selain itu para konsulen onkologis saya sudah menyatakan kesediaannya menerima saya kembali di bawah pengawasan mereka. Matahari selalu bersinar cerah untuk saya meski nyatanya kemarin sore Bogor sempat diguyur hujan lebat. Selamat menutup akhir pekan saudara-saudaraku!

(Bersambung)
Pita Pink