Powered By Blogger

Kamis, 29 Mei 2008

SERIAL RESTO PADANG : GULAI TUNJANG

Description:
Saya agak bingung menakar resep masakan yang satu ini, sebab catatan pemberian bu Barlian sudah hilang entah kemana seiring seringnya kami berpindah-pindah rumah. Tapi masakan ini tetap jadi salah satu yang paling digemari keluarga kami, terutama suami saya. Sebab rasa tunjang (kaki sapi) yang kenyal betul-betul sangat khas dan menggoda selera. Bahkan boss saya di Dharma Wanita dulu, yang kebetulan aslinya orang Eropa Baratpun ketagihan makan masakan satu ini.

Resep ini saya buat dengan kira-kira, semoga ada yang mau "memungutnya".

Ingredients:
Tunjang (kaki sapi), santan kelapa (tidak sebanyak santan yang dipakai memasak rendang).

Bumbu-bumbunya : Bawang merah, bawang putih, jahe, kunyit ditumbuk halus semua, cabai giling, daun kunyit, lengkuas dan sereh diambil putihnya saja kemudian keduanya dimemarkan, daun jeruk, garam.

Directions:
Mula-mula tunjang dipotong-potong sepantasnya, dikerik bulunya dengan pisau silet yang sangat tajam/cutter lalu dibakar hingga licin. Setelah itu direbus hingga empuk, dimasukkanlah bumbu halusnya, lalu disantani. Aduk-aduk, sampai tercampur rata baru dimasukkanlah daun kunyit, lengkuas, daun jeruk dan sereh. Masak hingga matang sambil diaduk-aduk agar santan tidak pecah. Garami dan rasakan nikmatnya.

SERIAL RESTO PADANG : GULAI NANGKA MUDA

Description:
Ciri khas masakan Minangkabau sudah barang tentu bersantan, dan bercabai. Inilah sebabnya nangka muda merekapun dibuat pedas. Namun, meski pedas, olahan tangan bu Barlian sedap!

Ingredients:
Nangka muda (kalau resep ini aslinya di Indonesia sana, satu buah nangka), daging berlemak setengah kilogram, 4 gelas santan dari sebutir kelapa.

Bumbu-bumbunya : 4 sendok makan cabai giling, 10 butir bawang merah, jahe, lengkuas sepotong dimemarkan, 2 lembar daun kunyit, dan 3 batang serai diambil putihnya dimemarkan dan garam secukupnya.

Directions:
Nangka setelah dikupas dan dibersihkan, dipotong kecil-kecil. Daging juga dicuci dan dipotong kecil-kecil kemudian direbuslah bersama cabai gilingnya. Tumbuklah bawang merah dan jahe.

Bila daging sudah cukup empuk, baru dimasukkan bumbu-bumbu seluruhnya berikut santan. Didihkan dulu. Terakhir baru nangkanya dimasukkan hingga empuk dan matang. Jangan lupa digarami.

Rabu, 28 Mei 2008

SERIAL RESTO PADANG : DENDENG BALADO

Description:
Kesulitan kita mengerjakan dendeng balado terletak pada cara mengiris dagingnya. Perlu bantuan tukang daging di pasar (butcher) sebab harus betul-betul tipis. Kemudian mengeringkan dagingnya. Secara tradisonal kita memakai sinar matahari (dijemur), tapi saya menyiasatinya dengan mengoven daging di api kecil. Dan di Eropa sana dulu saya membeli daging carpaccio yang memang tipis seperti kertas.

Ingredients:
Sekilo daging diiris tipis sekali, dua sendok makan air jeruk limau, sesendok teh garam (munjung), dan minyak goreng.

Bumbu-bumbunya : 6 butir bawang merah, 10-15 buah cabai merah, 7 lembar daun jeruk purut, tiga perempat sendok teh garam, 4 sendok makan air jeruk limau, minyak goreng untuk menumis.

Directions:
Mula-mula daging dicuci, kemudian dilumuri garam dan air jeruk. Setelah tercampur rata, dijemur di panas matahari atau dioven dengan api kecil, dikira-kira sendiri seberapa lamanya, pokoknya sampai kering (tapi bukan hangus). Setelah itu digoreng supaya matang dan renyah.

Dalam pada itu siapkan cabai dan bawang merah ditumbuk kasar. Tumis bawang merahnya hingga harum, kira-kira tiga menitan sudah cukup. Tambahkan cabainya, masukkan juga daun jeruknya, tumis lagi sampai cabainya layu. Baru garami dan bubuhi air jeruk. Aduk rata, kemudian ditaburkan di atas gorengan dendeng tadi.

SERIAL RESTO PADANG : RENDANG

Description:
Resep bu Barlian ini sangat sederhana, tapi membutuhkan waktu yang sangat lama. Seharian kita harus tahan berdiri di muka kompor untuk mengaduk-aduk rendang di api kecil. Namun soal rasa jangan ditanya, sedap!

Ingredients:
Sekilo daging, tiga butir kelapa dibuat santan.

Bumbu-bumbu : satu setengah ons cabe merah, 20 butir bawang merah, 10 siung bawang putih, sejempol lengkuas diparut, dua lembar daun kunyit (kalau tidak ada, pakai kunyitnya sebagai pengganti), lima lembar daun jeruk, dua batang sereh diambil putihnya dan dipipihkan, sedikit minyak untuk menumis, garam secukupnya.

Directions:
Mula-mula daging dicuci bersih, kemudian dipotong tebal-tebal kira-kira jadi empat belas potong. Cabai, bawang merah dan bawang putih masing-masing dihaluskan. Kemudian ditumis dengan sedikit minyak. Mula-mula bawang merahnya dulu agak lama, baru masukkan cabai, aduk-aduk lagi, lalu masukkan bawang putih, aduk-aduk lagi sampai harum baru masukkan parutan lengkuas. Jika sudah kelihatan matang, masukkan daging dan santan cair, sereh, daun jeruk dan daun kunyit serta garam. Terus masak hingga santan surut, kemudian tuangkan santan kental sampai habis semua. Teruskan masak sampai betul-betul kering. Usahakan jangan hangus dengan sering-sering diaduk. Kita tidak berarti harus berdiri terus di muka kompor, boleh ditinggal-tinggal, tapi jangan lupa sambil membolak-balik rendang. Hasil akhirnya, rendang harus kering, namun berminyak, sedangkan bumbunya legit dan gurih. Kalau rendangnya masih basah, ini dinamakan "Kalio", belum jadi rendang. Waktu memasaknyapun lebih singkat. Rendang ini Bertahan berminggu-minggu asal disimpan dengan baik.

SERIAL MENU RESTO PADANG : KERIPIK KENTANG BALADO

Description:
Dulu, ibu mertuaku punya tetangga yang sangat baik. Ibu Barlian namanya, perempuan Minangkabau yang masakannya terkenal lezat. Saking baiknya, bu Barlian tidak pelit-pelit menularkan berbagai resep masakannya kepada tetangga, termasuk ibu mertuaku. Beliau dengan cermat kemudian mencatat resep bu Barlian lalu ditularkan kembali kepadaku. Sebagai hidangan pembuka dibuatlah menu yang satu ini.

Ingredients:
Sekilo kentang, diiris tipis-tipis kemudian digoreng dalam minyak panas yang banyak kira-kira dua atau tiga menit hingga kuning, kemudian diangkat.

Bumbu-bumbu : 6 buah cabai merah, 5 butir bawang merah, sesendok teh gula, sesendok teh garam, lima sendok makan air jeruk limau, 2 sendok makan minyak untik menumis.

Directions:
Haluskan bawang merah dan cabai, kemudian tumis dengan minyak di api sedang kira-kira empat menit sampai harum. Kemudian masukkan gula dan air jeruknya, lalu masak lagi kira-kira dua menit baru ditambahkan garamnya sambil diaduk hingga rata. Setelah itu kecilkan apinya, masukkan gorengan keripik kentang sampai tercampur bumbu semua, kira-kira lima menitan juga. Setelah itu diangkat dan boleh ditambah dengan seledri dirajang halus kalau suka.

Senin, 26 Mei 2008

ADA SAATNYA AKU LEBIH BERSYUKUR

Sudah lebih dari seminggu kutinggalkan buku harian ini. Aku bingung, apa lagi yang harus kutulis disini? Yang ada padaku hanya keluhan, yang mengguratkan luka dalam pada siapapun yang membacanya.

Keadaanku tidak membaik juga, sekalipun aku sudah menggunakan banyak waktu untuk beristirahat. Nyeri itu masih tetap disitu, malah semakin mengoyak-ngoyak malam hariku yang senyap. Hampir seminggu yang lalu aku membangunkan suamiku secara tidak sengaja. Malam itu deraan ngilu mencambuk bahuku hingga aku berteriak dari dalam lelapnya tidurku.

Ketika kusadari dan terjaga, suamiku sudah lebih dulu terbangun. Dia duduk dari tidrurnya, membelalak kaget menatapku. Mulutnya terbuka menanyakan apa yang terjadi, Dan tangan kokoh itu mengusap pipiku yang banjir air mata. "Sakit?" tanyanya cemas. Getar-getar gelisah tertangkap dari suaranya. Aku tak bisa menjawab. Mengulum lagi semua ucapanku dengan isak tertahan yang keluar tanpa kusadari. Seperti sengatan listrik yang panas semuanya menjalari bahuku hingga ke lengan. Ingin rasanya aku segera menyudahi semua ini. Tapi apa daya, aku hanya manusia biasa yang harus menggantungkan nasib pada kuasa Illahi dan pertolongan orang lain. Lelehan air mata itu semakin tak tertahankan.

Itulah hari-hariku akhir-akhir ini. Hanya seputar sakit dan kesakitan. Cobaan Tuhan yang kesekian kali yang sedang kucoba untuk kuredam. Aku hanya butuh kesabaran, dan sebaris doa dari orang-orang yang kukasihi untuk mempertebal permohonanku padaNya.

-ad-

Sehari ini, Tuhan telah dua kali menegurku dengan caranya yang halus. Pertama, di pagi hari sahabat lamaku menanyakan kabarku dari Jakarta. Kami pernah bersama-sama tiga tahun lamanya di Singapura dulu, sehingga bgaimanapun sibuknya kami tidak akan pernah saling melupakan. Kujawab apa adanya dan minta doa untuk operasiku yang kesebelas minggu depan. Dengan gurauannya dia mengatakan bahwa aku sudah sangat 'master" dalam menjalani operasi, sehingga bila perlu memberikan gelar akademis, maka bagiku hanya pantas gelar S-3. Aku tersenyum kecut membenarkan perkataannya. Namun tak urung dia mendo'akan juga. "Semoga Allah melindungimu lagi kali ini," katanya. "Bagimu operasi ini bukan sesuatu yang berat, kuyakini itu,' tutupnya. Irma yang cermat. Dia senantiasa benar dalam mengamati semua keadaan di sekitarnya. Termasuk keadaanku rupanya.

Setelah SMS Irma, ponselku bergetar lagi menyampaikan pertanyaan dari Uti, sepupuku. Sebelum menanyakan keadaanku dia lebih dulu menanyakan berita kerusuhan di Afrika Selatan. Kali ini aku terpaksa berkonsentrasi benar, supaya jangan keliru menjawab dan menimbulkan salah persepsi serta kekhawatiran keluargaku lebih dalam lagi. istirahat siangku kubatalkan, sekedar untuk berkonsentrasi menjawab pertanyaan Uti.

-ad-

Aku membalik ingatanku ke masjid Nurul Latief tempat kami biasa beribadah. Kemarin dulu Imam masjid mengatakan dia tengah sibuk mengayomi dan menenteramkan seribuan pengungsi dari sekitar perkampungan Macassar Faure yang terdiri dari orang-orang kulit hitam. Di tengah-tengah kunjungan kami ke makam Syekh Yusuf yang jadi urusannya, beliau tampak berkali-kali minta maaaf karena diganggu telepon masuk dengan isi mengenai pengungsi. Lalu terdengar instruksi keluar dari mulutnya yang dengan tegas menyatakan bahwa melindungi para pengungsi itu sudah jadi kewajiban ummat Islam di Macassar Faure. "But they shouldn't sheltered in our masjeed since our masjeed is a holy place. And we couldn't take any risk if a riot happenned in our masjeed," ucapnya tegas. "Let them live with you, they'll be saved in our houses," sambungnya lagi dengan guratan galau di sekujur keningnya. Imam Adam mengusap lelehan keringat yang seharusnya tidak mengucur di pagi berselimut kabut ini. Dan kami semua terpana menyaksikannya.

"Minta ma'af bapak-ibu," katanya kemudian. lalu beliau beralih topik membicarakan kerusuhan di sekitar kampung Macassar Faure. Kerusuhan yang terjadi di Kayelitsha, Nyanga, Kuils River, Masiphumelele dan daerah-daerah sekitarnya yang membawa kekacauan bahkan mengakibatkan seorang korban terbakar hidup-hidup.

-ad-

Sudah dua minggu lebih kelompok penduduk kulit hitam marah membabi buta terhadap para warga negara asing dari negeri tetangga yang mencari rejeki di Afrika Selatan. Ada orang-orang Malawi, Somalia, Tanzania dan sebangsanya yang sejak berhentinya rejim apartheid hijrah dari negeri mereka untuk mengadu nasib di negeri demokrasi yang baru ini. Mula-mula kerusuhan hanya terjadi di Propinsi Gauteng dimana ibu kota negara berada. Kemudian meluas hingga ke propinsi Kwazulu-Natal, Mpumalanga dan bagian barat daya. Dan, mulai pekan kemarin propinsi Western Cape tempat tinggalku ini ikut-ikutan pula. Berita-berita di TV dan koran lokal amat menyakitkan hati dan pandangan. Merobek hatiku yang rapuh, menjadikanku malas mencermati berita.

Koran Cape Argus terbitan Jum'at di meja kerja suamiku separuh halamannya diisi foto penjarahan besar-besaran. Begaitu pula Cape Times, memamerkan sekelompok manusia yang bagai kesetanan merusak sebuah toko serta menggotong beramai-ramai freezer dari dalamnya."One dead and hundreds forced to flee as violence hits Cape" begitu judul di bawahnya. Lalu di sebaliknya halaman koran penuh berita kerusuhan itu. Terpampang pula wajah-wajah bocah cilik tiada berdosa bergelimpangan tanpa daya di atas tanah gersang. Mata-mata itu seperti berharap separuh bertanya. Sementara jemari cilik mereka tak menggenggam apa-apa, tidak juga sepotong roti pengganjal perut yang lapar di malam dingin.

-ad-

Imam kami yang arif menganalisa bahwa mereka  menjadi korban demokrasi yang kebablasan. Semua orang dipersilahkan masuk dan mencari rejeki disini. Sementara rakyat mereka sendiri tidak dibekali dengan keterampilan yang cukup untuk memulai usaha. Akibatnya, pendatang yang dulunya merupakan pelarian dari kerusuhan etnis di negerinya mengambil kesempatan dengan membuka usaha disini. Tenaga kerja Afrika Selatan hanya jadi bagian terbawah dari struktur perusahaan asing tadi.

Kepahitan ini jadi semakin pahit seiring dengan melonjaknya harga bahan pangan dan bahan bakar serta energi seperti yang baru mulai dikeluhkan di Indonesia. Roti, bensin dan listrik sudah beberapa kali naik harga walaupun sedikit demi sedikit. Begitupun beras, makanan pokok orang Cape Malay yang dulu tujuh setengah Rand sekilo sudah naik jadi dua belas Rand. Betapa beratnya beban hidup ini nyaris tak teratasi lagi.

Koran-koran memberitakan betapa lambatnya reaksi pemerintah pusat atas aksi bakar-membakar dan lempar-melempar ini, sehingga tak kurang dari 20.000 penduduk Cape Town terpaksa kocar-kacir mencari pengungsian sendiri-sendiri. Rumah-rumah ibadah diserbu, termasuk rumah ibadah kami. Tapi kearifan imam ikami menahan keinginan mereka untuk berlindung di dalam masjid. "Tempat suci ini bukanlah sarang angkara murka," katanya. "Siapa yang dapat menjamin orang-orang Kristen tidak bakal marah menyaksikan pengungsi-pengungsi Kristen di dalam masjid kita?" tanyanya pada diri sendiri.

Seorang wanita kulit hitam berjilbab dengan abaya hitam nampak mengangguk kepadanya dari kejauhan. Lalu dia menghampiri kami, berbincang-bincang sejenak dengan istri imam kami dan mohon doa sebelum beranjak melanjutkan perjalanannya ke salah satu rumah penduduk yang menampungnya. "Di belakang keluarga perempuan itu banyak tetangganya kaum Kristiani yang ikut kemari," jelas Imam Adam. "Dia sendiri jamaah kita asal Tanzania," lanjutnya. Kami mengangguk-angguk paham.

-ad-

Kerusuhan memang mulai mereda setalah presiden Thabo Mbeki muncul di muka publik setelah kunjungan kerjanya di luar negeri berakhir. Begitu pula gubernur Ebrahim Rasool telah memintakan maaf atas ketiadaberdayaan pemerintahannya mencegah kerusuhan terjadi. Bahkan, beliau kedengaran memuji upaya penduduk di Masiphumelele yang memprakarsai sendiri perdamaian dengan minta maaf kepada para korban di daerah itu serta mengajak mereka kembali ke rumah masing-masing. Tapi tak ayal ada juga nada kecemasan yang terkandung dari para korban. Tersirat kesan bahwa ucapan mereka hanya sekedar di bibir saja, lagi pula apa yang akan dikerjakan di bekas lahan mereka? Rumah dan tempat usaha sudah porak poranda menyisakan arang dan bangkai? Getirnya hidup........

-ad-

Aku berhenti menangisi diriku. Rasanya peristiwa ini menjadi alat Tuhan untuk mengingatkan  diriku yang sangat lena mengurusi diri sendiri sampai merasa menjadi orang tersusah di dunia. Masya Allah! Kini tiba saatnya aku harus lebih mengingat Tuhan dan semua makhluk ciptaanNya. Aku bukan makhluk tersusah. Di belakangku sana, banyak sekali jiwa-jiwa yang merana karena dibantingkan nasib. Ya Allah, ampunilah kekhilafanku, dan ijinkan aku mendoakan kebaikan bagi mereka.

Selasa, 13 Mei 2008

RAHASIA DAPUR KELUARGA SUNDA

Description:
ES DOGER. Ini jajanan murid sekolah yang sekarang naik pangkat. Dulu, dia hanya nongkrong di pinggir jalan terutama di muka halaman-halaman sekolah. Gerobaknya yang diberi beroda tanpa atap siap menampung sebuah tong alumunium tempat es itu ditaruh. Pada sisi kiri tong es, dijajarkan sirup, susu kental manis, peuyeum dan gelas serta sendok. Saya lupa siapa nama pedagangnya, yang jelas seorang lelaki yang ramah dan tidak pernah menegur anak-anak yang minta peuyeum banyak-banyak. Asyiknya merubungi gerobak biru itu........ Lebih asyik daripada menyantapnya dalam status yang sekarang sebagai hidangan jamuan di ruang-ruang ber AC gedung-gedung pertemuan dan hotel berbintang.

Ingredients:
Bahan : 150 gram peuyeum sampeu (tape singkong) diiris-iris kecil, 150 gram peuyeum ketan hideung/hejo (tape ketan hitam/hijau), seons pacar cina direbus dulu hingga matang, sebuah kelapa muda diambil dagingnya saja, 200 cc susu dicampur sirup merah (pakai susu kental manis dan sirup cocopandan atau jaman dulu malah pakai sirup moccha merek Jico), es serut atau es gepuk.

Directions:
Cara : Tempatkan dalam gelas-gelas dua sendok makan pacar cina, sesendok makan peuyeum sampeu, sesendok makan peuyeum ketan, dan kelapa muda secukupnya. Tunag es serutnya, kemudian kucuri sirup susu di atasnya. Maka, kenangankupun kembali ke jaman dahulu, ketika pohon asam dan kenari masih berbaris rapat menangungi jalanan kotaku.

"Mari kita bertamasya, ke kota Bogor yang indah....." sayup-sayup terngiang kembali sebaris lantunan lagu dari penyanyi yang saya tak ingat lagi namanya disiarkan RRI Regional 2 Bogor dari Jalan Pangrango. Hatiku terbang kembali ke kampung halaman.

RAHASIA DAPUR KELUARGA SUNDA

Description:
Rujak Cuka adalah salah satu dessert favorit orang Bogor. Ini merupakan keluarga Asinan Bogor, jadi bumbunya sama. Cuma, bahannya saja yang sangat sederhana. Rujak cuka ini adalah salah satu kegemaran kami kakak beradik. Keasyikan kami akan berlebih-lebih, jika kebetulan kami menemukan serumpun rumput andewi liar di sela-sela bebatuan halaman rumah kami. Penduduk di sekitar kami menamakannya "antanan". Bentuknya bulat-bulat kecil agak keriting pada tepinya. Menjalar dan berbau harum segar. Sangat khas dan menyegarkan. Umi Akub menularkan resep sederhananya padaku.

Ingredients:
Bahan : Kol (kubis) dirajang halus, ketimun, diiris-iris tipis, tauge dibuangi ekor dan topinya,bangkuang dipotong-potong tipis atau sesuka hati, tahu dikukus sebentar, kacang goreng, antanan (kalau ada) dan kerupuk emi (kerupuk yang terbuat dari sejenis mie kuning).

Bumbu : sesendok makan cabai merah giling, sesendok makan cuka, satu ons gula pasir, sesendok makan garam, 400 cc air matang.

Directions:
Cara membuat : Rebus gula, garam dan cuka dengan air hingga matang, sisihkan. Cuci bersih semua sayur, dan potong-potong tipis tahu kukus tadi. Campur semuanya, siram dengan bumbu dan taburi kacang tanah serta kerupuk emi (kalau ada). Alangkah segarnya di siang terik.

Senin, 12 Mei 2008

HABIS BADAI TERBITLAH TANGIS

Sejak SMS Yusnizar menyapaku kemarin dulu, rasanya aku terus terkenang padanya. Apalagi sakit di bahu dan tulangku semakin menjadi-jadi, mengakibatkan aku tidak bisa nyenyak di pembaringan. Rasanya ingin kudekap tubuhnya yang ringkih, yang jauh disana terpisah samudera. Hatiku menangis bersamanya.

Bangun tidur aku duduk di beranda di samping kamarku, menghadap taman di belakang rumah. Air kolam yang biru menggigilkan tubuhku. Aku bangkit ke dalam menyeduh secangkir kopi dan membawanya kembali ke beranda untuk menemani hatiku yang gundah. Semangkuk bubur candil juga ikut nangkring di meja rotan berlapis kaca, hadiah seorang pengusaha rotan Cirebon yang tahu suamiku akan dimutasi ke Afrika Selatan dulu. Dari perangkat audio di dalam kamar kuputar "Romantic Love Songs" yang mengalunkan "Sentimental Journey". Lagi-lagi ingatanku terlempar ke masa lalu, kepada Yusnizar. Ah, suasana malam di Pusara Aman Abadi itu bermain-main lagi di mataku, membasahkan mata yang kurang tidur semalam.

-ad-

Perempuan itu tak pernah menyangka bahwa kepulangannya dari Banda Aceh ke Singapura, Minggu, 26 Desember 2004 adalah kali terakhir ia meninggalkan kampung halamannya dalam keadaan baik. Pagi itu orang tua dan kedua anaknya melepas kepergiannya sebagaimana waktu-waktu yang lalu. Ada sesungging senyum disana. Dia berjanji akan segera kembali ke Banda Aceh untuk menjemput anak-anak itu kembali ke Singapura mengingat sekolah sudah hampir masuk. Johansyah Putra Yusoff si sulung, akan duduk di kelas baru sebagai murid kelas 6.

Yusnizar Yunus perempuan temanku itu seorang permanent resident yang bekerja sebagai staff humas Raffles Hospital rumah sakit langgananku. Banyak masyarakat Indonesia yang menggunakan jasanya: karenanya hari-harinya disibukkan oleh tugas antar-jemput pasien baik di dalam gedung rumah sakit maupun dari bandara Changi dan pelabuhan Waterfront. Semuanya sudah menjadi rutinitas. Seperti hari itu, ketika dia harus kembali memenuhi tuntutan tugasnya. Tak ada air mata anak-anak itu. Juga tak ada kekecewaan di hati ibundanya, Cut Rohani perempuan berumur enam puluh tahun yang pagi itu menggendong Jordan Adam, cucu bungsunya yang baru berumur lima belas bulan. Sang kakek Haji Muhammad Yunus Zainudin, enam puluh lima tahun turut mengantar kepergian putri sulungnya dengan senyum. "Pergilah, ayah akan jaga baik-baik anakmu,' ucap bibir tua itu seraya mengelus kepala putrinya sebelum Yus terbang bersama Garuda yang membawanya ke Changi.

-ad-

Lalu datang berita itu. Semua stasion TV yang tertangkap di Singapura mengabarkan kegemparan luluh lantaknya bumi Nangroe Aceh. Dan histeria massapun merebak. Tak terkecuali di rumah Yusnizar. Tak dinyana, tak diduga. Secepat itu dia harus segera kembali ke Aceh untuk membuktikan sendiri tayangan fenomenal yang menguras air mata dan menggemakan tahlil di seluruh penjuru dunia.

Bersama adiknya yang tinggal semata wayang- Mona Melizar- seorang mahasiwi baru di Singapura, mereka hanya mendapati wajah-wajah sendu dan bau amis bangkai yang meruyak di bumi Nangroe. Pesawat mereka tak dapat mendarat dengan sempurna di Aceh. Terpaksalah mereka melalui jalan darat dari Medan menembus segala rintangan yang ditancapkan Sang Maha Kuasa dalam sekejap mata. Hanya ada truck tentara yang sanggup membawa mereka setengah jalan. Selebihnya, tubuh yang lunglai itu harus mampu mengayunkan langkah menginjak bangkai-bangkai bergelimpangan yang berasal dari berbagai ciptaan Tuhan. Bau kematian menyengat di setiap muka bumi yang tak lagi rata. Badai itu telah menghancurkan segalanya, termasuk kekuatan yang dimiliki dua bersaudara itu. "Teruslah berjalan, sedikit lagi kita sampai," bujuk Yusnizar pada adiknya yang mogok kelelahan. Dibimbingnya tangan itu, dan merekapun berjalan dalam diam dengan harapan yang tak pasti sampai Masjid Baiturrahman di muka rumah mereka nampak jelas.

-ad-

Perkampungan telah porak poranda. Hanya tersisa bangunan masjid. Subhanallah! Lumpur lengket masih semata kaki, menyulitkan mereka mengenali orang-orang tersayang yang terserak entah disebelah mana. Bahkan letak rumah mereka secara pastipun sudah sulit untuk ditandai, sekalipun nyaris berhadapan dengan masjid itu. Suara seperti tercekat saja di kerongkongan menyulitkan doa-doa yang dilantunkan.

Dimana-mana orang sama menderitanya. Korban hidup maupun keluarga mereka yang datang dari berbagai kota, sama mencari-cari dan sama kebingungan. Hanya Masjid Raya itulah satu-satunya tempat mereka berpsasrah. Berdesak-desak berbagi kehangatan dalam dingin hati yang pedih. Perut-perut itupun tak minta diisi sejak perjalanan panjang yang melelahkan mereka. Tapi, tak urung Yus dan adiknya membeli juga telur rebus yang dijajakan orang lima ribu rupiah sebutir, sekedar penambah tenaga. Mona hanya terdiam, memaku mematung tanpa daya. Sementara di sekitar mereka kedengaran pendatang-pendatang dari luar bumi Nangroe sibuk berebut jari jemari mayat yang berserakan. Kedua perempuan itu menatap penuh rasa ingin tahu, dan mendapati mereka dengan garang memotong begitu saja jemari itu sekedar untuk mendapatkan satu-dua buah cincin yang melingkarinya. Pekik tertahan dan deru nafas tersengal menjadi pertanda bahwa mereka dicekam ketakutan yang luar biasa. Manusia-manusia biadab itu tanpa merasa berdosa, menjarah apa yang mereka miliki sekalipun tinggal bangkai belaka.

"Nak, kau punya motor di rumahmu bukan?" Tiba-tiba suara pengungsi di sampingnya mengejutkan mereka. "Ya," jawab Mona lirih. Baginya motor bukanlah sesuatu yang ingin diketemukannya. Dia rindu untuk melihat jazad orang-orang yang dicintainya. Terlebih-lebih Yusnizar. "Itu motor milikmu," sambung lelaki tadi seraya menunjuk kearah dua orang lelaki yang nampak bekerjasama menggotong sepeda motor Yamaha merah dari reruntuhan sebuah rumah. Baru kini disadarinya, lelaki itu tetangganya sendiri. Dan motor yang diangkut paksa oleh para pendatang penjarah tadi tak salah lagi dulu kendaraan tunggangannya menuju ke sekolah. Setelah itu, berturut-turut mereka melihat perangkat televisi, koelkast dan mesin cuci turut dibawa dari rumah mereka entah menuju kemana, melewati rangkaian nestapa yang panjang menyebar di seluruh Bumi Nangroe. Dalam ketiadaberdayaan, mereka cuma bisa menangis seraya menanti hari berganti yang memungkinkan mereka mencari keluarga mereka kembali. Malam itu adalah malam terkelam bagi mereka di tanah kelahirannya sendiri.

Ketika adzan pagi berkumandang nyaring, mereka tidak juga beringsut dari tempat duduk mereka. Masjid yang disesaki orang itu tak mungkin dipakai bersembahyang. Air bersihpun tak ada. Mereka hanya berdoa dalam hati lalu kembali duduk mencakung, sembil menggigiti sisa-sisa roti yang mereka bawa turun dari pesawat kemarin. Menjelang siang datanglah kerabat Yusnizar dari Singapura yang menyusul belakangan untuk turut mencari jenazah. Entah siapa yang mengabarkan keadaan sesungguhnya, sebab ketika berangkat Yusnizar tidak sempat bertemu dengan keluarga ayah anaknya yang tinggal jauh dari rumah mereka. Sedangkan hubungan telepon sudah terputus sama sekali akibat gempa yang maha dahsyat itu.

Mereka sempat saling pandang, tercenung sebelum kemudian sama-sama menguatkan langkah mengais-ngais kembali reruntuhan rumah korban. Relawan Singapura yang digerakkan oleh Kedutaan Besar Singapura di Jakarta juga turut membantu. Berhari-hari begitu adanya, sampai Yus dan Mona menemukan selapis kain yang mereka yakini sebagai baju ibu mereka di balik reruntuhan kayu dan tembok. Jasad itu, berdekatan dengan ayah mereka yang nyaris tak berbentuk. Tapi Johan dan Adam masih tak tentu rimbanya. Sementara itu panasnya matahari di langit khatulistiwa menyengat bumi menebarkan bau mayat yang sangat menusuk serta menerbangkan lalat penuh suka cita. Sungguh suatu pemandangan yang mengenaskan.

Kain selendang bekas gendongan Adam masih menempel di tubuh sang nenek. Dengan yakin, Yusoff Samadi menyibak-nyibak apa yang ada di sekitar situ untuk menemukan jasad anaknya, Johan. Dalam perkiraannya Johan tentu tak jauh dari adik di gedongan neneknya. Tapi yang dijumpai cuma kekecewaan semata. Jangankan Johan, si kecil Adampun tak ada.

Sampai di puncak kelelahannya dia menemukan sepucuk jempol bocah. Ditelitinya baik-baik dengan mengangkatnya dari balik reruntuhan. Kaki kecil itupun menyembul. Ada bekas luka di jempol. "Anakku!" seru Yusoff histeris sambil berlinangan air mata. Kerinduannya untuk bertemu sang buah hati yang memang sudah lama hidup berpisah darinya ternyata harus terpuaskan dengan cara itu. Pecahlah tangis di petang itu karena menganggap luka di jempol adalah luka Johan yang diperolehnya dari permainan sepak bola yang begitu digandrunginya. Namun dengan menguatkan hati, Yusoff terus mengais-ngais lagi untuk mencari Adam, putra tirinya. Ayah Adam sendiri waktu itu belum sampai ke Aceh sebab sedang bertugas di Surabaya. Karenanya, Yusoff menganggap menjadi tanggungjawabnyalah usaha pencarian Adam.

Mencari dan mencari. Berdoa dan terus berdoa, berpasrah diri. Itulah yang dilakukan seminggu lamanya. Namun sejauh itu ternyata hanya jasad nenek dan kakeklah yang dapat teridentifikasi, sementara jenazah Johan bukanlah yang diakui ayahnya pada hari ketiga itu. Bahkan Jenazah Adam serta inang pengasuhnya raib bak ditelan bumi, tercatat sebagai korban tak dikenal.

-ad-

Petang itu, baru hari kelima di awal tahun dua ribu lima. Aku dan suamiku berjaga di area "Pusara Aman Abadi", Choa Chu Kang, Singapura untuk menunggu dan menerima tibanya jenazah bapak-ibu Haji Muhammad Yunus Zainuddin yang terpaksa akan dimakamkan di negeri tetangga. Bumi Aceh yang porak poranda menghabiskan semuanya, termasuk kerabat mereka. Yang tersisa hanya dua putri cantik, Yusnizar dan Mona. Hujan mulai turun rintik-rintik, namun petugas penggali kubur sudah lama mencangkul tanah merah dengan ekskavator menuruti permintaan keluarga.

Sunyi yang mencekam membalut area pemakaman, mulai dari ujung terdepan yang berupa pemakaman Kristen dan Budha hingga ke areal pemakaman muslim di sudut terdalam. Burung-burung gagak hinggap di atas pohon menyumbangkan suaranya yang mengiris jantung. kuperhatikan jam di tangan. Sudah mendekati pukul enam. Suamikupun mahfum akan kegelisahanku. Tanpa banyak bicara dia menghubungi teman sejawat yang bertugas menjemput jenazah dan rombongan keluarga di Bandara Changi. Sementara itu para penggali makam memberitahukan bahwa suamiku diharapkan menghubungi Kepolisian Resor Bedok, tempat tinggal Yusnizar untuk menjelaskan mengenai ijin pemakaman. Rupanya jenazah tertahan di area Bandara Changi karena urusan perijinan yang belum jelas. Setelah mendapatkan nomor telepon polisi dari para penggali makam itu dan menghubungi mereka, suamiku mengajak kami menunggu di masjid dua ratus lima puluh meter dari lokasi kubur. Kami berjalan dalam diam.

Hujan semakin lebat saja, membasahi kerudungku dan baju yang tak begitu tebal mengirimkan dingin yang menggigit tulang. Nyamuk-nyamuk juga mulai berterbangan mengganggu. Tapi kami tak peduli lagi. Kami punya satu tekad, terus menunggu, menyelesaikan kewajiban kami mengantar jenasah hingga ke lahatnya.

Matahari sudah turun dengan sempurna. Gagak itu masih terus mengganggu. Hanya ada aku dan suamiku di area masjid, sampai kemudian rombongan penjemput jenazah tiba. Lalu jenazah-jenazah itu yang cuma dua keranda. Yusnizar terkulai layu di dalam mobil penjemput. Sementara Mona justru nampak tegar dan sedikit segar dengan seulas lipstick mencerahkan wajanya. Kami salami mereka dengan pelukan erat tanpa kata. Lalu jenazah disembahyangkan sebelum kemudian dibawa dengan mobil menuju liang lahat.

Hanya tinggal beberapa orang saja yang setia sampai keranda ditimbuni tanah. Di langit, hujan menderaikan tangisnya ditingkahi jerit kucing-kucing liar yang datang tiba-tiba entah dari mana. Memilukan, seperti simponi patah hati. Sayup-sayup dari tempat kami berdiri gema ayat-ayat suci itu terdengar nyaring. Allahu Akbar! Tuhan Maha Besar! Terjadilah apa yang sudah menjadi kehendakNya. Takdir yang tak seorangpun dapat menolaknya.

Di pergelangan tanganku jam menunjukkan pukul duapuluh satu. Matahari telah mencapai titik nadir. Kami beranjak pulang, dalam sepi dan tangis yang membukakan mata bahwa, kelak ada saatnya kita akan kembali menghadap padaNya. Innalillahi wa innailaihi raaji'un.

Minggu, 11 Mei 2008

RAHASIA DAPUR KELUARGA SUNDA

Description:
Memenuhi keinginan dan kerinduan mas Harris dan teh Reni akan masakan nenek-nenek mereka, berikut ini suatu resep yang ibundaku dapatkan dari dapur mak Atjih yng entah kenapa dulu biasa dipanggil ceu Gonah oleh semua orang termasuk keluarga kami. 'PAIS HAYAM ALIAS PEPES AYAM' ;

Ingredients:
BAHAN ; Seekor ayam jangan yang terlalu gemuk (kira-kira tiga perempat kilogram saja), dipotong menjadi empat ditaburi sebungkus bubuk kaldu ayam (karena sekarang sudah modern) dicampur rata, lalu didiamkan dulu kurang lebih sejam. Daun pisang untuk pembungkus atau alumunium foil.
Bumbunya bisa dipilih sesuka hati, diiri-iris atau ditumbuk halus.

BUMBU IRIS ; 8 butir bawang merah diris, sebutir tomat setengah matang diiris. 4 batang daun bawang diiris kasar, 12 butir cabai rawit, sesendok makan garam, 2 sendok makan gula pasir, 4 batang serai diambil bagian putihnya, kemudian dimemarkan, 8 lembar daun jeruk purut dan surawung/kemangi.

BUMBU HALUS ; Haluskan 2 sendok makan cabai giling, 10 butir bawang merah, 3 siung bawang putih, sesendok makan garam, sesendok makan gula merah, dan sesendok teh asam Jawa. Kemudian siapkan 3 batang daun bawang diris kasar, 8 buah cabai rawit, 8 batang serai dimemarkan, 8 lembar daun salam, serta surawung/kemangi. Keduanya dicampurkan bersama untuk membumbui ayam.


Directions:
CARA MASAK ; Ayam dicuci bersih dilumuri bumbu hingga tercampur, kemudian dibungkusi. Kukus bungkusan pais hayam itu selama kurang lebih enam jam supaya bumbu meresap sampai tulangnya empuk. Angkat, dinginkan kemudian bakar di bara api. Sangat nikmat disantap di saung aki di sawah kang Harris dan teh Ni. Selamat mencoba.

Sabtu, 10 Mei 2008

PENANTIAN PANJANG

Sabtu malam, sepuluh Mei di Cape Town. Angin semenanjung membaur bersama hujan yang sama derasnya dengan hujan harapan di hatiku. Barangkali karena aku seorang pemimpi dan makhluk yang manja, maka yang ada dalam hatiku hanya keinginan dan harapan semata.

Sudah sangat lama aku merindukan matahari hangat khatulistiwa. Sekian lama pula aku merindukan kasurku di Raffles Hospital Singapura, dokter CCC dan sebaris lagi dokter serta tenaga medis yang umumnya berkulit kuning dengn mata sipit. Dokter yang satu itu punya arti khusus dalam kehidupanku. Ketika paru-paruku "colaps" diterjang adenomiosis, dialah yang menyelamatkannya. Begtu juga ketika operasi kandunganku yang kedua kalinya berakhir di ruang ICU, dokter CCClah yang pertama menyapaku di sisi pembaringan. Tangannya yang halus menyibak selimut penutup dadaku, lalu dia menempelkan stetoskopnya disana sebelum kemudian beralih memperbaiki masker penutup hidung dan mulutku. Tangan itu pula yang sibuk memeriksa tetes demi tetes cairan infus yang masuk ke dalam tubuhku, sebelum akhirnya mulutnya yng mungil menyungging senyum sambil membisikkan dengan lembut bahwa semuanya akan berakhir baik.

Aku sangat rindu kepadanya. Juga kepada teknisi kamar pemeriksaan diagnostik di lantai dua di sudut kiri. Lelaki India yang sudah sangat mengenali wajah dan namaku akan dengan sabar mengalirkan cairan lewat infus di balik siku kiriku sebelum aku dimasukkan ke dalam tabung bermesin yang kutahu namanya Computer Tomographic Scan. Tak bosan-bosannya dia menanyakan apakah aku tidak sedang mengandung -yang tentu kujawab bagaimana mungkin aku mengandung tanpa rahim- serta menjelaskan perihal rasa hangat yang akan menjalari tubuhku sepanjang pemeriksaan yang makan waktu kira-kira lima belas menit berikut instruksinya. Semua itu suatu impian belaka bagiku saat ini. Disini, di Cape Town yang walaupun modern tapi kurang bersahabat.

-ad-

Hampir seminggu yang lalu aku dikejutkan oleh cubitan pada sekat rongga dada kiriku. Ketika itu tengah malam, di saat aku sedang membaringkan tubuh dalam lena sehabis  membantu mengerjakan serangkaian pekerjaan dinas. Aku terbangun bersamaan dengan suamiku yang menampakkan wajah terkejut campur bingung. Aku menghela nafas panjang, mencoba mengusir rasa sakit itu sambil menekan dadaku dengan kuat. Setiap tarikan nafasku terasa nyeri, tak ubahnya luka tersiram air. Keringatpun mulai meroyak dari pori-pori tubuhku. "Kenapa?" muncul sepotong tanya suamiku disertai mata yang membulat bola. "Dadaku,' jawabku pendek. "Sakit lagi?" tanyanya cemas. Aku mengangguk. "jangan kuatirkan aku. Semua akan baik-baik saja. Aku cuma butuh istirahat," jawabku. Kemudian tergambar kembali Raffles Hospital dengan segala kegiatannya.

Ada aku disana. Di atas kursi roda itu dengan balutan gaun biru muda yang kututupi bath robe oranye dari bahan handdoek tebal. Kartini menyerahkanku ke tangan pria India itu sebelum berpamitan naik kembali ke lantai sembilan. "Saya nanti nak kembali lagi bila ibu sudah siap," janjjinya sambil menggenggam bahuku erat. Di pangkuanku diletakkannya berkas medisku yang tebalnya seperti bantal bayi. Ada beberapa batas pemisah di dalamnya, yang menandai mana bagian dokter kebidanan dan kandungan, dokter paru, dokter bedah digestif, dokter bedah tulang, dokter kulit, dokter gigi, dan dokter mata. Hampir semua dokter disitu sudah memeriksaku. Terutama sejak kejadian aku "tidur" di ICU itu. Tuhanku, betapa banyaknya relasiku di Raffles Hospital.

Kupejamkan mata sekedar mengusir gelisah hati. Sebab di kiri kananku cuma ada pemandangan orang-orang duduk berbaris mengantri panggilan kamar periksa dengan sabar. Satu-dua sama nestapanya, duduk di atas kursi roda atau bahkan berbaring dengan jarum infus yang menacap di lengan mereka. Aku sudah bosan dengan pemandangan itu. Tapi aku tak bisa lari dari kenyataan karena aku adalah bagian dari mereka jua. Dalam ruang kosong mataku terbayang juga segala rasa yang harus kutanggung. Ya Tuhan, keluhku, bilakah semuanya akan berakhir? Semua uang suamiku sudah "terkubur" disini bersama sakitku. Tiba-tiba aku merasa berdosa kepadanya. Kepada lelaki yang telah membanting tulang untuk menafkahi dan menghidupiku sejak muda. Layaklah jika dia kini menjauhiku, mencari kesenangan di luar sana, tenggelam dalam pekerjaan kantornya semata. Lalu terasa dingin menyusup ke dalam tulangku yang berbalut rapat. Aku menggigil sendiri di tengah-tengah ramainya ruangan.

Tiba-tiba perempuan muda itu mendorongku masuk ke bilik satu di ujung kiri ruang. Dia membantuku naik ke dalam tabung sebelum pria India itu menyapaku dengan keramahannya yang khas sesaat infus akan ditusukkannya ke lengan kiriku. Dia betul-betul sudah hafal tempatnya. Dipeganng-pegangnya nadi kiriku dan ditepuk-tepuknya. "Masih bengkak," keluhnya. "Saya harus mencoba dari sisi kanan, terpaksa," katanya sambil berjalan memutari arah kepalaku. Dengan prosedur yang sama dia berusaha mencari nadiku yang sangat halus disitu. Gelengan kepalanya menandakan dia tidak mudah mendapatkan apa yang diperlukan. Sampai tiba-tiba tusukan itu mengejutkanku dan memaksa aku berteriak mengaduh. Pedih yang sudah kuduga tersasa semakin pedih, namun berhasil kutahan dengan tarikan-tarikan nafas di sela-sela masker ventilator di hidungku disertai istighfar sambatku padaNya. Saat-saat berikutnya aku tak ingat dengan jelas lagi, sampai sentuhan tangan Kartini dibantu temannya menaikkan aku kembali ke ranjang di ruang tidurku. Kemudian semua akan jadi sepi, ditelan kebimbangan dan pikiran yang melayang tak tentu.

-ad-

Persis seperti pikiranku hari ini. Ketika belum paripurna mataku membuka sehabis aku lelap kembali selesai sembahyang tahajud tadi. Pikiran setengah hidup itu seperti hinggap di kasur Raffles dan segenap ruang indah yang menyerupai puri untukku.

Di sisi pembaringanku pada meja kecil tempat lampu tidur kami berdiri, getar halus telepon genggamku membangkitkan kesadaran penuh. Di pagi buta tentu hanya kabar dari negeri jauh atau tanah air sajalah adanya. Layar yang berkedip itu menerakan nama Yusnizar Yunus. Sahabatku, penolong jiwaku juga di Raffles Hospital. Perempuan itu begitu tegar dibalik himpitan ujian Allah yang maha berat. Di mataku tergambar wajah Yus yang senantiasa tersenyum pasrah. Matanya yang kuyu akibat dilindas tsunami tetap tertuju kepada para pasien Indonesia yang menjadi pelanggan dan tanggungjawabnya. Tiba-tiba aku jadi malu hati, mengingat deritanya yang lebih berat dibanding diriku yang tidak ada apa-apanya.

"A woman has strengths that amaze men. She can handle trouble n carry heavy burdens. She holds happiness, love n opinions. She smiles when she feels like screaming. She sings when she feels like crying, cries when she's happy, n laughs when she afraid. Her love is unconditional. Ther's only 1 thing wrong with her, she sometime forget what she is worth... HAPPY MOTHERS DAY...

Kubaca sederet panjang huruf yang kelihatan disusun disela-sela kesibukan kerja seorang Yusnizar. Begitu menyentuh, menggugah perasaanku yang selama ini tertidur lena untuk menghargai diriku sendiri. Bagiku diriku tidak berarti apa-apa, hanya seonggok daging yang berat untuk dibuang tapi tak berguna untuk dimanfaatkan. Terutama sejak kondisiku menurun hampir sepuluh tahun terakhir ini, rasanya diriku tak pernah berbuat sesuatu yang menyenangkan pasanganku dan keluarga kami. Tidakkah Yusnizar bermaksud memancingku untuk bangkit dari ketiada berdayaan ini?

Maka kuketik sederet pernyataan yang sama. Betapa aku bahagia mempunyai kawan seperti dirinya. Kebanggaan juga lekat padaku mengingat dia berhasil bangkit kembali jauh lebih dulu daripadaku. Aku masih ingat, tsunami tiga setengah tahun yang lalu telah merenggut semua putra kesayangannya berikut kedua orang tuanya dan semua sanak kerabatnya, menyisakan dia dan adik bungsunya semata. Kejadian pagi hari yang tiada seorangpun menduga merupakan cobaan yang terberat bagi siapapun. Terlebih bagi dirinya yang seakan-akan mengantar sendiri anak-anaknya ke gerbang maut serta menyerahkannya ke tangan malaikat Jibril.

Yusnizar. perempuan Aceh perkasa itu. Ketika musim liburan tiba dia mengantarkan anak-anaknya menjenguk kampung halaman mereka dengan janji akan menjemputnya beberapa hari sebelum pergantian tahun. Wajah-wajah polos bocah lelaki itu mengangguk siap, sambil memeluk erat bunda mereka sebelum ditinggalkan kembali ke Singapura. Pagi itu, Tuhan memuntahkan semua isi laut, memorakporandakan bumi dan isinya. Memisahkan Yusnizar dari orang-orang yang dicintainya tanpa pernah ada kata perpisahan. Pagi itu jadi awal dari serangkaian hari muram yang melelahkan dibasuh hujan air mata yang kering kerontang. Air mata di dalam jantung sana, yang merintih-rintih minta penjelasan Tuhan akan apa yang terjadi. Anak-anak itu pergi begitu saja tak jelas kuburnya, sementara kedua orang tua Yusnizar dapat dikenali berminggu-minggu kemudian dalam keadaan yang tak sempurna. Kami semua merawatnya di Pusara Aman Abadi, Coa Cu Kang, Singapura dibawah kerjapan bintang yang muram diguyur tangisan bumi di malam hitam yang diiringi eragan kucing nan memilukan.

Kini tiba-tiba kusadari bahwa Yusnizar lebih patut menjadi ibu sejati dibanding aku. Dia telah berhasil menyembunyikan semua duka dan tangisannya dalam senyuman kepada setiap pasien serta kerja keras yang penuh tanggungjawab di dalam mendampingi ratusan nyawa yang telah bergantung padanya. Bahkan mungkin ribuan jumlahnya.

SMS itu masuk lagi. Kali ini dia menanyakan kondisiku atas permintaan dokter CCC dan dokter A. Loh yang merawat keluargaku. Terpaksa aku berterus terang padanya, betapa aku merindukan sentuhan Raffles Hospital yang sudah setahun kutinggalkan. kami bertanya-jawab hingga dia menawarkan obat dari Singapura. "Ibu mau obat dari sini? Ibu SMS alamat ibu, besok pagi saya kirim" begitu bunyinya. Terasa kehangatan itu datang menyentuh jiwaku. Kutolak tawarannya dengan kata terima kasih serta harapan akan doa mereka selalu. Aku sadar tinggal dua hari lagi jadwalku masuk ruang pemeriksaan MRI. "Sampaikan salam untuk semua share-holder Raffles, mulai dari pakcik di meja resepsionis sampai ibu India cleaning service itu," jawabku menutup pesan. Hatiku jadi malu sendiri. Mengapakah aku tidak bisa setegar dirinya? Mengapakah aku selalu merasa kurang beruntung? Aku tahu, penantian panjang harus disertai kesabaran senantiasa. Dan kukatupkan kedua tanganku menyilang di dada mengucapkan doa bangun pagiku "Alhamdulillah hiladzi ahyana ba'da ma ammatana wa illaihi nuzur", terimakasih padaMu yang telah berkenan membangunkan aku untuk merenungi seluruh perjalanan hidupku yang tiada sempurna dan butuh perbaikan. Mumpung masih ada waktu. Perjalanan masih panjang.

RAHASIA DAPUR KELUARGA SUNDA

Description:
Mereka juga mengenal olahan ayam. Ada pais hayam atau pepes ayam ada juga yang biasa kita kenal. Dari dapur bu Utay, ibunda memungut resep :

Ingredients:
GORENG HAYAM/AYAM GORENG

BAHAN ; Seekor ayam dipotong jadi dua belas, 3 bungkul laja/lengkuas diparut, minyak goreng.

BUMBU : Haluskan 5 siung bawang putih, setengah sendok makan katuncar/ketumbar sangray (goreng tanpa minyak), sesendok teh pedes/merica bungkulan, dua buku jari koneng/kunyit,bakar, seruas jari jahe dan garam.


Directions:
CARA : Campur ayam, lengkuas parut dan bumbu-bumbu halus, lalu rebus dan masak hingga bumbunya meresap. Airnya dikira-kira sendiri. Baru digoreng dalam minyak yang banyak. Ayam goreng ini akan menimbulkan bubuk dari bumbunya. Sedap sekali.

RAHASIA DAPURKELUARGA SUNDA

Description:
Protein hewani biasa mereka dapatkan dari ikan air tawar. Di kampung saya orang biasa makan ikan mujahir yang mereka lafalkan sebagai mujaer atau ikan mas. Digoreng atau dimasak dengan cara lain, sama sedapnya. Bu Itoh biasa memasak :

Ingredients:
PAIS LAUK EMAS

Bumbunya bisa dipilih sesuka hati, ada yang memakai bumbu diiris, ada yang memakai bumbu dihaluskan. Semua sama rasanya.

BAHAN ; 3 ekor ikan mas, disiangi, disayat-sayat, di kucuri dengan 2 sendok makan perahan jeruk nipis, dicampur dengan 3 sendok makan garam, 2 sendok makan gula pasir, kemudian didiamkan kurang lebih satu jam. 5 batang daun bawang diirs kasar, 21 batang surawung/kemangi, 15 buah cabai rawit, 5 batang serai diambil batang putihnya lalu dimemarkan, 6 helai daun salam, daun pisang sebagai pembungkus atau aulumunium foil (kalau di luar negeri dimana daun pisang susah dicari).

BUMBU IRIS ; 10 butir bawang merah, 5 siung bawang putih, 2 buah tomat hijau, 2 buah cabai merah, 2 buah cabai hijau dicampur semua dengan 2 sendok teh garam, 2 sendok teh air asam Jawa, 2 sendok makan gula pasir (kalau suka agak manis).

BUMBU HALUS ; 2 sendok makan cabai merah giling, 10 butir bawang merah, 3 siung bawang putih, seruas jari koneng/kunyit, 5 butir muncang/kemiri dicampur dengan sebatang serai diambil putihnya dimemarkan, 2 sendok teh garam, 2 sendok makan gula merah, 2 sendok makan air asam Jawa.

Directions:
CARA MEMASAK ; Aduk ikan dengan bumbu, kemudian dibungkusi. Ikan itu kemudian dikukus lama sekali kira-kira enam jam supaya durinya empuk baru dibakar sebentar. Mengingat waktu masaknya lama, jadi biasanya ibunda membuat sekian kali dari resep dasar ini supaya tidak membuang-buang minyak tanah percuma.

RAHASIA DAPUR KELUARGA SUNDA

Description:
Sebagai protein, orang Sunda biasanya makan oncom. Hidangan ini bisa digoreng tepung seperti orang Jawa membuat tempe mendoan, bisa juga dipepes, atau diolah dalam bentuk lain Favorite istri tukang kebun keluarga kami adalah :

Ingredients:
ONCOM MASAK LEUNCA

BAHAN ; 150 gram oncom, 150 gram leunca (semacam takokak/rimbang, buah hijau kecil-kecil bulat sebesar biji tasbih), 2 sendok makan minyak goreng, 250 cc air, 20 batang daun surawung/kemangi.

BUMBU ; 3 buah cabai hijau dipotong-potong kecil, 6 buah cabai rawit merah, 5 butir bawang merah dan 2 siung bawang putih dirajang halus, satu ons tomat hijau dipotong kasar, 2 batang daun bawang diiris kasar, SERTA sesendok cabe giling, setengah buku jari jahe, dua buku jari cikur/kencur, sesendok makan gula merah diiris halus, garam semuanya DIHALUSKAN.

Directions:
CARA ; Tekan oncom dengan garpu sehingga jadi serpihan kasar. Panaskan minyak, tumis bumbu-bumbu tadi sampai harum, kemudian masukkan bahan-bahan kecuali surawung/kemangi, tambahkan air. Teruskan masak hingga air mengering dan masakan matang baru dimasuki surawungnya. Angkat segera.

RAHASIA DAPUR KELUARGA SUNDA

Description:
Selain Angeun Haseum, mereka juga mengenal sayuran lain yang dapat dikategorikan sebagai salad. Sayuran ini dimakan mentah, namanya :

Ingredients:
KAREDOK

Bahan : 100 gram kol/kubis, cuci bersih, rajang halus, 100 gram tauge buang ekor dan dibersihkan, 100 gram kacang panjang, cuci bersih dan dipotong-potong kira-kira satu senti, sebuah terong bulat dan 50 gram bonteng/ketimun cuci, dan potong-potong kecil, satu ubi merah dikupas, dicuci dan dipotong kecil-kecil (atau kalau di luar negeri saya pakai wortel), 20 tangkai surawung/kemangi dicuci dan kerupuk merah (yang untuk makan pecel).

BUMBU : Satu setengah ons kacang tanah disangray/ goreng tanpa minyak, dihaluskan bersama 2 cabai merah dan 3 cabai rawit, setengah ons gula merah, satu sendok teh asam Jawa, terasi bakar, dua buku jari cikur/kencur, garam.

Directions:
CARA PENYAJIAN : Semua sayuran dicampurkan dengan saus kacang tadi dan diaduk hingga tercampur rata. Ditaburi remasan kerupuk, baru disajikan.

RAHASIA DAPUR KELUARGA SUNDA

Description:
Kampung kami di tengah-tengah kota Bogor. Di sekeliling kami adalah komunitas asli Sunda yang kebanyakan memang penduduk setempat. Pada masa ibundaku masih ada, sering kali ibundaku yang asli Jawa Tengah bertandang ke rumah tetangga-tetangga kami, dan mengintip apa yang ada di balik tudung saji tetangga. Sehari-hari mereka lebih banyak mengonsumsi sayur, dengan tambahan protein ikan air tawar, ikan asin, oncom atau tahu -sebab tempe tidak begitu populer di kalangan mereka-, dan juga ayam serta daging-dagingan. Cita rasa hidangan mereka, menruut ibundaku sangat segar, tidak bersantan, cenderung asin-masam sehingga ibunda pun kerap menirunya di dapur keluarga kami. Seingatku ada beberapa yang sering dimasak ibu, antara lain adalah :

Ingredients:
ANGEUN HASEUM (SAYUR ASAM)

BAHAN-BAHAN (aslinya, kalau tidak ada bisa disesuaikan dengan apa yang ada di tempat anda) : Kacang panjang, labu siam (waluh jipang, gambas=Sunda Bogor), nangka muda, daun tangkil (daun melinjo), tangkil, dan jagung muda. (Jika di luar negeri saya biasa menggantinya dengan buncis, wotel, daun kale, nagka muda kalengan, turnip yang di Jerman dinamakan Kohlrabi, bisa sekalian dimasak dengan daunnya yang biasa dibuang oleh penjualnya, kacang tanah).

BUMBU : Bawang merah dan bawang putih diiris halus, cabe hijau dan cabe merah beberapa buah dipotong-potong sebuku jari, lengkuas seiris dipukul pipih, daun salam, air asam Jawa, gula pasir dan garam.

Directions:
CARA MEMASAK : Rebus air hingga mendidih, masukkan bumbu-bumbu, didihkan lagi. Kemudian masukkan sayur-mayur dari yang terkeras dulu. Setelah itu baru baru masukkan air asam yang telah disaring, gula pasir dan garamnya. Rasanya akan segar, asam-manis tapi kuahnya bening.

Senin, 05 Mei 2008

GORESAN CINTA

Sudah seminggu aku tidak meninggalkan jejak apapun di buku harian elektronikku. Gairah menulis itu masih tetap ada. Tapi entah kenapa, setiap aku menghampiri mesin komputer, yang terbangkit justru keinginan untuk menulis reportase kehidupan untuk teman-temanku. Bukan mengisi buku harianku yang lama kubiarkan kosong tak tersentuh. Apakah aku sudah bosan dengan hidupku sendiri?

Kadang terlintas dalam pikiranku untuk menjalani hidup apa adanya. Tidak perlu memperjuangkan kelanjutan hidupku. Mau berhenti ya berhentilah. Mau melaju, alhamdulillah. Suatu keinginan yang buruk. Seharusnya aku tidak boleh bersikap begitu. Suamiku dan dua anak kami yang belum mandiri masih membutuhkanku, sekalipun mereka tidak terang-terangan mengatakannya. Seharusnya aku tetap harus berjuang, memperjuangkan masa depan yang masih penuh tantangan.

-ad-

Aku ditakdirkan hidup sebagai ibu bagi banyak orang. Suka tidak suka, sekalipun aku hanya sempat melahirkan dua kali tapi banyak jiwa yang bergantung padaku. Anak-anakku yang empat. Menantuku dan satu cucuku. Bagi mereka akulah sumber kekuatan, karena aku senantiasa menyemangati mereka dikala terpuruk pada satu kenyataan pahit di lembar kehidupan hitam. Aku tidak pernah menertawakan mereka. Bahkan aku selalu mencoba membuat mereka bisa tersenyum dan berbesar hati menerima kenyataan hidupnya.

Dua anak kandungku Andrie dan Yadi dulu korban perpindahan sekolah antar bangsa. Mereka tiba di negeri berbahasa Perancis di saat yang salah. Tepat sepuluh hari setelah kedatangan mereka di sekolah baru, mereka dihadapkan pada ulangan umum yang diikuti karya wisata selama seminggu untuk mencari nilai pengisi raport. Mirip dengan kedatangan mereka di kampung kami dulu juga pada saat menghadapi ulangan umum. Akibatnya mereka dua kali kecewa. Tidak naik kelas dan naik kelas dengan nilai pas-pasan hasil sulapan guru kelasnya di Indonesia.Tapi aku tidak pernah melecehkan mereka. Bahkan untuk mengatakan mereka tinggal kelaspun tak kulakukan. Cukup kiukatakan bahwa mereka mengulang di kelas yang sama untuk mendapatkan pelajaran yang menyeluruh. Alhamdulillah, mereka tidak berkecil hati. Dan senyum manis serta rasa percaya diri terus ada di wajah mereka. Hingga tiba suatu hari anakku Andrie yang kala itu duduk di kelas lima SD menghadiahi aku dengan kejutan besar. Dia menjadi juara lomba dikte bahasa Perancis sekecamatan tempat tinggal kami. Padahal, dia seorang murid asing yang baru menyelesaikan "kerterbata-bataannya". Tuhan Maha Agung!

-ad-

Kusadari kini aku tak boleh pergi. Banyak "anak-anak" lain yang masih mengharapkan sentuhan hatiku. Seperti gadis cantik berkulit kuning bersih kenalan baruku. Entah apa sebabnya tiba-tiba dia berlari menghambur ke pelukanku untuk mengadukan persoalan hidupnya. Padahal kami baru berkenalan. Entah bagaimana mulanya dia mempercayaiku seperti dia mempercayai ibundanya sendiri. Di dadaku ada tetes air matanya yang datang dari luka di dalam sana. Dan di dadaku ada air susu ibu yang memberinya kehidupan. Konon begitu, tuturnya.

Aku tiba-tiba rindu ingin melihat wajahnya. Membelai rambut indahnya yang halus dan legam. Dan membisikkan kata-kata cinta dalam alunan lagu mesra yang keluar dari jiwaku. Maka kuputuskan untuk memejamkan mata di atas kasur kami yang dingin di siang hari sebab penghuninya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Wangi peluh bercampur tetes-tetes liur bekas tidur semalam masih lengket, menyadarkanku bahwa besok aku harus membawa tilam tidurku ke mesin cuci. Namun otak yang penuh dan angin kencang diluar sana mebawwaku lelap juga. Menjangkau daerah terlarang yang aku belum pernah menjamahnya. Suatu kamar pribadi milik orang yang sama sekali asing bagiku.

-ad-

Aku duduk menghadap gunung. Puncaknya berselimut salju, serpihan es yang memutih. Di kakinya bunga-bunga merah jambu muda bermekaran indah. Dan anginpun meniupkannya menjauh memenuhi rerumputan di luar kamar.

"Ibu," bisik lembut gadis itu penuh harap. Matanya yang kecil jernih menatapku seperti cermin yang menjaring bayang-bayang. "Apakah cinta itu bisa ditumbuhkan dengan sendirinya?" tanyanya padaku sambil mendekatkan diri. Kutangkap tubuhnya yang dingin dengan kedua tanganku. Kami berpelukan menyatu dalam rasa. "Bisa, anakku. Sangat bisa. Kuncinya hanya pada keikhlasan hati. Jika hatimu ikhlas menerima takdir yang digariskan Tuhan, maka cinta itu akan mengalir bersama pengorbanan dalam pengabdianmu," jawabku. Kami telah hampir lima belas menti di situ. Di ruang yang sepi. Tanpa kicau burung maupun cericit tikus di gorong-gorong.

"Tapi aku belum sanggup melupakan pilihan hatiku," sambatnya disertai getar pada bibirnya yang tipis. Andaikata seulas lipstick Revlon 371 menempel sempurna di bibirnya, dia akan serupa bidadari sorga. Cantik alami dan memukau. "Cinta adalah permainan semata, anakku," kataku lagi. "Kau boleh menebar cintamu. Tapi belum tentu kau akan menuai kebahagiaan darinya." Kutelan liurku sendiri. Terbayang kembali di mataku betapa aku dulu juga pernah dibutakan cinta, kemudian dipermainkan sendiri olehnya. Di saat aku membutuhkan tangan-tangan cinta dan sentuhan-sentuhan cinta, tiba-tiba cinta itu lari menjauh. Meninggalkanku dan mengurungku dalam kesepian hatiku. Seakan-akan aku tak layak untuk dicintai dan dijamah. Lalu tergambar kembali kesepian itu. Kamar musik tanpa melodi. Kira-kira begitu adanya.

-ad-

Dulu aku memilih sendiri pasangan hidupku dengan cermat. Tak mudah bagiku untuk jatuh cinta. Sekalipun banyak lelaki datang mengantarkan secawan cintanya padaku. Bahkan dalam balutan kritsal berkilau yang bening. Tapi aku adalah diriku. Seorang perempuan bersahaja yang tak butuh kemewahan. Hanya butuh kehangatan dalam keterbatasan. Layaknya kehidupan di dalam rumah BTN tipe dua satu dengan isi keluarga beranak tiga. Karenanya kupilih sendiri imamku, pengayom dan pandu kehidupanku. Aku tidak salah pilih. Panjang sekali jalan kehidupan yang kulalui bersamanya, sampai suatu saat cinta membutakan matanya. Cinta akan pekerjaannya dan kehidupan di luar sana yang meninggalkanku terpenjara terseok-seok dalam kesendirianku. Kini penggalan drama kehidupanku kuputar kembali sekedar untuk mengingatkanku bahwa cinta ibarat permainan belaka. Ada kalanya menang dan menggembirakan, adakalanya menangguk kekalahan yang menyedihkan.

Meroyak kembali ingatanku akan kedua orang tuaku. Hasil perjodohan nenek-kakekku. Tapi awet. Semua penuh berkah karena ibuku mencoba untuk menerima dan memahami takdirnya. perempuan sederhana itu telah mencontohkan pada kami betapa cinta itu bisa ditumbuhkan. Dan cinta yang datang tiba-tiba juga karunia yang indah. Kuterpekur mengingat kembali perjalanan rumah tangga orang tuaku yang manis.

-ad-

Di sisi lain aku teringat gadisku, Berkali-kali dia membawa temannya ke rumah, dan mengajaknya masuk ke dalam kehidupan keluarga kami. Kami semua bersyukur atas pergaulannya yang luas namun terpimpin. Anak-anakku bukan tipe anak jalanan yang bebas bergaul di luar rumah. Semua teman-teman mereka dibawanya kepada kami, sehingga hatiku berbunga-bunga ketika tahu dia mulai dekat dengan seorang lelaki. Tidak sekali saja, tiga kali malah karena yang keempat tidak pernah jadi temannya yang serius. Tetapi ketika kemudian permaianan cinta hinggap padanya, buyarlah kemesraan mereka meninggalkanku dengan sebuah tanda tanya besar serta ruang kosong untuk belajar mengerti. Gadisku, ibu tidak pernah menghendaki sejarah berulang kembali. Ibu tidak hendak mencarikan pendamping hidup untukmu. Tapi ibu juga tak mengharapkan kau keliru pilih. Maka kuberikan waktu untukmu mengatur diri. Semoga aku tak menyumbangkan dosa untuk kehidupanmu di masa datang. Kuhela nafasku dengan teratur mencari ketenangan batinku sendiri.

-ad-

Tiba-tiba gadis kenalan baruku itu muncul kembali di sisiku. Dengan sehelai baju merah jambu yang rapi dia mengulurkan tangannya. Mencium jemariku dan menatapku lama. "Ibu, jalan yang terbaik bagiku adalah belajar mencintai," katanya. "Mungkin naluri orang tuaku benar. Mungkin pilihan beliau tepat, do'akan aku sukses dalam pelayaran panjang perjalanan hidupku," ucapnya seraya menjauh dariku. Dari perangkat audio di kamar itu terdengar "Ave Maria........." lalu dentingan gelas beradu nyaring diikuti sendok-garpu dan piring. Pesta telah dimulai. Kucium wangi bunga yang semerbak di seluruh ruangan. Aku terpana. karena tiba-tiba kusadari bahwa aku bukan manusia sempurna. Andai aku sempurna, tentu aku bisa memilih yang terbaik untuk keluargaku sendiri. Seperti orang tua gadis ini memilihkan untuk putri kesayangannya. Tapi, ah lagi-lagi aku bukan manusia sempurna. Jadi tak akan kupilihkan pria manapun untuk mendampingi putriku tercinta, si gadis sederhana.

Pita Pink