"Bul, I miss ur gudeg!" Begitu komentar yang tertera di salah satu postingan hari rayaku. Dari Indra, kemenakanku di Tangerang.
Aku tersenyum sendiri. Sebab, Indra seakan-akan bisa mencium harum gudeg yang sedang kujerang di dapur di samping kamarku untuk teman lontong di hari raya nanti. Sesuatu yang memang tidak lazim, gudeng bertemankan lontong. Tapi kenyataannya, sah-sah saja dan cukup nikmat di lidah.
Kemampuanku masak gudeg tidak diturunkan dari ibuku. Ibu bahkan tidak bisa sama sekali masakan itu. Yang biasa dibuat ibuku hanya "jangan gori" atau sayur nangka muda, sebab kami tidak berasal dari Yogyakarta "negerinya" gudeg.
Aku mempelajari sendiri gudeg itu. Sebab, sebagai istri diplomat aku memang ditantang untuk bisa memasak makanan tradisonal. Keluargaku orang Jawa Tengah, jadi rasanya janggal jika aku tidak bisa masak gudeg. Apa nanti kata bossku di Dharma Wanita kalau aku diserahi masak gudeg tidak mampu melaksanakannya?
-ad-
Dapur mama -ibu mertuaku- adalah saksi percobaanku nggudeg. Waktu itu kami tinggal seatap. Mama menjadi pemilik dapur rumah tangga baru kami, karena kemampuanku belum seberapa. Peralatan masakpun aku nyaris tak punya, sebab kebanyakan cadeaux pengantin kami berupa barang pecah belah dan peranti makan serta seprai. Barang pecah belah, bukan barang belah yang tidak pecah. Ha...ha...
Hari itu mama akan pulang dari Kebumen naik KA Senja yang berhenti di Stasion Senen dijemput lik Tukidjo, opas di kantor bapak. Sejak kemarin aku sudah turun ke dapur menyiapkan hidangan istimewa pengobat lelah beliau. Aku membeli nangka muda cukup banyak plus tulang-tulang sapi. Kemudian berbekal nekad dan bismillah kubumbui sedemikian rupa dengan menambahkan banyak gula merah. Ajaibnya, panci blirik abu-abu mama yang sudah mulai gumpil emailnya di beberapa tempat justru bisa menciptakan warna merah pada nangka muda yang kumasak. Aku terheran-heran sendiri.
Gudeg itu aku hidangkan di meja makan tanpa sambal goreng. Tapi aku membuat cukup banyak opor dan tempe goreng.
Lik Tukidjo yang telah berbaik hati menggantikan tugas suamiku menjemput mama, kupersilahkan makan dulu sebelum kembali ke kantor. Mama turut membuka tudung saji rotan kami. Sejenak diperhatikannya lauk-pauk kami sebelum mama berujar, "jeng Lilik, jangan suka memanjakan kami. Tak perlu ke pasar belanja gudeg di tempat simbok bawah tangga," mama menatapku tajam.
Aku mundur takut-takut. Sebab aku tak menyangka reaksi mama akan demikian kerasnya. Kuberanikan diri untuk menjawab sambil menundukkan mukaku yang pucat pasi. "Dalem tidak beli gudeg ma........ nyuwun deduka....." kataku minta maaf. Aku siap menerima kemarahan mama yang memang kutahu cukup keras hati.
"Dimana jeng Lilik beli gudeg ini?" selidik mama sambil kembali membuka tudung saji.
Aku melangkah ke dapur di dekat situ. Rumah kami memang sempit, sehingga memudahkanku menjangkau semua ruang dalam waktu yang bersamaan, "Dalem masak ma, nyuwun deduka, dalem lancang memakai panci blirik mama,' jawabku bergetar. Rasanya ingin kubenamkan wajahku di balik tutup panci itu untuk menahan malu campur takut.
Mama melangkah ke dapur dan membuka panci abu-abu kebanggaannya. Diamatinya dengan mata tua yang jernih itu. Kemudian sendok sayur didekatkannya ke lidah. Mama mencolek sedikit mencicipinya sambil mengaduk-aduk panci yang tinggal separuh terisi. Senyumnya mengembang manis sekali. "Oh ya wis, ayo lik Tukidjo, kita makan dulu bersama-sama," sahut mama sambil menata letak duduk kami di meja makan.
Mama juga seperti ibu kandungku, senantiasa menghargai siapa saja tak mengenal derajat sosial. Hatiku lega. Kemudian kuperhatikan mama menyendok lauk pauk di meja serta mengunyahnya dengan lahap tanpa bersuara. Kebiasaan yang tak pernah terjadi di rumah tangga orang tuaku yang senantiasa riuh rendah penuh obrolan santai. Kini hatiku terasa sejuk, seperti guyuran air di gorong-gorong besar di samping rumah kami.
-ad-
Meja lebaran mama memang bukan meja keluargaku. Ada kesamaan disana-sini. Tapi bedanyapun jelas besar.
Mama terkenal sebagai juru masak yang handal dan pembuat kue nomor satu. Dulu sekali ketika suamiku masih kecil, mama memang berprofessi sebagai pembuat kue. Setiap Idul Fitri dan Natal tiba, banyak orang minta tolong mama membuatkan kue. Mulai dari kue-kue yang umum ada di meja hari raya sampai yang langka dan sangat tradisional. Kaastengels dan ananastaart sudah pasti ada bersama kacang bawang. Belum lagi bangket, sagon aspirin dan pastel abon.
Kedua kemenakanku yang sudah menjadi bagian dari keluargaku selalu ketagihan makan kue bangket dan sagon aspirin mama. Sedangkan aku selalu "maniak" kaastengels sedap mama.
Kaastengels itu sesungguhnya biasa saja. Hanya cara mama mengadoni serta bentuknya yang lebar-lebar menjadikan rasanya istimewa. Walaupun sesungguhnya yang istimewa itu adalah kue bangket dan sagon aspirin.
Dinamakan sagon aspirin, karena kue ini dicetak berbentuk bundar dengan menggunakan bekas kaleng vick's vaporub sehingga menyerupai pil aspirin. Suamiku sangat piawai mengerjakannya walaupun dia tidak hafal resepnya. Selain diberi kelapa parut, ada susu bubuk dan kulit jeruk purut sebagai penambah rasa yang memang menjadikan harum selagi dibakar.
Kue bangket lain lagi ceritanya. Dibuat dari beraneka tepung yang dicampur jadi satu, kue ini kemudian ditambah dengan serundeng kelapa yang ditumbuk hingga berminyak, air jahe, serta syrup gula aren. Lezatnya luar biasa, menandingi warnanya yang coklat muda serta bentuknya yang cantik beraneka ragam. Mama mencetaknya menjadi bunga, kupu-kupu, bebek, burung, kucing dan ikan, kalau tak salah ingat. Sebelum dibakar, mama masih menyuruh kami menggambarinya dengan berbagai motif agar tampil cantik. Ah, mama, aku rindu pada kue ini. pantas saja cucu-cucumu selalu berbaris mengasongkan kaleng kue kosong ke dapur mama.
Mama juga rajin membuat tapai ketan hitam dan manisan buah atap yang diberi pewarna merah serta ditusuki berselang-seling dengan potongan nenas. Semuanya menggiurkan tetamu.
Di meja makan ada rendang sebagai peneman opor, sambal goreng hati serta telur pindang kesukaan suamiku. Semua serba lezat.
Setiap malam takbiran suamiku akan datang naik sepeda kumbangnya menenteng rantang mama ke rumahku. Yang pertama sibuk membukanya adalah bapakku. Beliau sangat tergila-gila kepada rendang mama yang nyaris tanpa bumbu seperti yang pernah kutuliskan resepnya di blog ini. Lalu, keponakan-keponakanku sibuk membongkar kaleng Khong Ghuan untuk menyerbu kue bangket serta sagon aspirin di dalamnya.
Lebaran itu. Sudah sangat jauh berlalu. Tapi kenangannya senantiasa lekat di ingatanku, Termasuk gerutu mama jika suamiku terburu-buru menyelesaikan tugasnya mencetak kue sebab terlanjur ingin mengobrol berdua-dua di teras rumahku. "Hayo, Djati........, sing padha kandel tipise. Mundak matenge ora rata.......... Aja kesusu selak arep dolan wae. Jeng Lilik, iki bangkete digambarana........" terngiang di telinga ini suara mama, Merdu sekali, mendayu-dayu menyobek hatiku mengembalikannya ke masa lampau.
Mama. Aku tak meninggalkanmu. Semua hidangan mama nyaris kutiru habis-habisan kecuali bangket dan sagon aspirin itu. Maafkan kami.