Powered By Blogger

Senin, 29 September 2008

RIWAYAT GUDEG DI MEJA LEBARANKU

"Bul, I miss ur gudeg!" Begitu komentar yang tertera di salah satu postingan hari rayaku. Dari Indra, kemenakanku di Tangerang.

Aku tersenyum sendiri. Sebab, Indra seakan-akan bisa mencium harum gudeg yang sedang kujerang di dapur di samping kamarku untuk teman lontong di hari raya nanti. Sesuatu yang memang tidak lazim, gudeng bertemankan lontong. Tapi kenyataannya, sah-sah saja dan cukup nikmat di lidah.

Kemampuanku masak gudeg tidak diturunkan dari ibuku. Ibu bahkan tidak bisa sama sekali masakan itu. Yang biasa dibuat ibuku hanya "jangan gori" atau sayur nangka muda, sebab kami tidak berasal dari Yogyakarta "negerinya" gudeg.

Aku mempelajari sendiri gudeg itu. Sebab, sebagai istri diplomat aku memang ditantang untuk bisa memasak makanan tradisonal. Keluargaku orang Jawa Tengah, jadi rasanya janggal jika aku tidak bisa masak gudeg. Apa nanti kata bossku di Dharma Wanita kalau aku diserahi masak gudeg tidak mampu melaksanakannya?

-ad-

Dapur mama -ibu mertuaku- adalah saksi percobaanku nggudeg. Waktu itu kami tinggal seatap. Mama menjadi pemilik dapur rumah tangga baru kami, karena kemampuanku belum seberapa. Peralatan masakpun aku nyaris tak punya, sebab kebanyakan cadeaux pengantin kami berupa barang pecah belah dan peranti makan serta seprai. Barang pecah belah, bukan barang belah yang tidak pecah. Ha...ha...

Hari itu mama akan pulang dari Kebumen naik KA Senja yang berhenti di Stasion Senen dijemput lik Tukidjo, opas di kantor bapak. Sejak kemarin aku sudah turun ke dapur menyiapkan hidangan istimewa pengobat lelah beliau. Aku membeli nangka muda cukup banyak plus tulang-tulang sapi. Kemudian berbekal nekad dan bismillah kubumbui sedemikian rupa dengan menambahkan banyak gula merah. Ajaibnya, panci blirik abu-abu mama yang sudah mulai gumpil emailnya di beberapa tempat justru bisa menciptakan warna merah pada nangka muda yang kumasak. Aku terheran-heran sendiri.

Gudeg itu aku hidangkan di meja makan tanpa sambal goreng. Tapi aku membuat cukup banyak opor dan tempe goreng.

Lik Tukidjo yang telah berbaik hati menggantikan tugas suamiku menjemput mama, kupersilahkan makan dulu sebelum kembali ke kantor. Mama turut membuka tudung saji rotan kami. Sejenak diperhatikannya lauk-pauk kami sebelum mama berujar, "jeng Lilik, jangan suka memanjakan kami. Tak perlu ke pasar belanja gudeg di tempat simbok bawah tangga," mama menatapku tajam.

Aku mundur takut-takut. Sebab aku tak menyangka reaksi mama akan demikian kerasnya. Kuberanikan diri untuk menjawab sambil menundukkan mukaku yang pucat pasi. "Dalem tidak beli gudeg ma........ nyuwun deduka....." kataku minta maaf. Aku siap menerima kemarahan mama yang memang kutahu cukup keras hati.

"Dimana jeng Lilik beli gudeg ini?" selidik mama sambil kembali membuka tudung saji.

Aku melangkah ke dapur di dekat situ. Rumah kami memang sempit, sehingga memudahkanku menjangkau semua ruang dalam waktu yang bersamaan, "Dalem masak ma, nyuwun deduka, dalem lancang memakai panci blirik mama,' jawabku bergetar. Rasanya ingin kubenamkan wajahku di balik tutup panci itu untuk menahan malu campur takut.

Mama melangkah ke dapur dan membuka panci abu-abu kebanggaannya. Diamatinya dengan mata tua yang jernih itu. Kemudian sendok sayur didekatkannya ke lidah. Mama mencolek sedikit mencicipinya sambil mengaduk-aduk panci yang tinggal separuh terisi. Senyumnya mengembang manis sekali. "Oh ya wis, ayo lik Tukidjo, kita makan dulu bersama-sama," sahut mama sambil menata letak duduk kami di meja makan.

Mama juga seperti ibu kandungku, senantiasa menghargai siapa saja tak mengenal derajat sosial. Hatiku lega. Kemudian kuperhatikan mama menyendok lauk pauk di meja serta mengunyahnya dengan lahap tanpa bersuara. Kebiasaan yang tak pernah terjadi di rumah tangga orang tuaku yang senantiasa riuh rendah penuh obrolan santai. Kini hatiku terasa sejuk, seperti guyuran air di gorong-gorong besar di samping rumah kami.

-ad-

Meja lebaran mama memang bukan meja keluargaku. Ada kesamaan disana-sini. Tapi bedanyapun jelas besar.

Mama terkenal sebagai juru masak yang handal dan pembuat kue nomor satu. Dulu sekali ketika suamiku masih kecil, mama memang berprofessi sebagai pembuat kue. Setiap Idul Fitri dan Natal tiba, banyak orang minta tolong mama membuatkan kue. Mulai dari kue-kue yang umum ada di meja hari raya sampai yang langka dan sangat tradisional. Kaastengels dan ananastaart sudah pasti ada bersama kacang bawang. Belum lagi bangket, sagon aspirin dan pastel abon.

Kedua kemenakanku yang sudah menjadi bagian dari keluargaku selalu ketagihan makan kue bangket dan sagon aspirin mama. Sedangkan aku selalu "maniak" kaastengels sedap mama.

Kaastengels itu sesungguhnya biasa saja. Hanya cara mama mengadoni serta bentuknya yang lebar-lebar menjadikan rasanya istimewa. Walaupun sesungguhnya yang istimewa itu adalah kue bangket dan sagon aspirin.

Dinamakan sagon aspirin, karena kue ini dicetak berbentuk bundar dengan menggunakan bekas kaleng vick's vaporub sehingga menyerupai pil aspirin. Suamiku sangat piawai mengerjakannya walaupun dia tidak hafal resepnya. Selain diberi kelapa parut, ada susu bubuk dan kulit jeruk purut sebagai penambah rasa yang memang menjadikan harum selagi dibakar.

Kue bangket lain lagi ceritanya. Dibuat dari beraneka tepung yang dicampur jadi satu, kue ini kemudian ditambah dengan serundeng kelapa yang ditumbuk hingga berminyak, air jahe, serta syrup gula aren. Lezatnya luar biasa, menandingi warnanya yang coklat muda serta bentuknya yang cantik beraneka ragam. Mama mencetaknya menjadi bunga, kupu-kupu, bebek, burung, kucing dan ikan, kalau tak salah ingat. Sebelum dibakar, mama masih menyuruh kami menggambarinya dengan berbagai motif agar tampil cantik. Ah, mama, aku rindu pada kue ini. pantas saja cucu-cucumu  selalu berbaris mengasongkan kaleng kue kosong ke dapur mama.

Mama juga rajin membuat tapai ketan hitam dan manisan buah atap yang diberi pewarna merah serta ditusuki berselang-seling dengan potongan nenas. Semuanya menggiurkan tetamu.

Di meja makan ada rendang sebagai peneman opor, sambal goreng hati serta telur pindang kesukaan suamiku. Semua serba lezat.

Setiap malam takbiran suamiku akan datang naik sepeda kumbangnya menenteng rantang mama ke rumahku. Yang pertama sibuk membukanya adalah bapakku. Beliau sangat tergila-gila kepada rendang mama yang nyaris tanpa bumbu seperti yang pernah kutuliskan resepnya di blog ini. Lalu, keponakan-keponakanku sibuk membongkar kaleng Khong Ghuan untuk menyerbu kue bangket serta sagon aspirin di dalamnya.

Lebaran itu. Sudah sangat jauh berlalu. Tapi kenangannya senantiasa lekat di ingatanku, Termasuk gerutu mama jika suamiku terburu-buru menyelesaikan tugasnya mencetak kue sebab terlanjur ingin mengobrol berdua-dua di teras rumahku. "Hayo, Djati........, sing padha kandel tipise. Mundak matenge ora rata.......... Aja kesusu selak arep dolan wae. Jeng Lilik, iki bangkete digambarana........" terngiang di telinga ini suara mama, Merdu sekali, mendayu-dayu menyobek hatiku mengembalikannya ke masa lampau.

Mama. Aku tak meninggalkanmu. Semua hidangan mama nyaris kutiru habis-habisan kecuali bangket dan sagon aspirin itu. Maafkan kami.

Minggu, 28 September 2008

IKATAN KASIH DI HARI FITRI

Hari Raya tiba. Kami tidak pernah merasakan yang namanya mudik. Mudik bagi kami tidak ada artinya, karena kakek-nenek kami adalah ummat Protestan. Jadi buat apa mudik?

Keluargaku memang unik. Ayah-ibuku berasal dari satu keluarga yang sama. Kakek-kakek kami bersaudara kandung. Ayah dari ayahku adalah putra ketiga, sementara ayah dari ibuku adalah putra bungsu.

Nenek-nenek kami sama sekali orang lain, tapi berasal dari desa yang bersebelahan. Dulu kakek moyangku dari pihak ibu memiliki madrasah serta langgar besar di kampung mereka di pedalaman Kota Kebumen, Jawa Tengah. Tapi uniknya, ada juga gereja Kristen Jawa yang konon dimiliki oleh keluarga nenek moyang kami juga tak jauh dari langgar itu.

Entah apa sebabnya nenekku dari pihak ibu menjadi penganut Protestan bersama sebagian keluarga lainnya. Yang kutahu, paman nenekku adalah seorang dokter berpengaruh di masa kolonial hingga awal kemerdekaan, yang kemudian turut merintis berdirinya Rumah Sakit Bethesda di Yogyakarta. Sebuah RS yang ditilik dari namanya bernuansa non muslim.

Ya, memang ada keluarga kami yang menjadi pemuka gereja juga, seperti simbah Pendeta di Yogyakarta serta simbah Juru Injil di Wonosobo sana. Belum lagi sebarisan Penatua dan Penginjil sederajat ibu-bapakku yang masih aktif melayani jemaah di gereja mereka masing-masing baik di Jawa Tengah maupun di Jawa barat kampung kami sekarang.

Di sisi lain, nenekku dari pihak ayah adalah penganut aliran kepercayaan yang kemudian diwariskannya juga kepada ayahku. Hidup mereka memang tak mengenal rumah ibadah. Tak juga nampak kitab suci tebal-tebal dengan bahasa yang asing. Tapi, baik nenekku maupun ayahku tak pernah ketinggalan bertafakur. Ada masanya ayahku hanya akan duduk diam tanpa apapun di dekatnya dan melipat tangannya seperti berdoa. Selain itu, ayahku punya sifat yang patut kubanggakan. Tidak mengenal kemewahan duniawi dan mau menolong siapa saja yang dinilainya baik serta memerlukan bantuan tanpa diminta.

Mang Usup tukang kebun kami serta Keluarga Pak Kardi, pensiunan polisi rendahan tetangga kami adalah contoh dari orang-orang yang pernah mendapat pengayoman bapakku. Mereka dibiarkan menempati bagian belakang tanah ayah kami dan tinggal disitu selamanya. "Kasihani mereka," kata ayahku suatu saat waktu aku terbingung-bingung menyaksikan pendirian dua bilik bambu di belakang lahan kami. "Mang Usup dan Pak Kardi butuh tempat berteduh. Karenanya mereka kuijinkan mendirikan bangunan disitu." tegas ayahku.

Ibuku sendiri adalah penganut Muhammadiyah sebagaimana halnya pamanku di Jakarta. Merekalah yang mengajarkan agama Islam kepada kami, sebab kakek kami -ayah beliau- yang juga seorang mulsim telah berpulang di usia yang masih sangat muda.

Dengan kondisi seperti ini, apa gunanya kami mudik, bukan?

Hari raya selalu kami habislkan di rumah saja sambil berkeliling kepada kerabat yang juga ada satu-dua di Bogor. Belum lagi Ibu dan Ayah punya kebiasaan mengunjungi kawan-kawan mereka untuk bersilaturami. Sehabis itu kami sendiri akan menerima sanak-keluarga Protestan kami yang sangat antusias ingin menyampaikan salam Idul Fitri.

-ad-

Di malam takbiran ketika bedug dikeluarkan dari masjid ke pojok jalan persis di samping rumah kami, ibu senantiasa menyuruhku mengantarkan rantang email berisi ketupat dan lauk-pauk ke tumah-rumah tetangga. Setelah itu ke tempat kerabat yang dekat dari rumah. Pulangnya, rantang-rantang ibuku akan kembali terisi makanan sebagai penukarnya. Sementara itu, di saku bajuku ada diselipkan uang receh pemberian mereka sebagai salam lebaran.

Sambil menghayalkan apa yang akan kubeli dengan uang-uang itu esok harinya, mataku tak luput mengawas-awasi anak-anak lelaki yang selalu iseng melemparkan petasan ke arah para pejalan kaki sejak awal puasa. Bunyinya yang memekakkan bersahut-sahutan dengan meriam sundut yang juga diletakkan anak-anak lelaki beserta para bapak dimana saja. Jangan ditanya bagaimana kerasnya, Tentu menyakitkan telinga dan jantung yang rapuh.

Di halaman rumah kemenakan-kemenakan kecilku asyik menyuluti bunga api yang dibawanya dari rumah masing-masing. Ya, merekalah yang mudik ke tempat orang tuaku. Kami senantiasa berkumpul di rumah besar itu dan menghabiskan Idul Fitri disana.

Keesokan harinya kami segera berebut mandi. Seringkali anak-anak kecil yang tidak kebagian kamar mandi kami mandikan di tong tempat penampungan air atau di sumur di belakang rumah. Mulut-mulut mereka senantiasa riuh rendah dengan segala celotehan yang tak berkesudahan, sekalipun semalaman mereka nyaris tidak tidur keasyikan mengobrol dan mendengarkan dongeng yang kukisahkan untuk mereka.

Keempat anak gadis kakak-kakakku senantiasa berpaiakan sama. Anita selalu mengambil dua baju yang sama untuk dirinya dan juga untuk Diana sepupunya. Begitu pula Mella akan menjemput dua gaun yang persis sama untuk diberikannya sebuah kepada Renni, sebab kelak Renni akan membawa dua gaun yang sama untuk diberikan satu kepadanya.

Yang berbeda pada mereka hanyalah sepatu, sebab alas kaki memerluka ukuran yang tepat. Tetapi kuingat sampai kini, selalu ada kemiripan satu sama lain menunjukkan betapa mesranya hubungan batin mereka.

Lebaran hampir tiba. Aku tahu, suasana di rumah besar kami kini tidak akan sama lagi. Para penghuninya sudah sama-sama tua dan sulit untuk melangkahkan kaki kembali ke rumah induk. Tapi aku tahu, kedekatan kami tetap senantiasa terjaga. Sebab minggu lalu kuterima SMS dari anakku bahwa dia akan menghabiskan Idul Fitri di rumah sepupunya di Bandung sana. "Ijinkan aku tidak pulang ke rumah ya bu. Aku akan merayakan Idul Fitri bersama keluarga mas Harry," pintanya. "Ya, silahkan. Tetaplah jalin silaturahmi di antara kita, sekalipun sekarang kita sudah punya kehidupan masing-masing," jawabku.

Kutahu pasti, seklipun tanpa suasana masa lalu tapi esensi Idul Fitri di keluargaku masih tetap sama. Menjaga kebersamaan dan menjalin silaturahmi seperti makna ketupat yang diterangkan ibuku dulu.

Sabtu, 27 September 2008

JANGAN BIARKAN AKU MERINDUKANNYA

Jum'at malam kemarin menjadi hari terakhir bagi kami komunitas muslimin Indonesia di Cape Town melaksanakan tarawih dan buka puasa bersama. Biasanya bersama kami hadir juga komunitas muslimin Afrika Selatan yang memang sudah menjadi seperti saudara kami sendiri. Mereka kami dudukkan sebagai Imam dan Khatib, sementara kami "tetamu" di tanah mereka patuh menjadi makmum sekaligus tuan rumah acara.

Sebentar lagi kebersamaan ini akan segera berakhir. Menyudahi kemesraan kami yang seakan tiada batas.

Aku menghitung sisa hari di kalender Ramadhan yang kuperoleh dari super market di dekat rumah. Tinggal empat hari lagi sampai ke hari yang fitri, Pantas saja toko-toko muslimin sudah penuh sesak. Orang-orang datang dan pergi membawa kendaraan yang tiba-tiba akan jadi penuh muatan, keranjang-keranjang besar warna-warni.

Ingatanku segera melayang ke masa lalu. Ketika aku baru ditetaskan dari rahim ibuku. Ada yang kurindu disitu. Keranjang rotan ibu yang kokoh serta segala isinya. Nenas, sirsak, gula pasir, mentega Palmboom, terigu, telur serta entah apa lagi. Juga daging segar yang cukup banyak serta serbuk putih yang kuingat namanya sendawa atau salpeter. Hmmmmmmm, terbayang harum dan gurihnya daging corned beef yang kelak akan dihasilkan ibuku.

Ibuku seorang wanita sederhana. Bukan perempuan sekolahan yang punya daya untuk mencari uang, sehingga beliau harus pandai-pandai menggunakan gaji ayahku sekedar membahagiakan kami anak-anaknya di Hari Raya itu. Itulah sebabnya ibuku senang membuat corned beef sendiri, sekalipun aku tahu ada dijual corned beef siap santap di toko-toko besar.

-ad-

Biasanya ibuku akan sibuk membuat makanan sekitar lima hari menjelang hari raya. Yang kuingat, kami semua diwajibkan membantunya. Mbakyuku yang tertua ditugasi mengupas nenas serta membuatnya menjadi selai sebelum ibu mengolahnya menjadi kue kering bersama mbakyuku yang kedua. Juga ibu akan membuatnya menjadi dodol bersama dengan sirsak yang jika beruntung merupakan hasil panen di halaman muka rumah.

Mbak Wiek sangat piawai menggurat-gurat permukaan nenas yang telah dikupas dan mencungkili satu demi satu mata nenas untuk menghasilkan buah yang bersih. Lalu dia akan memarutnya. Setelah itu dibaginya menjadi dua untuk proses yang berbeda. Si dodol akan dimasaknya kemudian, setelah dia menyelesaikan selai kebutuhan ananastaart ibuku yang dibumbuinya dengan cengkih dan kayumanis hingga harumnya menggugah selera.

Adapun dodol-dodol itu nanti, akan dibungkusinya dengan kertas minyak warna-warni, merah, kuning dan hijau. Aku sangat suka membantunya, sebab dia mengijinkan tangan-tangan kecilku memilini satu demi satu bungkusan dodol itu sambil menyolek sedikit adonan dodol di washkom blirik abu-abu email kami. "Lilik!" bentaknya, "tanganmu kotor, jangan lakukan itu!" matanya menegang menatap padaku sementara mulutnya mengatup runcing menimbulkan kengerian. Aku buru-buru mengelap jariku di rok lalu meneruskan membungkusi dodol home-made itu,

Di meja dapur sana, barisan loyang kaleng ibuku sudah berjajar dipenuhi kue-kue berbentuk bunga yang dihasilkan pencetak kayu yang disorongkan ke dalam tabung kaleng dengan ujung meruncing, Lalu oven tua kami yang entah memang warnanya hitam atau sudah menghitam dimakan usia, bolak-balik berbunyi berkeriut dibuka-tutup untuk mengganti isinya dengan adonan yang belum dipanggang. Api di bawahnya yang dihasilkan oleh kompor butterfly ibu menjilat-jilat membiru.

Kenanganku di rumah tua itu tak akan berhenti sampai di situ. Sebab menjelang malam takbiran ibu sudah menyuruhku memanggil mang Usup tukang kebun kami untuk memotong ayam-ayam peliharaan ibu guna dimasak opor. Lalu semalaman itu ayam tadi dikuliti dengan cara direndam dalam air mendidih dan dicabuti bulunya. "Diwedangi," begitu istilahnya. Itu adalah tugas mang Usup yang kemudian akan mendapat sebagian dari daging ayam itu kelak sebagai upahnya. Aku sendiri sudah menunggu dengan tidak sabar untuk mengatakan bahwa besok aku akan minta bagian hati ayam dan ampelanya, atau kepala sekalian.

Di belakang sana, Dasiman dan bibi Dasikem pembantu kami anak-beranak sedang menganyam ketupat dari daun kelapa yang diambil mang Usup dari pohon di belakag dapur. Kuingat, Dasiman sering membuatkanku ketupat berbentuk ayam jago sebagai pengganti ayam jago kami yang telah menjadi opor di panci. Dia memang istimewa disamping kelanan jiwanya. Sebab takdir telah menjadikan dia dan maknya sebagai penderita schizophrenia yang mengakibatkan kami harus memasukkan ke RS Jiwa.

-ad-

"Bu, kenapa kita harus makan ketupat di hari raya?" tanyaku kepada ibu suatu hari disaat aku sedang melaksanakan tugasku mengisi duapertiga kelongsongan ketupat dengan beras jatah pegawai negeri. Ibuku berhenti memasak lalu menatap padaku. Dicermatinya kesungguhan wajahku, seakan beliau tidak percaya akan pertanyaanku yang nampaknya sepele itu.

"Negeri kita sangat luas anakku. Membentang dari Barat ke Timur, Utara ke Selatan. Dan di bumi yang maha luas ini kita punya banyak saudara berlainan suku. Raulina kawanmu orang Batak, Marlon dari Maluku, kita sendiri orang Jawa, jadi kita harus bisa menjadi satu."

"Apa hubungannya dengan ketupat?" potongku tak mengerti. Ibu menelan ludahnya sambil melanjutkan jawabannya. "Sekalipun Indonesia luas dan rakyatnya beragam, tapi kita harus menyatu. Ketupat ini dibuat dari daun kelapa yang tumbuh di semua penjuru bumi nusantara serta dijalin untuk menunjukkan bahwa ktia adalah sama-sama bangsa Indonesia yang bersaudara satu sama lain sekalipun berlainan daerah. Lalu dibentuklah sebuah bujur sangkar yang melambangkan empat penjuru tanah air. Di dalamnya dimasaklah beras putih menjadi semacam kue yang padat, sebagai pertanda bahwa kita harus senantiasa bersatu padu dan saling menjaga kerukunan dengan pikiran yang bersih suci, seputih beras ini,' tutup ibuku sambil mengelus kepalaku. "Kamu mengerti sekarang?" tanyanya lembut seraya meyunggingkan senyum yang menampakkan gigi-gigi gingsulnya.

Aku mengangguk, mencerna semua penjelasan ibuku. Kupikir kini ibuku perempuan pandai yang tahu apa saja dan sangat bijaksana. Aku bangga kepadanya. Di binar-binar mataku terpancar betapa aku mengagumi sosok ringkih di balik balutan kebaya kanstof serta kain batik sogan yang dibelinya di Toko Terang Bulan, Yogyakarta itu.

Ketupat-ketupat yang sudah kuisi kemudian dibawa mbakyuku ketiga ke dapur belakang untuk direbus di atas tungku kayu yang asapnya membumbung keluar dari cerobong batu di atap dapur. Perebusnya adalah dandang tembaga sangat besar yang seingatku bisa memuat sekaligus duapuluhlime buah ketupat sekali masak. Aku ingat, ibu membawanya dari sebuah toko di Pasar mBrengkelan. Purworejo, kampung halaman mertuaku dimana pada akhirnya justru kakek kandungkulah yang menghabiskan masa tuanya disana. Ya, seingatku toko itu bernama Toko Bogowonto sesuai dengan nama kali yang melintasi kota Purworejo. Dan hingga akhir tahun tujuhpuluhan aku masih sering berbelanja di toko itu atas suruhan ibuku atau calon mertuaku.

-ad-

Hari Raya itu akan ditandai dengan acara sungkeman, mencium lutut kedua orang tua kami sebagai tanda bakti dan mohon maaf. Biasanya ibu dan bapak akan duduk di sofa ruang tamu. Lalu kami adik-beradik berbaris bergantian membungkuk berlutut di hadapan mereka seraya mencium kedua lutut mereka. Ibu dan bapak mengusapkan tangan mereka yang tak pernah kenal lelah membesarkan kami , di atas ubun-bubun kepala kami. Bersamaan dengan itu terlontar doa-doa untuk kami yang sering diikuti oleh isak tangis tertahan. Kami seperti menyesali semua sikap kami yang telah lampau, sementara orang tua kami memaafkannya dengan ikhlas.

Lalu hidangan ketupat, opor, sambal goreng hati, telur pindang, kering tempe dan dendeng ragi di meja makan segera kami nikmati bersama, diakhiri dengan menyantap asinan Bogor buatan mbak Ien, mbakyuku nomor empat. Segar sekali.

Di luar sana teman-teman kecilku sudah menanti mengajak aku berkeliling kampung. Kami bertandang mengucap salam dari satu rumah ke rumah berikutnya. Menciumi tangan para pemiliknya yang sudah cukup tua sambil mengharap sedikit uang receh dari mereka. Setidak-tidaknya kue-kue dari meja tamu mereka.

Umumnya pakaian kami nyaris seragam mengikuti trend mode. Pernah di suatu tahun kami semua keluar rumah dengan baju berpotongan seragam kelasi yang kami sebut sebagai model matros. Kemudian tahun berikutnya kami mengenakan baju bermotif polka dot yang kami istilahkan sebagai baju totol-totol berleher lidah, yang memang menjulur mirip lidah mengikuti trend mode yang dipelopori Titiek Sandhora di TVRI. Sepadan dengan itu, kaki-kaki kecil kami menginjak sandal Lily yang terbuat dari plastik warna-warni. Ehm sangat menawan, sebagaimana ketika kami kemudian menjahit baju dari kain bercorak kotak-kotak yang kami sebut sebagai baju cele dan baju bercorak rintik-rintik hujan.

Uang lebaran kami kemudian jadi milik para pedagang balon, es dan makanan lainnya, bahkan juga jadi milik bah Hien Lung yang menjual limun nansan serta sarsaparila. Nikmat sekali rasanya sampai kami lupa bahwa orang tua kami di rumah menunggu untuk pergi bertandang ke rumah sanak-saudara dan kerabat.

Ah lebaran itu, begitu menggugah kenangan. Seperti keriuhan bedug yang biasa ditabuh orang di dekat rumah kami pada malam takbiran. Allahu Akabar wa lila ilhamd. Aku memuji keagunganmu ya Allah, mengapa gema takbirmu tak mampir kemari? Jangan biarkan aku merindukan semua itu.

Perlahan-lahan air mataku turun. Di pelupuk mataku jelas terbayang rombongan peziarah melewati rumah kami menuju pemakaman umum di daerah belakang kampungku tempat anakku juga berbaring untuk selamanya.......... Aku merindukannya. Ah, jangan biarkan aku merindukannya.

Pita Pink