Bayangkan di saat saya kesulitan mendapatkan hak saya sebagai orang tak berpunya untuk mendapatkan bantuan pengobatan dari Pemerintah, tiba-tiba orang-orang yang tak saya kenal itu justru datang dengan sendirinya menolong saya. Termasuk dokter onkologi saya yang menampakkan keprihatinannya atas hambatan kemoterapi saya.
Ibu drh. Linda relawan kanker itulah yang menyampaikannya kepada saya. Sepagi mungkin ketika saya belum sempat mandi, tiba-tiba beliau sudah berada di muka pintu rumah saya. Wajahnya yang membulat kuning langsat nampak cemas. Ternyata saya sedang ada di dalam pikirannya, tergambarkan sebagai sosok yang lemah dan amat membutuhkan bantuan. Penyebabnya kemarin dulu dokter saya mengontaknya larut malam untuk menyampaikan kegundahannya soal pendanaan kemoterapi saya yang terpaksa mundur nyaris satu minggu. Dokter meminta-minta tolong supaya saya dibantu bu Linda bicara dengan pihak DKK. Waktu itu bu Linda tak bisa berbuat apa-apa namun menjanjikan akan segera bergerak serta meminta dokter saya untuk segera tidur sebab hari sudah menjelang pagi sedangkan tugas kemanusiaan beliau dari hari ke hari semakin menumpuk.
Saya terpana mendengarnya. Hati saya tercekat keharuan. Sebab saya tak menyangka, dokter saya sampai sedemikian rupa memikirkan keselamatan jiwa saya. Yang saya tahu beliau memang berupaya keras agar saya sembuh kembali, dan mau mengambil resiko apa saja demi kesembuhan saya. Beliau selalu menekankan bahwa saya sedang berpacu melawan maut. Artinya kami harus segera bertindak cepat agar keluar sebagai pemenang dan saya layak menyandang label "penyintas kanker".
***
Drh. Linda relawan kanker yang penuh dedikasi
Bu Linda tak berkeberatan meski semula menolak untuk ikut sarapan. Katanya beliau baru saja makan sebelum ke luar rumah. Tapi pada akhirnya demi menemani saya beliau pun bersedia juga mengunyah lontong sayur yang dibeli anak saya dari kedai bu Lina yang terkenal nikmat.
"Bu, beli makanan di luaran begini sebetulnya tidak sehat untuk ibu. Saya juga sudah menyampaikan kepada dokter Bayu. Tapi ya memang apa boleh buat, ibu sekarang tak bisa berbuat apa-apa, jadi beliau dan saya cuma prihatin," komentar bu Linda begitu kami mulai menikmati makanan.
"Ya bu, saya berterima kasih begitu besarnya perhatian untuk saya. Seperti perhatian tetangga saya, bu Nessy, barangkali teman ibu ibadah di Kathedral, beliau sampai menawari mencarikan pembantu untuk saya," jawab saya. "Tapi harus saya tolak bu, sebab risi rasanya jika ada perempuan lain di rumah ini seatap dengan bujangan-bujangan saya," lanjut saya lagi.
"Betul sih bu Julie, makanya apa boleh buat, ya?" Sahut bu Linda pula seraya mengamini ucapan saya. Memang tak mudah tinggal seatap dengan perempuan yang tidak ada hubungan keluarga dengan kami karena jadinya kurang nyaman baik untuknya maupun untuk anak-anak saya.
Bu Linda menurut pengakuannya tak kenal dengan tetangga saya itu. Tapi beliau kemudian menganggap ternyata nyaris semua orang baik hati kepada saya. Dan saya pun membenarkannya. Saya langsung teringat Butet sahabat saya semasa sekolah dulu yang menekankan bahwa kebaikan yang diterima seseorang biasanya adalah buah dari ketulusan budi yang pernah ditanamkannya meski tak disadari. Benarkah begitu, saya tak pandai menjawabnya.
Sebetulnya obrolan kami langsung mengarah kepada obat kemoterapi saya. Begitu saya nampak di hadapannya dia langsung menanyakan kondisi saya dan rencana kemoterapi itu. Saya pun menjawabnya dengan terinci. Termasuk soal kesalah pahaman pihak DKK sebab di resep apoteker RS menuliskan juga nama dagang dari obat yang kami minta.
"Oh....., 'gitu ya?! Wah kenapa dong ditambahi brand-namenya segala?" Komentar bu Linda terheran-heran. Sebetulnya saya sendiri juga heran atas tulisan itu. Sebab sudah jelas-jelas apoteker mengusulkan dokter mengganti obat bermerek dengan obat generik dari kualitas kedua. Itu artinya pihak manajer RS tahu bahwa obat bermerek tak bisa dikabulkan. Lalu dokter saya sudah patuh, ikhlas mengganti obat saya sesuai saran mereka. Mengapa pula di belakang dokter saya mereka tetap menulis nama dagang obat kualitas kedua usulan mereka ini.
Tiba-tiba bu Linda menjawab sendiri sambil tersenyum masam, "oh iya deh, ngerti saya. 'Kan si merek A lebih murah dari merk B yang dulu ditolak itu tuh. Jadi pihak RS coba-coba. Syukur-syukur dikabulkan, mereka minta A. Jadi ada selisih harganya dengan yang generik yang ditulis dokter hehehe...... Mereka coba-coba bu," dia berteori sendiri sementara itu saya mencerna ulang maksudnya.
"Oh ya, supaya saya tetap dapat yang bermerek meski 'kawe dua' alias second line, ya?" Akhirnya saya sampai pada kesimpulan saya sendiri.
"Pokoknya gitu deh. 'Kan saya pernah bilang kadang-kadang pihak RS memang nggemesin. Termasuk kepada organisasi sosial yang ingin membantu pasien mereka. Dulu saya pun sulit lho bu dapat diterima di sana. Padahal kami ini relawan, bekerja sosial tidak mengharap apa-apa selain meringankan beban RS merawat mental pasiennya, repot deh," cerita bu Linda lagi. Saya sih cuma mengangguk-angguk saja sebab saya tak pernah tahu riwayat lembaga sosial tempat bu Linda berkiprah hingga bisa menjaring para pasien kanker untuk didampingi begini. Yang jelas kalau dia benar ya boleh dibilang keterlaluan juga sih.
Bu Linda kemudian menanyakan pendanaan obat-obat lain yang saya pakai di luar obat kemoterapi itu. Saya katakan mereka tidak bisa mendanai sebab permintaan obat kemoterapi saya pun sudah sangat mahal untuk ukuran kas Pemda sebagai sumber dana Jamkesda.
"Terus ibu harus beli Leucogen sendiri 'kan ya?" Tanya bu Linda.
"Ya, diganti merek sih, jadi Leukokin. Nggak 'pa'pa bu. Kebetulan waktu itu 'kan saya sudah bilang ada teman-teman yang nyumbang uang dapat untuk dua ampul. Yang satu dari kerabat kerja mantan suami saya, satunya iuran teman-teman SMA saya," jawab saya berterus terang. Memang tak dinyana pertolongan untuk saya itu bisa tiba-tiba datang dengan sendirinya dari mana saja.
"Ayo sini sekarang juga saya tolong belikan di YKI Pusat," kata bu Linda kemudian mengejutkan saya dengan penawarannya.
"Aih, nggak usah lah, yang sekarang saya beli di sini saja. Yang akan datang saya beli ke sana sekalian saya kontrol ke RSKD," sahut saya merasa merepotkan.
"Alah, saya 'kan bisa naik kereta sampai ke Gondangdia. Dari sini angkotnya langsung ke stasion," bujuk bu Linda kelihatan bersungguh-sungguh.
"Jangan bu Linda, tak perlu repot-repot. Terima kasih, minggu depan saja saya mampir jika saya ke RSKD. Memang sekarang tinggal sebulan sekali sih saya ke sana," tegas saya.
"Memang sekarang bu Julie nggak pernah difisioterapi lagi ya?" Tanya bu Linda begitu tahu frekuensi saya ke RSKD tinggal sebulan sekali. Lalu matanya mengarah ke lengan saya yang baru saya lepas dari pembalutnya karena sebetulnya saya semula berencana akan mandi pagi.
"Ya begitulah bu. Mahal juga sih kalau saya tetap harus rutin difisioterapi," kata saya berterus terang.
"Tapi 'kan bisa dengan diurut-urut perlahan dengan tangan di rumah," ujar bu Linda lagi.
"Oh, kalau begitu sih iya, rutin lah setiap hari. Yang saya maksud fisioterapi dengan mesin di IRM. Itu yang sudah nggak terbayar lagi," terang saya seraya memperlihatkan lengan saya yang cacat permanen itu. Walau tak bisa normal lagi sebagai efek pengangkatan kelenjar getah bening ketiak saya, tapi saya bersyukur dokter saya sangat cermat, teliti dan hati-hati sehingga saya tak diamputasi. Masih terngiang-ngiang di telinga saya ungkapan jujur beliau waktu menjelaskan keadaan saya. Katanya waktu itu, tumor di kelenjar getah bening saya itu terlalu besar. Walau sudah dikemoterapi tetap lah dia tak mau mengecil, sehingga ketika dibuang akan perlu ketelitian dan makan waktu lama. Soalnya di daerah situ banyak pembuluh darah yang kecil-kecil lagi halus. Jika ahli bedahnya sembrono, kurang atau salah perhitungan, bisa jadi pembuluh darah itu ada yang terpotong sehingga akhirnya lengan saya membusuk dan mau tak mau diamputasi. Betapa ngerinya. Maka seketika itu saya bersyukur kepada Allah serta berterima kasih benar kepada beliau. Tak mungkin bisa saya lupakan kerja keras dan pengabdian beliau atas nama kemanusiaan yang dilakukannya terhadap saya. Padahal saya bukan siapa-siapa beliau, orang tak berpunya pula.
"Ibu sekarang sudah kontak dokter Bayu lagi? Kok SMS saya nggak ibu jawab sih?" Tanya bu Linda kemudian.
"Oh HP saya rusak bu, nggak bisa terima SMS tapi anehnya bisa telepon. Maaf ya. Saya kemarin pagi langsung kok SMS beliau, sorenya saya kirim detail kisahnya dengan E-mail," ujar saya.
"Oh baik lah. Soalnya kasihan beliau gundah terus kepikiran ibu. Kayaknya ibu jadi beban moral beliau deh," sahut bu Linda menjelaskan.
"Duh kasihan. Hanya gara-gara tetangga menitipkan saya kepada beliau tuh," duga saya. Memang begitu bu Djafar tetangga yang memimpin pengajian kaum wanita di RT saya tahu saya berobat ke dokter, beliau menyuruh saya berobat kepadanya. Begitu pun dengan kerabat-kerabat saya yang tinggal di RW lain. Mereka sudah mengenal dokter saya sejak remaja sehingga tahu persis perangai beliau yang hati-hati dan otak beliau yang cemerlang. Malah ada kemenakan saya yang secara bergurau menyebut dia bintang baik di keluarganya di antara saudara-saudara kandungnya maupun di kalangan orang muda di kampung kami. Bu Djafar dulu malah sering "mengasuh" beliau karena sepulang sekolah beliau sering bermain bersama putra bu Djafar di kediamannya.
"SMS maupun E-mail saya belum dijawab sih bu Linda. Tapi nggak masalah kok. Yang penting beliau sudah tahu saya boleh mendapat kedua obat pokok itu," tutup saya. Padahal ternyata kemudian saya dapati jawaban beliau meski cuma sepotong yang menyatakan kegembiraannya. Rupanya memang betul ponsel saya rusak, tak mudah menerima atau berkirim SMS. Namun saya tetap tak akan membeli perangkat yang baru karena kalau pun saya punya uang tentu akan sangat bermanfaat untuk membiayai pengobatan saya yang tak semuanya didanai pemerintah.
"Oh ya kalau begitu saya mau pulang dulu ya? Saya mesti nengok pasien di Klender, ke Jakarta. Tapi ini tolong diterima amplop bantuan dari donatur," kata bu Linda setelah meneguk air putihnya hingga licin tandas seraya mengangsurkan amplop coklat ke tangan saya sehingga saya terkejut.
"Bu, ini apa? Dari siapa?" Sahut saya surprise.
"Bantuan dari seseorang yang tak mau disebut namanya, terimalah," ujarnya simpatik.
"Saya kenal orangnya?" Kejar saya bingung.
"Nggak. Ibu nggak kenal dia, dan nggak harus kenal dia. Tapi dia bilang ingin membantu ibu," jawabnya ringan.
"Terus dia tahu saya dari mana dong bu? Pembaca setia blog saya kah?" Desak saya lagi.
"Bukan dia orang sibuk, nggak berputra jadi semua serba dikerjakan sendiri. Dia nggak ada waktu untuk browsing. Yang jelas dia sudah tahu ibu, dulu pasien dokter ibu juga sih," ceritanya. Kemudian dia menyebut tempat tinggalnya yang jauhnya dari ujung ke ujung dengan rumah saya.
"Alhamdulillah. Tolong saja sampaikan rasa terima kasih saya ya bu, ini bisa jadi ongkos obat-obat saya yang tak didanai Jamkesda," lontar saya kegirangan. Ya beginilah nasib orang sederhana, tak mungkin tidak bersyukur kalau Tuhan selalu menghampiri dengan sentuhan kasih sayangNya. Dan kali ini, itu datang dari bu Linda relawan kanker yang hatinya sungguh mulia. Saya berharap Allah akan menyejahterakannya lahir dan batin.
(Bersambung)
bundaaaa..... smg tetap diberi kekuatan dan kesabaran ya Bun. salut buat bunda
BalasHapusIya mbak Ina. Doa saya untuk ayahnya anak-anak juga semoga diberi kesabaran dan kuat menjalani ritual di RS ya. Salam hangat!
Hapus