Powered By Blogger

Sabtu, 28 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (158)

Pagi-pagi begini saya tiba-tiba sudah tertawa sendiri. Bukan hanya disebabkan cerahnya cuaca dan lancarnya jalanan di depan rumah sih, melainkan terlintas ulah zuster Eeng perawat jenaka yang "memacar-macarkan" saya dengan pak dokter yang terhormat. Halah! Saya sampai geleng-geleng kepala sendiri.

Gara-garanya itu lho, di suatu pagi dulu pernah saya akan kembali ke rumah dari RS disebabkan dokter menutup polikliniknya. Ada tugas lain yang tak dapat diabaikannya. Jadi biasa lah, pasien di kampung kena imbasnya, harus sabar dan rela dinomor duakan. Ya tidak akan ada yang marah sih, meski yang menggerutu di dalam hati pastinya banyak. Sebab bayangkan saja pasien datang dari berbagai pelosok wilayah kota dan kabupaten nan sangat luas ini. Seandainya anda sendiri pasien yang datang dari Jasinga di perbatasan dengan wilayah selatan propinsi Banten, atau dari Cileungsi dan Jonggol yang jauh di timur arah ke utara, apa tidak merasa capek-capek membuang tenaga?! Soalnya stamina penderita kanker sungguh rendah lho........


Pada hari itu saya memang tidak membuat janji lebih dulu dengan dokter. Tapi saya nekad datang dengan asumsi beliau pasti menengok para pasien yang habis dikemoterapi. Kata petugas pendaftaran setibanya saya di RS, dokter kemungkinan batal praktek karena ada pekerjaan mendadak. Meski begitu mereka yang ingin menunggu kepastian dipersilahkan juga.

Setelah menunggu dan dapat kepastian, barulah saya beranjak pulang sebab sudah sesuai dengan SMS dokter ketika anak saya menanyakan langsung kepada beliau. Nah, di gerbang luar RS zuster Eeng baru turun dari angkutan kota sebab hari masih cukup pagi. 

Begitu melihat saya senyumnya yang ramah langsung melebar. "Mau ke mana bu Julie?" Sapanya seraya mengajak bersalaman.

"Pulang bu. Habis dokter saya nggak praktek," sahut saya. Tangan bu Eeng masih di dalam genggaman saya.

"Praktek bu, cuma nanti siang," bantahnya begitu yakin.

"Ah, siapa bilang? Hari ini ditutup," tegas saya.

"Eh... eh.... enggak, digeser ke siang hari," dia terus saja merasa yakin.

"Ah, sabodo teuing. Saya pulang dulu, tapi tolong ya kalau praktek beneran, kabari dong ya?" Rajuk saya sambil melenggang naik ke atas angkot yang jadi terpaksa berhenti sebab menunggu saya naik dulu. Sementara itu bu Rustini pasien yang datang dari perbatasan Bogor dengan Kabupaten Tangerang kecewa berat mendengar laporan saya.

Siangnya zuster Eeng benar-benar mengabari saya sambil tertawa-tawa. "Ibu pinter deh, dokter nggak praktek. Hayo, kok bisa tau sih?" Yang cuma saya jawab dengan tertawa lebar pula sambil memincingkan sebelah mata yang pasti tak kelihatan karena kami bertelepon..

Benar sih, banyak pasien yang mengatakan bahwa SMS mereka kepada dokter kami, sering tak berbalas. Sedangkan kepada saya meski tertunda tapi dibalas juga. Lalu mereka menyimpulkan sendiri bahwa saya "pasien istimewa" di RS ini. :-) Padahal bukan karena itu. Lebih tepat karena saya pahami betul jadwal kerja dokter saya sehari-hari, sehingga SMS saya yang berupa pertanyaan biasa saya kirim di waktu beliau bersiap-siap ke kantor atau justru malam sebelum beristirahat. Di waktu-waktu lain isi SMS adalah laporan keadaan saya atau konsultasi yang diperintahkannya ke pihak lain. Nah kalau cuma laporan 'kan bisa dibalas kapan saja.

***

Tapi tiba-tiba senyum saya berubah jadi ekspresi duka. Tepatnya kekecewaan berat begitu anak saya pulang mendaftarkan saya ke RS. Pasalnya dia bilang, saya tak jadi ke RS sebab tiba-tiba ada telepon dari pihak pendaftaran membatalkan jadwal poliklinik 16 hari ini. Padahal pukul 08.00 pagi ini hanya dua jam sebelum diumumkan sepihak oleh RS dokter masih mengatakan akan praktek pukul 11.00 sebelum ke Ruang Operasi.

Rencananya pasien di poliklinik memang dibatasi hanya 15 orang saja. Ini tidak luar biasa sebab jika ada pasien yang perlu dioperasi, maka yang lain harus berbagi waktu. Kami pun sudah biasa melakukan itu, bertenggang rasa sehingga suasana jadi nyaman. 

Berhubung begitu maka dokter meminta saya menghubungi perawat pasien di Ruang Kemoterapi untuk menyiapkan berkas-berkas resep obat, protokol dan surat-surat rujukan lain guna kemoterapi saya. Perawat itu diminta mengantarkan ke Ruang Bedah sebelum dokter mulai bekerja, supaya kemoterapi saya tidak tertunda lagi. Beliau sendiri juga langsung mengontak perawat dimaksud. Karenanya saya pun membuat janji pertemuan dengan perawat sesudahnya nanti. Semua ini sudah teratur rapi. 

Tapi tiba-tiba anak saya bilang dokter kecewa kepada pihak RS yang ternyata membatalkan praktek rawat jalan beliau kepada pasien dengan alasan dokter berhalangan. Soalnya kepada beliau pihak RS menyebut tak ada perawat yang bisa bertugas hari ini sehubungan dengan banyaknya yang sedang cuti. Maksud dokter saya, kalau beliau bersedia mengemban tanggung jawabnya terhadap pekerjaan, jangan lah ketiadaan perawat dijadikan alasan pembatalan dengan membelokkan seakan-akan dokter yang berhalangan. 

Sungguh mengena! SMS beliau ke pihak kami antara lain berbunyi, "saya nggak ngerti sama pihak RS." Saya pun sama, sungguh tidak mengerti ketika dokter yang bagus mau berpraktek melayani masyarakat demi meningkatkan kualitas dan kinerja RS tanpa mempertimbangkan profit tiba-tiba diperlakukan demikian. Sungguh seperti tak menghargai saja jadinya. Bak air susu dibalas dengan air tuba.





Coba tolong anda jawab, apa yang terasa di hati anda ketika anda sudah rela meluangkan waktu untuk berbuat baik tapi tiba-tiba dihalang-halangi dengan alasan anda tak bersedia? Serasa dicurangi bukan? Itu juga pasti yang terasa di hati beliau.

Sedang saya dan anak saya mendiskusikan peristiwa ini tiba-tiba masuk SMS dari perawat kemoterapi dan dokter saya sendiri. Kedua-duanya meralat pengumuman bagian pendaftaran dan mempersilahkan saya langsung berkonsultasi di poli. SMS perawat itu saya jawab dengan tidak, sebab saya tak diberi tahu ulang oleh bagian pendaftaran. Namun jawaban perawat, dia lah yang ditugasi menghubungi saya oleh pihak RS. Sehingga akhirnya saya bergegas berangkat sebab praktek akan segera dimulai. Tak terbayangkan di benak saya, bagaimana kalang kabutnya pasien-pasien yang rumahnya puluhan kilometer dari RS. Mereka pasti sudah dalam perjalanan pulang tapi belum sampai di rumah. Aduh, melelahkan sekali selain merepotkan.

"Padahal sudah saya sempatkan waktu untuk pelayanan pasien hari ini," demikian sepenggal SMS kekecewaan dokter saya yang tiba-tiba teringat lagi di benak saya ketika angkutan kota melintas di muka rumah beliau menuju ke RS. Seperti biasa rumah itu selalu sepi, tertutup rapat. Tapi di dalamnya sebuah keluarga besar yang hangat asyik bercengkerama menjalin kasih sayang kehangatan keluarga di akhir pekan. Meski waktu luang dokter saya amatlah sedikit. 

Tiba di RS pasien poliklinik onkologi memang nampak cuma sedikit. Dokter belum datang mungkin sedang meredakan gejolak hatinya dulu. Saya segera duduk menunggu di selasar tapi tak mengobrol dengan siapa pun hingga sempat menyimak perawat poliklinik di sebelahnya saling mempercakapkan dokter saya. Mereka bilang dokter saya sebetulnya dokter terbaik, berperilaku santun dan penuh tanggung jawab. Jika kejadin marah-marah seperti hari ini, di luar kebiasaannya. Perawat senior yang saya tahu tinggal sedesa dengan kami dan sudah mengenal dokter saya sejak kanak-kanak bilang, aslinya dokter saya pribadi penyabar. Saya tertawa dalam hati, sebab kemenakan-kemenakan saya juga pernah bilang begitu. Mereka nyaris sebaya sih.

Saya mendapat giliran nomor tiga, karena agaknya pasien giliran pertama tak datang, jadi giliran saya maju. Bu Maimunah yang sudah sepuh itu mungkin tadi sudah di jalan pulang jadi enggan balik lagi. Sementara saya memilih menunggu di rumah hingga ada pengumuman kepastian jam praktek dokter. 

Seorang pasien yang datang belakangan mengaku tinggal di Ciseeng, pelosok  kabupaten yang berdekatan dengan Serpong di Tangerang. Tanpa bermaksud mengeluh dia bilang, kalau bukan karena tumornya yang belum dioperasi amat nyeri, ketika menerima pemberitahuan susulan bahwa dokter jadi praktek, rasanya dia sudah malas kembali sebab rumahnya sudah dekat. Dan untuk mencapai RS lagi dia harus mengeluarkan ongkos ekstra. Terbayang bukan dampak pengumuman itu? Dokter pasti akan sedih mendengarnya bila tahu sendiri. Sebab hidup dokter kami tak pernah luput dari memikirkan nasib rakyat kecil. Kepada ibu ini saya beberkan rahasia mengapa pengumuman dibatalkan. Yakni disebabkan saya memprotes alasan RS yang dibuat-buat kepada perawat kemoterapi. Saya katakan mereka membuat keputusan sepihak tanpa berunding dengan dokter. Belum lagi saya sampaikan pengumuman pembatalan itu kepada dokter, sehingga beliau menegur pihak RS yang mengatas namakan dirinya sebagai penyebab pembatalan poliklinik. Padahal itu tak sesuai fakta. Dokter bilang, pihak RS akhirnya berterus terang mengakui bahwa hambatan di poliklinik ada pada kekurangan tenaga perawat sehubungan cuti akhir tahun.

Trouble-maker kah saya sebagai penyebab itu semua? Menurut saya sih bukan. 'Kan saya hanya menuntut hak saya sebagai pasien tak sering dirugikan dan pihak RS mengutamakan kejujuran dalam pelayanannya. Jujur saja, saya paling benci ketidak jujuran begini.

Akhirnya dokter menyiapkan resep obat kemoterapi saya juga semua persyaratan administrasinya. Beliau bekerja sangat cepat namun efisien. Sambil bekerja menulis, beliau menyempatkan diri menanyakan rencana penyuluhan di desa kami. Begitu saya jawab mereka minta ditunda sebab waktu saya bicara dengan pihak Puskesmas, program mereka untuk tahun itu sudah selesai terjadwal. "Wah, biasa deh kalau urusan dengan pemerintah birokrasinya panjang. Padahal pemerintah nggak pernah punya ide menyuluh tentang kanker. Batal aja deh tante. Kita bikin bekerja sama dengan bu Linda, mau nggak?" Ujar dokter saya sepertinya kecewa juga. Memang benar pemerintah menggemaskan saya. Mereka tak pernah kepikiran menyuluh kanker, padahal sudah timbul korban sangat banyak yang menguras anggaran kesehatan pemerintah. Itu lah sebabnya saya mengusulkan penyuluhan ini di desa saya. Kami punya pakarnya yang sayang jika tak dimanfaatkan.

"Bisa aja boleh. Tapi di mana?" Sahut saya

"Ya di bu Linda. Habis YKI juga nggak ada kabarnya sih, bergerak pun tidak," sahut dokter saya.

"Wo.... iya. Ingat nggak mas, dulu bu Walikota pernah bilang sama saya sewaktu-waktu mau buat acara nanti saya dilibatkan? Huh, nyatanya adem-ayem hehehe..... Ngomongnya di depan pak Lurah lho." Istri walikota kami adalah pengurus utama di YKI.

"Terus bu Linda tanya, dokter mau bikin acara penyuluhan modalnya dari siapa? Gitu dia tanya sama saya bu," ujar dokter saya lagi.

"E...., kita 'kan bisa nggak pakai modal ya mas?" Sahut saya segera.

Sambil terus menulis beliau menyahut, "saya bilang juga gitu. Komputer saya bawa sendiri, modal apa lagi?"

"Betul. Pertemuan sederhana aja. Boleh nanti anak saya bantu operasikan komputernya biar mas dokter santai bicara menyuluh melayani masyarakat," sambut saya. Saya yakin anak-anak saya pasti senang melakukan itu.

"Iya begitu," katanya.

"Lha masalah tempatnya di mana dok?" Tanya saya makin serius.

"Di sana, di lapangan dekat rumah bu Linda. Kita undang masyarakat menengah ke bawah," jawab dokter saya.

"Lha memang di kampung kita maksud saya juga gitu. Ngundang kader-kader Posyandu di sekitar Pabuaran belakang rumah mas dokter, warga gang Soleh itu lho, penduduk Lamping di seberang saya, orang Benda Kaum, itu sasaran saya semula," jelas saya menegaskan.

"Oh iya, mereka memang perlu disentuh," sahutnya terus juga menulis diselingi perintah kepada perawat untuk menyiapkan ini-itu. Beliau cekatan sekali.

"Yah, sayang kita nggak direspons segera. Apa boleh buat tante, ke luar desa aja nggak apa-apa,"  ujar beliau.

"Ya udah ayo, nanti saya kontak bu Linda. Ke luar desa pun oke, yang penting tetap disebut lah bahwa the best oncologist is from desa Kedung Waringin hehehe......." Saya menutup perundingan tak resmi ini diikuti tawa berderai kami semua.

"Ah yang penting acara kita jangan untuk kampanye," begitu terlontar tentang apa yang ingin dihindarinya sekarang ini. Beliau agaknya memang PNS murni yang tak mau terikat di mana-mana. Saya salut padanya.

Jadi siang ini, lagi-lagi sentuhan tangan yang hangat dan melegakan mampir di bahu sehat saya. Sebagai balasannya, saya ucapkan selamat menunaikan tugas semoga berhasil baik disertai pesan supya bisa meredam kekecewaannya tadi pagi agar tak membawa bara api bad mood. 

Selamat akhir pekan!

(Bersambung)

6 komentar:

  1. wiih dokternya baik sekali ya Bu, bisa ngobrol hangat begitu. ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehe..... iya. Sama semua orang ramah gini lho. Percaya nggak, sampe ada reaser saya yang jadi kepngin ganti dokter ke beliau gara-gara jurnal-jurnal saya.

      Hapus
  2. Dokternya ganteng gak sih, Bund?
    Tau nggak dia dipromosiin sama Bunda di sini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ganteng pisan, so cool... gitu lho. Saya bukan promosiin kok, soalnya beliau udah terkenal dengan sendirinya. Dan beliau tahu ditulis di buku harian saya ini :- D

      Hapus
  3. positip!!! mau pindah dokter ah nanti pas kontrol bulan depan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nanti boleh deh bilang sama beliau tertarik ganti dokter gara-gara ada nenek tuwek tetangga pak dokter kebanyakan dapat keberuntungan ditangani beliau :-)

      Hapus

Pita Pink