Powered By Blogger

Senin, 30 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (159)

Patah hati sedang melanda orang-orang miskin. Termasuk saya yang tidak miskin namun juga bukan orang mampu. Hal ini sehubungan dengan akan berakhirnya era Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) esok hari digantikan dengan sistem baru Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Bagi kami penerima Jamkesmas, masa depan kami masih serba suram. Sebab kedengarannya sistem yang baru masih terus disempurnakan sebab belum mantap. Meski pihak pejabat di Dinas Kesehatan Kota (DKK) menyampaikan informasi tentang kepesertaan kami yang otomatis dalam JKN sebagai warga masyarakat yang ditanggung pemerintah (Penerima Bantuan Iuran/PBI), tetapi sebanyak apa kami mendapat pertolongan belumlah jelas. Pihak DKK bilang perawatan inap akan dinaikkan ke ruang kelas II, akan tetapi kami tak tahu pasti apa saja lagi yang akan disanggupi ditanggung pemerintah. Sebab untuk diketahui, sekarang ini saja menjelang berakhirnya era Jamkesmas obat-obatan kami sangat dibatasi. Juga fasilitas pemeriksaan yang kami butuhkan banyak yang harus dibayar mandiri.


 

Judul dan ilustrasi komik karya anak negeri di atas ini rasanya pas untuk menggambarkan perasaan kami. Seorang pelayan kesehatan masyarakat yang dipercaya menangani kami justru menghardik supaya kami menjauh agar tak merepotkannya. Maklum menurut berita di media massa, jasa mereka tak dihargai sepantasnya oleh pemerintah. Akibatnya, mereka tak ikhlas melayani masyarakat terlebih-lebih kaum pengemis seperti kami. Meski kami pun kalau tak kesulitan sangat tak mau juga mengemis-ngemis bantuan pemerintah begini. Rasanya nista jika kami sanggup membayar sendiri tapi justru menadahkan tangan tanpa malu-malu.


Hati ini hancur berkeping-keping mendapati berita resmi yang dua hari terakhir ini ramai dipercakapkan orang soal pendanaan warga negara yang sakit. Selagi kami PBI masih resah membayangkan masa depan pengobatan kami, pemerintah dengan jumawa mengesahkan program pengobatan untuk pejabat negara di akhir masa jabatan kepala negara. Dinyatakan bahwa pejabat beserta keluarganya dijamin oleh asuransi, yang dapat digunakan untuk berobat di luar negeri. Meski asuransi itu sesungguhnya berasal dari gaji mereka sendiri yang dipotong untuk iuran Askes yang kini dileburkan ke dalam sistem jaminan kesehatan yang baru, akan tetapi tetap terkesan kurang adil. Apa pun alasannya ~kata pemerintah sih kesehatan para pejabat harus prima~, tetapi akan jadi sangat bertolak belakang dengan pemeliharaan kesehatan rakyat. Kami selalu ditekan untuk tidak menggunakan obat-obatan mahal meski yang paling cocok dengan kondisi kami cuma dari jenis itu dengan alasan keterbatasan dana negara, tetapi mereka yang berkelebihan dan pasti mampu dimanjakan dengan pengobatan di luar negeri yang ditanggung asuransi.

Pil pahit! Rasanya tak ada yang lebih mematahkan semangat hidup kami selain keputusan itu. Tak ada pula semangat untuk menggapai kesembuhan meski dulu istri walikota kami dan lurah desa menyatakan secara eksplisit bahwa mereka yang didaftarkan secara otomatis untuk menerima BPI JKN adalah kami pengguna Jamkesmas berpenyakit berat terutama gagal ginjal terminal, kanker dan leukemia. Janjinya waktu itu, ongkos haemodyalisa/cuci darah, kemoterapi dan radiasi serta transfusi darah para penyandang penyakit itu akan dicukupi sebagai bentuk tanggung jawab sosial pemerintah terhadap rakyat. Sebuah janji yang tak kami harap hanya sekedar angin surga belaka.

***

Hari ini anak saya berangkat mengajukan permohonan bantuan kemoterapi lagi ke DKK. Sebab akibat tertundanya kemoterapi siklus kedua saya yang lalu, tumor saya makin menyakiti. Artinya perbaikannya tak sepadan dengan rasa sakit yang ditimbulkan. Karena itu dokter saya berpesan untuk segera mengurusnya. Kemoterapi saya tak boleh mundur dari tanggal yang ditentukan, awal minggu kedua bulan depan.

Meski pagi-pagi hujan lebat sudah bertandang ke bumi, tanpa mengeluh anak saya berangkat segera. Payung yang setia menghuni tasnya ditebarkan. Saya sendiri cuma menunggu harap-harap cemas di atas pembaringan saya berselang-seling dengan mengisi buku harian saya ini.

Kira-kira dua jam kemudian dia mengabari bahwa urusannya belum selesai. Ibu pejabat yang mengepalai counter Jamkesda tak bisa segera memutuskan, sebab atasannya sang kepala seksi sedang cuti natal. Sudah saya duga sejak dulu, dia bersaudara dengan sahabat saya sewaktu remaja, penganut Katholik yang taat. Wajah mereka soalnya mirip sekali sih, bak pinang dibelah dua.

Saya meminta anak saya bersabar sekejap. Jika hingga tiba saatnya istirahat makan siang belum juga diputuskan, saya minta dia menarik kembali berkas kami. Urusan kami saya sarankan untuk mundur hingga pejabat itu masuk kantor kembali. Dia pun setuju. Malah katanya dia optimis kali ini tak dipersulit lagi. Sebab kepala counter menanyai obat-obat mana yang disetujui bulan lalu.

Ternyata setelah anak saya tiba du rumah, baru saya ketahui secara lengkap apa yang terjadi.

Hari ini pasien lumayan banyak, sedangkan pegawai yang melayani ada yang cuti. Kesibukan kerja dengan sendirinya meningkat. Ketika berkas permohonan kami diterima, ibu kepala counter berusaha membaca dengan cermat dengan membalik-balik berkas kami. Di situ ada disertakan surat keterangn permohonan obat yang dibekalkan dokter saya guna mengatasi kebingungan seandainya mereka tak mengerti mengapa kemoterapi saya yang sedang berjalan tak lagi menggunakan obat yang dulu pernah diberikan. Intinya, obat-obat sitostatika yang dulu tidak cocok untuk saya. Sedangkan obat yang cocok dan ampuh, harganya tak terjangkau. Sehingga untuk itu kami mengalah meniadakan obat yang terkuat dan termahal. Bahkan ketika masih juga mereka tolak, kami langsung berinisiatif menurunkan mutunya dengan harapan cukup menolong walau mungkin masa pemberian obat harus diperpanjang dibandingkan semestinya.

Benar saja, kepala counter menanyakan apa maksud surat dokter saya juga obat-obat apa yang didanai bulan lalu. Anak saya menjelaskan kepadanya. Sepertinya dia berusaha menyimak baik-baik, namun telinganya tidak selaras dengan otak serta tangannya yang sedang bekerja. Akibatnya cukup lama dia bergulat mengerjakan permohonan kami. Berulang kali beliau keluar-masuk ke area dalam kantornya untuk mendiskusikan ini. Ternyata menurutnya pimpinan sedang cuti natal dan tak menjawab telepon darinya. Bahkan ketika dikirimi SMS pun tak juga dijawab. 

Setelah menunggu cukup lama, beliau menanyai anak saya berkas-berkas permohonan kami bulan lalu. Untung anak saya selalu membawa serta sehingga dia bisa memperlihatkannya.

Diambilnya berkas di tangan anak saya, kemudian setelah meneliti dengan ekspresi wajah berkerut kening beliau bertanya pula, "mas, jadi dulu yang diacc obat yang mana ya? P atau A?"

"P, bu, seperti permintaan tulisan tangan dokter di resep," jawab anak saya.

Pejabat itu terdiam lagi sejenak dan terus jua bertanya, "lha sekarang penghitungan harganya beda ya? Kok bisa lebih murah yang bulan lalu?" Matanya diarahkan ke wajah tenang anak saya yang sudah mulai terbiasa dengan situasi semacam ini.

"Saya kurang tahu bu, itu urusan apoteker RS," kata anak saya jujur. Memang dalam hal pengadaan obat pihak apoteker RS tak pernah melibatkan pasien sama sekali. Kami hanya dibekali resep yang harga obatnya sudah mereka hitung dan tuliskan di resep.

"Ini maunya obat apa, P atau Px?" Cecarnya lagi.

"Ya P bu, seperti tulisan dokter di situ, Px 'kan hanya nama dagangnya," jelas anak saya berharap-harap cemas.

"Ya sudah mas, saya acc," kata beliau seraya segera menggoreskan penanya dijawab anak saya dengan pernyataan terima kasih banyak.

Ah, lega rasanya mendapat obat kemoterapi lagi yang menjadi gantungan hidup saya. Duh, ngerinya jika sama sekali saya tak didanai. Dari mana saya harus mencari dananya meski saya tahu dan sadari selama ini pintu rizki Allah selalu saja terbuka untuk dikucurkan kepada kami. Tetapi patut kah kami berharap selamanya? Allah mengayomi semua manusia. Tentu masih sangat banyak umat yang harus diberiNya.

Dalam pada itu di benak dan telinga Andrie anak saya tercetak jelas episode yang dialami pasien baru dokter saya yang minggu lalu mengajukan permohonan pendanaan kemoterapinya yang kedua dengan obat sangat standard yang menurut anak saya berharga di bawah sejuta untuk masing-masing komponennya.

Obat-obatan yang itu-itu juga ditolak. Tentu saja amat mengejutkan, mengingat pasien tak berganti obat seperti pada kasus saya. Dia kemudian mempertanyakan sebabnya. Waktu itu sang ibu Kepala Seksi belum bercuti. Beliau tak mau menghadapi pasien sendiri sehingga melalui kepala counter disampaikan jawaban bahwa saat itu uang anggaran Jamkesmas sudah disetorkan kembali ke kas negara sehubungan tutup tahun dan akan terjadi pergantian sistem.

Mengingat si pemohon benar-benar masyarakat yang membutuhkan karena tak punya penghasilan tetap lagi semenjak sakit, dia tak mau menerima alasan ini begitu saja. Didebatnya si pejabat dengan mengatakan dia merasa tak menyalahi prosedur dengan meminta pendanaan obat-obatan yang tercantum di dalam Daftar Perincian Harga Obat (DPHO) apotek RS. Obat termurah pula. ~Perhatikan, beda dengan kasus saya yang karena tak mempan dengan obat itu harus minta yang lebih mahal yang tak masuk DPHO.~ Tapi si pejabat tetap bersikukuh dengan mengatakan tidak mungkin lagi mengucurkan dana mengingat pasien ini termasuk pemohon baru. Adapun katanya, dulu dia diberi disebabkan belas kasihan mereka saja.

"BELAS KASIHAN" suatu kata-kata yang keras dan tajamnya terasa menyengat perasaan kami orang tak berpunya. Kami memang patut dikasihani. Tapi kami rasa adalah wajar jika kami menggunakan hak kami untuk mendapat bantuan kesehatan sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945. Kedatangan kami tidak seperti pengemis yang merengek-rengek minta belas kasihan pada orang lain yang tak ada kaitan atau kewajiban apa pun padanya. Kami cuma datang kepada negara.

Si pasien kemudian balik bertanya soal haknya sebagai rakyat tidak mampu, sehingga ibu pejabat kemudian membicarakannya lagi dengan pimpinannya. Alhamdulillah perdebatan itu selesai juga dengan diluluskannya permohonan obat. Satu alasan lagi yang dipakai sebagai senjata adalah "miss communication" entah antara siapa dengan siapa. Masya Allah!

Beginilah kisah kami hari ini tanpa berniat merusak citra dan nama baik pemerintah yang telah banyak berjasa menolong memperpanjang nyawa saya. Sebab mereka itu sebetulnya masih sangat pro rakyat lho. Tadi mereka menjelaskan bahwa, pemerintah kota kami belum tentu ikut program JKN. Mereka sendiri belum mendapatkan kepastiannya. Lagi pula program yang dicanangkan resmi bergulir besok lusa dipastikan tak bisa berjalan serempak di Indonesia. Jadi, untuk itu kami masih diharapkan menggunakan akses yang berjalan saat ini, melalui administrasi Jamkesda. Ah, senang juga mendengar informasi berguna ini. Semoga saja kali ini bukan juga hanya angin surga.

Anak saya kemudian langsung menyerahkan berkas kembali ke apotek RS, selagi saya berkirim informasi melalui SMS kepada dokter saya yang saya yakini sedang sibuk memeriksa para pasiennya yang semakin mengantri. Saya tak memerlukan jawaban beliau, cuma ingin mengajak bersyukur dan melegakan hatinya saja. Soalnya beliau sangat peduli pada pasiennya dan khawatir atas nasib saya. Tidak seperti para petinggi negara yang seakan-akan cuma mementingkan dirinya sendiri saja. Tapi untunglah kata anak saya siang tadi, peraturan presiden tentang jaminan pengobatan pejabat dan keluarganya ke luar negeri sudah dibatalkan kok. Lha mbok ya gitu, bertimbang rasa sedikit lah. Apa pantas kalau sampai disindir rakyat dengan ungkapan ORANG MISKIN DILARANG SAKIT?!

(Bersambung)

Sabtu, 28 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (158)

Pagi-pagi begini saya tiba-tiba sudah tertawa sendiri. Bukan hanya disebabkan cerahnya cuaca dan lancarnya jalanan di depan rumah sih, melainkan terlintas ulah zuster Eeng perawat jenaka yang "memacar-macarkan" saya dengan pak dokter yang terhormat. Halah! Saya sampai geleng-geleng kepala sendiri.

Gara-garanya itu lho, di suatu pagi dulu pernah saya akan kembali ke rumah dari RS disebabkan dokter menutup polikliniknya. Ada tugas lain yang tak dapat diabaikannya. Jadi biasa lah, pasien di kampung kena imbasnya, harus sabar dan rela dinomor duakan. Ya tidak akan ada yang marah sih, meski yang menggerutu di dalam hati pastinya banyak. Sebab bayangkan saja pasien datang dari berbagai pelosok wilayah kota dan kabupaten nan sangat luas ini. Seandainya anda sendiri pasien yang datang dari Jasinga di perbatasan dengan wilayah selatan propinsi Banten, atau dari Cileungsi dan Jonggol yang jauh di timur arah ke utara, apa tidak merasa capek-capek membuang tenaga?! Soalnya stamina penderita kanker sungguh rendah lho........


Pada hari itu saya memang tidak membuat janji lebih dulu dengan dokter. Tapi saya nekad datang dengan asumsi beliau pasti menengok para pasien yang habis dikemoterapi. Kata petugas pendaftaran setibanya saya di RS, dokter kemungkinan batal praktek karena ada pekerjaan mendadak. Meski begitu mereka yang ingin menunggu kepastian dipersilahkan juga.

Setelah menunggu dan dapat kepastian, barulah saya beranjak pulang sebab sudah sesuai dengan SMS dokter ketika anak saya menanyakan langsung kepada beliau. Nah, di gerbang luar RS zuster Eeng baru turun dari angkutan kota sebab hari masih cukup pagi. 

Begitu melihat saya senyumnya yang ramah langsung melebar. "Mau ke mana bu Julie?" Sapanya seraya mengajak bersalaman.

"Pulang bu. Habis dokter saya nggak praktek," sahut saya. Tangan bu Eeng masih di dalam genggaman saya.

"Praktek bu, cuma nanti siang," bantahnya begitu yakin.

"Ah, siapa bilang? Hari ini ditutup," tegas saya.

"Eh... eh.... enggak, digeser ke siang hari," dia terus saja merasa yakin.

"Ah, sabodo teuing. Saya pulang dulu, tapi tolong ya kalau praktek beneran, kabari dong ya?" Rajuk saya sambil melenggang naik ke atas angkot yang jadi terpaksa berhenti sebab menunggu saya naik dulu. Sementara itu bu Rustini pasien yang datang dari perbatasan Bogor dengan Kabupaten Tangerang kecewa berat mendengar laporan saya.

Siangnya zuster Eeng benar-benar mengabari saya sambil tertawa-tawa. "Ibu pinter deh, dokter nggak praktek. Hayo, kok bisa tau sih?" Yang cuma saya jawab dengan tertawa lebar pula sambil memincingkan sebelah mata yang pasti tak kelihatan karena kami bertelepon..

Benar sih, banyak pasien yang mengatakan bahwa SMS mereka kepada dokter kami, sering tak berbalas. Sedangkan kepada saya meski tertunda tapi dibalas juga. Lalu mereka menyimpulkan sendiri bahwa saya "pasien istimewa" di RS ini. :-) Padahal bukan karena itu. Lebih tepat karena saya pahami betul jadwal kerja dokter saya sehari-hari, sehingga SMS saya yang berupa pertanyaan biasa saya kirim di waktu beliau bersiap-siap ke kantor atau justru malam sebelum beristirahat. Di waktu-waktu lain isi SMS adalah laporan keadaan saya atau konsultasi yang diperintahkannya ke pihak lain. Nah kalau cuma laporan 'kan bisa dibalas kapan saja.

***

Tapi tiba-tiba senyum saya berubah jadi ekspresi duka. Tepatnya kekecewaan berat begitu anak saya pulang mendaftarkan saya ke RS. Pasalnya dia bilang, saya tak jadi ke RS sebab tiba-tiba ada telepon dari pihak pendaftaran membatalkan jadwal poliklinik 16 hari ini. Padahal pukul 08.00 pagi ini hanya dua jam sebelum diumumkan sepihak oleh RS dokter masih mengatakan akan praktek pukul 11.00 sebelum ke Ruang Operasi.

Rencananya pasien di poliklinik memang dibatasi hanya 15 orang saja. Ini tidak luar biasa sebab jika ada pasien yang perlu dioperasi, maka yang lain harus berbagi waktu. Kami pun sudah biasa melakukan itu, bertenggang rasa sehingga suasana jadi nyaman. 

Berhubung begitu maka dokter meminta saya menghubungi perawat pasien di Ruang Kemoterapi untuk menyiapkan berkas-berkas resep obat, protokol dan surat-surat rujukan lain guna kemoterapi saya. Perawat itu diminta mengantarkan ke Ruang Bedah sebelum dokter mulai bekerja, supaya kemoterapi saya tidak tertunda lagi. Beliau sendiri juga langsung mengontak perawat dimaksud. Karenanya saya pun membuat janji pertemuan dengan perawat sesudahnya nanti. Semua ini sudah teratur rapi. 

Tapi tiba-tiba anak saya bilang dokter kecewa kepada pihak RS yang ternyata membatalkan praktek rawat jalan beliau kepada pasien dengan alasan dokter berhalangan. Soalnya kepada beliau pihak RS menyebut tak ada perawat yang bisa bertugas hari ini sehubungan dengan banyaknya yang sedang cuti. Maksud dokter saya, kalau beliau bersedia mengemban tanggung jawabnya terhadap pekerjaan, jangan lah ketiadaan perawat dijadikan alasan pembatalan dengan membelokkan seakan-akan dokter yang berhalangan. 

Sungguh mengena! SMS beliau ke pihak kami antara lain berbunyi, "saya nggak ngerti sama pihak RS." Saya pun sama, sungguh tidak mengerti ketika dokter yang bagus mau berpraktek melayani masyarakat demi meningkatkan kualitas dan kinerja RS tanpa mempertimbangkan profit tiba-tiba diperlakukan demikian. Sungguh seperti tak menghargai saja jadinya. Bak air susu dibalas dengan air tuba.





Coba tolong anda jawab, apa yang terasa di hati anda ketika anda sudah rela meluangkan waktu untuk berbuat baik tapi tiba-tiba dihalang-halangi dengan alasan anda tak bersedia? Serasa dicurangi bukan? Itu juga pasti yang terasa di hati beliau.

Sedang saya dan anak saya mendiskusikan peristiwa ini tiba-tiba masuk SMS dari perawat kemoterapi dan dokter saya sendiri. Kedua-duanya meralat pengumuman bagian pendaftaran dan mempersilahkan saya langsung berkonsultasi di poli. SMS perawat itu saya jawab dengan tidak, sebab saya tak diberi tahu ulang oleh bagian pendaftaran. Namun jawaban perawat, dia lah yang ditugasi menghubungi saya oleh pihak RS. Sehingga akhirnya saya bergegas berangkat sebab praktek akan segera dimulai. Tak terbayangkan di benak saya, bagaimana kalang kabutnya pasien-pasien yang rumahnya puluhan kilometer dari RS. Mereka pasti sudah dalam perjalanan pulang tapi belum sampai di rumah. Aduh, melelahkan sekali selain merepotkan.

"Padahal sudah saya sempatkan waktu untuk pelayanan pasien hari ini," demikian sepenggal SMS kekecewaan dokter saya yang tiba-tiba teringat lagi di benak saya ketika angkutan kota melintas di muka rumah beliau menuju ke RS. Seperti biasa rumah itu selalu sepi, tertutup rapat. Tapi di dalamnya sebuah keluarga besar yang hangat asyik bercengkerama menjalin kasih sayang kehangatan keluarga di akhir pekan. Meski waktu luang dokter saya amatlah sedikit. 

Tiba di RS pasien poliklinik onkologi memang nampak cuma sedikit. Dokter belum datang mungkin sedang meredakan gejolak hatinya dulu. Saya segera duduk menunggu di selasar tapi tak mengobrol dengan siapa pun hingga sempat menyimak perawat poliklinik di sebelahnya saling mempercakapkan dokter saya. Mereka bilang dokter saya sebetulnya dokter terbaik, berperilaku santun dan penuh tanggung jawab. Jika kejadin marah-marah seperti hari ini, di luar kebiasaannya. Perawat senior yang saya tahu tinggal sedesa dengan kami dan sudah mengenal dokter saya sejak kanak-kanak bilang, aslinya dokter saya pribadi penyabar. Saya tertawa dalam hati, sebab kemenakan-kemenakan saya juga pernah bilang begitu. Mereka nyaris sebaya sih.

Saya mendapat giliran nomor tiga, karena agaknya pasien giliran pertama tak datang, jadi giliran saya maju. Bu Maimunah yang sudah sepuh itu mungkin tadi sudah di jalan pulang jadi enggan balik lagi. Sementara saya memilih menunggu di rumah hingga ada pengumuman kepastian jam praktek dokter. 

Seorang pasien yang datang belakangan mengaku tinggal di Ciseeng, pelosok  kabupaten yang berdekatan dengan Serpong di Tangerang. Tanpa bermaksud mengeluh dia bilang, kalau bukan karena tumornya yang belum dioperasi amat nyeri, ketika menerima pemberitahuan susulan bahwa dokter jadi praktek, rasanya dia sudah malas kembali sebab rumahnya sudah dekat. Dan untuk mencapai RS lagi dia harus mengeluarkan ongkos ekstra. Terbayang bukan dampak pengumuman itu? Dokter pasti akan sedih mendengarnya bila tahu sendiri. Sebab hidup dokter kami tak pernah luput dari memikirkan nasib rakyat kecil. Kepada ibu ini saya beberkan rahasia mengapa pengumuman dibatalkan. Yakni disebabkan saya memprotes alasan RS yang dibuat-buat kepada perawat kemoterapi. Saya katakan mereka membuat keputusan sepihak tanpa berunding dengan dokter. Belum lagi saya sampaikan pengumuman pembatalan itu kepada dokter, sehingga beliau menegur pihak RS yang mengatas namakan dirinya sebagai penyebab pembatalan poliklinik. Padahal itu tak sesuai fakta. Dokter bilang, pihak RS akhirnya berterus terang mengakui bahwa hambatan di poliklinik ada pada kekurangan tenaga perawat sehubungan cuti akhir tahun.

Trouble-maker kah saya sebagai penyebab itu semua? Menurut saya sih bukan. 'Kan saya hanya menuntut hak saya sebagai pasien tak sering dirugikan dan pihak RS mengutamakan kejujuran dalam pelayanannya. Jujur saja, saya paling benci ketidak jujuran begini.

Akhirnya dokter menyiapkan resep obat kemoterapi saya juga semua persyaratan administrasinya. Beliau bekerja sangat cepat namun efisien. Sambil bekerja menulis, beliau menyempatkan diri menanyakan rencana penyuluhan di desa kami. Begitu saya jawab mereka minta ditunda sebab waktu saya bicara dengan pihak Puskesmas, program mereka untuk tahun itu sudah selesai terjadwal. "Wah, biasa deh kalau urusan dengan pemerintah birokrasinya panjang. Padahal pemerintah nggak pernah punya ide menyuluh tentang kanker. Batal aja deh tante. Kita bikin bekerja sama dengan bu Linda, mau nggak?" Ujar dokter saya sepertinya kecewa juga. Memang benar pemerintah menggemaskan saya. Mereka tak pernah kepikiran menyuluh kanker, padahal sudah timbul korban sangat banyak yang menguras anggaran kesehatan pemerintah. Itu lah sebabnya saya mengusulkan penyuluhan ini di desa saya. Kami punya pakarnya yang sayang jika tak dimanfaatkan.

"Bisa aja boleh. Tapi di mana?" Sahut saya

"Ya di bu Linda. Habis YKI juga nggak ada kabarnya sih, bergerak pun tidak," sahut dokter saya.

"Wo.... iya. Ingat nggak mas, dulu bu Walikota pernah bilang sama saya sewaktu-waktu mau buat acara nanti saya dilibatkan? Huh, nyatanya adem-ayem hehehe..... Ngomongnya di depan pak Lurah lho." Istri walikota kami adalah pengurus utama di YKI.

"Terus bu Linda tanya, dokter mau bikin acara penyuluhan modalnya dari siapa? Gitu dia tanya sama saya bu," ujar dokter saya lagi.

"E...., kita 'kan bisa nggak pakai modal ya mas?" Sahut saya segera.

Sambil terus menulis beliau menyahut, "saya bilang juga gitu. Komputer saya bawa sendiri, modal apa lagi?"

"Betul. Pertemuan sederhana aja. Boleh nanti anak saya bantu operasikan komputernya biar mas dokter santai bicara menyuluh melayani masyarakat," sambut saya. Saya yakin anak-anak saya pasti senang melakukan itu.

"Iya begitu," katanya.

"Lha masalah tempatnya di mana dok?" Tanya saya makin serius.

"Di sana, di lapangan dekat rumah bu Linda. Kita undang masyarakat menengah ke bawah," jawab dokter saya.

"Lha memang di kampung kita maksud saya juga gitu. Ngundang kader-kader Posyandu di sekitar Pabuaran belakang rumah mas dokter, warga gang Soleh itu lho, penduduk Lamping di seberang saya, orang Benda Kaum, itu sasaran saya semula," jelas saya menegaskan.

"Oh iya, mereka memang perlu disentuh," sahutnya terus juga menulis diselingi perintah kepada perawat untuk menyiapkan ini-itu. Beliau cekatan sekali.

"Yah, sayang kita nggak direspons segera. Apa boleh buat tante, ke luar desa aja nggak apa-apa,"  ujar beliau.

"Ya udah ayo, nanti saya kontak bu Linda. Ke luar desa pun oke, yang penting tetap disebut lah bahwa the best oncologist is from desa Kedung Waringin hehehe......." Saya menutup perundingan tak resmi ini diikuti tawa berderai kami semua.

"Ah yang penting acara kita jangan untuk kampanye," begitu terlontar tentang apa yang ingin dihindarinya sekarang ini. Beliau agaknya memang PNS murni yang tak mau terikat di mana-mana. Saya salut padanya.

Jadi siang ini, lagi-lagi sentuhan tangan yang hangat dan melegakan mampir di bahu sehat saya. Sebagai balasannya, saya ucapkan selamat menunaikan tugas semoga berhasil baik disertai pesan supya bisa meredam kekecewaannya tadi pagi agar tak membawa bara api bad mood. 

Selamat akhir pekan!

(Bersambung)

Jumat, 27 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (157)

agal bertemu dengan dokter ahli kemoterapi di hari Senin, keesokan harinya saya kembali ke RS Kanker Dharmais (RSKD). Untung pak Jamil bersedia mengantar lagi meski dia sendiri sebetulnya hanya meminjam kendaraan milik orang lain. Kali ini saya berdua saja dengan Andrie supaya adiknya bisa merapikan rumah yang lama tak tertangani terkendala kesibukan merawat saya.

Di RS kami disuguhi suatu pemandangan baru yang sebetulnya sudah lama saya ingini ada di situ. Klinik eksekutif/swasta yang dulunya bergabung di lantai bawah tanah dengan klinik radiologi pada kondisi yang serba sederhana, bertransformasi ke lantai II. Bukan sekedar pindah tempat, melainkan bergaya seperti klinik eksekutif di RS Jantung tepat di sebelahnya. Poliklinik ditata membentuk huruf U serupa barisan angkare upacara bendera Pramuka dengan interior yang bagus. Lantainya seingat saya tak sedingin di tempat yang lama. Bersih mengilap tapi tak licin. Bayangkan saja, di tempatnya semula mesin-mesin radiologi 'kan memang memerlukan suhu udara yang amat rendah untuk pemeliharaannya. Jadi imbasnya tentu saja menyebar ke poliklinik eksekutif. Dingiiiiin luar biasa serasa di dalam freezer. Nah di tempat baru ini nih, kesan seperti di dalam freezer itu tak nampak lagi.


Bisa berada di dalamnya menikmati kemewahan itu tentu saja benar-benar bagaikan mimpi bagi seorang penerima dana Jamkesda. Kalau tidak menerima barokah dana "Jamkes Kasiho" kiriman hamba Allah yang budiman, tak mungkin saya ke sana. Tak bakalan terjadi pemeriksaan laboratorium dan pengambilan obat diselenggarakan di tempat yang sama tanpa harus mengantri berjejalan. Jadi ini adalah sesuatu yang lagi-lagi saya syukuri. Rasa-rasanya mendongkrak semangat hidup saya. Soalnya saya mau sembuh dan ingin mencicipi enaknya hidup sehat.

Berobat di klinik yang kini bernama "Cendana" ini memerlukan lapor diri pada Satpam wanita yang berjaga di pintu masuk. Lalu kita ditanyai akan ke dokter siapa, diberi tanda masuk untuk registrasi pasien di kubikel para perawat yang cuma berbentuk sebuah meja semacam meja bar. Kesannya benar-benar modern karena ditandai tulisan "Nurse Station" seperti di luar negeri saja sebab tidak dwi bahasa. Suasana asri pun langsung tertangkap mata menyaksikan lukisan-lukisan bagus menghiasi dinding di sekitarnya. 

"Selamat pagi ibu, mau ke dokter Bayu, ya?" Sapa perawat yang tubuhnya berisi menyenangkan hati saya. Ramah sekali, seperti koleganya yang lain yang juga sedang melayani pasien. Dia saya jumpai sering mengasisteni dokter saya. Pantas saja dia hafal kepada saya.

"Selamat pagi bu. Saya mau ketemu dokter Noor. Dokter Bayu sih sudah terjadwal Sabtu di kampung, tapi kemarin juga sudah ketemu di UDT," jawab saya menegaskan.

"Oh, ibu sudah jadi dikemo lagi ya?" Selidiknya sambil mengawasi gaya berjalan saya yang terseok-seok.

"Hehehe..... iya. Gaya jalan saya jadi aneh ya? Dokter Bayu saja ketawa kok bu, 'kan ini persis pinguin di Samudra Atlantik," jawab saya sambil tertawa sendiri.

"Ah, nggak 'pa'pa bu, nanti 'kan normal lagi. Yang penting sembuh. Saya senang ibu nggak di kursi roda lagi seperti bulan lalu," lontarnya seraya melanjutkan pekerjaannya. Oh, ternyata dia bersyukur melihat ada sedikit kemajuan di diri saya.

Setelah mendaftar saya minta izin ke laboratorium dulu. Tak dinyana perawat bilang saya tak perlu ke lantai dasar, karena di poliklinik Cendana tersedia laboratorium tersendiri. Laboratorium itu kecil saja, namun nyaman sekali. Para pasien tak banyak yang mengantri. Lembar permintaan pemeriksaan yang saya bawa dari kampung bisa digunakan di situ, meski petugas administrasinya agak kerepotan menerjemahkan beberapa istilah yang berbeda dari lembaran mereka. Untung teknisi laboratoriumnya tahu persis, karena ternyata terbiasa membaca lembaran yang saya bawa itu. Menurutnya, dulu dia sering menerima pesanan dari laboratorium RS tempat saya berobat karena bekerja selama 6 tahun di laboratorium swasta ternama di kota saya. Bahkan katanya dia juga tahu rumah dokter saya. 

"Maaf bu, hati-hati ya, vena saya tipis dan sulit," kata saya mengingatkannya.

"Pasti bu, tarik nafas dalam-dalam saja bu, insya Allah langsung dapat," jawabnya melegakan seraya memasang karet tourniquette dengan cekatan. Ternyata dia benar, tusukannya nyaris tak terasa sama sekali. Dan darah pun masuk ke tabung tak tersendat-sendat. Setelah mengucap terima kasih saya berlalu mencari klinik dokter Noor.

Ternyata beliau berada di area depan dekat pintu masuk, berpunggung-punggungan dengan ruangan dokter saya. Mungkin manajer RS sengaja mengatur demikian. Dokter senior di depan dan yang junior di posisi belakang. "Ehm, poliklinik nomor 6. Berarti mas Bayu nomor keberuntungannya 6," cetus saya ketika melintas di depan ruangan onkologis saya.

"Memang ada apa gitu?" Tanya anak saya menyahuti tanda tak mengerti.

"Ya, di RSKB juga poliklinik 16 mas. Berarti angka 6 cocok dengan mas dokter," ujar saya menjelaskan.

"Oh iya, ibu jeli amat," balasnya sambil terus mencari klinik dokter yang akan saya tuju. Saya cuma tertawa di dalam hati. Batin saya, 'kan sebetulnya saya cuma iseng.

Hasil laboratorium boleh diambil sejam kemudian. Jadi kami duduk-duduk menunggu di muka klinik membaur dengan para pasien lain beserta keluarganya. Sudah barang tentu tak ada yang penampilannya mengerikan di sini, karena penghasilan mereka yang baik pasti tak menunda keinginan mereka berobat seperti diri saya. Saya rasa sejak awal menemukan kelainan mereka sudah langsung ke RS.

Sebagian besar nampaknya memang eksekutif perusahaan besar. Sebab tangan mereka tak henti-hentinya menggenggam gadget, telepon pintar dan sejenisnya dengan isi percakapan seputar dunia usaha. Kedengaran penugasan mereka kepada lawan bicaranya. Juga permintaan maaf untuk menunda pertemuan karena sedang berobat. Pokoknya ya semacam itu lah. Seorang gadis bahkan membujuk orang yang dipanggilnya tante supaya menghubungi seseorang terlebih dulu sambil menunggu dia tiba di kantornya. Sungguh suatu suasana yang kontras dengan suasana di poliklinik bagian lain gedung ini, yang para pasiennya asyik berkenalan lalu bertukar pengalaman soal sakit mereka.

Kalau boleh dibilang sih, pasien di sini betul-betul acuh tak acuh. Semua cuma sibuk dengan dunianya sendiri. Termasuk anak gadis ABG yang saking asyiknya bertelepon sampai-sampai ditinggalkan ibunya entah ke mana selagi menunggu poliklinik dibuka. "Enggak Pa. Cuma beli sepatu aja kok. Enggak, kata Mama disuruh milih. Kalau udah beli sepatu enggak beli lainnya lagi," anak itu bicara cukup keras. Pasti di seberang sana ayahnya memperingatkannya untuk tidak mengajak ibunya berbelanja ini-itu ke pusat perbelanjaan. Wah agaknya masih ada orang tua sibuk yang jempolan, mau mengecek sendiri anaknya.

Menurut saya menunggu lama itu menjengkelkan. Tapi saya tak boleh menggerutu karena saya tahu dokter pasti sedang memeriksa para pasiennya yang sedang dikemoterapi. Sebagaimana biasanya dokter keibuan berbibir tipis itu memang kelihatan sangat bertanggung jawab terhadap tugasnya. Dulu adakalanya di tengah-tengah praktek, beliau menyelinginya dengan kunjungan ke ruang pasien kemoterapi. 

Hati saya mulai lega waktu melihat perawat favorit saya masuk ke poliklinik dengan setumpuk Rekam Medis pasien di tangannya. Setelah itu pasien diabsen lalu ditimbang serta diukur tekanan darahnya. Saya tidak turun berat badan lagi. Mungkin karena saya terus saja makan walau cuma makanan yang saya sukai. Itu pun berdikit-dikit. Tekanan darah saya juga kembali ke titik normal yang melegakan.

Untung saya mendapat giliran nomor 4 di saat tubuh saya rasanya lelah dan lemas. Tak bisa dihindari, sudah dua hari saya berangkat ke RS di Jakarta ini. Tapi ketika saya lirik jam di ponsel saya memang sudah mendekati pukul 12.00 siang sih

"Assalamu'alaikum," sapa saya begitu masuk ke klinik.

Tak dinyana dokter terkaget-kaget tak menyangka akan kedatangan saya. "Eh, wa alaikumsalam mbak. Lho?!"

"Inggih mbakyu dokter, mau lapor diri," sahut saya seraya tersenyum dan mendudukkan diri di kursi kiri. Saya biarkan anak saya menempati posisi kanan yang tak di dekat meja pemeriksaan pasien.

"Sampun kemo mbak?" Selidik beliau langsung mengerti maksud kunjungan saya.

"Sampun. Malah mohon maaf, tertunda nyaris satu siklus. Tujuh belas hari tepatnya sih," ujar saya.

"Lho, lha kok?!" Beliau terperangah membelalakkan matanya yang kecil dan menatap saya tajam.

"Alah biasa dok. Jamkesda sekarang dalam masa krisis 'kan sulit urusannya," kata saya. "Tapi saya dan anak-anak terus berusaha negosiasi. Sampai obatnya kami minta turun kualitas, second line pun, hampir tidak dikabulkan," terang saya lagi.

"Lha sekarang jadi pakai obat apa?" Tanya bu dokter menyiratkan kekhawatiran.

"Paclitaxel dan Carboplatin, maaf dari pada tidak diberi," jawab saya.

"Oh, ya serupa sih dengan Docetaxel," katanya.

"Lha di situ permasalahannya dok. Dulu kan saya diberi Brexel. Tapi tiba-tiba tidak boleh minta lagi, sampai anak saya bilang aneh, di mana-mana orang kemo 'kan ya nggak cuma sekali," ujar saya mulai berpanjang lebar. "Terus mereka jawab kami harus mengerti bahwa pengguna Jamkesda itu banyak, jadi nggak mungkin membelikan obat mahal begini. Sehingga akhirnya saya dan dokter Bayu berunding untuk turun kualitas sesuai juga dengan pendapat apoteker RS. Lha kami mintakan Paclitaxel tapi dengan catatan tambahan Anzatax. Eh, juga ditolak sampai kami bilang Anzatax itu 'kan hanya brand name. Yang akan dibeli generiknya, baru mereka acc."

"Oh jadi dapatnya Paclitaxel?" tegas bu dokter asli kota apel itu. Senyumnya sih manis, lebih manis ketimbang apel Malang itu sendiri.

"Ah, malah Anzatax juga dok, karena RS swasta 'kan nggak punya generik kata perawat dan apoteker yang mengoplos," jawab saya jujur. "Tapi ngurusnya lama sampai dimas Bayu galau dan ngontak bu Linda CISC tengah malam minta mendampingi saya negosiasi dengan DKK."

Dokter Noor mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mari saya periksa dulu mbak," ajak beliau seraya menunjuk meja pemeriksaan.

Saya mengikutinya. Pakaian saya dilucuti untuk meraba tumor di supra clavicula saya. "Oh, melembek ya mbak," ujar beliau menarik  sekali. Tak hanya itu dada saya pun diperiksanya dan dikatakan baik-baik saja.

"Tapi tumor-tumor ini sering menyakiti lho mbakyu. Bahkan yang di cranium mulai bikin sakit kepala," ucap saya.

"Oh sakit ya?"

"Ya, saya makan Analtram untuk meredakannya karena Ketesse diganti supaya tidak membahayakan lambung oleh dokter bedah umum. Mas Bayu sudah setuju kok dok," terang saya seraya merapikan baju kembali. Sementara itu bu dokter mulai membuka-buka Rekam Medis saya di meja kerjanya.

"Jadi akhirnya dikemo dengan Anzatax ya mbak," ujar beliau seraya menulis.

Ya, dosisnya 550. Ini juga menyulitkan dok. Dosis itu susah dicari sampai saya berunding dulu dengan dpkter Bayu supaya dosis dibagi tiga, 450 ditambah 2 kali 50. Untung nggak jadi sudah langsung dapat walau kemo menjadi makin terlambat," urai saya. 

Sementara itu saya lihat dr. Noor mengernyitkan keningnya seperti berpikir keras. "Kok Anzatax 550 tha mbak?" Ah agaknya itu yang membuatnya berkerut dahi.

"Inggih, Carbonya 120," jawab saya nyaris berbarengan dengan anak saya yang mencoba menegaskan.

"Lho, lha nggak gitu. Bukannya Paclitaxelnya yang 120, atau 220 gitu?" Beliau mencoba mendebat.

"Eh mboten dok, yakin. 550," tegas saya.

Dokter Noor terdiam sejenak untuk berkonsentrasi dengan catatan onkologis saya di Rekam Medis. Setelah membolak-balik sana-sini beliau bertemu dengan fakta kebenarannya.

"Oh ya. 500, ini catatan dokter Bayu," beliau berujar lega.

"Bahkan kemudian di kampung disesuaikan lagi jadi dosis tertinggi 550," saya memberitahukan apa adanya. Beliau pun kembali mengangguk-angguk. Saya memang meyakini bahwa sesungguhnya komandan penatalaksanaan pengobatan saya itu ya dokter onkologi, bukan pihak-pihak lain.

Setelah itu dr. Noor mulai menulis formulasi resep saya sebagai panduan onkologis saya nantinya. Tiba-tiba anak saya teringat bahwa saya perlu dituliskan resep pembelian Leucogen.

"Ah nggak usah mbak, hasil lab lumayan bagus kok," ucap beliau.

"Ya itulah hasil dari suntik Leucogen persis selesai kemo. Dulu saya biasa menunggu hasil lab pasca kemo, dan ternyata leukosit saya rendah sekali. Makanya sekarang diakali mas Bayu. Saya langsung disuntik beliau sendiri sebelum diizinkan pulang. Smart betul kok mbakyu,"  ujar saya sambil menyunggingkan senyum. Sehingga akhirnya beliau langsung menuliskan resep pembelian 2 ampul Leucogen. Sampai di sini waktu konsultasi berakhir.

Anak saya kemudian menghilang mengurus pembayaran. Ternyata sekarang urusan itu makan waktu sangat lama sampai saya nyaris kehilangan kesabaran. Untung dia membawa kantung apotik di tangannya sebagai peredam. Ternyata prosedur yang baru, setiap pasien klinik eksekutif langsung dibawa ke apotek di situ juga supaya tak lagi harus mengantri lama di apotek RS yang biasanya saya datangi. Sungguh ada harga ada rasanya hahahaha.....

Berhubung masih tengah hari jadi kami sekalian membeli Leucogen yang amat mahal itu di Yayasan Kanker Indonesia Pusat di daerah Menteng. Tapi jalanan lancar sehingga kami cepat sampai. Sehingga sesampainya di sana mereka sedang beristirahat makan siang. Kami pun lalu pergi mencari makan siang. Sayangnya saya cuma sanggup mengunyah sepotong tempe mendoan, kue pepe yang tebalnya serupa separuh bibir saya dan pastel kentang ditutup juice sirsak. Rasanya perut saya langsung penuh.

Dengan perasaan lega siang itu kami kembali ke rumah melintasi jalanan sepanjang 60 km dengan dua ampul obat suntik Leucogen yang harganya benar-benar separuh harga apotek RS. YKI tak salah kalau dinamakan teman berbagi rasa para penderita kanker.

(Bersambung)

Kamis, 26 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (156)




Bunga cantik itu memang kecintaan saya. Kemarin saya sengaja menghadiakannya untuk diri sendiri, ketika saya kembali menapaki anak tangga gedung RS Kanker Dharmais menandai setahun pengobatan saya ke dokter. Dua puluh tiga Desember tahun lalu meski saya tidak tertatih-tatih, tapi keadaan saya cukup mengkhawatirkan sehingga teman-teman saya di Dharma Wanita Persatuan berinisiatif untuk mengobatkan saya dengan dana yang mereka kumpulkan sehubungan dengan bakti sosial yang biasa kami selenggarakan dalam peringatan HUT organisasi kami.

Lobby RS pagi itu tidak terlalu penuh, mungkin disebabkan menjelang liburan. Meski begitu tetap saja padat pengunjung, persis seperti setahun lalu waktu saya "berkenalan" dengan suasana RS. Sebab sesungguhnya meski penyakit yang mengancam jiwa saya sudah saya idap kurang lebih setahun, tetapi saya memang belum pernah pergi ke RS untuk memeriksakannya secara sungguh-sungguh. Keterbatasan ekonomi mengarahkan langkah saya ke pengobatan alternatif herbal Cina yang meski menolong tetapi tak membuat sel kanker saya melemah.

Waktu itu tanpa memperhitungkan jadwal cuti teman kami seorang pemeluk Katholik yang kebetulan menjabat sebagai salah satu direktur unit kerja di RSKD, kawan-kawan mengantarkan saya ke kantor beliau. Tumor saya sudah pecah menimbulkan bau dan rawan infeksi sehingga mengganggu kualitas hidup saya. Tentu saja unit kerja beliau masih beroperasi, tetapi beliau cuti natal pulang ke kampung halamannya. Jadi mau tidak mau saya tidak bisa diarahkan beliau bertemu langsung dengan dokter ahli bedah tumor. Tetapi melalui hubungan jarak jauh dengan stafnya, saya diantarkan ke poliklinik perawatan luka dan stoma. Di situlah kali pertama saya merasakan sentuhan tangan pegawai RS untuk kasus penyakit pada payudara dan kelenjar getah bening saya. 

Setelah luka saya dirawat dan membuat janji lagi dengan teman kami itu, tanggal 1 Januari saya diminta datang ke RS guna luka saya diobservasi. Meski RS tutup, tetapi untuk keadaan tertentu ada pegawainya yang melayani pasien, termasuk zuster Rita dari unit perawatan luka. Alangkah senangnya saya diperlakukan istimewa begini. Semangat saya untuk mempertahankan hidup lalu sembuh pun bertumbuh.

3 Januari 2013 saya bertemu di Poliklinik Unit Paliatif dengan perempuan ramah, teman seorganisasi wanita saya sendiri, dr. Maria Astheria Listyani Witjaksono M.PALL membawa perasaan gundah. Saya berpikir bahwa saya dipertemukan dengan dokter paliatif yang bertugas mendampingi pasien-pasien dalam kondisi berat karena penyakit saya tak mungkin bisa ditaklukkan lagi. Ternyata hasil konsultasi dengan perempuan Jawa yang manis ini mencerahkan batin saya. Menurut mbak Ria ~begitu saya memanggilnya~, unit paliatif dimaksudkan juga untuk mendampingi pasien yang baru berobat dalam keadaan sudah lanjut dan karenanya belum terdeteksi dengan baik. Mbak Ria memberi banyak masukan termasuk menunjukkan mana-mana pasien beliau yang telah berhasil lulus dari ujian penyakit mematikan ini.

Dari tangan dr. Maria saya langsung diantarkannya kepada seorang dokter ahli bedah kanker yang cukup berpengalaman, yaitu dr. Walta Gautama, Sp. B (K) Onk. untuk berkonsultasi. Lelaki yang belum genap berusia 50 tahun ini cukup piawai mendeteksi penyakit saya. Pengambilan data penyakit pasien mencakup juga riwayat kesehatan dirinya sendiri dan keluarganya. Setelah itu pasien diminta melakukan pemeriksaan penunjang yaitu USG, mammografi, roentgent dada dan pemindaian tulang (bone scanning).

Hasilnya disimpulkan segera, namun cermat, bahwa saya menderita kanker payudara stadium III-B dengan penyebaran di kelenjar getah bening ketiak. Berhubung saya bermukim di Bogor, maka saya ditanyai terlebih dulu apakah bersedia menjalani pengobatan pada koleganya yang jauh lebih junior di Bogor. Ada pun pasien kanker terutama yang dalam stadium lanjut, menurutnya punya segala keterbatasan. Pengobatan harus dilaksanakan secara intensif, berkesinambungan dan cermat sehingga banyak menyita waktu dan lama. Karena itu stamina pasien akan mudah turun mengakibatkan kelelahan yang harus diperbaiki dengan mengatur irama hidup agar bisa banyak beristirahat. Ini sungguh penjelasan yang masuk di akal.

Telinga saya langsung tegak demi mendengar dr. Walta menyebut nama seseorang yang merupakan warga masyarakat paling ternama di desa saya yang sebetulnya sih di tengah-tengah kota namun luas itu. Sikap rendah hati, dermawan, dan jiwa sosial keluarga itu menjadi buah bibir yang tak mungkin tak diketahui kebanyakan warga. Itulah sebabnya saya merasa bahagia akan dikirim berobat ke tangan dokter muda nan kami sedesa tahu merupakan murid tercerdas semasa sekolah dulu. Harapan akan sembuh di tangannya walau dalam serba keterbatasan saya melambungkan impian menggapai kesehatan prima yang rasa-rasanya seumur-umur belum pernah saya alami.

Secara jujur saya ungkapkan kepada dr. Maria bahwa semenjak sakit, saya sering berharap bisa datang berobat kepadanya setiap kali saya melintas di depan kediaman beliau yang menyisakan kejayaan ayah beliau, ahli onkologi pertama di kota kami yang boleh disebut sebagai perintis keahlian bedah tumor. Tapi keinginan itu tak pernah saya nyatakan apalagi sampai terwujud terkendala rasa rendah diri dan malu hati yang menghambat. Benak saya mengatakan, ongkos berobat kanker pasti sangat besar, sehingga warga masyarakat yang tak kuat secara finansial hanya akan merepotkan saja.

Dr. Maria menanggapi ucapan saya dengan senyuman dan kata-kata yang menyejukkan sambil membelai-belai punggung lengan saya. "Nggak usah takut mbak, berobat ke dia tidak sesusah yang mbak Lilik bayangkan. Pasti ada upaya mencari jalan untuk biaya pengobatan mbak," ujar mbak Ria lembut. Matanya mengerjap-ngerjap namun tak lepas memandangi bola mata saya yang mungkin saja sedang mencoba menahan luapan air mata yang nyaris merebak. Saya lupa sekarang bagaimana wajah saya saat itu. Seingat saya sih senang campur haru.

Akhirnya saya menginjakkan kaki di gedung RS Karya Bhakti (RSKB) Bogor awal tahun 2013 dan menjadi pasien poliklinik 16/Onkologi di bawah penanganan dr. Bayu Brahma Sp.B (K). Onk berbekal surat rujukan dr. Walta Gautama yang disetujui dr. Maria Witjaksono di RS Kanker Dharmais (RSKD) Jakarta. Sebagai pengalaman pertama, saya harus rela mendapat nomor giliran besar yang berarti pasien larut malam disebabkan banyaknya pasien beliau. Di situlah baru saya sadari bahwa masyarakat hingga di wilayah Kabupaten Bogor yang terjauh pun mengenal dan mengetahui keberadaan onkologis kebanggaan kami yang satu ini. Kecermatan beliau dalam mentalaksana pengobatan pasien, keramah tamahan, kesantunan serta jiwa sosial beliau seiring dengan sikap beliau yang informatif lah yang menjadikan beliau rujukan masyarakat Bogor. Padahal ada empat hari praktek dokter onkologi dalam seminggu dengan tenaga dua orang dokter yang handal.

Membaca rujukan kolega seniornya dan mendengar perkenalan diri saya yang singkat, beliau langsung memahami kondisi saya. Semua hasil pemeriksaan penunjang diperhatikan dengan teliti. Lalu saya diperiksa dengan rabaan jarinya. Beliau sepakat dengan koleganya menyatakan saya penderita stadium III B, sama dengan diagnosa sinshe yang membantu menangani saya. Tapi untuk membuktikan keganasan dan tipe serta penyebab tumor itu, saya harus dibiopsi dengan tusukan jarum (fine needle biopsy). Untuk itu saya diminta membeli peralatannya lalu menunggu hingga pasien habis untuk pelaksanaan biopsi itu sendiri. Saya pun harus rela mendapat giliran terakhir dari 3 orang pasien baru malam itu. Namun mengingat malam sudah larut, saya memilih pulang berbekal obat-obatan hormon yang sebelumnya juga sudah saya dapat dari RSKD. Sebab biopsi boleh ditunda hingga kunjungan berikutnya.

Rasanya malam itu saya belum begitu puas, tapi saya lega sebab sudah mulai menjalani langkah pengobatan yang tepat. Ke dokter dan menjalani serangkaian pemeriksaan yang bisa dipertanggungjawabkan sambil makan obat saya rasa menjadi jalan untuk sembuh. Kini tinggal saatnya menunggu biopsi dilakukan.

Sayangnya ketika tiba waktunya berkonsultasi ke klinik lagi dokter berhalangan praktek sehingga pasien beliau dilimpahkan ke klinik dokter spesialis bedah umum. Di situ saya juga mendapati dokter yang bagus sehingga ketika beliau menawari untuk dibiopsi, demi kecepatan pemeriksaan saya menyetujui. Hasilnya semakin menguatkan dugaan bahwa saya menderita tumor ganas stadium III B. Sehingga kemudian onkologis meminta contoh jaringan tumor saya diperiksakan lebih lanjut di Jakarta. Untuk itu saya kembali ke RSKD yang ternyata bekerja sangat lamban karena melanggar aturan yang telah ditetapkan membuat onkologis saya kecewa. Pasalnya beliau menganggap kasus saya perlu penanganan mendesak sebab anak sebar tumor saya di kelenjar getah bening sudah sangat besar.

Hasil pemeriksaan Patologi Anatomi menunjukkan bahwa kanker saya sangat ganas bersumber dari meningkatnya protein yang memicu aktifnya Her2-neu yakni semacam sel bawaan pada tubuh manusia. Sifatnya agresif pula. Tapi dokter tak hendak segera mengoperasi, melainkan menginginkan saya dikemoterapi dulu supaya tumornya mengecil sehingga mudah dioperasi. 

Membayangkan rencana ini, saya kebingungan. Terbayang ongkos mahal yang tak saya miliki. Meski begitu, perkataan dr. Maria terbukti. Onkologis saya menunjukkan jalannya. Saya diberi tahu untuk minta bantuan pemerintah lewat program Jamkesda. Segera saya mengurusnya hingga terkabul, meski sayang tak bisa dipakai membeli obat kemoterapi yang sesuai bagi saya karena harganya terlalu mahal. Akibatnya pasca dikemoterapi separuh lebih dari satu sesi yang seharusnya saya terima, tumor saya tak mengalami perbaikan dan dioperasi dengan tingkat kesulitan tinggi selama 4 jam. 

Untuk itu saya dibawa pindah dokter saya ke RSKD. Di sana sebagai RS Pusat Penelitian Penyakit Kanker, ruang bedahnya sangat memadai. Dokter-dokternya pun banyak, sehingga mengoperasi daerah kelenjar getah bening ketiak saya yang punya banyak pembuluh darah yang amat halus menjadi lebih aman. Nyatanya benar saja, meski nyaris semua serabut kelenjar getah bening saya dibuang sehingga berakibat cacat sebagai konsekuensinya, tetapi alhamdulillah saya selamat. Lengan saya tidak terpaksa diamputasi sebagai akibat kesalahan dokter waktu mengoperasi.

Sudahlah sangat beruntung demikian, saya pun dibebaskan dari sebagian besar biaya selama operasi dan perawatan. Padahal Jamkesda kota kami tak berlaku di RS itu. Dokter rela mengeluarkan biaya pribadinya untuk saya. Subhanallah! Mbak Ria teman saya benar lagi. Saya diberi jalan termudah untuk berobat. Terima kasih dan puji syukur saya nyaris tak ada habisnya.

Berhubung kondisi saya memang sangat buruk, maka ketika tumor itu segera tumbuh kembali di daerah supra clavicula saya hanya dua minggu sehabis dioperasi, dokter memutuskan untuk mengganti obat kemoterapi saya. Saya tidak jadi dikembalikan ke kampung, melainkan dicoba diikutkan penelitian obat yang diselenggarakan di situ. Semua usaha diupayakan bahkan hingga memancing perdebatan sengit. Tapi, beliau memang seorang pegawai yang baik. Setelah diyakini saya tak bisa diikutkan akibat kondisi saya itu, maka saya pun diambil kembali ke Bogor hingga sekarang. Dengan pemberian obat yang sesuai meski harga dan kualitasnya terbilang murahan, kini saya menjalani kemoterapi lagi dari awal didanai pemerintah. Obat ini lah yang saya harap bisa menuntaskan sel kanker saya. Itulah sebabnya setiap seminggu sehabis dikemoterapi saya harus berkonsultasi dan memeriksakan kondisi saya di RSKD.

***

Senin pagi (23/12) ini saya menghabiskan waktu di Instalasi Rehabilitasi Medik menemui dr.Indriani Sp. RM. Dokter ini menjadi rujukan pasca pembedahan yang mengakibatkan lengan kiri saya cacat. Dulu saya diwajibkan datang seminggu tiga kali untuk difisioterapi dan dipantau. Tapi sejak saya pulang ke RS di kampung halaman, 2 bulan lamanya saya tak datang lagi sehingga kedatangan kali ini jadi kejutan untuk mereka. Saya pun terkejut-kejut sebab pasien yang berkunjung bukan lagi orang-orang yang sama. Begitu juga perawat meski masih orang itu-itu juga, tetapi beberapa berpenampilan baru.

Dr. Indri menyatakan kondisi saya stabil. Berhubung saya tak sanggup lagi ke RSKD, maka lengan saya harus difisioterapi sendiri secara manual setiap pagi dan sore di rumah. Kegiatan itu akan membantu menjaga kondisi limfedema di lengan cacat ini. Tak lupa beliau mengingatkan bagaimana saya harus memperlakukan lengan saya serta mengolahragakannya agar tak terjadi kekakuan. Pertanyaan saya soal fisioterapi berkenaan dengan tumor di supra clavicula pun dijawabnya dengan baik. Saya boleh tetap melakukannya dengan gerakan pijatan dari bawah mengarah ke atas tetapi jangan mengenai daerah tumor itu. Alangkah leganya hati saya. Sebab di Bogor tak ada dokter ahli rehabilitasi medik yang khusus menangani pasien limfedema. Sehingga saya tak punya tempat untuk bertanya. Lalu jari-jari saya yang kaku akhir-akhir ini pun saya konsultasikan. Perawat menganjurkan saya minta rujukan ke dokter spesialis syaraf. Konon katanya ini harus diobati oleh dokter syaraf, bukan atasan beliau. Saya berjanji akan membicarakannya kelak dengan onkologis saya terlebih dulu.

Seyogyanya hari itu saya juga akan menghadap Dr.dr. Noorwati Sutandyo Sp. PD. KHOM untuk mengonsultasikan kondisi saya pasca kemoterapi yang dilakukan onkologis saya. Sesungguhnya saya bukan tak mempercayai kemampuan dokter saya, akan tetapi saya dan beliau lebih suka dievaluasi oleh seorang ahli kemoterapi yang juga tak pernah kami miliki di kota kami. Sayang dr. Noor sedang tak berada di tempat, sehingga kami mengalihkan jadwal konsultasi ke poliklinik bedah onkologi. Dalam pada itu saya minta izin lebih dulu melalui SMS.

Ternyata hari itu dokter saya punya tugas mengopersi pasien. Akibatnya praktek di poliklinik tertunda hingga pukul dua siang, dan pasien pun dibatasi hanya sampai 15 orang saja seperti jadwal hari Rabu di kampung. Lamanya menunggu yang melelahkan itu tidak membuat saya jemu, meski anak saya tampak mengantuk. Sebab para pasien beliau asyik berbagi cerita soal penyakit masing-masing dan pribadi dokter kami. Mula-mula saya hanya mengamat-amati dan mendengarkan saja. Terutama uraian seorang nenek cantik yang saya duga berdarah Minangkabau berkisah.

Mengamati penampilannya yang terkesan segar dan chic, kita bisa tahu status sosial beliau. Busananya serba merah cerah mulai dari kerudung hingga alas kakinya. Juga dikenakannya pashmina senada yang membuat kulit beliau semakin berseri-seri. Tampilan ini memupus kesan bahwa wanita di kisaran usia 70 tahun terkesan tua, out of date cenderung kusam. Beliau lah perkecualian itu.

Beliau tinggal di Jakarta, juga di Bogor di dekat RS tempat saya ditangani. Tetapi ternyata beliau cuma berobat di Jakarta saja, menggunakan fasilitas Askes suaminya seorang purna tugas pegawai tinggi suatu kementerian yang menjadi incaran banyak orang karena terkenal sebagai lahan basah. 

Bertahun-tahun lalu kanker payudara beliau sudah dioperasi oleh seorang dokter yang kini sudah wafat di RS Pondok Indah. Tapi kemudian penyakitnya kambuh, sehingga beliau berobat di RSKD. Bagian pendaftaran pasien baru memasukkan beliau ke klinik onkologis muda yang waktu itu baru mulai bertugas. Tak dinyana, beliau adalah putra kandung almarhum dokter senior yang menanganinya dulu. Dan dengan senang hati bersedia melanjutkan tugas ayahandanya. Ketika mendengar kisah ini saya tersenyum sendiri. Sebab itu juga yang banyak ditemui di kampung halaman kami. Istilahnya pasien turun-temurun warisan orang tua. Sementara itu si nenek cantik juga terlihat tersenyum diikuti pujian yang nyaris seragam dengan apa yang sering dilontarkan orang selama ini.

Pasien yang seorang lagi saya dengar baru berumur 59 tahun, meski wajahnya nampak lebih tua. Mungkin penyakitnya sama parah dengan saya, sebab tangannya juga dibalut. Kelihatannya dia pandai menjaga kondisi lengan itu karena bengkaknya tak sebesar saya. Tapi saya simak ceritanya semua penyangga sekresi kelenjar getah bening ketiaknya dibuang dalam operasi lebih dari enam jam. Katanya dia mengikuti program deteksi dini kanker payudara dua tahun yang lalu, di bawah tanggung jawab onkologis kami. Lalu sewaktu diketemukan tumbuh tumor di payudara yang menyebar ke kelenjar getah bening dia dikirim ke poliklinik dan ditangani beliau hingga sekarang. Dalam pengakuannya dia merasa sangat beruntung dalam penanganannya karena dokter muda kami sangat komunikatif dan cermat. 

Sang nenek bergaya menyatakan hal yang sama. Meski kemoterapi menyiksa, menyakiti antara lain dengan membuatnya enggan makan serta merasa kesemutan dan kebas di tangannya, tetapi onkologis kami bisa mengatasinya dengan memuaskan. Beliau membandingkannya dengan konsulen beliau seorang dokter ahli penyakit dalam yang menurutnya "begitu-begitu saja". Saya sendiri memang sering mendengar para pasien dokter yang satu itu mempercakapkan sikap dokter mereka. Tak tahan mendengar celoteh para pasien itu yang dibumbui juga oleh pasien lain, maka saya pun ikut-ikutan bicara. Saya perkenalkan diri sebagai pasien bawaan onkologis kami dari kampung. Jika berobat padanya pasien tak perlu ragu-ragu dan khawatir karena sikap beliau sangat kooperatif terhadap pasien serta hati-hati. Belum lagi kecermatan dan ketelitian sikapnya membuat beliau nyaris setara dengan para pakar yang sudah lama berpraktek. Siang itu pasien di muka poliklinik membenarkan perkataan saya.

Bahkan seorang di antaranya, ibu berumur 43 tahun memujinya seperti memiliki indra ke-enam. Pertama kali dia berobat di kampung halaman suaminya di Cirebon. Di sana payudaranya di mammografi serta dibiopsi, Hasilnya diperintahkan dokter untuk dikonsultasikan lebih lanjut ke Bandung atau Jakarta. Dengan pertimbangan dia punya rumah di Jakarta, maka dia memilih ke RSKD yang konon katanya tak sebegitu jauh dari kediamannya di Tanah Abang. Di sini bagian pendaftaran memasukkannya ke klinik onkologis kami. Dan puja-puji pun langsung dimulai.

Konon pada pertemuan pertama setelah membaca pengantar rujukan dan hasil pemeriksaan dokter di Cirebon, ibu ini langsung diperiksa dengan rabaan tangan. Berdasarkan itu, dokter kami langsung menganjurkan operasi. Persis seperti anjuran dokter di Cirebon. Yang mencengangkan si pasien, dokter kami tak memerlukan pemeriksaan ulang. Sehingga dia menganggap dokter kami bagaikan memiliki indra ke-enam. :-D

Kini para pasien itu sedang dikemoterapi atau sudah selesai sehingga perlu pemeriksaan ulang berkala. Tak ubahnya dengan saya yang juga pasien kemoterapi. Mereka sepakat dengan saya bahwa kemoterapi itu membuat pasien cepat lelah.

Mengingat saya kelelahan, saya putuskan untuk makan siang dulu seraya menunggu dokter. Bu Poer pemilik kantin langganan saya tercengang-cengang menyaksikan kedatangan saya. Terlontar dari mulutnya bahwa dia tak percaya saya akan kembali lagi. :-D Sayang sepiring kecil siomay organik yang dulu bisa saya lahap habis kini seperti sudah kehilangan kelezatannya. Saya cuma sanggup menghabiskan separuhnya akibat berkurangnya nafsu makan pasca kemoterapi.

Tapi untunglah pukul dua dokter mulai membuka poliklinik. Dan saya mendapat giliran kelima. Beliau memeriksa saya sendiri juga membuatkan jadwal baru untuk berkonsultasi dengan dr. Noor, sebab beliau baru bisa menetapkan langkah kemoterapi selanjutnya setelah itu. 

Khusus mengenai kesemutan dan kebas di lengan serta tangan saya, katanya tak perlu dikonsultasikan ke dokter ahli syaraf. Sebab itu juga efek daripada obat kemoterapi yang saya pakai sekarang. Saya diberinya obat untuk meredakannya.

"Jadi saya nggak perlu ke klinik dokter cantik seperti boneka Barbie yang di sebelah dr. Suks itu?" Tanya saya menegaskan, sebab sebetulnya saya juga ingin sesekali melihat sang dokter berambut ikal sepunggung dicat merah itu dari dekat.

"Yang mana? Oh yang di kampung ya?" Dokter saya bertanya balik sambil tersenyum.

"Ya, nggak perlu ya?"

"Nggak usah deh, makan obat aja, itu 'kan baru-baru saja terjadi setelah pakai obat "P" 'kan?" Jawabnya. "Bahkan kaki juga mulai kesemutan juga toch?"

"He.... he... he.... iya. Wis. Mas dokter itu pinter banget. Okay deh saya makan obat," sahut saya.

Anak saya tiba-tiba menyela menunjukkan resep dari dokter di IRM yang katanya bisa digunakan meredakan nyeri dan pegal-pegal lengan saya. Dia memang hanya mengizinkan saya makan obat atas sepengetahuan onkologis saya. Untung setelah dibaca saya diizinkan juga. Dan dalam pada itu kami pun berpamitan untuk bertemu akhir pekan di poliklinik 16. "Sampai jumpa Sabtu ya bu, hati-hati jaga kesehatan," ujar beliau seraya bangkit dari duduknya untuk menyalami saya seraya menepuk-nepuk bahu saya yang sehat dengan dekapan jemari yang hangat. Selalu ada ketenangan batin yang ditularkannya kepada saya. Pasti juga kepada para pasien lain.

(Bersambung)



Minggu, 22 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (155)

abtu pagi datang lagi. Minggu ketiga di bulan Desember. Seharusnya ini adalah hari yang terjadwal untuk pengobatan kemoterapi saya siklus ketiga. Tapi karena kendala pengadaan obat-obatan, maka hari ini saya justru baru menikmati efek masuknya obat kemoterapi siklus kedua yang mengaliri tubuh saya di hari Rabu lalu. Soal rasanya, alhamdulillah lebih nyaman dibandingkan bulan lalu ketika saya menerima siklus pertama. Sebab kaki saya tak sebegitu ngilu dan lemah. Hanya sedikit pusing kepala ditambah perasaan tak nyaman di lambung saja lah yang meminta saya untuk lebih sering berbaring.

Sebetulnya sudah sejak kemarin saya merasakan itu. Tetapi saya tetap berusaha untuk bangkit lama dari pembaringan agar saya tak terlalu menjadi beban kedua anak saya. Meski tumor saya juga menyakiti, tetapi saya tetap mencoba untuk duduk-duduk, berdzikir dan mengaji sedapat-dapatnya. Sayang sekarang nafas saya tak sepanjang dahulu lagi, sehingga suara saya tak begitu baik. Namun saya kira Allah memakluminya.

Semalam An teman baik saya yang pertama kali membawa saya berobat kepada seorang sinshe menelepon saya panjang lebar. Sebetulnya ini bukan kali pertama, sebab ketika saya masih berada di area RS Rabu malam, dia pun sudah mencoba menghubungi saya beberapa kali tapi tak terjawab. Bayangkan saja, di tengah kepadatan manusia dan antrian masuk klinik serta proses pengobatan, mana mungkin saya bisa menerima telepon begitu.

Ternyata katanya, hari Rabu itu dia sedang di ruang praktek sinshe. Sinshe menanyakan kabar saya, sebab sudah sebulan saya tak lagi berkunjung kepadanya. Sinshe ini seseorang yang menurut saya selalu penuh perhatian kepada pasiennya. Yang saya ingat, jika kita tak punya cukup uang untuk membeli jejamuan yang disodorkannya, dia sering memberikan potongan harga atau menghadiahkan sebagian untuk si pasien. Bahkan dia membiarkan pasiennya berhutang lebih dulu. Ini lah salah satu daya pikat sinshe kami, selain ongkos berobatnya yang tak semahal ongkos di sinshe-sinshe yang dulu sering mengiklankan diri di media massa. Belum lagi metoda pengobatan padanya adalah mengalirkan enerji positif melalui telapak tangan dan jarinya kepada pasien bahkan dalam jarak jauh. Yang saya rasakan setelahnya, tubuh saya menjadi hangat seperti baru saja dialiri sesuatu yang mengurai ketegangan syaraf. Itu sebabnya saya dulu ikut berobat padanya yang berhasil mendeteksi kanker payudara stadium III saya jauh sebelum saya diberitahu dokter yang menegakkan diagnosa kemudian dengan hasil III-B.

Rupanya sinshe tetap ingin menolong saya dengan segala caranya. Begitu pun dengan teman saya itu. An bilang, dia pernah ikut berbagai pelatihan yang mengandalkan transfer enerji seperti itu. Karena dia pernah merasakan ditransfer enerji positif oleh seseorang yang katanya sudah ahli dengan hasil positif. Tubuhnya serasa bertenaga kembali padahal dia sedang dalam pengobatan kanker di sinshe. Saya cuma mengucapkan syukur dan terima kasih tanpa berjanji akan kembali kepada sinshe segera. Karena saya lebih memilih mengutamakan pengobatan secara medis empiris yang kalau ditekuni bisa cepat menyembuhkan juga. Setidak-tidaknya meredakan penyakit kanker kita. Agaknya An pun paham.

Tapi tak lupa dia menambahkan saran untuk mengikuti acara pengobatan alternatif di televisi yang menggunakan sarana agama. Dengan dzikir dan doa-doa, si penonton di rumah bisa tersugesti menjadi lebih ringan penyakitnya hingga akhirnya pun sembuh. Konon dia pun melakukannya. Setiap kali dia melantunkan dzikir-dzikir itu tubuhnya akan bergetaran, lalu terasa ringan seakan-akan dia benar-benar sedang merunduk di bawah Tuhan. Tak mungkin saya meragukannya, karena saya pun cuma makhluk Tuhan yang tiada berdaya dan hina dina. Persis seperti ujar teman saya sendiri itu, kita ini cuma anak wayang yang diatur perjalanan hidupnya oleh Tuhan. Meski demikian, saya beranggapan untuk orang berpenyakit berat seperti ini, hal-hal tersebut hanya pendukung dari upaya pengobatan medis yang kita tempuh. Yakni dengan mencoba mengosongkan hati dan pikiran dari hal yang buruk-buruk, lalu berkomunikasi dengan Tuhan maka pengobatan kita akan berhasil sebab kita tak putus asa menjalaninya supaya Allah memberikan obat yang tercocok bagi kita.

*** 

Tengah malam An teman baik ini mengirimkan SMS berisi pemberitahuan akan suatu artikel tiga tahun yang lalu di internet. Isinya katanya sih membahas tentang rahasia bebas kanker selamanya. Sayang saya sudah dalam keadaan akan lelap, jadi SMS yang mengejutkan itu hanya saya balas dengan kata terima kasih dan berjanji akan saya coba cari keesokan harinya. Lalu saya pun berpamitan tidur. Agaknya teman saya ini masih saja setia melakukan self healing dengan dzikir, doa dan meditasinya tiap-tiap tengah malam. Saya salut kepadanya yang menyatakan dan dinyatakan dirinya sudah terbebas dari serangan kanker.

Artikel yang ditulis konon oleh seorang dokter para pasien kanker (onkologis?!) menyatakan bahwa metoda pengobatan kanker secara medis yang menitik beratkan pada operasi pengangkatan tumor, kemoterapi dan radiasi dosis tinggi sesungguhnya keliru. Sebab obat dosis tinggi itu bertujuan membunuh sel kanker, tapi ujung-ujungnya akan membunuh si sakit itu sendiri saking kerasnya.

Yang seharusnya dilakukan katanya, memelihara dengan baik fungsi empat organ tubuh yakni limpa, hati, usus besar dan ginjal. Selain itu si pasien didorong untuk melepaskan tekanan batinnya. 

Limpa dan hati disehatkan dengan mengonsumsi lebih banyak biji-bijian, bukan beras putih, sebanyak 50% dari apa yang kita makan sehari. Contohnya banyak makan kacang merah, kacang kuning (kedelai?), kacang hijau bahkan biji jali. Ketela/ubi rambat pun disebutkan baik dikonsumsi.

Selain itu makanan berserat tinggi juga wajib dikonsumsi, agar buang air besar menjadi lancar. Sebab jika tidak akan menimbulkan konstipasi yang diakibatkan oleh tubuh yang kekurangan selulosa. Padahal jika kotoran tertahan di dalam perut lebih dari 12 jam, akan berubah menjadi zat beracun. Racun ini akan diserap oleh dinding usus besar dan kembali ke hati menjadi sumber penyakit. 

Begitu pun ginjal harus dijaga karena ginjal adalah organ penting untuk metabolisme, sekresi dan racun. Ginjal dilewati oleh darah. Kotoran metabolisme dari darah disaring oleh ginjal dan dibuang menjadi air seni. Itu sebabnya manusia harus mengusahakan supaya tak banyak kotoran yang masuk ke tubuhnya dan disaring diginjal serta dikeluarkan sebagai racun.

Berdasarkan bacaan ini saya berkesimpulan, kita semua memang harus pandai-pandai menjaga organ tubuh. Makan dengan pola dan asupan yang benar, berisirahat dan tidur yang cukup serta memelihara ketenangan pikiran. Tapi dipikir-pikir kalau kita sudah terlanjur sakit kanker begini, mungkinkah itu? Dapatkah waktu diputar kembali ke saat sebelum sakit? Ah, tak tahulah. Yang penting SMS dari teman saya lewat tengah malam tadi lumayan memberi masukan juga kok. Selamat malam dan salam sehat ya!

(Bersambung)


Jumat, 20 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (154)









Blogging ternyata membawa banyak manfaat yang sangat mengesankan bagi saya. Di masa sehat saya menggunakannya untuk bersosialisasi dengan siapa saja tanpa harus berpayah-payah ke luar rumah. Dari pergaulan di dunia yang semu begini nyatanya saya boleh mendapat banyak pengetahuan berdasarkan cerita yang mereka ungkapkan di blog masing-masing. Sementara di kala susah, sakit atau sekedar sedih, saya pun menyimpan semua rasa dan pengalaman saya di blog saya yang memang saya niatkan sebagai buku harian. Alhamdulillah walau saya tak menjaring pengikut hingga ribuan atau ratus-ratusan yang banyak, tetapi selalu saja ada pembaca yang masuk meski tak meninggalkan komentar. Soalnya bagi saya komentar itu tidak penting, karena adakalanya isinya cuma sekedar basa-basi belaka. Bagi saya lebih penting kedatangan mereka itu sendiri, karena justru mereka merasa lekat dengan pribadi saya.

Walau bukan pemain lama di dunia maya, tapi saya pertama kali mengelola buku harian saya pada tahun 2006. Tidak di sini sih, melainkan di suatu tempat yang terpaksa ditutup sendiri oleh pengelolanya karena salah urus. Mereka punya impian untuk menjadi besar, tapi tak paham bagaimana caranya mencapai. Meski begitu saya tidak merasa dirugikan, karena dari sekitar hampir 300-an kontak atau pengikut saya di sana semua baik hati dan terus menjalin silaturahmi hingga kini. Bahkan di antaranya justru pengikut-pengikut baru yang menjalin perkawanan setahun pasca bubarnya rumah maya itu. 

Dari hubungan dengan para pengikut yang relatif baru itu saya punya pengalaman ajaib yang menggambarkan bagaimana Kemahaberkehendaknya Allah atas nasib umat manusia. Betapa ketika seseorang yang sedang kesulitan masih juga dipersulit oleh banyak pihak dan situasi, Allah datang menolong dengan mengirimkan seseorang yang tak pernah terduga di benak umatnya itu.

Begini ceritanya : Dalam bulan ini saya memang sedang kesulitan keuangan, sehubungan dengan tersendat-sendatnya permohonan pengobatan saya melalui program pemerintah. Biasanya pendanaan pengobatan saya mulai yang kecil-kecil semisal biaya kunjungan ke RS hingga pembelian obat kemoterapi yang sangat mahal itu didanai pemerintah. Tetapi belakangan ini nyaris ditolak akibat krisis dana Jamkesda yang menurut berita di media massa jumlahnya sangat sedikit sehingga tak mencukupi untuk masyarakat kecil yang biasa dibantu. Pemerintah menunggak hutang 1.4 T kepada RS yang melayani pasien di seluruh Indonesia.

Sudah lah demikian, tumor saya tumbuh semakin mengganas sehingga mau tak mau saya harus sesegera mungkin berusaha mencari dana sendiri guna pengobatan yang terancam terhenti lagi itu untuk yang kedua kalinya. Hal ini tak hanya meresahkan saya dan anak-anak, juga dokter yang merawat saya dengan segenap hatinya. Sebab kami memang sudah bertekad untuk sembuh.

Tak cukup dengan doa, kami menghubungi sanak keluarga guna mencari bantuan. Tetapi sayang tak ada yang dapat menolong, sehingga terlintas di benak keluarga besar kami untuk melepas harta pusaka kami yang sedianya akan diperuntukkan bagi masa depan generasi selanjutnya. Tapi ketika saya sampaikan kepada dokter saya yang sudah menjadi sedemikian akrabnya hingga seperti kenalan lama, beliau mencegahnya. Saya diminta terus merayu pemerintah dibantu surat pernyataan permohonan yang di luar prosedur permintaan bantuan, sengaja dikirimkannya menyertai formulir permohonan saya. Waktu itu surat ini akhirnya menjadi tanda tanya pejabat pelaksana program bantuan hingga kami perlu menjelaskan maksudnya. Yakni obat-obat saya tak bisa tidak diberikan mengingat kondisi saya yang terus memburuk. Untung lah akhirnya pemerintah paham hingga mengabulkannya walau sudah amat terlambat.

Bersamaan dengan itu pemasukkan keuangan keluarga kami pun tersendat juga. Nyaris tak ada dana untuk sekedar membayar tagihan-tagihan listrik, telepon, air minum bahkan gas alam yang bilangan tagihannya termurah. Untung pada akhirnya kami dapat pemasukkan juga meski kali ini lebih sedikit dibandingkan biasanya. Ini sudah sangat kami syukuri sekedar penyambung hidup kami. Persoalan larinya sebagian hak kami tak terpikirkan benar, sebab yang terpenting di tangan kami sudah ada uang pelunasan tagihan-tagihan tadi.

Keikhlasan kami agaknya dihargai Allah. Tak terduga kemarin sore anak saya tiba-tiba mendapat SMS dari nomor tak dikenal yang mengaku sebagai teman maya saya. Ibu itu berniat mengirim uang untuk membantu pengobatan saya. Karena merasa asing dengan namanya dan heran dari mana beliau mendapat nomor ponsel anak saya, maka SMS itu tak kami jawab. Sebab di masa aneh-anehan seperti sekarang sering kedengaran orang mau menipu, bukan?!

Namun satu jam kemudian seseorang teman maya saya lainnya mengirim pesan juga. Isinya menyatakan bahwa SMS terdahulu dari nomor tak dikenal itu mengharap jawaban. Sebab sejatinya dia teman maya saya yang belum terlalu lama berkenalan, namun hingga kini senantiasa mengikuti blog saya yang nampaknya sebagai silent reader. Begitu SMS kedua saya baca, entah bagaimana ingatan saya langsung terang benderang. 

Saya seketika itu teringat kepada masyarakat Indonesia di negeri Singa tempat saya dulu pernah tinggal beberapa waktu. Beliau merasa pernah melihat saya di negeri kecil itu, sehingga ketika sedang berkelana di dunia maya dan menjumpai buku harian saya yang lama, beliau langsung tergerak mengajak berteman. Sejak itu kami berteman walau tak lama sebab bubarnya arena bermain kata kami.

Sesegera mungkin anak saya membalas SMS yang kami biarkan tadi disertai ungkapan terima kasih atas kemurahan hatinya. Sebab secara nyata kami belum pernah bertemu apalagi bersentuhan, tetapi beliau bisa mengenang saya dengan baik dan ingin sekali mengulurkan bantuan.

Beliau tak berpikir panjang langsung menjawab bahwa beliau tulus ingin meringankan beban pengobatan saya seraya mendoakan kesembuhan saya. Di dalam hati kami terbersit pikiran beliau mungkin dari dulu sudah sering mendengar bahwa saya adalah pasien tetap di salah satu RS di Singapura dengan kasus yang ternyata tak tertangani dengan baik hingga kini. Sehingga terbit rasa iba dan kasih sayang di hatinya.

Seiring dengan itu tiba-tiba datang berita kiriman uang masuk dari beliau dengan jumlah yang sangat fantastis, yakni lima kali lipat dari uang pemasukkan kami yang menyusut bulan ini. Subhanallah! Sungguh kami langsung bersujud syukur karena tak pernah terbayang akan dapat gantinya. Apalagi ternyata sangat banyak mencapai persis sama dengan pemasukkan yang kami terima bulan ini. 

KUASA ALLAH! HANYA ATAS KEHENDAKNYA LAH INI BISA TERJADI. TAK ADA YANG BISA MENGHAMBAT APA PUN YANG TELAH DIRENCANAKAN DIBERIKAN ALLAH KEPADA UMATNYA. JUGA TAK AKAN MUNGKIN ALLAH MEMBERIKAN SESUATU KEPADA UMATNYA JIKA ALLAH TAK MENGHENDAKINYA.

Sejak dulu saya sudah percaya itu karena di dalam agama yang saya anut memang diajarkan demikian. Dan kini tentunya saya semakin percaya lagi. Hal ini membuat saya terus tercenung lalu merenung mencari jawaban apakah yang menjadikan ini terjadi.

Dalam gelap malam yang disertai rinai hujan dan hembusan angin akhir tahun, akhirnya pikiran saya kembali terbuka. Saya pun teringat akan ajaran agama kami kepada anak-anak. Diperintahkan Tuhan bagi anak-anak untuk senantiasa berbuat baik kepada orang tuanya, dengan mengutamakan memuliakan ibundanya. Setelah itu, mereka tak boleh mengesampingkan ayahnya jadi mereka pun wajib menyayanginya.

Penghormatan kepada ibu dianggap lebih utama mengingat ibu adalah pejuang yang rela bersakit-sakit demi anaknya, bahkan sejak sebelum anak itu dilahirkan. Apa yang dikatakan kitab suci sesuai dengan kenyataan bahwa mengandung dan merawat anak itu berat. Si ibu bisa jatuh sakit setidak-tidaknya merasa kurang sehat sewaktu hamil. Begitu juga ketika melahirkan dia akan disakiti. Lalu kelak harus rela kurang beristirahat demi merawat buah hatinya, memberinya susu bahkan di larut malam meski terkadang anaknya yang baru tumbuh gigi menggigit putingnya dalam keadaan terkantuk-kantuk. 
Keranjang cucian ibu akan dipenuhi kotoran bayi termasuk serpihan-serpihan sisa makannya. Serta kelak jika sudah besar, ibu juga yang terutama harus bertanggung jawab menjaga, merawat, mengawasi dan mendidik anak-anaknya. Sedangkan ayah, tentu saja juga berkorban dengan memeras tenaga untuk menghidupi anak-anaknya hingga mereka mampu mandiri. Di balik itu, ayah pun menjadi pendidik dan pengasuh mereka bersama-sama dengan si ibu.

Berdasarkan tindakan yang telah dilakukan kedua orang tua kepada anak-anaknya, maka di hari tua mereka agama meminta anak-anak membalasnya. Mereka bergantian memberikan kasih sayang kepada orang tuanya, terutama ibunda. Tak perlu pembalasan itu berupa materi. Merawat atau sekedar menjenguk dan menyapa orang tua sesering mungkin saja, sudah boleh disebut berbakti. Sebab uang tidak akan lebih berharga daripada perhatian serta sentuhan penuh kasih sayang. Apalagi ketika orang tua itu dalam keadaan sakit dan tak berdaya. Maka diwajibkan anaknya turun tangan merawat melayani orang tuanya tanpa canggung-canggung. Dan inilah yang dilakukan anak-anak saya terhadap saya.

Semasa sakit saya belum dioperasi, tumor itu luka berdarah-darah. Kedua anak saya lah yang merawat luka itu tanpa sedikit rasa jijik pun, apalagi mengeluh. Padahal luka kanker itu baunya luar biasa hingga tercium dari jarak jauh.

Kini ketika tubuh saya tak lagi sempurna akibat dioperasi, maka semua pekerjaan rumah tangga beralih ke bahu mereka. Sebab dengan sebelah tangan saja saya sudah kesulitan mencuci piring apalagi menyapu ruangan yang memerlukan kedua belah tangan untuk menggeser perabotan rumah tangga guna menjangkau debu di seluruh lantai.

Lalu semasa kemoterapi saya menimbulkan gangguan kesehatan yang lebih jauh lagi, saya bahkan perlu dilayani seperti bayi. Mandi, membersihkan diri, makan dan minum pun memerlukan jasa mereka. 

Begitu luar biasanya mereka merawat saya walau dalam segala keterbatasan. Bahkan mereka merelakan biaya hidup dan tabungan mereka yang tak seberapa terkuras guna pengobatan saya. Tak pernah mereka mengeluh meski sekedar berbisik-bisik di belakang saya. Bahkan seperti ajaran agama kami, kata "ah" yang dilarang untuk dilontarkan juga tak kedengaran. Hanya saja jika mereka kurang sependapat dengan saya kami akan berdebat bertukar pikiran secara baik-baik.

Menilik kenyataan ini, kini tahulah saya dari mana rizki kami tiba-tiba datang. Menurut saya, itu bersumber dari perilaku ikhlas ridha anak-anak di dalam menjalankan ajaran agama yang dianut. Allah memenuhi janjinya, mengganjar ketaatan mereka dengan memudahkan segala urusan mereka. Buktinya pada akhirnya pemerintah mengulurkan bantuan juga untuk pembelian obat saya meski dibelikan yang termurah. Yang penting isinya cocok untuk kasus saya. Belum lagi uang anak saya yang menyusut tiba-tiba telah mendapat ganti lima kali lipat secara tak terduga. Subhanallah! Wa Allahu akbar! Tiada yang mustahil di dunia ini atas kehendak Tuhan.

Saya pun teringat ajaran agama kami untuk orang tua, terutama kaum ibu. Hendaknya kaum ibu pandai-pandai menjaga mulutnya di dalam menghadapi anak-anaknya yang memiliki sifat beragam. Bukankah tak semua anak bersikap manis budi? Nah jika ada yang bersikap kurang baik, kepadanya si ibu diharuskan mengingatkannya dengan halus dan tutur kata yang baik sambil mendoakan agar Allah menyadarkan anaknya. Hendak lah di dalam setiap doa ibunda dipanjatkan permohonan-permohonan yang baik untuk anak-anaknya. Juga ketika bertutur hanya mengeluarkan bahasa-bahasa yang santun sehingga layak dicatat malaikat di surga.

Percayalah, apa yang saya tuturkan sudah saya alami sendiri. Untuk itu selain bersyukur kepada Allah, izinkan saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada ibu Ellen yang budiman teriring doa semoga rizki ibu sekeluarga selalu datang berkelimpahan dan penuh barokah. Amin.

Insya Allah dengan bantuan ini saya besok Senin bisa memenuhi kewajiban saya untuk memeriksakan diri ke RSK Dharmais tanpa ragu-ragu lagi. Bahkan program pengobatan saya untuk bulan depan pun sudah bisa terbayang akan lebih lancar. Sebab sebagian obat yang tak ditanggung pemerintah lagi, bisa terbeli dengan dana itu. Ah, matahari cerah membayang di hadapan saya meski pun akhir tahun begini hawa sejuk tertutup mendung selalu. Beginilah indahnya dunia, meski cuma dunia maya. Ayo, siapa yang tak suka blogging kalau begini?!

(Bersambung)


Pita Pink