Powered By Blogger

Selasa, 30 April 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (53)

Ada yang terlupa saya tuturkan mengenai sakit yang saya derita pasca kemoterapi. Sebab sejujurnya saya bukannya tidak sakit sama sekali, toch saya manusia biasa juga. Hanya saja apa yang saya alami tak seberat penderitaan pasien lain. Dan ternyata selain saya yang kelihatannya satu-satunya pasien mengalami hot flushes alias gelombang panas di tubuh, saya juga kemungkinan satu-satunya pasien yang mengalami bisul-bisul di kepala.

Bisul ini tumbuh setelah rambut saya mulai rontok di pertengahan minggu kedua kemoterapi yang membuat saya akhirnya mencukur habis rambut saya. Seharusnya dalam keadaan tanpa rambut saya akan merasa lebih nyaman dan sejuk. Nyatanya tidak. Kepala saya terasa panas. Kini bahkan ditumbuhi benjolan-benjolan dan bintil-bintil kecil yang terasa nyeri jika disentuh. Kata anak saya yang menyaksikannya, itu bisul dalam ukuran yang beragam. Apa penyebabnya belum saya ketahui, karena saya pun belum sempat mengonsultasikannya kepada onkologis yang merawat saya. Tapi berdasarkan analisa sinshe saya, ada kecurigaan diakibatkan oleh konsumsi telur yang saya makan sebagai salah satu sumber gizi. Soalnya kalau orang bisulan, maka makan telur atau makanan lain berprotein tinggi akan semakin memperparah bisulnya. Begitu juga agaknya pada diri saya yang meski sedang tidak bisulan tetapi punya kulit cenderung berminyak. Itu teori sinshe saya yang masuk di akal juga, sebab saya sering mendengar orang tua yang mempunyai balita menyetop konsumsi telur anaknya ketika didapatinya anaknya bisulan.

Kondisi gangguan kulit yang satu ini sungguh tidak menyenangkan. Sebab terasa sakit lagi pula kurang "keren" jika dibandingkan dengan kanker kulit hihihihi..... serem juga ya pembandingnya. Ah, tapi kanker kulit tentunya akan lebih memprihatinkan sebab mematikan. Dulu ketika kakak saya masih mengajar seorang muridnya terkena kanker kulit. Katanya sih diakibatkan oleh paparan zat-zat kimia yang dipakainya di sawah sebab dia murid di Sekolah Kejuruan Pertanian yang kini sudah tiada tapi naik pangkat menjadi Sekolah Tinggi Kedinasan milik Kementerian Pertanian. Terbukti kakak saya mengakui bahwa petani kerap menggunakan zat kimia sebagai pembasmi hama tanamannya, sehingga hasil panennya pun bukan bahan pangan organik. Yang rawan menjadi korban perbuatan tidak baik ini tentu saja petaninya selain masyarakat umum yang mengonsumsi hasil pertanian mereka.

Kembali ke masalah bisul, kulit yang terkena akan berubah kemerahan dan menonjol sedikit. Jika dia sudah "matang" maka di bagian tengah tonjolannya akan terlihat gumpalan nanah. Bisul ini timbul karena berbagai sebab selain alergi. Antara lain karena adanya bakteri stafilokokus yang hinggap di akar-akar rambut. Kemungkinan inilah yang terjadi pada diri saya sehabis saya menggunduli rambut. Padahal setiap kali mandi saya tak lupa mencuci dan membersihkan kulit kepala saya, bahkan dengan sabun antiseptik mengingat saya sadari kulit saya amat rawan infeksi. Namun setelah sekian hari tak ada perbaikan, agaknya saya mesti segera ke apotik membeli salep antibiotik yang bisa dibeli bebas supaya tak harus menunggu jadwal pertemuan dengan dokter saya.

Adapun soal kanker kulit, apa yang diceritakan kakak saya amat sangat mengerikan. Murid lelakinya ketika itu baru berumur tujuh belas tahun. Mula-mula kulitnya luka berkeropeng seperti penampakan sayur kembang kol itu. Akan tetapi lukanya tak sembuh-sembuh sehingga mengakibatkan penderitanya amat kesakitan. Akhirnya dia dibawa ke RS untuk diperiksa teliti. Dengan serangkaian test diketahuilah bahwa dia menderita kanker kulit yang disebabkan terpapar zat kimia. Meski begitu, zat kimia bukanlah satu-satunya penyebab kanker kulit. Kena paparan sinar matahari serta sejumlah virus tertentu juga bisa menimbulkan kanker kulit.

Mendengar cerita kakak saya, rasanya saya jadi takut juga. Maka tak ada kata lain ketika nanti saya bertemu dokter onkologis saya akan saya keluhkan hal bisul-bisul di kepala saya ini dengan harapan saya bisa memperoleh pemeriksaan yang teliti guna menghindari kanker kulit atau apa pun yang mengancam keselamatan jiwa saya. Bagaimana pun juga, kanker memang penyakit yang mematikan.

***

Bicara soal penyakit kanker ngerinya memang luar biasa. Kalau bisa sih lebih baik kita tidak usah mencari tahu apa dan bagaimana itu kanker. Tapi sehubungan dengan penyakit saya, adakalanya pasien penasaran juga untuk mempelajari kasus orang lain sebagai bahan pengetahuan dan pembanding dengan kondisinya sendiri. Begitulah yang semalam saya lakukan. Secara iseng saya masukkan sederet kata kunci ke mesin pencari data. Lalu hasilnya, muncul sangat banyak informasi mengenai kanker, termasuk kanker payudara.

Sungguh luar biasa saya masuk ke sebuah tulisan yang kemudian merujuk blog lain yang khusus dibuat pemiliknya untuk membahas kanker payudara. Kata si perujuk, blog itu banyak manfaatnya karena penulisnya adalah penderita kanker payudara itu sendiri. Jadi kira-kira sama dengan saya menulis blog ini.

Saya kemudian membuka link yang ditunjuk, tapi disapa oleh seseorang yang mengatakan bahwa blog itu dihentikan pengisiannya untuk sementara karena pemiliknya tengah terbaring di ICU untuk mengatasi kanker payudara yang diidapnya. Ada pun si penyapa tak lain dan tak bukan merupakan sahabat si pemilik blog yang sejak semula memang mengelola blog itu atas nama si penderita.

Begitu membaca berita si penderita terbaring di ICU, ciut nyali saya. Terbayang bagaimana repotnya dokter mengatasi penyakit ibu tadi yang sesungguhnya seperti apa pun saya tak tahu. Tapi secara acak kemudian saya mulai menelusuri isi blog itu. 

Masya Allah, saya menyesal telah membukanya. Sebab isinya menggambarkan keganasan serangan kanker. Buru-buru saya tutup blog itu dan saya kembali asyik dengan permainan yang akhir-akhir ini saya pakai untuk mengalihkan perhatian saya dari rasa sakit dan kesedihan menghadapi penyakit saya. Toch sekali lagi saya tekankan, saya cuma manusia biasa, yang meski pun berupaya untuk sabar dan tawakal tetapi tetaplah manusia yang punya sejuta rasa. Lalu saya pun banyak-banyak menyebut nama Allah di dalam hati, istighfar. Saya takut akan kena Murka Allah sebab saya tak ikhlas seikhlas-ikhlasnya diganjar dengan penyakit ini.

Rasanya sejak membaca blog itu semalam, mulai sekarang saya takut blog walking ke situs-situs yang membahas kanker. Sebab saya tahu kanker memang terbukti kejam sekali. Dan saya takut terseret ke dalam pusaran kekejaman si sel ganas yang tak kenal kasihan itu. 

Hari ini badan saya serasa lemah. Perut saya berulah semakin menjadi-jadi sehingga saya tak bisa jauh dari kamar kecil. Belum lagi soal bisul-bisul yang tak terduga itu nyangkut menyita pikiran saya. Ah, rasanya saya ingin segera bertandang lagi ke dokter onkologi saya untuk memastikan apa yang terjadi pada diri saya. Saya perhatikan surat sakti dari pemerintah yang bisa dipakai membebaskan diri saya dari segala biaya pengobatan kanker yang amat mahal itu. Waktunya hampir habis, tinggal dua hari pemakaian lagi. Karenanya tak ada lain hari, besok saya harus mengurus perpanjangannya kembali. Untunglah anak saya ada di rumah dan bersedia menguruskannya dengan suka rela. Maka, apakah saya harus mengeluh juga, sedangkan banyak kenikmatan yang telah saya peroleh? Duh, malunya saya di hadapan Allah................

(Bersambung)

Senin, 29 April 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (52)

Maut bukanlah urusan manusia. Itu yang saya tangkap ketika menyaksikan dengan tiba-tiba kematian Ustadz Jeffry Al Buchori pemuka agama yang disukai ummat Islam di seluruh penjuru Nusantara. Bukan kematian ustadz Jeffry itu yang disukai ummat, melainkan sosoknya sebagai pemuka agama yang menyejukkan hati orang banyak. Oleh karenanya dianggap sebagai suatu kehilangan yang sangat bagi ummat ketika malaikat maut menjemputnya di pagi buta.

Tak seorang pun siap untuk menerima kehilangannya yang tiba-tiba. Tak juga pada keluarga almarhum meski mereka tahu bahwa sang pemuka agama kecintaan ummat sedang dalam keadaan sakit. Meski juga di dalam akun twitternya beliau sempat mengingatkan manusia bahwa jika di dalam kehidupan terjadi kejenuhan, maka sebaik-baik tempat untuk mengatasinya adalah kembali kepada Allah Subhanahu wa Taala. Jadi apa pun yang menjadi pertanda bahwa ajal sudah dekat, tetap saja manusia tak akan siap menghadapinya.

Sebaliknya, bagi pasien penyakit-penyakit berat, meski dokter mengatakan penyakitnya sukar disembuhkan tetapi jika Allah masih belum memanggil, maka umur panjang masih tersedia baginya untuk memperbaiki diri dalam pertaubatan. Sebaliknya, sekalipun si pasien nampak macam orang sehat dan kuat menjalani rangkaian pengobatannya, namun jika Allah menghendaki untuk kembali, tak ada kata lain selain berserah diri kepada takdir dan sabar.

Begitu hasil obrolan saya dengan para sepupu yang kemarin pagi sengaja datang menengok dari Bekasi dan Tangerang Selatan beramai-ramai. Mereka nampaknya ingin membuktikan sendiri sejauh mana "keperkasaan" saya di dalam melawan penyakit kanker yang mengharuskan saya menjalani kemoterapi yang amat menyakitkan. Mereka tak puas hanya menyaksikan foto saya yang dibagi-bagikan oleh anak-anak saya kepada kerabat dan keluarga di akun jejaring sosial yang mereka miliki. Saudara-saudara saya tetaplah ingin menjadi saksi mata keadaan saya yang tangguh dan semakin membaik. Mereka ingin menjadi saksi yang menguatkan pendapat bahwa pengobatan medis yang dipadu dengan pengobatan herbal terbukti dapat membawa manfaat bagi pasien kanker.

Adinda Rohmatin yang sudah kehilangan uni Elly kakak iparnya akibat sengatan kanker payudara mengatakan beliau dulu sempat dioperasi dan dikemoterapi juga. Seperti halnya saya, tubuh almarhumah Elly gemuk, tidak menjadi kurus. Tetapi meski demikian ia tak bertahan lama. Asisten apoteker yang sudah menjadi warga Jakarta asli itu akhirnya pergi untuk selama-lamanya setelah menderita kesakitan yang amat sangat. 

Begitu pula dengan Yuni, sahabat karib sepupu saya ini. Bahkan Yuni yang masih melajang hingga akhir hayatnya, nampak tak mampu menyembunyikan ketakutan dan kesedihannya menderita kanker payudara yang kemudian menyebar hingga ke tulang belakangnya. Ketika banyak teman bersimpati dan ingin membantu mengatasi penyakitnya, almarhumah Yuni memilih berkurung diri sebab merasa dirinya bukanlah perempuan yang dulu lagi setelah dia kehilangan sebelah "mahkota kewanitaannya". Separuh hatinya merasa berbeda dari wanita lain, separuh lagi putus asa atas penderitaannya. Begitu keluhannya ketika Titin sepupu saya nekad mengunjunginya di suatu hari. Menurut Titin, Yuni kelihatan kurus kering dan sama sekali tak bernafsu makan. Mungkin pikirannya yang sedih telah mengakibatkan dia kehilangan gairah hidupnya.

Menurut dik Titin, kedua pasien itu sangat jauh berbeda dibandingkan saya yang kala itu duduk berdampingan dengannya dan kerap dipandanginya dengan sepenuh cinta di kedalaman matanya. Sehabis dikemoterapi keduanya kesakitan. Mual hingga muntah, pusing, perut kembung, diare dan konstipasi bergantian ditambah sariawan menyerang mereka. Akibatnya, tentu saja mereka tidak mendapat asupan gizi yang cukup sehingga semakin melemah lalu tak lagi mampu melawan penyakitnya. Sedangkan saya, meski kemoterapi saya sudah berlangsung dua kali, tetap bergairah dan tak mengalami keluhan macam-macam kecuali berkurangnya nafsu makan, gangguan di perut yang berganti-ganti seperti almarhumah Elly dan Yuni serta rasa panas di tubuh saya yang anehnya tak pernah dikeluhkan orang.

Mereka berdua kata adik sepupu saya, semata-mata bersandar kepada pengobatan dokter. Sedangkan saya mendobeli pengobatan dokter dengan pengobatan herbal dibarengi totok syaraf. Selain itu saya pun mengikuti aturan diet ketat yang dianjurkan sinshe yakni menghindari segala macam daging serta mengutamakan makan sayur serta buah-buahan yang mengandung antioksidan tinggi. Akan halnya dua pasien tadi, sepupu saya tak tahu benar apakah dulu mereka juga menjalani diet ketat seperti saya atau tidak. Yang jelas katanya, sepanjang kemoterapi berlangsung mereka dianjurkan makan protein banyak-banyak untuk menjaga stamina yang terganggu oleh obat kemoterapi yang sebetulnya hanya dimaksudkan untuk membabat habis sel-sel kanker yang jahat.

Zaitun sepupu saya yang lain menceritakan tetangganya yang juga menderita kanker payudara. Sama halnya dengan saya, kanker payudara tetangganya mencapai kelenjar ketiaknya sehingga membuat lengannya bengkak. Itung menanyai saya, apakah saya tidak merasa kesakitan di tangan seperti tetangganya? Pasalnya dia melihat saya seperti orang sehat duduk dengan nyaman tanpa beban apa pun di tangan saya, sedangkan tetangganya itu selalu memilih duduk di kursi yang memiliki sandaran lengan supaya bisa meletakkan tangannya yang terasa sakit di situ. Tentu saja saya menjawab sakit. Akan tetapi saya masih mampu menanggungnya. Maka baik ketika duduk maupun tidur, tangan saya bebas bergerak atau mengarah ke mana saja, hanya terasa sakit ketika saya gerakkan ke atas. Saya pun lantas teringat seorang pasien yang sempat saya jumpai di RS dengan kondisi yang persis sama dengan yang diceritakan sepupu saya Itung. Waktu itu karena di ruang tunggu klinik tak ada kursi bersandaran lengan, maka pasien itu mencari sederet bangku kosong untuk membaringkan tubuhnya. Namun dia tetap nampak tidak nyaman dan meringis menahan sakit hingga perlu ditenangkan anaknya yang mengantar ke RS. Itung menambahkan, tetangganya bahkan selalu tidur dalam keadaan duduk sebab menahan rasa nyerinya. Beruntunglah saya tidak mengalami apa yang dirasakan pasien itu.




Silahkan cari siapa yang dinyatakan sakit di foto ini

***

Sepulangnya kerabat saya, iseng-iseng saya membuka internet untuk mencari informasi mengenai kemoterapi. Ternyata secara mengejutkan saya membaca banyak pasien yang jadi semakin menderita karena kemoterapi, persis cerita sepupu saya. Di antaranya tertulis demikian, "Rasa mual itu selalu ada, bersamaan dengan pengobatan itu sendiri. Kanker menghadirkan rasa sakit yang tidak jelas, tapi kemoterapi merupakan serangkaian ketakutan yang mencekam tiada akhir, sampai aku mulai berfikir bahwa pengobatan itu sama buruknya, atau bahkan lebih buruk lagi, dari penyakit itu sendiri ……"

Bahkan secara lebih spesifik, disitir pula ungkapan seorang menteri penerima cangkok hati yang pernah amat menderita akibat kemoterapi yang dijalaninya karena kanker hati. Keluhannya begini, "Setelah dikemo itu, rasanya luar biasa tidak karuan. Sakit, mual, mulas, kembung, melintir-lintir, dan entah berapa jenis rasa sakit lagi menjadi satu. Sampai-sampai saya tidak bisa memisah-misahkan bentuk sakitnya itu terdiri atas berapa macam rasa sakit."  Beliau bahkan menyatakan lebih baik mati saja daripada harus dikemoterapi lagi. Untungnya permintaan beliau ini tak dikabulkan Allah, hingga sekarang beliau bisa berbuat banyak untuk bangsa dan negara ini.

Agaknya semuanya tidak salah. Yang salah adalah saya. Sebab saya betul-betul perkecualian. Tak aneh jadinya kalau saya sampai menimbulkan decak kagum tenaga medis hingga menginspirasi mereka untuk menjadikan saya sebagai motivator bagi pasien lainnya. Tapi sudah barang tentu kondisi ini patut disyukuri. Begitu menurut saya.

  ***

Jika kita kembalikan kepada perintah agama, maka sabar dan rasa ikhlas menghadapi suatu cobaan adalah kewajiban ummat Islam. Sebab semua itu datang dari Tuhan dengan tujuan untuk menjadikan ummatNya menjadi insan yang tawakal guna meraih surgaNya. Sudah merupakan ketetapan Allah bahwa Dia akan menguji ummatNya dengan berbagai cobaan dan musibah. Tentu saja di antaranya adalah lewat penyakit berat. Tujuannya adalah untuk melihat siapakah di antara mereka yang sabar, serta yang manakah di antara mereka yang berbalik kepada kekufuran (mengingkari Allah) saat ditimpa musibah. Kufur di sini bisa berupa perasaan putus asa karena tak kunjung datangnya pertolongan Allah atau merasa sedih karena hartanya habis lenyap tak bersisa. Saya akui, saya pun pernah mengalami hal ini karena saya terlalu sering sakit sehingga tabungan kami habis terpakai biaya pengobatan saya. Untunglah saya ingat bahwa semuanya datang dari Allah, sehingga wajar jika diambil kembali olehNya untuk pengobatan saya. Waktu itu saya tersadar akan sebuah ayat di dalam Kitab Al-Qur'an yang menjadi landasan untuk senantiasa bersabar, yang bunyinya begini, "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ~ Innalillahi wa innailaihi raji'un. ~ Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Q.S. Al-Baqarah 155-157)

Karenanya dari waktu ke waktu selagi mengalami ujian kesehatan yang nyaris tiada henti saya senantiasa menengadahkan wajah ke arah Allah semata. KepadaNya saya serahkan diri seraya memohon Pertolongan. Teringatlah saya akan perintah Tuhan di ayat sebelumnya yang berbunyi demikian, "Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan mengerjakan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Q.S. Al Baqarah 153). 

Di sini manusia diingatkan untuk meyakini bahwa Pembimbing bagi orang-orang yang sabar adalah Allah Swt. Akan tetapi tentu saja manusia harus menegakkan shalat yang menjadi tiang agama. Dengan demikian Allah akan ridha kepadanya lalu menambah keimanannya sebagai modal utama di dalam mencapai JannahNya. 


Shalat itu sendiri jika dilakukan dengan khusyu dan dihayati makna ayat-ayat yang wajib dibaca, akan meresap ke dalam kalbu manusia sehingga memimpin jiwanya menetap pada kebaikan yang kekal. Jika kebaikan itu selalu melekat padanya, tak pelak pertolongan Allah akan senantiasa menyertainya sehingga dia pun akan dihindarkan dari kekejian dan kemungkaran yang senantiasa mengintai di muka bumi ini. Itulah yang saya yakini hingga hari ini, yang menurut hemat saya telah membawa saya menjadi pasien yang dianggap orang istimewa. Ya, tidak ada lain yang bisa menolong menyelamatkan dan menyembuhkan diri kita selain pertolongan Allah yang kita Kasihi dengan setulus jiwa nan penuh pengabdian. Insya Allah, siapa pun yang melakukannya akan terselamatkan dari renggutan penyakit yang menakutkan. Saya berharap keyakinan saya ini tak akan salah.

(Bersambung)

Jumat, 26 April 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (51)

Dua puluh tujuh April dua ribu tiga belas. Pukul empat pagi kurang lima belas menit jalanan tentu saja masih lengang meski deru kendaraan bermotor sejujurnya tak pernah berhenti terdengar karena rumah kami di ruas jalan raya yang dijadikan perlintasan penduduk yang mengarah ke pusat kota. Saya memasang telinga lebar-lebar untuk memicu otak saya agar segera bangun sempurna. Sebab hari ini adalah hari pelaksanaan kemoterapi saya yang ketiga kalinya.

Amat bahagia saya karenanya. Terlebih-lebih dokter onkologi saya ketika memeriksa kondisi terakhir saya minggu lalu menyatakan kegembiraannya atas kondisi saya. Sebab seperti dokter bedah umum dan sinshe mengatakan, tumor itu sudah mengecil setelah dua kali dikemoterapi. Artinya dapat disimpulkan dokter telah menemukan obat yang cocok untuk saya. 

Meski obat-obatan yang akhirnya diberikan bukan dari jenis terbaru yang mahalnya luar biasa itu, tetapi dokter menyimpulkan bahwa pengobatan dengan obat yang saya peroleh berkat jaminan kesehatan dari pemerintah ini cukup bagus untuk menerapi sel-sel ganas saya yang agresif itu. Jadi sangat boleh jadi rencana operasi saya akan dipercepat. Kemoterapi saya hanya butuh tiga kali saja, tidak empat kali sesuai rencana. Baru setelah dioperasi, kemoterapi ini akan dilanjutkan setahun penuh.

Saya begitu bahagia mendengarnya, seperti halnya dokter ketika memegang massa tumor saya di ruang pemeriksaan kliniknya. Sebab saya memang amat berharap bisa sembuh segera mengingat penyakit dan keadaan saya terbukti merepotkan banyak orang. Bayangkan saja, teman-teman baik saya di seluruh penjuru dunia tergerak untuk mencarikan biaya pengobatan saya. Jadi, bagaimana mungkin saya tak ingin lekas sembuh, bukan?


***

Prosedur persiapan kemoterapi sudah saya lakukan semuanya dengan lancar  minggu lalu. Syarat-syarat administratifnya tak bermasalah, bahkan kini semua komponen biaya pemeriksaan didanai pemerintah pula. Lalu hasil pemeriksaan laboratorium dan rekam jantung saya pun memuaskan. Tidak saja hanya memadai untuk menjalani kemoterapi, melainkan juga tak ada yang di bawah angka standar. Padahal menilik pengalaman di ruang kemoterapi tiga minggu yang lalu, banyak pasien yang terpaksa disuntik obat-obatan dulu untuk menormalkan kondisi tubuhnya. Ada yang dikarenakan kekurangan haemoglobin (sel darah merah), leukosit (sel darah putih) maupun thrombosit (bekuan darah di dalam pembuluh darah) bahkan tekanan darahnya terlalu tinggi. Padahal itu semua harus dikondisikan normal supaya obat-obat kemoterapi yang akan diberikan dapat diterima tubuh dengan baik. Sebab jika tidak, pasien akan menjadi lebih sakit lagi sebagaimana yang biasa dijumpai pada pasien-pasien yang tengah dikemoterapi.

Dokter dan perawat sebetulnya senang atas kondisi saya ini, namun mereka tentu saja tak bisa lepas dari keheranannya mengingat tubuh saya nampak amat bugar dan tak pernah terlihat sakit sebagaimana penderita kanker lainnya. Saya pun mengakuinya, sebab semua orang memuji saya sebagai pasien dengan kondisi istimewa termasuk dokter di Puskesmas desa saya serta pengurus Yayasan Kanker Indonesia. 

Ini kembali diulang para perawat yang sabar-sabar di RS tempat saya berobat tadi pagi. Jadi ceritanya, dengan penuh semangat saya berangkat sepagi mungkin ke RS akan dikemoterapi. Dalam bayangan saya, ketika saya sudah bertemu muka dan bicara lisan dengan Perawat Kepala, ibu Maria yang cantik hatinya saya pikir obat-obatan sudah tersedia untuk saya di hari Sabtu ini sesuai perintah kemoterapi dokter onkologi saya. 

Waktu saya memeriksakan diri ke klinik onkologi, dokter saya yang baru pulang dari workshop panjangnya di Spanyol memerintahkan kemoterapi saya ketiga pada hari ini. Prosedur kemoterapi langsung dipersiapkan, termasuk pemesanan obat kemoterapi ke apotik RS. Ketika resep obat-obatan itu kami serahkan ke apotik, pegawai apotik tidak mengatakan obatnya harus dicari dulu. Juga ketika saya bertemu dengan Zuster Maria, beliau pun tidak mengindikasikan bahwa obat kemoterapi saya belum ada. Jadi saya berasumsi hari ini saya akan menjalani kemoterapi ketiga, dan setelahnya segera dioperasi.

Nyatanya, sesampainya di RS petugas di bagian pendaftaran pasien kemoterapi menyatakan saya masih masuk daftar tunggu pasien kemoterapi. Artinya belum bisa dikemoterapi hari ini disebabkan sudah ada pasien-pasien lain yang mendapatkan gilirannya. Barulah saya kemudian menyadari bahwa RS ini punya keterbatasan ruangan sebagaimana RS besar yang menjadi pusat penanganan penyakit kanker nasional, RSKD di Jakarta tempat pertama kali saya dibawa teman-teman saya dari DWP Kemenlu berobat. Di sana meski tersedia banyak tempat tidur dan ruang rawat kemoterapi, tetapi pasiennya tetap kedengaran mengeluhkan lamanya jadwal tunggu giliran. Dua orang ibu penderita kanker payudara yang mengobrol di dekat saya kedengaran seperti bersungut-sungut menyesali dirinya yang masih harus menunggu waktu. Persoalannya, beliau memang bukan penduduk Jakarta melainkan pasien dari daerah yang dikirim berobat ke RSKD. Sehingga mereka harus mencari penginapan di luar RS sampai tiba saatnya dikemoterapi. Berbeda dengan saya yang bisa pulang ke rumah karena kampung saya hanya di selatan Jakarta saja. Apalagi dokter onkologi saya pun berpraktek di kedua RS ini. Jadi, seandainya saya tidak kunjung mendapat ruangan di RSKD saya dengan mudah dikemoterapi di kampung saja meski ruangan juga terbatas. Sebab, pasien di sini tentu saja tak sebanyak di rumah sakit pusat itu.

Jadi ketika saya ngotot sudah bicara langsung dengan Perawat Kepala, petugas di bagian pendaftaran menyuruh saya masuk ke ruang kerja Zuster Maria. Kebetulan sekali perawat onkologi yang mengasisteni dokter saya juga ada di situ. Bersama-sama keduanya menjelaskan bahwa saya diminta bersabar menunggu panggilan bu Maria. Sebab, meski saya sudah disuruh dokter menjalani kemoterapi di hari tertentu, tetapi dokter sama sekali tidak tahu apakah obat serta ruang rawat kemoterapi siap untuk saya gunakan. Dalam kasus saya, ruangan sudah terisi penuh oleh pasien-pasien yang jadwalnya juga tertunda di minggu lalu. Apalagi apotik belum memberikan lampu hijau tentang ketersediaan obat-obatan yang akan saya pakai.

Dari pembicaraan yang menyenangkan dengan bu Maria serta bu Nining dua perawat favorite saya, jelaslah bahwa di RS daerah obat kemoterapi tak mudah didapat. Pertama-tama tentu saja apotik harus mengecek ketersediaannya di gudang RS. Jika tidak ada atau tidak lengkap, mereka harus memesannya ke Jakarta. Artinya dibutuhkan waktu yang agak lama untuk menyiapkannya sebelum akhirnya obat-obatan itu diolah kembali sehingga betul-betul siap dimasukkan ke tubuh pasien. Kalau tidak salah sih istilahnya "dioplos". Yang saya ketahui dari salah seorang pasien yang pernah menjalani kemoterapi di RSUPN "dr. Tjipto Mangoenkoesoemo", di sana obat-obatan tidak dioplos oleh pihak apoteker melainkan diserahkan langsung kepada perawat yang bertugas di ruang kemoterapi. Penyebabnya sangat boleh jadi karena meluapnya pasien yang harus dikemoterapi. Jadi sesungguhnya, dikemoterapi di RS di daerah amatlah menguntungkan pasien. Dengan begitu meski pasien harus sedikit bersabar, tak ada salahnya sama sekali. Toch semua berproses dengan baik. Pasien akan menerima obat yang betul-betul baru dengan dosis yang tepat di bawah pengerjaan apoteker RS.

Kedua perawat favorite saya tadi memuji saya sebagai pasien tersiap dan tergagah. Tentu saja mereka mengacu kepada penampilan saya yang semakin gemuk, segar seperti bukan pesakit kanker. Saya kemudian membuka rahasia perawatan saya di sinshe. Mereka sama sekali tidak melarang karena saya katakan saya mengatur asupan obat itu sedemikian rupa sehingga tidak berbenturan antara obat dokter dengan obat herbal itu. Akhirnya mereka malah seperti ingin mempertemukan saya dengan seorang pasien yang masih muda, janda beranak satu yang kelihatan terpukul ketika mengetahui dirinya terserang kanker.

 Zuster Maria Perawat Kepala di RS "Karya Bhakti" Bogor



Teh Nining di sebelum memulai tugasnya sedang menerima pengarahan dari atasannya


Betul sekali, diberitahu dokter tentang penyakit kanker, seorang pasien tentu saja akan langsung kaget dan ketakutan. Jadi sangat jarang pasien yang justru seperti saya kegirangan karena akhirnya mendapat penjelasan medis yang pasti bahwa penyakit yang selama bertahun-tahun mengganggu kehidupan ada namanya. Tidak sembarangan pula, penyakit kaum elite yang disebut "cancer" oleh orang barat serupa rasi bintang saya. 

Pernyataan saya ditanggapi dengan tawa berderai disertai decak kagum mereka hingga suara kami terdengar jelas di luar ruangan. Karenanya perawat dari klinik dokter spesialis syaraf yang bertempat di ruangan sebelah terganggu lalu melongokkan kepalanya ke dalam ruang kerja Zuster Maria yang segera saya sambut dengan seruan nakal. "Ampun pak, ada pasien sedang narsis, sabar ya.........."

Tawa kami semua semakin berderai mewarnai pagi hari yang tidak membuat saya stress sama sekali. Ah, apa gunanya pula stress karena penyakit kanker  sudah jelas bisa diobati dan ada pihak-pihak yang bersedia mengulurkan bantuan antara lain Pemerintah Daerah melalui Jaminan Kesehatan Daerah, bukan? Semoga saja masih banyak pejabat yang terketuk hatinya untuk membantu sebanyak-banyaknya pasien kanker yang tak mampu membayar biaya pengobatannya. Sebab itu tadi, kanker itu penyakit orang kaya, yang artinya kalau tidak punya uang banyak tak bisa berobat. Lagi pula kalau pun punya uang banyak, jika dokter yang menangani tidak teliti, sudah barang tentu harta benda yang dikumpulkan berdikit-dikit habis tak bersisa seperti saya alami di masa lalu. Penyakit saya datang berulang setiap tahun menggerogoti kesehatan, kesabaran serta tabungan kami. Duh, capek deh!

(Bersambung)

Kamis, 25 April 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (50)



Cinta kasih ternyata tak pernah kering dalam kehidupan saya. Meski saya ditinggalkan kepala keluarga kami selagi anak-anak belum mandiri, akan tetapi ternyata peristiwa itu justru menunjukkan kepada kami bahwa cinta kasih itu tak dibatasi oleh hubungan kekerabatan dan darah saja. Sebab bumi Allah itu maha luas, di mana manusia yang menghuninya pun amat banyak dengan segala sifat mereka yang tak pernah terduga bagaimana adanya.

Baru-baru ini teman-teman lama saya bergantian menengok ke rumah. Nyaris seperti diatur, mereka tak datang serempak. Agaknya di antara mereka seperti sudah ada kesepakatan untuk bergiliran datang supaya saya lebih sering lagi bertemu dengan orang-orang di luar lingkungan rumah saya agar saya tak merasa ditinggalkan seorang diri serta terasing. Sepertinya mereka ingin menunjukkan bahwa saya tetaplah bagian dari kelompok mereka, meski saya pernah diracuni bisikan syaithon yang memaksakan kehendaknya untuk menempatkan saya pada posisi terkucil. Subhanallah, Tuhan Maha Adil! Mereka ingin menghibur saya dan mendorong supaya saya bisa melupakan segala kepahitan serta penyakit saya agar bisa lekas sembuh.

Memang demikianlah, suasana yang menggembirakan hati dipercaya akan membantu mempercepat kesembuhan seseorang selain tentu saja upaya-upaya medis. Setelah kunjungan teman-teman sejawat satu angkatan dari kalangan Korps Pejambon Enam yang mengantarkan uang bantuan pengobatan saya, masih ada lagi kunjungan teman sejawat yang datang dari salah satu negara Eropa. Di sela-sela kesibukan menikahkan putrinya di Surabaya, beliau sengaja bertandang ke tempat saya sebelum kembali ke tempat tugasnya. Dulu pun ketika saya dihadang masalah amat berat, beliau menyempatkan diri menengok saya dan anak-anak untuk membantu menyelesaikan persoalan kami. Karena itu saya tak akan pernah lupa kepada beliau yang terhitung orang bijak tersebut.

Tak hanya itu, seperti yang sudah saya ceritakan di jurnal sebelumnya saya kedatangan teman lama dari Kanada yang juga membawa titipan tanda simpati teman-teman kami di sana. Kedatangannya yang juga sekalian akan menengok adik iparnya yang dikabarkan sakit serupa saya serta ternyata sama-sama berobat di sinshe saya menjadi penguat keyakinan saya bahwasannya ternyata saya tidak pernah dikucilkan orang. Masih sangat amat banyak orang yang peduli kepada saya. Sehingga sempat terlintas untuk membujuk iparnya yang sakit itu untuk kembali ke sinshe dan menjalani pengobatan ganda seperti saya. Keinginan ini sudah saya sampaikan melalui teman yang membawa kami berobat ke sinshe karena saya sendiri sebetulnya belum kenal dengan pasien tadi. Sayang kemarin di harinya saya berobat ke sinshe tak terlaksana, sebab teman saya tak kelihatan datang apalagi orang yang akan saya bujuk tadi. Dengan menahan kecewa saya mencoba mengerti mengapa kami tak bisa bertemu. Pasalnya teman kami di dalam jawaban SMS nya memenuhi permintaan saya mengatakan, sebaiknya saya tak usah mempercakapkan pengobatan sinshe dulu kepadanya meski saya boleh bertandang ke rumahnya kelak dengan diantarkan teman saya ini. Terbersit di pikiran saya bahwa si pasien agaknya sudah jenuh dengan penyakitnya sehingga tak lagi peduli dengan pengobatan apa yang dijalaninya. Ah, menyedihkan sekali. Sebab saya percaya bahwa segala upaya pengobatan terutama yang nyata-nyata membawa hasil sebaiknya terus dilakukan dengan segala cara. Apalagi soal ongkos berobat, sinshe kami termasuk sinshe yang relatif berjiwa sosial tanpa mementingkan ongkos pengobatan dari pasiennya. Saya telah membuktikan itu. Uluran tangannya sangat membantu menguatkan stamina saya dalam melawan serangan kanker yang masuk kategori agresif berdasarkan pemeriksaan laboratorium anatomi RSK Dharmais.

Hari ini kejutan manis itu datang lagi. Sahabat sejati saya yang suaminya merupakan mantan atasan langsung mantan suami saya kembali datang mengantar seseorang dari masa amat lalu saya. Istri purnakaryawan yang kini sudah almarhum itu terkenal amat pendiam dan halus budi bahasanya. Sebagai putri Parahyangan dari kota yang dilingkupi gunung dan perbukitan asri serta samudera sekalian, Sukabumi, bu Tien amatlah menyenangkan. Keluarga beliau terkenal dermawan sejak dulu. Meski posisi almarhum suaminya dapat dikatakan cukup baik dan berpengaruh, tetapi mereka tak sombong. Inilah yang membuat saya sudah menduga akan kedatangan beliau ketika sahabat akrab saya berkirim SMS meminta izin untuk datang membawa kejutan lagi untuk saya tapi tak disebutkan siapa orangnya.

Setiap gerak langkah yang ditimbulkan bu Tien adalah keindahan yang menyejukkan jiwa. Tutur katanya yang amat lembut adalah cerminan sejuknya air tanah Sukabumi yang menghidupi manusia di sekitarnya. Bu Tien yang senantiasa berdandan trendy tetaplah ibu yang berpola pemikiran sarat tradisi. Yakni sebagai perempuan atau ibu sejati hendaknya tidak banyak bicara dan datang dengan nasehat-nasehatnya yang tidak perlu. Beliau cukup membawakan kehangatan cinta kasih lewat cerita-cerita keluarganya sendiri yang amat menyentuh kalbu yang membukakan mata saya bahwa kanker itu memang harus dilawan semampunya. Sebab ternyata, kemenakan beliau yang turut saya kenal ternyata telah meninggal muda dibabat kanker kelenjar getah bening yang merangsek menghabisi isi perutnya mulai dari rahim, indung telur semacam yang saya derita dulu bahkan hingga usus besar dan usus halusnya. Dia terlambat berobat sebab senantiasa menyepelekan rasa sakit yang dideritanya, sehingga ketika usianya genap 47 tahun dia meninggalkan dunia yang fana ini dengan anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya yang belum mandiri. Tapi bu Tien menyampaikannya kepada saya dalam kata-kata yang terpilih sehingga tak mengagetkan dan merenggut kebesaran semangat saya untuk melawan kanker.





Kunjungan ibu Tien Sukarna yang duduk di sebelah saya bersama kak As dan mbak Naning

Siapa sangka sekarang bu Tien sudah berumur lebih dari delapan windu? Sosoknya yang masih gagah ditunjang oleh gigi geliginya yang nampak utuh serta rambut yang menghitam kelam membuat saya terpicu untuk ikut-ikutan ingin merawat diri sebaik-baiknya. Cucunya yang sudah sembilan orang adalah harta karun yang membahagiakan beliau, begitu yang saya tangkap dari obrolan kami. Sedangkan putrinya yang empat orang adalah wanita-wanita karier yang bisa dibanggakan sebab punya potensi yang baik untuk memajukan bangsa ini.

***

Lagi-lagi kanker kelenjar getah bening kedengaran di telinga saya. Namun berbeda dari yang saya lihat sendiri dulu, pada pasien ini kanker itu menyerang perutnya, bukan rongga dadanya seperti pasien yang dulu berobat dari rumah dinas mantan suami saya di Singapura. Kondisi ini mengingatkan saya pada kemenakan teman saya yang juga saya lihat sendiri ketika di Singapura, penderita kanker kelenjar getah bening yang mengeluh sakit perut. Jadi, almarhumah Endah adalah pasien kanker kelenjar getah bening yang saya dengar untuk ketiga kalinya sepanjang hidup saya.

Menurut cerita bu Tien, pasien yang satu ini mengalami sakit perut namun disepelekan. Dia seringkali keluar-masuk kamar kecil tetapi selalu dijawab sedang masuk angin jika ada yang menanyakan sebetulnya apa yang terjadi padanya. Hingga suatu hari perutnya membesar. Tapi lagi-lagi dia berdalih perutnya kembung, hingga benar-benar merasa kesakitan sehingga keluarganya memaksanya berobat ke RS di Jakarta. Di RS itu mula-mula dia didiagnosa menderita radang usus buntu yang membuat perutnya membengkak. Kemudian barulah dokter mencurigai tumbuhnya massa di dalam rongga perut. Tetapi semula dicurigai sebagai tumor kandungan yang belakangan diketahui merupakan kanker kelenjar getah bening yang tumbuh di rongga perut sehingga menempel di ususnya baik usus besar maupun usus halus serta rahim berikut indung telurnya. Dapat dibayangkan bukan seberapa besarnya tumor itu? Juga rasanya yang amat menyiksa?

Saya pun dulu mengalaminya bersamaan dengan tumbuhnya kista yang dinyatakan jinak di indung telur saya. Sehingga pembengkakan di indung telur itu menempel di sebagian usus halus saya yang akhirnya membusuk dan dibuang sebanyak sebelas sentimeter saja. Meski akhirnya dokter yang merawat saya di Singapura membebaskan saya dari jeratan penyakit kanker lewat hasil patologi anatomi yang mereka lakukan, nyatanya di tahun berikutnya penyakit saya tak ikut musnah. Saya masih terus saja mengeluhkan nyeri yang sama berikut kegiatan keluar-masuk kamar kecil persis seperti almarhumah Endah hingga akhirnya sekali lagi saya harus merelakan perut saya dijamah untuk menghabiskan organ kandungan saya yang masih tersisa berupa sebelah indung telur saya. Barulah sejak itu saya merasa lebih baik, meski rasa sakit sesekali terasa hingga kini yang entah apa penyebabnya. Pernah dokter ahli penyakit dalam saya di negeri kecil mungil itu mendiagnosa sebagai "Irritable Bowel Syndrome/IBS" (sindroma irritasi usus) sehingga saya harus rutin memeriksakan diri dan mengonsumsi obat-obatan yang katanya akan sangat menolong meski nyatanya tidak. Tapi saya tak bisa menggugat, sebab menurut keterangan baik dokter saya maupun naskah-naskah kedokteran, penyakit ini tak diketahui apa penyebabnya. Jadi saya terpaksa berpasrah nasib. Untunglah ketika akhirnya kini saya menderita sakit di payudara saya, penyakit yang nyaris tanpa nama itu mempunyai "derajat" yang tinggi, yakni kanker. Jadi mendengar kisah penderitaan kemenakan ibu Tien ini saya hari ini merasa yakin bahwa apa yang disebut IBS oleh dokter saya di Singapura berikut tumbuhnya jaringan liar di sekitar organ reproduksi saya secara terus-menerus dari tahun ke tahun dulu itu sesungguhnya adalah kanker jua. Namun saya kini justru merasa amat beruntung, karena kanker itu tak bisa merenggut nyawa saya. Insya Allah.

Sebagai penambah semangat saya berjuang menghadapi ganasnya kanker, ibu Tien menghadiahi saya sepasang telekung cantik berikut kitab suci dan buku doa. Subhanallah, ternyata selalu ada cinta kasih yang menghampiri saya tak terduga. Sebagai pengingat akan pentingnya memohon kepada Allah, bu Tien bijak menyentil saya lewat pemberian beliau. Pesannya seraya menyerahkan hadiah istimewa itu, hendaklah saya mendoakan juga beliau dan keluarganya seraya berpasrah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Siapa pun tahu Tuhan itu si Empunya hidup. Jadi, hendaklah kita senantiasa bersandar kepadaNya. Cinta kasihNya seluas samudera, dan saya sudah membuktikannya, alhamdulillah!



(Bersambung)

Rabu, 24 April 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (49)

Banyak orang yang benar-benar terkagum-kagum melihat kondisi saya. Begitu yang saya simpulkan ketika saya membaca komentar teman-teman di jurnal saya yang dihiasi foto saya duduk berdua dengan tetamu saya dari Kanada. Belum lagi E-mail, dan komentar yang masuk di laman FB anak saya serta telepon internasional yang mendekatkan jarak ribuan mil. Saya dianggap kelihatan amat sehat. Alhamdulillah, saya bersenang diri karenanya.

Betul adanya, tak seperti kebanyakan pasien kemoterapi berat tubuh saya, memang naik kurang lebih lima kilogram. Lagipula saya tak mengalami gangguan sakit yang berarti. Cuma rasa lelah saja yang juga tak sampai membuat saya kelihatan lesu. 

Rahasianya terletak pada pengaturan makanan juga istirahat yang cukup ditambah penggunaan obat herbal. Dalam kasus saya, saya sama sekali tak makan daging-dagingan sebab daging itu potensial menyuburkan sel-sel kanker. Apalagi daging merah yakni sapi, kerbau, kambing dan domba dalam konteks agama yang saya anut. Sedangkan daging ayam dan itik juga tidak baik dikarenakan pakannya kerap dicampuri zat-zat yang juga bisa memicu suburnya sel kanker itu. Jadi, protein yang saya makan berasal dari ikan air tawar, yakni mujair, mas, patin atau nila. Saya bahkan tak lagi makan ikan lele yang gurih itu sekarang ini, sebab menurut penyintas kanker yang menularkan pengetahuan dan pengalamannya kepada saya, di balik gurihnya daging lele, ada pakan yang membahayakan kesehatan manusia juga. Mana pula lemaknya terbilang tinggi. Dia tahu itu karena diberitahu oleh dokter yang merawatnya. Itulah pentingnya penderita kanker saling berinteraksi dengan sesamanya. Supaya bisa bertukar pengalaman dan berbagi.

Daging-dagingan yang sesekali masih saya cicipi hanyalah serpih-serpih ayam kampung jika saya sangat ingin makan bubur ayam. Sebab daripada saya tidak bernafsu makan sama sekali, ada kalanya saya ingin makan sesuatu yang sedikit gurih namun tak membahayakan. Ayam kampung itulah yang diizinkan sinshe saya. Tapi mengolahnya tidak memakai bumbu penyedap yang mana pun juga termasuk Vetsin yang kerap diplesetkan orang di kampung saya menjadi "Micin". Berkurangnya nafsu makan pada penderita kanker yang dikemoterapi memang lumrah terjadi, termasuk pada diri saya yang mendapat pujian sangat istimewa alias luar biasa itu tadi. Jadi, demi memenuhi kebutuhan makan, saya beranikan diri makan bubur ayam supaya saya cuma makan sedikit sekali ayam tapi sudah ada rasa nikmatnya.

Protein yang masuk ke dalam tubuh saya antara lain saya dapat dari protein nabati berupa tempe dan tahu. Ini adalah makanan yang murah meriah namun cukup baik gizinya. Buah-buahan pun bisa dipilih dari kalangan buah yang sedang musim, namun yang tak mengandung getah. Misalnya manggis, mangga, juga buah-buahan murah meriah yang nyaris ada setiap masa yaitu jambu biji dan sirsak. Saya memprosesnya menjadi juice selain memakannya begitu saja. Konon kata salah seorang kontak saya di situs ini, jangan diberi gula karena gula juga memicu pertumbuhan sel kanker. 

Di masa kemoterapi begini, saya bahkan rutin makan pepaya baik yang berupa pepaya matang segar maupun pepaya setengah matang yang saya proses menjadi asinan pepaya. Rasanya yang manis-asam agak sedikit pedas terbukti amat membantu saya menghilangkan rasa tidak enak di lambung yang diakibatkan oleh obat kemoterapi. Itulah sebabnya saya tidak pernah sampai muntah-muntah, sehingga tubuh saya tetap bugar bahkan gemuk. 

Asupan susu juga saya peroleh dari susu kedelai segar, bukan yang sudah diberi pengawet. Kalau kita beruntung, di sekitar tempat tinggal kita pasti ada yang menjualnya di dalam kantung plastik dengan harga murah. Sedangkan bubur kacang hijau saya makan sebagai makanan pencuci mulut atas anjuran dokter yang kebetulan teman saya, supaya tumbuhnya kembali rambut yang rontok dibabat obat kemoterapi menjadi subur dan lebat. Oh ya, sinshe dan artikel-artikel ilmiah yang saya peroleh dari berbagai sumber membuat saya juga kadang-kadang membuat es rumput laut sebagai ganti bubur kacang hijau, sebab kandungan zat gizi rumput laut diakui cepat membunuh sel kanker. Terkadang saya menggantinya pula dengan pudding agar-agar yang saya beri perasa dari buah segar semisal strawberry atau mangga. Pokoknya pada intinya, karena penyakit kanker membutuhkan perawatan yang amat mahal, maka pasien kanker harus menyiasati makanannya menjadi makanan bergizi yang murah-meriah walau tidak berarti harus murahan. Silahkan simak pudding dan juice yang saya produksi di dapur rumah tangga kami ini :





 








(Keterangan gambar dari atas ke bawah : pudding nenas-jeruk, juice buah naga merah, pudding strawberry dan juice brokoli-mentimun)

Jadi sebetulnya kalau kita mau menyesuaikan diri dengan kondisi keuangan kita yang sudah sangat pas-pasan sehabis dipakai berobat, kita bisa membuat hidangan sehat sesuai dengan ketersediaan bahan yang murah di pasaran. Sehingga tidak akan ada tubuh yang lemah, kurus dan nampak sakit. Setidak-tidaknya itulah yang saya kerjakan. Namun ini semua masih ditunjang dengan ketenangan jiwa. Sikap saya yang nampak seperti tak menanggung beban lebih dikarenakan mental anak-anak saya serta orang-orang terdekat saya yang tangguh dan gigih mendampingi saya. Tak pernah mereka biarkan saya melihat kesulitan-kesulitan mereka. Bahkan sedapat mungkin mereka selalu berupaya menyenang-nyenangkan saya. Saya teringat ketika baru saja penyakit saya terdeteksi meski belum secara medis di dokter onkologi ~baru di dokter bedah umum dan sinshe~, anak saya mengajak saya menonton konser musik yang menyanyikan seraya menirukan band fovorite saya semasa remaja dulu, Koes Plus. Mereka mengumpulkan uang jajan mereka untuk menyewa mobil lalu membawa saya ke Taman Mini Indonesia Indah khusus untuk menonton konser bertajuk "Komunitas Jiwa Nusantara" itu hingga saya merasa amat puas yang akhirnya justru berujung petaka. Malam harinya sakit saya amat menyengat sehingga saya harus "bertapa" selama sekian hari di atas pembaringan saya. Tapi kemudian saya justru bisa bangkit kembali melawan penyakit saya dan melupakan kesulitan hidup kami hingga sekarang. Ya, hidup ini untuk bersenang-senang karena dunia dan isinya itu indah. Selamat petang!

(Bersambung) 
 

Senin, 22 April 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (48)

Manusia macam apakah saya ini, sepertinya saya selalu merasa kurang berguna dan tidak bernasib untung? Itu yang sering terlintas di benak saya ketika sedang diam-diam merasakan nyeri yang intens menggerogoti tubuh saya. Dalam keadaan tak lagi bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang sederhana, saya tentu saja merasa diri jadi orang sia-sia. Apalagi hidup saya kini ditopang orang lain baik secara moral maupun finansial. Terasa benar bahwa saya cuma bisa menjadi beban orang lain dan belum bernasib mujur.

Tapi seringkali juga kemudian terlintas bahwa anggapan saya tidak betul, sebab saya toch ternyata dianggap orang tegar serta mampu menjadi contoh bagi banyak penderita kanker lainnya maupun para wanita yang tak mandiri. Yakni dengan melihat betapa saya masih bisa bertahan hidup serta berjuang semampunya mengenyahkan kanker maka sebetulnya saya ini masih ada gunanya setidak-tidaknya bagi orang lain kalau pun bukan bagi keluarga saya sendiri.

Itulah yang juga disampaikan oleh teman lama saya yang kemarin malam sengaja menjenguk saya ke rumah untuk mengantarkan titipan tanda sayang teman-teman yang sudah seperti keluarga saya sendiri dari Kanada. Retty Iskandar teman saya itu merelakan dirinya berlelah-lelah mencari rumah saya di bawah guyuran hujan senja hari hingga tersasar jauh nyaris menjangkau luar kota Bogor. Pasalnya dia sudah sekitar dua puluh dua tahun menetap di Kanada dan jarang menginjakkan kaki di Indonesia, apalagi di Bogor sini.

Dengan senyum manis teh Retty yang datang sendirian ~betul-betul seorang diri~ dari penginapannya di Cibubur meluapkan rasa senangnya bisa berdekapan lagi dengan saya sejak perjumpaan terakhir kami di tahun 2001 waktu keluarga saya mengunjungi rumahnya di Kincaid Court, Ottawa yang asri. Saya memang sudah mendapat kabar dari kawan kami mbak Lia bahwa Retty akan pulang kampung menengok adik iparnya yang sakit kanker stadium empat seperti yang saya ceritakan di salah satu jurnal saya sebelum ini. Mbak Lia pun sepertinya berharap saya bisa menjadi contoh supaya memotivasi ipar Retty yang katanya sudah sangat lemah. Karena itu teman-teman menitipkan tanda cinta untuk saya supaya Retty bisa langsung melihat saya bukan hanya melalui foto di jurnal saya. Dengan begitu lebih mudah nantinya mengungkit kembali semangat juang iparnya yang ternyata seperti dugaan saya, saya tahu siapa orangnya.

Perempuan yang usianya jauh lebih muda dibandingkan saya itu ternyata sesama pasien di sinshe tempat saya berobat yang juga dibawa oleh teman saya ke sana seperti halnya saya. Teman saya dan sinshe bilang, kondisi pasien yang satu ini lebih lemah dibandingkan saya terutama setelah kemoterapi. Tubuhnya kurus, staminanya melorot. Penyebabnya karena dia tidak tekun melanjutkan terapinya di sinshe kami setelah berobat ke rumah sakit atas permintaan sinshe seperti saya. 

Walaupun dulu sinshe menyatakan angkat tangan dan menyuruh saya ke dokter, tetapi hingga kini terapi totok syaraf dan jamu herbalnya tetap saya jalani. Caranya saya minum jamu tak harus menuruti dosis anjuran sinshe, melainkan disesuaikan dengan obat-obat kimia yang saya terima dari dokter atas sepengetahuan sinshe. Antara keduanya saya selingi waktu dua jam, guna memproses obat yang sudah lebih dulu saya makan agar efeknya maksimal serta tak berbenturan dengan efek obat satunya yang berlainan bahan itu. Di antara jamunya ada semacam asam folat yang berkhasiat untuk mencegah merosotnya kadar haemoglobin (HB) dalam darah yang terbabat oleh efek dahsyat obat kemoterapi. Selain itu, saya diberi energi positif melalui totok syaraf sinshe yang dilakukan semata-mata dengan tangan tanpa bantuan alat apa pun guna meningkatkan stamina saya sewaktu dikemoterapi. Hasilnya sekarang saya merasa badan tetap bugar bahkan cenderung kelebihan bobot. Bayangkan saja, saya bisa naik sebanyak lima kilogram selama dua kali kemoterapi sehingga membuat dokter onkologis saya terpana. Untung beliau masih mengizinkan keadaan ini, daripada saya tidak doyan makan sama sekali lalu menjadi kurus kering kekurangan gizi. Daya tahan yang menjadi modal utama melawan efek kemoterapi jangan sampai melemah, katanya beralasan. Jadi kalau saya tidak takut luka di payudara saya sobek berdarah-darah, saya disuruh berolah raga ringan untuk menjaga berat tubuh saya. Tapi ini harus dilakukan dengan berhati-hati.

Oleh karena itu, mencermati keadaan saya, sinshe dan saudara-saudara pasien yang satu ini mengharapkan saya bisa memotivasinya untuk rajin berobat baik ke dokter di rumah sakit maupun ke sinshe. Apalagi dia termasuk orang mampu. Adapun ongkos berobat sinshe kami boleh dikata hanya sepersekian dari ongkos berobat sinshe-sinshe yang kerap memasang iklan di media massa itu. Ini pun diizinkan dihutang terlebih dulu sesuai dengan kemampuan kantung pasien. Bahkan sepanjang pengalaman saya, saya sendiri seringkali menerima gratisan jamu atau korting harga asal saya rutin datang berobat. Intinya sinshe kami betul-betul berjiwa sosial seperti yang diajarkan oleh nenek-moyangnya di Kuil Shaolin di China sana.

***

Kondisi serupa adik ipar teman saya tadi banyak saya jumpai di RS. Teman sekamar saya sewaktu kemoterapi kemarin yang saya katakan kurus kering lagi lanjut usia ternyata sekarang saya tahu kenyataannya. Penglihatan dan pikiran saya telah tertipu oleh efek kemoterapi ibu yang satu itu. Dia jauh lebih muda dibandingkan saya, baru 47 tahun. Tapi fisiknya kelihatan sangat jauh lebih tua lagi rapuh.

Hari Sabtu kemarin saya berjumpa lagi dengannya di RS. Dia datang sendiri pula. Sedih sekali melihatnya, sebab tubuhnya yang ringkih cuma dibalut sehelai kaus oblong tipis yang dipenuhi noda darah serta nanah persis keadaan saya ketika belum mampu berobat ke RS dulu. Jalannya meski lancar akan tetapi kelihatan menanggung beban nyeri. Betul saja menurut pengakuannya, sejak menderita kanker payudara di tahun 2009, penyakitnya kini menyebar hingga mencapai hati, paru-paru, kulit bahkan ke tulang. Di sekitar tulang punggungnya itulah rasa sakit merajalela melebihi sakit di payudaranya yang luka tapi tak tertangani dengan baik. Soal luka ini sebetulnya mengherankan saya karena seharusnya ketika pasien sudah berobat ke RS maka lukanya akan dirawat dengan baik. Pasien beserta keluarganya juga diajari bagaimana cara membalut luka menganga yang potensial menimbulkan infeksi itu. Inilah yang tak terjadi padanya.

Saya betul-betul iba padanya. Sebab selain sama-sama berobat atas bantuan pemerintah dengan menggunakan Jamkesda seperti saya, pasien ini nampak kekurangan dalam segala hal. Kurus keringnya tubuh beliau patut menjadi penanda kekurangan nutrisi. Minimnya perhatian dari keluarga merupakan hal lain lagi yang memprihatinkan. 

Dari rumahnya di kawasan Kecamatan Bojonggede beliau sering datang ke RS sendirian menggunakan KRL. Dapat dibayangkan suasana di atas KRL ekonomi yang berdesak-desakan itu plus keadaan anak tangga naik ke dalam kereta, yang amat menyusahkan. Saya sendiri pun yang relatif lebih gagah sering kewalahan meski naik kereta disertai anak saya. Pasalnya tubuh kami sama-sama pendek, dan kondisi kesehatan kami sama-sama buruk. Waktu itu beliau bercerita seringkali terpaksa tidur di mushala RS karena kemalaman pulang berobat. Soalnya jadwal dokter kami kebanyakan sore hingga malam hari, dan karena keterlambatannya mendaftar beliau mendapat nomor-nomor pasien terakhir yang selalu diperiksa lebih dari pukul delapan malam. Hari Sabtu lalu pun demikian, beliau tampak berjalan gontai menuju mushala RS di waktu jam makan siang. Lalu lama beliau tak nampak keluar, sehingga saya mengasumsikan beliau merebahkan dirinya akibat sesak nafas seperti pengakuannya di ruang tunggu klinik ketika saya ajak mengobrol. Rasanya saya ingin menolongnya, tetapi apa daya, saya sendiri dalam serba keterbatasan. Saya pun hanya bisa mendoakan semoga selanjutnya anak atau sanak keluarganya ada yang rela mengorbankan diri mereka untuk mendampinginya, atau ada pengurus serta relawan YKI yang menolongnya. Tak terasa menggenanglah air di pelupuk mata saya, sambil merenungi betapa seharusnya saya merasa sangat bersyukur lagi atas keadaan saya sekarang.


Ya berkat kemurahan hati istri Walikota Bogor ibu Hj. Fauziah Budiarto, MM yang juga mengetuai YKI Bogor saya bisa menikmati kemewahan. Dalam arti kata pengobatan dan perjalanan penyakit saya dipantau baik-baik. Sekalian mendapat nutrisi yang amat dibutuhkan penderita kanker. Agaknya tidak demikian dengan wilayah lain. Seorang pasien lainnya yang berasal dari Kabupaten mengatakan tidak pernah dikunjungi dan dibantu YKI. Mereka takjub mendengar cerita saya soal kiprah YKI Bogor yang tidak hanya punya program di atas kertas. Sebab wacana mereka untuk memerangi sebanyak-banyaknya kasus kanker di wilayah kota Bogor dilaksanakan dengan baik. Saya berharap ketika nanti kami berganti Kepala Daerah, YKI masih akan terus dipimpin oleh insan-insan yang peduli dan penuh dedikasi mendampingi para penderita kanker. Sebab, ah ya, kanker itu, sekali lagi saudara-saudaraku, sangat menyakitkan. Sengatannya tidak hanya melemahkan daya tahan fisik seseorang, juga mental keluarganya yang kebingungan menerima tugas tak terduga dari Allah Sang Pemilik Hayat. Semogalah saya bisa diberi panjang umur dan diizinkan ikut serta kelak memberi perhatian kepada teman-teman penderita kanker lainnya yang tertebar di seputar Bogor dengan kondisi ekonomi-sosial yang beragam. Saya ingin membalas budi kepada semua pihak yang telah berbaik hati mengorbankan harta, benda dan perhatiannya untuk saya dan anak-anak semisal teman-teman saya di Ottawa, Kanada yang datang bersimpati diwakili ibu Retty Sari S. Iskandar seperti di momen temu kangen yang sempat diabadikan keluarga saya di bawah ini :







~Ungkapan terima kasih saya dan anak-anak ditujukan kepada :
Keluarga Dino Fikrie, Keluarga Ari Asmono (budhe Ninik), Keluarga Zulkarnain Dahlan, Keluarga N.T. Soegondo (oom Kentus dan tante Lia) serta terutama keluarga Deddy Hendarna (wa Deddy dan tante Retty)~

Semoga Allah memberikan balas amal-kebaikan anda semua sebanyak-banyaknya, sehat-sehatlah selalu agar kita masih diizinkan berkumpul berjumpa lagi!

(Bersambung)
  



Sabtu, 20 April 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (47)

Genap dua minggu sudah sejak kemoterapi kedua saya. Artinya tinggal seminggu lagi saya menjalani kemoterapi ketiga. Jadi hari ini saya diwajibkan bertemu dengan onkologis yang akan menetapkan jadwal kemoterapi saya serta memutuskan berapa kali pada akhirnya harus dikemoterapi sebelum payudara saya diangkat semuanya termasuk kelenjar ketiak yang sudah membengkak. Kebetulan dokter itu sudah tiba kembali dari perjalanan panjangnya ke luar negeri mengikuti workshop yang saya yakin akan banyak manfaatnya untuk kemajuan penanganan pasiennya di masa yang akan datang.

Tapi hari ini ada lagi yang lebih membahagiakan saya selain berprakteknya kembali dokter onkologi saya itu, yakni kunjungan istri Walikota kami yang akan menyampaikan bantuan dari Yayasan Kanker Indonesia kota Bogor (YKI Bogor). Menurut informasi yang disampaikan pejabat di kelurahan tempat tinggal saya sepagi mungkin beliau akan bertandang menjenguk saya, sebab selain saya ternyata masih ada lagi penderita kanker lainnya yang juga harus dibantu. Jadi sambil menyesuaikan dengan jadwal kontrol saya ke RS tepat pada pukul sembilan pagi beliau bersama rombongannya tibalah.

Tak disangka, sangat banyak yang ikut rombongan itu. Selain tentu saja pengurus YKI ada juga dokter Kepala Puskesmas desa, Lurah, serta sejumlah pejabat lainnya yang sulit saya rinci satu demi satu. Benar-benar baru kali ini saya dikunjungi rombongan orang banyak yang merupakan orang-orang berpengaruh di daerah kami, sehingga tentu saja saya agak kikuk menghadapinya. Sebab terus terang saja saya pikir istri Walikota kami hanya akan disertai Lurah desa beserta istrinya, dokter Kepala Puskemas dan Ketua Kader Posyandu RW saya sebagai penanggung jawab pemeliharaan kesehatan warga di kampung kami. Saya lupa bahwa ini di Indonesia, di mana suatu kantor pegawainya sangat banyak. 

Kepada saya ibu Dra. Hj. Fauziah Budiarto, MM yang nampak amat peduli kepada warganya ini menyatakan berniat mengunjungi para penderita kanker yang berada di wilayah kota Bogor untuk melaksanakan kiprah YKI Bogor yang dipimpinnya. Tujuannya selain untuk menengok kondisi pasien, YKI juga berniat memotivasi para penderita untuk rajin berobat sampai sembuh. Pendampingan diberikan melalui pemantauan kesehatan, pemberian nutrisi untuk pasien sambil dituntun melalui serangkaian pengetahuan tentang penyakit kanker dan perawatannya. Itu juga yang dilakukan terhadap saya, meski ujung-ujungnya beliau justru merasa terkagum-kagum menyaksikan bugarnya kondisi saya serta tingginya semangat saya di dalam mengelola penyakit yang menakutkan ini sehingga tetap tak menyebar ke organ-organ lain seperti kebanyakan pasien lain. Bahkan saya kemudian serasa mendapat kehormatan ketika beliau dan Kepala Puskesmas desa saya dr. Nur yang dari pembawaannya nampak shalihah mengemukakan niat beliau untuk suatu hari nanti membawa saya serta di dalam kegiatan-kegiatan kampanye memerangi kanker sebagai motivator bagi sesama penderita.

Saya cukup terkejut ketika kemudian salah seorang di antara rombongan itu memotret kami diikuti pemberian bantuan yang diserahkan langsung oleh ibu Dra. Hj, Fauziah ke tangan saya. Dalam pesannya beliau mengharap donasi yang dikumpulkan para relawan pegiat YKI Bogor dari berbagai pihak hendaknya dapat saya gunakan untuk mencukupi kebutuhan gizi saya selama sakit. Sebab setiap waktu-waktu tertentu kami para penderita akan kembali dikunjungi untuk pemantauan kondisi kesehatan. Saya segera teringat foto yang saya lihat di koran daerah mengenai kunjungan beliau dengan timnya ke beberapa Kecamatan sebelum sampai di tempat kami ini. Tak dinyana, sekarang giliran saya mendapat kehormatan dikunjungi. Inilah foto yang saya ambil dari Harian Radar Bogor ketika saya terkesan membaca berita dan melihatnya :




Dan inilah foto yang sayangnya amat tidak memadai untuk dipandang ketika beliau menjenguk saya :




Lihatlah luapan sinar matahari yang menembus jendela rumah saya, sepertinya menunjukkan kehangatan istri seorang pemimpin sejati seperti yang diperlihatkan oleh ibu Fauziah Diani Budiarto, istri Walikota kami dua periode ini. Cermati pula betapa ibu Diani terpesona menyaksikan saya yang masih penuh daya hidup, sehingga ketika baru masuk ke dalam ruang muka rumah kami sempat hendak menuju kamar tidur saya sebab mengira saya sedang terbaring tak berdaya seperti penderita yang saya jadikan bahan perbandingan di foto yang diambil dari koran di atas. Siapa sangka ternyata saya termasuk pasien kanker yang "ajaib", alhamdulillah!

Sewaktu mengantarkan beliau menuju kendaraannya kembali, saya terperangah menyaksikan sekarung beras dan sembako yang diletakkan orang di balik pintu ruang tamu kami. Ternyata, tak hanya bantuan uang belanja, ada juga bahan pangan yang sudah barang tentu amat meringankan kami yang sedang bergulat mencukup-cukupkan dana untuk membiayai kebutuhan sehari-hari sekaligus berobat saya. Pasalnya meski kemarin dulu Kasi Kesejahteraan Rakyat di kelurahan saya mengatakan saya diberi Jamkesda yang kartunya diminta walikota untuk segera diproses, masih ada keraguan di hati saya, apakah dana Jamkesda bisa dipakai untuk membeli obat Herceptin yang diingini dokter onkologi saya?

***

Ternyata dokter onkologi mengungkapkan bahwa berhubung didanai Jamkesda kota, maka obat Herceptin yang direncanakan akan diberikan kepada saya diganti sesuai dengan harga obat yang dijamin oleh Jamkesda. Tetapi bukan berarti obat-obatan lainnya itu buruk, hanya sifatnya lebih ringan jika dibandingkan dengan Herceptin yang baru-baru ini digalakkan untuk membasmi tuntas Virus Her-2 penyebab kanker payudara saya. itu sebabnya dulu ketika pendanaan kemoterapi saya masih dalam tanda tanya beliau menganjurkan saya untuk ikut program penelitian teman sejawatnya di RSK Dharmais sebagai semacam kelinci percobaan. Biaya dijamin gratis, tetapi anak saya menolaknya mentah-mentah. Mereka takut gagal sehingga saya tak tertolong.

Program Jamkesda yang digulirkan pemerintah di berbagai daerah, dananya memang tak bisa diseragamkan di seluruh Indonesia. Masing-masing tergantung kepada anggaran pemerintah yang diperoleh dari Pendapatan Asli Daerahnya ditambah sumber-sumber dana lainnya. Sudah barang tentu di wilayah yang kurang potensi pariwisatanya, pemasukan ke kas daerah tak sebanyak wilayah yang punya banyak objek wisata menarik. Untuk itu dokter saya harus menyesuaikan lagi rencana pengobatannya bagi saya.

Saya diberi obat teringan di antara barisan obat-obat kemoterapi untuk kanker payudara. Rencananya bila obat ini tidak membawa perbaikan yang berarti, saya akan diberi obat yang lebih kuat lagi. Jika itu tetap tak menolong terpaksalah saya diobati dengan Herceptin yang kalau tidak salah harganya mencapai 20 juta rupiah per dosis, belum ditambah obat-obat pendamping lainnya. Untung sekali saya sudah menunjukkan perbaikan. Dokter bedah umum yang menjadi pendamping tetap onkologis saya selama beliau tak bisa menjalankan tugas prakteknya menyebut tumor saya sudah mengecil tak hanya yang di kelenjar ketiak, melainkan juga yang dipayudara. Kemudian sinshe saya pun menyebut begitu. Sedangkan yang terakhir, kemarin siang dokter saya memperkuat lagi diagnosa itu. Puji syukur yang tiada terkira. Jalan menuju kesembuhan semakin nyata di depan mata. Saya harus berusaha keras untuk menggapai kesehatan prima yang sudah sangat lama saya idam-idamkan ini. Artinya, perjuangan belum selesai tetapi sudah setengah jalan. Insya Allah akan saya tuntaskan setuntas-tuntasnya tanpa diganggu kejemuan dan kejenuhan menghadapi rangkaian pengobatan saya. Maka tunggu lah saya di jurnal minggu depan, kemoterapi saya yang ketiga akan segera berlangsung. Saya tetap minta didoakan ya teman-teman, termasuk kepada mbakyu Tri dan mas Dar di tepian Amazon yang saya yakin selalu setia menyemangati saya dengan datang bertandang diam-diam ke jurnal di buku harian saya ini, matur sanget nuwun, hatur nuhun dina sadaya kasaeanana.....

(Bersambung)

Jumat, 19 April 2013

KEINDAHAN SABAR




Seperti yang sudah saya ceritakan di jurnal berseri yang saya tulis sebelum ini, saya akan menerima bantuan dari Pemerintah Daerah untuk pengobatan penyakit kanker payudara saya hari Sabtu (20/04) lusa yang direncanakan disampaikan langsung oleh istri Walikota kami. Bantuan yang sungguh tak terduga ini amat mengejutkan saya dan anak-anak. Pasalnya kami tak pernah datang menghadap langsung ke kantor Walikota, dan kenal pun tidak dengan beliau beserta istri. Tapi begitulah nyatanya, entah mendengar dari mana mengenai kesulitan kami maka beliau berinisiatif untuk memberikan bantuan yang amat berharga ini.

Ternyata menurut teman-teman saya di Dharma Wanita Kementerian Luar Negeri, banyak teman yang tengah bertugas di luar negeri juga mengirimkan bantuan di luar rencana kami. Dana yang jumlahnya boleh dibilang cukup besar untuk ukuran kantung ibu rumah tangga itu, tadi siang telah dikirimkan langsung kepada kami melalui Jakarta. 

Adapun keinginan mereka membantu didasari tulisan-tulisan saya di buku harian elektronik ini yang rupanya telah terpantau luas oleh mesin pencari google sehingga terlacak oleh mereka. Semula mereka tidak menyadari siapa pemilik dan penulis buku harian ini. Akan tetapi setelah mereka membaca banyak akhirnya mereka menyadari bahwa penulisnya adalah satu di antara mereka, yakni saya yang kini sudah berada di luar keanggotaan DWP. Bahkan putri teman saya yang bekerja di sebuah lembaga internasional di New York, Amerika Serikat pun membaca hingga akhirnya mengontak orang tuanya yang tengah bertugas di Amerika Tengah untuk menanyakan kebenaran dugaannya. Setelah ibunya menceritakan ihwal saya panjang lebar serta upaya penggalangan dana yang tengah mereka lakukan untuk saya, sang putri kemudian menyatakan ikut menyumbang. Zakat hartanya diserahkan ke tangan saya lewat ibunya berikut sumbangan dari teman-teman di DWP yang sedang bertugas di New York. Dan tak hanya itu, teman sekampung saya yang sedang mendampingi tugas suaminya di Amerika Selatan pun mengontak teman saya ini untuk menitipkan sumbangan ibu-ibu di perwakilan yang dipimpin suaminya sebab beliau ternyata juga diantarkan google ke rumah peristirahatan saya ini. 

Subhanallah! Sungguh mengharukan, campur menakjubkan tentu saja. Apalagi menurut teman di Jakarta masih ada sejumlah sumbangan lagi dari teman-teman di negara lain yang sudah diterimanya untuk menunggu saatnya diserahkan ke tangan anak-anak saya sebagai dana cadangan perawatan saya. 


Bersama teh Nanan, mbak Sandra dan Ceu Titi (18/04)

Kemarin teman-teman saya di Jakarta datang menyampaikan dana itu ke rumah termasuk teman dari Amerika Tengah yang membawakan titipan putrinya dan teman di Amerika Selatan itu tadi. Sambil mendengarkan cerita saya soal rencana pemberian Kartu Jamkesda dan bantuan dana YKI dari istri Walikota, teman saya meneteskan air matanya. Semua sama tercenung, termangu menunjukkan wajah terheran-heran karenanya. 

"Jika Allah berkehendak Lik, tak ada yang bisa menghalang-halangi rizki yang dihadiahkanNya untukmu," begitu teh Nanan yang tertua di antara kami menyampaikan pendapatnya. 

Saya percaya benar akan hal itu. Sebab menilik QS Al-Ankabut ayat ke-62, tertulis demikian, "Allah melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." Tafsir ayat ini menurut ahli agama adalah bahwa lapang sempitnya rizki sesungguhnya hanyalah ujian bagi ummat manusia. Karena Allah Maha Mengetahui dan Maha Luas pengetahuanNya, maka Dia akan memberi atau menolak permintaan seseorang sesuai dengan hikmah (kebijaksanaan) dan kemaslahatan (guna) nya. Dan karenanya kelak ketika saya sudah menerima bantuan itu nanti, sebaiknya saya tidak menyia-nyiakannya atau memamerkannya untuk bersombong-sombong kepada para penderita kanker lainnya yang tak seberuntung saya menerima bantuan pengobatan yang terkenal mahal itu.

Pendapat teh Nanan teman saya tadi didasari ingatan akan alasan awal penggalangan dana untuk saya di kalangan teman-teman. Waktu itu mereka mendengar bahwa saya menderita kanker payudara yang tak tertangani dengan baik disebabkan keterbatasan dana. Walau saya sudah berobat herbal pada sinshe yang saya akui membawa manfaat antara lain terjaganya stamina serta tak menyebarnya sel kanker di tubuh saya, tetapi akhirnya penyakit saya meruyak juga disebabkan faktor pikiran yang berat. Untuk diketahui, penderita penyakit apa saja termasuk kanker tak boleh berpikir keras. Namun masalah pengobatan ini mau tak mau mengganggu ketenangan batin saya. Dan ketika penyakit itu memburuk dengan cepat maka sinshe yang merawat saya menyatakan angkat tangan lalu menyuruh saya berobat ke dokter sehingga saya semakin kalut memikirkan biayanya. 

Anak-anak saya berupaya mengetuk hati sanak-saudara kami tapi nyaris tanpa hasil. Bahkan orang terdekat mereka pun menutup mata hatinya untuk kami. Maka uluran bantuan dari Pemerintah Daerah yang akan saya terima ini, menurut teman-teman saya merupakan balasan atas kesabaran saya dan anak-anak di dalam menerima ujian dariNya itu. Ceu Titi yang khusus datang dari Amerika sampai berurai air mata menyadarinya lalu menyukuri semua itu.

Ya, teman-teman saya kalau dipikir-pikir benar adanya. Dulu begitu mudahnya "seseorang" mencibir sambil menolak membantu kami. Bahkan pihaknya mengeluarkan kata-kata yang menusuk perasaan. Tetapi kini, ternyata Allah menghapus luka hati kami sedemikian mudahnya tanpa diminta. Bantuan itu datang mengalir lewat tangan orang lain yang bukan sanak saudara kami. Sedangkan sebaliknya, mereka itu nampaknya sedang berupaya keras untuk mencukupi kebutuhannya sendiri yang nyatanya memang sangat jauh di atas standar kehidupan kami sampai mereka terpaksa harus jungkir-balik tidak menentu. Itulah hakekat ujian Allah kepada ummatNya.


Bersama dik Zsizsi, kak As, mbak Moeliek, dik Ilok dan dik Sally (19/04)


Bersama Ade istri penggagas blogger ASEAN (17/04)

Bernasib untunglah saya. Sebab selalu ada cinta dan kasih sayang yang senantiasa menyertai perjalanan hidup saya baik dalam suka maupun kepahitan. Maka di tanganNya saya percaya, semua akan diatur dengan baik untuk kenikmatan siapa yang mengabdi dan menghamba hanya kepada Allah Subhanahu wa taala. Alhamdulillah!

Selasa, 16 April 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (46)

Kelihatannya saya begitu manja dan kurang bersyukur di waktu sakit begini. Sebab setiap hari jurnal saya di buku harian ini isinya cuma berupa keluhan saja. Tapi sebetulnya tidak demikian, saya masih juga merasa beruntung dibandingkan pesakit lainnya sebab saya tidak pernah merasakan sariawan. Padahal kakak ipar saya almarhum ketika dikemoterapi dulu mengalaminya, bahkan juga banyak pasien-pasien lain. Sariawan di mulut itu menyakitkan. Ditambah ada yang mengalami sakit di kerongkongan, jadi semakin menyiksa dibandingkan sakit-sakit yang saya alami.

Seharusnya saya bahkan lebih bersyukur lagi karena ternyata penyakit saya bukanlah penyakit kanker payudara terparah yang dialami manusia. Sebab kemarin malam secara tidak terduga saya menerima kabar lewat E-mail dari teman baik saya di Kanada bahwa iparnya di Jakarta ternyata juga sedang menderita kanker payudara bahkan sudah mencapai stadium empat. Dia sekalian minta nomor kontak saya karena ada teman kami yang akan pulang kampung ke Bogor menjenguk iparnya yang juga kebetulan sama-sama sedang menderita kanker payudara stadium empat. Itu artinya kanker saya yang mencapai stadium tiga masih jauh lebih baik dibandingkan mereka.

Menurut cerita teman saya yang lebih berupa informasi singkat, mereka tidak pernah menyadari kanker payudara menyerang hingga terlambat berobat. Sekarang mereka memang sudah dalam perawatan di RS Kanker Dharmais. Karena merasa tertolong oleh sinshe yang mengakibatkan kanker saya tidak sempat menyebar bahkan dengan dua kali kemoterapi saja sudah mulai mengecil, maka saya menceritakan soal terapi herbal saya di sinshe. Saya berharap keluarganya bisa mendobeli pengobatan secara medis itu dengan pengobatan herbal Cina seperti yang saya lakukan. Dan untuk itu, kawan saya pun menyatakan akan meneruskan informasi yang saya berikan ke keluarga mereka di Indonesia. 

Saya sepatutnya memang amat bersyukur di balik rasa sakit akibat kemo yang saya alami sekarang. Sebab, saya dengan sendirinya sudah menjalani dua macam pengobatan, yakni secara medis empiris meski terlambat dan secara alternatif dengan terapi herbal ditunjang totok syaraf. Tak ada yang tak baik bukan?

***


Syukur itu memang seharusnya tak ada habisnya pada diri saya, sebab secara tak terduga tadi siang saya kedatangan tamu tak diundang yang mengejutkan. Ceritanya telepon rumah saya tiba-tiba berdering. Ketika saya angkat kedengaran suara pak Ketua Rukun Tetangga (RT) kami meminta saya ke halaman membukakan pintu pagar untuk seseorang yang akan bertamu ke tempat saya untuk suatu urusan penting. Dengan segera saya mengikuti permintaan beliau sambil mendapati seorang perempuan sebaya saya berdiri di luar pagar.


Perempuan yang kelihatan terpelajar itu memperkenalkan diri sebagai Ketua Kader Posyandu di RW kami selain pengajar di sebuah universitas. Ketika sedang menyampaikan kuliahnya, telepon selulernya dihubungi Lurah desa kami. Beliau ditanyai mengenai penderita kanker payudara yang membutuhkan bantuan pengobatan di kampung kami. Tapi tentu saja bu Ferry ~demikian nama beliau~ tidak tahu menahu sebab kami memang belum pernah saling mengenal meski tinggal di daerah yang sama. Sebab kami berlainan RT. Singkat cerita beliau kemudian diminta segera menghadap Lurah sebab istri Walikota kami menunggu di Kelurahan untuk mengulurkan bantuan atas nama Yayasan Kanker Indonesia.


Beliau pun bergegas meninggalkan kelas dan mahasiswanya. Sayang sesampainya di Kelurahan ibu Walikota sudah pergi melanjutkan perjalanannya ke Kelurahan lain untuk maksud yang sama. Tapi beliau dipesani untuk mencari siapa penderita itu secepatnya karena ibu Walikota akan kembali minta dipertemukan di hari Sabtu (20/04) nanti. Tentu saja bu Ferry kelabakan lalu bergerilya dari RT ke RT bahkan mengontak istri Ketua RW kami untuk mencari tahu kebenarannya. Sebab setahu beliau ada beberapa penderita kanker di kampung kami, namun semuanya mampu berobat secara mandiri.


Sayang tak ada yang bisa memberikan jawaban sama sekali. Bahkan termasuk istri Ketua Rukun Warga (RW) kami yang menandatangani permohonan SKTM saya pertama kali dulu. Sehingga kecurigaan mengarah ke wilayah RT saya karena pak Ketua RT saya saat itu tak bisa dihubungi. Dengan menanggung cemas dan rasa tidak enak hati bu Ferry berinisiatif untuk menggedor saja pagar rumah pak RT yang kebetulan dijabat oleh pensiunan PNS. Dan akhirnya pak RT bersedia menemui beliau. Dengan jelas pak RT membenarkan sambil menunjukkan rumah saya. Karenanya beliau bisa segera mendatangi saya dan cerita bahagia penuh haru ini dimulai.

Keberadaan Posyandu ternyata memang banyak manfaatnya. Dari kegiatan Posyandu ini kondisi sosial-ekonomi masyarakat suatu daerah terpantau pemerintah. Itu yang saya tangkap dari pembicaraan dengan bu Ferry yang menyesalkan pengurus di RT saya soal kealpaan mereka melaporkan keadaan saya kepada Ketua Kader Posyandu RW. Sebab seharusnya jika ada suatu masalah yang bersangkutan dengan kesehatan baik fisik maupun jiwa seseorang yang memprihatinkan dan perlu dibantu, Posyandu wajib mengupayakan bantuan. Rupanya itu sudah terjadi terhadap warga yang memiiki gangguan kejiwaan beberapa waktu yang lalu. Sarjana universitas negeri terkemuka di Indonesia itu yang dianggap warga kerap mengganggu ketenangan ternyata sudah dirawat di institusi kejiwaan dengan bantuan Posyandu RW. Pantas saja saya sudah tak pernah lagi mendengar keluhan tetangga-tetangga terdekatnya tentang ulah wanita muda yang konon otaknya terlalu cerdas itu. Selain itu kata bu Ferry, seorang penderita kanker juga sudah tertolong berkat bantuan Posyandu dan sekarang berada dalam proses penyembuhan. Jadi, selayaknya saya pun ada dalam pantauan mereka untuk mendapat pelayanan kesehatan yang layak.

Obrolan dengan bu Ferry berkembang menjadi pembicaraan pribadi panjang-lebar setelah kami saling membuka diri dan saya mengetahui bahwa abang ipar bu Ferry adalah mantan kawan saya dan mantan suami di masa remaja dulu. Sehingga bu Ferry batal meluapkan kekecewaannya kepada Ketua Kader Posyandu di RT kami yang juga adalah teman kakak iparnya itu. Bu Ferry kemudian bahkan mempelajari lebih banyak mengenai kegiatan dan kiprah Dharma Wanita Persatuan Kementerian Luar Negeri yang ternyata memang agak sedikit berbeda dengan DWP di dalam negeri di mana beliau tercatat sebagai anggotanya. Beliau angkat topi atas upaya teman-teman saya di seluruh belahan bumi berupaya keras mencarikan dana dan jalan untuk pengobatan saya meski sekarang saya secara resmi sudah bukan anggota DWP lagi. Ya, begitulah kami, di unit-unit kerja kecil keakraban kami terasa lebih erat dibandingkan dengan teman-teman di seluruh Nusantara.

Ketika pembicaraan menjadi kian akrab itu, beberapa kali ponsel bu Ferry berbunyi. Beberapa kali pula beliau terpaksa menjawab panggilan. Ternyata satu di antaranya adalah Lurah desa kami yang memantau keberadaan beliau dan menyampaikan pesan untuk segera menghubungi pihak istri Walikota kami yang sudah tak sabar menunggu di tempat lain. Akhirnya, bu Ferry segera minta diri sambil menyuruh saya bersiap-siap di hari Sabtu menerima kunjungan istri Walikota kami dan Pengurus Yayasan Kanker Indonesia cabang Kota Bogor. Bisa dibayangkan bukan keterkejutan dan rasa ketidak percayaan saya? Sampai-sampai saya harus menggosok-gosok mata saya berulang kali lho untuk memastikan bahwa saya tidak sedang bermimpi. Dan kenyataan ini adalah bukan kenyataan buruk yang selalu dijejalkan untuk menghantui jalannya kehidupan saya oleh seseorang yang amat membenci saya selama ini :-D Alhamdulillah!

Sepulangnya bu Ferry, ketika selesai makan siang dan makan obat, belum lagi saya menyelesaikan sembahyang dhuhur saya yang jadinya agak tertunda, staf Kelurahan datang bertandang juga. Bu Melly yang cantik jelita asal Minangkabau yang pertama melayani permohonan SKTM saya dulu minta bertemu saya diiringkan pejabat Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat yang memuluskan jalan saya dikemoterapi dengan biaya negara. Tak lagi berlama-lama segera saya selesaikan ibadah wajib saya sebab di hati saya berkecamuk juga rasa ingin tahu yang sangat akan maksud kunjungan ibu Walikota ke desa ini.

Amat manis bu Melly hari ini di mata saya, melebihi pertemuan-pertemuan kami terdahulu setiap saya ada urusan di Kelurahan. Sebagai penderita kanker payudara yang sudah sembuh duluan dengan terapi di RS berbeda dari RS saya, beliau terlebih dulu menanyakan perkembangan pengobatan dan penyakit saya. Setelah itu beliau bilang semestinya saya mulai memperketat diet saya yang sebetulnya sudah saya lakukan sejak hari pertama sinshe mendeteksi kanker saya dulu itu. Juga mengingatkan agar saya mematuhi semua resimen terapi yang diberikan dokter, karena pemerintah akan membantu saya sepenuhnya.

Dari situ pembicaraan langsung ke pokoknya, yaitu mengenai kunjungan istri Walikota kami yang akan mengupayakan pemberian bantuan dari YKI supaya saya bisa mendanai ongkos-ongkos administrasi termasuk perjalanan dari dan ke RS di setiap pengobatan saya. Selain itu Kasi Kesra mengatakan bahwa beliau diminta mendapatkan biodata saya untuk dibuatkan Kartu Jamkesda!!! 

Terus terang, terkesiap saya mendengarnya. Sepenuhnya saya sulit mempercayai, karena tak pernah terbayangkan istri orang nomor satu di kota kami sampai tahu kondisi dan kesulitan saya. Betul memang kami sama-sama anggota DWP walau di institusi yang berbeda. Betul juga memang kalau dikatakan kami sejawat karena dulu saya juga merupakan Ketua DWP di suatu tempat meski kecil-kecilan. Tapi tak pernah ada koneksitas, relasi atau apa pun namanya di antara organisasi kami yang memungkinkan beliau sebagai Ketua DWP di Pemdakot mengetahui masalah saya. Toch nyatanya tak ada permohonan atau apa pun secara resmi dari Ketua DWP Kemlu untuk bisa membantu saya.

Tapi semua benar adanya. Tanpa saya berani menanyakan dari mana jalannya sehingga saya terpantau beliau. Yang jelas, patutnya saya amat-amat sangat bersyukur lagi karena kini "a road to happiness and mostly recovery is coming through.........." Sujud syukur!!!

Bersinarnya matahari di sebelah timur menyambut pagi rasanya menandai hari-hari cerah yang datang menyambut saya. Inilah sepenggal lagi sorga dunia bagi siapa yang percaya dan menyerahkan semua persoalannya ke tangan Allah subhanahu wa ta'ala sang Maha Berkehendak. Saya mengusap mata saya yang berkabut air mata kebahagiaan. Dunia yang indah memihak kepada kami anak-beranak rupanya.

(Bersambung)




Pita Pink