Powered By Blogger

Kamis, 20 September 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (7)

Sakit itu sungguh tidak enak. Menyiksa. Tidak hanya diri sendiri yang tersiksa, melainkan juga orang-orang di sekitar si sakit. Dulu saya kerap kali marah-marah tanpa bisa mengendalikan emosi, padahal anak-anak saya masih kecil semua. Tapi itu tak berlangsung selamanya, karena saya malu setelah melihat para pejuang kanker yang punya pekerjaan penting dan prestisius tapi tak pernah mengumbar emosinya seperti saya. 

Tapi hari ini lagi-lagi saya merasa bahwa mengidap sakit itu sungguh menderita. Bayangkan saja, saya hanya sanggup menyapu dua ruangan di rumah serta menyiapkan sarapan saya sendiri lalu tubuh saya sudah tak mau lagi diajak bekerja sama. Padahal kalau melihat gunungan pakaian yang minta disetrika rasanya saya harus segera bergerak. Kaki saya terasa lemas, tubuh saya jadi lunglai kekurangan penyangga. Apalagi setelah saya minumi obat serta air daun sirsak, masih ditambah lagi dengan rasa panas di sekujur tubuh saya. 

Saya sadari saya memang harus tahu diri. Sebab di awal-awal saya merasa sakit yang sekarang ini, saya sering tidak mampu melaksanakan shalat dengan sempurna, karena tubuh saya tak mau dibawa duduk di lantai. Tidur pun saya harus memilih-milih posisi agar nyaman dan tak mengganggu nyenyaknya istirahat saya. Namun setelah berminggu-minggu saya pelajari, alhamdulillah kini tak pernah terulang lagi. Kuncinya hanyalah pada kekuatan tekad saya untuk mengukur kemampuan tenaga yang sudah tak prima lagi.

***

Dalam keadaan begini, saya semakin merasa salut kepada orang-orang yang saya ceritakan terdahulu. Termasuk kepada sahabat baik saya, mantan Ketua Dharma Wanita Persatuan di luar negeri yang juga penderita kanker payudara. Namun beruntungnya, sahabat saya ini adalah penderita stadium awal sebagaimana yang kemudian saya temui juga rutin berobat di Singapura, istri seorang pejabat tinggi di Kemenlu pada masa itu. 

Teman saya ini tidak menyadari dirinya kedatangan tamu tak dikehendaki, yakni sel kanker. Yang menemukan kondisinya justru orang lain, perawat di RS St. Carolus Jakarta temannya di gereja. Sebagai paramedis yang bertanggung jawab, dia senantiasa mengampanyekan kegiatan "Sadari" alias "MemerikSa PayuDara SendiRi" di kalangan teman-temannya. Maka ketika sahabat saya mematuhinya, dia menemukan kejanggalan pada dirinya yang dibenarkan oleh rabaan ulang si perawat. 

Selanjutnya dia diminta berkonsultasi dengan dokter bedah onkologi yang mengusulkan pemeriksaan mamografi terlebih dulu serta test darah di laboratorium. Hasilnya memang menunjukkan ada sel asing di dalam payudaranya. Lalu atas saran teman lainnya yang pernah berobat untuk kasus yang sama di Singapura, sahabat saya disarankan berkonsultasi dengan dokter di Singapura sana. 

Benar saja, dia kedapatan kena kanker payudara stadium I-B yang segera diambil. Payudaranya diangkat, begitu juga dengan kelenjar di ketiaknya. Tapi seingat saya, beliau tidak diharuskan menjalani kemoterapi dan radiasi di Singapura. Jadi asumsi saya, kemungkinan besar semuanya dijalankan di Jakarta atas petunjuk dokter onkologi yang membedahnya di Singapura.

Ketika saya yang baru pindahan dari Jakarta menengok teman saya ini di penginapannya di Singapura, beliau mengatakan bahwa operasinya berlangsung lancar dan cepat. Beliau hanya perlu menginap semalam lalu diizinkan pulang, tapi tentu saja tidak langsung ke Jakarta. Kurang lebih seminggu beliau harus tinggal di penginapannya di dekat rumah sakit, sambil menggendong kantung pembuangan darah bekas operasi yang disembunyikannya di balik blousenya. Hebatnya, sahabat saya yang dulunya sangat takut berhadapan dengan dokter, saat itu justru nampak tenang-tenang saja seakan-akan pasrah. Hanya sesekali beliau menyeringai, ketika lengannya yang berada pada posisi payudara yang dibuang sedang digerakkan sedikit. Selebihnya teman saya nampak baik-baik saja sampai saatnya dia melaksanakan kontrol untuk pertama kalinya pasca pembedahan. Kini sahabat saya ini bahkan telah sehat kembali, sempurna sebagai seorang nenek yang diserahi kepercayaan mengasuh cucu-cucunya.

***

Sesungguhnya yang lebih menakjubkan saya adalah senior kami yang saya ceritakan di atas. Beliau bertubuh mungil dan enerjik. Usianya di atas kami, karena suaminya waktu itu sudah menjabat sebagai "special envoy" alias Duta Besar Keliling dengan penugasan khusus dari Presiden sesuai dengan keakhliannya. Jabatan ini biasanya dipegang oleh pejabat senior yang sudah purna tugas sebagai PNS.

Wanita berdarah Priangan ini amat elok dan senang bergaul, meski bilangan usia ke-enam puluh sudah terlewati. Saya tidak mengenal beliau secara pribadi, tetapi sering berjumpa ketika beliau datang berobat di Singapura.

Ceritanya, penyakit beliau diketemukan setelah melakukan general check up rutin. Di Singapura tumor pada payudaranya dibiopsi, yakni diambil sebagian jaringannya untuk dibiakkan dan diperiksa teliti di laboratorium khusus. Dokter kemudian memutuskan untuk mengangkat payudara sakit itu, karena beliau memang mengidap kanker stadium I juga. Masa operasinya tak saya saksikan, tapi masa kemoterapi dan radiasinya berlangsung sezaman dengan keberadaan saya yang tengah sakit di situ.

Kedua kenalan saya ini ternyata sama-sama tidak pernah merasakan sakit atau gatal-gatal serta kelainan lain di payudara mereka. Berbeda dari kasus saya. Keduanya juga sama-sama memiliki stamina yang kuat. Soalnya, saya dengar dan saya saksikan juga, ibu-ibu itu sehabis menjalani baik kemoterapi maupun radiasi, selalu bersemangat untuk berjalan-jalan di sekitar Orchard Road yang panjang. Soalnya rumah sakit mereka memang di daerah sana sih. Pernah salah seorang anak buah saya di kepengurusan Dharma Wanita Persatuan cerita, ibu yang relatif sudah sepuh itu ternyata sanggup berkelana sampai malam, artinya lebih dari dua jam berjalan kaki. Itu pun masih diikuti oleh kesediaannya untuk duduk makan malam di luar penginapan beliau. Artinya, beliau mesti sabar duduk menunggu pelayan menyiapkan hidangan yang dipesan. Berbeda sekali dengan kondisi saya sekarang bukan?!

Tapi saya tak perlu  berkecil hati, sebab sinshe yang mengobati saya bilang saya masih bisa dibilang kuat. Bayangkan saja, setelah sekian kali saya keluar-masuk ruang bedah untuk pengambilan berbagai jaringan di organ reproduksi saya termasuk sebagian usus saya, toch saya masih bertahan hingga sel nakal itu lagi-lagi mampir menumpang hidup pada saya.

Saya juga termasuk penderita stadium III yang ringan, sebab kasus sahabat saya yang mengantarkan saya berobat ke sinshe ini ternyata jauh lebih berat. Dia berkisah bahwa penyakitnya diketemukan secara tidak sengaja ketika dia datang menemani kakaknya menotokkan wajahnya di sinshe. Sebab yang pertama dilakukan sinshe terhadap pasien-pasiennya adalah meraba kaki dan telapak tangan pasiennya. Itu juga yang dilakukannya terhadap teman saya yang iseng-iseng ikut menotokkan wajahnya. Ternyata sinshe menemukan adanya kelainan di kedua payudara teman baik saya tadi. Lalu totok-menotok dialihkan menuju ke payudaranya, seraya menyuruhnya memeriksakan kadar CA125 yang dipakai untuk mendeteksi adanya kanker melalui darah seseorang di laboratorium. Hasilnya cocok benar. Meski tanpa benjolan yang teraba dari luar, hasil laboratorium teman saya benar-benar di atas normal. Maka sejak itu dia terus-menerus diterapi totok syaraf seminggu sekali serta mengonsumsi jamu yang disediakan sinshe. Waktu itu 7 tahun yang lalu, sinshe kami belum terpikir untuk mengemas jamunya menjadi semacam obat kimia. Jadi, teman saya seringkali memuntahkan kembali obat-obat herbal itu sehingga akhirnya sinshe berinovasi membuat jamunya mudah dimakan. Saya lah yang kemudian beruntung karena menerima obat-obatan yang begini :




Sahabat saya bilang, efek dari totok syaraf itu, payudaranya kemudian baru terasa sangat sakit. Seperti yang saya alami sejak awal, payudara teman saya menjadi bengkak, merah kebiru-biruan, gatal bahkan berair. Benjolan itu akhirnya terlihat, bukan hanya teraba saja. Besarnya menyerupai buah pepaya. Tentu saja sangat mengerikan.

Selama bulan-bulan pertama pengobatannya, dia tak bisa tidur. Apalagi sampai pergi bekerja seperti biasanya. Sebab, untuk bergerak pun dia merasakan nyeri yang sangat di sekitar payudara serta ketiaknya. Setiap hari dia terpaksa berbaring-baring dengan disangga sejumlah bantal, lalu pakaian dalamnya dilepas sama sekali. Katanya kalau dia nekad memakai pakaian dalam, cairan yang keluar dari sekitar puting payudaranya akan merekatkan lembaran kain itu ke tubuhnya mengakibatkan sakit yang sangat. Untung saya tak mengalaminya.

Sinshe menceritakan ulang penderitaan sahabat saya ketika saya berobat kemarin dulu tanpa saya tanya. Maksudnya dia hanya ingin membesarkan hati saya dengan menyuruh saya melihat penderitaan yang dialami orang lain. Nyeri yang saya alami tidak persis sama dengan apa yang diceritakan sahabat saya, yang katanya seperti ditusuk-tusuk oleh lembing. Sebab saya hanya merasakan seperti tikaman pisau dapur yang amat tajam, itu saja. Dan itu pun kalau saya tak pandai-pandai menyembunyikan rasanya, membuat saya menggeliat-geliat untuk menahannya.




Hubungan komunikasi kami yang sebaik ini, amat membantu saya memahami kondisi penyakit saya yang sesungguhnya serta memulihkan rasa percaya diri akan kemampuan sinshe menjadi jalan kesembuhan bagi saya. Begitulah memang seharusnya yang terjadi. Siapa pun tak boleh terkalahkan oleh rasa bosan berobat lalu menyerah begitu saja. Saya telah banyak berkaca kepada mereka, para penderita yang dihadirkan Allah untuk bersama-sama memerangi kanker. Kini saya bulatkan tekad saya kembali untuk sembuh. Toch masih banyak belahan bumi yang belum saya kunjungi selagi matahari sedemikian hangatnya menyertai perjalanan hidup kami.

(Bersambung)

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (6)

Kisah pejabat Kemenlu yang meninggal karena kanker nasofaring ketika masih bertugas sebagai Duta Besar di sebuah negara penting di Eropa pada jurnal yang lalu bukanlah satu-satunya cerita tentang kematian Duta Besar yang masih menjabat tapi kalah dibabat kanker. Seorang lagi saya kenal baik, karena saya dan beliau sakit di kurun waktu yang sama.

Waktu itu saya tengah mengikuti penugasan mantan suami saya di Perwakilan RI di Singapura, 2005. Di tengah-tengah masa pemulihan bekas pembedahan perut saya yang mengambil rahim dan membersihkan kedua indung telur saya, tiba-tiba mantan suami saya menugasi saya untuk menerima tetamu yang datang dari Perwakilan RI di Korea Utara untuk berobat. Karena pejabat itu seorang wanita, maka kepada saya lah tugas ini diserahkan. 

Saya harus mendampingi beliau memeriksakan diri ke rumah sakit, kemudian menemani selama perawatan serta menyediakan kamar berikut jasa perawatan di rumah dinas mantan suami saya. Tugas semacam ini tidak boleh ditolak, mengingat fungsi perwakilan RI di luar negeri antara lain adalah menyangkut unsur pelayanan kepada masyarakat Indonesia/WNI di negara penugasan pejabat yang bersangkutan.

Ketika tiba di rumah dinas kami, ibu yang seorang ini sudah dalam keadaan sakit yang sangat. Tubuhnya kurus kering, kulitnya kusam berkeriput kehitam-hitaman pula. Sedangkan kuku serta bola matanya kekuningan, karena ternyata beliau adalah penderita kanker hati stadium lanjut. Penyakit yang saya ceritakan dulu menyerang ibu mertua saya, didapat beliau di negara penugasannya dengan gejala-gejala perut kembung, tubuh merasa letih lesu diikuti oleh sakit perut serta hilangnya nafsu makan. Di usianya yang baru menginjak 63 tahun beliau jadi kelihatan sangat tua. Namun sama halnya dengan pejabat Kemenlu yang saya ceritakan terdahulu, beliau masih tetap bergairah melaksanakan tugas-tugasnya. Buktinya, ketika tiba di Singapura beliau tetap membawa setumpuk pekerjaan serta mengadakan hubungan jarak jauh dengan anak-anak buahnya melalui jaringan telekomunikasi. Lalu sesekali anak buahnya datang menghadap mengonsultasikan pekerjaan mereka.

Sewaktu di Pyongyang, dokter sudah bisa mendiagnosa dengan tepat penyakit kanker hati beliau. Saya dengar beliau bahkan sempat dirawat di rumah sakit dan mendapat obat-obatan seadanya, dikarenakan negara itu begitu tertutup. Hal ini disebabkan pada suatu hari beliau mengalami pendarahan hebat dari perutnya. Selanjutnya beliau terbang ke Beijing untuk berobat di sana, yang pada akhirnya diputuskan juga untuk berobat di Singapura supaya keluarga beliau dari tanah air mudah datang menengok.

Selama di Singapura yang makan waktu berbulan-bulan beliau menjadi pasien Singapore General Hospital yang mempunyai pusat penelitian dan perawatan penyakit kanker (cancer centre). Tapi di saat-saat kondisinya membaik beliau akan tinggal bersama kami sambil berobat jalan. Bahkan sempat pula beliau kembali ke Pyongyang untuk menengok serta membereskan pekerjaan kantornya.

Yang saya ingat dari kondisi beliau adalah perut yang membengkak juga menumpuknya cairan di kaki (bengkak air = asites) meski beliau sudah mengikuti diet rendah garam selain rendah lemak sesuai anjuran dokternya. Menjelang akhir hayatnya, liver yang bengkak itu sudah mendesak jantungnya, sehingga menimbulkan kesulitan bernafas. Agaknya tak cukup lagi asupan oksigen ke dalam tubuhnya, sehingga beliau memerlukan tabung oksigen selama 24 jam meski sedang tidak dirawat di rumah sakit. Beliau sendiri sih memang tidak cengeng. Saya tidak pernah mendapati beliau sedang menangis, tapi rasa sakit yang dideritanya jelas tak bisa disembunyikan. Adakalanya beliau meringis serta sesekali menghela nafas lalu membuangnya. Di waktu beliau mampu bercerita, beliau akan menularkan semangatnya kepada saya untuk berjuang memerangi penyakit kami masing-masing. Kalimatnya yang paling jadi kenangan saya adalah ketika beliau meratapi teman akrabnya yang meninggal terlebih dulu disebabkan kanker rahim. "Wah bu Eni sudah keok.........," rintihnya seraya menerawang menatap kejauhan yang ditumbuhi pepohonan besar-besar. Adapun tempat favoritnya di rumah dinas kami adalah beranda rumah di mana beliau bisa menyaksikan unggas berterbangan sambil mencericit serta tupai asyik memanjat lalu memaguti buah kelapa sawit yang ditanam orang di sudut halaman. "Di sini enak ya, meski panas tapi ada angin sepoi-sepoi."

Ya, kepanasan, itu adalah salah satu di antara keluhan yang saya dengar sehabis beliau menerima kemoterapinya. Kini saya mengerti bagaimana rasanya setelah saya sendiri mengonsumsi rebusan daun sirsak yang diakui kalangan kedokteran sebagai bahan obat kemoterapi. Tubuh saya pun merasa panas. Keringat akan mengucur deras meski saya sekarang tidak pernah lagi mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang berat-berat mengikuti petunjuk sinshe yang merawat saya. Begitulah ternyata yang namanya kemoterapi. Belum lagi ibu Duta Besar ini mengalami kerontokan rambut serta kulit yang seperti terbakar. Untung saya tak harus mengalaminya karena dulu jenis sel yang menempel di tubuh saya maupun kistanya jinak semua, sedangkan sekarang saya memilih berobat tidak kepada dokter.

Ibu pejabat yang satu ini wafat ketika tugasnya sebagai Duta Besar baru separuh jalan. Beliau tertikam kanker yang tidak terdeteksi sewaktu beliau mengikuti uji kelayakan calon Duta Besar dulunya. Padahal untuk kasus penyakit beliau, tumor di hatinya tidak pernah dioperasi mengingat dokter yang merawat memang tidak lagi bersedia mengoperasi. Yang ada hanyalah penggunaan obat-obatan kemoterapi dosis tinggi saja. Jika dikait-kaitkan dengan kasus kanker hati ibu mertua saya yang juga cuma sempat diobati selama tiga minggu, saya berpendapat bahwa kanker hati adalah penyakit yang mencuri kesehatan kita secara diam-diam. Dia datang dengan cepat, beraksi seperti kilat, pun membawa kita ke liang kubur dengan bergegas.

Akhir hayat pasien yang satu ini menegaskan itu semua. Waktu itu pertengahan minggu di akhir bulan Juli. Saya ingat betul, hari Rabu. Sewaktu saya bangun tidur di pagi hari, saya mendapat kabar bahwa beliau dilarikan suaminya ke rumah sakit di waktu fajar karena kehabisan oksigen dan mulai kehilangan kesadaran setelah semalaman tidak bisa tidur sepicing pun.

Menjelang siang saya menyusul ke rumah sakit, dan mendapati beliau dalam keadaan tertidur, sepertinya lena sekali. Selang infus sudah menancap di tangannya yang tinggal tulang belaka. Begitu pun oksigen menempel lekat lewat bantuan ventilator ke hidung dan mulutnya, hanya saja tak ada suara-suara mesin yang berdesingan seraya mengetuk-ngetuk, sebab beliau ternyata cuma dibaringkan di kamar perawatan biasa. Tidak ada tanda-tanda beliau akan dimasukkan ke ICU.

Suami beliau kedapatan sedang duduk tepekur, seraya memegang telepon genggamnya yang nampaknya sebentar-sebentar terhubung dengan putri mereka satu-satunya di Britania Raya yang tengah mencari ilmu. Atas pertanyaan saya beliau mengatakan bahwa dokter sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi, sehingga beliau dibiarkan dirawat di kamar inap biasa. Pasiennya agaknya sudah dalam keadaan comma, sebab sejak dibawa dari rumah kami beliau tidak pernah lagi membuka matanya. Apalagi sampai bisa menelan makanan lembut yang disediakan di rumah sakit. 

Panik juga saya mendengar penuturan itu. Maka saya berinisiatif untuk mencari tenaga medis dan mendapatkan penjelasan mereka tentang kondisi pasien yang sesungguhnya. Sayang di rumah sakit sebesar itu, tenaga medis tetap terasa kurang mencukupi. Nyatanya tak ada seorang perawat pun apalagi dokter yang bisa menemui saya dan berdiskusi dengan enak. Tapi saya tetap mengejar perawat dan menyatakan keinginan saya agar mereka berbuat sesuatu memasukkan makanan ke tubuh pasien lewat selang sonde yang biasa disangkutkan di hidung atau lewat infus dengan cara disuntikkan. Pokoknya saya berupaya dengan segala cara termasuk cara bodoh yang kalau dipikir-pikir tidak masuk akal, demi meringankan derita pasien yang masih dibutuhkan tenaga serta pemikirannya ini oleh negara. Seorang perawat akhirnya mengakomodasi keinginan saya, dan menyatakan siap menyampaikannya kepada dokter yang merawat beliau.

Apa daya keesokan harinya, Kamis pagi ketika tengah berbelanja kebutuhan dapur di pasar, mantan suami saya menelepon ke telepon genggam saya menyuruh saya segera ke rumah sakit. Dia menerima informasi bahwa tetamu kami dalam keadaan gawat. Rumah sakit berniat merundingkan sesuatu yang penting dengan pihak kami.

Hati saya merintih sedih. Berdegupan di dalam sana, membuat kaki saya ikut-ikutan terpacu melangkah cepat meski sesungguhnya nyeri di rongga perut bekas operasi saya sendiri belum sepenuhnya sembuh. Sepanjang jalan di dalam mobil sudah terbayang hal-hal terburuk, yang akhirnya membuahkan dzikir dan doa untuk saya. Sementara itu otak saya pun tergerak untuk mengontak jemaat gereja Presbytarian Orchard seksi Indonesia supaya mengirimkan kelompok yang bisa memberikan doa penghiburan mengingat pasien kami beragama Protestan.

Di rumah sakit saya dapati pasien terbaring tenang. Tapi suaminya tak ada di situ. Ruang perawatannya kosong dan senyap, membuat saya bergerak ke sana-ke mari mencari keluarga beliau serta tenaga medis yang saya perlukan. Ternyata suami ibu Duta Besar sedang berada di ruang perawat memperbincangkan mengenai kondisi istrinya itu. Saya menarik diri, hanya menebar senyum sambil menjabat tangan beliau lalu beranjak kembali ke kamar pasien menunggu di situ.

Tak lama kemudian beliau menyusul, mengajak saya ke luar ruangan dan menyampaikan kabar dari dokter bahwa pasien dalam keadaan "dying" karena obat kemoterapi resimen terbaru yang dicobakan kepada beliau sama sekali tak bereaksi. Beliau dianjurkan untuk membawa pasien pulang ke Jakarta sesegera mungkin. Duh, betapa terkejutnya saya. Tak disangka, begitu mudahnya otoritas rumah sakit di Singapura memulangkan pasien yang dalam keadaan tiada berdaya. Rasanya mereka seperti tak membayangkan kesulitan kami mencarikan pesawat komersial mengingat ketiadaan dana kalau kami harus menyewa penerbangan khusus. Belum lagi kami diharuskan mencari dokter pendamping dalam penerbangan itu. Bingung betul.

Untunglah dalam kebingungan itu, mantan suami saya dan atasannya beserta istri segera tiba di rumah sakit mengikuti perkembangan berita yang saya kirimkan. Pihak Garuda Indonesia di Singapura pun dihubungi untuk menanyakan kemungkinan menyediakan ticket segera.  Mereka mengatakan akan berunding dulu dengan pihak otoritas di Changi Airport. Sementara itu teman-teman pengurus Dharma Wanita Persatuan pun mulai berdatangan untuk menyumbangkan pemikiran terutama mengenai jasa dokter yang akan dimintai mengantar ke Jakarta.

Beruntunglah salah seorang di antara kami terpikir untuk mengontak seorang dokter asal Indonesia yang bekerja di Raffles Hospital tempat saya berobat melalui petugas penghubung pasien Indonesia di sana untuk dimintai jasanya. Beruntung pula, beliau semua cepat tanggap lalu menyarankan memindah pasien ke Raffles Hospital siang itu juga dengan mengirim ambulans mereka.

Maka malam itu, Kamis, 28/07-2005 pejabat wanita di Kemenlu RI yang mulai disergap aroma kematian ini kami kirimkan ke Raffles Hospital untuk semalam sebagai upaya pemantauan kondisi fisik yang sesungguhnya sebelum diterbangkan ke Jakarta. Di dalam ruang ICU yang tak seberapa luas beliau sempat tersadar sebentar. Tapi tentu saja sudah tak bereaksi, meski matanya nyalang menyapu keadaan di sekitarnya. Lalu keesokan sorenya Garuda Indonesia menyiapkan enam buah kursi penumpang untuk membawa terbang pasien beserta keluarganya bersama para penumpang komersial. Dalam pada itu, putri beliau tiba di saat yang tepat dari Inggris.

Saya sempatkan mencium kening pasien sebelum beliau dibawa dengan brankar ke ruangan dalam airport dari ambulans yang disiapkan pihak dokter di Raffles Hospital. Tubuhnya tentu saja sudah dingin, sebab hidung saya serasa sedang membentur es ketika menyentuh dahinya. Tapi mata beliau yang hitam membulat indah, masih bereaksi dengan hangatnya. Ada sorot mata yang menyentuh hati saya di saat itu. Dibarengi lelehan air mata bening serta senyum yang tipis di bibir tipis yang kini tak pernah lagi disentuh oleh perona. Mata itu tak pernah mengatup sepanjang saya mendampingi perjalanan terakhir beliau di Singapura di senja yang mulai meremang itu hingga ke dalam area keberangkatan. Lalu semuanya hanyalah salam perpisahan untuk selamanya, karena keesokan harinya, Sabtu 30/07-2005 media massa memberitakan kepergian beliau untuk selamanya di RS MMC Jakarta mendahului akhir penugasan beliau yang tak pernah lagi terselesaikan.

Begitulah kanker. Sepertinya tak pernah mengerti kapan dia harus datang. Kapan pula saatnya dia perlu memberi remisi untuk si sakit. Ya, kanker dengan metoda pengobatan empiris selalu tak memberikan kepastian. Itulah sebabnya kini saya menyatakan siap berjuang untuk melawannya melalui jalur pengobatan alamiah. Semoga Allah meridhai upaya saya.

(Bersambung)

Minggu, 16 September 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (5)

Para pejuang yang gigih melawan kanker itu di antaranya adalah salah satu pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri. Di usianya yang ke-59 lelaki tangguh itu terpaksa menyerah terhadap ganasnya kanker nasopharing yang tak lagi mengenal belas kasihan pada tahun 2008. Bayangkan bagaimana hebatnya beliau, sebab tak kurang dari enam belas tahun kanker itu menggerogoti tubuhnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit mencuri stamina yang dibutuhkan beliau untuk menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai salah satu tampuk pimpinan di Kemenlu ketika itu, baik di Pejambon maupun di luar negeri.

Dalam keadaan sering merasa kesulitan bernafas (sesak nafas), sakit pada telinga serta mengeluarkan darah dari hidung, beliau yang kemudian terdiagnosa menderita kanker di sekitar rongga hidungnya sama sekali tak menampakkan ketakutan. Tumor yang ada dioperasi, kemudian beliau juga menjalani rangkaian kemoterapi dan radiasi seperti seharusnya. Hasilnya adalah, selain badan menjadi mudah lelah, kulit menghitam, suara beliau pun hilang. Menyandang gangguan seperti ini bagi seorang pejabat pimpinan kantor tentu sangat mengganggu. Tapi ajaibnya, dengan pendampingan istri yang amat sabar serta penuh kasih sayang, beliau bisa tetap bekerja seakan-akan seorang sehat. Tak ada waktu yang disia-siakan, termasuk keharusannya mengikuti berbagai agenda konferensi internasional di belahan bumi lainnya, mengingat jabatan beliau selain Duta Besar juga Direktur Jenderal yang menangani berbagai hubungan bilateral dan multilateral.

Saya teringat mantan suami saya bertutur, bahwasannya pejabat yang tangguh ini benar-benar hanya mampu berbisik sewaktu memimpin rapat. Sehingga beliau kemudian mengandalkan catatan dan jasa anak buahnya sewaktu bekerja. Demikian juga yang saya dengar dari anak buahnya sendiri ketika itu. Dan akibat kegigihan ini, maka secara ajaib beliau akhirnya bisa bersuara lagi meski sangat lirih dan sengau, sehingga akhirnya dipercaya menjadi Duta Besar di suatu negara besar di Eropa menjelang ajalnya. Beliau meninggal di Jakarta dalam suatu tugas kedinasan. Ketika itu beliau sedang mengikuti rapat konsultasi pimpinan dan bersiap kembali ke Eropa lewat Singapura. Namun, dalam perjalanan ke Singapura penyakit beliau menghebat sehingga beliau terpaksa diterbangkan kembali ke Jakarta dalam keadaan tidak sadarkan diri, lalu berpulang.

Saya kini teringat kembali akan istrinya yang selalu menceritakan semangat almarhum untuk sembuh. Rasa-rasanya sih beliau cuma bertujuan untuk menyemangati saya yang juga sudah mulai sakit-sakitan dan rajin menginap di sebuah rumah sakit di Singapura untuk membuang sebagian demi sebagian organ reproduksi saya yang ditumpangi sel-sel liar meski jinak. Dan waktu itu, tentu saja saya amat menghargai upaya beliau. Jadi, saya pun rajin memeriksakan diri ke rumah sakit tanpa sekali waktu pun terlewatkan.

Juga saya terngiang penuturan anak saya sehabis mengikuti kuliah umum beliau di kampusnya. Menurut anak saya, meski suaranya sangat lirih, tapi pemaparannya sangat mudah dimengerti. Menandakan kecerdasan serta keistimewaan beliau. Siapa pun yang mengenal atau pernah berjumpa dengan beliau pasti sepakat dengan kami yang menilai beliau sebagai salah satu diplomat papan atas yang pernah kita miliki. Ya, seingat saya, konsep "wawasan nusantara" antara lain terakomodasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa berkat kegigihan diplomasi beliau. Begitu sepotong kenangan saya akan perjuangan penderita kanker yang sempat saya lihat di depan mata.

***

Perjuangan mantan pejabat tinggi mengatasi rasa sakitnya agar bisa tetap menjalankan tugas yang diamanahkan bangsa kepadanya, mengingatkan saya juga kepada almarhum ipar saya yang kedua. Konon katanya, ketika berpulang di usianya yang ke 46 tahun beliau cuma sakit sebentar. Waktu itu saya sedang tinggal mengikuti penugasan ayah anak-anak saya di luar negeri.

Sebelum kami berpisahan, setahu saya ipar saya cuma menderita penyakit kencing batu, tak lebih dan tak kurang. Tapi saya akui beliau memang takut berobat ke dokter, padahal beliau kurang pandai menjaga asupan makanannya. Sebagai pencari nafkah yang handal, meski kariernya sebagai birokrat hanya di daerah saja, beliau amat disibukkan oleh kegiatan kerjanya.

Setiap mengerjakan tugas kantor beliau tak lupa membekali diri dengan makanan macam-macam, mulai dari yang gurih hingga yang manis. Dengan cara itu ditambah merokok dan minum kopi, beliau bisa bertahan di balik meja kerjanya hingga tengah malam. Selain itu, beliau kerap makan di luar bersama mitra kerjanya, serta kemudian balik ke restoran itu mengajak anak-istrinya dengan tujuan untuk mencicipi nikmatnya hidangan di sana. Setahu saya yang juga kerap ikut makan malam, semua adalah hidangan penuh lemak yang tak menyehatkan, belum lagi hidangan bakar-bakaran alias aneka panggangan.

Karena beliau tak pernah mengeluh sakit serius, istrinya mengira beliau baik-baik saja. Tekanan darah yang sesekali melonjak bisa diatasi dengan meminum obat-obat pemberian dokter serta jamu godogan yang disiapkan kakak saya, istrinya. Begitu pun ketika akhirnya kedapatan beliau mengalami kolik disebabkan tersumbatnya saluran kemih oleh batu-batu pasir, beliau lebih memilih mengandalkan minum jejamuan saja. Dalam pandangannya, minum jamu bisa melunturkan sumbatan itu, karena nyatanya memang demikian.

Sampai tiba suatu hari, beliau pingsan dan muntah darah sebagaimana yang dialami ibu mertua saya. Waktu itu beliau baru melakukan kunjungan kerja ke desa, meneliti saluran irigasi yang menjadi tanggung jawabnya sebagai Kepala Bagian Pengairan. Di dalam buku harian tulisan tangan istrinya, saya menemukan detail dan perjalanan penyakit yang merenggut jiwanya.

Kakak ipar saya pingsan di tengah-tengah sawah, kemudian dibawa masuk ke rumah Ketua Perhimpunan Petani Pemakai Air di sana. Setelah mendapat pertolongan seperlunya, kakak ipar saya kembali sadar. Lalu beliau minta dicarikan tukang pijat, karena beliau berkilah merasa sangat letih. Sehabis itu beliau pulang ke rumah dinasnya di kota. Apa daya, makanan yang dihidangkan kakak saya hari itu ditolaknya semua, sebab beliau merasa kembung serta mual. Maka ketika beliau memuntahkan darah dan merasa sangat sakit pada perutnya, kakak saya membawa beliau pulang ke rumah pribadi mereka di Bandung lalu mengantarkan ke sebuah rumah sakit swasta terkemuka yang sudah sangat tua, tempat kami biasa memercayakan pemeliharaan kesehatan kami. Di sana, melalui serangkaian pemeriksaan yang teliti, kedapatan kanker telah menyerang hati kakak ipar saya. Beliau tak bisa tertolong lagi, dan meninggal hanya beberapa bulan sesudah itu, sedikit agak lebih lama jika dibandingkan dengan penderitaan ibu mertua saya.

Hampir tak ada bedanya dengan kiprah Duta Besar yang direnggut kanker nasofaring itu, kakak ipar saya dalam keadaan sedang bugar masih menyempatkan diri mengerjakan tugas-tugas kantornya. Termasuk ketika untuk pertama kalinya beliau pingsan di tengah-tengah sawah itu. Padahal menurut penelitian dokter yang merawat sebetulnya sebelum pingsan itu, kesehatan beliau sudah sangat buruk. Ginjalnya tak lagi berfungsi sempurna, sehingga kalau dihubung-hubungkan dengan pengamatan kakak saya kemudian benar adanya. Cerita di dalam buku harian kakak saya mengisahkan betapa dia kerap khawatir menyaksikan tubuh suaminya yang berubah tambun tanpa kejelasan yang pasti. Saya menduga itu adalah gemuk air yang diakibatkan oleh kerja ginjalnya yang sudah buruk tanpa disadari.

Adakah kakak ipar saya melalaikan olah raga seperti saya? Tidak. Beliau rutin mengelilingi padang golf juga lapangan tennis setiap minggu, bahkan di saat sedang mengunjungi orang tua kami di Bogor sini. Kegiatan yang juga dilakukan oleh almarhum Duta Besar yang gigih itu tadi. 

Kini saya tergerak untuk mencari tahu sebabnya, selain gaya hidup yang salah, benarkah kurang olah raga juga menjadi pemicu kanker? Saatnya saya terus bergulat, mencari banyak pengetahuan dari sana sini untuk menjawabnya. Saya berharap masih punya cukup waktu sebelum suara seruling dibunyikan malaikat penjemput maut. Insya Allah.

(Bersambung)

Jumat, 14 September 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (4)

Ketika saya tersandera oleh penyakit yang membuat saya tak berdaya sendiri, ingatan saya kerap berkelana melayang-layang. Menembus waktu, melibas zaman, hingga hinggap di masa silam yang ternyata memang cukup kelam.

Betapa tidak? Coba bayangkan, bahwa berdasarkan cerita dari keluarga mertua saya, saya berkesimpulan bahwa gen kanker merayapi keluarga mereka dan menggerogoti satu demi satu nyawa yang ada.

Ayah mertua saya, dibabat habis oleh kanker usus besar yang berawal dari paru-paru beliau di usia yang belum mencapai bilangan tujuh dasa warsa. Menurut kisah yang dituturkan banyak orang tua-tua, beliau sempat dirawat di Sanatorium Tjisarua, Rumah Sakit khusus perawatan penyakit paru Tuberkulosis di kaki Gunung Pangrango-Gede yang sejuk. Ketika penyakitnya tak kunjung membaik, keluarga kami memindahkan perawatan beliau ke tengah kota ke rumah sakit yang cuma satu-satunya waktu itu, RSU PMI Bogor. Dikabarkan ibu mertua saya, penyakit bapak membuat bapak menderita karena perut bapak kembung akibat konstipasi. Dalam pada itu, dari anus bapak mulai keluar darah segar yang menjadikan fisik bapak semakin lemah. Entah apa yang ada di dalam pemikiran para dokter yang merawat beliau ketika itu, maka beliau kemudian dialihkan ke Rumah Sakit Paru Persahabatan di Jakarta, yang berhasil mendiagnosa penyakit beliau sebagai tumor paru-paru yang menyebar hingga ke usus besar. Tapi sayang semua sudah sangat terlambat. Bertahun-tahun waktu kami terbuang percuma, hanya untuk mendapatkan diagnosa yang paling mendekati kenyataan seperti itu, hingga akhirnya Allah mengambil bapak dan menempatkan beliau dalam kedamaian abadi di suatu subuh dalam dekapan ibu mertua saya, istri beliau. Kini saya tahu, penyakit ini adalah kanker paru-paru yang metastesis menjadi kanker kolon (colorectal cancer) seperti beberapa pasien yang saya temui belakangan ketika saya menetap di Singapura dan menjalani serangkaian pembedahan untuk kasus di dalam organ kandungan saya itu.


Tak hanya bapak mertua saya, ibu mertua pun berpulang akibat penyakit kanker hati tepat ketika saya juga sedang kehilangan anak pertama saya, cucu beliau yang pertama. Ibu mertua sakit amat mendadak, membuat saya tidak begitu yakin akan kebenaran penyakitnya.

Waktu itu teknologi pengobatan sudah modern, di awal kurun waktu tahun 1980-an, penyakit kanker sudah dikenal luas. Ibu mertua saya hanya mengeluhkan nyeri pada perutnya, mual dan muntah darah sebelum akhirnya kami menyerahkan beliau dalam perawatan dokter ahli penyakit dalam yang sudah bertahun-tahun merawat ibu kandung saya yang terserang hepatitis B. 

Hanya tiga minggu mama bertahan, sebab dokter mengatakan kami terlambat membawa mama berobat. Bayangkan saja, betapa tidak, selama ini mama adalah seorang tua yang sehat di usia yang ke-61 tahun. Staminanya sangat luar biasa. Mama masih sanggup berjalan kaki jauh ke pasar pulang-pergi sambil menjinjing keranjang belanjaan yang berat sendirian. Kebiasaan itu dilakoninya sejak muda, ketika bapak mertua saya meninggal dunia selagi mantan suami saya baru kelas 5 SD. Setelah wafatnya bapak, mama bekerja sebagai pembuat kue kering yang laris. Pelanggannya sangat banyak. Selain itu kegemaran mama di dapur juga menghasilkan aneka masakan yang kerap dipesan orang. Teringatlah saya kini akan rendang Padang mama yang lezatnya mengucurkan air liur, dengan bumbu merah cabai yang menarik selera. Itulah salah satu lauk-pauk yang kerap dipesan orang, selain kue lemper ketan yang dibungkusi mama mengikuti cara orang di kampung nenek moyang kami di Kebumen sana.

Sesekali memang mama mengeluhkan tubuhnya yang tidak lagi segar. Kata beliau sih rasanya mudah lelah, haus, kembung, dan tidak bernafsu makan. Namun tak pernah sekali pun mama mau diajak berobat ke dokter. Hanya berkunjung ke Puskesmas sajalah yang dilakoninya, memanfaatkan kartu Askes PNS yang ditinggalkan almarhum bapak mertua saya. Dan celakanya, di Puskesmas mama didiagnosa mengidap penyakit gula. Lalu lebih celaka lagi, mama selalu keras kepala tidak mau melanjutkan pemeriksaan kesehatan lebih dalam untuk memantau kondisi yang sesungguhnya. Mama lebih memilih minum jamu dan menggunakan obat yang dibeli di toko obat berpedoman kepada obat yang diresepkan dari Puskesmas. Apalagi menganjurkan mama beristirahat, pasti ditolaknya. Beliau akan tetap aktif bergerak sepanjang hari, bahkan seperti hari-hari terakhir sebelum tumbangnya beliau.

Siang itu mama berbelanja ke pasar. Belanjaan mama masih teronggok penuh di keranjang di sudut dapur, ketika di malam harinya ternyata mama muntah darah yang sangat mengerikan. Itulah satu-satunya alasan yang membuat mama menyerah dibawa berobat ke dokter, bukan lagi ke Puskesmas. Dan ternyata, itulah juga kesempatan terakhir kami merawat mama sebaik-baiknya.

Sebab hingga sekarang masih terngiang-ngiang kata-kata dokter yang sudah sangat mengenal saya dengan baik di saat memberitakan keadaan mama. Amatlah mengecilkan hati kami, membuat saya menyesali diri tak terkatakan.

Mama mengidap kanker hati stadium akhir yang tak bisa lagi diselamatkan dengan operasi. Apalagi rangkaian kemoterapi dan radiasi yang biasa menyertai pengobatan kanker, sudah mustahil dilakukan. Kata dokter yang halus budi karena berasal dari kota serimpi, Solo, penyakit mama tidak berkembang sedikit demi sedikit seperti penyakit ibu kandung saya, melainkan langsung menghebat dikarenakan beberapa kemungkinan. Yang terutama adalah karena faktor kebersihan makanan. Besar kemungkinan mama sering mengonsumsi makanan yang sudah berkali-kali dihangatkan, yang karenanya ditumbuhi oleh bakteri jahat yang disebut Aflatoxin B1. Belum lagi mama kurang beristirahat serta cenderung mengabaikan pengobatan yang terkendali, jika mengingat mama kerap sembrono membeli obat-obat yang seharusnya hanya boleh dikonsumsi dengan resep dokter, tapi dibeli bebas mama di toko obat di pasar.

Mama pun meninggalkan kami tanpa pernah mendapat pertolongan yang layak. Itu dikarenakan tak ada lagi upaya yang bisa dilakukan dokter untuk menyelamatkan nyawa beliau, membuat tiga minggu yang mengerikan itu menjadi batu sandungan bagi saya yang ingin membahagiakan mama. Sebab saya sendiri sedang dalam masa nifas sehabis melahirkan anak sulung saya yang juga meninggal sebelum saya sempat memandikan apalagi memanjakannya. Mama berpisahan dari kami tanpa sempat kami dampingi. Hari itu mantan suami saya, putra beliau yang tunggal sedang dalam keadaan duka mendalam meratapi kematian si kecil sambil menemani saya yang juga masih saja meluapkan kepedihan. Mama wafat di sebuah rumah sakit di Jakarta menjelang sore ditemani cucu kemenakan, kerabat dari pihak bapak mertua saya.

***

Mengingat kanker yang merenggut nyawa kedua orang tua mantan suami saya, seharusnya saya sadar bahwa kanker itu bisa mengenai siapa saja, terutama orang yang malas berolah raga serta mengabaikan gaya hidup sehat. Namun jujur saja, saya tak pernah tergerak untuk mulai merubah kebiasaan makan daging merah berikut isi perutnya. Juga mulai mengonsumsi sayur yang selama ini memang tidak begitu saya sukai. Jujur saja, saya memang cuma suka kangkung, daun singkong serta brokoli. Itu saja yang saya makan banyak-banyak. Selain itu, semua hanya ala kadarnya.

Inilah kesalahan saya yang terbesar di samping tubuh saya yang kurang gerak. Rupanya berjalan kaki selama sekian waktu saja tidak cukup untuk menjaga kebugaran tubuh. Maka, sepatutnya saya tak menyesal ketika semua tumbuhan liar di tubuh saya yang semula jinak kini tiba-tiba berubah jadi ganas. Tapi saya tetap bertekad akan terus melawannya. Sebab saya salut setelah berkaca kepada beberapa pasien kanker yang saya temui di dekat saya di waktu-waktu belakangan ini. Mereka adalah pejuang-pejuang yang tangguh, yang sanggup menyimpan rasa sakit itu di balik kerja keras mereka yang patut dibanggakan. Saya angkat topi untuk mereka.

(Bersambung)

Rabu, 12 September 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (3)

Pagi musim gugur di Negeri Kincir Angin. Membaur bersama angin kencang  kedai-kedai kopi dipadati pengunjungnya hingga ke trotoar jalanan. Pintu-pintu kedai itu terbuka, sedangkan payung warna-warni ditebarkan di muka kedai. Saya mencium harum aroma kopi yang sedap bersama-sama dengan wangi vanilla, coklat dan keju yang juga memenuhi udara. Rotterdam memang ramai, karena kota pelabuhan itu merupakan salah satu kota terbesar di Belanda.

Saya urung membeli makanan untuk menjenguk mantan pimpinan kantor mantan suami saya, karena saya tak tahu makanan apa yang boleh dimakannya selagi sedang menderita sakit kanker. Akhirnya saya berbelok ke toko bunga dan buah, lalu mengambil beberapa apel, anggur, kiwi, cherry serta jeruk yang ranum-ranum. Pedagangnya tersenyum ramah membuyarkan anggapan saya bahwasannya bule Belanda mantan penjajah kita adalah manusia-manusia yang arogan. 

Ternyata setibanya di "Daniel Den Hoed Familien Haus" yang merupakan bangunan tempat penginapan para pasien kanker yang datang dari luar Belanda, saya diberitahu bahwa mengonsumsi banyak buah-buahan dan sayuran terutama yang mengandung antioksidan memang sangat dianjurkan oleh para dokter bagi penderita kanker. Cherry dan kiwi merupakan dua di antara buah-buah yang sangat baik dikonsumsi selain buah-buah dari golongan berry. Sedangkan brokoli dan kubis-kubisan termasuk brussels sprout yang diindonesiakan menjadi keciwis adalah primadona sayuran pelawan kanker. Ah, beruntunglah saya membawakan buah-buahan saja sebagai buah tangan.

Di situ pasien menyewa tempat lalu mendapat hak untuk menggunakan dapur umum berikut ruang makannya di lantai bawah gedung berbentuk lingkaran itu. Bersihnya gedung amat luar biasa, diisi pula oleh peralatan masak yang serba modern sesuai keadaan di negara maju itu. Masing-masing pasien yang didampingi oleh keluarganya bebas memasak makanan mereka sendiri di sana, asal sesuai dengan panduan diet yang ditetapkan pihak rumah sakit. Saya mencium harum sup dan masakan lainnya yang berasal dari piring makan seseorang di ruang makan, sedangkan seorang ibu lainnya nampak tengah asyik menyiangi sayuran di area masak memasak. 

"Kalau di Indonesia kita hanya boleh makan daging ayam kampung saja, di sini ya kita memilih makan ayam bio yang masih alami," cerita istri atasan mantan suami saya yang dibenarkan oleh seorang nenek dari ras Tionghoa yang sedang menyiapkan hidangan untuk cucunya penderita kanker di situ. "Saya masak semur ayam, biar cucu saya suka, untung di sini banyak yang jual kecap manis seperti di Indonesia hehehehe........," ujar Encim, nenek-nenek itu begitu minta dipanggil, tanpa saya tanya. Sekarang saya membenarkan perkataan mereka. Ya, sinshe yang merawat saya pun membatasi konsumsi protein hewani saya hanya pada daging unggas, sedapat-dapatnya daging ayam kampung.

***

Pertemuan dengan mantan pimpinan kantor mantan suami saya waktu itu, merupakan kesempatan terakhir saya menyaksikan beliau dalam keadaan hidup. Sebab kira-kira empat tahun kemudian beliau berpulang juga di Jakarta karena kelelahan memerangi kanker payudara yang terus-terusan merongrongnya. Waktu itu tubuhnya sudah menjadi sedemikian kurus dengan kulit berkeriput serta menghitam. Adapun rambutnya, karena beliau memang sudah lanjut usia, tentu saja semakin habis hingga menyisakan hanya kulit kepala yang berkilau-kilauan.  

Saya melihat bahwa kemoterapi dan tindakan pembedahan, bukan solusi terbaik penanganan pasien kanker. Kedua kerabat kerja mantan suami saya pada akhirnya berpulang jua setelah menyelesaikan pengobatannya yang tentunya telah dipikirkan dan dirancang dengan matang oleh para dokter pakar onkologi yang telah bersekolah sambil melakukan penelitian bertahun-tahun lamanya. Apa yang menyebabkan cara pengobatan empiris itu tak bisa menuntaskan kesembuhan pasien, bagi saya yang hanya orang awam adalah sebuah tanda tanya besar. Begitu pun ketika kemudian saya mengalaminya sendiri.

Tumbuhan liar yang ikut menetap di dalam tubuh kita, memang tidak semuanya ganas.  Apa yang saya idap ketika pertama kali saya merasakan sakit di bagian perut saya, hanyalah tumbuhan daging dan kista yang jinak di otot rahim serta kedua indung telur saya. Namun sakitnya jangan ditanya!

Saya terpaksa berbaring tidak kurang dari tiga hari setiap bulan ketika penyakit itu mengganggu sebab menstruasi yang datang bersamanya. Ketika tengah tidur di waktu malam, tiba-tiba pinggul saya terasa kaku. Lalu sakit itu menyebar ke seluruh perut, bahkan kakunya melibas kekuatan kaki-kaki dan tangan-tangan saya untuk bergerak. Sebagai akibatnya tentu saja saya tak mampu bangkit dari pembaringan saya. Karena itu, mau tak mau saya harus mencari cara agar tetap bisa bangun melaksanakan tugas-tugas rumah tangga saya. Saya akan menggeser sebelah kaki saya dengan sangat perlahan, lalu menurunkannya ke lantai. Kemudian dengan segala daya saya berupaya memiringkan tubuh saya, agar kini kedua kaki saya bisa sampai di lantai semua. Jika itu terjadi yang makan waktu beberapa menit, saya segera mencoba mengangkat tubuh seraya bertelekan dengan sebelah tangan saya, sementara yang sebelah lagi bergerak cepat untuk bangkit duduk di pembaringan. Baru setelahnya saya bisa menapakkan kedua kaki saya untuk beringsut ke luar dari kamar sambil meringis menahan sakit dan juga peluh yang meleleh deras. Meski peluh itu dingin dan musim winter menggigilkan tubuh di luaran sana. Itulah sepenggal pengalaman saya soal sakit yang saya alami juga pada kurun waktu awalnya.

Bersamaan dengan rasa sakit itu, perut saya pun berontak selalu mencari lubang kloset dalam beberapa jam sekali. Lebih sering lagi dalam bilangan menit. Kendati sakit, saya tetap harus mencapai kamar kecil untuk menuntaskan rasa sakit itu. Ah, derita itu adalah sepotong kecil pengalaman dalam hidup saya soal sakit fisik dan juga psikis.

Dokter Arjoko Wisanto, seorang ahli kebidanan dan kandungan dengan sub spesialisasi kesuburan, telah menemukan ihwal penyakit saya. Katanya, banyak sel endometriosis di dalam organ reproduksi saya. Namun beliau tidak mengharuskan saya untuk segera dioperasi, karena pengobatan endometriosis bisa ditolong dengan suntikan hormon saja. Apalagi saya akan segera bertolak pulang ke Indonesia, sehingga kalau pun saya dioperasi, maka kandungan saya belum kuat untuk dibawa dalam penerbangan jauh yang memakan waktu lebih dari dua belas jam itu. Saya pun patuh mengikuti anjurannya, lalu memasrahkan diri saya kepada setabung kecil hormon yang harganya tak bisa dibilang kecil itu. Bayangkan saja, di tahun 2002 obat itu dihargai satu juta dua ratus ribu rupiah per tabung, padahal saya harus disuntik setiap bulan. Dengan berbekal obat yang sebagian diberikan secara cuma-cuma oleh dokter Wisanto, maka saya pun meninggalkan Belgia. Pulang menuju ke rumah, ke tengah-tengah sanak saudara yang mencintai saya dengan segala kehangatan pribadi mereka. Sungguh, menjadi pesakit di negeri orang adalah derita yang tak terkira susahnya.

(Bersambung)

Selasa, 11 September 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (2)

Suami teman saya berpulang dengan tenang di sebuah Rumah Sakit Universitas di kota Leuven, Belgia sehabis menonton film dari sebuah pesawat televisi di kamar perawatannya. Artinya dia tidak sempat mendekam di dalam ruang ICU, tapi menurut mantan suami saya, dia begitu butuh penanganan khusus. Sebab dia sudah tidak mampu lagi buang air kecil. Kesadarannya pun hilang-timbul. Suatu saat dia bisa menangkap kekinian, bahkan merasa bersalah tidak sanggup ke kantor selama sekian bulan. Di waktu itulah dia akan sibuk minta disediakan kertas dan alat tulis, sebab dia ingin membuat surat izin sakit sendiri kepada pimpinan tertinggi di kantornya dikarenakan jadwal rapat mingguan pun tak bisa dihadirinya. Artinya ingatannya sangat baik tentang hari Rabu, hari di mana seluruh Kepala Bagian mengadakan rapat melaporkan jalannya pekerjaan mereka selama seminggu. Cerita mantan suami saya, dia bahkan menangis merasa telah mengecewakan pimpinan dan banyak rekan sejawatnya atas ketidak aktifannya bekerja berbulan-bulan lamanya. Tapi di saat lain, dia seperti merasa berada di masa lalu, kisaran waktu sepuluh tahun ke belakang saat dia bertugas di Los Angeles, Amerika Serikat. Tangannya sibuk menunjuk-nunjuk layar kaca sambil berceloteh bahwa scene di hadapannya itu letaknya tak jauh dari kantornya. Dan dia biasa berjalan di jalan raya itu karena mobilnya hanya mendapat parkiran di situ, tak bisa di dekat gedung kantornya sendiri. "Aduh, saya lupa bawa payung, padahal hujan angin ya, aduh bagaimana ini menuju kantor..... saya kebasahan........," cetusnya lirih namun jelas. Lalu istrinya pun membenarkan ungkapan si sakit, bahwa film itu mengambil lokasi di Los Angeles.

***




 

Kasus kanker kedua yang saya jumpai pada kerabat saya menyerang salah seorang mantan pimpinan kantor suami saya. Bapak tua berusia 74 tahun ini terserang kanker yang amat langka diidap lelaki. Kanker payudara, seperti yang kini mampir menggoda saya.

Saya datang menjenguk beliau di Daniel Den Hoed Kliniek, Rotterdam, Nederland yang kami tempuh selama kurang lebih dua jam saja dari Brussels, Belgia. Klinik itu jauh dari bayangan saya sebagai tempat perawatan para pasien kanker, penyakit yang gawat dan menakutkan. Sebab saya jumpai beliau berada di sebuah apartemen tidak terlalu tinggi di wilayah yang katanya disebut "kliniek" itu. Apartemen itu dinamai "Familienhuis" tempat para pasien Daniel Den Hoed Klinik menginap setelah operasi selesai dijalani di gedung Rumah Sakitnya di dekat situ.



Di sana beliau tinggal pada sebuah bilik berupa kamar dan ruang tamu serta kamar mandi tanpa dapur. Persis ruangan inap seorang pasien di kamar VVIP sebuah Rumah Sakit.Tapi suasananya sungguh jauh berbeda. Tak ada peralatan medis dan bau obat-obatan menyengat serta perawat berseragam yang lalu lalang. Semuanya persis seperti di asrama saja, karena ternyata di situ adalah tempat perawatan pasien dari luar negeri yang menetap untuk jangka panjang guna menjalani terapinya. Karenanya pasien di situ terdiri dari berbagai bangsa, termasuk WNI seperti yang saya temui di dapur klinik sedang menyantap makanan yang dimasak ibundanya. Dia gadis berumur kira-kira enam tahun yang datang dari Yogya dengan perempuan yang dipanggil sebagai Mama dan Encim untuk mengikuti terapi bagi penyakit leukemia alias kanker darah yang menyerangnya.

Wajah gadis cilik yang cuma pintar berbahasa Jawa itu nampak bulat tapi jelas tidak sehat. Saya menandainya sebagai "moon face" akibat kebanyakan menelan obat-obatan dari golongan kortikosteroid. Berbeda dari wajah atasan mantan suami saya yang didampingi istrinya. Kelihatan seperti orang sehat begitu pun staminanya, tetap penuh semangat tak berkurang sedikit pun. Hanya, beliau memiliki kulit yang agak gelap dari biasanya. Saya mencurigai beliau menderita efek dari radiasi yang dipakai untuk menyembuhkan kanker payudara beliau yang katanya ditandai dengan perubahan tekstur kulit di sekitar payudara diikuti luka dan keluarnya cairan.

Pasien datang berobat dari Indonesia karena mendengar banyak pasien sembuh di sana. Satu di antaranya adalah bintang film zaman dulu, Marjolien Tambajong alias Rima Melati. Pengobatan di situ diawali dengan operasi payudara diikuti kemoterapi serta radioterapi. Boss mantan suami saya pun sembuh pada akhirnya. Saya sempat terkagum-kagum kepada beliau mengingat beliau tak kelihatan seperti seorang penderita penyakit berat. Dengan gagah beliau bisa menjemput kami di parkiran klinik, lalu mengajak berkeliling untuk meninjau suasana di tempat itu serta akhirnya mengantar kami sampai ke mobil kembali. Sama sekali tak ada kelihatan beliau meringis menahan sakit. Inilah yang kini menyemangati saya untuk juga bisa menahan semua rasa yang kini melemahkan tubuh saya. Semoga saya pun bisa mencapai kemenangan saya melawan penyakit mengerikan ini. Insya Allah!

(Bersambung)

Sabtu, 08 September 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (1)




Senja sedang menjatuhkan matahari ke barat ketika saya menutup pintu untuk mengunci diri sendiri. Sekelompok teman yang baik budi baru saja minta diri sehabis menjenguk saya seraya memompakan semangat untuk tetap bertahan hidup.

Saya seorang pesakit tumor ganas, yang telah melewati masa ke masa hidup beriringan dengan malaikat maut yang siap mengintai mencabut nyawa. Beberapa tahun lampau, "cubitan" di daerah perut saya diikuti rasa kaku yang menjalar dari sekitar pinggul hingga ke ujung jemari kaki saya dan juga tangan-tangan saya, telah membuat saya mengerti bahwa Allah mulai menguji kesabaran saya sebagai ummat manusia yang sering lupa diri. Saya memang tak pernah berolah raga, karena sekedar untuk membayangkannya saja, saya sudah merasa ngeri takut kehabisan nafas. Sebab sesungguhnya saya memang sering sekali kehabisan nafas. Dokter saya bilang dulu, itu warisan yang diberikan nenek, ibu dari ibu saya, sebagai tanda bahwa saya adalah keturunan seorang penderita asthma.

Gangguan di perut saya akhirnya berakhir dengan upaya pembuangan organ kandungan saya satu demi satu di meja bedah. Mula-mula rahim saya diambil, karena otot rahim saya menebal bengkak. Tak ada yang bisa dilakukan pada otot rahim bukan? Apa pun itu penyebabnya, maka mengangkat dan membuang rahim hanyalah satu-satunya cara untuk membebaskan diri dari sengatan rasa sakit itu. Beruntunglah dokter mengabari bahwasannya tumbuhan yang dibuang itu dinyatakan jinak oleh seorang dokter ahli patologi yang terpercaya. Adenomyosis nama penyakit itu. Indah untuk dituliskan, mudah untuk disebutkan, tapi sukar untuk diterima badan.

Bersamaan dengan pembedahan itu, dokter kebidanan dan kandungan yang menolong saya, menemukan sejumlah besar kista jinak pada indung telur saya sehingga harus dibersihkan. Dan itu ternyata tumbuhan liar yang sangat suka mengganggu saya, sehingga dia tumbuh dan tumbuh terus dari masa ke masa, lalu saya pun harus merelakan untuk membuang satu indung telur saya yang terserang cukup parah. Diikuti di tahun berikutnya, karena rasa sakit yang sama menyerang kembali, saya terbaring lagi di meja bedah untuk membuang inding telur yang tersisa. Sialnya, tahun sebelumnya usus halus saya ikut dibuang sebagian dalam satu pembedahan tersendiri pasca dibuangnya indung telur saya yang pertama. Indikasinya ada pada darah segar yang tak mau berhenti keluar dari mulut saya sesudah saya keluar dari ruang pemulihan dan masuk ke ruang rawat inap yang sepertinya sudah menjadi milik pribadi saya karena seringnya saya terbaring di situ.

Kini penyakit itu berubah menjadi ganas di payudara saya. Rasa sakit bagaikan dihunjam belati sangat tajam, amat mengganggu saya. Itu yang membawa langkah kaki saya mencari pengobatan lagi, selain payudara saya yang berubah bentuk karena terisi oleh benjolan sebesar biji alpukat. Belum lagi puting payudara saya jadi tertarik ke dalam serta berwarna merah. Rasanya, selain nyeri, tentu saja gatal di dalam daging sana. Alangkah susahnya.

***







Penyakit kanker apa pun jenisnya, tak bisa disepelekan. Tapi penanganannya pun membutuhkan ketelitian dan ketekunan. Jika seorang pengobat melakukannya terburu-buru demi berlomba dengan waktu yang memang kerap mendahului kesembuhan dengan mencabut nyawa penderitanya, hampir dapat dipastikan penyakit itu akan terus kambuh hingga akhirnya penderita tak lagi tertolong. Saya sudah melihat sendiri banyak teman senasib yang dulu bertemu bahkan minta ditemani berobat di luar negeri, ketika saya menetap dan sakit di negara-negara yang super modern itu. 

Persinggungan saya yang pertama dengan penyakit kanker adalah ketika saya menyaksikan suami teman saya dibabat habis oleh kanker kandung kemih dalam waktu tak sampai setahun. Dia baru dimutasi ke salah satu perwakilan RI di Eropa Barat dua bulan saja ketika dia mengeluhkan pegal pada pinggangnya diikuti kemudian oleh rasa sakit. Bahkan setelahnya dia tak bisa buang air kecil tanpa kesakitan yang sangat. Lelaki berumur genap lima puluh tahun itu, akhirnya hanya berhasil melewati bulan ketiga di kisaran usia ke-lima puluhnya lalu berpulang ke ribaan Tuhan.

Di negara super modern penghasil banyak tenaga medis unggul pun, ternyata penyakit kanker tak takut oleh kegigihan dokter yang melakukan riset memeranginya. Ketika itu kemoterapi dari golongan terbaru yang dikabarkan tercanggih pada tahun 2000 itu, sudah tak ada gunanya lagi pada nyawa teman mantan suami saya. Hanya delapan bulan dia bertahan dengan rongrongan kanker. Innalillahi wa innailaihi raji'un.

(BERSAMBUNG)
Pita Pink