Powered By Blogger

Kamis, 05 Agustus 2010

JEMU

Melewati bentangan waktu
Aku terbujur kaku
Karena kendala rindu
Asyik menyeru-nyeru

Terburailah jiwa
Di cerana masa
Menguraikan cinta
yang jadi selaksa duka
dentang-dentang durjana
Penggalan hidup
yang kaya dusta
Di album cerita
Iman tanpa makna
Telah berlalu
begitu saja

Ingin kuberlari
Untuk menyudahi
Rangkaian-rangkaian hidup
Lalu hendak kututup
pendar-pendar hariku

Biar waktuku
Bertaut ampunan
Ketika kelak kusampai
di ribaan
Tuhanku yang Agung.

*dituliskan di bogor, lima agustus duaribu sepuluh*

Sabtu, 24 Juli 2010

DESPERADO (ataukah penyesalan)

Rentak malam memagut senja
Menggigit surya mengusap purnama
Mewarnai semesta dengan gelora kelam
Gegap yang hitam bertajuk gelap
Sudah itu senyap
Dan lelap yang menyisakan gagap
Sebab tak terbasuh noda yang sangat
Meski melengking doa hingga ke ujung hayat.

Tinggal satu : Ampuni aku!

~ Minggu pagi, 25.07.10 ~

Rabu, 14 Juli 2010

HARI BARU

Lepas badai
Angin pun senyap
Genta menyepi
membuang riuh
dan gejolak sauh

Tangan terarah
Kaki melangkah
ke sempurna tanah
yang lapang tanpa penghalang

Penghujung hari
Ataukah pagi baru merekah
Terpulang lagi semua
Pada seonggok diri yang dingin
Yang sedang membuka jalan
ke lautan cerita
Penuh makna
Ataukah tetap tanda tanya?

(sehari lewat dari masanya, medio Juli duaribu sepuluh)

Rabu, 07 Juli 2010

TERPURUK

Penat malam menggendong bintang
Menyesak ragu memaguti kalbu
Kalau telah tiba waktu
Surya datang bertamu
Akankah aku nampak padamu?

Beradu padu sukma merindu
Mengusung jiwa yang patah arang
Sebab hilang jiwa dikekang
Serupa kembang tak kenal kumbang

Biar saja lalu satu masa
Penggalan cinta yang turun takhta
Sebab mahkota kelak terpasang
Di kepala jua ketika kumbang telah lelah terbang.


(Hujan kepagian lima dasawarsa lewat dua, 08102010)

Sabtu, 12 Juni 2010

SEKEPING RINDU UNTUK MAS WILLY

Wajah persegi empat melebar yang penuh keramahan itu selalu ada dalam benak Athilla. Dia tak pernah bisa melupakannya, karena di sudut bawah bibirnya menggantung sejumput jenggot halus melengkapi senyum pada bibirnya yang merekah untuknya.

"Mas Willy," bisik Athilla perlahan sekali supaya orang-orang di dekatnya tak ada yang bisa mendengarnya. Dia melirik ke kiri- ke kanan. Hendro suaminya ada di situ di sofa yang membentuk sudut dengan kursi yang didudukinya. Wajahnya dibenamkan dalam-dalam ke koran yang sedang dibacanya. Kakinya menjulur santai di atas sofa biru tua itu. Dan di seberangnya anak-anak mereka sedang asyik menekuni kegiatan mereka masing-masing. Yang seorang pada komputernya memainkan game, sementara seorang lagi sibuk membunyikan piano yang dipakainya untuk melantunkan lagu-lagu masa kini.

Lelaki yang disebutnya mas Willy adalah suami Devina seorang periset di lembaga perbankan nasional yang cukup punya nama. Ketika ia dulu terbaring lemah di rumah sakit, mas Willy selalu membawakannya bahan bacaan dan buah-buahan untuk menghiburnya. Dia datang seorang diri di tengah kesibukan istrinya di kantor siang hari. Biasanya menjelang makan siang supaya dia bisa menolong Athilla menyuapkan makanan ke mulutnya.

Athilla nyaris selalu seorang diri di kasur dipan mekanik rumah sakit yang lama jadi rumah keduanya. Sesekali ada pembantu rumah tangga mereka menemaninya, tapi tidak mendampinginya menjalani semua rutinitas perawatan yang melelahkannya. Sementara itu, suaminya sendiri sibuk dengan pekerjaan kantornya dan baru akan datang ke rumah sakit menjelang malam ketika dia sudah menjelang tidur.

Tak pernah ada obrolan antara Athilla dengan suaminya sendiri. Sebab Hendro sepertinya enggan bicara jika berdekatan dengannya. Entah apa sebabnya. Di sisinya pada sebuah sofa bed, dia akan menancapkan matanya ke layar televisi yang dibiarkannya mempertontonkan berita atau hiburan. Selanjutnya dia hanya akan membuka-buka berkas pekerjaan kantornya atau bahkan tidur. Athilla tahu kebiasaan itu di sela-sela tidurnya ketika dia terbangun oleh sengatan sakit yang ditimbulkan sisa-sisa pembedahan dan penyakit di perutnya. Lalu di saat itu, suaminya hanya akan menoleh padanya sekejap untuk kemudian kembali pada keasyikannya sendiri.

"Kamu mau minum?" Cuma itu yang biasa dikatakan suaminya. Nyaris dingin tanpa sentuhan tangan yang diharapkannya membelai tubuh ringkihnya yang menjerit-jerit nyeri sekali.
_________

"Bu Hendro sebaiknya tiduran lagi," tiba-tiba Athilla seperti mendengar suara Willy yang mengusik kesendiriannya di taman rumah sakit yang dilingkari kaca di suatu hari dulu.

Dia menoleh takjub mendapati Willy tahu-tahu sudah berdiri di dekatnya bersandar pada pagar jaring kawat yang membatasi ruang duduknya dengan kolam air mancur di depannya. Matanya tajam mengarah kepadanya. Bibirnya menyunggingkan senyum nakal. Tapi jelas senyum yang dirindukannya sejak senyuman Hendro tak pernah tulus lagi padanya.

"Mas Willy kapan datang? Kok saya tidak dengar langkah kaki mas Willy?" Athilla bertanya malu-malu.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Willy. Hanya tangannya yang terjulur menjangkau jemari Athilla untuk digenggamnya. Sesaat mereka saling bersalaman dan kemudian bertautan sambil berjalan menjauhi taman rumah sakit itu menuju kasur Athilla kembali di dalam sana. Para perawat diam-diam menyaksikannya tanpa suara.

"Mas Willy ke sini sudah seizin mbak Devi?" Tanya Athilla tegas. Walau jelas ia mengharapkan Devina tak akan pernah tahu itu.

"Jeng Devi di kantor. Banyak pekerjaannya hari ini. Tak mengapa saya datang sendiri, bukan?" Jawab Willy lembut.

"Bukan begitu, maksud saya mbak Devi tahu mas Willy akan menengok saya?" Air muka Athilla menjadi masam sementara dia menyeringai menahan nyeri yang ditimbulkan luka bekas operasinya saat dia berjalan perlahan dalam bimbingan tangan lembut Willy.

"Jangan khawatir bu Hendro, Devi tidak pernah punya waktu untuk mengurusi ke mana saya pergi. Bahkan untuk menanyakan hari-hari saya di rumah pun dia tak melakukannya," kedengaran getir Willy mengatakan kesehariannya bersama sang istri.

Athilla seperti tersadarkan akan dirinya sendiri. Dia dan Hendro masing-masing juga mempunyai dunia yang berbeda. Hendro sebagai seorang kantoran yang banyak tugas dan tanggung-jawabnya, sementara dirinya pengangguran yang cuma berkarya di belakang layar, mensupport pekerjaan Hendro yang memerlukan sentuhan tangan dan empati seorang perempuan.

_________

"Jeng Devi hampir tak punya waktu luang untuk kami berdua. Itulah sebabnya saya jadi bebas merdeka," papar Willy ketika Athilla sudah kembali berbaring di ranjang rumah sakitnya.

"Saya senantiasa ada waktu untuk mas Hendro, mas. Tapi mas Hendro punya dunia sendiri yang berlainan dengan dunia dan minat saya," jawab Athilla menyambut perkataan Willy yang sebenarnya bukan pertanyaan.

Sehabis itu mereka asyik mengobrol berdua, sembari tangan Willy mengupaskan jeruk manis atau memasukkan strawberry merah darah dengan seksama ke mulut mungil Athilla. Ada getar-getar kasih di sana yang menimbulkan gelenyar ke dada Athilla yang lama kosong merindu kasih. Begitu istimewanya lelaki beranak dua itu di matanya.

Konon Willy berprofesi sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi negeri. Namun karena kesibukan dan pekerjaan istrinya, dia harus merelakan kariernya terhambat. Devina lebih membutuhkan dia di sisinya, untuk mengurusi kedua anak mereka Citra dan Johan, selagi dirinya bersibuk diri di kantornya untuk mengejar posisi yang lebih baik demi tuntutan emansipasi wanita.

Athilla bertemu pasangan Willy dan Devina untuk yang pertama kalinya di rumah Drs. Subardja, Bankir kenamaan di kota tempat tinggalnya ketika boss Devina itu menyelenggarakan pesta akhir tahun. Hendro yang diundang, membawanya serta sebagai adab kepantasan saja. Karenanya di pesta itu Athilla jadi terasing, tersudut di pojok halaman yang digunakan sebagai area pesta kebun. Dia duduk sendiri mengamati pasangan-pasangan lain yang asyik berdansa diiringi karaoke bahkan menyaksikan Hendro dengan teman-temannya menghabiskan malam di meja persegi membantingi kartu-kartu domino hingga pagi.

Di situlah Willy dan Devina menghampirinya, dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan lain yang terjadi secara tak terduga di sekolah Giri anaknya yang duduk sekelas dengan Johan. "Selamat pagi bu Hendro, putra-putrinya bersekolah di sini juga?" Begitu sapaan Willy yang diingatnya ketika ia mengambilkan raport anak bungsunya itu. Tahu-tahu Willy sudah menjejerinya dan mengajaknya bicara panjang lebar.

Berawal dari situ pertemanan mereka pun terus berlanjut. Sebab adakalanya Giri pulang sekolah diantar Willy setelah ia mempersilahkannya ikut sebelum sempat mencegat kendaraan umum yang senantiasa dinaikinya. Biasanya Willy akan turun di rumah mereka untuk menyerahkan Giri ke tangan ibunya, sebab dia tahu Athilla senantiasa punya kudapan lezat yang bisa dicicipinya. Dia ikhlas melakukannya, karena ternyata Johan juga senang bisa bermain-main dulu dengan Giri.

Nampaknya Hendro tidak tahu, atau setidak-tidaknya meskipun tahu, tak berkebaratan menerima kenyataan bahwa ada seseorang lelaki yang suka menjadi tetamu istrinya di waktu siang. Siapa yang peduli dengannya lagi? Hanya itu yang terasa di batin Athilla yang bukan seorang perawan kencur lagi setelah kedua anaknya bertumbuh besar dan dewasa.

------------

Di atas meja di hadapannya Athilla menghidangkan pisang goreng dari kebun Willy dan Devina. Hendro dan kedua anaknya tak tahu itu. Mereka makan dengan lahap disertai teh panas yang harum melati.

Tapi Athilla sangat sadar bahwa pisang goreng itu punya kenikmatan tersendiri. Yaitu legit yang dihasilkan oleh tangan Willy ketika dia mencangkuli lahan kebunnya. Juga harumnya yang istimewa adalah berkat cucuran keringat lelaki itu, bukan lelakinya sendiri. Maka Athilla tersenyum sendiri sambil menikmati kunyahannya dan mendengarkan anak lelakinya memainkan lagu-lagu melankolis dengan pianonya.

Hari itu baru saja dia ke luar lagi dari rumah sakit. Dan sekejap setelah Hendro kembali ke kantornya sehabis mengantarkannya pulang ke rumah, Willy sudah mengunjunginya di rumah sambil menjinjing sekeranjang pisang kepok yang tua kekuningan gemuk semua. "Semoga bu Hendro sehat untuk selanjutnya, tak perlu masuk rumah sakit lagi bu," do'a tulus Willy ketika dia duduk di ruang tamu keluarga Hendroyono. Pembicaraan itu terus berkembang sebagaimana hari-hari sebelumnya yang sudah lalu.

Di potongan pisang-pisang goreng do'a itu tertambat. Tapi terus terang ada rasa sesak menyeruak di dadanya. Athilla sangat ingin menikmati sakitnya. Sebab, dengan menjadi sakit, maka dia memperoleh pengganti kasih sayang dan perhatian suaminya.

Semuanya ada pada Mas Willy dan pisang-pisang serta serangkai cerita yang memberinya arti kehidupan. Bahwasannya lelaki dan wanita yang telah dipersatukan Tuhan dalam ikatan suci pernikahan tak selamanya bisa seiring sejalan.

Mereka ada di situ, sebagai contoh yang tepat. Willy sang Kepala Keluarga dengan terpaksa tersisih oleh kemajuan yang dicapai istrinya sendiri sebagai bentuk dari tercapainya kesetaraan hak lelaki dan perempuan. Di sisi lain, Hendro seperti tak rela jika istrinya banyak tahu dan banyak berperan membantunya mengatasi dampak ikutan dari pekerjaannya sebagai abdi negara. Athilla yang kemudian memperoleh popularitas tersendiri, haruslah dikucilkannya.

Maka dinafikan lah keberadaan Athilla dan direduksinya peran perempuan itu hanya sebatas perannya di dalam rumah saja. Ah, tiba-tiba Athilla jadi seperti sangat menikmati sakitnya. Di sakitnya itu dia serasa mendapat rahmat. Dan malam itu dia lupa bahwa Hendrojono suaminya sendiri ada di sampingnya.

- Taman Cimanggu, pertengahan Juni dua ribu sepuluh -

Minggu, 30 Mei 2010

SUP KACANG MERAH DENGAN CEKER AYAM

Description:
Sup ini merupakan sesuatu yang sangat mudah dibuat, namun bergizi dan tentu saja lezat. Setidaknya begitu kata keluarga saya.

Saya memanfaatkan kaldu ayam "Royco" untuk memasaknya, walau saya rasa kaldu apapun bisa dipakai.

Ingredients:
Kacang merah setengah kilogram, ceker ayam setengah kilogram, lima batang wortel, seikat daun bawang dan seledri, sebutir tomat diiris-iris.

Bawang goreng dan emping sebagai pelengkap.



Directions:
Mula-mula potong kuku-kuku ceker ayam, kemudian cuci bersih dan taburi sedikit merica bubuk. Rebuslah hingga setengah matang. Jika sudah setengah matang, masukkan empat bungkus kaldu ayam "Royco" dan kacang merah lalu masaklah hingga masak benar dan empuk. Setelah itu baru masukkan wortelnya dan masak hingga empuk. Rajang-rajang daun bawang dan ikat batang-batang seledri kemudian campurkan ke dalam sup sebelum diangkat. Menjelang dihidangkan baru masukkan potongan-potongan tomat.

Sajikan panas-panas, lebih sedap jika ditaburi bawang goreng dan emping.

DENDENG BALADO

Description:
Libur akhir pekan yang cukup panjang minggu ini membawa berkah, berupa berkumpulnya keluarga di rumah saya. Sudah lama saya malas memasak yang merepotkan, karena itu saya sajikan "Dendeng Balado" dengan resep yang paling sederhana, namun ternyata sanggup mengundang selera keluarga saya. Inilah caranya.

Ingredients:
Daging diiris tipis seperti kertas (minta kepada tukang daging di pasar diiriskan untuk dendeng) 1 kg, merica bubuk sedikit, air jeruk nipis setengah butir, garam sejumput.

Untuk sambalnya siapkan : Cabe giling kasar satu ons (biasanya kata penjualnya sudah digarami), cabe merah lima buah dibuangi bijinya kemudian dibelah-belah jadi empat memanjang, satu ons bawang merah, dua lembar daun jeruk, dan setengah butir air jeruk nipis, serta minyak goreng.

Directions:
Mula-mula cucilah daging, setelah itu lumuri dengan air jeruk, merica bubuk dan garam. Aduk-aduk dengan tangan supaya merata, lalu diamkan kira-kira lima menit. Setelah itu direbus dengan air yang banyaknya menutupi potongan daging sampai airnya habis. Angkat, tiriskan dan goreng hingga kering.

Kemudian kerjakan sambalnya. Ambil minyak untuk menumis, gorenglah cabai merahnya, dan sisihkan. Kemudian tumis cabai gilingnya, setelah masak masukkan bawang merah giling dan daun jeruk, tumis terus sampai harum. Terakhir masukkan air jeruknya, dan gongseng hingga rata. Icipi apakah sudah asin, sebab biasanya tukang giling bumbu sudah menggarami cabai gilingnya.

Kemudian matikan api, dan campurkan daging ke dalam sambal tadi bersama dengan cabai iris yang sudah digoreng itu. Rasanya pasti pas, lagi pula cara pengerjaannya sangat sederhana tanpa harus dijemur di panas matahari.

Dendeng balado ini tahan beberapa hari dan enak dimakan bersama nasi hangat. Cocok juga disantap bersama sup kacang merah-ceker ayam yang saya hidangkan juga kemarin.

Selasa, 11 Mei 2010

MENJELANG MALAM

Menyeruak senja
Menjalin lara
Merangkai duka
Membingkai nestapa

Hampa
adalah tebaran merana
Yang diwarnai sepi
dari diri yang ternista

Sudahkah baju
bersulam ilmu
Yang satu padu
Menjahit Asma-Mu
di relung kalbu
yang sarat ragu

Harinya sudah dekat
Melintas waktu
Mencari kamu
dan membawamu
ke tanah baru
Suratan hidupmu
segera lalu

Bersiaplah! Segera!

(Dendang musim kemarau tua, duabelas Mei duaribusepuluh)

Senin, 10 Mei 2010

LELAKI DENGAN MERIAMNYA

Lelaki yang setia menyimpan kebohongannya itu
Tengah mengulur waktu menuju ke surga
Dengan mengukir kisah-kisah di tanah basah
Dan melambatkan laju kerandanya menuju ke sana

Dia yang fasih menyampaikan sejuta dustanya
Menebarnya lewat mata yang jalang penuh bernyala-nyala
Lagi pun bibirnya basah tak kering dari kisah
yang kental beraroma resah

Manusia yang tak setia pada kebaikannya
Asyik mengisap candu yang dihidu semau-mau
Karena telah dipungutnya dosa dari tumpahan kotoran dan debu jalanan
Sebagai bekal dirinya menyambut malam berkabut duka
Di ujung senjanya
Pada sebentuk cerana terisi kuburan dosa.

(Elegi hati yang patah)

Semburat jingga di ufuk-pun sirna

Kota Kenari, sepuluh Mei duaribusepuluh

Senin, 19 April 2010

ROTI GAMBANG KANG DAYAT

Aku menyibak kerumunan manusia yang lalu-lalang dan bergerombol di keramaian kota itu. Ada wajah-wajah yang sangat kukenali di sana, baik perempuan paruh baya maupun lelaki tua.

Angkot-angkot biru melabuhkan roda-rodanya di bawah naungan pohon asam dan pokok kenari yang dulu sering kupunguti buah-buahnya. Meski kini aku yakin tak akan ada lagi yang berjatuhan seperti dulu dan menjadi rebutan anak-anak kecil yang beriringan pulang sekolah. Bahkan anak-anakku pun, kuyakin, tak seorangpun yang tahu akan wujudnya.

Lelaki tua itu sudah tak ada lagi di ujung jembatan. Juga bilik bambu yang setiap hari dipanggulnya untuk menafkahi anak dan istrinya. Si Gajah Bareuh, maksudku, lelaki sedikit "miring" yang kakinya menggembung kena elephantiasis. Dulu dia senantiasa setia duduk mencakung di ujung jembatan sambil melabuhkan tangannya yang membawa hasrat nakal di pantat-pantat para perawan dan ibu-ibu muda. Bahkan konon, di pantat anak-anak kecil yang lewat di situ juga, begitu cerita Yetty temanku menakut-nakuti kami.

Pagi ini, suasana tetap ramai. Dan orang-orang lama sepertiku tetap ada. Meski mereka sudah berubah rupa dan bertukar kisah.

Aku menghentikan langkah di tengah-tengah jembatan, lalu melongok ke air yang mengalun jauh di bawah sana. Cipakancilan kelihatan semakin keruh. Buih-buih putih membusa di permukaannya yang menghitam. Tapi deras airnya tiada berkurang, mengalir tenang bergelora menuju kejauhan.

Lalu kulihat sepintas wajah bocah lelaki itu. Dengan kulitnya yang legam namun berkilat-kilat diterpa matahari, dia seakan-akan menatap padaku. Tubuhnya dibaringkan santai dengan punggung menyentuh air dan kepala tengadah. Ban bekas menyangga punggungnya yang digayuti dua lengan kokoh dengan jemari tangannya menyibak-nyibak air serta menyeru-nyeru memanggilku mengikutinya ke dalam air. Aku cuma bisa tersenyum, sebab sepertinya itu bayangan maya semata.

Lelakiku, Dayat, teman kecilku kini tak pernah lagi datang kepadaku. Meski di pangkuanku ada tertinggal serpih-serpih dagingnya dan juga percik-percik darahnya.

---------

Bunyi deru debam motor yang mendesak pejalan kaki di belakang punggungku mengejutkanku. Suatu bunyi-bunyian baru yang dulu tak pernah ada kedengaran oleh telingaku. Sebab, aku biasa mendengar suara gemerincing lonceng sepeda yang dihasilkan tangan Dayat yang memanggilku untuk turut membonceng.

"Bu, pulang bu?" Seru seseorang dari dalam angkutan kota yang berhenti tepat di mukaku di sisi jembatan. Kepalanya dilongokkan sedikit menjulur ke luar jendela mengarah padaku.

Lamunanku buyar tersibak oleh sikap kang Maman yang menawariku dari atas angkot untuk naik menuju ke rumah. Ah, leganya hatiku, masih ada orang mengingat dan mengenaliku rupanya sekalipun telah sekian lama waktu berlalu membuatku menjadi janda tua.

"Aeh, punten, saya belum mau pulang, mau ke rumah besar dulu," jawab saya mengelak. Sebab sesungguhnya aku tak mau ke mana-mana, cuma ingin menghirup lagi bau dari masa laluku. "Nuhun, kang......," saya sunggingkan senyum kepadanya yang mengangguk takzim dari sisi sopir angkot yang saya tahu itu adiknya.

Setelah kang Maman berlalu, saya arahkan kaki menuju ke selatan, menyeberangi perempatan yang ramai dipadati pedagang, pembeli, pejalan kaki dan sudah pasti kendaraan lalu lalang. Saya tak tahu akan ke mana. Hanya sekedar menurutkan langkah saja.

Rumah-rumah yang sangat kukenali semua nyaris berubah wajah. Keluarga Pramono sudah lama meninggalkan kediaman mereka di pojok jalan itu. Di sana kini berdiri K-Mart dan sederet warung kaki lima menutupinya. Di sisi satunya rumah besar keluarga Rauf sudah jadi deretan toko yang mungkin saja difungsikan juga sebagai rumah. Ada kedai makanan dan perlengkapan sepeda motor bersisi-sisian. Kak Tini dan adik-adiknya sekarang entah pula di mana. Padahal dulu ayah mereka orang berpengaruh di sini.

Aku terus jua menyusuri jalan itu sampai mataku tertumbuk pada toko kue kuna yang setia menunggu para pelanggan mereka untuk menjemput sebongkah roti tawar atau kue-kue basah yang khas sajian mereka.

Di luarnya sebaris papan dari kayu jati bercat coklat tua masih saja berdiri bertumpukan baris-berbaris mengikuti caranya di jaman dahulu. Seseorang nampak sedang berdiri menghadap lemari dagangan dari kaca yang out of date tapi selalu mengundang tanya apa saja isinya. Ah, ya,  si Engkoh, anak dari Babah tua yang pendiam dan biasa duduk menyudut sambil mengawasi lajunya perdagangan di toko yang dulu pernah sangat jaya itu. Bahkan kalau kita tiba di sana setelah pukul satu siang, tak sebungkuspun tersisa roti untuk sarapan pagi seperti kehendak ibuku.

Harum bakaran kue menyibak-nyibak bulu hidungku, memaksaku untuk menyeberang melangkah masuk ke toko kue itu. Dan, sejuknya hawa tanpa pendingin menjalari tubuhku yang kuyup kena sengatan matahari jalanan.

"Apa kabar? Ke mana saja lama nggak belanja?" Perempuan berlogat Jawa itu melebarkan senyumnya demi melihat wujudku di pintu masuk. Terasa kedamaian yang abadi pada sikap si Tacik yang kerap kupanggil mbakyu itu berpadu dengan dinginnya lantai tegel seperti yang ada di rumah besar milik keluargaku di blok sebelah barat sana.

"Alhamdulillah baik mbakyu. Saya kangen ke sini. Apa kabar semua? Kokoh dan Babah sehat sajakah?" Balasku setulusnya.

"Ya, kami baik-baik semua. Meski ayah mertua saya sudah sangat sepuh," dia tetap menyebut kata-kata bahasa daerah di dalam setiap pembicarannya. "Mau beli apa dhik?" Dibukanya pintu lemari kaca itu, diambilnya nampan dan tang penjepit kue untuk melayaniku. Matanya memandang padaku tajam seperti ingin menelanku. Duh, meremang dibuatnya bulu romaku. Tapi terus terang saja, aku justru senang dibuatnya dan sering merasa merindukannya.

"Hmmmmmm...............," aku berpikir cukup lama mencoba-coba meneliti bagaimana perasaanku sendiri. Sebab setiap kue yang tertata di lemari itu, dan toko itu sendiri seperti sebuah memori yang menyakitkan bagiku.

Ada Dayat di situ. Pada kue nagasari, kue lapis, kue mangkuk dan lain-lainnya. Ah ya, Dayat begitu suka makan kue lapis itu. Dan aku tahu Bi Siti, adik ibunya pandai membuat yang istimewa untuknya. Janda cantik itu dulu sering menginap di rumah Dayat dan melakukan apa saja untuk menyenangkan Dayat dan ibunya. Selagi aku cuma ikut menikmati rasa legit dari kue-mue dan kasih sayang beliau sambil bermain-main bersama Dayat.

Mataku tertumbuk pada roti coklat tua dengan taburan wijen. Lagi-lagi aku teringat Dayat. Hingga beberapa waktu yang lalu aku tahu Dayat masih sangat menyukainya. Teristimewa yang satu ini, yang selalu digigitnya penuh nafsu. "Enak," katanya tertawa melihat aku memperhatikan tingkahnya dengan saksama. "Seperti menggigit bibirmu," begitu dia dulu meledekku.

Aku, disamakannya dengan roti gambang itu. Ya, dia tak keliru. Bibirku memang tebal mirip roti gambang kesukaannya. Dan katanya, kalau senyumku mengembang, manis dilihat. Rasanya belum berapa lama dia mengucapkan itu padaku sambil menyibak-nyibak anak rambutku yang tergerai sewaktu bangun tidur. Sepotong roti gambang itu mengiris hatiku. Sehingga memaksaku untuk menolaknya.

"Berikan saya hanya roti Perancis saja mbakyu," kataku seraya mengalihkan pandangan ke rak kedua di bawah kue-kue basah. Dan perempuan itu mengerutkan keningnya, menyebabkan kedua alisnya beradu di tengah. "Hanya roti Perancis? Kue lapis dan roti gambang.........?" Pertanyaan itu menggantung di udara menunggu kepastianku. Agaknya Tacik itu begitu hafal kesukaan lelaki pujaanku yang kini tak pernah lagi menyentuhku.

Aku membalasnya dengan senyuman dan anggukan pasti. Dia seperti ragu-ragu mendapati jawabanku. Kembali dia memandangku untuk instruksi lebih lanjut. "Gambang...........?" Terlontar lagi tanyanya.

Tiba-tiba harum roti itu menyeruak lagi menggangguku. Dan seiring dengan itu tak kusadari mulutku menyabut angka sepuluh diikuti tangan Tacik yang menjepit satu per satu roti gambang untuk dipindahkan ke kotak kue.

Selepas itu aku segera berlalu melangkahkan kaki ke belakang toko, menuju perkampungan di mana dulu aku sering keluar-masuk menjumpai Dayat dan keluarganya. Jalanan yang makin terasa sempit, namun nuansanya tak berubah sedikitpun. Rumah Tati di bagian terdepan, dan akan di akhiri rumah Yetty di gang terdalam sana.

Harum roti gambang itu begitu mengganggu. Membawa liurku mengalir ke luar. Walau tidak lapar rasanya aku ingin sekali menggigit si "hitam manis" kekasihku.

Kuraih kantung plastik merah jambu itu. Di dalamnya bungkusan plastik bening kuambil dan kucabut penguncinya yang kecil mungil untuk kubuang begitu saja di aspal jalanan. Lalu kuambil isinya sebuah untuk kuselipkan di antara gigi-gigiku tanpa mengenal malu. Tukang becak yang duduk berjajar di mulut jalanan tak akan pernah kupedulikan walau mereka menyeru-nyeru padaku menawarkan jasanya.

Rasa manis menjalari lidahku. Ada kenikmatan tersendiri di situ. Lalu serpih-serpih roti hasil kunyahanku terasa begitu legit mencubit ingatanku. Ah ya, aku ingat Dayat lagi di saat aku mengunyahnya.

Kuteruskan keasyikanku dengan langkah yang ringan menuju ke dalam sana. Ada masa laluku yang kini menghadangku minta dicumbu. Di muka rumah nomor 34 rotiku habis tak bersisa. Seperti habisnya masa laluku dengan Dayat.

Aku seperti kembali ke pangkuannya. Ke dalam hangatnya pelukan Dayat yang dulu menciumku di ujung gang itu. Dengan bersandar di balik dinding rumah jendral kaya-raya yang sangat berpengaruh di kampung kami ini, dipakunya aku ke dinding berbalut batu koral itu. Kemudian bibirku habis dikulumnya selagi dia mendesahkan rindu dan nafsu birahi padaku.

-----------

"Tes...... tes.......," tiba-tiba punggung tangan yang baru saja kupakai mengelap pipi dan bibirku basah oleh rintik hujan yang menetes dari langit membuyarkan Dayat di ingatanku. Aku kembali kepada kekinianku.

Dayat sudah pergi. Itulah realita yang harus kuhadapi. Ah aku amat membenci takdirku itu.

Kuraih lagi bongkahan roti kedua dari dalam kantung plastik yang kujinjing lalu kugigit dan kukunyah dia puas sepuas-puasnya seraya melangkah keluar masuk gang tikus yang tidak lagi kukenali adanya. Namun aku terus saja berjalan, dengan mata nyalang mencari-cari barangkali Dayat kecilku tertinggal di situ dan bersembunyi di dalam salah satu rumah kecil yang kini tak lagi bisa kukenali dengan baik.

"Dayaaaaaaaat....................," panggilku dengan ingatan kuat. "Di manakah engkau membuang diri dan kini membunuh masa depanku?" Tak terasa air hujan itu menetes makin deras membaur menyamarkan air yang mengalir dari dasar hatiku yang terluka terbuang, merana kesepian. Dan seribu kepala melongok-longok sepanjang gang yang tak berujung menertawakan aku dan masa laluku. Si gadis lugu yang telah sepantasnya berlalu.

(Bogor, Medio Mei duaribusepuluh)

Minggu, 21 Maret 2010

PERJAMUAN SEMU

Menghabiskan sepi
Aku menari
Dibawa mimpi
ke jauh hari

: Buat Haryo

(Taman, 21 Maret 2010 malam 19.59)

Sabtu, 20 Maret 2010

PULANG DARI BRONX

Aku pernah memimpikan tidur di Bronx
Dan membaur bersama pekerja-pekerja kelas hitam
Membaui asap rokok
dan menjilati sisa-sisa alkohol mereka
sampai ke isapan yang terakhir

Aku pernah ingin menggumuli mereka
Dan menyisiri jaring-jaring kehidupannya
Barangkali pada sela-sela itu
Aku bisa bertemu kembali
anak rambutku
dan mata cincin yang jatuh terlontar jauh
ke kedalaman samudera hitam

Aku pernah ingin mengukir diriku
Biar terpapar luka, panas pedih peri
Lalu sesudah itu
kuterima ijazah
tanda aku sudah lulus
menantang kehidupan
yang lurus tanpa putus

Aku pernah bermimpi tentang Bronx
Di kota penuh gemerlap meski ternista hitam
Dan kini aku telah pulang
Melenggang dari New York
Kembali padamu
Rumah kehidupanku
yang abadi itu

(Menjelang selesai pertapaanku, di Bogor, 21 Maret 2010)

Sabtu, 06 Maret 2010

LAGU KEHIDUPAN

Aku melihat kejujuran di bening bola matanya yang menyala terang. Bola mata seorang perempuan yang dulu kupanggil sebagai ibu.

Juga kucermati keindahan cinta di senyumnya yang manis. Yang terlahir dari setangkup bibir merekah delima. Aku pernah sangat mengaguminya.

Sama kagumnya dengan perasaanku pada kelembutan suara merdu yang dihadirkannya ketika beliau membuaiku dengan sepasang tangan berjemari halus lagi lentik. Ah, perempuan itu begitu memukauku.

-----------

Dulu, dulu sekali ketika umurku belum genap sejumlah jari pada dua belah tangan, perempuan itu pergi meninggalkanku. Dengan tetesan air matanya dia menyampaikan pesannya, "selamat tinggal anakku," lalu menghilanglah bayangnya terbawa pusaran roda kereta yang konon kata nenekku berlari menuju ke Jakarta. Ke sebuah tempat yang bayangannya saja belum pernah mampir ke benakku. Apalagi sampai aku menghirup hawanya yang konon panas dan berbau penguk. Namun jelas tempat itulah yang mengusir ibuku dari sisiku, genap dua puluh tujuh tahun yang lalu.

Lalu sekarang, tiba-tiba semuanya seperti menjelma kenyataan. Aku berdiri di atas tanah kering yang retak oleh sengatan garang matahari. Di sekelilingku bangunan-bangunan menjulang tinggi menenggelamkan badan dan jiwaku yang memang kerdil. Selagi di luaran sana deru dentam kehidupan terasa, lewat motor-motor yang terpasang di tubuh besi kendaraan beraneka rupa, mulai dari yang kecil hingga yang panjang menyerupai gerbong sebuah kereta api.

_____

Dan perempuan yang kusebut ibu, kini ada di dekatku. Tapi raut wajahnya sudah menjelma keangkeran ibu kota. Bola mata itu tak lagi bening. Selapis rona merah menyelaputinya tipis-tipis, selagi gumpalan daging bertonjolan biru kehitam-hitaman di bawah kelopaknya.

Namun suara ibuku masih saja merdu, meski bau arak menyengat keras ketika dilantunkannya suara itu untuk mengajariku menyanyi. "Nadamu terlalu tinggi," koreksinya. "Ambil nafas dulu, dan buang pelan-pelan bersama lagumu," lontarnya lagi lain waktu. "Buka mulutmu lebar-lebar, dan perhatikan artikulasimu," beliau mengajariku lagi. Lagi dan lagi-lagi demi menjadikanku sebagai seorang penyanyi professional.

Ibuku memang menghidupi diri dari menyanyi. Beliau menghabiskan malamnya di sepanjang jejeran kelab malam yang memanjang di Jakarta Kota. Dan dari situ aku bisa menamatkan sekolahku yang tidak tinggi-tinggi amat. Tapi aku sudah cukup puas dan berterima kasih atas kerja keras ibuku, Sutini yang kini telah berganti menjadi Tien Aryati.

Itulah nama yang berhasil menautkanku kembali dengan ibunda, ketika aku datang ke Jakarta tiga tahun lalu. Aku sudah hampir lima hari menyusuri jalanan berdebu melawan ganasnya arus lalu lintas dan sengatan matahari. Tapi tak seorangpun bisa menunjukkan di mana Sutini, ibundaku berada.

Jalanan lebar, padat dan bising itu sudah kuhabiskan semuanya, sampai akhirnya aku tersuruk ke lorong-lorong memanjang bercabang-cabang yang sempit, gelap lagi berbau. Di situ aku merebahkan tubuhku. Pada sehelai karpet hijau tua yang sudah pudar warnanya dan tak lagi nyaman diduduki. Tapi justru di situlah aku menemukan kenyamananku sepanjang aku menghabiskan masa di Jakarta.

Aku diizinkan Engkong Ijong tidur bersamanya sambil membantu-bantu pekerjaannya membersihkan masjid dan menjaganya. Kurapikan kitab-kitab suci yang tak lagi beraturan, serta kucuci pakaian-pakaian sembahyang yang berbau dan kotor dengan kedua tanganku. Di sumur tua, pada sisi belakang masjid yang kemudian mempertemukanku dengan seseorang yang kucintai.

Gadis itu tak lebih tua dariku. Tapi kesengsaraannya menjadi warga ibu kota kelas pinggiran menjadikannya lebih matang dariku. Ceritanya, dia beribukan seorang pekerja malam.

"Di bilangan Tanah Abang, bang," dia menyebutkan lokasi pekerjaan ibunya. "Mama baru akan sampai di rumah selepas jam dua malam. Karena itu semua pekerjaan terpanggul di bahuku........" Getir diceritakannya kerasnya kehidupan Jakarta padaku.

"Bagaimana dengan ayahmu?" Tanyaku tak bisa mengerti. Yang ada di pikiranku, lelaki yang disebutnya ayah seharusnya menanggung beban kerja luar rumah yang dilakoni ibunda Mariati, gadis itu.

"Ayahku ikut kerja sebagai TKI di negeri tetangga. Sudah sangat lama, ketika lahan parkiran di seputar pasar Tanah Abang jadi keroyokan banyak orang. Ya, hasilnya memang tak juga seberapa, tambahan lagi ayah jarang-jarang pulang," gadis itu menggigit bibirnya sambil meneruskan mencuci baju-baju mereka diterangi bulan di langit sana.

"Apa saja kegiatanmu di waktu siang, dik?" Tanyaku penuh selidik.

"Mengurus kelima adikku sambil mencucikan baju-baju orang di sekitar sini," dia berkata lagi separuh sambat. Ada sebersit kepahitan di suaranya yang datar. Katanya dia cuma tammatan SMP. Dan di Jakarta, itu artinya tak ada perusahaan apapun yang mau menerimanya sebagai pegawai kecuali mungkin sebagai tukang sapu. "Klining servis, bahasa kerennya, bang," dia menjelaskannya padaku yang turut prihatin akan nasibnya.

Maka mulai malam itu aku duduk-duduk di bangku kayu di sumur masjid itu bersamanya, turut membantunya mencuci baju keluarganya sendiri. Dua washkom plastik besar diisinya penuh-penuh dengan air yang ditimbanya dengan pompa tangan. Ah, kasihan benar nasibnya.

"Boleh aku ikut mencucikannya?" Tawarku ketika dia datang lagi sambil membawakanku semangkuk plastik nasi putih dengan sekeping kerupuk, tempe goreng dan kuah sayur.

"Ini untuk abang," katanya malu-malu sebelum menolak tawaranku dengan halus. Pipi itu menunjukkan lesungnya, walau dia tidak tambun. Dia tahu dari Pak Ijong bahwa aku sedang mengelana menyusuri ibu kota untuk mencari perempuan yang melahirkanku tanpa bekal yang cukup.

"Terima kasih," kataku senang pada akhirnya. "Biarkan tanganku yang mengerjakan baju-baju kalian, selagi kau menyetrika hasil cucianmu kemarin," bujukku merengek-rengek.

Dia menatapku tajam-tajam sebelum kemudian mengangguk setuju dan tersenyum lagi. Lalu dia melangkah masuk ke bagian belakang masjid dan menggelar selimut-selimutnya di lantai sebelum mencolokkan kabel setrika listriknya di situ. "Di rumah kami tak ada tempat bang, adik-adikku bergeletakan nyaris di seputar ruang rumah kami," penjelasannya tanpa kuminta seraya menggambarkan keluasan rumahnya yang sempit dengan gerakan tangannya.

----------

Dan di salah satu saku celana panjang perempuan itu, aku menemukan sehelai foto. Seorang wanita paruh baya yang wajahnya mirip topeng. tapi aku seperti sangat mengenalinya. Ada sepenggal ingatanku di balik baluran bedak tebalnya dan lipstik merah menyala yang tergambar di foto itu.

"Ini, kutemukan foto ini di saku celana panjang coklat tua itu," ungkapku seraya menyerahkan foto itu kembali ke tangannya. Untung belum basah kena siraman air yang nyaris saja kukucurkan dari tabung pompa.

"Aduh, terima kasih. Itu ibu saya," jawab si gadis. "Kemarin ibu ke kelurahan mau buat KTP baru," dia menjelaskan padaku asal-mula foto itu menghuni saku celana panjang sang ibu.

Dan sejak itu, bermalam-malam lamanya kami asyik mengobrol bertiga dengan kong Ijong selagi dia menyeterika dan aku mencucikan baju-bajunya.

"Dia sudah mirip cucu saya sendiri," Kong Ijong bercerita tentang Mariati.

Sebetulnya Mariati anak cerdas, pandai mengaji dan rajin pula. Tapi nasib membuatnya tak bisa berkiprah apa-apa. Dia seperti harus mengalah demi adik-adiknya yang menurutnya wajib diutamakan.

"Abang ajari Maria Bahasa Inggris dong," pintanya ketika dia tahu aku lulusan D-1 Bahasa Inggris di kampungku.

Dan mengajari Mariati tidaklah sesulit yang kubayangkan, karena perkataan Engkong Ijong benar adanya. Dia sangat cerdas dan mudah mengerti.

Dari hari ke hari hubungan kami menjadi semakin dekat. Dia tak ubahnya kekasih bagiku, selagi kelihatannya dia juga menaruh hati padaku walau tak dikatakannya. Aku juga mengajari adik-adiknya mengaji karena aku sudah menjadi orang kepercayaan Kong Ijong untuk berbagi murid. Tidak sia-sia pelajaran yang diturunkan mbah Samad kakekku setiap malam di langgar keluarga kami di desa sana.

"Rasid, kamu harus menemui ibunya sebelum kamu berangkat ke pasar nanti. Agar kamu bisa mengenali keluarganya lebih baik. Tidak patut kamu menggauli anak gadisnya, tanpa mengenal orang tuanya," tegur Kong Ijong selepas sembahyang subuh ketika aku hendak pergi mandi. Sebab sebelum pukul setengah tujuh aku sudah harus berangkat ke perusahaan yang mempekerjakanku dan mempercayakan pengiriman barang ke para pedagang di pasar. Dan biasanya, ibunda Mariati yang katanya bernama Tien Aryati sudah terbangun untuk mengurus anak-anaknya sebelum kemudian berangkat lagi ke kapsalon milik ibu Susy di daerah Rawamangun yang mempekerjakannya sebagai penata rambut.

Aku mengangguk, mengiyakan Kong Ijong. Maka selepas menghirup teh panas dengan singkong rebus yang disiapkan Nyak Jaenab istri beliau di dapur bilik gubug mereka yang merapat ke tepi Ciliwung, aku memberanikan diri mengunjungi rumah petak keluarga Mariati. Di pintu rumah mereka yang gelap serta pengap, Mariati menyunggingkan senyumannya kepadaku.

Kuutarakan maksudku kepadanya. Disambut oleh seraut wajah kuyu yang menurutku sangat kukenali, aku melangkah masuk. "Oh, ini nak Rasid yang kata si Mar sudah setengah tahun lebih tidur di masjid?" Semburnya tanpa basa-basi.

"Yuk, sini duduk deh. Ada perlu apa?" Sambungnya ketus.

Hanya ada sebuah sofa tua di situ dan tiga kursi plastik yang masing-masing berlainan warna. Aku menempati salah satunya, selagi si ibu duduk di sofa agak menjauhiku.

Kuungkapkan maksudku untuk memperkenalkan diri, sebab aku merasa juga bahwa aku sudah terlalu akrab dengan anak gadisnya. Lalu perempuan tua itu menyambungnya dengan cerita tentang mereka sendiri.

Suaminya pergi bekerja sebagai pekerja di lahan kelapa sawit di Kalimantan Utara tapi tanpa pernah pulang ke rumah. Hanya sesekali dia mengirimkan uangnya dengan dititipkan kepada orang yang kebetulan bisa dititipi. Selagi ibu itu sendiri, yang katanya tak pernah berani pulang ke kampung halamannya, bekerja keras siang-malam demi menghidupi selusin anggota keluarganya.

"Ayahku seorang guru di Madrasah. Dulu sebelum meninggalkan desa, aku berpamitan akan mencari suamiku, yang meninggalkan aku dengan anak sulungku lelaki ke Jakarta untuk mengadu nasib. Tapi dia tak pernah kutemukan di rimba raya Jakarta ini. Sedangkan bekalku habis tak bersisa walau sekedar untuk ongkos pembeli karcis kereta malam," cerita bu Tien kepadaku.

Setelah itu dalam keputusasaan aku mau saja menjajakan diriku ke tangan siapapun orang yang bersedia memakai tenagaku sekedar untuk mencukupi kebutuhanku serta mengirim biaya hidup anak lelakiku di kampung.

"Mas Warjo transmigran asal Lampung itulah yang mula-mula memakaiku sebagai temannya mengamen di jalanan ibu kota. Kami biasa naik-turun bus dan keluar-masuk kampung. Dia juga yang pertama-tama memberiku rumah tumpangan di belakang warung nasi milik bibinya yang asal Tegal. Kami membayar murah di situ. Tapi uang kami tak pernah cukup untuk ditabungkan dan dibawa pulang ke desa. Akhirnya kami menggelandang di sini dari satu kampung ke kampung, dengan membuahkan Mariati dan adik-adiknya. Lalu mas Warjo berpamitan mengadu nasib ke luar negeri, sedang aku terpaksa bergelut sendiri demi menafkahi anak-anak kami yang terlahir tanpa surat kelahiran. Sebab kami hanya menikah di bawah tangan," ungkapnya getir. Katanya beliau tak pernah punya biaya untuk mengurus pernikahan mereka.

---------

Nasib baik berpihak kepada bu Tien. Suaranya yang lumayan merdu terdengar oleh seorang pemilik kelab malam. Lalu dia dipekerjakan padanya. Sebagai penyanyi sekaligus wanita penghibur. Setelah itu, seorang waria temannya di kelab malam itu membawanya bekerja di kapsalon milik temannya ibu Susy, sebagai penata rambut partner kerja dirinya yang ahli merawat dan merias wajah. Itulah yang ditekuni dan tetap dilakoninya hingga kini agar Mariati dan kelima adik-adiknya tetap dapat makan walau tak seberapa.

"Keinginanku hanya satu Rasid," sambatnya kemudian. "Bertemu kembali dengan anakku sendiri yang mungkin sekarang sudah bujangan dan punya keluarga juga," ia kelihatan memendam rindu di suaranya yang parau. Ada setitik cairan bening meleleh mengaliri kedua belah pipinya. Ah, keinginan yang sama denganku yang tengah menelusuri keberadaan ibu Sutini, ibundaku.

"Di mana kampung ibu?" Tanyaku ragu-ragu namun sesungguhnya sangat ingin memperoleh kepastian darinya.

"Di sana, di Jawa.......," dia tak menuntaskan kata-katanya.

"Aku sangat rindu padanya. Terlebih-lebih ketika aku mencermati lekuk-liku wajahmu yang tampan. Kau sangat mirip dengannya. Nasarudin, lelakiku yang tak pernah kutahu lagi keberadaannya." Kini air mata itu mulai mengalir semakin deras.

Seketika hatiku tercekat! Nasarudin. Nama lelaki yang sangat mirip dengan nama yang pernah kudengar keluar dari mulut kakek-nenekku ketika mereka berbincang-bincang suatu hari di masa kecilku dulu. Kalau tak salah tangkap, itulah lelaki yang harus kusebut sebagai bapak.

Wajahku menjadi pucat pasi. Padahal terangnya matahari mulai menembusi kaca nako di ruangan sempit itu. Mariati yang kini kusebut sebagai gadisku menatapku dari ruang dalam yang tanpa sekat sambil menyapu lantainya bekas guguran butir-butir nasi goreng adik-adiknya. Aku jadi malu karenanya.

"Di mana tepatnya kampung ibu?" Tanyaku dengan bibir bergetar hebat.

Kini perempuan tua itu yang kebingungan menatapku. "Ada apa gerangan?" Dia balik bertanya.

"Hm....., saya juga datang dari Jawa," kataku ragu-ragu.

Dia tak menjawab cuma mengatupkan bibirnya. Aku tak dapat menerka apa yang ada di pikirannya. Bagiku, ibu ini penuh tanda tanya. Serumit perjalananku menyusuri ibu kota guna mencari ibu yang telah melahirkanku.

Akhirnya kamipun terdiam sangat lama. Sampai suatu saat dia memulai pembicaraan ketika aku akan melangkah berpamitan.

"Nak Rasid, besok kembali lagi ya," ibu masih mau bicara kepadamu.

-----------

Pagi itu, di sudut dapur sempit mereka, aku ikut duduk menyantap nasi goreng buatannya atas permintaannya. "Apakah kau berasal dari Jawa Tengah?" Tanyanya mula-mula. Kemudian beliau menyebutkan sebuah daerah yang aduhai, tak lain dan tak bukan adalah tanah kelahiranku jua.

Setelah itu semuanya berakhir dalam pelukan dan tangis yang memecah kesunyian diri. Sunyi dari rasa cinta dan kasih sayang yang lama tak tersalurkan. Ibuku Sutini kini menjelma menjadi Tien Aryati. Dan dia memelukku sambil menghabiskan semua rindunya padaku.

Lalu berakhirlah sudah kisah asmaraku melumat bibir perawan Mariati di sumur tua masjid yang kutinggali. Sebab, dia adalah adikku sendiri.

Dan, malam ini ketika audisi pencari bakat penyanyi baru tengah berlangsung, yang tergambar di mataku hanyalah kisah masa laluku dan lecutan ibundaku yang mengajariku melantunkan lagu-lagu sebagai modal mencari nafkah. Sebab, aku sadari, aku harus mengambil alih beban berat yang selama ini dipanggul seorang diri di bahu adik cantikku : Mariati sang perawan yang belum sempat kunodai. Alhamdulillah, imanku masih kuat. Semua karena Allah Lillahi Ta'ala.

(Bogor, sembilan Maret dua ribu sepuluh)


Selasa, 09 Februari 2010

MENUNGGU CINTA

Berlarilah cinta
hanya padaku
Seperti ketika
setiap adzan menggema memanggil-manggil
hanya di telingaku

Jauhkankanlah aku
dari bujuk burukmu
Dan panggilkan aku
iman hidupku

Mendekatlah cinta
hanya padaku
Sebab aku telah lama rindu
Darah rasulmu
Yang mengalir mengairi nadi
di jiwaku

Mendekatlah aku
Sepenuh waktu
pada jiwaku
di padang itu

Selagi petang
telah menghadang
mengajak pulang
hati yang kerontang

(Pinggiran kota malam hari, sembilan Februari dua ribu sepuluh)

Senin, 08 Februari 2010

SEMANGKUK SUP DI MUSIM GUGUR

Segumpal rambut yang tebal menyembul dari sela-sela paha perempuan bernama Fitriana yang merekah. Darah mengalir menyertainya, diikuti lengking tangis yang maha dahsyat. Kemerduan itu, suara seorang anak sehat yang dilahirkannya barusan saja.

Anak itu tak pernah diharapkannya, di saat dirinya masih menyelesaikan serangkaian tugas sekolahnya di perguruan tinggi ternama di negeri ini yang untuk mendapat sebuah bangkunya pun butuh kecerdasan yang sangat kuat. Tetapi lelaki yang nyaris tak bertanggungjawab itu telah membiusnya dengan serangkaian kata-kata manis dan janji angin surga yang ternyata kepalsuan belaka. Kini, bayi yang baru saja dilahirkannya menangis dengan kuat, seakan melantunkan semua kekecewaan dan kepedihannya.

----------

Fitriana datang dari keluarga yang sesungguhnya sangat terhormat, berpendidikan dan kuat memegang agamanya. Ayahnya Kyai yang mempunyai banyak pengikut, dan termasuk sesepuh masyarakat yang disegani. Sedangkan, ibunya perempuan biasa keturunan bangsawan yang juga mempunyai cakrawala pemikiran yang luas.

Di tangan asuhan keduanyalah Fitriana tumbuh menjadi gadis cemerlang yang tidak pemalu. Kawannya banyak, termasuk para lelaki yang belajar mengaji kepada ayahnya. Munawir adalah salah satunya.

Lelaki yang sedikit lebih tua darinya itu datang dari keluarga sederhana, namun cerdas dan punya semangat belajar yang tinggi. Di antara santri-santri ayahnya, Munawir termasuk yang disayang dan dipercaya karena semua kebaikan yang dimilikinya itu. Oleh sebab itu tak heran jika Kyai Haji Anwar Saleh membiarkannya mengajak putrinya menimba ilmu sampai ke ibu kota dan tinggal berdekatan di negeri yang baru pertama kali mereka injak itu.

Kini, darah yang mengalir di sela-sela paha Fitriana telah menahbiskan seorang darah dagingnya yang tak tahu dosa, hasil perbuatannya dengan Munawir yang terusir pergi dari sisinya ketika kedua orang tuanya mendapati kejadian yang amat mencoreng harga diri mereka itu. Si kecil Ramdhani yang kemudian menjadi bayi asuhan sepasang suami-istri tua pemilik balai pengobatan yang di masa itu dikenal sebagai "klinik kesehatan".

Mereka sekaligus juga memiliki panti asuhan guna merawat makhluk-makhluk yang kurang kasih sayang dan terpaksa merana ditinggalkan orang tua mereka karena berbagai sebab. Dan Ramdhani kecil sangat beruntung ketika malaikat baik hati turun menyamar menjadi sepasang suami-istri yang amat mendambakan anak, lalu membawanya menjadi milik mereka.

Dia besar dalam asuhan mereka tanpa pamrih. Sementara itu, Fitriana kemudian menjauh, mencari lapangan hidup baru, menyeberangi benua hingga mendekati kutub utara tanpa pernah terdengar lagi kabarnya. Kyiai Anwar Saleh ayahnya, menyuruhnya bersekolah setinggi-tingginya demi melupakan dosa yang telah diperbuatnya atas bujukan Munawir yang menjelma sebagai sosok iblis di masa remajanya.

----------

Hawa sejuk musim gugur yang ditimbulkan angin yang menerbangkan dedaunan merah-oranye di pepohonan mapple, tiba-tiba saja membawa langkah kaki Wishnu menapaki gedung megah di seberang tempatnya berdiri. Sebuah pertokoan bertingkat-tingkat yang tak pernah diinjaknya di kampungnya di Indonesia sana, menjadi pemikatnya untuk duduk menghangatkan tubuh.

Dia memilih sebuah meja dua kursi di sudut remang-remang Yang Tze yang biasa menyajikan ayam goreng garing yang renyah dan sup kepiting yang gurih. Sepasang perempuan dan lelaki tua duduk di dekat mejanya, juga berwajah Asia yang sama bagus dengan dirinya.

Meski banyak orang Indian yang berpenampilan mirip dirinya sendiri, tetapi logat dan cara bicara pasangan tua itu mengingatkan Wishnu pada kedua mendiang orang tuanya. Senyum malu-malu sang ibu yang dikulum dicermati dengan sengaja oleh si lelaki yang menghadang matanya dengan garang. Jakun lelaki itu turun-naik sambil menghirup teh panas yang disajikan dalam mangkuk keramik kecil berbunga-bunga merah.

Pikiran Wishnu ada pada orang tuanya. "Ah, seandainya saja mereka saling mengenal," katanya dalam hati.

Dalam kesendiriannya sepulang bekerja, Wishnu merasakan kesepian yang dalam. Ruslaini istrinya masih ditinggal di Indonesia, karena dia baru saja melahirkan anak pertama mereka, sedangkan kantornya belum menyediakan tempat tinggal untuk mereka.

Baru saja lima bulan yang lalu Wishnu menginjakkan kaki di belahan utara Amerika. Masa depannya masih panjang membentang luas. Dan untuk mencapai kemenangan dalam pekerjaannya, Wishnu masih perlu bekerja keras. Mempelajari semua hal yang terhidang di depan matanya, agar ketika pimpinannya menghendaki sesuatu, dia telah siap mengerjakannya sebaik mungkin. Dan inilah musim gugur pertama yang dialaminya. Musim yang baginya sangat menggigilkan sama menyengsarakannya dengan pekerjaan-pekerjaan berat yang dibebankan ke pundaknya yang belum lama memulai pekerjaannya sebagai abdi negara.

----------

Pasangan tua itu berbicara dalam bahasa yang sulit dipahaminya. Antara bahasa Inggris dengan bahasa asing lainnya, dan antara bahasa Melayu dengan bahasa entah apa yang tak jelas di telinganya. Wishnu terus saja mengamatinya lengkap dengan telinga dibukanya lebar-lebar sambil menunggu pesanan supnya datang.

Pelayan restoran itu baru meletakkan sepiring kerupuk dan sepoci teh di hadapannya. "Silahkan," katanya mengusik keasyikan Wishnu dan pikirannya. Dia menggumamkan terima kasih, lalu menjepit kerupuk dengan jari-jarinya diikuti meneguk teh panas yang tak pernah berwarna merah.

Sementara itu, di seberangnya, pasangan tua itu sedang asyik mencuili ikan kukus serta menjepit cakar-cakar ayam dengan sumpit mereka. Ada kenikmatan yang tak terkatakan pada setiap kecapan mereka disertai kehangatan jiwa pada gerak tangan si nenek yang melayani hampir setiap suapan suaminya. Entah mengapa, Wishnu menyimpan rindu kepada kedua orang tuanya sendiri setiap dia menumbukkan matanya kepada pasangan tua itu.

----------

Sup hangat itu terlalu panas untuk seketika dijejalkan ke mulutnya. Maka dengan perlahan dia menghembus-hembus lewat bibirnya. Dan gumpalan-gumpalan uap tipis yang buyar oleh ulahnya, menjadi media tersendiri untuk Wishnu mengembangkan imajinasinya.

Di situ, pada setiap kepulan uap dari mangkuk supnya, dia seperti bisa melihat sosok perempuan yang selama ini disimpannya dalam laci perasaannya dengan baik. Pada wangi aroma hidangan laut yang dihidunya, dia seperti bisa merasakan wangi rambut seorang perempuan berkebaya yang menjurai hingga ke pinggang dengan warna hitam legam berselaput minyak kelapa bercampur bebungaan dan pandan wangi.

Wishnu tidak pernah tahu siapa dia. Tapi nalurinya mengatakan, perempuan dalam bayangannya itu ada. Dan kini, dia ada di sisinya, di meja sebelah situ sedang melayani suaminya dan menyuap untuk dirinya sendiri.

Ingin rasanya dia menyapa lembut perempuan itu, lalu mencium kedua punggung tangan dan bila diizinkan, juga kedua kakinya dengan takzim. Sebab dia seperti sedang menyaksikan segurat wajahnya di alis, mata dan bibir perempuan itu.

Wishnu kembali buyar dari lamunannya, seiring dengan datangnya semangkuk kangkung panas yang lekat beraroma bawang putih dan jahe serta sepiring irisan-irisan tipis daging sapi yang lezatnya sudah bisa dirasakan di lidahnya yang masih asyik mengecap sup kepiting itu.

"Terima kasih," katanya kepada si pelayan meski dia merasa sedikit terganggu. Buru-buru dia meneruskan makannya, selagi sang pelayan membantunya menuangkan teh panas ke dalam mangkuk mininya. Dan kembali disusunnya bayangan yang dibentuknya semula, hingga dia merasakan sensasi kerinduan itu kembali datang.

Ah ya, dia sangat sadar kini, bahwa dia sangat merindukan perempuan itu. Perempuan sumber keberadaannya di muka bumi ini yang belum pernah dilihatnya secara langsung. Lalu air matanya menangiskan keresahan hatinya berbaur dengan kuah sup panas di mangkuknya.

-----------

Ketika Wishnu bangkit menuju ke kamar kecil dan menyenggol selendang yang disampirkan si nenek di kursi di dekatnya, perempuan itu melirik kepadanya. Matanya tajam, meski kecil menyipit. Disertai alis yang nyaris menyatu, dia menatap wajah Wishnu. Tiba-tiba ada getaran maha hebat pada kedua keping dada mereka. "Oh, ma'af, I'm so sorry, ma'am....," kata Wishnu seketika menunjukkan penyesalannya.

Seperti tersengat petir, perempuan itu menajamkan pendengarannya. Mulutnya sedikit menganga, sambil dia memperbaiki kembali letak syal merahnya yang nyaris rebah ke tanah. "That's all right. No problem, -eh- saya tidak salah dengar?" Dia berkata entah hanya tertuju kepada Wishnu entah juga kepada lelaki pasangannya yang kemungkinan besar adalah suaminya sendiri.

Wishnu sendiri juga seperti tersentak. Namun dia cuma menebarkan senyumnya smabil memperlihatkan deretan giginya yang putih rapi.

"Anda dari Indonesia?" Ucap perempuan itu lagi menahan laju langkah Wishnu, membuat semua khayalannya menjadi semakin kuat. "Betul," jawabnya ragu-ragu. "Ma'af ibu," ulangnya lagi seraya meninggalkan meja dan hidangannya yang nyaris habis masuk menghangatkan tubuhnya memberi enerji.

----------

Siang itu dia tidak berkata-kata apapun kepada pasangan tua yang dijumpainya di restoran "Yang Tze" selain kata ma'af. Tapi batinnya terus terusik, dan khayalan di mindanya terus jua melaju. Menggambarkan segala apa yang selama ini menjadi tanda tanya dalam batinnya.

Dalam buaian bantalnya ketika dia sudah merebahkan jiwa dan raganya di kasur, kembali dia terkenang cerita kerabatnya tentang siapa dia yang sesungguhnya. Seorang bocah kecil keturunan seorang Kyiai ternama yang lahir di tengah malam buta yang sunyi mencekam di balik hiruk pikuk sebuah kota besar.

Sesungguhnya dia bukan Wishnu Narendra bin Narasoma. Ramdhani namanya. Bayi mungil Fitriana yang sekarang entah di mana.

Selanjutnya kehangatan comforter biru tebal yang dibelinya di Sear's Company mengantarkan sebentuk mimpi kepadanya. Perempuan itu, yang tadi siang ditemuinya di lantai dasar restoran Yang Tze, datang kepadanya dan memeluknya dengan kencang disertai isak tangis yang mengalun tak berkesudahan. Bak irama seruling bertemankan biola di alam terbuka.

"Ma'afkan aku Ramdhani. Ayahmu Munawir telah mencoreng harga diri kakekmu. Lalu aku dipisahkan darinya, dan terpaksa meninggalkanmu. Aku telah berhasil menyelamatkan nama baik kakekmu. Dan kini aku adalah perempuan tua yang tiada berarti di negeri yang beku. Anak-anakku bukanlah orang-orang beriman yang berbudi tinggi. Mereka hidup hanya untuk diri mereka sendiri. Inilah Amerika, anakku Ramdhani! Dan lelaki yang kau jumpai tadi sa'at aku makan bersamanya, adalah Munawir ayahmu yang datang menyusul belakangan hari setelah suamiku seorang bangsawan Priangan berpulang di sini beberapa tahun lalu. Ma'af kan aku Ramdhani, ayo, mendekatlah, dan peluklah aku.........."

Selagi sang ibu menceritakan ihwal dirinya, kesadaran Ramdhani pun terbangkitlah. Ya, dia hanyalah ibarat sebutir telur yang keluar begitu saja, untuk kemudian dipungut tangan-tangan halus dan diolah menjadi sejenis masakan sehingga harus memiliki identitas baru. Bersama bawang putih dan jahe yang menyemarakkannya, dia tampil di meja restoran Yang Tze tadi siang, sebagai bagian dari penyedap sup kepiting yang dipesannya.

Lalu terasalah sekali lagi kehangatan dan kelezatan sup kepiting yang sudah mengendap di dalam perutnya serta mengaliri ususnya. Ya, kini dia bukan lagi Ramdhani -sebutir telur-, melainkan Wishnu, semangkuk sup kepiting yang gurih karena telah dicampurkan juru masak ke dalam daging hewan laut yang sesungguhnya jauh dari kandang ayam yang melahirkannya.

Sementara itu angin di luar rumahnya kencang bertiup, menggetarkan pepohonan membawa desingan yang menderu-deru menyeramkan. Juga menggugahnya dari mimpi yang tak bisa ditafsirkannya sendiri.

Wishnu kini terduduk. Terdiam bingung di atas ranjangnya, sebuah divan kayu yang berwarna coklat tua. Kayu mahoni yang mengikat dirinya kepada kehangatan melawan musim gugur yang dahsyat. Ah ya, Wishnu alias Ramdhani hanyalah seorang pendatang dari negeri berlumur matahari di negeri salju empat musim ini. Dengan membawa semua harapan dan mimpi-mimpinya, dia bertekad bangkit merajut kebahagiaan lewat kerja keras dan semangatnya. Semoga perempuan tua itu merestuinya kendati dia tidak pernah berkesempatan mereguk dan mengisap air susu padanya.


(Taman Cimanggu, sepuluh Februari dua ribu sepuluh)

Sabtu, 06 Februari 2010

RUANG KOSONG SEBUAH HATI YANG BERNODA

Tak baik duduk melamun saja, demikian yang kuingat dari penggalan kehidupan di rumah orang tuaku dulu. Aku terlahir sebagai anak satu-satunya dari sepasang orang tua yang sudah renta. Entah mengapa Tuhan memberikanku ke dalam asuhan mereka. Yang pasti, aku aman di tangan beliau. Lelaki tua dan istrinya yang aku sayang dan hormati dengan sebutan Bapak dan Mama.

Bapak, panggilan biasa untuk suku kami, seorang pensiunan pegawai negeri yang jujur. Meski bukan pegawai tinggi, tetapi aku yakin bapakku tidak suka berurusan dengan hal-hal yang di luar kewenangannya, agar beliau dapat beristirahat dengan tenang di masa tuanya.

Dan karena itu, Mamaku, -sebutan yang kuadopsi dari sebutan orang-orang elite kepada ibundanya- bekerja sebagai pembuat kue yang handal. Akulah anak lelaki satu-satunya yang kemudian bertugas mengantarkan hasil karya ibuku kepada para pelanggan kami, baik nyonya-nyonya gedongan maupun orang biasa yang doyan mengudap kue kering dengan kopi mereka.

Salah seorang pelanggan setia Mama, istri seorang terpelajar yang punya kedudukan cukup baik di kota kami, memiliki anak gadis yang lumayan menarik. Walau dia tidak cantik, tetapi kulitnya bersih dan caranya bergaul sangat menyenangkan. Gadis ramah yang nyaris sebaya denganku ini, kemudian mencuri hatiku.

Aku sangat suka jika dia membukakan pintu untuk sepeda kumbangku serta menyapaku hangat lewat sorot mata dan senyum malu-malu kucing di bibirnya. Ah, gadis itu, dia memikatku untuk berlama-lama di sana.

---------

Rumah perempuan itu sungguh bertolak belakang dari rumahku yang tersudut di balik dinding-dinding megah rumah tetangga, di dalam sebuah gang, Di balik tembok beton milik seorang jenderal ternama, aku tumbuh dan berkembang, selagi gadis yang mencuri ingatanku bebas merdeka berteriak-teriak menyanyikan lagu kesukaannya di dalam rumahnya yang luas dikelilingi taman dan sepetak kebun.

Tapi aku tidak mengiri kepadanya. Sebab, dia tidak punya kebebasan seperti yang kumiliki. Dia tidak bisa keluar rumah kemanapun dia mau disembarang waktu, mengingat ayahnya mempunyai serentetan aturan ketat yang membentenginya untuk jadi anak rumahan yang baik-baik.

Aku sangat yakin, selagi aku senang berkecipak di derasnya arus sungai yang mulai kotor kecokelatan, dia harus puas dengan duduk-duduk mencakung dan membaca di halaman rumahnya, atau sejauh-jauhnya di Kebon Kembang -taman milik negara-, di samping rumahnya.

Itulah penggalan kehidupan masa lalu kami, aku dan ibunya anak-anakku. Hampir empat puluh tahun yang lalu aku mengecap semua peristiwa itu. Dan kini manisnya sudah memudar entah mengapa.

-----------

Aku pernah memanggilnya "manis", mirip nama kucing kesayangannya, "Manisah". Dan kucing itu juga yang pernah mendekatkan kami satu sama lain.

Binatang berbulu putih hitam itu sangat lengket dengan roda sepedaku. Jika aku membunyikan loncengnya yang terbuat dari logam, serta merta kucing itu berlari menghampiriku. Lalu kakinya digaruk-garukkannya ke pipa celanaku, seperti minta belas kasihan berupa gendonganku.

Setelah itu, gadis mungil kesayanganku akan muncul dari balik pintu rumahnya, dan menebar senyum serta menyambut bungkusan yang kukeluarkan dari dalam keranjang sepedaku. "Ayo Manis," bujuknya, Turun. Kaki-kaki dan bulumu kotor." Kemudian dia meraih si Manisah dari gendonganku, sekedar untuk menyentuhkan lengannya ke tanganku. Aduhai mesranya masa-masa itu.

Entah kemana sekarang semuanya ini berlalu. Manisah tentu sudah mati. Tapi perempuan yang sangat amat kukagumi ini juga seperti sudah mati dari kehidupanku.

Sekarang sejalan dengan berlalunya waktu, aku tak lagi bisa mengingatnya dengan baik. Lekuk-liku tubuhnya, bahkan tahi lalat di atas bibirnya tak ada lagi dalam bayangaku.

Aku khawatir diriku telah melupakannya. Lebih tepat lagi seperti katanya menyindirku, aku telah melarikan diri dari kenyataan hidupku. Ah, alangkah ngerinya bila saja itu terjadi.

---------

Lebaran kemarin menjadi saat yang sangat menakutkan. Sepertinya neraka jahanam sedang mengintaiku. Dan mengharap lewat doa-doa syaithon untuk menggelincirkanku ke dalam apinya yang panas.

Aku hampir menjadi seperti Bang Toyib. Kulupakan keluargaku. Dan kususuri sendiri jalan hidupku tanpa pernah menoleh ke belakang serta berjingkat meninjau kejauhan di muka sana.

Namun di balik istriku, si gadis yang kini tak lagi pemalu serta menurutku seperti tak punya harga diri lagi, ada anak-anakku yang mengikatku untuk kembali. Lalu kulangkahkan kakiku ke rumah walau cuma sejenak.

Kucumbui satu persatu mereka, termasuk kenangan-kenangan kami yang lekat pada setiap sudut rumah dan benda-benda yang dulu kuperoleh dengan perahan tenagaku. Tapi hanya sejenak.

Syaithon itu kembali membujukku. Dia merajuk memintaku segera enyah dari singgasana abadi yang dulu kubuat sendiri. Astaghfirullahaladzim. Batinku menyeru dengan keras, selagi hawa nafsuku tetap membelot kepadanya. Ah, kemana kiranya larinya akal sehatku?

Sepiring daging yang dulu diproduksi Mamaku untuk ibu gadisku ada juga di meja makan kami. Istriku, si mungil yang dulu gadis pemalu itulah yang kini menyiapkannya, tidak untuk siapa-siapa melainkan hanya untuk diriku sendiri.

Dulu, dia selalu menerima daging dari dapur ibundaku dengan senang hati. Selagi aku juga mengantungi uang pemberian ibunya dengan kebahagiaan yang sama. Karena itu artinya, besok aku boleh menikmati makanan lezat dan bekal sekolah seadanya sebagai penambah hasil pensiunan almarhum ayahku, Bapak yang kuhormati.

Tapi masya Allah, kebencian syaithon pada sosok istriku telah meracuniku. Maka hari lebaran yang suci mulia ini kunodai sendiri dengan tak menyentuh hidangan yang disajikan istriku berbekal keterampilannya memasak yang diperolehnya dulu dari Mamaku. Aku meninggalkannya di meja makan kami dengan linangan air mata yang terasa lewat getaran kata-katanya waktu dia mencium tanganku untuk menyatakan kerinduan dan baktinya.

---------

Hari mulai merambat ke petang. Aku tak jua menyadarinya. Hatiku benar-benar telah lari entah kemana, dengan membawa semua kenangan masa kecilku yang banyak dengannya. "Ma'afkan aku, kekasih," sorot mataku mengatakan itu. "Izinkan aku mengubur saja semua masa lalu kita, karena aku sekarang akan segera pergi lagi. Pergi yang tak akan pernah kembali........."

Lalu kututup pintu rumahku sendiri. Dentamannya yang keras, sempat mengejutkanku sedikit. Namun lagi-lagi suara syaithon di luaran sana berdengung begitu keras. Gaungnya merajai telingaku, merusak semua ketenteramanku dan tanpa dapat dicegah dia telah membawaku pergi menjauhi diriku sendiri. Sehingga aku menjadi seseorang yang tertolol di dunia ini.

Aku tak berhasil memenuhi nasehat ibundaku. Duduk melamun kini bahkan jadi keseharianku. Itulah hasil panen di kebun amalku, karena aku hanyalah seorang manusia biasa yang kurang beriman dan lalai pada kewajiban seorang manusia.

Semoga tak seorangpun meniru langkah keliruku. Terlebih-lebih anak-anak buah cintaku dengan si Manis, kucingku sayang yang di mataku kini tiba-tiba menjelma sosok anjing penjaga yang setia. Oh ya, dia penjaga rumahku dan hatiku yang sedang kosong ditinggalkan penghuninya. Semoga Allah menyeretku kembali kepadanya di suatu hari nanti. SEMOGALAH.

Minggu, 31 Januari 2010

AKU

Aku
sekeping do'a di senja kala
Sebersit waktu di remang malam

Aku
mengayun langkah menuju Allah
Menghimpun bekal mengarah ke rumah
Tempat berkumpul semua senandung dan puji-pujian
Lagu abadi irama maknawi
Penyejuk diri pembuka hati

Aku
bersama dzikir menghamba diri
ke ribaanmu
Tuhanku
Sampai saat kau datang mengambil
Semua apa yang aku punya
Dengan seluruh rentak kasih-Mu
Rebah tanah menyelimutiku
Agar kekal cintaku satu
Kepada-Mu dan kasih sayang itu
abadi selamanya.


(Hari pertama Februari dua ribu sepuluh di Taman)

Sabtu, 30 Januari 2010

DI BERANDA RUMAH PADA SUATU PAGI

Mencuri pandang padamu
Aku tergores ingatan
Kau adalah sebentuk kenangan
yang menjelma bayang-bayang
Melintasi khayal
Meracuni sukma

Meneguk kisah-kisah manismu
Laksana meracuni lembar-lembar buku ceritaku
Tentang cinta, cita dan kehidupan

Mencermati bentuk bayangmu
Aku pun terdiam terpana
Tak ada lagi yang tinggal
pada cangkir kopi masa laluku

Segalanya punah sudah
Dan tinggal nama
yang ku simpan di sini,
pada sela-sela ingatanku.

(Minggu berawan, bumi dipelukan hujan, hari terakhir Januari dua ribu sepuluh)

Minggu, 24 Januari 2010

SESUDAH REMBULAN NAIK DARAH

Di suatu malam
Rembulan jatuh di pangkuanku
Menimbulkan derit-derit berderak
Di atas kasurku

Aku tahu
Malam itu aku yang punya
Dengan seluruh dengus nafas dan deburan dada tertahan
Luruhlah cinta
Ke dalam kain lusuh
Sampai sirna
Sorot rembulan di pangkuanku
Dan dia naik ke atas meninggalkanku
Menjauhi tilam
Membuka sepi dan sunyinya diri
Sesudah itu.


(Minggu Malam di Taman hening, diiringi rintihan hujan yang meniris turun ke pangkuan bumi 24.01.10)

Kamis, 14 Januari 2010

DI BALIK GEMERCIK PINTU AIR MANGGARAI

Langit mendung di atas kota Jakarta tak menyurutkan langkah ibu dan anak itu menyusuri jalanan ramai di sekitar pintu air Manggarai. Ada debu yang diterbangkan angin di sekitar mereka, hinggap di baju putih perempuan separuh baya itu serta mengotori kacamata baca anaknya yang rabun sejak kecil.

"Ke mana kita harus melangkah Mak?" Pemuda itu menghentikan kaki indungnya yang dengan sigap akan mengarah ke utara. Kereta Listrik yang membawa mereka baru saja lari menuju pemberhentian berikutnya, di Cikini dan pemberhentian-pemberhentian selanjutnya.

Si ibu berhenti, diam terpaku, kerut-merut di keningnya menunjukkan dia sedang mengingat-ingat sesuatu. Bayangannya memang segera berlari ke masa mudanya, ketika dia dan ayah pemuda itu berbimbingan tangan mencari arti hidup mereka yang disebut sebagai jati diri.

Mereka mendatangi pusat keramaian Indonesia untuk sebuah memoar. Sejarah keberadaan mereka di bumi ini.

"Hm, kalau tidak salah ke arah sini, tuh ke utara...........," dia menebarkan pandang kosong seraya menunjuk ke suatu tempat di kejauhan. Dan melangkahlah terus kaki-kaki itu, hingga dia dihinggapi setitik keraguan karena kota telah berubah wajah.

Si ibu menghentikan langkahnya, menggamit lengan anaknya, terdiam sebentar, menoleh ke deretan bajaj yang mengantri menunggu muatan di muka pintu stasiun. Dan dia memutuskan untuk menukar arah, balik badan menuju ke selatan yang tidak begitu diyakininya.

Dan di selatan situ, sesuatu yang semakin asing di otaknya kembali menghentikan langkahnya untuk sekali lagi memutar kaki mengarah ke utara. "Ya. Mak tak ragu lagi. Di sana, di bawah sana, di arah sebelah barat pintu air, itu tempat yang kita tuju." Lalu keduanya melangkah pasti, menderap kaki tegap, menuju masa lalu mereka.

Deretan pedagang sepatu murahan sekaligus tukang sol menjadi pemandangan pertama yang hinggap di bola mata mereka. Kemudian lalu lalang otobis, sedan, jeep dan motor yang berbaur dengan si oranye bajaj menghadang mereka untuk mencermati arah yang pasti.

"Assalamu'alaikum bu, ma'af saya mau mengganggu. Bisakah ibu menolong saya menunjukkan arah Jalan Minangkabau? Saya hendak mencari seseorang dari masa lalu kami di situ," sapanya ketika dia menampak seorang perempuan penjual peralatan tulis-menulis duduk mencakung di kedainya di pertigaan jalan.

Ditengadahkannya wajahnya menatap si pendatang. Dibetulkannya letak kerudungnya, seraya ditunjukkannya arah di hadapannya yang katanya masih cukup jauh. "Ah, ibu harus menyeberang ke arah sana, ibu lihat lampu lalu lintas itu? Di situ banyak pedagang keramik, ibu bisa menayakan kepada mereka letak Jalan Minangkabau dengan tepat. Ma'afkan saya tidak banyak tahu," sambutnya ramah diiringi senyuman.

Maka ibu dan anak itu mengucapkan terima kasih mereka seraya beranjak pergi. "Tapi ibu boleh menumpang sembarang kendaraan umum dari sini, tempatnya masih cukup jauh," seru perempuan itu lagi dari kedainya.

Meski mengangguk, sang ibu membisikkan di telinga anaknya sebuah pengharapan yang bernada menguatkan, "naluriku benar semata. Ayo gunakan kaki-kaki kita yang menyimpan tekad. Kita akan sampai ke sana dengan segera."

Si pemuda menorehkan pandang tak percaya di hati ibundanya, yang segera diredam dengan senyum dan untaian nada kepastian, "aku ingat masa itu. Kami berbimbingan menyeberangi jalanan ini, menapaki kaki lima itu, dan kita akan segera sampai. Masih tercium bau keringat ayahmu yang sudah lekat bercampur dengan Monsieur Rochas yang dulu kubelikan di Pasar Kosambi. Ayolah melangkah lagi, dan kita ulangi kini jalan kenangan kami. Engkaulah pemuda yang kusimpan di laci mimpiku.........."

Dan pemuda itupun memaku semangatnya. Degup jantungnya berlomba dengan derak-derak langkah yang dihasilkannya dari sepasang sepatu kulit hasil kerja keras ayahnya. "Aku tekadkan tetap mengawalmu, emak. Kemanapun emak ingini, aku ada bersamamu. Dan akulah tiang penopang itu andai kau harus tumbang dihancurkan kejamnya impianmu............"

---------

Jakarta di awal duaribu sepuluh adalah kota yang pengap. Basahnya lumpur menambah kejorokan kota. Membawa kaki melangkah lebih berhati-hati menguak merah-hitamnya metropolitan yang lama ditinggalkan anak Betawi.

"Sebaiknya kita menenangkan diri dulu sejenak di dalam pertokoan megah ini anakku. Ada serpih-serpih kenangan yang harus aku tata lagi, dan kugali ulang," kata perempuan itu seraya mencoba menarik sekeping pintu kaca yang cukup tebal. Sayang, hari masih terlalu pagi untuk berdiam diri di situ. Maka dilanjutkannya lagi perjalanan itu ke titik lampu yang sudah semakin jelas di penglihatannya. Si pemuda setia mengiringkannya.

Ternyata Jakarta bukanlah kampungnya. Dan titik lampu yang ditunjukkan ibu penjaga kedai yang tadi ditanyanya, hanyalah area di muka batang hidungnya. Mereka berdua tersenyum lega seraya saling menggenggam tangan dan berpandangan. "Tempatnya sudah dekat ya, mak?"

Perempuan itu mengangguk-angguk tetap dengan senyuman yang tersungging. Pagi yang mendung itu mulai dijalari kehangatan dari hati yang memancarkan harapan bahagia.

Sederetan penjual keramik keperluan rumah ada di hadapan mereka. Wastafel, bak cucian, we-se dan sejenisnya berdampingan mesra dengan kursi-kursi roda, tongkat serta berbagai keperluan orang sakit. Pedagangnya para pribumi yang ulet nampak mengelap, memoles dan membersihkan barang dagangan mereka. Agak berseberangan dengan kedai-kedai itu, air sungai yang keruh masih tetap seperti dulu rajin menggelontorkan sampah menuju laut Jawa. Di bawah jembatan yang membelah kota, pintu air setia menjalankan tugasnya, persis seperti limapuluhlima tahun yang lalu, ketika darah moyang mereka mengalir berceceran di sekitar situ.

------------

Kaki-kaki itu limbung tak tentu tapaknya. Terbaca jelas Jl. Sultan Agung di daerah yang sedang diinjaknya itu. "Ah, kemana kita harus bertanya? Ini bukan Jalan Minangkabau yang kita cari.........," sambat perempuan itu lemas.

"Ya mak," sahut anaknya. "Tapi semua petunjuk mengarah kesini, termasuk memori emak yang tajam dan kuat," katanya melanjutkan.

Mata perempuan yang mulai mengarah ke senja itu menatap nanar. Dia tak bisa mempercayai penglihatannya. Dihentikannya langkah kakinya sambil digenggamnya terus tangan pemuda yang hangat itu. "Apakah kita telah kehilangan jejak dan kehilangan harapan?" Tanyanya tak pasti entah kepada siapa.

"Belum mak," kedengaran deru dentam suara pemuda itu memecah gendang telinganya. "Kita pasti menemukannya. Emak selalu tahu caranya........" Lalu digamitnya lagi tangan sang bunda yang menggenggam harapan sempurna.

Dengan sejuta kebimbangan dia menanyakan alamat yang ditujunya kepada seorang polisi lalu lintas yang sedang berjaga di atas sepeda motornya, dan sang polisi itu menjawab dengan jelas. "Kembalilah ke ujung jalan, berbeloklah ke kanan, Disitulah letaknya Jalan Minangkabau." Ditinggalkannya seulas senyum dari bibir yang tertutup kumis rimbunnya yang dibalas dengan ucapan terima kasih serta sorot mata yang indah.

Ah, jalan itu begitu meragukan. Tak ada tanda-tanda bahwa jalan besar itu bertajuk Minangkabau. Maka, langkahnya berbelok diikuti persetujuan anaknya ke arah yang diingini kakinya. Di dalam situ, ada sebidang jalan sempit dengan deretan rumah tinggal penduduk yang masih cukup tradisional. "Jalan Pariaman," demikian bunyi yang diucapkan mulut perjakanya.

"Di sini, di sini kita akan menemukan mutiara hidup yang kita cari. Ya, di sini." Perempuan itu bergumam sendiri tanpa menghiraukan kebimbangan perjakanya. Sehingga sang perjaka turut menghimpun keyakinan untuk menelusuri gang selebar dua mobil sahaja.

"Ini rumah pertama," ujar anaknya sambil memandangi sebuah bangunan tua yang tampaknya tak lagi berpenghuni. Hanya ada secarik kertas dengan tulisan, "Dijual. Hubungi nomor telepon sekian." Pupus harapan di hadapan mata, dimakan oleh gerbangnya.

"Kita teruskan ke utara, di sana, di sebelah sana kita akan bertemu.........," ibu itu menggumam menggenggam harapannya. Lalu kaki-kaki itu melangkah lagi menderapkan kulit di bawah telapak sepatunya.

"Di mana? Pada siapa?" Sebentuk tanya bertalu-talu tak terucap di benak sang pemuda. Sebab dia tak tahu apa-apa tentang dirinya, tentang kedua orang tuanya, apalagi tentang moyangnya dahulu.

Satu-satu bangunan terlewati dengan para penghuninya bertebaran menghiasi kampung serupa gambar di kanvas pelukis jalanan Tanah Abang. Tembok-tembok tua yang diyakini ibunya tak setua nenek moyangnya, bahkan juga tak setua dirinya, seakan-akan mengejek angkuh menertawakan niatannya. Tapi hatinya telah bertekad, niatan telah membulat baja.

"Sekolah Trisula," ucap anaknya di depan sebuah bangunan sederhana bertingkat dua. Tonggak bola basket menghiasi lantainya yang terbuat dari semen. Dan sejumlah anak muda memamerkan enerjinya di situ. "Maka kita selayaknya kembali, karena ini jalan tikus tiada berujung," begitu katanya datar.

"Tidak," bantah si ibu. "Aku menyimpan tanya di ujung sana. Di selasar jalan yang tak jelas, kita menyimpan asa. Tegakkan betismu. Melangkahlah terus tegap-tegap. Tidak hanya untukmu, tapi untukku juga," perempuan itu membasahi bibirnya.

Pagi mendung di Jakarta mengirimkan semangat baru ke dadanya. Dan dia mengekor di belakang ibunda. "Jakarta hari ini adalah perkecualian. Bukan sengatan mata hari yang menguras tenaga dan emosi, ananda," demikian dengan jelas dan sadar didengarnya ibunya menggumam. Dan diapun mengangguk setuju.

----------

Lelaki tua itu dijumpai mata anaknya, sedang mencakung di teras rumah betonnya yang sempit di balik serangkaian besi baja yang membentuk pagar. "Dia ada di situ, mengapa emak tidak berniat menanyainya?" Kata yang terlontar dari mulut sang bujangan menyentuh hatinya.

"Dia siapa?" Balas sang bunda. "Perempuan itukah?" Selidiknya sambil menoleh ke belakang. Seorang perempuan seusianya duduk-duduk santai di mulut gang menjemur tubuhnya yang tambun kecokelatan. Rambutnya dipangkas pendek mirip lelaki nyaris kemerahan.

Sang anak menggelengkan kepalanya. "Bukan, bapak tua di balik pagar besi itu," tunjuknya membuat sang bunda mengerti benar.

Kemudian disentuhnya lengan anaknya, dan merekapun berdiri mendekat, ke hadapan sang kakek yang masih bugar. "Assalamu'alaikum, izinkan kami mengganggu bapok," sapa perempuan itu.

"Wa alaikum salam anak muda, silahkan, ada yang bisa saya bantu?" Balas sang lelaki santun dengan kearifan lokal seorang pribumi.

"Ya, saya mencari Jalan Minangkabau, karena saya mencari masa lalu kami. Adakah bapak berkenan membantu?" Mata kuyu itu menelisik setiap kerut di wajah sang penunggu kampung yang baru saja ditunjukkan Allah kepada mereka secara menakjubkan.

Dengan mengerutkan keningnya, lelaki itu meneliti kesungguhan yang diucapkan perempuan itu. Setelahnya dia menunjuk ke arah selatan, "kalau anda tadi datang dari sebelah sana, maka anda telah menginjak Jalan Minangkabau."

"Ada yang anda cari di Jalan Minangkabau itu?" Mata tua itu menelisik lagi menjabarkan semua tanya di kepalanya.

Sang perempuan bergumam, "ummmm......... saya mencari masa lalu kami. Apakah anda penduduk lama di sini?"

Lelaki itu tak menjawab, tapi sorot matanya sangat meyakinkan.

"Saya ingin mengetahui mengenai seorang Habib yang berprofessi sebagai Tabib di situ pada kurun waktu Indonesia baru merdeka..........," perkataan itu menggantung begitu saja dari mulutnya yang kering,

Serta merta dengan bahasa tubuhnya yang halus, lelaki itu bermaksud membukakan pintu pagarnya, yang disongsong dengan permohonan sang tetamu agar diizinkan duduk bersamanya di teras. Pagi menuntaskan air di langit lewat gerimis yang turun rintik-rintik di bumi Jakarta.

"Silahkan," katanya dengan suara tuanya yang masih cukup merdu sambil menarik sebuah kursi lagi untuk dirinya agar muat untuk mereka mengobrol bertiga.

Mata tua itu mengawasi kedua tetamunya dengan tajam ganti berganti tanpa bantuan kacamata. Gigi-giginya yang putih rapi berderetan memamerkan keperkasaannya lahir dan batin sejak usia muda hingga tibanya senjakala.

"Apa yang ingin anda ketahui dari Habib itu?" Sang kakek bertanya tegas.

"Banyak. Apakah bapak penduduk asli disini?" Sahut sang perempuan mendesak lagi.

"Ya dan tidak. Saya bekerja untuk SS di kala republik ini baru berdiri......." Jawab sang kakek.

"Staat Spoor?" Mulut perempuan itu berusaha membunyikan kata Belanda yang asing di telinga sang anak.

"Ya, di Balai Yasa Manggarai. Istri saya penduduk sini, sedangkan saya datang dari daerah Jatinegara," lanjut sang kakek menjelaskan. "Pada tahun 50-an daerah ini belum seramai sekarang. Saya mengajari anak-anak mengaji di kala senggang. Dan salah seorang murid saya adalah keluarga dari Habib keturunan Arab di Jalan Minangkabau. Hussin namanya," dia menuntaskan ceritanya.

Dan perempuan itu tersangkut kembali pada ingatannya sendiri. Mulutnya menganga lebar, dengan senyum yang sempurna dibenarkannya perkataan sang Kyai. "Ya betul, kalau tidak salah Habib itu berdarah Arab dan mempunyai sifat penolong. Ibu mertua saya telah mendapat seorang anak darinya, karena beliau memang dapat membantu persalinan di rumahnya itu," ujarnya.

"Oh ya. Betul, Habib itu juga bekerja sebagai Tabib. Dan karena pekerjaannya ini pula, Habib itu tiba-tiba menghilang di awal tahun enampuluhan. Saya tak tahu lagi kemana dia pergi. Tak ada jejaknya yang tertinggal, tak ada rekam miliknya yang nampak di daerah sini lagi. Saya dengar Habib itu telah dibawa polisi." urai sang kakek dengan jelas.

Perempuan itu membuka telinganya lebar-lebar dan menegakkannya tinggi-tinggi selayaknya anjing mewaspadai sesuatu. "Maksud bapak bagaimana?" Tanyanya bingung. "Saya tidak mengerti."

"Saya mendengar kisah bahwa sang Tabib gemar berbuat hal yang kurang pada tempatnya terhadap orang-orang yang ditolongnya, dan salah seorang di antaranya adalah keluarga dari orang ternama di negeri ini. Sebagai akibatnya dia harus menanggung beban diamankan oleh kepolisian serta menghilang tanpa jejak dan tak berbatas," jawab lelaki tua itu.

Perempuan itu terkejut mendengarnya. Nampak kebingungan campur kekecewaan dan keterkejutan muncul di rona wajahnya. Dia saling berpandangan dengan anaknya.

"Ma'afkan saya. Kami harus menemui Tabib itu. Saya memerlukannya untuk menyempurnakan jalinan silaturahim anak-anak saya dengan moyang kami. Adakah bapak berkenan mencarikan jalan untuk kami anak beranak?" Lidahnya seperti kelu. "Saya memang tak berkepentingan langsung. Namun saya harus melakukan ini semua demi keluarga kami. Sebab bapak anak-anak saya sedang berada di persimpangan jalan menuju kesenangan duniawinya belaka," Begitu pedih kata-kata itu diluncurkan lidahnya. Tapi tak setetes jua air mata menjatuhkan diri ke pangkuannya.

Lelaki tua itu terdiam sesaat. Dia seperti mengingat-ingat sesuatu atau hanya mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkannya kepada ibu beranak itu. Di lidahnya, jutaan kata-kata berdesakan minta dibunyikan. Dan dia menarik nafasnya dalam-dalam.

"Jadi, rumah Tabib itu adalah tempat pertama anda meneguk susu ibunda?" Tanyanya penuh curiga.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya, "tidak, tak ada yang pernah meneguk susu ibu di situ. Rumah itu adalah persinggahan kami sebelum sampai kepada buaian bunda sejati," dan dia berusaha menuntaskan kata-kata yang harus diucapkannya dengan kebenaran sejati.

Lelaki itu menatap mereka tajam.

"Ananda," sebut lelaki tua itu, "saya tak banyak tahu dan tak bisa banyak bicara. Kampung ini bukanlah 'palungan' yang menampung kehadiran ananda di bumi ini dulu. Kami telah berbenah diri, memoles wajah dan menukar rupa."

Perempuan itu dengan anaknya mendengarkan dengan seksama.

"Di ujung jalan ini dulu hanyalah padang rumput semata yang dihiasi bebungaan di tanah merah. Sekarang besi dan batu beton ditancapkan orang sedalam-dalamnya dan dipancang tinggi membentuk gedung. Tak ada lagi ruang tersisa. Bahkan sekedar untuk mendirikan sepeda yang dulu dikayuh orang sebagai kereta angin, kita tak bisa. Kampung ini sudah terbarukan suasana," mulut lelaki itu memberikan gambaran tentang dunianya yang baru.

"Anak-anak kecil tidak lagi kecil dan berguru pada saya. Mereka telah jadi diri mereka sendiri seiring pertumbuhan badan dan perkembangan jiwa, membuat mereka terpaksa keluar kampung dan menjadi guru bagi anak-anak mereka sendiri entah dimana. Tak mungkin saya mengitari seluruh kota dan menggunakan telunjuk saya untuk menandai mereka lagi satu demi satu. Karenanya ma'afkanlah saya. Saya tak dapat menjadi pelita yang membawa terang ke tempat dimana kini sang Tabib berada. Ananda, berjalanlah sendiri, melangkahlah ke depan, jangan surut dan jangan pernah ingin kembali ke masa lalu anda." Baris-baris kata yang tak ingin didengar dengan sesungguhnya oleh perempuan itu kini menjejali telinga dan otaknya yang telah mengontak lidahnya untuk terus bertanya dan melangkah.

Kini pagi beralih menjadi siang. Matahari yang telah tua mulai nampak tanpa malu-malu lagi. Sinarnya yang menyakiti kulit mengingatkan dia bahwa bukan saja hatinya yang sakit dan terluka. Jauh di balik itu, nun disana ada harapan-harapan yang memuruk tersudut hampa.

Lalu diiringi senyum dan anggukan kepala yang takzim ibu dan anak itu mohon diri, kembali melanjutkan perjalanan mereka. Sebab nyata-nyata jati diri mereka telah sirna ditelan gemuruhnya air yang mengalir turun di pintu air Manggarai. Gemerciknya menghalangi suara-suara hatinya yang pernah merintih menangiskan nasib dirinya yang sendiri. SEBATANG KARA DI DUNIA.

Selasa, 05 Januari 2010

PEREMPUAN ULAT SUTERA

Kita pantas bicara
waktu diri kita dinisbikan
dan harga diri kita dilucuti
Sebab kita punya mulut
dan hati yang mengerti kepatutan

Ayo bulatkan kepal
Tekadkan niat
Melangkahlah
Menuju keniscayaan

Kita ini seuntai pita
Yang melingkar kencang di sanggul-sanggul rambut
Namun lembut
Sebab kita ini punya serat-serat sutera

Ayo tunjukkan kini
Bahwa kita bisa mencengkeram
menggenggam petaka
yang ditebarkan nasib kita

Melangkahlah, ya melangkahlah terus
Sebab kini telah sampai saatnya
Kita jadi pahlawan
untuk diri sendiri
Lalu mengikat mereka erat-erat
supaya tak lagi tergerai-gerai
melambai keletah
Sengajanya menisbikan kita
dan harga diri kita ke titik terendah

Seuntai pita
Adalah kita
Ulat sutera yang berharga
Dan perempuan yang punya makna.

(Puspa Bangsa disoroti surya pagi, enam Januari dua ribu sepuluh)

Minggu, 03 Januari 2010

RENJANA PULANG PETANG

Aku seperti mencium asap nikotin dari sela-sela gigimu
Dan mendengar batukmu yang berkepanjangan di rongga dada
Dia racun yang telah mematikan cintamu
dan membunuhku mengikuti bayang-bayang waktu

"Dia sudah uzur," serapahnya
dengan telunjuk mengarah ke jantungku
Pandang itu, bukan kelu dan bukan juga jemu
Cuma cibiran bibir perempuan murahan
yang dibalut lipstick merah darah

Aku seperti mencermati dusta di kepalamu
yang kau sodorkan lewat mulutmu
Tapi kuyakinkan diri
Di suatu senja nanti kau cari arahmu pulang
Ke sarang bergelung kencang
Hanya pada kami :
Rumah sejati sayangmu.

(Penggalan renungan di sepertiga pagi ketika sajadah kutebar di lantai dingin, 4 Januari 2010)

USAI SUDAH

Perjalanan hidup telah sampai ke penghujungnya, anakku
Sebab cinta telah menimbulkan luka
Dan derap langkah menaburkan duka
Tanpa asmara yang tersisa

Bukan karenamu
Bukan padamu
Bukan salahmu
Jika kehancuran melantunkan tangis di hatimu

Hujatlah cinta
Yang berbau syahwat belaka
Karena di situlah
Cinta kami telah kandas
terkubur dan mati

(Kota Hujan yang pengap oleh debu serta rintik gerimis Januari 1983-2010)

Sabtu, 02 Januari 2010

PENUTUPAN

Aku tahu kini apa yang kau mau
Di balik dinding dingin hatimu yang kau pahat dengan senyummu itu
Warna warni bebatuan itu
Adalah kilatan cahaya yang menghunjam nyawa

Ketika kubuka jendela cerita cinta
Dan kuhitung ulang detak-detak hati
Aku tahu kini apa yang kau mau

Kusudahi saja
Satu buku yang selesai kita tulis
Dan kutorehkan nama di balik sebuah kisah

Lalu kusimpan rapi
Apapun yang pernah merangkum jiwa kita dulu
Dan aku tahu
Kelak kau pasti akan merinduinya kembali
merindui cumbuku
di pagi itu
Waktu prenjak ribut melonjak-lonjak senang di jendelaku
kau ada di situ mengerlingkan matamu

Assalamu'alaikum. Allah mengawanimu sekarang.


(Kota Hujan di serpihan kenanganku, Januari 1983-2010)
Pita Pink