Powered By Blogger

Minggu, 01 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (141)

Surat Kabar Nasional kemarin memberitakan bahwa sumber terjadinya tuduhan malpraktek dokter yang jadi keprihatinan para dokter spesialis sehingga mengakibatkan demo solidaritas sehari adalah kurangnya kemampuan komunikasi dokter. Dalam hal ini saya membenarkan. Sebab jika pasien berhadapan dengan dokter yang cenderung irit bicara, mereka tidak begitu paham akan kasus yang dideritanya serta tindakan medis yang akan dilaksanakan dokternya. Di Indonesia saya beberapa kali menemukan dokter seperti ini, meski untungnya sekarang tidak lagi.

Dokter yang demikian bertugas memeriksa pasien kemudian mendiagnosa dan memberitahukan apa yang akan dikerjakan untuk mengatasinya tapi tanpa penjelasan panjang lebar. Kejadian ini tak pernah saya alami semasa sakit dan berobat di luar negeri dulu. Dokter-dokter saya di Eropa maupun negeri tetangga Singapura bahkan Republik Afrika Selatan selalu menjelaskan dengan gamblang tentang penyakit saya. Hal ini kemudian diikuti penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukannya. Pasien akan diberi lembaran-lembaran kertas berisi pembahasan mengenai penyakitnya disertai ilustrasi lengkap dengan penggambaran tindakan medis yang akan ditempuh, misalnya operasi. Jenis-jenis operasinya pun dijelaskan apakah berupa operasi terbuka atau teknik laparoskopi yang sederhana namun efektif itu. Di sini pasien diberi kesempatan bertanya sejelas-jelasnya tanpa memandang apakah di luar poliklinik masih banyak pasien mengantri. Sebab umumnya dokter yang saya datangi tidak berpraktek di berbagai Rumah Sakit seperti di tanah air. Jadi mereka cukup waktu untuk melakukan pelayanan yang menyeluruh.

Di Indonesia saya beruntung mendapat dokter yang komunikatif. Sewaktu pertama kali memeriksa saya, beliau mengorek banyak-banyak riwayat kesehatan saya termasuk mencatat dengan cermat penuturan saya. Pada bagian-bagian tertentu beliau justru memberikan penekanan sehingga akhirnya tahu persis apa yang dihadapi dan harus diantisipasinya. Contohnya beliau terheran-heran waktu mendengar bahwa riwayat penyakit pada organ reproduksi saya tak pernah diakhiri dengan tindakan kemoterapi. Padahal seharusnya menurut beliau kasus yang berulang dalam waktu singkat patut dicurigai sebagai keganasan yang harus dilumpuhkan dengan kemoterapi.

Tak hanya itu, opsi pilihan obat kemoterapi yang akan diberikan kepada saya juga dipertimbangkan masak-masak melalui penjelasan yang mudah dipahami. Itulah sebabnya saya akhirnya hanya menerima obat-obat tertentu yang juga disesuaikan dengan anggaran yang disediakan olah pihak DKK melalui program Jamkesda. Selanjutnya jika pemerintah tak mampu mendanai obat saya, maka dilakukan opsi lain atau saya diharapkan segera mencari dana sendiri sebab kemoterapi tak boleh terlambat apalagi terhenti.

Tak hanya kepada saya, pasien-pasien lain pun diajak bicara panjang lebar mengenai kondisi yang dideritanya disertai pilihan-pilihan opsi pengobatan. Bahkan bila dipandang perlu beliau akan menghubungi sejawatnya yang lebih kompeten melalui telepon untuk memperjelas penjelasannya kepada pasien. Hal ini bisa memakan waktu lama, sehingga tak jarang diprotes oleh pasien berikutnya.

***

Hari ini, Sabtu (30/11) seharusnya saya sudah menjalani kemoterapi lagi. Tapi berhubung permohonan obat saya tiba-tiba ditolak sebagian oleh pihak DKK, akhirnya kemoterapi saya tertunda. Pihak RS yang diminta untuk menyelesaikan masalah saya dengan DKK tak mampu berbuat banyak. Akibatnya kami harus bicara lagi dengan dokter onkologi saya untuk mendapatkan pilihan lainnya sebagai alternatif pengganti. Hal ini sesuai juga dengan kehendak dokter saya ketika saya melapor kepadanya soal penolakan DKK itu. Walau saya mengatakan bahwa keluarga saya rela mencarikan dana untuk saya, tetapi dokter tak sepakat. Baginya kalau pun keluarga memiliki dana pribadi, sebaiknya disimpan saja dulu untuk berjaga-jaga seandainya kelak pengobatan saya terpaksa harus dilakukan di RSK Dharmais, sebab tak pernah ada kerjasama antara DKK Bogor dengan pihak mereka. Suatu pemikiran yang matang dan penuh pertimbangan ke depan. Saya sekali lagi salut kepada beliau. Mengapa saya harus ke Dharmais? Itu karena dokter saya berpraktek di sana dan lagi RS itu merupakan pusat penelitian penyakit kanker nasional.

Semula kami semua cuma bisa menduga-duga mengapa pihak DKK melanggar kesepakatannya dengan kami untuk mendanai kemoterapi saya. Tapi hari ini semuanya terkuak menjadi jelas akibat pemberitaan di surat kabar soal pendanaan Jamkesmas.

Salah satu harian nasional terbesar di halaman muka menurunkan berita tentang krisis dana jaminan kesehatan untuk warga miskin. Setelah mengalami perubahan dari program Asuransi Kesehatan Warga Miskin (Askeskin) yang pertama kali digulirkan oleh Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari, banyak warga yang dibantu pemerintah melalui program Jaminan Kesehatan baik yang bersifat nasional (Jamkesmas) maupun yang bersifat regional (Jamkesda). Kebanyakan pemerintah menunggak pembayaran obat di RS sesuai dengan dana yang ada di kas mereka. Sebagai akibatnya RS banyak dirugikan. Menurut berita hari ini, contohnya di RSUD Ulin di Banjarmasin, pasien-pasien kemoterapi tak lagi dilayani sebab pihak farmasi menghentikan pasokan obat yang terus-menerus ditunggak pemerintah. Ini juga dibenarkan dokter saya. Dulu pasien-pasien peserta Askes dibebaskan dari biaya berobat di RSKD. Tetapi sejak pihak RS menanggung banyak hutang, mereka tak lagi dilayani. Banyak pasien yang pada akhirnya belum juga mendapat giliran dioperasi sebab pihak RS mendahulukan pasien-pasien yang mampu membayar secara pribadi. Tak heran kiranya mengapa sekarang obat saya terkesan dipersulit.

Ketika saya berkunjung ke klinik tadi siang, pihak apotek RS
turut mendampingi saya ke dalam klinik untuk berdiskusi langsung dengan dokter saya. Menurutnya, pihak manajemen RS mengusulkan penggantian merek obat dengan obat sejenis yang lebih murah. Saya tak berkeberatan mendapatkannya sepanjang apa yang ditawarkan kandungan isinya sama dengan obat yang ditolak itu. Dokter saya pun setuju, sebab menurut beliau isinya sejenis. Hanya saja waktu itu dokter mengira harganya tak jauh berbeda satu sama lain. Tetapi begitu pihak apotek menjelaskan soal perbedaan harga serta ketersediaan obat di dalam daftar obat yang diizinkan didanai, dokter saya langsung setuju. Terlihat wajahnya berseri-seri seperti kami anak-beranak. Saya bahkan mengekspose tumor saya yang mulai merespons pengobatan dengan obat yang ditolak itu dengan membuka kerudung saya. "Nih bu, diobati dengan itu tumor saya melunak dan mengecil, nih yang ini," pamer saya seraya mempersilakannya mengamat-amati. "Jadi kalau DKK tiba-tiba menyetop obat saya, bagaimana nasib saya?!" Ujar saya lagi separuh bertanya. Petugas muda belia yang cantik jelita itu tersenyum-senyum saja. Tapi agaknya dia mengerti.

Pegawai apotek itu tertarik mengamati juga yang dipertegas oleh dokter saya, "ya, tumornya merespons obat yang sekarang," kata dokter saya. "Baiklah diberikan yang second line nya saja bu," kata dokter saya mempertegas persetujuannya yang melegakan kami.

Di masa sekarang sungguh sulit mendapatkan dokter yang penuh empati kepada pasien terutama yang datang dari golongan ekonomi lemah. Tapi tidak demikian halnya dengan dokter onkologi saya. Jika saya perhatikan caranya memperlakukan pasien tidak dibeda-bedakan antara pasien yang mampu membayar secara pribadi maupun yang mengandalkan program bantuan pemerintah. Pasien-pasien mampu tentu saja ditawari untuk berobat ke kantor beliau di Jakarta, RSKD. Akan tetapi golongan ekonomi lemah pun sedikit banyaknya mendapat opsi yang sama. Jika mereka sanggup ke Jakarta maka pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang amat penting untuk menegakkan diagnosa disarankan dilakukan di sana. Menurut beliau dan memang sesuai fakta yang saya lihat sendiri, RSKD sebagai pusat penelitian kanker punya peralatan yang lengkap. 

Pada akhirnya obat saya akan diganti dengan obat sejenis yang lebih murah. Hasil penghitungan apotek RS kemarin, harganya berselisih hampir 5 juta. Saya pahami bahwa obat bermerek tentu akan lebih mahal dibandingkan obat generik. Jadi selisih harga yang banyak itu adalah untuk membayar mereknya belaka.

Selain mengganti resep, kemarin dokter saya juga membuatkan surat permohonan kepada DKK yang menjelaskan keadaan saya. Hebatnya dokter saya juga berjanji bersedia kami kontak ke telepon genggamnya di jam praktek besok, seandainya pihak pembuat keputusan di DKK menghendaki bicara langsung dengan beliau. Menurut saya sikap beliau menunjukkan kesungguhan beliau untuk mengabdi kepada masyarakat. Alangkah mulianya.

Banyak pasien yang juga menilai beliau sangat baik, termasuk pasien baru yang datang berobat kepadanya atas saran saya. Kemarin itu saya bertemu dia lagi yang kali ini diantar istrinya. Urusan penanganan penyakitnya memang diikuti dengan kemoterapi. Sehubungan dengan ketiadaan biaya, maka dia juga disarankan dokter mengurus Jamkesda seperti saya. Walau urusannya akhir-akhir ini sangat melelahkan dan menguras emosi, tapi dia merasa sangat terbantu oleh usulan dokter ini. Ketika saya tanya pandangannya mengenai pribadi sang dokter, dia mengakui amat bersyukur mendapatkan dokter yang penuh perhatian dan bersedia diajak berkomunikasi. Ditekankannya bahwa pasien memang membutuhkan dokter semacam ini untuk memahami penyakitnya dan mengambil pilihan pengobatan yang tepat. Karenanya pasien ini amat berterima kasih kepada kami yang telah menunjukkan kepada siapa sebaiknya berobat. Suami-istri ini bahkan berencana untuk berkunjung secara pribadi ke rumah kami karena senangnya.

Seorang lainnya adalah calon pasien yang saya temukan secara tidak sengaja di RS kemarin, melalui pertemuan dengan teman lama saya di luar negeri yang juga secara tidak sengaja. Pagi-pagi sebelum ke RS saya ditelepon seseorang dengan nomor asing. Ketika saya angkat si penelepon menyebut dirinya, tetapi saya salah tangkap karena namanya mirip dengan nama kenalan baru saya. Dia minta izin menjenguk saya, tetapi saya minta ditunda hingga sore karena saya akan ke RS. Penelepon itu pun setuju seraya menyebut dirinya juga sedang di RS ke dr. Hadi, yang biasa juga memeriksa saya. Setelah telepon diakhiri tiba-tiba saya merasa curiga sendiri akan jati diri si penelepon sehingga akhirnya saya mengontaknya dengan SMS. Saya tanyakan jati dirinya. Alangkah terkejutnya ketika dia kemudian kembali menelepon mempertegas bahwa dirinya teman lama saya di Belgia dulu yang sedang pulang kampung.



Pertemuan tak terduga dengan Ninin yang pulang kampung

 
Saking senangnya bercampur malu saya sampai berteriak di ponsel saya. Bahkan kemudian saya katakan kami bisa bertemu lebih cepat di RS karena saya juga akan ke klinik onkologi di sana. Teman saya amat senangnya, menyetujui usulan itu sebab dia datang ke RS menemani temannya yang tak lain dan tak bukan teman maya saya yang diindikasikan punya hubungan kekerabatan dengan mantan suami saya. Alangkah mencengangkan. Terasa bahwa dunia ini sangat kecil.

Sesampainya di RS saya menunggu dengan tenang di muka klinik onkologi, berkursi roda. Kemudian teman saya itu menghubungi saya menanyakan di mana saya berada. Tak lama kemudian dia datang tergopoh-gopoh menuju ke tempat saya sambil menebar senyum. "Ibu.....," serunya seraya menubruk saya. Diciuminya kedua pipi saya dan diguncang-guncangnya tubuh saya. Dia melepas rindu dengan mata yang berkaca-kaca.

Kata Ninin teman saya itu dia menemani ibu Mira memeriksakan luka bekas operasi di perutnya. Dulu dia pernah menderita kanker payudara namun sudah diobati di Belgia. Baru-baru ini dia terserang Demam Berdarah Dengue yang mengakibatkan thrombositnya turun drastis sehingga menimbulkan perdarahan di rongga perutnya yang berubah jadi gumpalan di dinding perut. Dokter kemudian membersihkannya dengan pembedahan sebab bu Mira mengaku sangat kesakitan. Apalagi dia takut gumpalan itu merupakan massa tumor yang bisa berubah ganas. Kini bu Mira berencana memeriksakan diri kepada seorang onkologis. Saya kemudian menyarankannya untuk datang ke dokter saya, yang ternyata juga direkomendasikan juga oleh orang lain. Alasannya katanya dokter saya terkenal berilmu luas, dan hati-hati di dalam menatalaksana penyakit pasiennya. Nah, terbukti bukan bahwa dokter yang komunikatif cenderung menjadi pilihan banyak orang? Insya Allah dengan demikian tak akan ada lagi kesalah pahaman antara pasien dengan dokternya yang bisa berakibat fatal dengan tuduhan melakukan malpraktek. Ya, mari kita doakan semoga saja Fakultas-Fakultas Kedokteran mulai tergerak untuk memasukkan imu Komunikasi sebagai salah satu mata kuliah wajib mereka. Semogalah.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pita Pink