Jumat, 20 Desember 2013
SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (154)
Blogging ternyata membawa banyak manfaat yang sangat mengesankan bagi saya. Di masa sehat saya menggunakannya untuk bersosialisasi dengan siapa saja tanpa harus berpayah-payah ke luar rumah. Dari pergaulan di dunia yang semu begini nyatanya saya boleh mendapat banyak pengetahuan berdasarkan cerita yang mereka ungkapkan di blog masing-masing. Sementara di kala susah, sakit atau sekedar sedih, saya pun menyimpan semua rasa dan pengalaman saya di blog saya yang memang saya niatkan sebagai buku harian. Alhamdulillah walau saya tak menjaring pengikut hingga ribuan atau ratus-ratusan yang banyak, tetapi selalu saja ada pembaca yang masuk meski tak meninggalkan komentar. Soalnya bagi saya komentar itu tidak penting, karena adakalanya isinya cuma sekedar basa-basi belaka. Bagi saya lebih penting kedatangan mereka itu sendiri, karena justru mereka merasa lekat dengan pribadi saya.
Walau bukan pemain lama di dunia maya, tapi saya pertama kali mengelola buku harian saya pada tahun 2006. Tidak di sini sih, melainkan di suatu tempat yang terpaksa ditutup sendiri oleh pengelolanya karena salah urus. Mereka punya impian untuk menjadi besar, tapi tak paham bagaimana caranya mencapai. Meski begitu saya tidak merasa dirugikan, karena dari sekitar hampir 300-an kontak atau pengikut saya di sana semua baik hati dan terus menjalin silaturahmi hingga kini. Bahkan di antaranya justru pengikut-pengikut baru yang menjalin perkawanan setahun pasca bubarnya rumah maya itu.
Dari hubungan dengan para pengikut yang relatif baru itu saya punya pengalaman ajaib yang menggambarkan bagaimana Kemahaberkehendaknya Allah atas nasib umat manusia. Betapa ketika seseorang yang sedang kesulitan masih juga dipersulit oleh banyak pihak dan situasi, Allah datang menolong dengan mengirimkan seseorang yang tak pernah terduga di benak umatnya itu.
Begini ceritanya : Dalam bulan ini saya memang sedang kesulitan keuangan, sehubungan dengan tersendat-sendatnya permohonan pengobatan saya melalui program pemerintah. Biasanya pendanaan pengobatan saya mulai yang kecil-kecil semisal biaya kunjungan ke RS hingga pembelian obat kemoterapi yang sangat mahal itu didanai pemerintah. Tetapi belakangan ini nyaris ditolak akibat krisis dana Jamkesda yang menurut berita di media massa jumlahnya sangat sedikit sehingga tak mencukupi untuk masyarakat kecil yang biasa dibantu. Pemerintah menunggak hutang 1.4 T kepada RS yang melayani pasien di seluruh Indonesia.
Sudah lah demikian, tumor saya tumbuh semakin mengganas sehingga mau tak mau saya harus sesegera mungkin berusaha mencari dana sendiri guna pengobatan yang terancam terhenti lagi itu untuk yang kedua kalinya. Hal ini tak hanya meresahkan saya dan anak-anak, juga dokter yang merawat saya dengan segenap hatinya. Sebab kami memang sudah bertekad untuk sembuh.
Tak cukup dengan doa, kami menghubungi sanak keluarga guna mencari bantuan. Tetapi sayang tak ada yang dapat menolong, sehingga terlintas di benak keluarga besar kami untuk melepas harta pusaka kami yang sedianya akan diperuntukkan bagi masa depan generasi selanjutnya. Tapi ketika saya sampaikan kepada dokter saya yang sudah menjadi sedemikian akrabnya hingga seperti kenalan lama, beliau mencegahnya. Saya diminta terus merayu pemerintah dibantu surat pernyataan permohonan yang di luar prosedur permintaan bantuan, sengaja dikirimkannya menyertai formulir permohonan saya. Waktu itu surat ini akhirnya menjadi tanda tanya pejabat pelaksana program bantuan hingga kami perlu menjelaskan maksudnya. Yakni obat-obat saya tak bisa tidak diberikan mengingat kondisi saya yang terus memburuk. Untung lah akhirnya pemerintah paham hingga mengabulkannya walau sudah amat terlambat.
Bersamaan dengan itu pemasukkan keuangan keluarga kami pun tersendat juga. Nyaris tak ada dana untuk sekedar membayar tagihan-tagihan listrik, telepon, air minum bahkan gas alam yang bilangan tagihannya termurah. Untung pada akhirnya kami dapat pemasukkan juga meski kali ini lebih sedikit dibandingkan biasanya. Ini sudah sangat kami syukuri sekedar penyambung hidup kami. Persoalan larinya sebagian hak kami tak terpikirkan benar, sebab yang terpenting di tangan kami sudah ada uang pelunasan tagihan-tagihan tadi.
Keikhlasan kami agaknya dihargai Allah. Tak terduga kemarin sore anak saya tiba-tiba mendapat SMS dari nomor tak dikenal yang mengaku sebagai teman maya saya. Ibu itu berniat mengirim uang untuk membantu pengobatan saya. Karena merasa asing dengan namanya dan heran dari mana beliau mendapat nomor ponsel anak saya, maka SMS itu tak kami jawab. Sebab di masa aneh-anehan seperti sekarang sering kedengaran orang mau menipu, bukan?!
Namun satu jam kemudian seseorang teman maya saya lainnya mengirim pesan juga. Isinya menyatakan bahwa SMS terdahulu dari nomor tak dikenal itu mengharap jawaban. Sebab sejatinya dia teman maya saya yang belum terlalu lama berkenalan, namun hingga kini senantiasa mengikuti blog saya yang nampaknya sebagai silent reader. Begitu SMS kedua saya baca, entah bagaimana ingatan saya langsung terang benderang.
Saya seketika itu teringat kepada masyarakat Indonesia di negeri Singa tempat saya dulu pernah tinggal beberapa waktu. Beliau merasa pernah melihat saya di negeri kecil itu, sehingga ketika sedang berkelana di dunia maya dan menjumpai buku harian saya yang lama, beliau langsung tergerak mengajak berteman. Sejak itu kami berteman walau tak lama sebab bubarnya arena bermain kata kami.
Sesegera mungkin anak saya membalas SMS yang kami biarkan tadi disertai ungkapan terima kasih atas kemurahan hatinya. Sebab secara nyata kami belum pernah bertemu apalagi bersentuhan, tetapi beliau bisa mengenang saya dengan baik dan ingin sekali mengulurkan bantuan.
Beliau tak berpikir panjang langsung menjawab bahwa beliau tulus ingin meringankan beban pengobatan saya seraya mendoakan kesembuhan saya. Di dalam hati kami terbersit pikiran beliau mungkin dari dulu sudah sering mendengar bahwa saya adalah pasien tetap di salah satu RS di Singapura dengan kasus yang ternyata tak tertangani dengan baik hingga kini. Sehingga terbit rasa iba dan kasih sayang di hatinya.
Seiring dengan itu tiba-tiba datang berita kiriman uang masuk dari beliau dengan jumlah yang sangat fantastis, yakni lima kali lipat dari uang pemasukkan kami yang menyusut bulan ini. Subhanallah! Sungguh kami langsung bersujud syukur karena tak pernah terbayang akan dapat gantinya. Apalagi ternyata sangat banyak mencapai persis sama dengan pemasukkan yang kami terima bulan ini.
KUASA ALLAH! HANYA ATAS KEHENDAKNYA LAH INI BISA TERJADI. TAK ADA YANG BISA MENGHAMBAT APA PUN YANG TELAH DIRENCANAKAN DIBERIKAN ALLAH KEPADA UMATNYA. JUGA TAK AKAN MUNGKIN ALLAH MEMBERIKAN SESUATU KEPADA UMATNYA JIKA ALLAH TAK MENGHENDAKINYA.
Sejak dulu saya sudah percaya itu karena di dalam agama yang saya anut memang diajarkan demikian. Dan kini tentunya saya semakin percaya lagi. Hal ini membuat saya terus tercenung lalu merenung mencari jawaban apakah yang menjadikan ini terjadi.
Dalam gelap malam yang disertai rinai hujan dan hembusan angin akhir tahun, akhirnya pikiran saya kembali terbuka. Saya pun teringat akan ajaran agama kami kepada anak-anak. Diperintahkan Tuhan bagi anak-anak untuk senantiasa berbuat baik kepada orang tuanya, dengan mengutamakan memuliakan ibundanya. Setelah itu, mereka tak boleh mengesampingkan ayahnya jadi mereka pun wajib menyayanginya.
Penghormatan kepada ibu dianggap lebih utama mengingat ibu adalah pejuang yang rela bersakit-sakit demi anaknya, bahkan sejak sebelum anak itu dilahirkan. Apa yang dikatakan kitab suci sesuai dengan kenyataan bahwa mengandung dan merawat anak itu berat. Si ibu bisa jatuh sakit setidak-tidaknya merasa kurang sehat sewaktu hamil. Begitu juga ketika melahirkan dia akan disakiti. Lalu kelak harus rela kurang beristirahat demi merawat buah hatinya, memberinya susu bahkan di larut malam meski terkadang anaknya yang baru tumbuh gigi menggigit putingnya dalam keadaan terkantuk-kantuk.
Keranjang cucian ibu akan dipenuhi kotoran bayi termasuk serpihan-serpihan sisa makannya. Serta kelak jika sudah besar, ibu juga yang terutama harus bertanggung jawab menjaga, merawat, mengawasi dan mendidik anak-anaknya. Sedangkan ayah, tentu saja juga berkorban dengan memeras tenaga untuk menghidupi anak-anaknya hingga mereka mampu mandiri. Di balik itu, ayah pun menjadi pendidik dan pengasuh mereka bersama-sama dengan si ibu.
Berdasarkan tindakan yang telah dilakukan kedua orang tua kepada anak-anaknya, maka di hari tua mereka agama meminta anak-anak membalasnya. Mereka bergantian memberikan kasih sayang kepada orang tuanya, terutama ibunda. Tak perlu pembalasan itu berupa materi. Merawat atau sekedar menjenguk dan menyapa orang tua sesering mungkin saja, sudah boleh disebut berbakti. Sebab uang tidak akan lebih berharga daripada perhatian serta sentuhan penuh kasih sayang. Apalagi ketika orang tua itu dalam keadaan sakit dan tak berdaya. Maka diwajibkan anaknya turun tangan merawat melayani orang tuanya tanpa canggung-canggung. Dan inilah yang dilakukan anak-anak saya terhadap saya.
Semasa sakit saya belum dioperasi, tumor itu luka berdarah-darah. Kedua anak saya lah yang merawat luka itu tanpa sedikit rasa jijik pun, apalagi mengeluh. Padahal luka kanker itu baunya luar biasa hingga tercium dari jarak jauh.
Kini ketika tubuh saya tak lagi sempurna akibat dioperasi, maka semua pekerjaan rumah tangga beralih ke bahu mereka. Sebab dengan sebelah tangan saja saya sudah kesulitan mencuci piring apalagi menyapu ruangan yang memerlukan kedua belah tangan untuk menggeser perabotan rumah tangga guna menjangkau debu di seluruh lantai.
Lalu semasa kemoterapi saya menimbulkan gangguan kesehatan yang lebih jauh lagi, saya bahkan perlu dilayani seperti bayi. Mandi, membersihkan diri, makan dan minum pun memerlukan jasa mereka.
Begitu luar biasanya mereka merawat saya walau dalam segala keterbatasan. Bahkan mereka merelakan biaya hidup dan tabungan mereka yang tak seberapa terkuras guna pengobatan saya. Tak pernah mereka mengeluh meski sekedar berbisik-bisik di belakang saya. Bahkan seperti ajaran agama kami, kata "ah" yang dilarang untuk dilontarkan juga tak kedengaran. Hanya saja jika mereka kurang sependapat dengan saya kami akan berdebat bertukar pikiran secara baik-baik.
Menilik kenyataan ini, kini tahulah saya dari mana rizki kami tiba-tiba datang. Menurut saya, itu bersumber dari perilaku ikhlas ridha anak-anak di dalam menjalankan ajaran agama yang dianut. Allah memenuhi janjinya, mengganjar ketaatan mereka dengan memudahkan segala urusan mereka. Buktinya pada akhirnya pemerintah mengulurkan bantuan juga untuk pembelian obat saya meski dibelikan yang termurah. Yang penting isinya cocok untuk kasus saya. Belum lagi uang anak saya yang menyusut tiba-tiba telah mendapat ganti lima kali lipat secara tak terduga. Subhanallah! Wa Allahu akbar! Tiada yang mustahil di dunia ini atas kehendak Tuhan.
Saya pun teringat ajaran agama kami untuk orang tua, terutama kaum ibu. Hendaknya kaum ibu pandai-pandai menjaga mulutnya di dalam menghadapi anak-anaknya yang memiliki sifat beragam. Bukankah tak semua anak bersikap manis budi? Nah jika ada yang bersikap kurang baik, kepadanya si ibu diharuskan mengingatkannya dengan halus dan tutur kata yang baik sambil mendoakan agar Allah menyadarkan anaknya. Hendak lah di dalam setiap doa ibunda dipanjatkan permohonan-permohonan yang baik untuk anak-anaknya. Juga ketika bertutur hanya mengeluarkan bahasa-bahasa yang santun sehingga layak dicatat malaikat di surga.
Percayalah, apa yang saya tuturkan sudah saya alami sendiri. Untuk itu selain bersyukur kepada Allah, izinkan saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada ibu Ellen yang budiman teriring doa semoga rizki ibu sekeluarga selalu datang berkelimpahan dan penuh barokah. Amin.
Insya Allah dengan bantuan ini saya besok Senin bisa memenuhi kewajiban saya untuk memeriksakan diri ke RSK Dharmais tanpa ragu-ragu lagi. Bahkan program pengobatan saya untuk bulan depan pun sudah bisa terbayang akan lebih lancar. Sebab sebagian obat yang tak ditanggung pemerintah lagi, bisa terbeli dengan dana itu. Ah, matahari cerah membayang di hadapan saya meski pun akhir tahun begini hawa sejuk tertutup mendung selalu. Beginilah indahnya dunia, meski cuma dunia maya. Ayo, siapa yang tak suka blogging kalau begini?!
(Bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Terharu bacanya. Dalam nge-blog pun juga dihitung sebagai ber-hablum minannas.
BalasHapusSaya sekeluarga menghaturkan Selamat Hari Ibu buat mbak Julie.
Ternyata iya lho, ngeblog pun bisa untuk menjalin hubungan baik dengan sesama. Terima kasih ya atas salam hari ibunya. Kirim salam yang sama juga ah untuk bu Iwan. :-)
Hapus