Powered By Blogger

Senin, 02 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (142)

Dokter berjiwa sosial nan dermawan ternyata masih cukup banyak di dunia ini. Berita yang menggembirakan datang dari kota Surakarta yang lebih dikenal sebagai Solo, Jawa Tengah. Di televisi ditampilkan sosok dokter tua yang bekerja sepenuh hati tanpa menetapkan tarif bagi para pasiennya. Bahkan jika perlu obat-obat mereka pun akan ditanggungnya sendiri meski untuk itu sang dokter harus membayar jutaan rupiah kepada apotek yang menagihnya setiap bulan.

Dokter Lo Siaw Ging (79 tahun) namanya, pernah menjabat sebagai direktur di sebuah RS di Solo bekerja menuruti kata hatinya dipengaruhi oleh amanat ayahnya. Beliau berkisah, dulu ayahnya menasehati untuk bekerja sebagai dokter tanpa mempertimbangkan seberapa banyak penghasilan yang harus diraihnya, atau tidak menjadi dokter sama sekali melainkan bekerja sebagai pedagang. Dan beliau tetap menjadi dokter yang tak menetapkan tarif sama sekali. Kedermawanan menjadi ciri hidupnya yang sederhana namun nampak terhormat.

Saya pun langsung teringat kepada onkologis saya yang berayahkan juga seorang onkologis yang terkenal berjiwa sosial lagi dermawan. Almarhum adalah onkologis pertama di kota kami yang duduk di dalam kelas pertama pendidikan dokter ahli bedah kanker di Indonesia. Seingat saya ayah onkologis saya merupakan warga ternama di kampung kami yang tak mempersoalkan biaya pengobatan bagi pasien-pasien tidak mampu. Bahkan menyantuni anak-anak yatim-piatu terus saja dilaksanakan keluarga beliau hingga kini.

Sewaktu putra bungsunya yang cemerlang baru lulus kuliah, almarhum mengarahkan putranya untuk melanjutkan pendidikan spesialis yang kemudian diteruskan lagi hingga ke pendidikan sub spesialis bedah kanker. Di saat yang hampir bersamaan sang ayah berpulang meninggalkan banyak pasien ke tangan sang putra yang kini menangani penyakit saya. Tapi ilmunya tentu saja sudah diturunkan terlebih dulu termasuk sikap sosial yang terus melekat pada jiwa beliau. Tak ada kata lain yang bisa kita sampaikan selain salut dan penghormatan yang banyak kepada mereka sekeluarga. Inilah dokter yang dibutuhkan masyarakat sesungguhnya.

Dokter semacam ini tentu saja rela mengorbankan hartanya sendiri untuk pasien yang benar-benar membutuhkan. Bahkan dengan segala cara mereka berkorban sehingga tak ada pasien yang merasa diterlantarkan. Dalam hal ini jika Jaminan Kesehatan dari Pemerintah tak mampu berperan maksimal, maka tak banyak pasien yang merasa diterlantarkan dengan jiwa yang terancam mati. Sebab mereka tetap akan menerima pertolongan dokter berjiwa sosial sedapat mungkin.

Saya kemudian terpaku pada penderitaan keluarga tidak mampu asal Lampung yang memiliki bayi penderita atresia bilier, kelainan fungsi hati. Bayi malang ini antara hidup dan mati terpaksa dirujuk oleh RSUD di Lampung ke RSUPN Tjipto Mangoenkoesoemo yang mempunyai keakhlian untuk menanganinya. Sayang karena keterbatasan dana Jaminan Kesehatan dari pemerintah, dia tak segera ditangani bahkan terkesan diabaikan selama 10 hari di IGD RS nasional itu.

Seandainya dia berada di tangan seorang dokter berjiwa sosial, meski kasusnya tak bisa segera ditangani setidak-tidaknya dia akan mendapat tempat yang lebih baik di Jakarta. Terbayang oleh saya dokter berjiwa sosial itu akan mengulurkan bantuan pemondokan untuknya menghindari kemungkinan tertular penyakit di IGD RS. Di RSK Dharmais, saya sendiri pernah menyaksikan para tenaga medisnya sesekali bahu-membahu menyumbang biaya penghidupan di Jakarta bagi pasien tidak mampu dari daerah yang terpaksa tinggal di rumah singgah di sekitar RS yang minim fasilitas. Setidak-tidaknya seperti onkologis saya menyuruh saya dirawat di rumah daripada harus berbaur dengan berbagai pasien di bangsal kelas III RS di kampung kami. Apalagi Jamkesda saya tak bisa menanggung biaya perawatan di RSKD, kantor beliau sebagai PNS.

***

Hari ini (Senin, 02/12) anak-anak saya kembali mengurus permohonan pembelian obat kemoterapi saya ke DKK. Meski sudah lelah secara batin dan raga, tetapi mereka tetap terus berupaya. Sebab seperti yang dikatakan dokter dulu, saya sedang berpacu melawan maut. Kali ini mereka membawa resep baru yang sudah diubah dari obat yang cocok untuk saya tapi bermerek menjadi obat generik. Kata pihak apotek RS kemarin dulu, obat generik yang artinya second line dari obat permintaan dokter saya ada di dalam daftar obat. Akan tetapi mereka tetap tak yakin dalam kondisi dan situasi seperti sekarang apakah obat ini tidak memerlukan persetujuan dari pihak DKK dulu sebagai penyandang dana.

Mendung yang menggantung tebal sejak pagi ditambah kondisi kesehatan salah satu anak saya yang mulai memburuk tak lagi mereka hiraukan. Yang terpenting bagi mereka obat saya segera tersedia dan kemoterapi saya berjalan mulus untuk selanjutnya. Saya sampai terharu mengetahui tekad dan pengorbanan mereka untuk saya.

Kira-kira pukul 11.00 saya tanya anak-anak saya mengenai proses pengurusan itu. Jawab mereka permohonan belum diproses ulang karena pejabat pembuat keputusan sedang rapat. Jadi mereka menunggu. Lewat tengah hari saya tanyai lagi sekalian mengingatkan mereka untuk shalat dan makan siang. Jawaban mereka obat yang disetujui pembeliannya kini malah cuma satu, obat yang baru diajukan penggantinya oleh dokter. Artinya obat satunya lagi yang disetujui minggu lalu malah tidak jadi disetujui. Apalagi obat-obat oral dan suntikan yang harganya paling mahal satu juta setengah itu, wajib dibeli sendiri.

Hal ini tentu saja menimbulkan tanda tanya. Namun petugas di counter Jamkesda mengatakan, itu semua merupakan kebijakan pimpinan dan manajer RS semata. Sesungguhnya jika obat yang diminta sudah ada di Daftar Perincian Harga Obat (DPHO) RS seperti obat yang sekarang diminta, seharusnya pihak RS tak perlu menggunakan lembar Acc lagi kata petugas. Tetapi anak-anak saya mengatakan mereka tetap diminta pihak RS untuk mengurus persetujuannya ke DKK dengan lembaran Acc yang dibekalkan RS ke tangan kami. Untuk itulah kami datang dengan tanda tanya besar. 

Sejenak petugas counter kebingungan. Sampai akhirnya anak saya minta supaya pihak DKK membubuhkan catatan di lembaran Acc soal itu dan alasan mengapa obat kedua yang dulu sudah di Acc kini justru tidak di Acc. Berhubung ibu pejabat masih sibuk meneruskan rapat yang katanya baru dimulai kembali, anak-anak saya diminta menunggu hingga sore. 

Jengkel dengan perdebatan itu, anak-anak saya memutuskan untuk pulang tanpa hasil dan berjanji segera kembali lagi besok. Padahal mereka jelas tak punya waktu sebab si adik harus kuliah sedangkan si kakak sakit. Tapi apa boleh buat, demi nyawa saya semua harus berkorban banyak.

Sementara itu saya segera menghubungi dokter dengan SMS agar tak mengganggu kerja beliau. Saya tak memerlukan jawaban selain ingin membagi informasi saja seperti biasanya. Entah mengapa kali ini saya malas berkirim E-mail kepada beliau seperti biasanya jika ingin membuat laporan yang menyeluruh. Selain itu saya juga berkirim SMS kepada pasien terbaru dokter saya yang juga sedang mengurus Acc obat kemoterapinya. Alangkah sedihnya, dia juga cuma mendapat sedikit. Dari 4 macam obat setengahnya harus dibeli sendiri. Padahal dia seperti saya juga sudah habis-habisan membiayai pengobatannya yang lampau.

Akhirnya kemoterapi saya semakin tidak jelas juga. Sedih rasanya menghadapi kenyataan ini, menjadi warga tidak berpunya. Seandainya saya boleh meminta, izinkan saya menjual harga diri saya demi sepotong nyawa yang masih sangat dibutuhkan anak-anak saya. Tapi tentu saja dokter dan mereka tak akan mengabulkannya. Negosiasi dengan birokrat lebih utama demi tercapainya hak saya sebagai warga miskin yang konon dijamin oleh negara.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pita Pink