Powered By Blogger

Selasa, 09 Februari 2010

MENUNGGU CINTA

Berlarilah cinta
hanya padaku
Seperti ketika
setiap adzan menggema memanggil-manggil
hanya di telingaku

Jauhkankanlah aku
dari bujuk burukmu
Dan panggilkan aku
iman hidupku

Mendekatlah cinta
hanya padaku
Sebab aku telah lama rindu
Darah rasulmu
Yang mengalir mengairi nadi
di jiwaku

Mendekatlah aku
Sepenuh waktu
pada jiwaku
di padang itu

Selagi petang
telah menghadang
mengajak pulang
hati yang kerontang

(Pinggiran kota malam hari, sembilan Februari dua ribu sepuluh)

Senin, 08 Februari 2010

SEMANGKUK SUP DI MUSIM GUGUR

Segumpal rambut yang tebal menyembul dari sela-sela paha perempuan bernama Fitriana yang merekah. Darah mengalir menyertainya, diikuti lengking tangis yang maha dahsyat. Kemerduan itu, suara seorang anak sehat yang dilahirkannya barusan saja.

Anak itu tak pernah diharapkannya, di saat dirinya masih menyelesaikan serangkaian tugas sekolahnya di perguruan tinggi ternama di negeri ini yang untuk mendapat sebuah bangkunya pun butuh kecerdasan yang sangat kuat. Tetapi lelaki yang nyaris tak bertanggungjawab itu telah membiusnya dengan serangkaian kata-kata manis dan janji angin surga yang ternyata kepalsuan belaka. Kini, bayi yang baru saja dilahirkannya menangis dengan kuat, seakan melantunkan semua kekecewaan dan kepedihannya.

----------

Fitriana datang dari keluarga yang sesungguhnya sangat terhormat, berpendidikan dan kuat memegang agamanya. Ayahnya Kyai yang mempunyai banyak pengikut, dan termasuk sesepuh masyarakat yang disegani. Sedangkan, ibunya perempuan biasa keturunan bangsawan yang juga mempunyai cakrawala pemikiran yang luas.

Di tangan asuhan keduanyalah Fitriana tumbuh menjadi gadis cemerlang yang tidak pemalu. Kawannya banyak, termasuk para lelaki yang belajar mengaji kepada ayahnya. Munawir adalah salah satunya.

Lelaki yang sedikit lebih tua darinya itu datang dari keluarga sederhana, namun cerdas dan punya semangat belajar yang tinggi. Di antara santri-santri ayahnya, Munawir termasuk yang disayang dan dipercaya karena semua kebaikan yang dimilikinya itu. Oleh sebab itu tak heran jika Kyai Haji Anwar Saleh membiarkannya mengajak putrinya menimba ilmu sampai ke ibu kota dan tinggal berdekatan di negeri yang baru pertama kali mereka injak itu.

Kini, darah yang mengalir di sela-sela paha Fitriana telah menahbiskan seorang darah dagingnya yang tak tahu dosa, hasil perbuatannya dengan Munawir yang terusir pergi dari sisinya ketika kedua orang tuanya mendapati kejadian yang amat mencoreng harga diri mereka itu. Si kecil Ramdhani yang kemudian menjadi bayi asuhan sepasang suami-istri tua pemilik balai pengobatan yang di masa itu dikenal sebagai "klinik kesehatan".

Mereka sekaligus juga memiliki panti asuhan guna merawat makhluk-makhluk yang kurang kasih sayang dan terpaksa merana ditinggalkan orang tua mereka karena berbagai sebab. Dan Ramdhani kecil sangat beruntung ketika malaikat baik hati turun menyamar menjadi sepasang suami-istri yang amat mendambakan anak, lalu membawanya menjadi milik mereka.

Dia besar dalam asuhan mereka tanpa pamrih. Sementara itu, Fitriana kemudian menjauh, mencari lapangan hidup baru, menyeberangi benua hingga mendekati kutub utara tanpa pernah terdengar lagi kabarnya. Kyiai Anwar Saleh ayahnya, menyuruhnya bersekolah setinggi-tingginya demi melupakan dosa yang telah diperbuatnya atas bujukan Munawir yang menjelma sebagai sosok iblis di masa remajanya.

----------

Hawa sejuk musim gugur yang ditimbulkan angin yang menerbangkan dedaunan merah-oranye di pepohonan mapple, tiba-tiba saja membawa langkah kaki Wishnu menapaki gedung megah di seberang tempatnya berdiri. Sebuah pertokoan bertingkat-tingkat yang tak pernah diinjaknya di kampungnya di Indonesia sana, menjadi pemikatnya untuk duduk menghangatkan tubuh.

Dia memilih sebuah meja dua kursi di sudut remang-remang Yang Tze yang biasa menyajikan ayam goreng garing yang renyah dan sup kepiting yang gurih. Sepasang perempuan dan lelaki tua duduk di dekat mejanya, juga berwajah Asia yang sama bagus dengan dirinya.

Meski banyak orang Indian yang berpenampilan mirip dirinya sendiri, tetapi logat dan cara bicara pasangan tua itu mengingatkan Wishnu pada kedua mendiang orang tuanya. Senyum malu-malu sang ibu yang dikulum dicermati dengan sengaja oleh si lelaki yang menghadang matanya dengan garang. Jakun lelaki itu turun-naik sambil menghirup teh panas yang disajikan dalam mangkuk keramik kecil berbunga-bunga merah.

Pikiran Wishnu ada pada orang tuanya. "Ah, seandainya saja mereka saling mengenal," katanya dalam hati.

Dalam kesendiriannya sepulang bekerja, Wishnu merasakan kesepian yang dalam. Ruslaini istrinya masih ditinggal di Indonesia, karena dia baru saja melahirkan anak pertama mereka, sedangkan kantornya belum menyediakan tempat tinggal untuk mereka.

Baru saja lima bulan yang lalu Wishnu menginjakkan kaki di belahan utara Amerika. Masa depannya masih panjang membentang luas. Dan untuk mencapai kemenangan dalam pekerjaannya, Wishnu masih perlu bekerja keras. Mempelajari semua hal yang terhidang di depan matanya, agar ketika pimpinannya menghendaki sesuatu, dia telah siap mengerjakannya sebaik mungkin. Dan inilah musim gugur pertama yang dialaminya. Musim yang baginya sangat menggigilkan sama menyengsarakannya dengan pekerjaan-pekerjaan berat yang dibebankan ke pundaknya yang belum lama memulai pekerjaannya sebagai abdi negara.

----------

Pasangan tua itu berbicara dalam bahasa yang sulit dipahaminya. Antara bahasa Inggris dengan bahasa asing lainnya, dan antara bahasa Melayu dengan bahasa entah apa yang tak jelas di telinganya. Wishnu terus saja mengamatinya lengkap dengan telinga dibukanya lebar-lebar sambil menunggu pesanan supnya datang.

Pelayan restoran itu baru meletakkan sepiring kerupuk dan sepoci teh di hadapannya. "Silahkan," katanya mengusik keasyikan Wishnu dan pikirannya. Dia menggumamkan terima kasih, lalu menjepit kerupuk dengan jari-jarinya diikuti meneguk teh panas yang tak pernah berwarna merah.

Sementara itu, di seberangnya, pasangan tua itu sedang asyik mencuili ikan kukus serta menjepit cakar-cakar ayam dengan sumpit mereka. Ada kenikmatan yang tak terkatakan pada setiap kecapan mereka disertai kehangatan jiwa pada gerak tangan si nenek yang melayani hampir setiap suapan suaminya. Entah mengapa, Wishnu menyimpan rindu kepada kedua orang tuanya sendiri setiap dia menumbukkan matanya kepada pasangan tua itu.

----------

Sup hangat itu terlalu panas untuk seketika dijejalkan ke mulutnya. Maka dengan perlahan dia menghembus-hembus lewat bibirnya. Dan gumpalan-gumpalan uap tipis yang buyar oleh ulahnya, menjadi media tersendiri untuk Wishnu mengembangkan imajinasinya.

Di situ, pada setiap kepulan uap dari mangkuk supnya, dia seperti bisa melihat sosok perempuan yang selama ini disimpannya dalam laci perasaannya dengan baik. Pada wangi aroma hidangan laut yang dihidunya, dia seperti bisa merasakan wangi rambut seorang perempuan berkebaya yang menjurai hingga ke pinggang dengan warna hitam legam berselaput minyak kelapa bercampur bebungaan dan pandan wangi.

Wishnu tidak pernah tahu siapa dia. Tapi nalurinya mengatakan, perempuan dalam bayangannya itu ada. Dan kini, dia ada di sisinya, di meja sebelah situ sedang melayani suaminya dan menyuap untuk dirinya sendiri.

Ingin rasanya dia menyapa lembut perempuan itu, lalu mencium kedua punggung tangan dan bila diizinkan, juga kedua kakinya dengan takzim. Sebab dia seperti sedang menyaksikan segurat wajahnya di alis, mata dan bibir perempuan itu.

Wishnu kembali buyar dari lamunannya, seiring dengan datangnya semangkuk kangkung panas yang lekat beraroma bawang putih dan jahe serta sepiring irisan-irisan tipis daging sapi yang lezatnya sudah bisa dirasakan di lidahnya yang masih asyik mengecap sup kepiting itu.

"Terima kasih," katanya kepada si pelayan meski dia merasa sedikit terganggu. Buru-buru dia meneruskan makannya, selagi sang pelayan membantunya menuangkan teh panas ke dalam mangkuk mininya. Dan kembali disusunnya bayangan yang dibentuknya semula, hingga dia merasakan sensasi kerinduan itu kembali datang.

Ah ya, dia sangat sadar kini, bahwa dia sangat merindukan perempuan itu. Perempuan sumber keberadaannya di muka bumi ini yang belum pernah dilihatnya secara langsung. Lalu air matanya menangiskan keresahan hatinya berbaur dengan kuah sup panas di mangkuknya.

-----------

Ketika Wishnu bangkit menuju ke kamar kecil dan menyenggol selendang yang disampirkan si nenek di kursi di dekatnya, perempuan itu melirik kepadanya. Matanya tajam, meski kecil menyipit. Disertai alis yang nyaris menyatu, dia menatap wajah Wishnu. Tiba-tiba ada getaran maha hebat pada kedua keping dada mereka. "Oh, ma'af, I'm so sorry, ma'am....," kata Wishnu seketika menunjukkan penyesalannya.

Seperti tersengat petir, perempuan itu menajamkan pendengarannya. Mulutnya sedikit menganga, sambil dia memperbaiki kembali letak syal merahnya yang nyaris rebah ke tanah. "That's all right. No problem, -eh- saya tidak salah dengar?" Dia berkata entah hanya tertuju kepada Wishnu entah juga kepada lelaki pasangannya yang kemungkinan besar adalah suaminya sendiri.

Wishnu sendiri juga seperti tersentak. Namun dia cuma menebarkan senyumnya smabil memperlihatkan deretan giginya yang putih rapi.

"Anda dari Indonesia?" Ucap perempuan itu lagi menahan laju langkah Wishnu, membuat semua khayalannya menjadi semakin kuat. "Betul," jawabnya ragu-ragu. "Ma'af ibu," ulangnya lagi seraya meninggalkan meja dan hidangannya yang nyaris habis masuk menghangatkan tubuhnya memberi enerji.

----------

Siang itu dia tidak berkata-kata apapun kepada pasangan tua yang dijumpainya di restoran "Yang Tze" selain kata ma'af. Tapi batinnya terus terusik, dan khayalan di mindanya terus jua melaju. Menggambarkan segala apa yang selama ini menjadi tanda tanya dalam batinnya.

Dalam buaian bantalnya ketika dia sudah merebahkan jiwa dan raganya di kasur, kembali dia terkenang cerita kerabatnya tentang siapa dia yang sesungguhnya. Seorang bocah kecil keturunan seorang Kyiai ternama yang lahir di tengah malam buta yang sunyi mencekam di balik hiruk pikuk sebuah kota besar.

Sesungguhnya dia bukan Wishnu Narendra bin Narasoma. Ramdhani namanya. Bayi mungil Fitriana yang sekarang entah di mana.

Selanjutnya kehangatan comforter biru tebal yang dibelinya di Sear's Company mengantarkan sebentuk mimpi kepadanya. Perempuan itu, yang tadi siang ditemuinya di lantai dasar restoran Yang Tze, datang kepadanya dan memeluknya dengan kencang disertai isak tangis yang mengalun tak berkesudahan. Bak irama seruling bertemankan biola di alam terbuka.

"Ma'afkan aku Ramdhani. Ayahmu Munawir telah mencoreng harga diri kakekmu. Lalu aku dipisahkan darinya, dan terpaksa meninggalkanmu. Aku telah berhasil menyelamatkan nama baik kakekmu. Dan kini aku adalah perempuan tua yang tiada berarti di negeri yang beku. Anak-anakku bukanlah orang-orang beriman yang berbudi tinggi. Mereka hidup hanya untuk diri mereka sendiri. Inilah Amerika, anakku Ramdhani! Dan lelaki yang kau jumpai tadi sa'at aku makan bersamanya, adalah Munawir ayahmu yang datang menyusul belakangan hari setelah suamiku seorang bangsawan Priangan berpulang di sini beberapa tahun lalu. Ma'af kan aku Ramdhani, ayo, mendekatlah, dan peluklah aku.........."

Selagi sang ibu menceritakan ihwal dirinya, kesadaran Ramdhani pun terbangkitlah. Ya, dia hanyalah ibarat sebutir telur yang keluar begitu saja, untuk kemudian dipungut tangan-tangan halus dan diolah menjadi sejenis masakan sehingga harus memiliki identitas baru. Bersama bawang putih dan jahe yang menyemarakkannya, dia tampil di meja restoran Yang Tze tadi siang, sebagai bagian dari penyedap sup kepiting yang dipesannya.

Lalu terasalah sekali lagi kehangatan dan kelezatan sup kepiting yang sudah mengendap di dalam perutnya serta mengaliri ususnya. Ya, kini dia bukan lagi Ramdhani -sebutir telur-, melainkan Wishnu, semangkuk sup kepiting yang gurih karena telah dicampurkan juru masak ke dalam daging hewan laut yang sesungguhnya jauh dari kandang ayam yang melahirkannya.

Sementara itu angin di luar rumahnya kencang bertiup, menggetarkan pepohonan membawa desingan yang menderu-deru menyeramkan. Juga menggugahnya dari mimpi yang tak bisa ditafsirkannya sendiri.

Wishnu kini terduduk. Terdiam bingung di atas ranjangnya, sebuah divan kayu yang berwarna coklat tua. Kayu mahoni yang mengikat dirinya kepada kehangatan melawan musim gugur yang dahsyat. Ah ya, Wishnu alias Ramdhani hanyalah seorang pendatang dari negeri berlumur matahari di negeri salju empat musim ini. Dengan membawa semua harapan dan mimpi-mimpinya, dia bertekad bangkit merajut kebahagiaan lewat kerja keras dan semangatnya. Semoga perempuan tua itu merestuinya kendati dia tidak pernah berkesempatan mereguk dan mengisap air susu padanya.


(Taman Cimanggu, sepuluh Februari dua ribu sepuluh)

Sabtu, 06 Februari 2010

RUANG KOSONG SEBUAH HATI YANG BERNODA

Tak baik duduk melamun saja, demikian yang kuingat dari penggalan kehidupan di rumah orang tuaku dulu. Aku terlahir sebagai anak satu-satunya dari sepasang orang tua yang sudah renta. Entah mengapa Tuhan memberikanku ke dalam asuhan mereka. Yang pasti, aku aman di tangan beliau. Lelaki tua dan istrinya yang aku sayang dan hormati dengan sebutan Bapak dan Mama.

Bapak, panggilan biasa untuk suku kami, seorang pensiunan pegawai negeri yang jujur. Meski bukan pegawai tinggi, tetapi aku yakin bapakku tidak suka berurusan dengan hal-hal yang di luar kewenangannya, agar beliau dapat beristirahat dengan tenang di masa tuanya.

Dan karena itu, Mamaku, -sebutan yang kuadopsi dari sebutan orang-orang elite kepada ibundanya- bekerja sebagai pembuat kue yang handal. Akulah anak lelaki satu-satunya yang kemudian bertugas mengantarkan hasil karya ibuku kepada para pelanggan kami, baik nyonya-nyonya gedongan maupun orang biasa yang doyan mengudap kue kering dengan kopi mereka.

Salah seorang pelanggan setia Mama, istri seorang terpelajar yang punya kedudukan cukup baik di kota kami, memiliki anak gadis yang lumayan menarik. Walau dia tidak cantik, tetapi kulitnya bersih dan caranya bergaul sangat menyenangkan. Gadis ramah yang nyaris sebaya denganku ini, kemudian mencuri hatiku.

Aku sangat suka jika dia membukakan pintu untuk sepeda kumbangku serta menyapaku hangat lewat sorot mata dan senyum malu-malu kucing di bibirnya. Ah, gadis itu, dia memikatku untuk berlama-lama di sana.

---------

Rumah perempuan itu sungguh bertolak belakang dari rumahku yang tersudut di balik dinding-dinding megah rumah tetangga, di dalam sebuah gang, Di balik tembok beton milik seorang jenderal ternama, aku tumbuh dan berkembang, selagi gadis yang mencuri ingatanku bebas merdeka berteriak-teriak menyanyikan lagu kesukaannya di dalam rumahnya yang luas dikelilingi taman dan sepetak kebun.

Tapi aku tidak mengiri kepadanya. Sebab, dia tidak punya kebebasan seperti yang kumiliki. Dia tidak bisa keluar rumah kemanapun dia mau disembarang waktu, mengingat ayahnya mempunyai serentetan aturan ketat yang membentenginya untuk jadi anak rumahan yang baik-baik.

Aku sangat yakin, selagi aku senang berkecipak di derasnya arus sungai yang mulai kotor kecokelatan, dia harus puas dengan duduk-duduk mencakung dan membaca di halaman rumahnya, atau sejauh-jauhnya di Kebon Kembang -taman milik negara-, di samping rumahnya.

Itulah penggalan kehidupan masa lalu kami, aku dan ibunya anak-anakku. Hampir empat puluh tahun yang lalu aku mengecap semua peristiwa itu. Dan kini manisnya sudah memudar entah mengapa.

-----------

Aku pernah memanggilnya "manis", mirip nama kucing kesayangannya, "Manisah". Dan kucing itu juga yang pernah mendekatkan kami satu sama lain.

Binatang berbulu putih hitam itu sangat lengket dengan roda sepedaku. Jika aku membunyikan loncengnya yang terbuat dari logam, serta merta kucing itu berlari menghampiriku. Lalu kakinya digaruk-garukkannya ke pipa celanaku, seperti minta belas kasihan berupa gendonganku.

Setelah itu, gadis mungil kesayanganku akan muncul dari balik pintu rumahnya, dan menebar senyum serta menyambut bungkusan yang kukeluarkan dari dalam keranjang sepedaku. "Ayo Manis," bujuknya, Turun. Kaki-kaki dan bulumu kotor." Kemudian dia meraih si Manisah dari gendonganku, sekedar untuk menyentuhkan lengannya ke tanganku. Aduhai mesranya masa-masa itu.

Entah kemana sekarang semuanya ini berlalu. Manisah tentu sudah mati. Tapi perempuan yang sangat amat kukagumi ini juga seperti sudah mati dari kehidupanku.

Sekarang sejalan dengan berlalunya waktu, aku tak lagi bisa mengingatnya dengan baik. Lekuk-liku tubuhnya, bahkan tahi lalat di atas bibirnya tak ada lagi dalam bayangaku.

Aku khawatir diriku telah melupakannya. Lebih tepat lagi seperti katanya menyindirku, aku telah melarikan diri dari kenyataan hidupku. Ah, alangkah ngerinya bila saja itu terjadi.

---------

Lebaran kemarin menjadi saat yang sangat menakutkan. Sepertinya neraka jahanam sedang mengintaiku. Dan mengharap lewat doa-doa syaithon untuk menggelincirkanku ke dalam apinya yang panas.

Aku hampir menjadi seperti Bang Toyib. Kulupakan keluargaku. Dan kususuri sendiri jalan hidupku tanpa pernah menoleh ke belakang serta berjingkat meninjau kejauhan di muka sana.

Namun di balik istriku, si gadis yang kini tak lagi pemalu serta menurutku seperti tak punya harga diri lagi, ada anak-anakku yang mengikatku untuk kembali. Lalu kulangkahkan kakiku ke rumah walau cuma sejenak.

Kucumbui satu persatu mereka, termasuk kenangan-kenangan kami yang lekat pada setiap sudut rumah dan benda-benda yang dulu kuperoleh dengan perahan tenagaku. Tapi hanya sejenak.

Syaithon itu kembali membujukku. Dia merajuk memintaku segera enyah dari singgasana abadi yang dulu kubuat sendiri. Astaghfirullahaladzim. Batinku menyeru dengan keras, selagi hawa nafsuku tetap membelot kepadanya. Ah, kemana kiranya larinya akal sehatku?

Sepiring daging yang dulu diproduksi Mamaku untuk ibu gadisku ada juga di meja makan kami. Istriku, si mungil yang dulu gadis pemalu itulah yang kini menyiapkannya, tidak untuk siapa-siapa melainkan hanya untuk diriku sendiri.

Dulu, dia selalu menerima daging dari dapur ibundaku dengan senang hati. Selagi aku juga mengantungi uang pemberian ibunya dengan kebahagiaan yang sama. Karena itu artinya, besok aku boleh menikmati makanan lezat dan bekal sekolah seadanya sebagai penambah hasil pensiunan almarhum ayahku, Bapak yang kuhormati.

Tapi masya Allah, kebencian syaithon pada sosok istriku telah meracuniku. Maka hari lebaran yang suci mulia ini kunodai sendiri dengan tak menyentuh hidangan yang disajikan istriku berbekal keterampilannya memasak yang diperolehnya dulu dari Mamaku. Aku meninggalkannya di meja makan kami dengan linangan air mata yang terasa lewat getaran kata-katanya waktu dia mencium tanganku untuk menyatakan kerinduan dan baktinya.

---------

Hari mulai merambat ke petang. Aku tak jua menyadarinya. Hatiku benar-benar telah lari entah kemana, dengan membawa semua kenangan masa kecilku yang banyak dengannya. "Ma'afkan aku, kekasih," sorot mataku mengatakan itu. "Izinkan aku mengubur saja semua masa lalu kita, karena aku sekarang akan segera pergi lagi. Pergi yang tak akan pernah kembali........."

Lalu kututup pintu rumahku sendiri. Dentamannya yang keras, sempat mengejutkanku sedikit. Namun lagi-lagi suara syaithon di luaran sana berdengung begitu keras. Gaungnya merajai telingaku, merusak semua ketenteramanku dan tanpa dapat dicegah dia telah membawaku pergi menjauhi diriku sendiri. Sehingga aku menjadi seseorang yang tertolol di dunia ini.

Aku tak berhasil memenuhi nasehat ibundaku. Duduk melamun kini bahkan jadi keseharianku. Itulah hasil panen di kebun amalku, karena aku hanyalah seorang manusia biasa yang kurang beriman dan lalai pada kewajiban seorang manusia.

Semoga tak seorangpun meniru langkah keliruku. Terlebih-lebih anak-anak buah cintaku dengan si Manis, kucingku sayang yang di mataku kini tiba-tiba menjelma sosok anjing penjaga yang setia. Oh ya, dia penjaga rumahku dan hatiku yang sedang kosong ditinggalkan penghuninya. Semoga Allah menyeretku kembali kepadanya di suatu hari nanti. SEMOGALAH.
Pita Pink