Pagi-pagi sekali ketika saya baru selesai difisioterapi secara manual oleh anak saya masuklah sebuah SMS ke ponsel saya. Pengirimnya nomor tidak dikenal serupa yang nyaris setiap hari mampir tanpa diundang untuk mengiklankan barang dagangan. Semula saya berniat untuk segera menghapusnya tanpa perlu membaca isinya. Tapi ketika kalimat pertamanya tertangkap mata, saya segera mengurungkan niat itu. Ada asma Allah tertera di sana.
Maka saya jumpai SMS nasehat berupa pengingat selayaknya peringatan seorang pemuka agama kepada umatnya. Lalu dengan penuh syukur dan rasa ingin tahu saya sampaikan ungkapan terima kasih disertai tanda tanya tentang pengirimnya.
Tak berapa lama tersua lah jawaban, dia teman sekolah di SMA yang berkawan akrab dengan saya dan kini kami juluki ustadz meski secara resmi dia termasuk petinggi di sebuah pabrik semen besar. Sebab dia kini menjadi lebih saleh dan tak pernah melepas kopiah hajinya kecuali jika ke kantor.
Isi SMS pengingat itu ialah manusia yang beriman hendaknya yakin bahwa segala sesuatu peristiwa terjadi karena KehendakNya. Sebab Allah itu yang paling tahu apa yang terbaik bagi hambaNya. Untuk itu manusia harus yakin kepada Allah dalam segala hal, membutuhkan Allah dalam segala keadaan dan percaya bahwa Allah jua lah tempat kembalinya segala sesuatu.
Tak ada yang salah padanya. Namun semenjak sakit saya menjadi-jadi, SMS semacam ini sering menyinggung perasaan saya, karena saya beranggapan mereka itu tak yakin bahwa saya percaya kepada Allah dan telah bertawakal dengan segenap kesadaran serta keikhlasan jiwa saya. Toch rasanya saya tak pernah menghujat Allah untuk takdir yang saya terima. Nyatanya hingga hari ini tak pernah terlintas di benak saya keinginan untuk mati saja. Saya jalani semua pengobatan saya dengan segala daya upaya. Menurut saya, ini menunjukkan bahwa saya berpasrah diri kepada Tuhan semata. Sikap semacam apa lagi kah yang harus saya tempuh kalau itu tak sesuai Tuntunan Allah dan ajaran agama?!
Belakangan teman saya itu akhirnya menelepon saya. Diawali dengan pertanyaan mengenai keadaan saya, akhirnya dia bercerita tentang kemenakannya yang menderita kista indung telur. Perempuan muda itu dirawat seorang dokter di sebuah RS Pemerintah besar di Jakara karena kondisinya parah. Mungkin teman saya berharap saya akan memberi masukan soal penyakit ini karena saya pernah mengalaminya. Tapi saya tak melakukannya. Saya cuma mendoakan semoga dia mendapat pengobatan yang terbaik.
Tanggapan teman saya kemudian adalah sebuah nasehat yang kembali ditujukannya kepada saya. Katanya usaha yang maksimal memang diperlukan. Tetapi harus disertai kesabaran dan keikhlasan.
Berhubung seperti yang pernah saya ceritakan akhir-akhir ini saya mudah tersulut emosi, saya langsung menjawab percakapan itu dengan sengit.
"Saya sih sabar, tapi tumor saya yang nggak sabar mas," suara saya agak meninggi.
"Oh gitu ya?"
"Iya lah. Tumor 'kan tumbuh terus, nggak bisa dibilangin disuruh stop dulu," sahut saya.
"Oh... oh...."
"Lha kalau bisa sih maunya ya tumor saya stop, jangan membesar lagi bahkan langsung kempes. Tapi mana bisa sih? Jadinya 'kan ya saya mesti cepat dikemoterapi. Berpacu dengan maut lho," kali ini suara saya jadi ketus sehingga tak berlama-lama teman saya segera menghentikan teleponnya membuat saya lega.
Ketika telepon hampir selesai, tiba-tiba anak saya memberitahukan bahwa saya sudah dipanggil RS untuk giliran kemoterapi besok. Wajahnya berseri-seri menandakan kepuasan hatinya. Maklum pada kasus saya dialah yang banyak berjuang untuk mendapatkan dana pemerintah pembeli obat-obat mahal itu.
"Alhamdulillah," seru saya spontan cukup keras untuk bisa didengar telinga teman saya di tangkai teleponnya.
Seketika itu saya langsung menghidupkan komputer saya berniat menghubungi onkologis saya, teman saya dr. Maria Witjaksono dan teman-teman seorganisasi saya. Kepada onkologis saya, saya berniat mohon izin masuk Ruang Kemoterapi. Dan kepada mbak Ria serta teman-teman kami itu, saya mengharapkan agar mereka tenang tak lagi terus-menerus merisaukan saya. Relawan kanker pendamping saya kemarin sempat lapor bahwa dr. Maria ini gelisah karena saya lama tak mengabari apa pun. Sedangkan kelihatannya onkologis saya setelah membawa saya pulang ke kampung pun juga tak pernah membicarakan saya lagi di kantor mereka.
Betapa kecewanya hati saya mendapati jaringan Yahoomail tidak bisa berfungsi dengan baik. Walau saya sudah menyadarinya dua hari, tetapi kebetulan kali ini dia bisa diakses meski ada kejanggalan di sana-sini. Ketidak normalan itu baru terendus kemudian, setelah saya cuma menerima balasan dari pengguna Gmail. Sedangkan sesama Ymail sepi belaka. Bahkan siang harinya hingga kini tak bisa diakses sama sekali. Sehingga saya memutuskan berkabar kepada onkologis saya dengan SMS saja selepas shalat Maghrib. Untunglah ponsel saya yang biasanya bermasalah soal SMS malah lancar. Onkologis saya menjawab secepat kilat sambil seperti biasanya mendoakan semoga semua dimudahkan dan lancar.
Jadi, malam ini saya sedang heboh bersemangat menunggu pagi merebak membawa obat kemoterapi masuk ke tubuh saya. Dan yang lebih penting lagi, onkologis saya besok malam pasti menyalami saya dengan hangat dan senyumnya yang lebar. Oh, alhamdulillah, terima kasih Tuhan.
Tabik, selamat malam!
(Bersambung)
Mudah2an kemoterapinya berjalan lancar ya bu...SEMANGAT!
BalasHapusAlhamdulillah lancar mbak, meski untuk infus saya terpaksa ditusuk di 4 titik sebab pembuluh darahnya tipis dan pada pecah. Saya baru pulang dari Rs lewat jam 8 malam barusan. Terima kasih doanya ya.
Hapus