agal bertemu dengan dokter ahli kemoterapi di hari Senin, keesokan harinya saya kembali ke RS Kanker Dharmais (RSKD). Untung pak Jamil bersedia mengantar lagi meski dia sendiri sebetulnya hanya meminjam kendaraan milik orang lain. Kali ini saya berdua saja dengan Andrie supaya adiknya bisa merapikan rumah yang lama tak tertangani terkendala kesibukan merawat saya.
Di RS kami disuguhi suatu pemandangan baru yang sebetulnya sudah lama saya ingini ada di situ. Klinik eksekutif/swasta yang dulunya bergabung di lantai bawah tanah dengan klinik radiologi pada kondisi yang serba sederhana, bertransformasi ke lantai II. Bukan sekedar pindah tempat, melainkan bergaya seperti klinik eksekutif di RS Jantung tepat di sebelahnya. Poliklinik ditata membentuk huruf U serupa barisan angkare upacara bendera Pramuka dengan interior yang bagus. Lantainya seingat saya tak sedingin di tempat yang lama. Bersih mengilap tapi tak licin. Bayangkan saja, di tempatnya semula mesin-mesin radiologi 'kan memang memerlukan suhu udara yang amat rendah untuk pemeliharaannya. Jadi imbasnya tentu saja menyebar ke poliklinik eksekutif. Dingiiiiin luar biasa serasa di dalam freezer. Nah di tempat baru ini nih, kesan seperti di dalam freezer itu tak nampak lagi.
Bisa berada di dalamnya menikmati kemewahan itu tentu saja benar-benar bagaikan mimpi bagi seorang penerima dana Jamkesda. Kalau tidak menerima barokah dana "Jamkes Kasiho" kiriman hamba Allah yang budiman, tak mungkin saya ke sana. Tak bakalan terjadi pemeriksaan laboratorium dan pengambilan obat diselenggarakan di tempat yang sama tanpa harus mengantri berjejalan. Jadi ini adalah sesuatu yang lagi-lagi saya syukuri. Rasa-rasanya mendongkrak semangat hidup saya. Soalnya saya mau sembuh dan ingin mencicipi enaknya hidup sehat.
Berobat di klinik yang kini bernama "Cendana" ini memerlukan lapor diri pada Satpam wanita yang berjaga di pintu masuk. Lalu kita ditanyai akan ke dokter siapa, diberi tanda masuk untuk registrasi pasien di kubikel para perawat yang cuma berbentuk sebuah meja semacam meja bar. Kesannya benar-benar modern karena ditandai tulisan "Nurse Station" seperti di luar negeri saja sebab tidak dwi bahasa. Suasana asri pun langsung tertangkap mata menyaksikan lukisan-lukisan bagus menghiasi dinding di sekitarnya.
"Selamat pagi ibu, mau ke dokter Bayu, ya?" Sapa perawat yang tubuhnya berisi menyenangkan hati saya. Ramah sekali, seperti koleganya yang lain yang juga sedang melayani pasien. Dia saya jumpai sering mengasisteni dokter saya. Pantas saja dia hafal kepada saya.
"Selamat pagi bu. Saya mau ketemu dokter Noor. Dokter Bayu sih sudah terjadwal Sabtu di kampung, tapi kemarin juga sudah ketemu di UDT," jawab saya menegaskan.
"Oh, ibu sudah jadi dikemo lagi ya?" Selidiknya sambil mengawasi gaya berjalan saya yang terseok-seok.
"Hehehe..... iya. Gaya jalan saya jadi aneh ya? Dokter Bayu saja ketawa kok bu, 'kan ini persis pinguin di Samudra Atlantik," jawab saya sambil tertawa sendiri.
"Ah, nggak 'pa'pa bu, nanti 'kan normal lagi. Yang penting sembuh. Saya senang ibu nggak di kursi roda lagi seperti bulan lalu," lontarnya seraya melanjutkan pekerjaannya. Oh, ternyata dia bersyukur melihat ada sedikit kemajuan di diri saya.
Setelah mendaftar saya minta izin ke laboratorium dulu. Tak dinyana perawat bilang saya tak perlu ke lantai dasar, karena di poliklinik Cendana tersedia laboratorium tersendiri. Laboratorium itu kecil saja, namun nyaman sekali. Para pasien tak banyak yang mengantri. Lembar permintaan pemeriksaan yang saya bawa dari kampung bisa digunakan di situ, meski petugas administrasinya agak kerepotan menerjemahkan beberapa istilah yang berbeda dari lembaran mereka. Untung teknisi laboratoriumnya tahu persis, karena ternyata terbiasa membaca lembaran yang saya bawa itu. Menurutnya, dulu dia sering menerima pesanan dari laboratorium RS tempat saya berobat karena bekerja selama 6 tahun di laboratorium swasta ternama di kota saya. Bahkan katanya dia juga tahu rumah dokter saya.
"Maaf bu, hati-hati ya, vena saya tipis dan sulit," kata saya mengingatkannya.
"Pasti bu, tarik nafas dalam-dalam saja bu, insya Allah langsung dapat," jawabnya melegakan seraya memasang karet tourniquette dengan cekatan. Ternyata dia benar, tusukannya nyaris tak terasa sama sekali. Dan darah pun masuk ke tabung tak tersendat-sendat. Setelah mengucap terima kasih saya berlalu mencari klinik dokter Noor.
Ternyata beliau berada di area depan dekat pintu masuk, berpunggung-punggungan dengan ruangan dokter saya. Mungkin manajer RS sengaja mengatur demikian. Dokter senior di depan dan yang junior di posisi belakang. "Ehm, poliklinik nomor 6. Berarti mas Bayu nomor keberuntungannya 6," cetus saya ketika melintas di depan ruangan onkologis saya.
"Memang ada apa gitu?" Tanya anak saya menyahuti tanda tak mengerti.
"Ya, di RSKB juga poliklinik 16 mas. Berarti angka 6 cocok dengan mas dokter," ujar saya menjelaskan.
"Oh iya, ibu jeli amat," balasnya sambil terus mencari klinik dokter yang akan saya tuju. Saya cuma tertawa di dalam hati. Batin saya, 'kan sebetulnya saya cuma iseng.
Hasil laboratorium boleh diambil sejam kemudian. Jadi kami duduk-duduk menunggu di muka klinik membaur dengan para pasien lain beserta keluarganya. Sudah barang tentu tak ada yang penampilannya mengerikan di sini, karena penghasilan mereka yang baik pasti tak menunda keinginan mereka berobat seperti diri saya. Saya rasa sejak awal menemukan kelainan mereka sudah langsung ke RS.
Sebagian besar nampaknya memang eksekutif perusahaan besar. Sebab tangan mereka tak henti-hentinya menggenggam gadget, telepon pintar dan sejenisnya dengan isi percakapan seputar dunia usaha. Kedengaran penugasan mereka kepada lawan bicaranya. Juga permintaan maaf untuk menunda pertemuan karena sedang berobat. Pokoknya ya semacam itu lah. Seorang gadis bahkan membujuk orang yang dipanggilnya tante supaya menghubungi seseorang terlebih dulu sambil menunggu dia tiba di kantornya. Sungguh suatu suasana yang kontras dengan suasana di poliklinik bagian lain gedung ini, yang para pasiennya asyik berkenalan lalu bertukar pengalaman soal sakit mereka.
Kalau boleh dibilang sih, pasien di sini betul-betul acuh tak acuh. Semua cuma sibuk dengan dunianya sendiri. Termasuk anak gadis ABG yang saking asyiknya bertelepon sampai-sampai ditinggalkan ibunya entah ke mana selagi menunggu poliklinik dibuka. "Enggak Pa. Cuma beli sepatu aja kok. Enggak, kata Mama disuruh milih. Kalau udah beli sepatu enggak beli lainnya lagi," anak itu bicara cukup keras. Pasti di seberang sana ayahnya memperingatkannya untuk tidak mengajak ibunya berbelanja ini-itu ke pusat perbelanjaan. Wah agaknya masih ada orang tua sibuk yang jempolan, mau mengecek sendiri anaknya.
Menurut saya menunggu lama itu menjengkelkan. Tapi saya tak boleh menggerutu karena saya tahu dokter pasti sedang memeriksa para pasiennya yang sedang dikemoterapi. Sebagaimana biasanya dokter keibuan berbibir tipis itu memang kelihatan sangat bertanggung jawab terhadap tugasnya. Dulu adakalanya di tengah-tengah praktek, beliau menyelinginya dengan kunjungan ke ruang pasien kemoterapi.
Hati saya mulai lega waktu melihat perawat favorit saya masuk ke poliklinik dengan setumpuk Rekam Medis pasien di tangannya. Setelah itu pasien diabsen lalu ditimbang serta diukur tekanan darahnya. Saya tidak turun berat badan lagi. Mungkin karena saya terus saja makan walau cuma makanan yang saya sukai. Itu pun berdikit-dikit. Tekanan darah saya juga kembali ke titik normal yang melegakan.
Untung saya mendapat giliran nomor 4 di saat tubuh saya rasanya lelah dan lemas. Tak bisa dihindari, sudah dua hari saya berangkat ke RS di Jakarta ini. Tapi ketika saya lirik jam di ponsel saya memang sudah mendekati pukul 12.00 siang sih.
Tak dinyana dokter terkaget-kaget tak menyangka akan kedatangan saya. "Eh, wa alaikumsalam mbak. Lho?!"
"Inggih mbakyu dokter, mau lapor diri," sahut saya seraya tersenyum dan mendudukkan diri di kursi kiri. Saya biarkan anak saya menempati posisi kanan yang tak di dekat meja pemeriksaan pasien.
"Sampun kemo mbak?" Selidik beliau langsung mengerti maksud kunjungan saya.
"Sampun. Malah mohon maaf, tertunda nyaris satu siklus. Tujuh belas hari tepatnya sih," ujar saya.
"Lho, lha kok?!" Beliau terperangah membelalakkan matanya yang kecil dan menatap saya tajam.
"Alah biasa dok. Jamkesda sekarang dalam masa krisis 'kan sulit urusannya," kata saya. "Tapi saya dan anak-anak terus berusaha negosiasi. Sampai obatnya kami minta turun kualitas, second line pun, hampir tidak dikabulkan," terang saya lagi.
"Lha sekarang jadi pakai obat apa?" Tanya bu dokter menyiratkan kekhawatiran.
"Paclitaxel dan Carboplatin, maaf dari pada tidak diberi," jawab saya.
"Oh, ya serupa sih dengan Docetaxel," katanya.
"Lha di situ permasalahannya dok. Dulu kan saya diberi Brexel. Tapi tiba-tiba tidak boleh minta lagi, sampai anak saya bilang aneh, di mana-mana orang kemo 'kan ya nggak cuma sekali," ujar saya mulai berpanjang lebar. "Terus mereka jawab kami harus mengerti bahwa pengguna Jamkesda itu banyak, jadi nggak mungkin membelikan obat mahal begini. Sehingga akhirnya saya dan dokter Bayu berunding untuk turun kualitas sesuai juga dengan pendapat apoteker RS. Lha kami mintakan Paclitaxel tapi dengan catatan tambahan Anzatax. Eh, juga ditolak sampai kami bilang Anzatax itu 'kan hanya brand name. Yang akan dibeli generiknya, baru mereka acc."
"Oh jadi dapatnya Paclitaxel?" tegas bu dokter asli kota apel itu. Senyumnya sih manis, lebih manis ketimbang apel Malang itu sendiri.
"Ah, malah Anzatax juga dok, karena RS swasta 'kan nggak punya generik kata perawat dan apoteker yang mengoplos," jawab saya jujur. "Tapi ngurusnya lama sampai dimas Bayu galau dan ngontak bu Linda CISC tengah malam minta mendampingi saya negosiasi dengan DKK."
Dokter Noor mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mari saya periksa dulu mbak," ajak beliau seraya menunjuk meja pemeriksaan.
Saya mengikutinya. Pakaian saya dilucuti untuk meraba tumor di supra clavicula saya. "Oh, melembek ya mbak," ujar beliau menarik sekali. Tak hanya itu dada saya pun diperiksanya dan dikatakan baik-baik saja.
"Tapi tumor-tumor ini sering menyakiti lho mbakyu. Bahkan yang di cranium mulai bikin sakit kepala," ucap saya.
"Oh sakit ya?"
"Ya, saya makan Analtram untuk meredakannya karena Ketesse diganti supaya tidak membahayakan lambung oleh dokter bedah umum. Mas Bayu sudah setuju kok dok," terang saya seraya merapikan baju kembali. Sementara itu bu dokter mulai membuka-buka Rekam Medis saya di meja kerjanya.
"Jadi akhirnya dikemo dengan Anzatax ya mbak," ujar beliau seraya menulis.
Ya, dosisnya 550. Ini juga menyulitkan dok. Dosis itu susah dicari sampai saya berunding dulu dengan dpkter Bayu supaya dosis dibagi tiga, 450 ditambah 2 kali 50. Untung nggak jadi sudah langsung dapat walau kemo menjadi makin terlambat," urai saya.
Sementara itu saya lihat dr. Noor mengernyitkan keningnya seperti berpikir keras. "Kok Anzatax 550 tha mbak?" Ah agaknya itu yang membuatnya berkerut dahi.
"Inggih, Carbonya 120," jawab saya nyaris berbarengan dengan anak saya yang mencoba menegaskan.
"Lho, lha nggak gitu. Bukannya Paclitaxelnya yang 120, atau 220 gitu?" Beliau mencoba mendebat.
"Eh mboten dok, yakin. 550," tegas saya.
Dokter Noor terdiam sejenak untuk berkonsentrasi dengan catatan onkologis saya di Rekam Medis. Setelah membolak-balik sana-sini beliau bertemu dengan fakta kebenarannya.
"Oh ya. 500, ini catatan dokter Bayu," beliau berujar lega.
"Bahkan kemudian di kampung disesuaikan lagi jadi dosis tertinggi 550," saya memberitahukan apa adanya. Beliau pun kembali mengangguk-angguk. Saya memang meyakini bahwa sesungguhnya komandan penatalaksanaan pengobatan saya itu ya dokter onkologi, bukan pihak-pihak lain.
Setelah itu dr. Noor mulai menulis formulasi resep saya sebagai panduan onkologis saya nantinya. Tiba-tiba anak saya teringat bahwa saya perlu dituliskan resep pembelian Leucogen.
"Ah nggak usah mbak, hasil lab lumayan bagus kok," ucap beliau.
"Ya itulah hasil dari suntik Leucogen persis selesai kemo. Dulu saya biasa menunggu hasil lab pasca kemo, dan ternyata leukosit saya rendah sekali. Makanya sekarang diakali mas Bayu. Saya langsung disuntik beliau sendiri sebelum diizinkan pulang. Smart betul kok mbakyu," ujar saya sambil menyunggingkan senyum. Sehingga akhirnya beliau langsung menuliskan resep pembelian 2 ampul Leucogen. Sampai di sini waktu konsultasi berakhir.
Anak saya kemudian menghilang mengurus pembayaran. Ternyata sekarang urusan itu makan waktu sangat lama sampai saya nyaris kehilangan kesabaran. Untung dia membawa kantung apotik di tangannya sebagai peredam. Ternyata prosedur yang baru, setiap pasien klinik eksekutif langsung dibawa ke apotek di situ juga supaya tak lagi harus mengantri lama di apotek RS yang biasanya saya datangi. Sungguh ada harga ada rasanya hahahaha.....
Berhubung masih tengah hari jadi kami sekalian membeli Leucogen yang amat mahal itu di Yayasan Kanker Indonesia Pusat di daerah Menteng. Tapi jalanan lancar sehingga kami cepat sampai. Sehingga sesampainya di sana mereka sedang beristirahat makan siang. Kami pun lalu pergi mencari makan siang. Sayangnya saya cuma sanggup mengunyah sepotong tempe mendoan, kue pepe yang tebalnya serupa separuh bibir saya dan pastel kentang ditutup juice sirsak. Rasanya perut saya langsung penuh.
Dengan perasaan lega siang itu kami kembali ke rumah melintasi jalanan sepanjang 60 km dengan dua ampul obat suntik Leucogen yang harganya benar-benar separuh harga apotek RS. YKI tak salah kalau dinamakan teman berbagi rasa para penderita kanker.
(Bersambung)
Wahh sekarang ud bagus y bu lantai 2 nya..saya terakhir bulan juni kemarin, harus balik lg di bln des ini tp blm2 juga nih bu. Bu julie...selalu semangat ya dlm berobat...o iya tulisan2 ibu slalu sy tunggu..senang sy membacanya bu.
BalasHapusKeren banget mbak Evi. Bahkan mas Bayu sendiri juga bilang nggak nyangka sekeren itu. Letaknya sih di seberang Mini Market, di sebelah klinik pediatrik.
HapusAyo mbak lihat sendiri.
BTW terima kasih apresiasinya. Jadi follower saya aja silahkan, biar dapat up-datingnya dari blooger. Saya nulis buku harian ada yang baca, jadi bingung deh hehehe.....
Gimana giginya udah sehat kan?