Powered By Blogger

Jumat, 13 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (150)

asien paling rewel se-Rumah Sakit kelihatannya adalah saya. Bagaimana tidak, saya selalu mau tahu keadaan, serba cepat dan serba teratur di dalam berobat. Dalam menghadapi hambatan yang disebabkan birokrasi berbelit saya akan bertindak keras. Segala cara saya tempuh mulai menghadap sendiri ke pejabat yang berwenang mengeluarkan keputusan hingga memohon dokter saya untuk mengeluarkan surat keterangan agar urusan saya dipermudah. Jujur saja, kepada dokter saya pun agaknya cuma saya pasien yang berani mendebat dan mengeluarkan saran untuk merumuskan tindakan yang baik bagi proses pengobatan saya. Nah, rese ya?!

Hari ini saya memasrahkan segala urusan soal negosiasi obat yang sulit didapat itu kepada anak saya. Sejak semalam banyak yang saya sampaikan kepadanya tentang keinginan saya. Sebab sebetulnya saya ingin berangkat sendiri ke RS tetapi kaki saya sakit dipakai melangkah. Pokoknya kalau pun dipaksakan, dijamin akan jadi bahan tertawaan orang serta pandang ingin tahu para pasien kecil karena gaya jalan saya sudah mirip caranya Pinguin. :-D Sehingga sekarang ada istilah "walking with the Pinguin style" hehehe....

Entah apa sebabnya anak-anak saya termasuk anak berbakti semuanya. Pokoknya mereka tidak pernah menolak keinginan saya meski saya tahu di dalam hati mereka kadang merasa malas atau takut sia-sia. Yang jelas si kakak tadi pagi langsung berangkat menemui apoteker di RS memenuhi pesan saya.

Apotek sudah buka dan mulai padat pasien karena anak saya berangkat pukul sepuluh sehabis menyiapkan sarapan kami sekeluarga dan memfisioterapi lengan cacat saya dengan tangan sedapat-dapatnya. Dengan mudah aspoteker cantik jelita nan belia itu ditemuinya. 

Alhamdulillah begitu melihat batang hidung anak saya bu Daisy langsung menyampaikan informasi soal ketersediaan obat kemoterapi saya, sehingga anak saya pun tak perlu lagi mengungkapkan maksud kami. Obat saya sudah didapat. Nampaknya baru saja. 

Benar, obat ini berada di dosis tertinggi golongan obat kemoterapi terkeras, sehingga tidak mudah untuk mendapatkannya. Kelihatannya mereka memperoleh di Jakarta atau langsung di pabriknya. Itu sebabnya dibutuhkan waktu lebih dari sepuluh hari untuk pengadaannya.

Anak saya langsung mengiba minta agar besok saya bisa dapat giliran dikemoterapi. Tapi tentu saja mustahil karena jadwal ruang untuk besok tentunya sudah tersusun sejak kemarin dulu. Dan empat tempat di sana sudah penuh semua. Ini dikarenakan di kota kami yang nyaris mepet dengan ibu kota negara cuma RS tempat saya berobat lah yang menyediakan fasilitas kemoterapi. Sehingga ada banyak pasien titipan dari RS lain.

Bu Daisy bilang paling cepat saya dapat giliran Rabu atau Jumat minggu depan, tergantung jadwal di tangan Perawat Kepala sebagai manajer Ruang Kemoterapi. Untuk itu kami diminta bicara sendiri dengan zuster Maria. Sebetulnya secara resmi saya sudah berkali-kali minta didahulukan, dan beliau pun menyanggupi. Tapi hari ini anak saya sadar bahwa waktunya terlalu mepet sehingga obat belum bisa tiba di gudang apotek RS sesegera mungkin. Selain terkendala jarak, juga ada kendala administrasi tentunya. Dengan begitu seandainya tak bisa dapat giliran Rabu yang kebetulan bersamaan dengan giliran praktek poliklinik onkologis saya, kami lebih memilih mundur ke Sabtu depan dengan pertimbangan yang sama. Ada onkologis di poliklinik.

Adapun obat-obat pra medikasi kemoterapi juga dinyatakan ditanggung pemerintah, sehingga alhamdulillah kami tinggal mendanai pembelian obat suntik Leucogen peningkat sel darah putih yang meski berharga di atas sejuta tapi ada yang sudah menyiapkan dananya. Waktu itu 'kan teman-teman SMA saya tiba-tiba berinisiatif mengumpulkan uang untuk pembeli obat itu. Sehingga syukur alhamdulillah kini kami tak perlu menyisihkan uang lagi. Seperti sudah saya katakan berulang kali, semua kebutuhan kami senantiasa dicukupi Allah dengan KuasaNya yang ajaib. Semua yang ada pada kami selalu datang dari sisi Tuhan saja. ~Terimakasih kang Ian dkk, barakallahu!~.

Sesampainya di rumah anak saya segera memberi tahu dokter saya lewat SMS saja agar beliau tenang menangani kasus saya. Sebab sejak semula, pengobatan saya di kampung setelah tertolak dari penelitian di kantor resmi beliau, kami sepakat bertekad untuk nekad dengan segala keterbatasan kami. Saya lah yang mulai lebih dulu menebarkan semangat untuk siap menjalankan program apa adanya dengan terus menyuntikkan semangat bahwa sebagai salah satu bintang alumnus di SMP dan SMA kami tak ada yang meragukan kecerdasan dan kecemerlangan beliau. Bahkan kepada Yani teman sekolah saya dulu yang memuji keberanian saya, saya katakan tanpa sepeser pun uang di kantung saya apa yang bisa dilakukan selain nekad? Waktu itu Yani tercenung mengetahui jawaban saya lalu menggigit bibirnya kuat-kuat. Saya tahu dia pasti mencoba menahan tangis.

***

Hari ini hati saya mulai tenang. Ingatan saya pun bisa melayang-layang bebas mengembara ke masa silam. Apalagi setelah anak saya asyik membongkari barang-barang tua peninggalan orang tua saya termasuk foto-foto yang nyaris tak terawat. Tak dinyana ketika sedang berkutat dengan barang-barang tua itu anak saya bisa bertemu tanpa terduga dengan kerabat saya yang sudah tak pernah lagi berhubungan puluhan tahun lamanya.

Mas Djono, namanya. Beliau lebih tua beberapa tahun dari saya purna tugas perawat dari RS milik pemerintah di daerah rumah kami. Saya dulu sering menyewa tenaganya untuk minta tolong menyuntik ibu saya yang terbaring lemah bertahun-tahun didera cirrhosis hepatitis yang mengerikan itu. Waktu itu saya masih sekolah terbilang gadis lugu juga. Meski begitu mas Djono selalu berlaku sopan kepada saya.

Demi bertemu anak saya, tiba-tiba dia merasa kenal padanya. Dengan tepat dia dapat menyebut siapa ayah-ibu anak saya, sehingga mencengangkan anak bungsu saya. "Eh iya betul. Tahu dari mana pak? Bapak siapa sih?" Sahut anak saya terkejut. Lalu setelah itu obrolan pun mengalir lancar. Mas Djono malah menyatakan ingin menjenguk saya. "Dulu ibumu perawat istimewa nenekmu," ungkap mas Djono. 

Ah, saudara saya ini membuka mata hati saya bahwasannya cinta kasih kepada orang tua akan berbuah balasan yang setimpal kepada kita. Apalagi di dalam agama kami ditekankan bahwa seorang anak yang saleh dan salehah wajib menyayangi dan berbakti terhadap kedua orang tuanya, terutama ibunya.

Kini tanpa terduga anak-anak saya pun berlaku yang sama terhadap saya. Mereka bahkan mengharukan, rela mengorbankan kehidupan pribadi dan masa depan mereka demi merawat saya. Berulang kali kakak-kakak saya mengatakan ini. Bahkan kini kerabat saya pun mengungkapkannya di hadapan anak saya.

Waktu ibu saya sakit sepuluh tahun lamanya dulu, pengalaman saya merawat ibu tak kalah serunya dari pengalaman anak-anak saya. Ibu saya seringkali berada dalam keadaan pre-coma hingga coma betulan selama kurang lebih seminggu. Sehingga mau tak mau ibu saya harus dirawat di RS lebih dari tiga minggu setiap bulan. Saya lah yang berada di sisinya karena keempat kakak saya yang semuanya perempuan sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota kecuali si sulung yang memang diserahi tanggung jawab menemani orang tua kami di rumah. Tentu saja mereka tak ada waktu untuk bergantian merawat ibu, hingga akhirnya saya pernah mendesak kakak saya yang kebetulan tinggal di Bandung memindahkan ibu ke RS St. Borromneus di belakang kampus saya agar saya tetap bisa kuliah sambil merawat ibu. Dua tahun lamanya itu saya jalani, meninggalkan ayah yang masih sibuk melaksanakan tugasnya sebagai peneliti tanaman pangan meski sudah purna tugas.

Pengalaman tidur di kursi di RS atau beralas tikar di lantai dingin sudah biasa saya alami dulu. Belum lagi ketegangan jiwa ketika obat yang diresepkan dokter ibu saya tak ada stocknya di seluruh kota Bogor. Satu pengalaman mencekam terus terekam di benak saya hingga kini. 

Ibu saya tiba-tiba memburuk dan akan jatuh coma menjelang tengah hari. Waktu itu saya sendirian saja di RS, sebab kakak sulung saya sibuk mengajar. Dokter baru akan memeriksa pasiennya pukul sepuluh malam sebab beliau berdinas di ketentaraan di Jakarta dan punya beberapa tempat praktek swasta baik di Jakarta maupun di Bogor. Karena keadaan ibu sangat mengkhawatirkan saya minta izin perawat untuk dihubungkan dengan dokter di kantornya. Untung perawat berbaik hati, sehingga dokter pun bisa memberikan instruksinya. Malam harinya dokter memberi resep obat baru yang harus dibeli keesokan harinya. Jadilah sepagian itu hingga lewat tengah hari saya berkeliling kota, mendatangi setiap apotek tapi tanpa hasil. Dalam keputus asaan saya nyaris marah kepada Allah yang membiarkan saya susah. Tapi untunglah saya segera istighfar.

Sore harinya ketika kakak saya datang saya ungkapkan kesulitan itu. Bahkan saya ceritakan bahwa salah satu apotek menyuruh saya mencari ke sebuah apotek di daerah Kramat Raya, Jakarta. Bergegas lah kakak saya ke sana dengan ditemani kerabat ayah seorang pemuda mahasiswa IPB. Lalu saya terus menggumamkan doa untuk kemudahan kami.

Tak disangka, ketika kakak saya kembali nyaris tengah malam, dia membawa cerita yang ajaib. Di apotek tujuan, obat itu juga tak ada. Namun matanya tertumbuk pada papan nama dokter yang berpraktek di apotek itu dengan nama yang sama persis dengan nama dokter ibu kami. Lalu kakak saya nekad mendatanginya.

Subhanallah! Ternyata benar, beliau orang yang sama! Kakak saya pun cepat mengungkapkan kesulitan kami. Maka dokter pun segera mengganti resepnya. Dan dengan obat yang terbaru ini, berangsur-angsur kondisi ibu saya membaik sehingga bisa dibawa pulang ke rumah. Pengalaman ini terus membekas hingga kini, di saat saya sendiri yang jadi pasien di bawah perawatan dan asuhan anak-anak saya. Obat kemoterapi saya yang sulit didapat itu, akhirnya sampai juga di RS meski lama dan membutuhkan perjuangan serta doa-doa penuh kesabaran anak-anak saya. Allahu Akbar! Tuhan Maha Besar! Tak ada segala upaya yang tak dihargaiNya. itu lah kepercayaan kami anak-beranak.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pita Pink