Sabtu, 07 Desember 2013
SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (146)
Saya mendapat hidayah dari Allah Swt. Itu yang tertanam di dalam benak saya setelah saya mengalami berbagai peristiwa baik yang menyenangkan maupun yang menguras emosi dalam rangkaian kehidupan saya yang panjang.
Bahwasannya hidup saya yang amat nikmat dengan segala kemudahan dahulu adalah sesuatu yang lalai saya syukuri, itu sekarang diiingatkanNya kepada saya. Dengan dijatuhkanNya serangkaian cobaan yang berat berupa guncangan hidup dan gangguan kesehatan yang tak putus-putus, maka kini saya sadari benar bahwa saya hanya setitik debu yang tak punya daya karena saya berada di bawah Telapak KakiNya. Jika Dia bekehendak maka dengan sekali tiup saya sudah melayang terlempar jauh entah ke mana. Jika Dia tak berkenan, maka sekali injak hancur sudah diri saya lebur dengan tanah. Itulah hakikatnya saya seharusnya punya rasa syukur.
Hidayah kemudian datang untuk saya melalui serangkaian pertolongan yang diulurkan sangat banyak orang baik saudara, kerabat, teman bahkan orang-orang yang tak saya kenal. Ibarat tamparan di wajah serta deraan rotan di tubuh saya, pertolongan-pertolongan itu menyadarkan saya untuk bersyukur kepada Tuhan dan patuh akan ajaran-ajaranNya tanpa berpaling.
***
Kini waktu telah lama berjalan. Banyak teman yang menilai saya pandai menata diri. Sedangkan saya sendiri cuma merasa bahwa saya jadi lebih baik dalam mengikuti ajaranNya. Bukan pandai menata diri.
Kemarin dulu malam-malam tiba-tiba teman baik saya, mbak Sandra mengirimkan SMS menanyakan kabar saya. Saya akui, sudah lama memang saya tak berkirim kabar lengkap kepada teman-teman istimewa saya ini, karena saya tahu dalam keadaan seperti sekarang terancam tak dapat kemoterapi mereka pasti akan berpikir keras membantu saya. Padahal ongkos kemoterapi saya terbilang sangat besar. Jadi saya memutuskan untuk menyimpan saja semua kesulitan saya sendiri dan hanya minta didoakan kepada ipar mbak Sandra.
Tapi malam itu baik mbak Sandra maupun iparnya sama-sama tergerak untuk mengetahui keadaan saya. Mula-mula ipar mbak Sandra memberitahukan hal yang sedang ramai diperbincangkan orang di seluruh dunia, yaitu manfaat daun kelor untuk kesehatan. Konon katanya daun mungil yang populer dibuat sayur oleh orang di Sulawesi sana baik sekali di dalam menjaga kondisi tubuh seseorang, antara lain menekan kolesterol dan juga menghambat sel kanker. Pokoknya kelor disebut-sebut punya 1001 manfaat sebagai obat bagi orang sakit, termasuk untuk memerangi obesitas dan kelaparan.
Berhubung saya sudah lelah berhadapan dengan segala obat-obat herbal, maka saya hanya menyampaikan terima kasih dan mengatakan akan mencari tahu lebih dulu. Kini saya memang cuma mengandalkan obat-obat dokter saja sebab harganya sudah sangat mahal, dan bagi saya kebetulan memberikan efek yang bagus. Tumor saya merespons obat itu. Dagingnya melunak, bahkan yang di tulang tengkorak mengecil. Tekanan darah saya membaik, irama jantung pun normal meski ada efek samping mengganggu yang juga dialami oleh setiap pasien yang dikemoterapi.
Obat-obat herbal apa pun itu yang dulu rajin saya konsumsi membantu menjaga stamina saya, akan tetapi efeknya amat lamban dalam penyembuhan. Karenanya kini saya tak mudah berpaling kepada obat herbal lagi, apa pun itu nama dan khasiatnya. Saya lebih suka menggunakan obat dokter saja. Toch banyak juga pasien-pasien yang mengatakan diri mereka sudah dinyatakan sembuh.
Adapun mbak Sandra menanyai saya sekiranya beliau boleh membantu, apakah saya tidak berkeberatan? Dari pada hutang budi saya kepada kawan-kawan semakin besar, maka dengan sengaja saya belokkan pembicaraan itu dengan mengatakan bahwa alhamdulillah bantuan senantiasa tercurah untuk saya. Bahkan dua hari sebelumnya seorang relawan kanker datang menyampaikan tanda simpati dari orang yang tak saya kenal sambil menjenguk saya atas permintaan dokter saya yang gelisah memikirkan saya hingga mengontaknya larut malam.
"Subhanallah mbak! Beruntung skl mbak dipertemukan dgn dokter itu! Itulah hasilnya kalau org sabar seperti mbak Lilik," demikian jawaban mbak Sandra seraya menyebut panggilan kesayangan saya. Taktik saya mengena. Saya berhasil membelokkan pikiran mbak Sandra dari niatnya mencurahkan bantuan yang sebetulnya sudah terlalu sering dilakukannya.
"Kata org2 sih ketawakalan jg ada pd diri sy, shg sabar n tawakal membawa hasil yg menguntungkan sy," sahut saya pula.
"Wah iya ya. Artinya saya mesti nyontoh mbak Lilik nih. Kata ustadz dulu waktu sy srng sakit, org yg sabar nerima ujiannya akan dihapus dosa2nya. Slain sabar artinya mesti tawakal jg nih," sahut mbak Sandra mengungkapkan masa lalunya. Dan seketika saya teringat di antara kami 20 sahabat, hanya saya dan dia yang terkenal memegang rekor kesehatan terburuk. Saya pernah mengalami 12 kali operasi, sementara dia tak kurang dari 8 kali. Ketika dia mengantarkan saya untuk masuk ruang bedah setengah tahun yang lalu, dia nampak murung dan tak lepas dari doa untuk keselamatan saya. Agaknya dia teringat episode yang dialaminya sendiri dahulu.
"Betul mbak. Aplg yg bs sy perbuat dlm keterbatasan sy selain tawakal itu?" Sy menegaskan dalam tanya retoris yang tak membutuhkan jawaban.
"Thank you mb u/ sharing hal-hal spt ini. But being tawakal tak semudah diucapkan for sure, ya?" Balas mbak Sandra mulai dengan bahasanya yang gado-gado. Seperti biasa di antara kami sering terjadi percakapan sesuka hati tanpa kaidah yang resmi.
"Ya mbak, tp buat sy hrs bisa krn sy gak punya apa2. Kl nggak tawakal mungkin sy sdh mati dr dl2," sahut saya mencoba jujur. Bicara apa adanya memang ciri pembawaan saya sejak lahir yang kerap menimbulkan keterkejutan pada orang lain. Ya tapi itulah saya.
"Naudzubillahimindzalik! smg mb Lilik bs ttp tawakal n sabar, positive thinking n ikhlas. Shg si kanker bs dikalahkan dng jiwa besar, sy doakan," timpal mbak Sandra mengakhiri obrolan kami.
***
Yani seorang teman baik saya semasa SMP dan SMA menyanjung saya sebagai orang yang tabah. Dia tahu benar siapa saya dan bagaimana kehidupan kami karena 6 tahun bersama-sama di sekolah bukanlah waktu yang singkat. Kata Yani, saya dikaruniai dengan jiwa yang besar berisi kesabaran dan ketabahan. Karenanya di dalam setiap SMS nya yang bertujuan menyemangati saya tak pernah sekalipun dia menasehati saya untuk bersabar dan tabah seperti umumnya nasehat orang kepada saya. Bahkan dia pernah mengakui sendiri bahwa seandainya dia yang mengalami nasib seperti saya, dia merasa tak akan sanggup. Ketegaran ada pada diri saya, katanya karenanya saya dipandang Allah sebagai makhluk yang istimewa yaitu yang sanggup menjalani segala ujian dariNya.
Ini sejalan dengan salah satu kata hati bu Linda relawan kanker pendamping saya itu ketika suatu waktu saya mengeluhkan mengenai lemahnya tubuh saya yang berjuang mendapatkan belas kasih Pemerintah untuk pembelian obat kemoterapi saya. "Bu, istighfar dan bersyukur. Banyak dzikir. Muliakan Allah karena ibu menjadi orang terpilih dan terberkati. Saya yakin ibu pasti kuat, karenanya Allah tak akan mungkin menelantarkan ibu," nasehatnya waktu itu yang membuat saya tercenung tapi kemudian terbangkit dengan segera untuk kembali berjuang demi nasib saya dan anak-anak saya.
Saya tak boleh terpuruk. Apalagi marah kepada Allah. Begitu pesan dokter ahli penyakit dalam yang merawat saya ketika pertama kali saya mulai sulit menggerakkan kaki saya. Tak ada bedanya dengan bu Linda, dokter pencinta musik yang fasih mengaji serta memiliki majelis taklim di rumahnya ini pun menyemangati saya lewat penilaiannya yang melabeli saya sebagai orang pilihan Allah yang dianggap kuat menerima cobaan dariNya. Karenanya saya adalah makhluk yang diistimewakan. Jadi kira-kira sama dengan makhluk yang terberkati dalam konteks agama yang dianut ibu Linda yang meski berbeda dari agama kebanyakan pasien yang didampinginya tapi tak menjadi penghalang untuknya berbagi kasih. Bahkan dia dengan mudah nampaknya membaur bersama kami.
Ibu Ellies seorang penderita kanker yang juga didampingi bu Linda mengajarkan kiat yang pas untuk menenteramkan diri jika kemarahan dan kekecewaan muncul di hati saya. Dalam pesannya dia berujar, " jangan memikirkan kapan ibu akan sembuh. Mujizat itu masih ada. Kalau sedang ada yang dirasakan tariklah nafas panjang-panjang tiga kali, lalu tutup mata perintahkan pikiran kita untuk santai. Jangan berpikir apa-apa beberapa menit. Lakukanlah itu setiap ada kesempatan," sungguh saran praktis yang sangat mudah dilakukan dan menyejukkan. Saya pun teringat cakram digital pemberian anak maya saya yang lagunya kira-kira bisa dipakai mengiringi teknik relaksasi yang diajari bu Ellies. Insya Allah dengan begitu saya tak akan mudah terpuruk.
Sebetulnya bu Ellies adalah mantan penderita kanker payudara yang sudah dioperasi dan dikemoterapi pada tahun 2008. Beliau sempat dinyatakan sembuh. Tapi belakangan ini sel kanker itu meruyak kembali menghuni kelenjar getah beningnya. Sama dengan kasus saya yang bahkan telah tumbuh lagi hanya berselang dua-tiga minggu sehabis dibuang. Bahkan kemoterapi saya pun belum tamat 6 kali, masih kurang sekali dari jadwal kecukupan pemberian obat kemoterapi yang seharusnya. Bedanya bu Ellies dari saya adalah, berkat kepasrahan dan ketawakalannya, kini beliau tak mau kembali ke dokter lagi. Sedangkan saya tetap akan berjuang mendapat obat-obat mahal itu dengan pergulatan yang kuat. Bu Ellies kini hanya mengandalkan mujizat dari doa-doanya kepada Allah semata. Tak mengapa, setiap orang 'kan mempunyai cara masing-masing untuk menyikapi permasalahannya.
Mau tidak mau sebetulnya selain mengandalkan obat, bagi orang tidak mampu seperti saya berdoa memang tak ada salahnya. Termasuk didoakan oleh orang banyak. Sebab doa-doa itu nyata telah menumbuhkan kekuatan pada diri saya. Dan air mata haru pun saat saya mengetikkan tulisan ini kembali menggenang. Pasalnya sebuah pesan singkat masuk dari kang Jamil kenalan baik saya, seorang sederhana yang selama ini dengan segala ketulusannya ikhlas mengantar saya berobat ke Jakarta. Dia lah saksi mata dari jatuh bangunnya fisik dan mental saya.
Inilah bunyi SMS itu : "Assalamu'alaikum. Seiring waktu berjalan, semoga selalu ada di dalam lindunganNya. Saya hanya bisa berdoa untuk kesembuhan ibu. Amin." Indahnya doa tulus yang terbangkit dari persahabatan yang murni tergambar di situ. Lalu bagaimana saya tidak akan menjadi ikhlas, sabar dan tawakal karenanya? Semua orang di sekitar saya tampaknya mengharapkan kesembuhan saya. Terbayanglah di benak saya, jika doa-doa itu dikabulkan. Hidup akan menjadi semakin bermakna bagi kami semua dengan senyum yang terukir di sana-sini.
(Bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar