Minggu, 15 Desember 2013
SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (151)
Aduh! Tumor itu menyakiti saya lagi. Rasanya berdenyut-denyut sekarang ini. Tandanya dia yang sudah mulai dilumpuhkan dengan obat kemoterapi yang cocok lebih dari sebulan yang lalu, marah dan mengganas lagi. Memang salah keadaan sih. Mengapa saya tidak punya uang untuk membeli obat-obatan itu sendiri?
Inilah nasib jadi pengemis bantuan pemerintah. Ini juga yang menyebabkan saya dulu-dulunya tak mau ke dokter. Ongkos pemeriksaan dan pengobatannya itu memakan jumlah yang fantastis. Saya sudah mengalaminya sendiri di masa lalu soalnya, meski waktu itu entah mengapa dokter saya di negara tetangga tak mau mengemoterapi saya. Sampai habis semua simpanan keluarga saya, penyakit ini tetap tak bisa tuntas hengkang dari tubuh saya.
Kemoterapi terlambat yang paling cepat baru akan terlaksana Rabu lusa tentu tidak baik. Namun saya tetap berharap dia tak akan segera membawa saya ke pintu kematian karenanya. Maka untuk itu saya terus berupaya membesarkan hati dengan membisiki diri sendiri untuk bersabar dan memelihara ketawakalan sebagai makhluk yang beriman. Saya katakan pada diri sendiri kelak saya akan bertemu surga dan berkumpul dengan anak sulung saya yang dulu belum sempat saya timang insya Allah. Entah kapan sih. Jadi ketika sakit ini menyiksa saya dengan deraannya, saya segera menelan pil pereda nyeri dosis tinggi yang dibekalkan dokter.
Memang benar sih maut itu di Tangan Tuhan. Buktinya kakak sulung saya cuma bertahan 4 bulan saja meski penyakitnya baru di stadium 2-A dengan kondisi yang tidak agresif seperti kondisi tumor saya yang diketemukan sudah pecah di stadium 3-B. Soalnya tumor saya 'kan invasif alias sudah menyebar dan tipenya sangat ganas pula, sementara tumor almarhumah in situ alias masih di tempat tumbuhnya semula. Semalam kami baru menggelar doa bersama mengantarkan kepergiannya di hari yang ke-40. Bayangan tentang beliau semasa sakit yang singkat itu pun masih melekat kuat di pelupuk mata saya, kurus layu lemah tak berdaya dalam sekejap.
***
Sabtu pagi secara tidak terduga saya dijenguk seseorang yang belum pernah saya jumpa sebelumnya. Namanya ibu Kartika, teteh Tika, begitu beliau biasa disapa orang. Pejabat negara di suatu Kementerian ini adalah putra kolega ayah saya yang kebetulan teman sejawat almarhumah kakak saya.
Yang menggerakkan kaki beliau melangkah ke rumah saya adalah cerita kemenakan saya soal perjalanan penyakit kakak saya. Bu Tika mendengar bahwa sebetulnya yang sakit lebih dulu dan mengkhawatirkan adalah saya. Kebetulan banyak juga beliau mendengar orang mempercakapkan saya di luaran sana. Karena itu beliau kemudian ingin sekali menyaksikan sendiri keadaan kami.
Agaknya beliau tahu banyak riwayat saya hingga pembicaraan pun lancar saja layaknya kenalan lama. Tak terduga saya pun banyak mengenal orang-orang dekat beliau, termasuk pamannya yang mengajar mantan suami saya semasa kuliah dulu. Mengobrol dengannya jadi menghibur saya, karena beliau seperti kebanyakan orang bilang saya termasuk pasien yang bersemangat hidup, jadi kemungkinan saya akan sembuh kembali. Saya mengamini donya dengan sungguh-sungguh sebab saya ingin mempersembahkan kesehatan saya yang prima kepada anak-anak saya dan onkologis saya yang telah sama-sama berjuang keras menyelamatkan saya.
Tumor yang menyakiti saya ini memang pertanda saya mesti sesegera mungkin dikemoterapi. Jika tidak artinya saya akan segera dikunjungi dokter paliatif sesuai bidang tugasnya, meski dokter itu sendiri adalah teman saya. Obat-obat yang saya pakai difungsikan untuk meredakan nyeri semata saat ini, karena obat sitostatika yang bersifat kuratif itu sulit saya jangkau. Di sinilah dokter paliatif berperan, yakni meningkatkan kualitas hidup pasien dan menguatkannya dengan dukungan moral. Sesekali tindakan paliatif itu berhasil. Contohnya pernah diperlihatkan kepada saya di poliklinik unit paliatif RSK Dharmais.
Sadarnya saya bahwa dokter paliatif sudah merencanakan mengunjungi rumah saya, disebabkan oleh telepon bu Linda yang saya terima barusan. Sepagi ini dengan suaranya yang ramah namun tegas beliau sudah menelepon ke rumah. Katanya beliau khawatir keadaan saya makin memburuk. Maklum saya tak mengabari soal kemoterapi juga kondisi terkini saya kepada beliau sebagai relawan kanker pendamping saya.
"Saya memang belum membaik bu, maafkan saya, soalnya obat saya baru tersedia Jumat kemarin," kata saya menjawab keingintahuannya.
"Jadi, bu Julie udah kemo nih?" Tegasnya. "Kemarin kami kumpul-kumpul dan ada dr. Maria juga. Beliau tanya kondisi bu Julie lho. Kenapa lama nggak dikabari. Sampai beliau bilang mau visit dan saya siap antarkan beliau," ceritanya.
"Belum dikemo bu, lha obat saya baru didapat hari Jumat. Sedangkan jadwal kemo Sabtu sudah penuh, paling cepat saya dapat kamar Rabu lusa," terang saya.
"Ooooh...., pantas, SMS saya nggak ibu jawab sih," sahutnya.
"Ya, tapi soal SMS itu karena HP saya error minta diganti deh, sayang uang saya lari untuk pengobatan yang lebih penting," jawab saya.
"Ibu, jangan diam-diam aja ya kalau ada masalah lagi. Itu dr. Maria malah nggak tahu apa-apa lho, dia tahu dari saya," cetus bu Linda mengingatkan dengan nada yang sangat khawatir. Agaknya dia pun terheran-heran karena seorang bu Maria yang sebetulnya justru penanggung jawab masalah kesehatan saya yang ditugasi oleh teman-teman seorganisasi kami belum tahu kondisi saya terbaru. Saya akui memang saya sudah sebulan tidak melapor secara resmi kepadanya sebab saya pernah merepotkan teman-teman sewaktu kondisi saya sangat lemah tempo hari hingga bala bantuan terus digalakkan. Sebagai akibatnya anak saya melarang saya untuk sedikit-sedikit menceritakan kondisi saya.
"Masalahnya apa lagi sih dengan obat ibu waktu terakhir itu?" Kedengaran suara bu Linda lagi dari seberang sana.
"Itu, dosis obat saya yang pas nggak ada stocknya. Saya 'kan dapat obat dosis tertinggi," jawab saya mulai berterus terang. Saya sudah tak khawatir merepotkannya lagi.
"Apa? Carbo ya?"
"Ya."
"Berapa sih? 850?" Tanyanya lagi separuh tebak-tebakan.
"Bukanlah, dosis tertinggi 550. Tadinya malam Jumat itu saya sudah bicara dengan dr. Bayu minta ditukar resep 450 ditambah 2 kali 50. Beliau udah setuju. Tapi begitu anak saya nongol di apotek, mereka tahu maksudnya bahkan langsung kasih tahu obat baru didapat hehehe......," kata saya kali ini dengan nada riang supaya beliau ikut merasa tenang.
"Oh iya, bisa juga dijadikan tiga ampul begitu ya. Tapi mungkin harganya jadi lebih mahal," sahut bu Linda membenarkan.
"Lha yang penting 'kan kemonya segera berjalan, bila perlu selisih harga dibebankan ke pasien. Soalnya sekarang ternyata pre-med saya ditanggung lho, cuma betul, Leucogen dibeli sendiri. Dan terima kasih uang yang dari tangan bu Linda bisa saya pakai bayar hari Rabu nanti," debat saya.
"Eh, kalau misalnya saya tolong belikan dulu ke YKI nanti minta penggantian ke DKK boleh nggak sih bu Julie?" Tiba-tiba bu Linda menanyakan sesuatu yang juga pernah terlintas di benak kami.
"Nggak bisa bu Linda, karena nanti dianggap saya orang mampu. Bu Maimunah yang peserta Askes itu pernah juga usul begini, karena kalau PT Askes mengizinkan. Tapi Jamkesda beda ya........," cerita saya. Bagaimana pun juga memang saya warga tak mampu tak boleh disetarakan dengan peserta Askes yang berpenghasilan agaknya. Nasib, ya nasib. Meski ada relawan mau membantu tapi harap dipahami aturan bakunya tak bisa dilanggar.
"Bu, semestinya orang susah itu ditolong dengan aturan yang dipermudah ya. Dokternya juga mestinya begitu, mengupayakan kenyamanan pasien," bu Linda terus juga bicara.
"Sebaiknya," saya membenarkan.
"Ini lho bu Julie, saya baru aja mindah pasien RSCM dari luar Jawa yang dilempar ke RSKD karena bleeding dan sekarang ditangani dr. Maria," ceritanya lagi.
"Memang ca apa bu kok bleeding?" Tanya saya sangat ingin tahu. Sebagai pasien kanker payudara dulu saya kerap berdarah-darah juga namun bisa ditangani sendiri di rumah. Cukup dengan menekan lokasi yang mengalirkan darah selama beberapa waktu lalu membasuh lukanya, selesai lah sudah.
"Nasofaring stadium lanjut. Di RSCM dia dikemo sekalian diradiasi. Jadwalnya padat betul. Senin kemo, Selasa sampai Jumat radiasi," jawab bu Linda mengejutkan saya.
"Haaaah?! Bersamaan tuh kedua-duanya?!" Mulut saya langsung membuka lebar-lebar.
"Iya," bu Linda menegaskan. "Tadinya kita udah bilang sama dokternya kok dibarengkan begitu," lanjutnya.
"Lha iya, gimana rasanya bu Linda? Meringis ngeri saya ini bu," sahut saya segera.
"Ya begini, bleeding, pasiennya udah nggak bisa apa-apa sakit betul lah. Itu makan aja dia udah nggak sanggup nelan, makanya akhirnya dilempar ke RSKD," jawab bu Linda membuat saya tak sanggup membayangkan. Soalnya efek kemoterapi memang sering menimbulkan luka di sekujur mulut hingga kerongkongan, belum lagi ditambah luka bakar di daerah yang sama akibat radiasi.
"Dokternya gimana sih bu? Kok bisa-bisanya menggampangkan begitu?!" Protes saya tidak pada tempatnya.
"Ya gitu. Dokternya nggak mau diajak diskusi sih," sesal bu Linda membuat saya tambah merasa bersyukur mendapat dokter lembut hati yang amat memperhatikan dan mempedulikan kenyamanan pasiennya.
"Wah, mestinya saya bersyukur lagi nih, dapat dr. Bayu. Kalau beliau sih kadang-kadang saya kasih usulan setelah dipertimbangkan seandainya masuk di akal langsung diterima deh," cetus saya bahagia.
"Betul bu Julie. Ya udah dulu ya, saya mau teruskan kerja saya, pokoknya kasih tahu saya dan bu dr. Maria perkembangan selanjutnya ya. Suatu hari nanti saya antar beliau visit bu Julie. Selamat pagi, hati-hati jaga kesehatan ya," tutup relawan kanker itu dengan suara yang lembut. Aduhai, betapa banyaknya kasih sayang dilimpahkan Tuhan kepada saya. Semoga jiwa saya akan menjadi kuat karenanya sehingga kesembuhan saya tercapai juga.
(Bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
saya menjenguk ibu disini ;)
BalasHapusTerima kasih mbak Irma. Bikin hati saya senang deh, apalagi kalau mbak Irma sendiri sehat walafiat.
Hapus