Powered By Blogger

Senin, 19 April 2010

ROTI GAMBANG KANG DAYAT

Aku menyibak kerumunan manusia yang lalu-lalang dan bergerombol di keramaian kota itu. Ada wajah-wajah yang sangat kukenali di sana, baik perempuan paruh baya maupun lelaki tua.

Angkot-angkot biru melabuhkan roda-rodanya di bawah naungan pohon asam dan pokok kenari yang dulu sering kupunguti buah-buahnya. Meski kini aku yakin tak akan ada lagi yang berjatuhan seperti dulu dan menjadi rebutan anak-anak kecil yang beriringan pulang sekolah. Bahkan anak-anakku pun, kuyakin, tak seorangpun yang tahu akan wujudnya.

Lelaki tua itu sudah tak ada lagi di ujung jembatan. Juga bilik bambu yang setiap hari dipanggulnya untuk menafkahi anak dan istrinya. Si Gajah Bareuh, maksudku, lelaki sedikit "miring" yang kakinya menggembung kena elephantiasis. Dulu dia senantiasa setia duduk mencakung di ujung jembatan sambil melabuhkan tangannya yang membawa hasrat nakal di pantat-pantat para perawan dan ibu-ibu muda. Bahkan konon, di pantat anak-anak kecil yang lewat di situ juga, begitu cerita Yetty temanku menakut-nakuti kami.

Pagi ini, suasana tetap ramai. Dan orang-orang lama sepertiku tetap ada. Meski mereka sudah berubah rupa dan bertukar kisah.

Aku menghentikan langkah di tengah-tengah jembatan, lalu melongok ke air yang mengalun jauh di bawah sana. Cipakancilan kelihatan semakin keruh. Buih-buih putih membusa di permukaannya yang menghitam. Tapi deras airnya tiada berkurang, mengalir tenang bergelora menuju kejauhan.

Lalu kulihat sepintas wajah bocah lelaki itu. Dengan kulitnya yang legam namun berkilat-kilat diterpa matahari, dia seakan-akan menatap padaku. Tubuhnya dibaringkan santai dengan punggung menyentuh air dan kepala tengadah. Ban bekas menyangga punggungnya yang digayuti dua lengan kokoh dengan jemari tangannya menyibak-nyibak air serta menyeru-nyeru memanggilku mengikutinya ke dalam air. Aku cuma bisa tersenyum, sebab sepertinya itu bayangan maya semata.

Lelakiku, Dayat, teman kecilku kini tak pernah lagi datang kepadaku. Meski di pangkuanku ada tertinggal serpih-serpih dagingnya dan juga percik-percik darahnya.

---------

Bunyi deru debam motor yang mendesak pejalan kaki di belakang punggungku mengejutkanku. Suatu bunyi-bunyian baru yang dulu tak pernah ada kedengaran oleh telingaku. Sebab, aku biasa mendengar suara gemerincing lonceng sepeda yang dihasilkan tangan Dayat yang memanggilku untuk turut membonceng.

"Bu, pulang bu?" Seru seseorang dari dalam angkutan kota yang berhenti tepat di mukaku di sisi jembatan. Kepalanya dilongokkan sedikit menjulur ke luar jendela mengarah padaku.

Lamunanku buyar tersibak oleh sikap kang Maman yang menawariku dari atas angkot untuk naik menuju ke rumah. Ah, leganya hatiku, masih ada orang mengingat dan mengenaliku rupanya sekalipun telah sekian lama waktu berlalu membuatku menjadi janda tua.

"Aeh, punten, saya belum mau pulang, mau ke rumah besar dulu," jawab saya mengelak. Sebab sesungguhnya aku tak mau ke mana-mana, cuma ingin menghirup lagi bau dari masa laluku. "Nuhun, kang......," saya sunggingkan senyum kepadanya yang mengangguk takzim dari sisi sopir angkot yang saya tahu itu adiknya.

Setelah kang Maman berlalu, saya arahkan kaki menuju ke selatan, menyeberangi perempatan yang ramai dipadati pedagang, pembeli, pejalan kaki dan sudah pasti kendaraan lalu lalang. Saya tak tahu akan ke mana. Hanya sekedar menurutkan langkah saja.

Rumah-rumah yang sangat kukenali semua nyaris berubah wajah. Keluarga Pramono sudah lama meninggalkan kediaman mereka di pojok jalan itu. Di sana kini berdiri K-Mart dan sederet warung kaki lima menutupinya. Di sisi satunya rumah besar keluarga Rauf sudah jadi deretan toko yang mungkin saja difungsikan juga sebagai rumah. Ada kedai makanan dan perlengkapan sepeda motor bersisi-sisian. Kak Tini dan adik-adiknya sekarang entah pula di mana. Padahal dulu ayah mereka orang berpengaruh di sini.

Aku terus jua menyusuri jalan itu sampai mataku tertumbuk pada toko kue kuna yang setia menunggu para pelanggan mereka untuk menjemput sebongkah roti tawar atau kue-kue basah yang khas sajian mereka.

Di luarnya sebaris papan dari kayu jati bercat coklat tua masih saja berdiri bertumpukan baris-berbaris mengikuti caranya di jaman dahulu. Seseorang nampak sedang berdiri menghadap lemari dagangan dari kaca yang out of date tapi selalu mengundang tanya apa saja isinya. Ah, ya,  si Engkoh, anak dari Babah tua yang pendiam dan biasa duduk menyudut sambil mengawasi lajunya perdagangan di toko yang dulu pernah sangat jaya itu. Bahkan kalau kita tiba di sana setelah pukul satu siang, tak sebungkuspun tersisa roti untuk sarapan pagi seperti kehendak ibuku.

Harum bakaran kue menyibak-nyibak bulu hidungku, memaksaku untuk menyeberang melangkah masuk ke toko kue itu. Dan, sejuknya hawa tanpa pendingin menjalari tubuhku yang kuyup kena sengatan matahari jalanan.

"Apa kabar? Ke mana saja lama nggak belanja?" Perempuan berlogat Jawa itu melebarkan senyumnya demi melihat wujudku di pintu masuk. Terasa kedamaian yang abadi pada sikap si Tacik yang kerap kupanggil mbakyu itu berpadu dengan dinginnya lantai tegel seperti yang ada di rumah besar milik keluargaku di blok sebelah barat sana.

"Alhamdulillah baik mbakyu. Saya kangen ke sini. Apa kabar semua? Kokoh dan Babah sehat sajakah?" Balasku setulusnya.

"Ya, kami baik-baik semua. Meski ayah mertua saya sudah sangat sepuh," dia tetap menyebut kata-kata bahasa daerah di dalam setiap pembicarannya. "Mau beli apa dhik?" Dibukanya pintu lemari kaca itu, diambilnya nampan dan tang penjepit kue untuk melayaniku. Matanya memandang padaku tajam seperti ingin menelanku. Duh, meremang dibuatnya bulu romaku. Tapi terus terang saja, aku justru senang dibuatnya dan sering merasa merindukannya.

"Hmmmmmm...............," aku berpikir cukup lama mencoba-coba meneliti bagaimana perasaanku sendiri. Sebab setiap kue yang tertata di lemari itu, dan toko itu sendiri seperti sebuah memori yang menyakitkan bagiku.

Ada Dayat di situ. Pada kue nagasari, kue lapis, kue mangkuk dan lain-lainnya. Ah ya, Dayat begitu suka makan kue lapis itu. Dan aku tahu Bi Siti, adik ibunya pandai membuat yang istimewa untuknya. Janda cantik itu dulu sering menginap di rumah Dayat dan melakukan apa saja untuk menyenangkan Dayat dan ibunya. Selagi aku cuma ikut menikmati rasa legit dari kue-mue dan kasih sayang beliau sambil bermain-main bersama Dayat.

Mataku tertumbuk pada roti coklat tua dengan taburan wijen. Lagi-lagi aku teringat Dayat. Hingga beberapa waktu yang lalu aku tahu Dayat masih sangat menyukainya. Teristimewa yang satu ini, yang selalu digigitnya penuh nafsu. "Enak," katanya tertawa melihat aku memperhatikan tingkahnya dengan saksama. "Seperti menggigit bibirmu," begitu dia dulu meledekku.

Aku, disamakannya dengan roti gambang itu. Ya, dia tak keliru. Bibirku memang tebal mirip roti gambang kesukaannya. Dan katanya, kalau senyumku mengembang, manis dilihat. Rasanya belum berapa lama dia mengucapkan itu padaku sambil menyibak-nyibak anak rambutku yang tergerai sewaktu bangun tidur. Sepotong roti gambang itu mengiris hatiku. Sehingga memaksaku untuk menolaknya.

"Berikan saya hanya roti Perancis saja mbakyu," kataku seraya mengalihkan pandangan ke rak kedua di bawah kue-kue basah. Dan perempuan itu mengerutkan keningnya, menyebabkan kedua alisnya beradu di tengah. "Hanya roti Perancis? Kue lapis dan roti gambang.........?" Pertanyaan itu menggantung di udara menunggu kepastianku. Agaknya Tacik itu begitu hafal kesukaan lelaki pujaanku yang kini tak pernah lagi menyentuhku.

Aku membalasnya dengan senyuman dan anggukan pasti. Dia seperti ragu-ragu mendapati jawabanku. Kembali dia memandangku untuk instruksi lebih lanjut. "Gambang...........?" Terlontar lagi tanyanya.

Tiba-tiba harum roti itu menyeruak lagi menggangguku. Dan seiring dengan itu tak kusadari mulutku menyabut angka sepuluh diikuti tangan Tacik yang menjepit satu per satu roti gambang untuk dipindahkan ke kotak kue.

Selepas itu aku segera berlalu melangkahkan kaki ke belakang toko, menuju perkampungan di mana dulu aku sering keluar-masuk menjumpai Dayat dan keluarganya. Jalanan yang makin terasa sempit, namun nuansanya tak berubah sedikitpun. Rumah Tati di bagian terdepan, dan akan di akhiri rumah Yetty di gang terdalam sana.

Harum roti gambang itu begitu mengganggu. Membawa liurku mengalir ke luar. Walau tidak lapar rasanya aku ingin sekali menggigit si "hitam manis" kekasihku.

Kuraih kantung plastik merah jambu itu. Di dalamnya bungkusan plastik bening kuambil dan kucabut penguncinya yang kecil mungil untuk kubuang begitu saja di aspal jalanan. Lalu kuambil isinya sebuah untuk kuselipkan di antara gigi-gigiku tanpa mengenal malu. Tukang becak yang duduk berjajar di mulut jalanan tak akan pernah kupedulikan walau mereka menyeru-nyeru padaku menawarkan jasanya.

Rasa manis menjalari lidahku. Ada kenikmatan tersendiri di situ. Lalu serpih-serpih roti hasil kunyahanku terasa begitu legit mencubit ingatanku. Ah ya, aku ingat Dayat lagi di saat aku mengunyahnya.

Kuteruskan keasyikanku dengan langkah yang ringan menuju ke dalam sana. Ada masa laluku yang kini menghadangku minta dicumbu. Di muka rumah nomor 34 rotiku habis tak bersisa. Seperti habisnya masa laluku dengan Dayat.

Aku seperti kembali ke pangkuannya. Ke dalam hangatnya pelukan Dayat yang dulu menciumku di ujung gang itu. Dengan bersandar di balik dinding rumah jendral kaya-raya yang sangat berpengaruh di kampung kami ini, dipakunya aku ke dinding berbalut batu koral itu. Kemudian bibirku habis dikulumnya selagi dia mendesahkan rindu dan nafsu birahi padaku.

-----------

"Tes...... tes.......," tiba-tiba punggung tangan yang baru saja kupakai mengelap pipi dan bibirku basah oleh rintik hujan yang menetes dari langit membuyarkan Dayat di ingatanku. Aku kembali kepada kekinianku.

Dayat sudah pergi. Itulah realita yang harus kuhadapi. Ah aku amat membenci takdirku itu.

Kuraih lagi bongkahan roti kedua dari dalam kantung plastik yang kujinjing lalu kugigit dan kukunyah dia puas sepuas-puasnya seraya melangkah keluar masuk gang tikus yang tidak lagi kukenali adanya. Namun aku terus saja berjalan, dengan mata nyalang mencari-cari barangkali Dayat kecilku tertinggal di situ dan bersembunyi di dalam salah satu rumah kecil yang kini tak lagi bisa kukenali dengan baik.

"Dayaaaaaaaat....................," panggilku dengan ingatan kuat. "Di manakah engkau membuang diri dan kini membunuh masa depanku?" Tak terasa air hujan itu menetes makin deras membaur menyamarkan air yang mengalir dari dasar hatiku yang terluka terbuang, merana kesepian. Dan seribu kepala melongok-longok sepanjang gang yang tak berujung menertawakan aku dan masa laluku. Si gadis lugu yang telah sepantasnya berlalu.

(Bogor, Medio Mei duaribusepuluh)
Pita Pink