Powered By Blogger

Jumat, 05 Desember 2008

KEMBALI KE PERADABAN

Naga-naganya sebentar lagi aku bakal jadi "makhluk halus". Ada tapi tak nyata.Tak ada tapi sekali-sekali nampak jua. Apakah istilah yang tepat buatku? Menyepi? Menepi? Meditasi? Merenungi diri? Apapun adanya aku tak bisa mengatakannya.

Di sekelilingku nanti hanya akan ada sekotak kaca yang bisa bersuara dan membawakan wajah-wajah yang sudah sangat kukenali kehadapanku. Juga listrik yang cuma sekian watt saja serta pancaran hangat langsung dari matahari di atas kepala. Lalu, akan ada kesejukan yang dihantarkan oleh lubang angin di atas jendela rumahku semata.

Ya, nampaknya aku akan kembali ke peradaban. Ke saat-saat dimana "Mp" belumlah jadi suatu keharusan. Ke jaman dimana koran itu berarti kertas yang membentang lebar di depan wajah serta berita itu berarti telinga yang tajam serta mata yang awas.

Dalam masa perenungaku ini barangkali aku justru akan menemukan kembali semua masa laluku yang telah tertinggal jauh atau bahkan berserakan tak teratur. Jika itu yang terjadi, maka aku akan memungutinya dan mengumpulkannya kembali di dalam laci memoriku.

Aku akan memilah-milahnya dan menyapu semua debu yang mengotorinya supaya layak kujamah lagi untuk pemuas nafsuku. Bahkan barangkali akan ada yang sempat masuk ke dalam "kopor" memoriku untuk kelak kutuangkan di dalam buku harian elektronikku ini.

-ad-

Aku membayangkan tubuh kecil itu di sisiku, bahkan merapat ke pangkuanku. Lalu kujamah rambutnya yang ikal. Kusedot bau matahari disitu sambil kusisiri dengan anak jariku. Akan kusampaikan padanya, "kau sudah jadi gadis sayangku, barangkali akan lebih manis kalau kau tutup auratmu supaya hanya kaulah yang boleh memilikinya. Dan kamilah yang bisa memujamu." Tubuh kecil itu beringsut menengadahkan mukanya, menatap lurus menghunjam bola mataku. Aku tahu kemudian, akan kudengar bisiknya, "tidakkah nenek berbohong? Aku sudah jadi gadis?" Dan di kedalaman mataku yang kelam dia akan berusaha sekuat tenaga mencari jawabnya.

Kurambati dada gadis cilikku. Ada desir-desir kehangatan dan deburan kencang di balik rusuknya. "betul cintaku, kau sudah jadi gadis sekarang. Dan untuk itu kau perlu memperkaya jiwamu dengan iman yang teguh. Kecantikanmu adalah keimananmu pada Allah. Maka kau harus menjaganya sebaik mungkin supaya tak dirusak orang. Agar tetap dapat kau persembahkan bakti tulusmu pada Allah Sang Maha Kasih. Ya, untuk saat ini hanya Allahlah yang berhak atas dirimu, dan karenanya jangan biarkan siapapun jua menyentuh tubuhmu."

Bibir itu akan mengerucut. Membuang semua rasa tak percaya akan kata-kataku. Tapi, bibirku juga yang akan memagutnya dengan senyuman, serta sederet kata yang menyejukkan. "Ya, manisku, nenek katakan apa adanya. Semoga hidupmu bahagia selamanya."

Kemudian dia akan mengajakku seperti dulu, naik ke atas kasur ranjang tidurku. Menuntutku untuk bercerita baginya. Apa saja seperti biasanya, namun kali ini tentu akan kuarahkan untuk memberinya pengarahan mengenai alam kedewasaan. Sementara itu di pangkuanku akan tertebar buku-buku ilmiah itu menyertai gesekan biola yang mendayu-dayu dari piringan digital di kotak musikku. Aku akan memasuki dunia kedewasaan berdua bersama cucuku. Sampai dia mengerti. Sampai dia mau menyimpan semua kecantikannya di dalam balutan gaun islami.

-ad-

Aku akan kembali ke peradaban. Ke jaman dimana aku belum mengenal segala perangkat yang sekarang ada di sekitarku dan akrab kugeluti. Artinya aku akan kembali ke kesepian, serta kepada kesederhanaan yang ditimbulkan alam dunia.

Akankah semua itu kusesali? Aku belum menemukan jawabnya. Tentunya tak akan menemukan jawabnya sampai aku merasa bahwa aku ada disana. Di masa itu, dimana hidupku adalah kesederhanaan dan kebersahajaan belaka.

Sekarang harus kukemasi dulu bekalku menuju peradaban masa lalu. Pelan-pelan kuredupkan aura nyala lampu yang terang. Kubuka jendela dan pintu yang mengungkung diriku. Dan kusongsong kebebasan di alam sana. Di masa dimana aku belum terpengeruh apapun. Semoga aku bisa menikmati diriku yang dulu, seperti aku menyukuri keberadaanku sekarang. Segala puji hanya bagi Tuhan, Allah Sang Maha Pencipta yang berkehendak.

Di pelupuk mataku, pada selaput otakku tergambar sudah wajah kecil mungil itu. Dengan kulitnya yang hitam manis dan rambutnya yang ikal bergelung-gelung ke atas. Aku sudah merindukannya sekarang. Akan kubawakan serangakaian cerita untuknya serta cinta sebagai pembungkusnya. Nantikan aku di bilik kesayangan kita.

: Untuk Rahmaghina Miranda Permana

Minggu, 30 November 2008

"JAKARTA UNDERKOMPOR" MELANGLANG BUANA KE AFRIKA SELATAN

Aku sama gilanya dengan anak-anakku. Konon kata orang-orang, nenek tak tahu malu. Sudahlah bangkotan hendak jadi anak muda lagi. Apa pasal? Sebab walaupun sudah setengah abad aku pantang berhenti berselancar di dunia maya. Bahkan sejak setahun belakangan ini semakin asyik saja memadu persaudaraan dengan orang banyak lewat Multiply. Semua gara-gara si bungsu anakku Harry.

Dua orang jagoan yang terlahir dari rahimku satu sama lain berbeda sifatnya.Yang lebih tua lebih cenderung memanfaatkan waktunya untuk kegiatan belajar dengan buku. Internet baginya tidak seberapa penting. Bahkan kalau kami perhatikan, dia tidak menguasai teknologi internet dengan baik, sehingga kerap "direndahkan" adiknya. Ya begitulah "Si Bebek Jelek" kami yang unik.

Si bungsu justru sangat malas berkutat dengan buku-buku sekolahnya. Maka tak heran jika dia tak memiliki banyak text books. Tapi, kebutuhan pengetahuannya dipuaskan lewat internet. Baginya, menyimpan buku-buku yang hanya diperlukan di sekolah sama dengan menyita lemari serta menjaring debu.

Sejak di SD dulu kecintaannya akan komputer sudah kental. Semasa kelas 3 SD dia sudah bisa menguasai words dan program-program mainan. Bukan karena paksaan pihak sekolahnya di Belgia, melainkan karena ketertarikannya sendiri. Masih kuingat dengan jelas ketika diminta membuat karya tulis untuk dipresentasikan di muka kelasnya, dia memilih topik "Komputer dan Teknologi Informasi". Sesuatu yang tak terbayangkan untuk anak kelas 4 SD, apalagi anak dusun dari Bogor yang walaupun merupakan penyangga ibu kota negara tak juga beranjak semaju Jakarta atau setidak-tidaknya Bekasi dan Tangerang.

-ad-

Perkenalannya dengan "insan yang lucu" ini juga diawali di internet. Tahun 2004 dia menggilai setiap blog yang dibuat oleh Bang Arham -begitu dia menyebutnya-. "Super kocak, dan menyenangkan," katanya kepadaku waktu aku iseng-iseng ikut mengintai blognya di Indosiar. Ada sepotong wajah Arham pemuda Kendari di atas sebuah WC serta Arham-Arham yang menjelma dalam bentuk manusia lain. Akupun sepakat dengan anakku bahwa orang yang satu ini sangat kreatif dan menyenangkan.

Arhamlah yang menggugah minat anakku untuk mempelajari semua teknologi internet sedalam-dalamnya, sehingga dengan pe-de-nya dia mau ditugasi guru-gurunya di sekolah untuk menjadi asisten guru TI. Sebagai akibatnya kami harus rela memenuhi semua keinginannya akan buku-buku TI termasuk berbagai serial photoshop. Hasilnya memang tak mengecewakan, wajah anakku dirubahnya sendiri menjadi seorang raja TI yang memikat hatiku sehingga menyebabkan aku menyimpannya di dalam layar ponselku sampai kini.

-ad-

Suatu hari secara tidak disengaja salah seorang guru bantu di sekolah anakku memperkenalkan Multiply. Semua kehebatan Multiply disodorkan kehadapannya, sehingga anakku tergerak untuk mencobanya. Siapapun tahu kehebatan site kesayangan kita yang satu ini toch? Maka anakkupun tiba-tiba beralih ke Multiply dan menyatakan  good bye forever dengan Indosiar.

Pucuk dicinta ulampun tiba. Disana dia berpautan lagi dengan Bang Arham idolanya. Dan darinyalah dia banyak menimba ilmu baik secara langsung maupun melalui insiprasi-inspirasi yang ditularkannya. Sampai secara tak sengaja kutemukan sitenya di  "http://indoidols.multiply." dengan wajah imutnya yang "menggelitik" minta dikomentari.

Rasa kasihkupun menggelegak. Maklum waktu itu umurnya sudah meningkat remaja. Dan sudah hilang kebiasaannya untuk bersandar manja di dada atau pangkuanku. Bahkan untuk sekedar mencium pipinya yang lembut yang dulu seringkali kugigiti dengan bibir segemas-gemasnyapun, kini tak mudah lagi kulakukan.

Kumasuki sitenya. Tiba-tiba ada instruksi untuk memasukkan accountku disana. Nenek yang maha bodoh itupun terpana! Maka dengan bismillah kuketuk pintu adiminstrator Multiply dan kuperkenalkan diriku sebagai Bundel, seekor makhluk tak berharga namun berarti besar dalam kehidupan kami. Seekor kucing kampung berbulu kuning dengan ekor pendek yang senantiasa menggeluti kaki-kaki kami setiap pagi dan malam serta ketika kami membuka pintu rumah sehabis bepergian. Bundel, ya Bundel, nama panggilan kesayangan yang diberikan anak-anakku dan ayahanya uhntuk si Beannie kucing kesayanganku yang tak beribu dan berayah di pelataran rumah BTN kami.

Jadilah Bundel kemudian menggoda menyapa manja Indoidols di sitenya. Pemuda itu nyaris marah. Tapi ketika dia tahu siapa di balik kepala gundul abu-abu penuh tanda tanya di rumah yang kosong, tertawalah dia. Dihampirinya aku di kamar kerja suamiku. Dan diguncang-guncangnya tubuhku melampiaskan gemas. Mulut itu tertawa lebar-lebar hingga tak tersadar dia mendaratkan ciuman di keningku. Ah, manisnya.

-ad-

Nenek iseng itu tak berniat apapun juga. Maka aku membiarkan rumah mayaku kosong sampai suatu hari secara tak sengaja aku bertumbukan dengan teman-teman sekolahku semasa gadis di site seseorang. Darinya aku mendapat "suntikan" untuk mengisi Multiplyku. Dan anakkupun menyambutnya dengan gembira.

Dan tertatih-tatihlah aku membangun rumahku seorang diri. Hanya sekali-sekali tanpa kunafikan, aku minta bantuan anakku yang senantiasa bete dengan pertanyaan-pertanyaan bodohku yang terus berulang dari minggu ke minggu. Tapi alhamdulillah dia sangat sayang padaku. Aku dilayaninya dengan baik sebaik dia memperlakukan sahabat-sahabatnya. Sampai akhirnya aku berniat "mendua". Lalu kudirikanlah rumahku yang ini. Jandra22 tempat aku melampiaskan semua rasa hatiku serta merekam semua perjalanan hidup pribadi keluarga kami semata.

Disini pula, di jandra22 salah seroang kontakku bermaksud memperkenalkan aku pada Bang Arham. Ya, aku langsung teringat makhluk satu yang lucu itu. Maka kuberanikan diri mengetuk pintu rumahnya sambil menyebut identitas asliku. Padahal, mengundang diri menjadi kontak orang lain adalah pekerjaan yang paling jarang kulakukan. Bukan apa-apa, aku tahu siteku sangatlah menjemukan. Garing, begitu istilah Bang Arham. Tanpa suara dari musik apapun, tanpa video, serta tak banyak warna. Site asli yang plain dari sononye.


-ad-

Arham tak menolak "lamaran"ku. Walaupun aku tahu toch dia tak pernah jalan-jalan kemanapun. Di suatu blognya dia mengisahkan perjalanannya ke Jakarta untuk memperkenalkan diri sebagai penulis buku langka bernuansa komedi. Anakku bilang, isinya diambil dari blognya dan diolah kembali.

Bulan lalu ketika suamiku bertugas ke Jakarta, aku memesan sebuah untuk anakku. Dia tertawa kegirangan, "ibu memang paling hebat deh. Lho kok tahu sih itu yang aku mau minta sebagai oleh-oleh?" katanya sambil menjejeriku di meja makan. Di seberang meja makan layar kaca televisi kami sudah menyala siap akan mempertunjukkan drama situasi komedi "OB". Sebentar lagi kami siap tertawa-tawa sambil makan malam.

Dia terus saja mendesakku untuk menjawab waktu dilihatnya aku hanya bungkam mengunyah sepiring nasi. Senyumku kuberikan padanya. "Oh, ibu sekarang jadi fansnya Bang Arham juga ya?" selidiknya. Mataku melirik Harry yang penuh nafsu menunggu jawabanku. "Ampun mak, ibuku ikutan ketularan ngikik terus," katanya. Lalu tawa kamipun berderai.

-ad-

Dari dalam kopor suamiku mengeluarkan setumpuk buku. Tapi yang pertama kulihat adalah "Jakarta Underkompor" yang bernuansa biru dengan wajah idola kami di sampulnya. Ya, buku itu tentu akan nongol paling dulu sebab dia berupa buku saku. Anakku cepat merebutnya, memeluk bapaknya dan lari dalam kebahagiannya yang entah kapan akan berakhir. "Ibu jangan baca duluan ya, habiskan tuh buku-buku setumpuk itu........." teriaknya sambil menghilang ke dalam kamar belajar.

Sampai hari ini aku belum membacanya betul, sebab dia masih mendominasi kepemilikan buku itu. Konon kata anakku, humor yang tidak garing walaupun tidak juga maha cerdas.

Semua yang diparodikan Bang Arham terasa enak untuk disimak. Dan gaya bahasa bloggernya sudah terpoles sedemikian rupa. Tak salah kalau Kendari Pos menjadikannya sebagai salah satu motor penggerak media massa terbesar di Sulawesi Tenggara itu.

Kata anakku kami harus mengumumkan kepada dunia bahwa "Jakarta Underkompor" sudah sampai ke ujung dunia saudara-saudara Mp-ers! Inilah kami, pasangan ibu dan anak yang bergaya narsis dengan "menggenggam" Bang Arham di tangan kami.

"Hai, hallo semuanya! Hallo Indonesia! Hallo Kendari! Hallo Bogor! Hallo Bang Arham! Kita berkumpul di Semenanjung Harapan tempat bertemunya cinta membara Samudera Atlantik dengan Samudera Hindia."

Sabtu, 29 November 2008

DI VISION KUTEMUKAN CINTAKU BERKOBAR

Vision, nama Panti Asuhan Muslimin itu memang bukan barang baru untukku. Sekilas pernah kubaca dari semacam booklet yang aku lupa entah dulu kudapatkan dimana. Maka ketika sekretaris suamiku yang trengginas itu menyebutkan nama Vision dalam daftar Panti Asuhan Muslimin yang kuminta, aku langsung menyilahkannya untuk menghubungkan kami.

Letaknya di tengah kota Cape Town, di dalam barisan perkampungan muslimin di Gatesville, salah satu kantong umat muslim di kota bekas cengkeraman kuku-kuku pemerintahan apartheid ini. Sebetulnya ini kunjungan kerja Dharma Wanita disini. Tapi aku menganggapnya sebagai suatu kunjungan kekeluargaan diriku, maklum aku dari dulu terobsesi ingin menjenguk anak-anak terlantar itu dimanapun mereka berada. Bagiku anak-anak panti asuhan adalah anak-anak yang layak dilimpahi perhatian, maklum mereka berada disana bukan atas kemauannya sendiri, melainkan oleh paksaan nasib.

Di benakku tergambar anak-anak kurus kering dengan mata cekung yang tak terawat sempurna. Juga kulit-kulit kusam akibat kurang gizi dan sejenisnya. Maka kuputuskan untuk sedikit berbagi kebahagiaan dengan mereka menjelang tibanya Idul Adha sekaligus tahun ajaran baru bagi rakyat Republik Afrika Selatan.

-ad-

Kami lima orang ibu ditemani Maya sekretaris suamiku duduk manis di dalam van yang dikemudikan pak Asep suami salah seorang diantara kami. Di bagian belakang beberapa buah kardus berisi buah tangan telah kami muat dan kami bungkus rapi. Sore yang mulai dipadati kendaraan orang pulang kantor dihiasi sinar mentari hangat yang menyemburatkan keringat di musim summer. Sebagai asisten pemandu jalan duduklah Bu Asep di samping suaminya membaca denah lokasi. "Ambil route yang ke arah Hannover Park ya pak," tegasnya ketika suaminya mulai ragu mengarahkan mobil. Di belakangnya kami bicara sendiri-sendiri pasrah nasib pada pasangan itu.

Di perempatan lampu merah Maya kedengaran berseru dari jok belakang untuk mengarahkan mobil ke kiri. "Di dalam situ pak," serunya mengingatkan. Konon katanya dia pernah bertandang ke rumah seseorang kenalan di daerah panti itu. Perlahan mobilpun dibelokkan ke kiri. Deretan rumah-rumah penduduk yang bersih teratur mirip rumah-rumah di perumahan BTN kita memagut mata menatapnya. Rumput halus tumbuh di halaman muka yang sempit. Bahkan ada yang langsung disemen sampai ke pintu masuk rumah. Warna-warni rumahpun sangat cerah sekalipun bukan warna ceria yang menyolok pandangan.

Terbacalah tulisan "Jackson Crescent" pada papan penanda jalan di sebelah kanan mobil kami. "Ya, ini dia tempatnya," kata Maya dan Bu Asep berbarengan. Di dalam sana pada ujung belokan di jalan yang menyerupai letter U itu nampak sebuah rumah megah dengan sederet mobil bagus serta para perempuan paruh baya berdiri di terasnya.

Pak Asep membuka kaca jendelanya dan menanyakan dengan takzim apakah betul rumah itu bernomor satu. Perempuan yang disapa membalas dengan mengiyakan, sekalipun Maya sudah mengingatkan untuk menanyakan dengan menyebut nama Vision Children's Home saja. Sekejap itu juga kami turun beramai-ramai. Dan aku mulai menyapa akrab sambil tak lupa memeluknya dengan salam alaikum yang tulus.

Perempuan itu menjawab penuh hormat. Senyum mengembang di bibirnya telah kuartikan sebagai pertanda undangan masuk ke rumah. Lalu aku mengusap rambut keriting seorang bocah cilik yang berlari menggelayut di tubuhnya. "Ini anak Ibu?" tanyaku. "Bukan, ini salah satu cucu saya," jawabnya manis. Dipersilahkannya kami duduk sambil ditanya asal-muasal kami. "Dari Malaysia?" tanyanya minta penegasan. Kutelan ludahku. Lagi-lagi salah tafsir, batinku. Kujawab tegas, "bukan, kami perempuan Indoensia, suami kami bekerja untuk pemerintah kami disini," lalu kududuki kursi tamu yang empuk di dalam rumah megah berdinding beton yang kelihatan kukuh dan nyaman itu. Hawa dingin memancar layaknya dari ruang berpendingin.

Bermunculanlah satu-persatu anak-anak muda dan orang dewasa dari dalam rumah, mengakibatkanku langsung menuju puncak acara. "Berapa anak asuh ibu semuanya?' tanyaku pada perempuan yang menerimaku tadi selagi mata kawan-kawanku berjalan menyusuri ruang. Dia menyebutkan semuanya berikut cucu-cucunya. Rasanya tak sebanyak informasi yang kudapatkan dari Maya. Maka kulirik Maya yang juga kebingungan.

"Maaf," sela Maya hati-hati, "apakah kami tidak keliru masuk rumah, inikah Vision Children's Home yang kami kontak minggu lalu?" Perempuan itu sempat ternganga sebentar sebelum akhirnya menyadari keadaan. "Oh, masya Allah, bukan. Ini rumah tinggal kami anak-beranak. Ini adalah kali kesekian orang keliru masuk," jawabnya sambil tersenyum mengakibatkan kami juga tersenyum sendiri menahan geli campur malu.

Kami pamit mundur sambil menyatakan maaf dan penghargaan kami kepada mereka yang telah dengan begitu mudah mempersilahkan kami memasuki rumahnya. Kedengaran tawa tertahan disana-sini disertai ucapan senang bertemu dengan saudara seiman secara tidak sengaja. Lalu kamipun masuk kembali ke mobil menuju ke arah yang ditunjukkan kenalan baru kami supaya sampai di Vision. Maya membela diri dengan sahutan enteng, "maklum orang kaya rumahnya luas. Jadi saya kira anak-anak itu diasramakan di bagian loteng rumah yang kelihatan luas tadi," diikuti derai tawa lepas kami.

-ad-

Rumah nomor satu itu ada di ujung lain dari jalan berbentuk U tadi. Tulisan Vision jelas tertera di dinding kuning gading yang sangat mirip dengan rumah pertama. Sepasang suami istri berumur empatpuluh tahunan menyongsong kami dengan tawa yang cerah. Anak-anak kecil hilir mudik di ruang tamu sempit yang didominasi meja-kursi sederhana itu. Tanpa basa-basi panjang sehabis kuperkenalkan teman-temanku kami langsung dibawa berkeliling rumah.

Kamar-kamar sempit teratur rapi dengan ranjang-ranjang susun dua-tiga tingkat mengisi sebagian besar lahan pribadi yang sesungguhnya tidak luas itu. Ibu Pengsuh Panti memperlihatkan isi lemari mereka yang dipenuhi baju dan perlengakapan pribadi. Tatanan rapi menyolok mataku. Jauh lebih rapi jika dibandingkan kondisi di lemari dan kamar kami di rumah. Anak-anak kami memang nampaknya terlalu manja, terlalu bergantung pada kebaikan orang lain semata.

Ruang belajar memanjang terdapat di sisi kiri rumah berdempetan dengan ruang kerja pengurus panti yang dididirkan pada tahun 1991 itu. 33 orang anak kini berada dalam asuhan mereka, dewasa dan balita, si kecil yang sejak tadi berjalan hilir-mudik mendekati kami mengiringkan si ibu yang dicintainya Soraya Jacobs yang secara alamiah belum pernah melahirkan seorang anakpun. Pancaran kasih sayang nampak di bening mata Ibu Jacobs yang bertubuh sintal dengan kulit bersih itu.

Anak-anak nampak duduk berjejer berhadapan di meja-meja itu. Buku dan alat tulis di tangan mereka. Di sebelahnya lagi sekelompaok bocah perempuan membentangkan kaus kaki sesuai instruksi seorang ibu muda yang cantik berambut keemasan hasil semiran. "Mereka mengerjakan keterampilan membuat boneka jari," jelas Ibu Jacobs sambil mempersilahkan kami berkenalan dengan sang volunteer yang sabar mengajari gadis-gadis belia itu. Anak gadis kecilnya nempel di sebelah dengan wajah menarik hasil dari dandanan kuncir rambutnya yang lebih dari lima. Namun sorotnya mirip sekali dengan gadis Indonesia, sehingga mengakibatkanku menyapanya sebagai "my dear children". "Tapi nenek moyang kami dari Malaysia," jawab si ibu tegas. "Ya, ya, kita tetap bersaudara," sambutku meninggalkan senyum persahabatan.

Di dinding terpampang daftar panjang berderet berisi tugas kewajiban mingguan masing-masing anak berikut daftar pelajaran mereka. Ada tercantum nama sekolah serta kelas dan wali kelas mereka. "Saya dan suami harus hafal satu-satu tentang mereka," jelas Soraya menangkap maksud saya. "Saya dan suami selalu datang sendiri menghadrii semua pertemuan dan urusan sekolah mereka," lanjutnya sambil memperlihatkan detail kegiatannya. Sementara itu di dapur sana kelihatan anak-anak gadis remaja sibuk menyiapkan hidangan makan malam. "Sayalah nanti yang memasaknya," jelas Soraya lagi. Kami mengangguk-angguk paham.

Tak ada bising anak bertengkar. Tak ada teriakan-teriakan mendamaikan mereka seperti yang biasa terjadi di rumah-rumah kami yang justru sering berakibat merusak suasana. Adik-adik kecil saling bergulat di pelukan kakaknya. Tak semuanya anak-anak yatim piatu. Sebagian bahkan merupakan anak-anak terlantar yang tak dikehendaki orang tuanya.

Kasih sayang kutemukan di panti itu. Berikut rasa bahagia dan penuh syukur yang terpancar serta terucap ketika mereka dengan patuh mengikuti kami ke bagasi mobil mengangkuti buah tangan kami yang tak seberapa untuk mereka. "Terima kasih tante, silahkan datang lagi ya," rajuk mereka ketika kami naik ke atas mobil dan melambai dari balik jendela di senja yang cerah itu. Hatiku tergerak kembali lagi. Mungkin lain kali kubawa serta anakku sekedar menunjukkan padanya betapa cinta itu memang nyata.

Sabtu, 22 November 2008

"BATU KARANG YANG TEGUH" (III)

Sumber cinta kasih itu ada dimana-mana di sekelilingku. Aku punya kerabat kerja yang baik di dalam rumah tanggaku. Manusia--manusia yang tangguh dan penuh dedikasi, yang siap mengorbankan diri dan keluarganya untuk kebahagiaan siapa saja.

Kusaksikan Eti, seorang perempuan muda terlantar yang tiba-tiba menghambur ke kediaman kami dalam keadaan jiwa yang kacau sedang mebenamkan muka di pangkuan Bu Titiek. Tangan penari yang gemulai itu membelainya. Bisik merdu dan mesra mengalir dari setangkup bibirnya yang mungil sempurna. "Kamu jangan putus harapan, Allah menolongmu. Ayo ucapkan kalimah-kalimah itu, bertasbihlah, ayo Ti......."

Bahu itu berguncang-guncang. Tangisan lirih terlontar memecah pagi yang beku. Entah kenapa, burung di langit sana seperti enggan mampir ke rumahku. Anginpun tak juga menelurkan simfoni alam dari deretan pepohonan besar di pekarangan kami. Hanya senyap, sunyi yang tersedot ke kedalaman bebatuan di punggung-punggung pegunungan di belakang kediaman kami.

-ad-

Lenggang gemulainya segera tertangkap mata anakku ketika kami baru pertama berkenalan satu setengah tahun yang lalu. Dia datang menghadap kepada kami di Hotel Millenium Sirih atas permintaan pak Bambang.

Kami dalam persiapan pindah tugas suamiku dari KBRI Singapura ke KJRI Cape Town ini. Bu Rini, istri pak Bambang mengundurkan diri demi anak-anak mereka yang sudah tiga tahun terlantar tanpa asuhan orang tuanya sama sekali. Karenanya pak Bambang memerlukan "motor" pengganti. Dan pilihannya jatuh kepada kakak iparnya sendiri yang kemudian membawa serta bu Titiek, sahabatnya, seorang instruktur senam dan dansa anggota Dharma Wanita Persatuan di Surakarta.

Tutur katanya sangat lembut dan terjaga, mengingatkanku pada putri keraton. Tapi beliau mengaku hanya pendatang dari Jawa Timur di Surakarta. Beliau bersedia mengemban tugas apapun dan rela meninggalkan suaminya seorang PNS serta kedua putra-putrinya yang masih bersekolah demi pengabdiannya kepada orang banyak. Beliau telah mendengar tantangan ini sebelumnya dari keluarga pak Bambang.

"Saya akan merasa bahagia jika saya bisa melayani orang banyak," katanya menegaskan kesediaannya. "Mas Bambang dan anak-anak juga rela ditinggal, saya akan membantu mencarikan biaya untuk ujian professi apotheker anak sulung saya yang sebentar lagi diwisuda serta biaya sekolah si bungsu di SMP," tekadnya sambil menyebut nama suaminya yang membuat kami terperangah. Bambang juga, seperti Pakne asisten setia kami itu.

Kulihat kesungguhan di raut wajahnya. Dan terbukti, tiga hari kemudian sebuah paspor hijau bercap Kantor Dinas Imigrasi Surakarta sudah sampai di dalam map perlengkapan mutasi suamiku. Wajah Bu Titiek Endah Sayekti Mudjianto yang berseri-seri tertera disana.

-----------

Dugaan kami meleset. Bu Titiek ternyata bukan tipe perempuan yang gampang menyerah dan mengeluh. Beban tugas berat melayani masyarakat yang tiada putus-putusnya di dalam rumah tangga kami dijalaninya dengan sabar penuh senyum.

"Saya merasa seperti sedang berhadapan dengan anak saya sendiri," pengakuannya kepadaku ketika Eti tengah lelap tertidur akibat obat penenang dan obat tidur yang didapatnya dari dokter. Dengan jiiwa keibuannya Bu Titiek mebenamkan diri merawat Eti yang tak lagi mengenali diri serta keadaannya. Eti yang sudah terhisap oleh tumpukan ketegangan yang merusak jiwanya sedemikian lama.

Tangan halus bu Titiek mengusap-usap pipi Eti yang dingin, selagi matanya tak lelah-lelah melekat pada sosok perempuan desa itu. "Semalam dia mengamuk lagi," cerita bu Titiek. "Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah rumah majikannya, dan matanya melotot. Dia menceracau ketakutan dan marah-marah dalam Bahasa Sunda," tegasnya.

"Kenapa Bu Titiek tak memanggil saya?" tanyaku.

"Saya tahu ibu sedang istirahat. Saya masih bisa menenangkannya dengan tuntunan doa-doa, shalawat dan tasbih," kudengar jawaban yang sejuk dari mulut Bu Titiek yang merekah merah jambu.

"Tapi bukankah hanya saya yang paham Bahasa Sunda?" sanggahku.

Bu Titiek mengangguk mengerti, tersenyum dan menjawab lagi, "ya, saya tahu, tapi saya upayakan untuk memahaminya dan alhamdulillah dia mau mengerti. Semalaman dia tidak tidur, melingkarkan lengannya di badan saya, dan menjepit kaki saya di antara kedua betisnya," urai Bu Titiek manis sekali. "Tak terbayangkan andaikata itu terjadi pada diri kita, pada anak-anak kita," sambungnya seperti ingin menceritakan kerisauan perasaannya. Mata itu menerawang ke kejauhan, ke arah langit yang membiru di sela-sela daun hijau. Dan anginpun mulai menggoyangnya meniupkan semilir yang menyusup melalui celah-celah jendela kamar. Ada seberkas sinar kuning yang garang, tapi cuaca tidak panas. Inilah Afrika Selatan dengan tepian Atlantiknya.

----------

Hidupnya bukanlah sebagai orang susah yang menderita. Tak dinafikan beliau memang bukan orang kaya. Mana mungkin seorang PNS yang mengandalkan sumpah pegawai negerinya bisa mengalami hidup makmur. Tapi Bu Titiek juga tidak sengsara. Rumahnya yang dicicil dari BTN di pinggiran kota adalah tipe rumah mapan dengan sepetak halaman yang disesaki tanaman hias penambah penghasilan keluarga. Karenanya kini, rumah kami juga semarak dengan indahnya bunga-bunga yang dirawat Bu Titiek bersama para tukang kebun kami yang memang sudah disediakan dinas untuk merawat properti negara.

Lepas dari Akademi Bank di sebuah ibu kota propinsi beliau menikah dengan pemuda pilihannya sendiri, lalu dibawa merantau ke Banjarmasin mengikuti irama kerja suaminya sebelum akhirnya menetap di Surakarta, sebagaimana aku mengikuti suamiku selama ini. Disitulah dia berkenalan dan berkawan akrab dengan Bu Mien yang kemudian mengajaknya ikut kami merantau ke Afrika.

"Insya Allah anak saya akan segera dapat pekerjaan di pemerintah," kata Bu Titiek waktu kutanya soal kelanjutan sekolah si sulung. "Dia sudah lulus berkat hasil di perantauan ini, dan sekarang sedang menunggu pengumuman penerimaan pegawai negeri," lanjutnya dengan mata berbinar-binar. Ada nada kebanggaan disana pada seorang ibu yang tak lelah-lelahnya mendidik dan membesarkan buah hati. "Doakan anak saya ya bu," pinta Bu Titiek yang kusambut dengan ya serta harapan yang sama. Pengorbanan Bu Titiek dan keluarganya tak sia-sia rupanya.

Tiba-tiba ponsel di meja tidurnya berdering menyerukan panggilan SMS. Bu Titiek cepat meraihnya, "dari si ayah," katanya tanpa kutanya. Rona merah memenuhi kedua pipinya yang bulat. "Wah kemesraan pak Bambang nggak pudar ya bu," godaku. "Semakin menjadi, bu," balasnya malu-malu. "Ini lho dia menanyakan apakah saya sudah mandi dan shalat shubuh, dia tidak tahu bahwa summer telah menggeser waktu," terangnya tanpa kuminta.

-----------

Eti menggeliat di pembaringannya. Mengalihkan posisi tidurnya sambil membelalakkan matanya, nyalang mencari-cari sesuatu. "Ibu........," panggilnya. "Iya Eti, ibu ada disini," seru Bu Titiek dari depan meja setrikaan dengan sekeranjang cucian bersih yang minta perhatian. "Ibu jangan pergi," kudengar rengekan itu lagi.

Lalu kedengaran suara mesra seorang ibu membujuk anak kecilnya. Aku di ruang keluarga mengamatinya dari balik buku-buku kesehatan jiwa yang sengaja kubeli untuk membantu mengurai misteri ini. Aku tak lagi mempan mengandalkan kemampuan teori ilmu komunikasiku yang dulu kuserap di bangku sekolah.

"Ayo sayang, Eti, jangan melamun. Ingat Allah. Ingat kebesaranNya. Ingat kasih sayangNya. Ingat pertolonganNya yang mengantarmu mencapai rumah ini."

Lalu sedu-sedan itu lagi dan rintihan-rintihan yang terus berulang beruntun menyita kesabaran siapapun yang mendengarnya.

Kulongokkan kepalaku ke kamar itu. Dua sosok perempuan duduk berdampingan. Yang seorang teronggok di pangkuan lainnya dengan kepala yang bergoyang-goyang tak tentu arah. Juga pandangan kosong dan sedu sedan menghambur.

Di sampingnya, seorang ibu memeluknya mesra, mendaratkan lentik-lentik jemarinya di anak rambut itu. Mengusir semua gundah dan keringat dingin yang membasahi. "Ini tasbih yang ibu janjikan untukmu, ayo kita dzikir sama-sama sayang," imbaunya.

-ad-

Aku menutup pintu kamar itu kembali. Mundur, melangkah menjauh membawa basahnya mataku oleh keharuan yang ditumbuhkan sikap manis Bu Titiek menghadapi orang asing yang sama sekali tak dikenalnya. "Ya Allah, semoga Engkau mengaruniakan kebaikan dan barokahmu untuk keluarga Bu Titiek yang rela terabaikan demi manusia-manusia lain yang perlu bantuan dan haus kasih sayang. Semoga Engkau memasukkan Bu Titiek kelak ke dalam sorga dunia dan akhairat yang bertaburkan melur yang semerbak wangi sepanjang masa........" air matakupun turunlah mengaliri kedua pipiku yang tiba-tiba serasa membara. Aku telah tertampar oleh keadaan yang menyadarkanku bahwa ternyata aku makhluk yang sangat beruntung di dalam hidup ini.

Jumat, 21 November 2008

"BATU KARANG YANG TEGUH" (II)

Aku memanggilnya Pakne walaupun nama sebenarnya Bambang Triawan. Dia lekat dalam kehidupanku sejak empat tahun setengah yang lalu. Waktu itu aku membawanya bersama bu Rini istrinya ke dalam rumah tangga kami di Singapura.

Pasangan setia ini setia mengabdikan dirinya pada kami. Membantu menyelesaikan tidak saja tugas-kewajiban di rumah tangga kami, melainkan juga tugas-tugas sosial keluarga kami. Waktu itu dengan posisi sebagai Wakil Kepala Perwakilan di KBRI, suamiku punya tugas yang cukup sibuk. Dia jarang di rumah dan nyaris sehari tiga-empat kali bolak-balik ke bandara Changi untuk mengantar-jemput serta menemani tetamu dinas. Belum lagi tugas-tugas lainnya yang menyangkut hubungan bilateral dengan pemerintah setempat. Karenanya pak Bambang sering mengambil alih tugas kerumahtanggaan kami.

Tetamu dinas suamiku yang tak ada habisnya itu sebagian datang untuk urusan pribadi. Terutama berobat. Bahkan banyak diantara mereka yang datang untuk menyerahkan kelangsungan hidup di tangan dokter-dokter Singapura.

Kami mengajak mereka berteduh di rumah dinas kami dan menyediakan diri menjadi teman berbagi duka mereka, sekalipun aku sendiri juga pasien abadi di salah satu rumah sakit. Lebih tepatnya aku menjadikan mereka sebagai teman sharing melupakan semua rasa sakitku.

Pak Bambang dan bu Rini ada di antara kami. Di saat aku harus memeriksakan diri, pak Bambanglah yang setia mengantarku. Selanjutnya dikala aku harus menginap untuk pengambilan organ-organ dalamku, selama seminggu atau bahakan dua minggu, pak Bambang dan bu Rini secara bergantian menemaniku di kamar Raffles Hospital. Tanpa mengeluh, tidak juga menuntut balas jasa. Keduanya tulus dan murni membagikan kasih sayangnya yang seputih kapas, selembut salju.

Mereka berdua berangkat dari Jakarta meninggalkan kedua putranya yang ketika itu masih bertumbuh untuk mencarikan biaya sekolah mereka. Penghasilan pak Bambang sebagai supir rumah tangga di Jakarta tidak memadai untuk mencarikan Perguruan Tinggi bagi putra sulung mereka yang baru lulus SMA. Sementara itu si kecil juga tak akan berhenti hanya di tingkat SMP saja. Karenanya mereka berdua rela ditinggalkan tanpa siapa-siapa di rumah kecil mereka di dalam gang tikus di deretan perkampungan rakyat di Jakarta Selatan yang padat.

--------

Rutinitas Pakne dan Bune selalu dimulai dengan mengirim SMS setiap pagi kepada kedua orang putranya. Terutama untuk membangunkan si kecil yang baru duduk di kelas 2 SMP. Setelah itu Bune akan menyiapkan makan pagi kami semua, selagi Pakne membersihkan mobil dinas suamiku dan sesekali mengantar anak bungsuku ke sekolah. Sehabis itu rutinitas siang dimulai dengan acara memasak dan belanja. Paknelah si raja belanja itu. Hampir seluruh pelosok pasar yang redup, sedikit becek dan berbau dikenalinya dengan baik. Juga kedai-kedai yang menawarkan barang bagus dengan harga murah. Luar biasa!

Malam hari mereka akan kembali berkirim SMS untuk memastikan anak-anak mereka siap mengulang pelajaran dan sudah selesai makan malam dari warung nasi di sekitar kediaman mereka. Rutinitas yang teratur, sebagai penangkal terulangnya riwayat hidup kelam mereka di masa lalu.

-ad-

Pakne berasal dari pusat budaya Jawa klasik putra seorang pengusaha gitar yang pernah meraih sukses. Kemudian karena kekuranghati-hatiannya Allah membalikkan kehidupan mereka, meninggalkan kepahitan di bibir jurang kepada keluarga mereka.

Pakne hidup berpindah-pindah rumah dalam asuhan berbagai tangan berganti-ganti hingga terdampar di ibu kota. Setelah melakoni pekerjaan yang cukup mapan di suatu tempat, pakne menemukan pelabuhan cintanya yang sejati pada seorang mojang Bandung yang kemudian memberinya dua buah cinta sampai sekarang.

Lagi-lagi Allah menguji dirinya sehingga roda nasib terputar kembali, dari atas sampai di bawah mirip lagu keroncong Roda Pedati yang dulu disuarakan biduanita tuna netra Annie Landouw dengan suaranya yang mendayu-dayu menggetarkan jantung sinyo Belanda. Kemudian dilakoninya pekerjaan sebagai supir yang jauh bertolak-belakang dari posisi terhormatnya semula.

Dan kami "menemukannya" secara tidak sengaja. Ketika suamiku tiba-tiba menyampaikan kabar penugasannya ke luar negeri dalam posisi pimpinan, aku harus siap membawa staff rumah tangga. Dalam kebingunganku, aku tiba-tiba teringat pada dua orang bagian dari masa lalu kami yang kutahu cocok dengan kami serta sesuai untuk memegang posisi yang akan kami tawarkan.

Bune, perempuan cantik dan langsing dengan rambut ikal sebahu itulah serpihan memoriku. Dulu kami pernah bersama-sama, dan kusaksikan betapa bune sahabatku membutuhkan perjuangan dan pengorbanan besar untuk bisa mengikuti ujian SMA-nya di sekolah negeri bergengsi di Kabupaten Bandung waktu itu.

Gadis cerdas sahabatku ini terpaksa menghambakan diri di rumah induk semang pondokannya karena ayahnya seorang pensiunan PNS masih perlu membiayai beberapa jiwa lagi yang diperolehnya kemudian dari seorang istri kedua. Masih kuingat betapa di suatu siang dia menghampiri rumah pondokanku untuk minta diantarkan mencari keberadaan ayahanya supaya bisa membayar biaya sekolahnya menjelang ujian akhir SMA. Usaha yang tidak berhasil itu kemudian mengeruk air mataku dan suamiku (pacarku waktu itu) sehingga menorehkan luka yang tak akan pernah terhapus padaku hingga kini. Aku telah menangis untuknya, bune sahabatku, terlebih-lebih ketika dia terpaksa menolak jatah masuk IPB tanpa test yang dihadiahkan sekolah kepadanya sebagai murid dengan prestasi tertinggi. "Akan kubayar dengan apa biaya pondokanku dan buku-buku kuliah nanti?" tanyanya retoris sambil menatap air yang menghitam di sekitar got rumahnya di kebisingan kota Bandung. Aku mengingatnya terus sampai kini.

-ad-

Bune dan Pakne pernah nyaris berhadapan langsung dengan maut yang mengintai seorang tetamu kami. Siang itu ketika aku tengah sibuk dengan suatu kegiatan dinas untuk masyarakat Indonesia, seorang kenalan baru tetamu kami yang baru datang nyaris terenggut jiwanya di kamar tidur tetamu kami. Untunglah kedua asisten rumah tanggaku tersbut sigap dan cepat tanggap dengan memanggil pulang suamiku yang sedang mengantar tetamu ke luar rumah dengan maksud agar langsung membawa ke rumah sakit. Mereka bertiga dengan suamiku menggotong pasien tetamu kami sampai ke halaman rumah sakit dan berhasil menyelamatkan jiwanya.

Dilain waktu pagi-pagi buta mereka berdua sibuk melarikan pasien tetamu kami ke rumah sakit, walaupun kemudian kami tak dapat menolongnya. Beliau berpulang tiga hari kemudian di tebas kanker hati yang ganas. Dan episode pagi itu tak pernah kami saksikan, sebab pakne dan bune sengaja tidak membangunkanku yang juga masih dalam masa pemulihan sehabis pengambilan indung telur dan ususku.

-----------

Pakne kemudian mengikuti kepindahan suamiku ke Afrika Selatan dan meninggalkan bune yang kembali ke Jakarta. Di ibu kota bune tegar membesarkan kedua putra mereka seorang diri yang kini sudah berada di tahun-tahun terakhir Perguruan Tinggi dan SMA. Suatu perjuangan yang berat, mengingat penghasilan yang jadi berkurang banyak serta tantangan hidup yang makin sulit. Tapi kuamati bune tetaplah perempuan yang tegar, wanita yang tak gentar menjalani hidupnya yang dilamun ombak.

Disini, di Afrika Selatan ini, lagi-lagi secara tidak sengaja pakne menerima jatah nasibnya sebagai pengasuh dan perawat orang sakit ketika tiba-tiba Allah menganugrahi kami seorang penderita depressi yang tak kami ketahui asal-usulnya. Pakne dengan sikapnya yang tegas namun lembut berperan mengambil alih figur seorang ayah. Dengan tenang didekatinya perempuan itu. Diajaknya bicara seputar kehidupan serta dihadiahinya dengan sejumlah pulsa telepon untuk menghubungi suaminya di Indonesia. Kadang-kadang saat kami berbelanja, pakne juga akan mengambilkan sepotong dua potong coklat, chips atau biskuit untuk anak asuhan kami. "Kasihan bu, dia tidak hanya perlu makan secara jasmani, rohaniahpun perlu. Dan nampaknya makanan-makanan ini kegemarannya semua yang saya harap dapat menimbulkan gairah hidupnya kembali untuk melupakan semua perlakuan buruk yang tengah dihadapinya," begitu kata Pakne sambil memasukkan buah tangan pilihannya. Di rumah kami kelak kami dapati perempuan muda itu menerimanya dengan senang diikuti senyum yang manis. Senyum kerinduan seorang anak akan figur bapaknya. Dan pada Paknelah semuanya tersandar.

Di rumahku kudapati semua pelajaran hidup berharga ini. Dan disini, di lembaran putih ini kurekam semuanya untuk menguntai pembelajaran moral kepada anak-cucuku. Semoga kalian semua mendapatkan manfaatnya.

Rabu, 19 November 2008

"BATU KARANG YANG TEGUH" (I)

"Batu karang yang teguh

Engkau perlindunganku

Di tengah ombak dunia

Engkau yang berdirilah........"

(Kidung liturgi gerejani)

Begitu dulu kupelajari sepenggal bait kidung gereja ketika aku masih kanak-kanak. Keluargaku memang unik. Kedua belah pihak orang tuaku mempunyai dua agama yang berlainan di dalam satu rumah tangga. Islam dan Protestan ditambah satu aliran kepercayaan. Karenanya aku dan saudaraku mengawali pendidikan dasar di sekolah-sekolah Protestan atau minimal Katholik. Itu harga mati yang ditetapkan bapakku, untuk menanamkan saling pengertian dan cinta kasih di antara kami. Dan sepenggal lagu itu terasa akrab di telingaku.

Kubayangkan batu karang yang teguh itu, seakan-akan sebuah tonggak raksasa yang dipancangkan Tuhan di dasar laut, menjulang mengarah kepadaNya. Nun di kedalaman sana aneka rupa kehidupan menyatu. Ikan-ikan yang cantik berebutan makan, kerang-kerang yang ditinggalkan mutiaranya, serta ombak samudera yang naik ke atas, meluap menghempaskan seluruh isi laut hingga ke daratan yang jauh. Tapi batu karang itu, tak tergonyahkan. Tak juga tergerus asinnya laut. Begitu tegar menghadap padaNya.

--------

Kudapati dia di dalam rumah tanggaku sekarang. Pada perempuan paruh baya itu. Bu Mien, aku biasa memanggilnya, adalah sandaran hidup bagi banyak jiwa di sekitarnya.

Ketika dirinya masih pantas bergelung di dada ibunya, maut memisahkan dirinya dari sang kekasih. Dia menjadi bocah cilik piatu yang kemudian tumbuh dalam asuhan tangan banyak orang. Tapi ada satu yang tak mungkin dilupakannya, seorang perempuan desa yang dijulukinya sebagai Wakti, inang pengasuhnya yang setia itulah sumber kasih sayangnya.

Aku kerap mengobrol berdua dengan Bu Mien di saat senggang. Dengan tenang dia menuturkan semua perjalanan hidupnya yang penuh warna tanpa minta belas kasih. Begitu tegar, setegar sikapnya dalam berbicara jika kami sedang berdiskusi di dapur rumah tinggal kami.

-ad-

Bu Mien lahir dan besar di Jawa Timur dari seorang ayah berdarah Madura dan ibu wanita tanah Jawa asli. Di bawahnya kemudian ada lagi tiga orang adiknya yang sama-sama butuh dan haus kasih sayang, Terlebih-lebih setelah ayah kandung mereka wafat menyusul sang istri dikala mereka masih layak menyusu.

Kakak-kakaknya yang cukup banyak jumlahnya kemudian mengambil alih peran orang tua mereka dan menjadi panutan hidup selanjutnya. Dalam masa itu Ismintarsih kecil kemudian mencari jati dirinya sendiri dan menemukan dirinya terdampar dalam buaian lonceng gereja.

Kelak beliau melanjutkan sekolah di ibu kota propinsi sambil bekerja menghidupi diri sendiri, hingga kemudian berjodohan dengan seorang pemuda dari kota Surakarta yang kemudian menjalin asmara hingga akhir hayat dengannya.

Sering terbit kesenduan dan kerinduan yang dalam di diri Bu Mien jika beliau berucap tentang suaminya yang disapanya dengan Mas Hardjo. "Suami saya begitu lembut dan sabar, berlainan dengan saya yang cenderung temperamental dan suka membantah," tuturnya suatu hari. Kami sedang bersama-sama menyelesaikan pekerjaan rumah tangga di dapur. Dan dari perangkat audio Sony kedengaran "Candra Buana" yang dilantunkan mesra oleh Titiek Puspa dalam beat yang mengayun-ayun mengajak berjoget swing. Lagu kesukaan Bu Mien yang ditularkan oleh almarhum suaminya.

"Mas Hardjo memang romantis sekalipun dia tidak pandai bernyanyi atau main musik. Lagu ini sangat disukainya dan tak bosan-bosan didendangkannya dengan suaaranya yang pas-pasan nyaris tanpa ekspresi," cerita Bu Mien sambil terus meracik bahan masakan. Matanya nampak basah entah oleh keringat yang disebabkan uap masakan di panci yang tengah dijerangnya, ataukah kepedihan hati. "Suami saya juga nggak pinter nyanyi kok bu," timpal saya apa adanya. Terngiang di telingaku suara suamiku yang tak jelas nadanya melagukan balada-balada Ebiet G. Ade kesayangannya, Namun, suamiku selalu nampak bangga menyuarakannya. Sama bangganya seperti ketika dia menirukan Yon Koeswoyo berlagu di layar kaca sekedar untuk menyenangkan hatiku.

-ad-

Sepuluh tahun lamanya Bu Mien merawat Pak Moedihardjo suaminya yang didera stroke. Tanpa bantuan siapapun, sebab ketika itu putra-putrinya masih di bawah umur semua.

Pekerjaannya pada sebuah koperasi di Surabaya terpaksa dilepas juga, sekalipun suaminya sudah tak mampu bekerja di luar rumah dan terpaksa pensiun sebelum waktunya. "Saya bawa anak-anak menetap kembali di kampung bapaknya supaya bisa berdekatan dengan saudara-saudara kandung bapaknya,' ungkap Bu Mien mengawali kisah hidupnya di Surakarta. Disitu dia mencoba peruntungan dari dalam rumah.

Beliau mulai menerima pesanan kue-kue kering serta makanan-makanan lain semampunya. Padahall kisahnya, dulu beliau tidak menguasai ilmu dapur. "Ibu mertua sayalah dulu penguasa di dapur kami, sehingga saya tinggal numpang makan saja," demikian alasannya.

Tapi nasib mengatakan lain. Biaya pengobatan stroke yang tidak ringan ditambah ongkos rumah tangga termasuk sekolah putra-putrinya yang tidak ringan memacu semangatnya untuk mempelajari ilmu kuliner. Dengan berbekal pesangon suaminya Bu Mien berhasil menjajakan kuenya hingga ke Surabaya. Dan tester kue-mue itu tentu saja keluarganya sendiri.

"Adakanya saya merasa begitu terpuruk dan lelah ketika orang mempertanyakan darimana saya bisa mendapatkan semua biaya pengobatan suami saya," keluhnya dengan mata menerawang. Dia menarik nafas dalam-dalam, ada kesan kegetiran pada hembusan nafasnya. "Apa jawaban ibu?' pancingku. "Hmmm......, saya hanya tersenyum," jawabnya kali ini dengan senyuman yang mengembang manis. Mata arifnya menatap padaku seperti menghunjam. Aku gemetar dibuatnya, sebetulnya lebih tepat dikatakan miris membayangkan kesulitannya ketika itu.

"Hanya Allahlah sandaran hidup saya. Saya tak putus berdoa, bahkan dalam tidur saya," Bu Mien melanjutkan. Sekarang aku mulai menyimak. Aku sendiri merasa seperti terpelanting ke sudut yang dingin nyaris tanpa harga diri menyadari aku begitu dimanjakan keadaan.

-ad-

Nyaris setiap malam selama sepuluh tahun Bu Mien bergolek di lantai di bawah ranjang suaminya untuk melindunginya jika dia terjatuh dalam tidurnya. Tapi lebih sering lagi dia merebahkan kepala di sisi pembaringan suaminya sambil duduk begitu saja. 'Saya takut dia tiba-tiba pergi tanpa permisi," alasannya. Lagi-lagi menyiratkan kepahitan.

Tubuh lelaki gemuk itu diurusnya sendiri. Beliaulah yang memandikannya bahkan juga mengangkatnya ke kamar kecil ketika sang suami membutuhkannya. "Entah apa sebabnya, saya selalu menemukan kekuatan ketika dia memerlukann bantuan tenaga saya untuk membersihkan dirinya," kembali mata itu menerawang jauh menembusi dinding-dinding waktu. Aku semakin terkagum-kagum padanya.

"Merawat orang sakit bukanlah pekerjaan sulit untuk saya," paparnya ketika aku menyerahkan Eti seorang perempuan desa yang datang ke rumahku minta perlindungan dalam keadaan jiwa yang tertekan.

---------

Aku hanya bisa merasa kasihan dan bingung waktu menyaksikan Eti tak lagi mampu menangkap makna pembicaraanku yang lugas dan sederhana. Bu Titiek juga melaporkan bahwa Eti merasakan ketakutan yang tak beralasan serta kebingungan yang sangat. Dia seperti kehilangan orientasi ruang dan waktu, juga ketenangan. "Dia ketakutan mendengar suara vaccum cleaner dan mesin blower di halaman," lapor Bu Titiek ketika aku baru pulang belanja dengan Pak Bambang di suatu siang.

Kudapati Eti tertelungkup di atas pembaringan Bu Titiek dengan menutupi kedua belah telinganya. Air mata imengucur deras dari mata yang sayu kelelahan dan kosong tak bernyawa. Kupanggil-panggil namanya. Dia semakin rapat menyembunyikan diri di dalam bantal. Menyibak-nyibak ke kedalaman bantal yang tak tahu apa-apa soal hidup ini.

Akhirnya Bu Titiek berhasil membujuk Bu Mien untuk mengonsultasikan Eti kepada dokter. Padahal selama ini Bu Mien selalu beranggapan dapat menenangkan Eti, sekalipun berarti kami butuh waktu lama dan harus bersabar. Pengalamannya merawat suami sakit selama sepuluh tahun telah mendidiknya untuk tabah dan sabar.

Sekarang tak mungkin lagi semua kesabaran Bu Mien diterapkan pada Eti. Bu Mien bersikeras untuk berangkat sendiri mengantarkan Eti, dan pulang dengan laporan bahwa Eti menderita tekanan jiwa yang menjurus kepada depressi.

Hari-hari selanjutnya Eti selalu disisinya, sekalipun dia lebih dekat kepada Bu Titiek seorang pembimbing spiritualnya. "Mamie," demikian Eti memanggilnya kemudian. Dan Bu Mien akan menyambut panggilannya dengan penuh sayang. Di dadanya perempuan muda itu rebah menumpahkan segala gelisahnya. Di sisi tubuhnya juga Eti selalu menyembunyikan diri minta kehangatan. Sama seperti keinginannya terhadap Bu Titiek.

"Bu Titiek, kepiye sih carane ngucapno dongo penenang iku?" suatu hari kudengar Bu Titiek menirukan bu Mien minta diajari beristighfar sambil tersenyum disambut gelak Bu Mien di dapur. Eti sedang terlelap sehabis disuapi mereka berdua dan kubujuk makan pil penenangnya. "Lha opo'o, aku gak ruh. Padahal njenengan mau iku gek siram tho......" sahut Bu Mien dengan tawanya. Aku mendengarkan dengan seksama penuh rasa ingin tahu.

"Gampangane, muk astaghfirullah ae Bu," jawab Bu Titiek tak kalah geli. "Alah, embuh opo'o mau mung tak kon nyebut Allah, Allah, terus," sambar bu Mien sambil menyembunyikan kegeliannya. Aku ikut tersenyum dan menggodanya demi meredakan stress, "Mbok bilih Bu Mien kedah ngucap syahadat rumiyin," gurauku diikuti kicau burung di dahan pohon jambu bol mini sana, Pagi itu terasa indah, seperti keindahan yang ditawarkan oleh ketulusan hati Ibunda Ismintarsih di dalam merawat orang-orang yang butuh pertolongan di sekitarnya. Semoga Allah memberkahinya dengan tetap menjaga keteguhan jiwa-raganya yang seperti batu karang di samudera sana.

Senin, 17 November 2008

TONGGAK-TONGGAK HIDUP

Hidup adalah perjuangan, demikian kata-kata yang patut kuhayati di sepanjang kehidupan keluargaku. Adakalanya kami merasa begitu nikmat, terlalu nikmat malah, sehingga sering lupa akan kasih Allah. Take it for granted, begitu orang bule menyebutnya. Segala kesenangan itu kami nisbikan menjadi sesuatu yang kami anggap memang hak kami untuk mendapatkannya, serta hak Tuhan untuk memenuhinya, Adakah Allah rela kami perlakukan seperti itu? Hanya waktu yang menjawabnya.

Satu demi satu, pelan-pelan Allah menegur kami dengan halus. Melalui kejadian-kejadian tak terduga, mata hati kami terbuka. Begitulah hidup. Ada suka, ada dukanya. Ada nikmat, ada susahnya. Karenanya sepatutnya kami bersyukur dengan memujaNya sepenuh jiwa melalui pengabdian padaNya di sepanjang hayat.

-ad-

Bersama kami tinggallah tiga sosok yang sebelumnya asing bagi kami. Ibu-ibu dan ayah sejati bagi keluarga mereka. Nasib membawa mereka ke tengah-tengah keluarga kami, meninggalkan keluarga-keluarga mereka di Indonesia yang menanti penuh rindu.

Ismintarsih Mudihardjo

Perempuan tinggi langsing berumur 53 tahun ini membawa tekadnya untuk menjadi ibu tunggal yang bertanggungjawab terhadap kedua putra-putrinya yang sudah dewasa melalui pengabdian kepada kepentingan masyarakat di tempat tugas kami. Dengan meninggalkan keluarganya di Surakarta sepeninggal suaminya yang menyerah takluk digerogoti stroke, beliau berperan sebagai Kepala Rumah Tangga kami di Wisma Indonesia Konsulat Jenderal RI, Cape Town.

Bu Mien, demikian beliau dipanggil, penganut Protestan yang taat yang tak pernah lupa mencerna ayat-ayat dalam Alkitab Injil yang digenggamnya di sisi tempat tidurnya. Setiap minggu beliau juga tak lupa mempelajari dan menyimak khotbah gerejani yang diperoleh dari jaringan internet. Pembawaannya agak temperamental sesuai dengan darah Madura yang diwarisinya. Tapi hatinya sangat lembut, tulus dan mudah tersentuh.

----------

Bambang Triawan

Adik ipar bu Mien ini berada di tengah keluarga kami lebih dari empat tahun. Ditinggalkannya keluarganya di Jakarta demi memperoleh penghidupan yang lebih baik untuk mencukupi biaya penddidikan kedua orang putranya yang sebaya anak-anak kami, dua orang jagoan.

Jangan terkecoh oleh kumis lebatnya dan kebiasaannya untuk tak mudah menerima perkataan orang begitu saja. Di balik kekerasan hatinya, ada jiwa yang halus dan mudah iba. Seringkali kudapati dia merogoh kantung pribadinya untuk mengambil sedikit uang pembeli ticket angkutan kota tukang-tukang kebun di kediaman kami. "Kasihan bu, mereka pulang kesorean," katanya sambil menundukkan kepala di mukaku suatu maghrib waktu angin baru reda dari kegiatannya memorak-porandakan apa saja di halaman rumah kami. Agaknya dia sangat berhati-hati takut menyinggung perasaan kami.

Dalam pekerjaannya sebagai supir pribadi keluarga kami, pak Bambang lebih menyerupai asisten pribadiku. Dia setia mengantarku berputar-putar di dalam pasar memilih-milih sayur, daging, bahkan ikan di Geylang Serai dan Tekka Market semasa di Singapura dulu. Karenanya dia mendapat predikat supir teladan dari para pedagang di pasar. Belum lagi ketelatenannya mengantar dan mendampingiku berobat di Raffles Hospital Singapura. Karenanya, banyak orang yang keliru mengira dia sebagai suamiku. Ah, ada-ada saja. Tapi suamiku hanya tersenyum menyadari kesibukannya yang padat sehingga nyaris tak punya waktu untuk mendampingiku konsultasi dan menetapkan jadwal-jadwal operasi serta treatmentku yang berangakai itu. Apa boleh buat, begitu pernah dikatakannya.

Bagi anakku, pak Bambang juga bagai pamannya sendiri. Tidak saja pak Bambang setia mengantar-jemput ke sekolah, melainkan juga setia menemaninya menyelesaikan tugas sekolah bahkan mengajaknya bermain. Pak Bambang dan Haryadi, dua lelaki yang sering saling bergandeng tangan.

-----------

Titiek Endah Sayekti Mudjianto

Sebagai seorang instruktur dansa dan senam di Dharma Wanita Persatuan di Surakarta, bu Titiek punya pembawaan yang gemulai namun tegap. Wajahnya lembut ayu keibuan dengan mata yang sedikit sayu. Kulitnya putih mulus, seperti tubuhnya yang terawat prima di usia menjelang setengah abad.

Ditinggalkannya suaminya seorang staff pada Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya bersama kedua putra-putrinya untuk menimba pengalaman di negeri yang jauh ini. Tekadnya cuma satu, menjadikan kedua buah hatinya sarjana tak seperti kedua orang tuanya.

Cinta kasih dan rasa setia kawannya yang tinggi tak diragukan lagi. Itulah sebabnya bu Titiek memilih menemani bu Mien berkelana mengabdikan diri melalui pelayanan masyarakat di luar negeri, di tempat kami sekarang ini. Bicaranya yang lembut disertai senyum yang menyejukkan memikat banyak hati padanya. Tak heran jika di dalam phone book ponselnya kutemukan berderet nama yang konon adalah kawan-kawan dan tetangganya. Bahkan aku sendiripun selalu senang berdekatan dengannya yang cenderung menjadi pendengar yang baik sekaligus teman ngobrol yang menyenangkan. Dari dirinyalah kudapatkan pelajaran tajwid untuk memperbaiki bacaan kajiku.

-----------

Eti Sumiati

Nama yang sesungguhnya sebetulnya tak kuketahui. Aku juga tak bisa mengoreknya. Sebab perempuan ini datang tiba-tiba dalam kondisi mental yang sangat menderita ke pangkuanku di suatu pagi.

Pakaiannya sangat sederhana ditutupi jilbab biru tua pada kepalanya. Matanya sayu, kosong dan selalu menunduk memainkan bola matanya di atas alas kaki yang berupa sepasang sandal murahan. Dia tak banyak cakap. Juga tak bisa banyak bercakap-cakap sesuai keinginan kami. Pribadinya seperti orang linglung.

Lalu dikemudian hari kami ketahui dia melarikan diri dari majikan kaya-rayanya yang membawanya dari Malaysia, tempat dulu dia mencari penghidupan untuk anak gadis semata wayangnya yang berumur lima tahun di desa. Semua itu dilakukannya demi menambah pemasukan keluarga membantu suaminya seorang pedagang siomay keliling di ibu kota.

Dia nyaris lupa bagaimana nikmatnya sepiring nasi. Dia hampir tak ingat lagi bagaimana televisi bisa memberikan hiburan, juga radio, tape recorder dan perangkat audio lainnya. Hidup baginya adalah kesenyapan semata dikurung kewajiban bekerja, kerja dan kerja keras.

Perempuan yang malang. Yang selalu dipersalahkan oleh permainan nasib. Permpuan yang tak punya daya untuk membela nasibnya sendiri.

-ad-

Merekalah tonggak-tonggak hidup itu. Tonggak kehidupan yang dipertemukan nasib di dalam rumah tanggaku. Yang telah mengajariku betapa nikmatnya hidup bagiku. Tanpa cacat, tanpa setitikpun kepahitan.

Pada mereka aku berkaca. Mencermati dan menghayati arti perjuangan, rasa syukur dan kebahagiaan menerima nikmat Illahi.

Bu Mien, bu Titiek dan pak Bambang menjadi rantai-rantai yang menjerat kebahagiaan Eti yang sudah porak poranda. Di hati mereka ada sumur cinta yang menyejukkan dan tak pernah kering.

Pada bu Mien, bu Titiek dan pak Bambang perempuan desa dari Majalengka itu menyerahkan dirinya, Dari sumur kasih sayang merekalah Eti bisa tegak kembali, melangkah ke depan menyusun masa depan yang lebih baik.

Sementara bagiku? Mereka jugalah sumber pelajaran hidup. Bahwa aku tak boleh merasa tak bahagia. Bahwa aku tak boleh merajuk jika Allah mengganjarku dengan sedikit rintangan sebagai teguran atas kealpaanku untuk selalu mengabdi padaNya.

Merekalah tonggak-tonggak kehidupan itu. Yang berdiri dengan tegar di bawah terpaan panas, hujan dan terpaan badai demi kelangsungan kebahagiaan keluarga mereka. Dan untuk itu aku angkat topi. Menyatakan rasa banggaku serta kekaguman yang tiada habis. Semoga Allah tak henti-hentinya memberi mereka kenikmatan yang sempurna.

(Kutuliskan semua kenangan ini dengan menaruh hormat atas jasa mereka tanpa mengesampingkan Fitriasari, gadis enerjik di pelukan ibunda Ismintarsih)


Tepian Atlantik, medio November duaribudelapan disaat gelap malam menyapaku

Jumat, 07 November 2008

SERIAL CERITA RAKYAT : "SUWIDAK LORO"

PENGANTAR : Gagasan untuk menuliskan kembali dongeng ini dalam bahasa aslinya berasal dari komunikasi saya dengan salah seorang kontak baru saya di Bandung yang memostingkan cerita "Suwidak Loro" favorite saya dalam Bahasa Inggris. Ingatan saya langsung terbang ke buaian ibu saya yang dengan lembut mendekap penuh kehangatan sambil menuturkan kisah ini dalam Bahasa Jawa.

---------

Rumahku di tengah pusat kota yang kala itu masih belum terlalu ramai, diteduhi oleh rindangnya pepohonan besar yang mengitari, Aku tidur bersama ibuku di dipan kayu jati yang kokoh dengan semacam canopy menjulur memayunginya untuk menggantungkan kelambu kami. Akhir thun 50-an nyamuk masih jadi musuh utama, menjangkitkan malaria yang menggigilkan dan sering merenggut kesadaran manusia.

Ibuku, perempuan Jawa yang santun, sederhana dan halus budi, mengepitku di ketiaknya. Melabuhkan jemarinya di anak-anak rambutku dan memperdengarkan kelembutan suaranya mengantarkanku ke mimpi indah. Dengan dongengan-dongengan klasik itu, yang sampai sekarang tak akan pernah kulupakan. Di antaranya, "Suwidak Loro".

--------

"Ing sawijining dina, jaman kina makina, ing sawijining ndesa urip Nyai Randa sing nduweni anak wedok kang ala rupane. Raine medeni wong sing nyawang, tur rambute mung ana suwidak loro ler," demikian ibuku mulai berkisah.

"Ananging, Nyai Randa eman kepatipati marang anak kinasihe iku. Saben mbengi nalikane wong-wong lagi pada turu angler, Nyai Randa mesti ngayem-ayemi anake kanti ndedonga, -Angger anakku Suwidak Loro, kowe putriku kencana katon wingka. Tak pujekno mbesuk gede kowe dadi sisihane pangeran- ngono iku tansah sing dadi tembunge saben dinane nganti isuk mruput."

"Pandonga lan pengarep-arep iku tansah diagung-agungake saben dina, njalari tangga teparone pada kesuh. Kabeh rumangsa kebrisikan lan ora bisa turu jenjem amarga suwarane Nyi Randa iku mau. Lha jeneh bocah ala rupane kok diarani ayu. Ananging Nyi Randa ora tau nganggep, saben dina ya isih pijer nembangi anake lan ngagung-agungake wae."

Aku menatap mata ibuku tak percaya. Dalam hatiku terbersit tanya, adakah benar seorang ibu sedemikian rupa tak dapat melihat keburukan anaknya sendiri? Maka kupotong perkataan ibuku dengan tanya, "Lha yen dalem, apa ya ayu tha bu?" Ibuku tersenyum geli memperlihatkan gigi gingsulnya yang manis. Diusapnya kini pipiku, "ya, kowe bocah ayu, anakku ragil." jawabnya menimbulkan binar di bola mataku yang mulai kuyu ditelan kantuk. Di sisi kiri ibuku, mbakyuku Iene tersenyum-senyum mencibir.

"Ing tembe mburi, salah sijine tangga teparo iku ana sing wadul matur marang Kanjeng Gusti, raja ing tanah iku amarga ora trima yen Nyi Randa tansah ngagung-agungake anake sing ala rupane. Miturut deweke, swarane Nyi Randa banget brisike marai ora nurokake wong liya. Kangmangka sakjane Suwidak Loro rupane malah medeni." Ibuku menarik nafasnya lalu mengembuskan dengan lembut menjalarkan kehangatan padaku.

"Saiba kagete uwong iku bareng ngerti yen Gusti Raja malah ora nggugu marang omongane lan kepengin nemoni dewe si Suwidak Loro. Sakbanjure, Gusti Raja ndawuhi Patihe marani omahe Suwidak Loro sakperlu nglamar Suwidak Loro iku kanggo didadekake mantune." Mataku mengerjap-ngerjap tak percaya. Benarkah itu? Seorang Raja yang tentu tampan serta berharta mau melihat dan melamar seorang miskin dan buruk rupa?

Ibuku yang bijaksana seakan menangkap pertanyaanku, dengan lembut dilajutkannya kisah favoriteku itu, "Ya, anak-anakku genduk angger sing ayu, temenan iku." Kata ibu sambil memandangi kami bergantian. Kakakku mulai mempermainkan ujung rambut panjang ibuku yang tergerai lepas dari sanggulnya, sementara tanganku bersembunyi di balik kutang nini ibuku. Kami sama-sama tersenyum bahagia.

"Nyai Randa disusuli nang ndesane murih bisa ngadep Patih sing arep nerusake pangendikane Gusti Raja. Tekan Kraton, Nyai Randa dingendikani yen Suwidak Loro bakal dilamar kanggo Pangeran. Saiba bungahe atine Nyai Randa. Praupane mencorong ananging suwarane gemeter, -Kanjeng Patih, sarehne anak kawula sanget ayunipun, keparenga kawula nyuwun rasukanipun ingkang badhe dipun paringaken supados anak kawula saged dandos wonten griya kemawon. Kawula setuju badhe masrahaken Suwidak Loro supados kangantenaken mbenjang enjang-" begitu tutur ibuku menirukan kata-kata Nyai Randa. Kelihatan sekali ibuku bersemangat menceritakannya.

Mataku semakin nyalang. Telingaku kupasang juga. "Sesuke, isuk-isuk mruput Suwidak Loro tuli didandani. Dipupuri lan ditapihi nganggo penganggo paringane Gusti Raja wingi iku. Ananging kowe ngertia nduk, apa sing kedadeyan? Rupane malah malik sangsaya elek amarga simboke ora pinter dandan apa maenh ndandani wong liya." Kini giliranku menarik nafas, mengangakan mulutku tak percaya. Ada rasa gelisah, karena jauh di dalam hati aku ingin Suwidak Loro bisa berubah jadi cantik. "Banjur kepiye iku bu?" tanyaku bersamaan dengan mbakyuku Iene.

Ibu melanjutkan kisahnya, "Ya ora dadi apa. Deweke dijupuke tandu tuli dilungguhake tandu ing njero kamar. Sak bubare iku lagi tandune kena diusung para punggawa kraton." Kami berdua semakin merapatkan tubuh kami kepada ibu yang sangat kami kasihi menandakan kedekatan hati kami.

"

"-Ngger anakku cah ayu, aja pisan-pisan kowe ndelok menjaba lan wani-wani mbukak tandu iki. Amarga rupamu kang ayu mung entuk disawang nang Gusti Pangeran. Yen kowe luwe nyoh kowe dak sangoni panganan kesenenganmu kanggo mbok pangan turut dalan-, kaya mangkono pituture Nyai Randa marang anake sakdurunge tandune diusung metu. Ing njaba kana tangga-teparone rumangsa ayem amarga wis ora bakal keprungu maneh suwara-suwara kudangan brisik kaya adate kae.

"Nyai Randa ora tau pedot anggoni nirakati anake. Mula Gusti Allah banget kasihe. Ing tengah ndalan, embuh seka ngendi tekane, ujug-ujug ana widadari kang tumurun sarta njenjeri Suwidak Loro ing palungguhane. -Suwidak Loro, aku teka mrene amarga anakku ing swarga ngambung ambune panganan enak seka tandumu. Deweke arep njaluk setitik wae amarga ora bisa ngempet kepenginane. Oleh apa ora?- pitakone widadari iku. Suwidak Loro ora ngolehna amarga iku sangu seka ibune. Nanging si bocah anake widadari tetep kepengin njaluk tan kena dierih-erih. Sidane Suwidak Loro gelem aweh janji si bocah gelem ngijoli raine karo raine deweke. Ndilalah raine bocah iku pancen banget ayune. Si bocah ora kabotan. Saknalika embuh kepriye carane, raine Suwidak Loro malik dadi ayu, bareng karo ngilange widadari sarta panganan sangune seka ngomah mau." Sampai disitu ibuku kembali menghentikan perkataannya dan menyunggingkan senyum, menyejukkan hati kami.

"Bareng wis tekan kraton, kabeh wong sing nyawang Suwidak Loro pada bungah atine. Amargo, saknyatane bocah iku pancen ayu rupane. Saking bungahe, Patih diutus marani ndesane Suwidak Loro kanggo menehi persen mawujud lemah kang amba tur subur. Nyai Randa uga ditimbali supaya manggon nang kraton sakbubare nekseni pesta ngantenane Suwidak Loro. Nyai Randa ndredeg ora ngira yen bakal ditimbali didawuhi manggon ana kraton. Sing ana nang njero pikirane, mengko gek tekan kraton arep dikunjara amarga ngapusi marang Kanjeng Gusti Raja. Nanging saiba kagete bareng deweke weruh si nganten putri dudu anake dewe. Sing lungguh ana kursi temanten wong liya sing ayune banget. Bareng karo kahanan iku, Suwidak Loro marani biyunge tuli sungkem lan crita kahanan sing dialami nalika ing tengah ndalan. Kabeh sing nekseni pada melu bungah, uga merkabak ngelingi katresnan kang wis ditandur Nyai Randa marang anake."

"Mangkono iku kisahe dongengan Suwidak Loro, saiki wis pada turua," ucap ibuku seraya menutupkan selimut ke atas tubuh kami, Di luar sana suara para peronda malam di Pos Hansip kampung kami mulai terdengar, selagi bapakku bersiap-siap keluar rumah membawa Radio Transistor Philipsnya sebagai peneman mereka meronda malam. Sethermos kopi telah disiapkan dari dapur kami disertai pisang kepok kukus yang baru kami panen tadi siang. Kemudian suara mereka menghilang pelan-pelan terhapus oleh guratan mimpi di dalam tidurku. Selagi mereka sendiri menghabiskan waktu sambil bermain halma diselingi ronda keliling kampung. Hari makin larut saja.

 

 

 

 

 

Minggu, 02 November 2008

EROPA BARAT DI SUATU SAAT




Mempunyai anak-anak kecil berarti mempunyai kesempatan bersenang-senang di Taman Hiburan. Liburan musim panas suamiku selalu dihabiskannya bersama anak-anak kami berkeliling Eropa.

Dalam persinggahan kami ke Jerman yang pada waktu itu belum lama bersatu, serta ke Swiss, Denmark dan Belanda, kami menyempatkan diri merekam kenang-kenangan ini. Sebagian kami ambil di Europa Park, Jerman, sebagian lagi di Legoland, Denmark, sebagian lagi di Taman Kota dekat Lac Le-man Jenewa, Swiss dan di museum Madam Tussaud, Amsterdam, Negeri Belanda.

Anakku si dokumentator keluarga, berhasil menemukannya kembali di berkas-berkas tua di gudang rumah kami.

Sabtu, 01 November 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU X

Ibu muda itu seharian mengurung diri dalam kamar, setelah kemarin sama sekali tak tidur barang sejenak pun. Matanya menatap kosong ke kejauhan yang tak berbatas. Mulutnya rapat, tapi biji-biji tasbih lengket dalam genggamannya,

Aku ingat peristiwa serupa. Awal 2003 ketika Andriku kecewa atas keputusan kami memulangkannya ke Indonesia selagi sekolahnya di kelas 2 SMP belum tuntas.

Aku dan bapaknya memilih mencarikan sekolah di tanah air sekali pun dengan konsekuensi di luar kota, jauh dari rumah atau uang sekolahnya tinggi. Kami khawatir suatu hari nanti petugas imigrasi dan polisi merazia identitas penduduk asing dan mendapatkan kartu izin tinggal kami yang sudah kadaluwarsa. Kejadian itu pernah terbawa dalam mimpiku.

Rasanya siang itu akhir pekan. Anakku ada di rumah sedang menonton televisi ketika bell pintu dibunyikan orang. Dia menyambutnya di depan untuk menyapa tetamu yang datang. Seorang lelaki tegap berpakaian seragam.

Kudengar dari dalam dia menanyakan aku dan mau memeriksa ijin tinggal kami. Seketika wajahku pucat pasi. Kurasakan getaran kakiku yang menggoyahkan semangat, sehingga aku buru-buru menguak gordijn jendela lalu bersembunyi di sudutnya. "Ibu saya tidak ada di rumah," kudengar jawab anakku dalam Bahasa Perancis yang fasih. "Surat ijin tinggal kami ada pada ibuku," katanya tenang.

Kudengar lelaki itu mendebat. Dan rasanya tirai di tempatku mengurung diri masih tembus pandang. Lelaki itu menyapukan matanya ke seluruh ruang mencari-cari aku. Kutahan nafas serta kegelisahan yang sangat. Aku hampir terjatuh terduduk. Keringat dingin membanjiri badanku membawa selapis bajuku lekat ke kulit.

Tiba-tiba semuanya menjadi terang. Andri mengguncang-guncang tubuhku sambil melap keringat dingin yang tiba-tiba juga sudah singgah di diriku di atas sofa bed di muka televisi studio apartement sewaan kami di Montald Avenue. "Ibu kenapa?" tanyanya cemas? "Sakit sekali?" kudengar getaran di pita suaranya yang gelisah.

Aku menggeleng. Meneguk ludahku menuntaskan kecemasanku yang baru lalu di alam mimpi. Jam menunjukkan pukul enam sore. CNN masih menayangkan berita yang itu ke itu juga di layar kaca situ. "Ibu mimpi, rasanya Gendarmerie mendatangi kita dengan pejabat imigrasi mas," jawabku lesu.

Aku bangkit mencuci muka lalu menyiapkan makan malam kami. Di saat itu aku memutuskan untuk membuka pembicaraan soal masa depan kami.

"Kita pulang saja ya nak," kataku memecah sunyi diantara kunyahan-kunyahan sayur selada air dan ayam bumbu rujak serta lodeh asal jadi kegemaran anakku. Muka itu tengadah menatapku dengan bulatannya yang dibesar-besarkan. Dia menghentikan kunyahanannya, Mulut itu mengerut menciptakan suasana permusuhan lagi.

"Ibu dan bapak benar-benar tidak sayang padaku dan ingin menghancurkan diriku," ucapnya. Ada jerit kegetiran di situ. Pada mulutnya yang memberengut dan matanya yang nampak marah.

"Bukan begitu cintaku," begitu sambutku sambil menatapnya juga. Kusandarkan sendok di tepian piring. "Izin tinggal kita di sini tidak resmi, tidak ada, ibu tidak tenang sekarang." Kutatap wajahnya, Ada air menggantung di tepian mata, dia menangis.

Lalu malam itu kembali jadi malam permusuhan. Dia merebahkan diri di sofa, dan baru berpindah ketika aku menggusurnya paksa serta menyelimutinya ketika punggung itu memunggungiku. Agaknya semalaman dia masih menyimpan amarahnya padaku, lebih tepat kekecewaan pada jalannya nasib kami. Pagi harinya dia berangkat sekolah dengan raut muka mendung seperti cuaca pagi musim winter.

Aku terus bertukar SMS dengan suamiku seharian, sampai malamnya kuterima pemberitahuan bahwa Lycee Francais di Jakarta bersedia menampungnya dan mengharapkan dia cepat kembali untuk ikut test penempatan kelas. Bahkan daftar-daftar buku pun dikirm suamiku satu-satu lewat beberapa kali SMS untuk mencegah kekeliruan informasi.

"Mas, kata bapak kau diterima di Lycee France Jakarta, dan besok kita diminta mencari buku pelajaran untukmu," kataku di atas kasur. Kusampaikan rincian pembicaraan ayahnya dengan pihak sekolah Perancis di Jakarta itu.

Anakku terpaksa setuju juga pada akhirnya. Kami berangkat bersama sepulang sekolah menyusuri kota mencari toko buku yang menyediakan buku-buku pelajaran dari negara Perancis. Harganya tidak murah, tapi aku tak peduli lagi. Kami memesannya untuk diambil minggu depan, selagi kami menyelesaikan administrasi persekolahan baik di sekolah anakku maupun di Lycee Francais Brussels serta di KBRI.

Kemarahan itu tidak hilang sepenuhnya. Terlebih-lebih ketika dia tahu beberapa pelajaran sekolah Perancis jelas berbeda dengan pelajaran SMP Belgia. Terutama pelajaran kimia itu serta semacam pendidikan moral Perancis.

Thalasa dan pangsit goreng sudah tak ada artinya lagi. Anakku jadi apatis dan mengurung diri di dalam jiwanya sendiri. Setiap pagi dia masih berangkat ke sekolah selagi urusan kami belum selesai dan ticket kiriman ayahnya belum sampai di tangan. Tapi berangkat yang nyaris tanpa semangat lagi. Aku menangis dalam hati, untuknya permata hatiku yang terluka karena nasib.

Sore itu aku harus ke kantor berlatih kulintang dan menyanyi karena Ibu Duta Besar ingin membuat acara perpisahanku dengan orang-orang tua penghuni panti wreda yang biasa kami kunjungi. Kebetulan aku dijadikan band leader serta penyanyi untuk acara-acara dinas, sehingga dijadwalkan aku mengisi acara minum teh sore penghuni panti untuk yang terakhir kalinya sebelum aku pulang, sekalian berpamitan kepada mereka.

Anakku masuk rumah sudah menjelang pukul lima, lebih lambat dari biasanya. Kuduga mungkin dia sengaja ingin melupakan kepahitannya dengan berjalan-jalan bersama teman-temannya yang walaupun tidak seberapa banyak tetapi adalah teman-teman akrab yang dipilihnya dengan hati-hati termasuk beberapa temannya sejak SD.

Dengan gelisah kutunggu anakku di muka pintu. Terlambat bukanlah kebiasaanku, terlebih-lebih jika ada seniorku menunggu. Rasanya aku sudah hampir meluap begitu melihat dia naik ke dalam rumah menggendong tasnya yang berat dan folder-folder tebal di tangannya dengan santai. "Ibu mau ke mana?" hanya itu tanyanya sebelum kami berpisahan lagi.

-ad-

Dik Selly salah satu temanku menawari pulang dengan mobil suaminya yang disupiri oleh salah seorang staff suaminya selepas maghrib itu. Aku menolak dengan halus. Kukatakan aku masih harus mampir ke suatu tempat mencari sesuatu. Padahal sesungguhnya aku hanya ingin menyendiri menenangkan batinku karena sesore ini latihanku tak kunjung mulus seperti terbawa suasana hatiku yang galau.

Selly membukakan pintu untukku dan mendudukkanku di belakang selagi dia menjejeriku. Dia seakan-akan tahu apa yang kurasakan. "Mbak, dilemma betul ya mbak mengikuti kata anakmu atau suami?" terkanya sambil menatapku. Aku tersenyum padanya. "Begitulah hidup kita sebagai keluarga diplomat, jeng," jawabku. Sepanjang jalan yang memang tak jauh itu kami akhirnya hanya saling membisu sampai aku diturunkan di muka apartemen sewaan kami yang sudah mulai sepi.

Sepuluh menit lamanya aku berdiri dalam dingin di luar pintu. Anakku tak merespons bell yang kutekan berkali-kali sampai penyewa apartemen di lantai dasar keluar secara kebetulan karena hendak menutup gerai kecantikannya sebab sudah malam.

Aku minta izin masuk membawa kegelisahan yang sangat. Aku khawatir Andriku sakit dan pingsan di dalam kamar sana. Sejak kecil dia memang lemah dan rentan terserang asma.

Kakiku terasa lemah menyangga tubuhku naik ke lantai tiga. Lorong yang temaram lagi sunyi menambah kegelisahanku. Kuraih pintu studio kami dengan cepat. Kuguncang-guncang tangkainya. Kuteriakkan namanya sambil menggedornya terus-menerus. Tak kering bibirku menyeru namanya sekalipun aku tahu kegaduhanku akan mendatangkan kemarahan penghuni lain.

Hanya senyap semata. Kini aku yang mulai merasakan gejolak itu. Tenggorokanku kering, dadaku tersumbat. Aku mulai terbatuk-batuk dengan keringat dingin merembes di kulitku mengalahkan dinginnya winter di bagian utara bumi. Kuraih tas tanganku mencari inhaler asmaku, yang kebetulan tak ada di sana. Aku lupa membawanya dari wastafel kamar mandi tadi sore.

Butuh hampir setengah jam untuk dapat melihat sendiri anak kecintaanku yang berdiri separuh memejam dengan gurat-gurat bekas tidur di pipinya. Kupeluk dirinya seraya menghambur ke dalam. "Kau sehat?' tanyaku pertama kali sebelum menghambur ke kamar mandi menghirup serbuk kesayanganku penyelamat jiwa.

Muka lesu itu mengangguk menggarami suasana yang hambar. "Ya, kenapa?' dia balik bertanya. Kurasakan deru nafasku mulai melambat.

"Cintaku, mas, ibu menunggumu membukakan pintu hampir setengah jam tadi," jelasku sambil langsung menyiapkan makan malam kami, Jam wekker di atas televisi menyatakan hari hampir pukul setengah sembilan malam. Aku tersenyum senang sekaligus getir, melupakan kepanikanku di muka pintu tadi.

Begitulah seorang ibu, anak-anak adalah prioritas utama sebagai pertanggungjawaban kepada ayah mereka yang telah mengizinkan kami menjadi pabrik bagi junior-junior mereka.

Di hadapanku Andri berdiri mengangkuti peralatan makan selagi aku menghangatkan menu di dapur. "Kenapa?' tanyanya polos. Di dalam hati aku mengutukinya, mengapa dia begitu dangkal menangkap kegelisahan dan cinta kasihku.

Aku tidak menjawab. Kuselesaikan tugasku sampai tiba saatnya kami makan bersama. Seperti hari-hari yang lalu ketika kami masih kumpul berempat. Aku mulai menjawab pertanyaan sederhananya tadi dan dia menyimak penuh. Terasa betapa kami betul-betul menjadi makhluk yang sudah hanyut dalam pikiran dan perasaan masing-masing.

"Jadi aku bersalah?' tanyanya tanpa dosa. Aku terdiam tak menjawab. "Bukan salah siapa-siapa mas, ini salah nasib kita. Permainan nasib, maksud ibu,' jawabku santai mengakhiri makan malam kami selagi semangkuk yoghurt strawberry yang lembut masuk ke mulutku menghilangkan kepahitan. Andri di hadapanku, mempermainkan sendok di tangannya yang nyaris menyendoki pudding coklat yang tak jadi-jadi juga disantapnya.

Episode itu kini seperti membayang kembali saat aku menyaksikan ibu muda asuhanku seperti diriku dulu, terpuruk dalam galau, resah dan kebingungan tanpa tepian. Kututup kembali pintu kamarnya sehabis kusunggingkan senyum dan kuelus pundaknya. "Teruskan berzikir dan istighfar ya teh, Allah akan menolongmu segera," pesanku padanya.

Kamis, 30 Oktober 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU IX

Perempuan desa yang terlempar oleh nasibnya ke dalam genggamanku tentulah perempuan yang mempunyai perasaan yang sama dengan diriku. Tak pernah membayangkan akan sampai disini, di belahan bumi yang lain yang namanyapun belum terekam di otaknya dengan baik.

Perempuan itu sama denganku yang hanya pernah berencana sampai ke negara tetangga di ujung mata. Di belakangnya sana ada buah hatinya yang mengharapkan sering berjumpa, setidak-tidaknya berkirim kabar. Anak yang dikasihi serta suaminya di kampung halaman, penahan langkahnya untuk mengarungi angkasa luas yang jaraknya tak lagi terbilang.

Akupun punya Andri yang dulu melepasku ke Singapura tanpa pernah tahu bahwa perjalanan karier ayahnya akan menembus Republik Afrika Selatan ini. Ketika kami berpisahan empat tahun lalu, dia menegarkan diri untuk menjaga rumah sekaligus mencoba mencari peruntungannya sendiri terlepas dari kami. "Aku adalah tuan untuk diriku sendiri. Aku menetapkan bahwa Bogorlah tempatku yang sesungguhnya. Tapi ibu jangan khawatir, aku akan tetap bersama ibu dalam seluruh doa dan usahaku," katanya memberi alasan sebelum aku mengangguk mengerti menyetujui keinginannya untuk ditinggal.

Berbeda dengan Andri, Harry justru ingin tetap bersama kami sekalipun kepindahan kami ke Singapura adalah dua bulan menjelang kenaikan kelas.

Air muka itu begitu muram ketika Garuda Indonesia selesai menimbang bagasi kami. Digenggamnya tanganku erat-erat. Disandarkannya kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu ke dadaku. "Aku pasti kangen ibu," rengek anak bungsuku,

Andri menariknya menjauh dan membisikkan sesuatu. Di dekapnya tubuh yang jauh lebih tinggi darinya itu. Sekalipun berperawakan lebih kecil, tapi jiwa anakku tak kerdil. "Adik, ingat. Dua bulan lagi kau pasti berkumpul bersama bapak-ibu," kudengar dia meneteramkan adiknya. Tangan itu mengusap lembut pipi si bungsu. "Kita hadapi semuanya bersama. Aku ada disisimu dan akulah yang bertanggungjawab atas semuabya, atas dirimu juga," katanya lagi menyolok mataku menimbulkan rasa pedih disana. Serpihan permata jernih menggantung pada pelupukku siap membasahi pipiku sendiri. Kugigit bibirku pengunci haru.

-ad-

Andriku menjadi dewasa karena ditempa keadaan. Dia terpaksa memutus sekolahnya di kelas 2 SMP jurusan Latin yang diraihnya dengan susah payah di "Athenee Royal Cromelynx", Brussel, Belgia pada awal tahun 2002. Suamiku kembali ke Indonesia tidak pada akhir tahun ajaran.

Andriku menangis keras. Dia mengutuki perjalanan karier ayahnya, Dia menyalahkan kami yang telah keliru memilih jalan hidup. Maksudnya jalan hidup yang berbeda dari keinginannya.

-ad-

Ketika dia tengah menikmati kebahagiaannya di kelas Latin yang membutuhkan perjuangan, kami merasa berdosa memaksanya pulang. Ayahnya mengupayakan segala cara agar dia dapat tinggal sementara hingga kenaikan kelas di Belgia sementara aku juga terus melanjutkan pengobatanku yang baru dimulai.

Harry memilih ikut pulang. Karena itu kami pindah menyewa sebuah studio untuk kami berdua tak jauh dari kantor suamiku di Belgia. Andri pergi-pulang sebagaimana dulu dengan menumpang angkutan kota.

Di kamar kami yang tak seberapa besarnya itu aku menghabiskan waktu sendiri, Sekali-kali aku masih menjalani rutinitasku di Dharma Wanita Persatuan atas kehendak Ibu Duta Besar sebagai Penasehat organisasi kami. Berlatih kulintang dan menjaga serta mengawasi Kantin Pegawai yang entah mengapa sejak dulu dibebankan kepadaku, menjadi pengisi waktu luangku.

Bersama Andri kuhabiskan senja hari di muka pesawat televisi sambil menyantap pangsit goreng yang kami beli di toko. Tayangan favoritenya adalah "Thalasa" sebuah programa tentang alam laut dan sekitarnya, "Enak ya bu pangsitnya," katanya selalu sambil mencocol sambal dari piring keci berbentuk ikan yang kami temukan di sebuah toko di dekat studio apartemen kami. 'Seperti buatan ibu biasanya," sambungnya lagi sambil terus mengunyah. Kentara sekali bahwa dia sedang mencoba mengusir gelisah hatinya atas status ijin tinggal kami yang tidak pasti. Pangsit berisi kepiting, udang dan rebung itu habis dikunyahnya tanpa jeda.

Aku mengangguk sambil ikut makan dari piringnya, sepiring berdua. "Ibu susah membuat sendiri sekarang, peralatan dapur ibu tak memadai," kataku berkilah. "Ya, nggak 'pa'pa, yang penting enak," jawabnya lagi sambil merapat ke tubuhku. Matanya kelihatan menatap televisi dengan pandangan kosong. Bagaikan hanya ingin merasakan kesejukan samudera biru di layar sana.

Lain kali dia melabuhkan channel televisi kami ke stasiun Perancis yang menayangkan hiburan cabaret. Perhatiannya sangat besar bahkan kadang-kadang memaksaku untuk ikut menyimak bersamanya. Mulut itu turut menyenandungkan lagu dalam cabaret selagi matanya menatap layar tak berkedip.

-ad-

Kebersamaan kami semakin erat jadinya, hingga suatu hari dia menarik diri dariku. Tidur menjauh memisahkan diri di sofa waktu aku melontarkan kegalauanku soal ijin tinggal kami. "Bapak telah menemukan sekolah yang bisa menampungmu mas," kataku membuka pembicaraan. "Sekolah apa?" tanyanya tak mengerti benar. Bola matanya bulat mengarah padaku.

"Ada Sekolah Perancis di Jakarta yang bisa menampungmu andaikata kita pulang sekarang," jelasku hati-hati. "Pulang sekarang?" tanyanya tak percaya dengan mata terbelalak menghunjamku.

Aku mengangguk. "Ya, kau tahu kita tidak punya ijin tinggal yang resmi sekarang ini. Dan ini akan membahayakan kita sendiri,' ungkapku mencoba menjelaskan.

Dia menjauhkan mukanya dan memandangku tak mengerti. "Bukankah dulu bapak bilang kita bisa tinggal disini sampai kenaikan kelas empat bulan lagi? Bahkan bapak pernah menawariku menyelesaikan SMP disini?" tanyanya tak percaya.

Kembali aku mengangguk. Menelan ludahku sendiri adalah salah satu upaya mengusir kegalauanku juga. Lalu serentetan tanya-jawab yang lebih berupa penjelasan dariku mengalir tanpa henti.

Malam itu jadi malam pertama ketegangan kami. Dia tak lagi mempercayai kami orang tuanya, serta aku tak bisa lagi membuka mata hatinya. Dalam keadaan demikian kami seperti hidup dalam sepi. Bersama-sama tapi nyaris tanpa suara. Dia tenggelam dalam pelajaran atau kebisuannya di muka televisi. Dan aku juga dalam bacaanku serta kerajinan tangan yang kucoba untuk kukerjakan sekedar penghalau sepi, tapi tak pernah selesai.

Malam-malam dan hari-hari berikutnya adalah pertengkaran sengit yang sering membuahkan air mata dan permusuhan pada diri anakku. Sementara itu sakit pada kandunganku justru terasa semakin menghunjam menenggelamkan aku di atas kasur yang kutiduri bersamanya. Aku pada punggungnya, dan dia pada punggungku.

-ad-

Begitulah kiranya perempuan yang sekarang dalam dekapan keluargaku ini. Sama galaunya menahan segala perasaan seperti diriku dulu. Di hatinya ada kecewa dan rindu yang berbaur menjadi kesedihan.

Maka setiap kali aku berpapasan dengannya dan melihatnya kusut masai, ingatanku terlempar selalu kepada Andriku. Juga pada kenanganku bersamanya, di suatu masa di awal tahun 2002. Masa yang sudah selayaknya jadi kenangan bagi kami, sebab Andriku kini tak akan pernah lagi mau mengalaminya. Namun dia tetap ada disini, di hatiku selalu.

Rabu, 29 Oktober 2008

DI HALAMAN MUSEUM HUGUENOT DI AFRIKA SELATAN




Bangsa Republik Afrika Selatan layaknya pelangi. Ada yang berwarana ada yang putih. Bangsa kulit putih berasal dari Eropa. Kulit berwarna selain merupakan orang-orang asli/lokal, juga datang dari Asia. Selain itu tentu ada juga bangsa kulit hitam.

Dari Eropa orang-orang Perancis yang disebut sebagai bangsa Huguenot, yaitu pengikut Gereja Protestan yang mereforamsi Gereja Katholik- berpindahan ke berbagai negara termasuk ke Afrika Selatan. Pada tanggal 31 Desember 1687 sejumlah besar pengungsi Perancis yang terdiri dari keluarga Huguenots berlayar ke Tanjung Harapan, menyusul saudara-saudaranya yang sudah lebih dulu datang satu-presatu mulai tahun 1671.

Mereka kemudian menetap di kota Franschoek kira-kira 60 Km di barat laut Cape Town dan beranak-pinak sebagai pengusaha minuman anggur nomor satu di dunia. Sayang bahasa dan budaya Perancis mereka tergerus oleh VOC yang mengharuskan penggunaan Bahasa Belanda di dalam kehidupan sehari-hari, hingga sekarang mereka hanya bercakap-cakap dalam bahasa Afrikaans, turunan Bahasa Belanda.

Selagi mengambil gambar di luar museum tidak dilarang, berikut ini keluarga kami memotretnya untuk kenang-kenangan.

Selasa, 28 Oktober 2008

KIRIMAN DARI ANAKKU DI KAMPUNG




Tak semua anak kami bisa berkumpul menghabiskan Ramadhan dan Idul Fitri di tempat kami. Terasa begitu rindu kami pada mereka.

Hidangan Ramadhan dan Idul Fitri yang senantiasa sedap di meja makan keluarga kami menimbulkan kepedihan di hati, sebab mereka tak turut menikmatinya. Namun Andri dan Diana mengatakan mereka akan menghabiskan Idul Fitri di Bandung berkumpul bersama keluarga kakakku. Aku hanya bisa mengiyakan tanpa daya untuk memaksanya kemari. "Hiburlah diri kalian selagi jauh dari kami," pesanku. Mereka menyikapinya dengan berwisata ke Kawah Putih di daerah Bandung Selatan yang konon bukan di puncak gunung, melainkan di lahan datar sehingga kesannya menyerupai danau.

Inilah foto-foto mereka yang dikirimkan kepada kami sebagai pengobat rindu. Insya Allah kami kelak akan minta diantarkan juga kesana, agar dapat turut menikmati keceriaan mereka di alam terbuka yang konon masih indah dan asri.

Jumat, 24 Oktober 2008

BALLADA PEREMPUAN DESA YANG TERLEMPAR

Perempuan muda itu menangis. Tidak di pelukanku. Tidak juga pada siapa-siapa. Dia menangis sendiri, di dadanya yang sesak.

Umurnya belum lagi duapuluhlima tahun. Menurut pengakuannya masih kurang setahun. Tapi dia sudah bersuami dan beranak perempuan lima tahun. Anak yang tak pernah dituntunnya, apalagi dibelainya.

Perempuan itu datang kepadaku di suatu pagi. Ketika embun baru saja menuntaskan tuagsnya. Dan burung-burung malam terbang pulang ke sarang.

Wajahnya pasi, tak bergairah dan mendung. Seperti gugusan mega kelabu di kejauhan angkasa sana. Siap menumpahkan hujan air mata diselingi getaran halilintar yang menyalak malu-malu. Lalu bibir itu bergetar menumpahkan gundahnya. Di suatu pagi belaka.

-ad-

Dia tak tahu harus bilang apa. Sebab tak ada apa-apa yang terjadi padanya.

Kakinya yang kekar sampai di tanah perantauan ini menumpang tunggangan orang. Atas nama nasib dan kehendaknya sendiri.

Semula ditinggalkannya hamparan sawah serta bubur lumpur ke negeri tetangga semata. Demi rasa ingin tahunya dan harapan akan seringgit-dua ringgit dalam genggaman,

Ditinggalkannya kebahagiaan yang seharusnya ada di sisi lelaki piihannya. Seorang kesatria jantan yang meleburkan diri dalam pengapnya kebisingan Jakarta.

Disishkannya biji matanya tanpa kenal iba, demi menggapai keinginannya hidup lebih layak.

Perempuan itu hanya satu di antara banyak perempuan tak berdaya. Laskar pejuang yang hanya kenal bambu runcing. Tanpa sepatah kata bahasa penjajah yang akan dihadapinya di medan perjuangan kelak. Perempuan yang terlalu sederhana.

-ad-

Dia meratap tanpa mengerti apa yang diratapkannya. Dia ketakutan tanpa tahu apa yang ditakutinya. Dia membisu tanpa memahami mengapa dia harus membisu. Semua hanya kegalauan semata. Dan dia tak tahu apa makna kegalauannya.

Tidak juga kami, ketika dia merebahkan dirinya di pelukanku. Kuraih kepalanya, kucari wajahnya, kususuri segala lekuk likunya, gurat-gurat pembuluh darah disitu.

Mata itu begitu dangkal. Garis mulut itu nyaris mengerucut. Menuju kesatu titik, sudut kesepian.

Kususuri setiap helai rambutnya, yang menyembul kusut masai di balik kerudung gelapnya. Kuurai dan kusisiri dengan jemariku disertai lantunan lagu dari dalam lubuk hatiku. Dendang seorang ibu yang menimang anaknya, mengharap mereka tenteram bersama irama gita yang lembut. Ave Maria! Perempuan itu sumber cinta kasih. Dimana buaian adalah kedua tangan halusnya.

-ad-

Lalu perempuan desa itu menumpahkan semua bebannya. Mencari penawar disetiap bujuk rayuku. Mencoba mengerti arti kini dan kesehariannya.

Mata itu terpejam. Kemudian membiarkan bola-bola matanya lari sendiri. Kesegala arah yang kutunjukkan. Juga mindanya mengunyah, menggigiti kata-kataku. Yang mengalir satu arah. Sama gencarnya dengan derai sungai di musim penghujan yang digelontorkan alam dari hilirnya di pegunungan sana.

Terkuak sudah pintu jeruji yang selalu dielusnya dalam sapuan kain basah air mata kerinduan. Nafaskupun mulai teratur mendengkur bersama diriku yang terbaring tidur. Mendekapnya. Perempuan desa yang tak berdaya. Serta menghembuskan nafas lembut kehidupan. Dunia jadi tenang, namun tak temaram. Kerjap bintang di langit sana ada mencurahkan sinarnya meski hanya sepercik. Menebar senyum, bersama rembulan yang mengangguk-angguk keletah.

-ad-

Perempuan itu melanjutkan jalannya. Di sisiku belaka. Dengan kepala separuh tengadah, meski sigap menangkap kerikil dan bebatuan yang mneyerak tak beraturan di bumi Allah.

Tapi, manusia tetaplah budak nafsu jua. Walau tak kering mulut bertasbih jiwa melambungkan doa. Jika tak kuat biduk dikayuh, tak cukup baik dia dibangun, maka karang di lautan siap menahan. Memurukkannya ke pusaran sepi dan kebimbangan.

Maka tak ada cerita lain. Selain kulepas dia dari genggamanku. Perempuan desa sederhana itu. Yang seperti pohon sengon di pinggir tegalan di kampung kakekku. Menjemput semua kemauannya yang diaturnya sendiri.

Kututup pintu hatiku. Kukunci pintu rumahku. Tanpa kehalusan tanganku yang dulu pernah kupakai membukanya untuk menyambut si perempuan desa.

Disana, di kejauhan, di luar pagar rumahku, tak dalam bentangan tanganku, perempuan itu berjalan seorang diri. Mengikuti nafsunya, meninggalkanku. Entah kemana, ke arah yang tak terbaca sebab dia adalah dirinya yang papa.

Selamat jalan perempuan desa, yang terlempar bersama putaran nasib. Dan tak hendak kuentaskan. Jemputlah dirimu di terminal impianmu sesaat. Yang tak jelas menjanjikan apa-apa untuk masa depanmu. Sampai jumpa, seandainya takdir kita mengarah ke satu titik yang sama, pertemuan dan petemuan berikutnya. Tetapi mungkinkah itu?

(KISAH SUMIATI PEREMPUAN PRIANGAN YANG TERHANYUTKAN NAFSU)

Bishopscourt, awal musim panas 2008.

Pita Pink