Powered By Blogger

Selasa, 03 Desember 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (143)

Hore!! Saya mulai normal lagi. Kaki saya yang beberapa waktu terakhir ini terasa lemah kini bisa menapak dan melangkah dengan lebih sempurna. Bahkan saya sanggup mandi sendiri lagi nyaris tanpa bantuan anak-anak meski saya tetap memerlukan bangku untuk duduk. Pasalnya saya tidak sanggup berdiri lama.

Meski saya gembira atas keadaan saya, tetapi sesungguhnya itu kegembiraan semu belaka. Sebab artinya efek samping obat kemoterapi saya sudah habis. Dan untuk mencapai kesembuhan sempurna saya, maka saya sudah mendesak harus dikemoterapi lagi. Sialnya persoalan pendanaannya masih terus saja menggantung sehingga obat kemoterapi yang saya butuhkan belum terbeli. Pil pahit ini jadi ganjalan di pikiran saya.

Dalam pada itu menjelang tidur semalam onkologis saya akhirnya menjawab SMS laporan saya soal ketidak tegasan pemberian bantuan dari DKK untuk saya. Beliau pun kebingungan juga, sebab obat termurah yang minggu lalu disetujui, kini justru ditolak dengan alasan yang tak jelas. Padahal kata petugas di counter Jamkesda kemarin, obat-obat yang ada di dalam Daftar Perincian Harga Obat (DPHO) yang dipegang pihak RS pasti didanai tanpa harus minta persetujuan DKK lagi. Untuk mengatasi masalah ketidak wajaran ini, untungnya onkologis saya menyatakan bersedia dihubungi dengan telepon untuk berdiskusi langsung dengan pejabat DKK sepanjang beliau belum mulai bertugas di Ruang Bedah. Sebab seperti biasanya, hari Selasa dan Kamis beliau dijadwalkan membedah pasien, terutama bedah besar. Sungguh beruntungnya saya diambil menjadi pasien beliau seperti keinginan tetangga-tetangga kami yang sangat mempercayainya.

Kanker memang menyakitkan dan menyulitkan. Itu sebabnya saya amat menghargai segala saran yang masuk untuk menjaga kondisi saya. Seperti yang diberikan bu Puri kenalan baru saya yang suaminya menderita kanker di bagian ususnya. Menurut bacaan-bacaan yang diperolehnya, pasien kanker tak boleh mengonsumsi tauge karena dia mengandung zat yang mendorong pertumbuhan sel kanker. Selanjutnya jika sedang diobati, dilarang makan kangkung sebab dia mengurangi efektivitas kerja obat. 

Suami bu Puri, menurut pengakuannya sudah mulai bosan dengan makanan yang itu-itu saja. Apalagi sawi putih dan cabai pun dilarang. Padahal orang Indonesia selalu beranggapan makanan tanpa cabai akan terasa hambar.

Istri yang kelihatan amat berbakti kepada suaminya ini kemudian mengatakan, tak sembarang buah bisa dikonsumsi penderita kanker. Menurut pengetahuannya duku, durian, nangka, nenas, kelengkeng dan anggur termasuk yang harus dihindari. Saya tersenyum kecut karena meski durian tak begitu saya sukai tetapi selebihnya termasuk buah kesukaan saya. Apalagi anggur nyaris selalu ada di keranjang buah oleh-oleh para kerabat yang rajin bergantian menjenguk saya. Ah, apa boleh buat. Meski lezat tetapi harus saya tinggalkan demi kesehatan saya sendiri.

***

Pagi ini di bawah naungan mendung yang sejak kemarin tak menurunkan hujan setitik pun, anak saya berangkat kembali ke DKK guna menyelesaikan kasus permohonan obat saya. Hingga hujan lebat mengguyur bumi dia belum juga pulang. Padahal sudah hampir pukul 13.00. Tapi ada berita yang melegakan yang disampaikannya sambil berjalan keluar gedung kantor DKK pukul 10.40 tadi. Obat-obat kemoterapi saya dikabulkan dua macam. Ini disertai penjelasan yang melegakan meski kami tetap harus mendanai sebagian obat lainnya secara pribadi. Soalnya seperti yang sudah saya duga pemerintah dikerubuti masyarakat banyak sekali yang juga sama-sama butuh dana Jamkesda seperti saya.

Anak saya akhirnya berhasil menghadap ibu pejabat Kepala Seksi Jamkesda yang berpendidikan kedokteran gigi. Dokter gigi yang wajahnya bak pinang dibelah dua dua dengan sahabat saya sewaktu remaja ini sebetulnya berpembawaan ramah. Jadi mengobrol dengan beliau pun nyaman seperti yang pernah saya alami bulan lalu sewaktu saya datang menghadap sendiri. Waktu itu beliau meminta saya menunggu beliau tersambung dengan pihak RS atau dokter saya. Caranya menyampaikan itu sangat simpatik, tak terkesan menyepelekan. Sayang dokter saya tentu saja tak bisa dihubungi karena sedang mengoperasi pasien. Tapi dengan simpatik beliau memutuskan sendiri demi melihat kondisi saya yang betul-betul sakit.

Hari ini cerita anak saya, beliau menjelaskan panjang lebar. Rupanya kemarin telah terjadi kesalah pahaman disebabkan kerancuan atau kebingungan beliau sendiri. 

Penyebabnya kertas resep yang ditulis ulang dokter saya. Obat yang sudah digantinya menurut saran apoteker RS masih ditulis pihak RS dengan menyebutkan juga nama dagangnya. Sebetulnya itu obat kualitas kedua, bukan obat mahal yang dikehendaki dokter saya. Nama generik obat ini adalah Paclitaxel, tetapi di sampingnya apoteker menulis nama dagang di belakang tulisan dokter saya. Akibatnya bu dokter gigi yang barangkali saja pengetahuan umum mengenai obat agak kurang luas, merujuk permintaan dokter saya dengan melihat nama dagangnya. Konon di dalam daftar beliau harganya mahal, tidak sama dengan rincian dari apotek RS. Jadi, saya hanya bisa dibelikan obat itu saja dengan menggugurkan obat satunya lagi yang minggu lalu sudah disepakati. Meski melanggar kesepakatan, tetapi baginya itu lebih adil sebab dana Jamkesda di kota kami tidak besar serta harus dibagi-bagi dengan banyak pengguna lainnya. 

Ah ya, soal dana Jamkesda kota kami yang relatif sangat kecil itu jelas sudah kami pahami. Itulah sebabnya sesekali saya datang berobat di RS dengan dana pribadi, antara lain pemberian dokter saya sehingga pernah diprotes pihak manajemen RS. Padahal kalau dicermati, sebetulnya kami justru tak memberatkan mereka. Aneh tapi nyata.

Menurut penjelasan yang diterima anak saya, karena kebingungan menetapkan nama obat, maka beliau memutuskan sendiri memberikan obat dengan nama dagangnya yang harganya mahal. Padahal maksud apoteker RS, nama dagang itu hanya untuk memperjelas jenis obat yang diminta saja. Itu sebabnya kemarin petugas di counter tak bisa menjelaskan mengapa persetujuan yang sudah dibuat minggu sebelumnya digagalkan tiba-tiba.

Mereka menjelaskan pula bahwa untuk obat-obat yang sudah masuk dalam Daftar Perincian Harga obat (DPHO) di RS, permohonan pembelian bisa langsung diproses tanpa harus menggunakan lembar persetujuan seperti yang kami gunakan. Semua RS kata ibu pejabat tadi melakukannya, kecuali RS tempat saya berobat. Dokter di tempat kami ini ada yang suka meresepkan obat yang tak tercantum di DPHO. Karenanya untuk mempertimbangkan pemberiannya digunakanlah lembar persetujuan yang harus dibawa sendiri oleh keluarga pasien ke DKK seperti yang kami lakukan. Jadi tadi, ibu pejabat itu sekaligus menegaskan bahwa untuk masa yang akan datang tidak diperlukan lagi lembar persetujuan, sebab toch obat yang dimintakan sudah tercantum di DPHO. Anak saya ditugasi untuk menjelaskan hal ini kepada pihak RS yang agaknya juga belum begitu memahami peraturan baru itu.

Begitu gembiranya saya menerima penjelasan anak saya dengan telepon. Saat itu juga dia langsung menyelesaikan resep ke RS, sementara saya memberitahu dokter saya lewat SMS karena beliau sedang mengoperasi besar pasiennya. Sedang rincian ceritanya saya tuliskan di E-mail pribadi beliau. Beliau memang cukup unik dan sederhana, agaknya beliau lebih suka menerima laporan saya via E-mail pribadi, bukan E-mail dinas yang selama ini saya pakai. Tentu saja beliau baru akan membukanya nanti malam selepas kerja. Tak mengapa yang penting beliau pun merasa lega, sebab saya tahu beliau amat memikirkan saya.

***

Paclitaxel obat yang akan saya terima sebetulnya sejenis dengan Docetaxel yang sudah pernah saya terima dan terbukti memperkecil serta melunakkan jaringan tumor saya. Bedanya boleh dikata tidak ada. Kedua-duanya pun menurut dokter dan apoteker relatif tidak mengganggu fungsi ginjal, meski banyak efek sampingnya seperti obat-obat yang terdahulu.

Jika dicermati alangkah mengerikan, dan saya pun kini sedang mengalaminya. Tapi saya justru sangat ingin menggunakannya demi kesembuhan saya selama-lamanya. Efek samping itu antara lain turunnya tekanan darah menjadi sangat rendah seperti yang saya alami meski diklaim dokter ahli penyakit dalam sebagai akibat obat jantung yang harus saya konsumsi. Anemia alias kurang darah yang tak saya rasakan, tapi saya jelas mengalami turunnya sel darah putih sehingga rentan tertular penyakit. Enzime hati bisa jadi meningkat bilangannya, yang alhamdulillah tak saya alami. Tapi gangguan pencernaan berupa diare yang berganti-ganti dengan konstipasi justru saya alami yang alhamdulillah tanpa dibarengi muntah seperti umumnya pasien dikemoterapi. Kulit menjadi panas, jelas saya alami terutama di bagian kepala yang rambutnya sudah rontok. Hal ini sering menjadi gurauan saya dengan mengatakan saya bisa merebus telur dan menggoreng kerupuk di kepala persis pemain debus Banten. Dan satu hal lagi, irama jantung saya kerap melemah sehingga perlu diperbaiki dengan obat belum lagi jari-jari saya yang terserang cacat limfedema mulai kesemutan terus-menerus. Namun konon kelak jika pengobatan selesai semua akan membaik. Semoga saja.

Sebetulnya menurut brosur informasi farmasinya, obat ini harus diwaspadai sebab bisa mendatangkan serangan jantung tiba-tiba dan berkurangnya penglihatan secara drastis pada sebagian pasien. Saya rasa ada benarnya sebab akhir-akhir ini penglihatan saya yang sudah cacat semenjak kecil sering terasa semakin buram. Tapi inilah resiko dari keinginan sembuh saya. Maka saya akan menerimanya dengan senang hati.

Kini sore menjelang. Anak saya sudah pulang ke rumah. Katanya pihak RS bisa menerima penjelasan yang diperoleh anak saya dari DKK. Hujan mulai berhenti meski mendung tetap memayungi bumi. Dengannya saya berharap tak ada lagi badai yang menghantam perasaan kami sebab nyawa saya nyaris terancam berhenti. Saya tak bisa lain. hanya mengucap syukur kepada Tuhan serta berterima kasih betul atas perjuangan dan pengorbanan kedua anak saya serta dokter saya yang budiman. Sebab masih banyak keberuntungan menyertai kami.

(Bersambung)

6 komentar:

  1. Balasan
    1. Eh wonten mas Agung....... tamu agung :- d

      Apa kabar nak? Se,oga kita semua senantiasa sehat walafiat ya. Terima kasih moral supportnya. Sekarang mas Agung tinggal di mana?

      Hapus
  2. Allah slalu kasih jalan yang terbaik buat ibu dan anak-anak walau untuk mencapai nya perlu deg2an dulu ya bu....tetep semangat ya bu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe.... bener tuh mbak Evi. Saya sampai tertakjub-takjub. Tadi pagi ada lagi yang datang ngasih bantuan buat beli Leucogen. Nggak disangka-sangka, orangnya nggak kenal saya kata yang nganter sumbangan sih. Alhamdulillah banget. Ya ah semangat kayak ibunya mbak Evi.

      Hapus
  3. Tuh kan bu...Allah ga akan membiarkan ibu sendirian....buktinya walau ga kenal tapi ngasih bantuan ke bu Julie. Bu..subhanallah ya..aku langsung loh nyari di google dokter bu julie, dari tampangnya aja udh keliatan org baik ya bu dan ternyata umurnya sepantar sama aku bu...hebat ya...pintar! Aku di Dharmais sama dr Deni J. Purwanto, aku ketemu beliau tiap 6 bulan sekali bu. Bu Julie bogornya dimana sih? boleh tau ga?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya dia adik kelas keponakan-keponakan saya. :-D

      dr. Denny dulunya juga praktek di sini tapi kemudian mengundurkan diri. Kata mas Bayu sih sibuk sendiri di Jakarta. Berhubung memang bukan warga Bogor ya sudah, dokter saya nggak bisa mbujuk untuk tetap praktek di sini. Walau nyatanya dokter saya juga sudah kewalahan menangani pasien-pasiennya. Tapi meski begitu, beliau tidak akan meninggalkan kami karena merasa berkewajiban sosial. Keren nggak tuh?!

      Kami tinggal di Perumahan Taman Cimanggu mbak.

      Hapus

Pita Pink