Powered By Blogger

Kamis, 26 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXVII)

Agaknya walaupun sudah jadi "orang Betawi" yang hidup di Metropolitan Jakarta, mak Azizah tetap tak bisa lupa akan kampung halamannya. Untuk menghindari macet yang mengular di sekitar Pasar Cicurug, mak Azizah mengarahkan pak Binsar untuk berbelok ke timur, mengambil jalan pintas di sekitar Parungkuda, sehingga kami bisa sampai di kampung kelahiran mak Azizah cukup pagi.

Rumah yang merangkap pesantren kecil-kecilan itu berdempetan dengan klinik bidan, di arah barat jalan raya menuju kota Sukabumi. Pemiliknya seorang lelaki kira-kira berumur enam puluh tahun kurang sedikit, berpenampilan rapi tanpa jenggot panjang maupun kumis.

Matanya bening tajam, dan kulitnya kuning langsat, bersih, terlalu bersih untuk kulit seorang lelaki. Dia hanya mengenakan kopiah hitam, bercelana panjang dengan kemeja putih digulung lengannya menjadi tiga perempat. Jauh dari bayangan dalam benakku sebelumnya.

Istrinya yang mempersilahkan kami adalah seorang dukun beranak yang mendampingi praktek bidan anaknya. Atau lebih tepatnya sebetulnya, anaknya mendampingi ibunya untuk mengajari proses menolong persalinan secara modern.

"Ijah kamana wae, mani lami teu aya ka dieu," sambutnya sambil memeluk mak Azizah. lalu mereka bercakap-cakap dalam bahasa daerah setelah terlebih dahulu memperkenalkan Ami dan aku padanya. Kemudian dia masuk diikuti mak Azizah untuk melihat kesiapan suaminya. Menurutnya, masih ada seseorang yang sedang berkonsultasi di dalam, serta seorang perempuan dengan anak balitanya duduk menunggu di ruang tamu berdekatan dengan kami.

Mak Azizah kembali membawa sesetoples kacang sukro dan gelas-gelas air minum berisi teh bening tawar yang sudah dingin. Dipersilahkannya kami mencicipinya sambil menunggu pamannya menyelesaikan persoalan pengunjung terdahulu.

Rumah di balik punggung bukit kapur itu agaknya sudah cukup termasyhur sampai ke mana-mana. Buktinya, perempuan di dekat kami ini bercerita tentang keperluannya tanpa kami tanya. "Saya mau membuat suami saya kapok bu, dia meninggalkan saya dan anak ini berkali-kali. Hati saya sakit bu, sebab kami 'kan bukan mainan," katanya.

Konon suaminya seorang supir bus antar kota, sering sekali berlaku serong dengan perempuan yang ditemuinya di sembarang tempat.

"Ibu-ibu jangan kuatir, pak Haji berhasil balikin lagi suami kakak saya," katanya bersemangat, "Biasanya kita diminta bawa syarat bu, ibu lihat saja nanti, pak Haji akan panggil ibu untuk beli apa supaya doanya waktu dimandiin manjur," lanjutnya lagi.

"Biasanya minta apa ceu?" tanya Ami penasaran.

"Tergantung, kadang-kadang kelapa gading sama kembang-kembang gitu bu," orang itu menjawab santai.

-ad-

Ami masuk satu jam kemudian. Aku dimintanya ikut menemani ke dalam atas ijin pak Haji Dudung. "Kamu nanti mengingatkanku kalau-kalau ada yang terlupa kusebut," alasannya.

Aku terpaksa masuk juga walau setengah tak bergairah. Ami duduk berhadap-hadapan di sebuah meja dengan pak haji layaknya orang konsultasi di dokter. Aku diberi tempat di sudut ruang, pada sebuah bangku kayu. Tak ada apa-apa di meja itu, selain seuntai tasbih dan sebuah buku lengkap dengan ballpointnya.

Di dinding ayat-ayat suci dan asma-asma Allah digantungkan rapi. Semua dalam nuansa serba putih.

Ami memulai ceritanya. Pak haji menanyainya lebih dalam, termasuk nama ibu mertua Ami untuk merujuk kepada nasab pak Taufik. Semua dicatat baik-baik oleh pak haji di bukunya yang satu itu. Layaknya orang konsultasi dokter saja. Aku tersenyum mengamatinya.

Baru di ruangan ini kudengar kisah Ami selengkapnya. Perselingkuhan itu sudah di curigainya sejak mereka tinggal di Eropa dulu. Walau dia tidak pernah menyebut rasa cemburunya kepada Elis, tapi tersirat bahwa dia merasa diabaikan suaminya sejak mereka mengenal Elis. Juga ketika suatu hari pembantu mereka melaporkan pada suaminya ada telepon dari Indonesia, dengan menyebut sebuah kota yang asing bagi keluarga mereka.

Selesai bertelepon Ami sempat menanyakan kepada suaminya asal-usul penelepon itu dan apa maksudnya. Katanya dia mendengar suaminya membicarakan uang, sehingga dia ingin tahu isi telepon itu.

"Dari temanku Budi Sunarso, anaknya sakit di rumah sakit dan berniat pinjam uang untuk pengobatan anaknya," jawab Tauffik.

Ami sempat mengernyitkan dahi, "Budi Sunarso? Teman di mana? Rasa-rasanya aku kenal semua teman-temanmu sejak sekolah hingga sekarang, tapi Budi Sunarso siapa?" tanyanya polos.

"Teman kerjaku di kota itu. Anaknya terserang usus buntu yang semula dikira typhus. Karena emergency dia langsung dioperasi. Tapi ya itu, biayanya kurang, jadi dia minta pinjam lebih dulu," terang Taufik lagi begitu tenangnya.

Ami mendesak lagi dengan segala keluguannya," kok orang baru kenal sudah berani bilang pinjam, ya, berapa?"

Taufik tak banyak bicara, "Tiga juta saja," cuma itu katanya.

Setulus hatinya Ami yang tak pernah mengerti permainan cinta anak manusia mempercayai penuturan suaminya, Sampai dia sendiri lupa untuk mempertanyakan dari mana lelaki bernama Budi Sunarso itu mendapatkan nomor rumah mereka di luar negeri.

Baru kini, hari ini, Ami menyadari kebohongan suaminya. Dia mengaitkannya dengan temuannya dan anak-anak mereka di ponsel itu. Juga hasil pelacakannya yang menakjubkan. Sebab di dalam salah satu SMS Taufik yang tertuju pada kekasih gelapnya, ada disebutkan kiriman uangnya untuk anak wanita itu. Dilengkapi lagi dengan SMS yang tertuju kepada anak gadis wanita itu bahwa dia akan membayari ongkos sekolahnya.

"Mbak Sari, jangan kuatir soal biaya PKLmu. Mama sudah dapat solusinya. Oom sudah selesaikan dengan mama, mbak Sari tenangkan hati," begitu kira-kira bunyinya. Ami bilang, dia lupa pastinya, karena dibawah tekanan rasa gugup campur keterkejutan, dia lupa untuk memforward lebih dulu pesan itu ke ponsel anak-anaknya.

Aku terpana mendengarnya. Betapa selama ini, aku yang ada di depan matanya, tak pernah bisa menangkap isi hati dan perasaan Ami yang sesungguhnya. Dia kelihatan biasa saja, cerah ceria seakan-akan hidupnya bahagia. Bahkan di panggung hiburan yang jadi tugasnya itu, dia selalu menawan dan berhasil menjadi sang Primadona yang luwes.

Pak haji mendengarkannya penuh kesabaran sampai titik terakhir cerita Ami. Setelah itu dia minta diri mengambil air sembahyang, lalu berdo'a serta berdzikir. Terakhir kalinya dia mengambil alat tulisnya lalu menulis-nulis sesuatu di situ.

Ritualnya diakhiri dengan berbicara kepada Ami, "ibu, wanita itu ada di timur. Dia istri seseorang sekaligus pegawai. Suaminya inilah sumber masalahnya. Dia tidak bekerja sehingga si istri harus kerja keras. Dalam kesulitan begini, suami ibu masuk. berkenalan. Suami ibu sendiri karakternya sangat baik, penuh kasih sayang dan perhatian kepada semua orang. sehingga wanita itu memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya," kata pak haji sambil memperlihatkan coretan-coretan di kertasnya yang tak kami mengerti. Sebagian besar beraksara Arab.

"Apakah suami saya menikahinya pak?" tanya Ami lirih. Kelihatan sekali betapa Ami belum siap mendengar jawabannya. Dia menundukkan wajahnya.

"Nggak, nggak dinikahi sih bu, tapi wanita itu terus saja mengganggu suami ibu dengan upaya-upaya liciknya. Ini harus ibu singkirkan, karena bapak nggak menyadari," jawab pak haji.

Aduh, lelaki, batinku. Kesalahan sesama kaumnya tentu akan dibelanya habis-habisan dengan mengatakan bahwa Taufik melakukan itu di luar kesadarannya. Benarkah demikian?

"Tolonglah saya pak, saya harus baca do'a apa dan menjalankan syarat apa supaya suami saya terlepas darinya," suara Ami bergetar menahan tangis.

"Saya tahu, genggaman cinta ibu sangat kuat, jadi ibu pasti bisa membawa bapak kembali ke tangan ibu. Asal ibu mau menyucikan diri, ibu mandi dengan air yang saya doakan. Sehabis itu ibu saya kasih rapalan do'a yang harus ibu ucapkan setiap habis shalat terutama subuh dan isya. Jangan lupa tahajjud malam hari, gimana bu?" tantang haji itu lagi.

Ami memandang padaku seolah-olah minta pendapat. Aku mengangkat bahu, tak tahu-menahu. Akhirnya terlontar dari mulutnya bahwa dia bersedia dimandikan.

Pak haji beranjak ke dalam rumahnya, lalu mak Azizah mengikutinya di belakang dengan membawakan sewashkom air bunga. "Bu Taufik, aduh saya lupa bilang, bu Taufik atuh harusnya bawa baju ganti tadi, ya sudah sekarang ibu pakai punya bibi saya dulu ya, nanti kita bisa pergi cari baju sebentar sesudah mandi," katanya menyesali diri.

Ami nampak kebingungan lalu mengangguk pasrah, "ya deh mak, apapun yang terjadi saya sudah kepalang sampai disini, saya jalani saja, terima kasih atas pertolongannya," kata Ami.

Di depanku Ami nampak diguyur dengan air bunga yang lebih dulu dido'akan pak haji setelah menggelar tikar di lantai sebagai alasnya. Mataku nyaris copot, kebingungan tak percaya, sebab, setiap guyuran air itu seperti segera habis ditelan lantai yang terbuat dari ubin. Kugosok-gosok sendiri mataku, tapi ya, betul, aku tak salah melihat.

Dalam pada itu Ami digurat-gurat di beberapa bagian punggungnya dengan lidi, entah apa maksudnya. Setiap guratan itu seperti tak menimbulkan rasa apa-apa pada Ami. Selesai itu Ami diminta membilas tubuhnya di kamar mandi keluarga pak haji, selagi mak Azizah setia menungguinya untuk mengangsurkan handdoek dan pakaian bersih untuknya.

Aku minta ijin berangkat ke pasar di dekat situ untuk mencarikan pakaian bagi Ami seadanya saja. Ami menyetujui, bahkan dia ingin dapat segera selesai dan pulang ke Jakarta agar tak menimbulkan kecurigaan anak-anaknya. "Daster saja ya Nik, supaya aku bisa bilang aku kecemplung sawah disini sehingga ganti dengan daster," serunya dari bilik kamar mandi. Aku tertawa sendiri, lalu buru-buru meninggalkannya,

-ad-

Ami sudah nampak duduk di ruang makan keluarga pak haji dengan bu hajah istrinya dan mak Azizah. Mereka menunggu kami untuk makan siang yang sudah aggak kesiangan. Perut lapar kami segera terisi karedok, sambal terasi, ikan mujair goreng dan tumis oncom. Ami makan dengan lahap. Sepertinya dia puas sekali.

Hampir jam tiga sore kami buru-buru kembali ke Jakarta. Bu Azizah kembali menyusuri jalan kampung karena dia akan mengantar Ami membuang kelapa gading yang didapatnya dari pak haji serta seekor ikan mas juga pemberiannya ke sungai yang mengalir deras.

Ami menyempatkan diri mampir sebentar di pasar mencari oleh-oleh untuk anak-anak kami. "Biar nggak pada ribut nanya ini-itu," alasan Ami.

Sambil mengobrol lirih sepanjang perjalanan di jok belakang, Ami mengatakan bahwa dia dibekali do'a-do'a dari pak haji berikut sebuah kertas yang bergambarkan jantung hati. Aku harus menjiplaknya di atas baju bekas pakai suamiku, nanti kugunting pada bagian gambar hatinya dan kutanam di halaman," kata Ami tentang isi kantung plastik di tasnya. "Oh ya, ini ada juga tulisan pak haji yang mesti digulung, nanti di taruh di pintu tempat keluar-masuknya suamiku tiap hari," lanjut Ami sambil mempelihatkan mantera dalam huruf Arab yang dituliskan pak haji di selembar kertas putih kecil.

"Mbak percaya dengan ritual begini?" pancingku ingin tahu.

"Hm, bukan pada ritualnya ya, aku cuma percaya keampuhan do'a-do'a pak haji sih. Apalagi ibu muda tadi bilang, kakaknya tertolong, ya walahu alam lah," jawab Ami sambil menatap jejeran persawahan dengan padinya yang berayun-ayun mengangguk ditiup angin.

"Kalau dibilang aku disuruh melarung kelapa dan ikan ini serta menanam sobekan baju suamiku, aku cuma sekedar mengikuti apa maunya pak haji, semoga ada manfaatnya," lanjut Ami lagi.

"Lha, rapalan isim atau apa tuh yang harus ditaruh di pintu?" pancingku lagi.

"Moga-moga isinya benar-benar tidak menyesatkan, melainkan membawa suamiku untuk ingat pulang kembali ke rumah kami, tentunya lewat pintu itu," jawabnya tak terduga namun terkesan cerdas.

Kami berdiam diri sampai di pinggir jembatan besi tua entah di daerah mana. Di bawahnya sungai mengalir deras, membawa muatan-muatan hasil perbuatan kotor manusia di hulunya sana. Ami menjatuhkan kelapanya, memandanginya sampai kelapa itu benar-benar hanyut walaupun sulit sebab batu-batu kali yang besar-besar berserakan mengganjalnya. Tapi setidak-tidaknya, ikan mas yang dipindah dari kolam pak haji bisa berenang mengikuti derasnya air entah kapan sampai ke pelabuhan Pasar Ikan.

Benderang malam metopolitan menyambut kami di rumah keluarga Pandunagara disertai pandang mata keheranan anak-anak Ami menyaksikan Ami tampil berdaster. "Ini ibu terpaksa beli daster baru, tadi habis ngaji ustadzah ngajak ke sawah, ah, dasar ibumu orang kota, kecemplung di balong," seru Ami seriang mungkin sambil tertawa-tawa sendiri.

Oh Ami, kau sungguh sang Primadona. sekaligus aktris terbaik di panggung sandiwara rumah tanggamu, batinku kelu.

(BERSAMBUNG)

37 komentar:

  1. Sumangga diajeng, tapi mesti putar balik 360 derajat, soalnya ini serial udah sampe ke puncaknya. Hayo, balik dulu ke bagian I.

    BalasHapus
  2. saya juga mohon ijin baca, yah...:)
    permisiiiiii...

    BalasHapus
  3. We lha adhimas rawuh?!
    Wah tamu agung iki? Arep tak suguhi apa ya?
    Aku gak nde suguhan sing patut e......?

    Mangga-mangga pinarak. Kamana aja? Sibuk dengan mas Pingdol?

    BalasHapus
  4. Wah.. sudah bagian ke 27.. Ketinggalan banget nih Mbak.. :)

    BalasHapus
  5. ini novel ya bunda..?ntar kalau da waktu rose mo baca dari awal
    rose lom baca dari awal nich bunda..

    BalasHapus
  6. bundaaaa,makasih dah mampir tadi...
    miss u a lot....

    BalasHapus
  7. Iya, bu Wirda baru kenalan dengan site saya sih ya? Maaf..........

    Tapi terima kasih sudah emnyempatkand iri mampir. Maaf lagi tulisannya nggak baguslah, karena yang bikin bukan pengarang beneran, cuma bibik dapur hehehehe......

    BalasHapus
  8. He-eh nduk, duh ibu dadi isin.

    Kowe sih ngalih omah ora kanda-kanda, ngilang ae, dadi ra ngerti ya?

    Nek arep maca aduh, maaf, baliknya jauuuuuh banget nih.

    BalasHapus
  9. Iya, silahkan habis tadi saya lihat ada wong asah-asah sampe jarinya putus (asah)........ jadi kasihan, ya tengoklah!

    Ma kasih juga ya mbakyu udah mampir kesini.

    BalasHapus
  10. Yg ini baru baca setengahnya....dilanjutin lagi nanti
    Wah jadi buku nih.......

    BalasHapus
  11. saya copas semua mbak jadi bacanya enak .............
    kalo dah lengkap/tamat lely copas dan print, boleh yach mbak ....(dgn harap cemas semoga diizinkan) ...????

    BalasHapus
  12. Nuhun pak, amin we. Apakah bapak bersedia menyeponsori buku ini?

    Selamat menebak akhir ceritanya yang so pasti penuh kejutan!

    BalasHapus
  13. Hai, hallo!! Kemana aja?

    Mau dijilid kjadi buku? Memangnya layak? Hahahaha...... jadi ketawa.

    Salam buat Affif ya kak!

    BalasHapus
  14. Tdk kemana-mana, anak-anak kan lagi pada liburan karnaval yg seminggu itu jadi tidak mungkinlah saya nongkrong di depan kompi seperti biasa.....hehehehe...
    Kok tahu mbak, emang pantas jadi bahan bacaan....bolehkan please.....hanya untuk diri sendiri kok ...(maksa.com).

    Wa`alaikumsalam kata Afif, salam kembali buat mbak.
    Sekarang Afif lagi libur MP dulu nanti liburan panjang baru main lagi, doi masuk SMP nya langsung ngambil kelas latin jadi waktu kosongnya tdk terlalu banyak, mana rabu (2 jam) dan sabtu (4 jam) di Islamic Centre.

    BalasHapus
  15. Ami begitu tegar, apapun di lakukan untuk mendapatkan kembali cintanya.

    BalasHapus
  16. rasional gak ya cara yg dilakukan ami tersebut , meskipun perantara pak haji tp kenapa musti pake ritual khusus

    BalasHapus
  17. gue rasa, si ami gak bisa deket2 gue deh. kalo dia punya temen kayak gue, udah gue brainwash tuh orang supaya hantem aja barang lakinya pake martil hahahaha!

    BalasHapus
  18. Iya, ke Athenee Royale, ngambilnya mendingan Latin. Anak saya juga dulu ngambil Latin. Selamat belajar buat si abang.

    BalasHapus
  19. Just wait and see lah........

    May be yes, sih, but? I still don't know lho nak!

    BalasHapus
  20. Naluri seorang ibu lah mbak. Dimana-mana dia harus mendapatkan kembali cinta suaminya untuk membahagiakan anak-anak mereka.

    BalasHapus
  21. Secara rasio, jelas nggak masuk akal. Tapi yang terjadi dalam kenyataan di masyarakat ada 'kan acara demikian ini?

    Silahkan disurvei kang, masih banyak di daerah-daerah sana. Jangan di kota besar. Di kota besar ketemunya tokoh-tokoh paranormal macam Ki Joko Bodho, Putri Wong Kam Fu, Mama Laurent dkk. Tapi di daerah, ya para haji begini yang baiasanya dimintain tolong. Entah haji beneran entah ngakunya haji sih......... Dan itu mesti dibekali do'a-do'a serta isim (jimat dengan tulisan huruf Arab).

    BalasHapus
  22. Wah, iya ya, untung juga gw nggak "ngenalin" loe sama Ami. Otherwise, hancur dong pertemanan gw kemana-mana........

    Masih penasaran sama gw bu? Mister ius atau misis ius kah diriku?

    BalasHapus
  23. Mangga, nyumanggaaken diajeng.

    Nuwun sewu, anu barang sederhana lho!

    BalasHapus
  24. Oh gitu ya? Ayo ikuti saya, coba-coba aja. Kadang pertamanya kita kurang pe-de, tapi setelah dicoba ternyata, banyak yang mengapresiasi lho. Cobain dari cerita-certita sederhana dulu. Kisah nyata juga bisa tuh.

    BalasHapus
  25. Ini seperti menjawab saran saya yang dulu ya Bu (ge-er, hahaha), tentang toleransi sesama pria...

    BalasHapus
  26. Hahahaha...... kena ya? Kayaknya memang gitu deh. Lelaki kalo salah jarang yang gentle mau ngakuin kesalahannya. Lain dengan perempuan yang pembawaannya takut-takut.

    BalasHapus
  27. Sedikit menggelitik, upaya Ami minta pertolongan Pak Haji ini....

    BalasHapus
  28. KUnaon cik, jadi getek nya? Heuheuheuheu..........

    Ngebut nih ye?!

    BalasHapus
  29. Iya, getek-getek asik gitu, Bunda....
    Tapi geteknya udah terjawab di episode selanjutnya. Itu karena saking habis akal Ami kepingin merebut hati suaminya lagi kan? Jadi segala cara rela dia tempuh.

    BalasHapus
  30. Duh kasihan, nggak ada yang nggarukin ya? Maaf atuh udah bikin getek.

    Iya, rasionalitas seseorang dan keimanannya kadang-kadang menguap begitu aja terkalahkan oleh keinginan hidup senang yang menggebu-gebu. Contohnya udah tahu banyak yang ketipu sama "arisan lebaran". Eh, nyatanya masih ada aja kasus orang ngejar-ngejar bandar arisan setiap mau lebaran, yang katanya melarikan uang arisan mereka. Itu salah satu akibat kepengin hidup senang waktu lebaran, jadi peduli amat sama kasus-kasus penipuan yang udah pernah terjadi sebelumnya.

    BalasHapus

Pita Pink