Anakku lelaki yang tertua, dari kecil memang unik. Belum umurnya setahun, dia sudah mulai bisa bicara dengan jelas. "Baba-baba" itu selalu yang diucapkannya setiap pagi ketika umurnya baru tujuh bulan. Maksudnya, memanggil bapaknya.
Semakin besar bicaranya tentu saja semakin baik. Tidak ada kata yang tak jelas. "R" diucapkannya secara benar, kecuali "K" yang akan berubah jadi "T". Dengan gayanya yang khas berupa loncatan-loncatan kecil dan tepuk-tepuk tangan, dia akan bernyanyi menirukan lagu-lagu yang kami dengarkan dari piringan hitam atau cassette. Saaat itu, CD atau cakram digital belum lahir di dunia ini.
Masih terbayang di mataku, dari atas strollernya atau rocking chair, dia akan bertepuk-tepuk sambil mendendangkan shalawat nabi yang sering kudendangkan juga. Memang, semua kehamilanku tidak pernah lepas dari acara mendengarkan musik maupun cerita. Biasanya aku akan memutar musik-musik lembut atau religius sambil mengusap-usap perutku yang berisi janin. Atau lain kali, aku membacakan dongeng-dongeng untuknya dengan intonasi yang lembut.
Karena itu tak heran, anakku segera hafal lagu "Ambilkan Bulan" bahkan lagu kebangsaan yang dilafalkannya sebagai "Iraya-iraya" karena tentu saja terlalu panjang diucapkan untuk otak seorang bocah dua tahun.
Pada masa itu kami baru kembali ke Indonesia dari tanah kelahirannya di Kanada. Dan televisi yang ada hanyalah TVRI yang menyala setiap pukul empat sore diawali dengan penanyangan bendera kebangsaan dengan iringan Indonesia Raya. Ajaibnya, setiap kali terdengar, dia akan menghentikan kegiatan apapun, lalu berlari ke muka televisi kami, bersikap sempurna dan mulai mendendangkan "Iraya-iraya" sampai habis
Andriarto, anak kesayangan kami. Yang dengan polosnya selalu menimpali pembicaraan orang-orang dewasa di sekitarnya, termasuk ketika ayahnya mengobrol dengan teman sejawat mengenai umur pensiun. "Umur satu," sahutnya tiba-tiba sambil memperhatikan sang ayah. Dia benar. Umurnya ketika itu memang baru satu tahun. Menggelikan!!
Andri-ku. Kemudian dia suka meniru-niru lagak Yon Koeswoyo dan Nomo Koeswoyo sambil menggebrak kesana-kemari dengan tangan kosong. Di lain hari, diterjemahkannya lagu "Bahagia dan Derita" milik mereka ke dalam bahasa Perancis, dan konon diperdengarkannya di kelas dengan membunyikan keyboard mainannya. Sungguh mencengangkan. Padahal, di antara kami tidak ada yang berbakat main musik atau mempelajari musik. Keyboard itu, di tangan kami hanya berfungsi sebagai melody, sebab tak ada pengetahuan kami mengenai accord.
Tapi anak-anakku memang pribadi yang unik. Mereka tak ada yang mau menekuni musik dan mengambil kursus. Mereka lebih tertarik pada dunianya sendiri, berkurung di dalam kamar dan menuruti kata hatinya.
Sampai suatu hari, aku menerima SMS dari guru bahasa Indonesianya di SMA yang menceritakan bahwa dia tengah menyaksikan anakku mengisi pentas seni perpisahan di sekolahnya. Dan lagu yang dibawakannya adalah lagu-lagu John Lennon, dengan iringan band sungguhan yang sengaja disewakan panitia untuk memenuhi keinginan kawan sekelasnya yang mengajukan dia untuk mewakili kelas mereka sebagai pengisi acara.
Aku sempat tidak percaya. Tapi, mau tidak mau aku harus meyakininya juga. Sebab, khusus untuk acara hari itu dia telah minta ijin menjahitkan jas baru di penjahit spesial terbaik di kota kami. Padahal, telah kukatakan bahwa dia tak perlu membuat jas disana, sebab penjahit langganan mereka telah bersedia menjahitkannya. "Ibu nggak ngerti maksudku. Hanya oom Amen yang bisa menjahitkan sesuai disain yang kubuat," katanya ketika itu.
Dengan penasaran kubongkar kopernya, segera setelah dia datang berlibur ke Singapura sambil menunggu pengumuman penerimaaan mahasiswa baru tahun 2006. Kudapati sebuah piringan cakram bertajuk "Perpisahan Siswa-Siswi SMA Negeri 6 Bogor" dengan sampul sepotong wajah anakku. Kami berebut menyalakan perangkat video, dan menunggu apa yang akan terhidang di layar.
Astagfirullah!! Bumi bergoncang! Anakku berdiri di kelilingi para pemain musik dengan kostum baru kebanggaannya itu. Tak lama kemudian, kami dengar intro lagu The Beatles diikuti suara anakku. Dan, seirama deru-debam musik, anakku seperti kesetanan di atas panggung. Sementara itu, di seputar panggung, kamerawan menangkap teman-temannya berdiri merangsek, menyodorkan kamera dan telepon genggam mereka sambil bersorak-sorak. Ya Tuhanku! Jeritku. Di sudut ruang kulirik anakku terdiam memaku. Seakan menanti reaksi kami, terutama tentu saja reaksiku.
Selesai dengan sebuah lagu, muncul lagu kedua lengkap dengan gaya panggung heboh yang dilengkapi hentakan-hentakan kaki. "Mas Dri, kamu tidak sopan!" jeritku sambil menghunjamkan mata padanya. Dia diam tak menjawab. Sedangkan ayahnya cuma tersenyum-senyum dengan si adik. "Ibu baru tahu," kata mereka. "Pak RT bilang, kalau tujuhbelasan setelah kita tinggal pergi, dia menjadi maskot RT kita dengan penampilan panggung yang begini. Biasanya, dia didandani tante Harsono, dan menang lagi, di tingkat RW." Kata si bungsu mencibir padaku lalu menyunggingkan senyum dan memincingkan sebelah matanya pada si kakak.
Aku geleng-geleng kepala. Bahkan sampai minggu lalu, ketika dia menyuruhku membuka youtube untuk "menjumpai" dirinya dikala rindu. "Jangan pernah menilai seseorang dari penampilan fisiknya. yang penting kupersembahkan nilai-nilai yang cukup untuk meraih masa depanku" Begitu tuturnya di SMS. Suamiku setuju. Maka, akupun terpaksa membagi pengalaman ini dengan komunitas Mp-ers teman-temanku. Inilah anakku, apa adanya............ Seorang mahasiswa di Universitas Negeri di Jatinangor, Sumedang sana.