Powered By Blogger

Kamis, 31 Juli 2008

TUTORIAL feat John Lennon




Anakku lelaki yang tertua, dari kecil memang unik. Belum umurnya setahun, dia sudah mulai bisa bicara dengan jelas. "Baba-baba" itu selalu yang diucapkannya setiap pagi ketika umurnya baru tujuh bulan. Maksudnya, memanggil bapaknya.

Semakin besar bicaranya tentu saja semakin baik. Tidak ada kata yang tak jelas. "R" diucapkannya secara benar, kecuali "K" yang akan berubah jadi "T". Dengan gayanya yang khas berupa loncatan-loncatan kecil dan tepuk-tepuk tangan, dia akan bernyanyi menirukan lagu-lagu yang kami dengarkan dari piringan hitam atau cassette. Saaat itu, CD atau cakram digital belum lahir di dunia ini.

Masih terbayang di mataku, dari atas strollernya atau rocking chair, dia akan bertepuk-tepuk sambil mendendangkan shalawat nabi yang sering kudendangkan juga. Memang, semua kehamilanku tidak pernah lepas dari acara mendengarkan musik maupun cerita. Biasanya aku akan memutar musik-musik lembut atau religius sambil mengusap-usap perutku yang berisi janin. Atau lain kali, aku membacakan dongeng-dongeng untuknya dengan intonasi yang lembut.

Karena itu tak heran, anakku segera hafal lagu "Ambilkan Bulan" bahkan lagu kebangsaan yang dilafalkannya sebagai "Iraya-iraya" karena tentu saja terlalu panjang diucapkan untuk otak seorang bocah dua tahun.

Pada masa itu kami baru kembali ke Indonesia dari tanah kelahirannya di Kanada. Dan televisi yang ada hanyalah TVRI yang menyala setiap pukul empat sore diawali dengan penanyangan bendera kebangsaan dengan iringan Indonesia Raya. Ajaibnya, setiap kali terdengar, dia akan menghentikan kegiatan apapun, lalu berlari ke muka televisi kami, bersikap sempurna dan mulai mendendangkan "Iraya-iraya" sampai habis

Andriarto, anak kesayangan kami. Yang dengan polosnya selalu menimpali pembicaraan orang-orang dewasa di sekitarnya, termasuk ketika ayahnya mengobrol dengan teman sejawat mengenai umur pensiun. "Umur satu," sahutnya tiba-tiba sambil memperhatikan sang ayah. Dia benar. Umurnya ketika itu memang baru satu tahun. Menggelikan!!

Andri-ku. Kemudian dia suka meniru-niru lagak Yon Koeswoyo dan Nomo Koeswoyo sambil menggebrak kesana-kemari dengan tangan kosong. Di lain hari, diterjemahkannya lagu "Bahagia dan Derita" milik mereka ke dalam bahasa Perancis, dan konon diperdengarkannya di kelas dengan membunyikan keyboard mainannya. Sungguh mencengangkan. Padahal, di antara kami tidak ada yang berbakat main musik atau mempelajari musik. Keyboard itu, di tangan kami hanya berfungsi sebagai melody, sebab tak ada pengetahuan kami mengenai accord.

Tapi anak-anakku memang pribadi yang unik. Mereka tak ada yang mau menekuni musik dan mengambil kursus. Mereka lebih tertarik pada dunianya sendiri, berkurung di dalam kamar dan menuruti kata hatinya.

Sampai suatu hari, aku menerima SMS dari guru bahasa Indonesianya di SMA yang menceritakan bahwa dia tengah menyaksikan anakku mengisi pentas seni perpisahan di sekolahnya. Dan lagu yang dibawakannya adalah lagu-lagu John Lennon, dengan iringan band sungguhan yang sengaja disewakan panitia untuk memenuhi keinginan kawan sekelasnya yang mengajukan dia untuk mewakili kelas mereka sebagai pengisi acara.

Aku sempat tidak percaya. Tapi, mau tidak mau aku harus meyakininya juga. Sebab, khusus untuk acara hari itu dia telah minta ijin menjahitkan jas baru di penjahit spesial terbaik di kota kami. Padahal, telah kukatakan bahwa dia tak perlu membuat jas disana, sebab penjahit langganan mereka telah bersedia menjahitkannya. "Ibu nggak ngerti maksudku. Hanya oom Amen yang bisa menjahitkan sesuai disain yang kubuat," katanya ketika itu.

Dengan penasaran kubongkar kopernya, segera setelah dia datang berlibur ke Singapura sambil menunggu pengumuman penerimaaan mahasiswa baru tahun 2006. Kudapati sebuah piringan cakram bertajuk "Perpisahan Siswa-Siswi SMA Negeri 6 Bogor" dengan sampul sepotong wajah anakku. Kami berebut menyalakan perangkat video, dan menunggu apa yang akan terhidang di layar.

Astagfirullah!! Bumi bergoncang! Anakku berdiri di kelilingi para pemain musik dengan kostum baru kebanggaannya itu. Tak lama kemudian, kami dengar intro lagu The Beatles diikuti suara anakku. Dan, seirama deru-debam musik, anakku seperti kesetanan di atas panggung. Sementara itu, di seputar panggung, kamerawan menangkap teman-temannya berdiri merangsek, menyodorkan kamera dan telepon genggam mereka sambil bersorak-sorak. Ya Tuhanku! Jeritku. Di sudut ruang kulirik anakku terdiam memaku. Seakan menanti reaksi kami, terutama tentu saja reaksiku.

Selesai dengan sebuah lagu, muncul lagu kedua lengkap dengan gaya panggung heboh yang dilengkapi hentakan-hentakan kaki. "Mas Dri, kamu tidak sopan!" jeritku sambil menghunjamkan mata padanya. Dia diam tak menjawab. Sedangkan ayahnya cuma tersenyum-senyum dengan si adik. "Ibu baru tahu," kata mereka. "Pak RT bilang, kalau tujuhbelasan setelah kita tinggal pergi, dia menjadi maskot RT kita dengan penampilan panggung yang begini. Biasanya, dia didandani tante Harsono, dan menang lagi, di tingkat RW." Kata si bungsu mencibir padaku lalu menyunggingkan senyum dan memincingkan sebelah matanya pada si kakak.

Aku geleng-geleng kepala. Bahkan sampai minggu lalu, ketika dia menyuruhku membuka youtube untuk "menjumpai" dirinya dikala rindu. "Jangan pernah menilai seseorang dari penampilan fisiknya. yang penting kupersembahkan nilai-nilai yang cukup untuk meraih masa depanku" Begitu tuturnya di SMS. Suamiku setuju. Maka, akupun terpaksa membagi pengalaman ini dengan komunitas Mp-ers teman-temanku. Inilah anakku, apa adanya............ Seorang mahasiswa di Universitas Negeri di Jatinangor, Sumedang sana.

Rabu, 30 Juli 2008

SRI, PEREMPUAN ITU

Sri. Sebuah nama sederhana. Tiga huruf saja. Tapi Sri punya makna dalam di dalam kehidupanku.

Ibuku sendiri bernama Sri. Dirikupun mewarisi nama Sri di tengah-tengah nama panjang yang dihadiahkan bapakku. Lalu sahabat masa kecilku. Sri juga.

-ad-

Rumahnya tak jauh dari kampung tempat tinggalku. Di tepi sebuah kanaal, sangat dekat pula dengan lahan pekuburan umum. Sempit, suram dan nyaris tak memadai untuk standar rumah sehat.

Disitulah Sri dibesarkan. Kemudian mengecap nikmat hidup yang jadi bagiannya bersama suami dan anak-anaknya. Hingga akhir hayatnya.

Aku mengenal Sri di bangku Taman Kanak-Kanak. Ibunya yang sebaya ibuku setia menyerahkan Sri ke tangan bu Sumiati guru kelas kami setiap hari. Selepas itu ibunya akan berlalu meninggalkan Sri menuju ke pasar bersama yu Parti, ibunda Supri temanku lainnya lagi.

Di pasar ibunda Supri membuka kedai sayur-mayur, sedangkan ibunda Sri hanya pembeli biasa seperti ibuku. Tubuhnya kecil mungil, wajahnya khas wajah orang Jawa totok. Begitu pula dengan dandanannya. Seikat gelung dengan tusuk konde penahan cemara, melengkapi kain batik murahan dan kebaya yang tipis menerawang menampakkan kutang nini di balik sana. Sangat mirip dengan ibuku. Kecuali satu, ibuku tidak pernah melepas wiron pada kainnya sekalipun hanya pergi berbelanja ke Pasar Mawar yang becek seratus meter dari rumah kami.

Sri jadi salah satu teman favoriteku. Sebab dia sangat sopan, pendiam dan amat pengalah. Selain itu, di balik tubuhnya yang kurus kering dan nampak ringkih, Sri punya kepandaian yang menonjol. Dia cepat sekali menangkap pelajaran mengenal hitungan yang diajarkan bu Sum melalui lidi sebagai alat peraga. Sedangkan aku? Otakku hanya terbuka untuk mengenali huruf-huruf yang dirangkai untuk dibaca. Tapi tidak bisa menuliskannya kembali di sabak, papan tulis hitam yang dibawa setiap murid untuk menulis dengan bantuan sebatang pensil tanpa balutan kayunya. Sebuah alat tulis yang lumrah pada masa awal tahun enampuluhan. Grip, alat tulis itu biasa kami asah dengan batu di halaman sekolah untuk menajamkannya kembali.

-ad-

Aku berpisah dengan Sri di Sekolah Rakjat yang kemudian berganti istilah menjadi Sekolah Dasar. Tapi aku tetap mengikuti perkembangannya. Dia menjadi murid di SR Merdeka berbaur dengan Nining, anak tukang kebun ayahku. Tapi entah apa sebabnya, Sri ketinggalan setahun, sehingga ketika kami berkumpul kembali di SMP, dia jadi adik kelasku.

Sri terbukti memang cerdas. Dia berhasil memasuki SMA Negeri favorite di kota kami pada masanya. Disana dia bergaul bebas dengan teman-teman lain tanpa terkendala apapun. Aku hanya mengamatinya dari jauh. Dan turut berbahagia saat kudapati dia berjalan berendengan dengan Ghia, Afie dan Titin, teman-teman kami yang berbeda latar belakang.

-ad-

Pertemuan kami yang kemudian adalah di teras sekolah anak-anak kami. Dia datang mengantarkan salah seorang anaknya ketika aku sedang duduk-duduk menanti si kecil.

Wajah dan penampilannya sama sekali tak berubah. Masih seperti dulu, tanpa polesan alat kecantikan dan apa adanya. Tubuhnya tetap ringkih, diiringi tarikan-tarikan nafas akibat kemampuan paru-parunya yang buruk. Bahunya terjungkit ke atas, membuat Sri menjadi sangat khas. Kami senasib sejak dulu. Sama-sama penderita asthma. Tapi nasibku jauh lebih baik. Selain lebih ringan, kemampuan finansial keluargaku memungkinkan aku berobat dengan lebih baik. Sementara kutahu, dari dulu Sri hanya mengenal ephedrine yang tak seberapa ampuh untuk melawan sesak nafasnya.

Tanpa sungkan, kami berpelukan mesra, lama sekali. Lalu kedua tubuh kami menyatu tak hendak lepas. Kami duduk berdampingan memutar sejarah lama dan saling bertukar kabar. Sekali-sekali gelak tawa kami mengusik orang-orang di sekitar kami yang tiba-tiba menjadi orang asing untukku. Padahal, dari hari ke hari aku biasa duduk-duduk mengobrol dengan mereka sambil menunggu anak-anak kami.

-ad-

Sri jadi guru di sebuah SMP Negeri di Jakarta. Dari pernikahannya dengan seorang pegawai negeri pula, dia beroleh beberapa buah hati ditambah anak-anak kakaknya yang terpaksa kehilangan kasih sayang orang tuanya selagi kecil. Rumahnya masih di tepi kanaal itu juga, menemani ibundanya yang kini tinggal seorang diri dalam usia yang sudah sangat sepuh.

Subhanallah! Ibu itu masih ada. Sedangkan, ibuku yang hidup jauh lebih baik dan tertata, sudah diambil pemiliknya bertahun-tahun lalu selagi aku belum sempat mempersembahkan anak-anak buah cintaku. Srilah yang merawat ibundanya, sambil membaktikan diri di dunia pendidikan mengajar mathematika sesuai kepandaiannya sejak kecil. "Ibulah yang membantuku mengurus rumah dan anak-anak,: katanya menjelaskan. "Aku berangkat pagi, pulang menjelang malam," tuturnya. Mata itu begitu sayu. Seperti berat menahan beban di dalam pikirannya sana. Bibirnya ada menyungging senyum. Tapi, getir seakan dipaksa.

Sekali-dua kami bertukar cerita. Aku tahu darinya, bahwa dia dikaruniai banyak anak untuk ukuran pegawai negeri. Belum lagi beberapa anak piatu yang dititipkan kakaknya ke tangannya. Semua itu jadi kewajibannya untuk membimbing, Dan semua terasa kian berat, karena salah satu dari putra-putrinya cenderung santai. Tak punya semangat belajar untuk menghargai jerih-payah orang tuanya. Di halaman sekolah itu, kudengar Sri meneriaki anaknya. Mengingatkan bahwa lonceng masuk kelas sudah berbunyi, sedangkan anaknya masih asyik menendang-nendang bola di halaman sekolah. "Itulah anakku si Rahmat, selalu memancing kemarahan orang," gerutunya sambil mengambil nafas.

-ad-

Kami kemudian berpisah lagi. Aku mengikuti suamiku menuju negara tempat tugasnya yang ketiga. Dan Sri, pada waktu itu sedang dalam proses minta ijin pindah mengajar ke bekas sekolah kami dulu. "Aku tak mau dipensiun muda, padahal otakku masih sanggup mengajar," ceritanya padaku sambil bersandar ke dinding kelas anak kami. Dia terancam dipensiun sebelum waktunya karena beberapa waktu belakangan ini dia sering keluar-masuk rumah sakit sebab asthmanya yang makin mengganggu. Kuamati wajahnya dengan seksama. Ada kesungguhan di raut wajahnya. Juga pada tutur kata itu, "Ya, aku berharap semoga permohonanmu terkabul. Mungkin bahkan kelak aku bisa menitipkan anakku ke tanganmu," sahutku jujur. Aku tahu dia tidak mungkin menganggur dan hanya mengharapkan selembar-dua lembar puluhan ribu uang pensiunannya. Lagi-lagi dia tersenyum getir dan menelan ludahnya sendiri. "Semoga," balasnya sambil menerawang jauh. Sementara aku merasakan kepahitan hidup sahabat masa kecilku ini semakin meruyak. Ingin rasanya aku menjerit memohonkan keringanan padaNya.

-ad-

Aku terpana dan tercakung di muka monitor komputerku. Deretan pesan dari anak muda yang masuk ke dalam reply blogku sangat menusuk. "Maaf bunda, saya tak bisa menyampaikan salam bunda. Kalau beliau yang bunda maksud benar tetangga saya, saya kabarkan kepada bunda bahwa beliau telah berpulang beberapa tahun yang lalu." Demikian bunyinya.

Seperti sebongkah batu dilemparkan orang mengenai dadaku. Menyakiti jantung di dalam sana. Menimbulkan nyeri yang tak terkatakan. "Ibu Sri berpulang meninggalkan putra-putri dan suami serta ibundanya karena sakit. Sekarang saya tak mungkin menceritakan lagi keadaan putra-putri beliau. Si kakak telah ke luar rumah entah kemana. Si bungsu juga dipinang orang dalam usia remaja lalu pergi dan jarang kembali. Hanya ada simbah putri yang seperti telah kehilangan segala-galanya. Mahkota hidupnya pergi direnggut dari sisinya," tegas gadis kontakku itu. "Maafkan saya bunda. Saya tak layak menyampaikan ini kepada bunda, seandainya saya tahu betapa bunda begitu dekat dengan ibu guru itu," tutupnya.

Air matakupun menggenang kemudian meluncur turun membasahi pipiku lalu menetes di kerudung. Di layar komputer itu seakan-akan tergambar wajah dan sosok sahabat kecilku yang memang tak pernah jadi "besar". Wanita yang ditakdirkan menjalani kodrat sederhana serta seperti tak berhak untuk bahagia.

Aku merasa malu padanya. Karena aku seperti menyimpan kepongahan. Tak pernah merasa beruntung dan diuntungkan nasib. Sebab yang ada padaku hanya sederet keluhan yang tak pernah berhenti kukeluhkan,

Sri, perempuan itu, telah mengajariku dari dalam kuburnya untuk senantiasa bersyukur dan menikmati hidupku yang senantiasa penuh warna. Kupeluk erat semua kenanganku bersama Sri. Juga masa-masa ketika kami makan es lilin berdua atau sepincuk rujak di dapur rumah Latifah. Disana tergambar kembali wajah Sri yang cerah. Walau hanya pada sepincuk rujak dan sebatang es lilin itu. Tak henti-hentinya pipiku basah, seperti hujan di luar sana yang asyik menyirami tanaman di kebun bunga kami. Ah, Sri sudah bahagia di alamnya, bisikku liih.

Selasa, 29 Juli 2008

ANAK KESAYANGAN

Cinta itu ada di hatiku. Pada setiap anak-anak, tak berbilang bangsa. Aku selalu berbahagia jika berada di antara mereka. Mendengar rengek-rintih mereka, menikmati gelak-riuh canda mereka, dan mencium baru keringat mereka.

Anak-anak itu adalah salah satu kekasihku, pembalut rinduku akan cinta Illahi. Dengan memandangi dan menyentuh mereka, terpuaskan sudah keinginanku untuk bertemu dengan Tuhan, pemilikku. Sebab, pada diri dan jiwa mereka yang polos kutemukan "jejak-jejak" Tuhan. Yang mengarah kepada kedamaian hakiki.

-ad-

Bulan Juli jadi satu momen yang senantiasa istimewa bagiku. Bukan hanya karena aku berulang tahun di bulan itu, melainkan karena di bulan Juli selalu ada saja kejutan buatku.

Tahun ini, anakku di Sumedang mengabarkan kemajuan studinya. Dari sembilan mata kuliah yang diambilnya semester lalu, lima dinyatakan lulus dengan judicium A. Sisanya B tanpa C sama sekali. Syukurku padaNya, karena anakku diberi  semangat untuk menyelesaikan sekolahnya dengan baik tanpa kami dampingi.

-ad-

Tak terasa, sudah lebih dari sepuluh tahun dia "makan bangku sekolahan". Sekalipun pernah terpuruk karena nasib. Tinggal kelas dan mengulang kelas adalah sandungan utamanya dulu di luar negeri.

Andriku. Bujangan kecilku yang sudah bertumbuh dewasa sekarang. Ada masanya aku merasa dia bukan lagi milikku, terutama ketika kesehariannya sudah habis untuk urusan sekolah dan kegemarannya. Kusadari, aku telah menjadi tua.

Dulu sekali, dia selalu ada untukku. Tak pernah aku memintanya untuk datang padaku. Tapi atas keinginannya sendiri dia selalu berada di dekatku. Dengan segala tingkahnya yang unik dia tak pernah jauh dariku. Menggelayut manja di dekatku minta dinina-bobokan dengan lagu-lagu yang tidak lumrah untuk telinga kanak-kanak. Juga membawakan buku-buku yang aku sendiri sulit untuk memahaminya.

Hari Anak Nasional tahun 1991 adalah momen yang pasti selalu kupakai untuk mengenang keberadaan Andriku. Waktu itu dia masih di Kindergarten St. Paul, Wina, Austria. Terlalu bocah untuk mengerti makna Hari Anak yang didengung-dengungkan pemerintah.

Aku ditugasi kantor suamiku sebagai pelaksana peringatan yang ditandai dengan berbagai lomba untuk anak-anak. Tak kurang dari seratusan anak Indonesia akan hadir memenuhi undangan KBRI. Sejumlah itu pula yang jadi tanggungjawabku untuk kusenang-senangkan.

Sebagaimana lazimnya, aku harus belanja bahan masakan dan hadiah bagi mereka semua. Beberapa minggu sebelumnya pekerjaan kumulai dengan kerjasama semua teman-temanku di Dharma Wanita. Daftar anak-anak kupakai sebagai patokan untuk membeli hadiah dan membungkusnya dengan tepat. Menu yang ringanpun harus kususun agar semua anak dapat menikmatinya tak terkecuali orang tua mereka. Bahan-bahan lomba kucari dan kusiapkan sendiri sedapat mungkin sebagai konsekuensi atas penugasanku.

Alhamdulillah semua siap menjelang harinya, dibarengi dengan rasa sakit pada daerah perutku diikuti darah yang tumpah tiba-tiba. Aku tidak terlalu merisaukannya, seandainya darah itu tidak terus saja keluar.

Tapi diiringi sakit yang menghunjam, darah segar itu ikut menumbangkan pertahanan fisikku. Temanku yang baik dan sangat peduli padaku menyarankanku untuk turut dia berobat ke rumah sakit, Kupikir ini kesempatan baik, selagi masih ada satu-dua hari untuk memulihkan keadaan sebelum perayaan berlangsung.

Jadilah aku mengikuti Silvy memeriksakan diri. Saat itu dokter kandungan memintaku memeriksa air seni, tapi hasilnya tak jelas, Kecurigaanku hanya pada kelelahan disebabkan beban kerjaku berbilang minggu. Maka kuputuskan untuk beristirahat sehari-dua sambil memantau perkembangan kegiatan dari dalam rumah.

Tapi kondisiku memburuk, padahal suamiku sendiri sedang terpuruk oleh asthma yang bertahun-tahun tak pernah kambuh. Dengan menumpang tram kuberanikan diri mendatangi dokter umum langganan kami, seorang keturunan Indonesia. Kuceritakan semuanya. Dokter itu tak berani mengambil tindakan apapun selain menyuruh aku segera kembali ke rumah sakit untuk menemui dokter kebidanan dan kandungan.

Di langit matahari mulai suram. Kuputuskan untuk pulang, menunggu pagi di rumah sebelum berangkat menyerahkan diri ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan darah itu mengalir tak henti, menyakiti perutku dan menimbulkan kunang-kunang di mataku. Aku terus berdoa mohon kekuatan padaNya agar menerangi hariku. Semalaman aku bergulung di atas kasur tak ubahnya janin di rahim ibunda. Menahan nyeri yang menghunjam tajam seraya berharap mencegah lajunya darahku. Sementara di sisiku, suamiku terbatuk-batuk dan berulang kali menghela nafas sambil menghirup inhalernya yang seperti tak berfungsi.

-ad-

Pagi itu dengan kekuatan yang tersisa aku diantarkan suamiku ke rumah sakit. dan dokter segera mengambil tindakan pemindaian rahim, yang kemudian menemukan kehamilan di luar kandungan. Aku hamil tanpa kusadari. Dan janin itu tidak berada di tempat semestinya.

Dokter marah-marah dalam bahasa yang tak kumengerti, namun kusadari menegur kecerobohan kami. Aku dibawa masuk ke ruang bedah dengan segera. Entah apa yang terjadi, yang pasti aku kembali terjaga di atas kasur dingin yang tak kukenali di sebuah kamar tua, Kamar rumah sakit umum pusat di kota itu. Wiener Algeimeine Krankenhaus.

Di sisi pembaringanku suamiku duduk menekuri lantai. Senyumnya mengembang disertai binar mata yang gemilang menyukuri keadaanku yang baru terjaga. Didaratkannya hidungnya di dahiku. Lalu tangannya memainkan anak-anak rambutku. Wangi parfum Calvin Klein yang jantan berbaur dengan bau nafasnya yang khas menyadarkanku akan keadaan sesungguhnya.

Pertanyaan pertamaku adalah urusan panitia peringatan Hari Anak. Aku lupa apakah aku sudah sempat menyerahkan semua tugasku pada teman-temanku. Suamiku tersenyum manis, "jangan dipikirkan. Kamu pasti lupa. Tadi pagi sebelum ke rumah sakit kamu telah mampir ke rumah bu Naryadi untuk berpamitan," jawabnya. Aku memejamkan mata yang masih terasa pusing sambil mencoba-coba mencerna kata-kata suamiku. Aku betul-betul lupa akan apa yang kulakukan tadi pagi.

Semakin aku berpikir keras, semakin aku khawatir akan nasib pesta anak-anak yang jadi tanggungjawabku. Maka air matakupun mulai mengalir, dan disapunya dengan sapu tangan biru muda yan kubelikan di Maria Hilfer Strasse. Harum tubuh suamiku tercium dari situ, memaksaku untuk mengingat bahwa aku berada di Austria dibawa dirinya sebagai pendamping tugas-tugasnya. Semakin tak sanggup aku menerima kenyataan hingga air mata itu luruh tak berkesudahan. Kemudian aku lupa akan keadaan di sekitarku, kecuali bayangan anak-anak yang siap menantiku di halaman KBRI besok pagi.

-ad-

Anak-anakku datang menjenguk di sore hari. Andri kecilku dengan adiknya yang baru mulai melangkah tegap. "Ibu," panggilnya. "Besok ada pesta?" tanyanya dengan mulut menganga mengharap jawaban yang menyenangkan. "Ya, sayang," jawabku lirih. "Aku mau ajak teman-temanku di pesta untuk mendoakan ibu," Katanya lagi. Lalu jemari kecil itu menjulur menghadap ke angkasa. "Besok aku akan pakai kain dan pergi ke pesta. Tapi aku rasa, aku akan kehilangan ibu. Ibu tidak akan lihat aku tampan besok pagi," celotehnya tiada henti. Adiknya terus menciumiku dan mengelus-elus tanganku. Kembali air mataku berguliran menandakan kekecewaanku telah mengecewakan anak-anak itu.

Nenek tua di sebelah kamarku datang mendekat. "Ini anakmu?" tanyanya sambil mengelus-elus kedua anakku. Aku mengangguk. "Aku juga punya cucu, tapi mereka tidak disini," katanya tanpa kutanya. Wajahnya yang dipenuhi kerutan nampak semakin tua tersaput sendu dan kerinduan. Dia mengajak anak-anakku bercakap-cakap. Si bungsu digendongnya. Andriku diciuminya, Lucunya, anakku mengobrol asyik dengan nenek yang kulupa sekarang siapa namanya. Setelah menurunkan anakku dari gendongan, nenek tua itu meraih laci di sisi tempat tidurnya, mengeluarkan dompet dan mengambil sehelai uang dua Shilling dari situ. Diserahkannya ke tangan Andri dengan sedikit ucapan manis. Andri menerimanya dengan senang, sebab seumur hidup aku belum pernah memberinya uang. Dilipatnya uang itu dengan rapi dan dimasukkannya ke saku kemejanya. Senyum terus tersungging di bibir mungilnya. Dan tepuk-tepuk tangan kecil yang jadi kegemarannya mewarnai sore hari itu.

-ad-

Lepas jam berkunjung siang, tiba-tiba satpam mengantarkan rombongan teman-temanku. Serangkai bunga warna-warni di taruh di jendela kamarku, sementara seikat anggur dan majalah diletakkan di atas meja tidurku. Cium demi cium mendarat dipipiku. Ada sebentuk kehangatan yang tulus mewarnai kehdiran mereka.

"Pesta sudah selesai," kata mereka yang masih dalam balutan seragam Dharma Wanita. Kemudian bergulirlah cerita demi cerita yang menyenangkan. Tentang kelancaran acara, juga keluguan Andriku ketika tanpa diminta menceritakan keadaanku di rumah sakit serta pertemuannya dengan nenek. "Ibuku telah menangis kemarin, karena itu nenek memberiku uang," ceritanya sambil mendekati bapak Duta Besar Agus Tarmidzi dan ibu yang memandangi anakku keheranan. Beliau tahu, orang tuaku tak ada lagi. Jadi nenek siapakah gerangan.

"Nenek itu ada di rumah sakit. Nenek itu sudah tua dan sayang padaku," jawabnya atas pertanyaan Yang Mulia Duta Besar Agus Tarmidzi. Dikisahkannya pula tentang kulit nenek yang pucat dan keriput serta rambutnya yang kuning keemasan. Pak Agus dan ibu konon tertawa terbahak-bahak setelah mengerti maksud anakku. "Berapa uang yang diberikan padamu?' tanya pak Agus. "Satu," jawabnya tegas. Lalu diperlihatkannya uang dua Shilling pemberian nenek yang rupanya sudah dipersiapakannya. Maka gelak-riuhpun semakin tak terbendung. Imbasnya menghangatkan kamar rumah sakitku yang sepi dan dingin di siang itu.

-ad-

Episode yang telah lama berlalu. Pengalaman berharga dalam hidupku. Bahwa hidup dan mati seseorang Tuhan jualah yang mengaturnya. Andriku kini telah jadi dewasa dan akan terus berkembang. Sementara janin di kandunganku tertidur sudah untuk selamanya.

-ad-

"Ibu, kalau kangen ingin lihat aku, masuklah ke youtube. Carilah tutorial feat John Lennon, maka ibu akan ketemu aku disitu," katanya dalam SMS kepadaku minggu lalu. Dengan penasaran kuikuti kemauannya.

Masya Allah! Waktu memang telah lama berlalu. Anakku Andri lagi-lagi membuat kejutan yang menyentuh jiwaku. Disana, di youtube, dia tampil sebagai sosok manusia lain. Seorang pemuda yang nyaris tak kukenali dengan rambut mencapai dada dan gaya yang sangat dinamis.

Andriku. Kau hadiahkan juga kejutan untukku di Hari Anak tahun ini. Kau bukan lagi anak kecil yang lugu itu, Namun, kau selalu ada dalam hatiku untuk menghapus rinduku dan menyalurkan kasih sayangku.

Waktu aku memintamu mencukur rambutmu, dengan tegas kau katakan bahwa aku adalah manusia kuno yang selalu mengukur kesempurnaan seseorang dari penampilan fisiknya. "Hargailah aku apa adanya. Telah kupersembahkan nilai-nilai yang tak mengecewakan untuk bekal masa depanku," tutupmu. Dan bapakmu, betul. Beliau menghargai dirimu walau bagaimanapun penampilanmu. "Dia telah menjadi dirinya sendiri," puji bapakmu, "aku bangga padanya." Aku mengangguk-angguk setuju. Selamat Hari Anak, sayangku.

(Untuk Andriarto Andradjati, di Hari Anak Nasional 2008)

Jumat, 18 Juli 2008

DALAM JARING CINTA

Aku termasuk makhluk yang beruntung. itu harus kuakui dan kusykuri. Kemarin tetanggaku di kampung sebelah, mengumpulkan para perempuan Indonesia yang jumlahnya tak lebih dari jumlah jari di kedua belah tangan. Kami berbagi pengetahuan dan keterampilan sambil makan siang bersama. Si nyonya rumah yang kecil-mungil itu ternyata sangat terampil. Disuguhkannya aneka hidangan sedap serta peragaan membuat kerajinan tangan yang cantik dilihat. Setelah itu tanpa diduga, dia menghidangkan kue ulang tahun buatannya, sambil mengucapkan selamat ulang tahun padaku.

Aku terpana tak habis pikir. Seumur hidupku, ulang tahunku biasa berlalu begitu saja. Tapi, tak dinyana, di tempat yang jauh serta dingin ini ada kehangatan untukku. Yang kemudian terasa jadi sangat istimewa.

-ad-

Aku makhluk biasa. Tak banyak perbuatanku yang menyenangkan orang. Tapi dengan caranya yang indah Tuhan telah menegurku untuk lebih memperhatikan sesama manusia di sekitar lingkunganku.

Mula-mula aku menirunya dari keluarga pimpinan pertama suamiku. Ketika itu di Kanada, tahun 1984 sampai 1985 kira-kira setahun setengah kami bersama-sama dengan keluarga Prof Hasjim Djalal. Beliau disertai istri dan dua orang purtra-putrinya saja.

Gaya kepemimpinan beliau sangat luwes. Sekalipun jabatan beliau adalah Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, tapi beliau bisa bergaul dengan santai. Siapapun yang berada di sekitarnya akan merasakan kenyamanan. Bu Zurni, istrinya, pandai menyanyi dan menginspirasiku untuk juga mencoba bernyanyi di dalam acara-acara kantor suami kami. Tak pernah sekalipun beliau menertawakanku, meskipun penampilanku cukupan. Baginya, asal aku mau mengisi acara, sudah baik. Upahnya kemudian, berupa nasi Padang yang lezat lengkap dengan gulai daun pakis dan seringkali masih ditambah dengan soto babat.

Tidak saja kepada kami para diplomat, terhadap para local staff beliau juga tak menjaga jarak. Seringkali kudapati teman baruku Iena beru Bukit istri dari abang Ginting tiba-tiba kelabakan karena pak Dubes dan ibu menyatakan ingin makan masakan Iena di apartemennya. Kalau sudah begitu, Iena akan segera menyiapkan hidangan sedapat-dapatnya dan merapikan kedua balitanya supaya pak Dubes dan ibu layak duduk di dalam rumah mereka. Tapi, kemudian menurut Iena, ternyata bapak Dubes dan ibu memilih duduk di area dapur sambil mengangkat kaki layaknya di dalam rumah tinggal beliau sendiri. Tinggallah Iena dan bang Us suaminya, tertawa gelak-gelak menyadari kerepotan yang telah mereka ciptakan sendiri. 'Bapak makan dengan tangannya segala apa yang kumasak," celoteh Iena memamerkan kebahagiaannya.

Lain kali mbak Tanti istri pak Ghandono giliran bercerita bahwa tanpa di duga ibu Hasjim mampir ke gerai kosmetik yang dijaganya di dalam sebuah toko terkenal. Permintaannya cuma satu, mencoba parfum-parfum jualan mbak Tanti lebih dulu sebelum kemudian memutuskan membeli keesokan harinya. "Ibu nggak ragu-ragu minta pendapat saya, dan kalau saya katakan tidak cocok harumnya dengan tubuh ibu, beliau tidak tersinggung,"  kata mbak Tanti suatu hari disela-sela obrolan santai kami di rumah salah seorang teman.

Maka berombonganlah masyarakat Indonesia di Ottawa dan Montreal mengunjungi Wisama Duta Rockliffe jika beliau mengundang dalam acara dinas. Semua merasa senang dan diperhatikan oleh KBRI.

Tidak saja kepada para pegawai dan masyarakat, kepada staff rumah tangga belau sendiripun dicontohkannya bagaimana menciptakan penghargaan. Pembantu beliau yang diambil dari Jawa Tengah disapanya dengan Lik Ati dan Lik Ma'rup. Sementara si gadis Minang mendapat julukan Ni Nung. Pak Yoyon sopir pribadi ibu yang telah mengabdi sekian lama juga mengakui betapa dia merasa nyaman bekerja pada keluarga beliau. Begitulah kemesraan yang diajarkan kepada kami, yang menjadikan kami senantiasa tergerak untuk mengikutinya.

Tak heran jika pada suatu hari suamiku dengan terpaksa dan tergugup-gugup lagi-lagi duduk di belakang setir Buick bapak Duta Besar dengan membawa seorang Menteri di belakangnya.

Sebagai staff termuda, suamiku kebetulan ditugaskan di bidang Protokol. Pagi itu tetamu dinas, bapak Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim harus berangkat menenmui pejabat pemerintah Kanada. Sayang, sampai waktu yang ditetapkan sopir dinas belum siap berpakaian, sehingga atas inisiatifnya sendiri suamiku memberanikan diri mengendarai mobil Duta Besar yang terkenal panjang dan lebar itu.

Tak dinyana, jarak kursi ke pedal rem dan gas sangat jauh tidak sesuai dengan ukuran tubuh mungil suamiku. Sementara untuk mengesetnya kembali sudah tak sempat. Akibatnya, suamiku duduk tanpa bersandar dan memainkan kakinya sedemikian rupa penuh kewaspadaan. Untung sampai juga dengan selamat sekalipun disertai cucuran keringat yang membanjir di musim dingin diikuti tawa bapak Duta besar yang menerima laporan suamiku.

-ad-

Kenangan manis itu terus saja mengikuti kami. Menginspirasiku untuk senantiasa berada di tengah-tengah masyarakat. Seperti di rumah Echi Ismail siang itu. Alangkah nikmatnya kebersamaan, sayang untuk diabaikan. Andai waktuku masih panjang, aku ingin mengajarkan kepada seluruh anak-cucuku untuk menata hidup mereka dengan persahabatan dan kedamaian. Mungkinkah itu?

Selasa, 15 Juli 2008

SENANDUNG SORE HARI

Tak seorangpun bisa meramal seberapakah panjangnya kehidupan seseorang. Tidak juga diriku. Dulu aku sama sekali tidak mengira bahwa mama akan lebih dulu meninggalkanku menghadap padaNya dibandingkan ibu. Ibuku sudah sangat lama sakit, dan rumah-rumah sakit adalah rumahnya yang setia. Di barisan ranjang-ranjang berderet itu ibuku menggantungkan jiwanya. Menambatkan diri pada sebuah tiang infus. Sementara mama senantiasa kelihatan perkasa walau tubuhnya nampak ringkih. Tak sekalipun kami dapati mama sakit atau lunglai di dalam menjalani hari-harinya yang berat sebagai orang tua tunggal. Mama, permataku, Srikandi suci itu.

Tak berlebihan jika aku mengatakan mama sebagai Srikandi suci. Sebab mama senantiasa giat bergerak, melakukan apa saja tanpa pamrih untuk menyenangkan banyak orang. Tidak saja keluarganya, melainkan juga karib-karib mama termasuk keluargaku. Karenanya di saat mama tiba-tiba berpulang, banyak orang yang menyempatkan diri untuk mendoakan mama dan mengantarnya ke peristirahatan abadi, Bahkan para polisi lalu lintas siap mengawal di depan dan di belakang antrian kendaraan menuju ke makam. Membuncahkan kebanggaan dan keharuan pada kami.

Sore ini pikiranku menerawang jauh kesana, Kepada saat-saat terakhir kedua ibuku. Meski telah lama berlalu, tapi mereka tetap ada di dalam ingatan dan hati kecilku. Sebagai pemanduku untuk senantiasa ingat akan ajal dan pertaubatan sebelum mati. Kulayangkan pandang menembus jendela kaca menatap kolam ikan di tepi kamar yang dipenuhi air hujan.  Disitu ikan-ikan koi kami sibuk berlarian mencari selamat di balik batu sebelum betul-betul terhanyut oleh hujan yang tak mengenal waktu.

-ad-

Kemarin pagi adalah saat terindah dalam hidupku. Aku bangun di usia kelimapuluh dengan sapaan matahari hangat yang muncul menembusi kabut yang turun gunung. Kemudian kecup mesra suamiku serta  dekapnya yang erat, membawaku kepada perasaan dimiliki. Sebagai pemilikku di dunia ini, dia telah begitu setia menemaniku melewati semua pahit-getirnya hidupku. Ketika aku terpuruk di atas kasur, dan ketika aku harus melahirkan anak-anaknya dengan kesulitan dia ada di sisku. Tak pernah meninggalkanku dan lari dari tanggungjawabnya. Kami melahirkannya berdua. Dia di dekatku merekam semua momen kelahiran ananda.

Cintanya yang teguh dan tulus telah membantu mengeratkan kasih sayang anak-anak padaku. "Ibu telah melahirkanmu dengan pengorbanan," ceritanya pada Andrie suatu hari. "Perut ibumu digores piisau tajam, kemudian disayat selapis demi selapis pada bagian daging yang tebal dan putih pucat itu, hingga menyembur air dari dalamnya. Pancarannya menakjubkan. Begitu tinggi diiringi lengking suaramu yang merindukan kehangatan. Lalu dokter membaringkanmu di atas dada ibu sebelum menyerahkannya padaku untuk kuraba pertama kali. Sementara itu, di kasur ruang bedah, ibumu tersengal-sengal kehabisan oksigen dengan wajahnya yang pasi. Kubisikan padanya bahwa dia harus bertahan demi merawatmu, buah cinta kami yang sekian lama dinanti."

Kata-kata itu terus saja terngiang di telingaku. Entahlah pada anakku, sebab dia terlalu kecil untuk mengerti dan merekamnya saat suamiku mendekapnya dan membisikkan kata-kata itu.

Suamiku juga ada di dekat kamar bedah ketika Yadi dilahirkan dengan caesar yang kedua. Nafasku lagi-lagi habis. Dan dialah pula yang menggenggam erat jemariku dan memberiku semangat untuk hidup.

Sama halnya dengan kelahiran almarhum anak sulung kami dulu. Dia dan dia seorang penguat semangatku. Bahkan aku mengisak di pangkuannya ketika kutahu dia rela mengantar sendiri anak kami ke peristirahatannya yang abadi untuk kami kembalikan kepada Tuhan. Tangis haru yang mengalir begitu saja.

"Selamat ulang tahun," katanya tanpa menyebut namaku. "Sehat selamanya, ya? Jangan pernah sakit-sakit lagi. Aku mintakan supaya sakit yang sekarang adalah sakitmu yang terakhir," ucapnya lembut sambil meraihku ke pelukannya. Ruang tidur kami serasa hangat oleh kasih sayangnya yang mencoba mencuri dinginnya winter di tepian Atlantik.

Tak dilepasnya aku untuk beberapa saat. Hidung itu merayap di sekujur wajahku. Persis seperti ketika kami muda dulu. Dia sangat senang menciumiku sekalipun aku tidak cantik dan bukan pesolek atas keinginannya semata.

-ad-

Ucapan ulang tahunnya pagi itu mengajakku merenungi semua jalan hidupku. Limapuluhtahun sudah kuhirup hawa dunia. Separuhnya lebih kami habiskan bersama-sama. Aku melihatnya untuk yang pertama kali dalam seragam kepanduan seorang bocah, dengan menuntun sepeda kumbang hijau. Dan sejak itu jugalah kami bersahabat.

Aku mengikutinya bersekolah di Bandung sesuai permintaannya. Aku menemaninya menyelesaikan pendidikan, dan membantunya memilih pekerjaan. Aku jugalah wanita yang pertama merasakan sentuhan kejantanannya. Bahkan kenangan di teras rumah orang tuaku yang disaksikan cicak di langit-langit, seakan-akan tetap membekas rasanya di dahiku. Ya, dialah satu-satunya lelaki yang berhak menciumku. Ah, betapa rasanya tak dapat kuhapus begitu saja, seakan-aka baru terjadi kemarin malam. Malam Minggu, sembilan Maret tujuhpuluhempat sewaktu dia mengantarku kembali ke dalam genggaman bapakku sehabis merayakan ulang tahun gugus depan tigabelas-empatbelas.

Dijaganya aku dengan baik sampai ke pintu rumah orang tuaku. Jacket hijau tua itu dibiarkannya menutupi tubuhku yang terbatuk-batuk dan sering kehabisan nafas. Semuda itu dia sudah merawat dan menjagaku. Karenanya tak heran jika kini dia ingin istirahat dari tugasnya merawat dan menjagaku.

Suamiku betul. Tahun ini adalah rembang petang untukku. perlu kusikapi dengan lebih baik dan lebih berhati-hati menjaga kesehatanku. Anak-anakku belum semua keluar dari rumah kami. Tanggung jawabku sebagai ibu belum selesai untuk mengantarkan mereka ke gerbang rumah baru mereka, kehidupan luas mereka di masyarakat sebagai individu atas nama dirinya sendiri.

Tiba-tiba teringat lagi olehku, saat anak bungsuku "menghadiahi"ku dengan lagu Bunda di peringatan Hari Ibu tiga tahun lalu. Dibawakannya sepenuh perasaan seakan-akan dia takut kehilangan diriku di dalam operasiku yang akan berlangsung seminggu setelah perayaan itu. Dan ternyata bukan pula operasiku yang terakhir  Ya, suami dan anakku benar. Belum saatnya aku pergi. Masih harus kuperjuangkan hidupku untuk mereka dan untuk meretas jalan ke sorga.

Kuraih sajadahku, dan kusucikan diri. Kududuk di atasnya, menyenandungkan senandung sore hari bagiNya agar Beliau berkenan mendengar permohonan orang-orang yang kukasihi, Ya, perkenankanlah aku mendampingi permata hatiku lebih lama lagi, Tuhanku.

Angin gunung terus berhembus, matahari hangat juga turun menemani. Diselingi kicau burung yang berloncatan di pohon alpukat. Melengkapi keriangan hatiku kala berdoa di sisa usiaku yang mulai masuk petang hari. Siapa tahu aku akan bernasib seperti ibu mertuaku, mati esok hari tanpa diduga, aku telah pernah memohon ditunjuki jalan yang baik padaNya. Begitulah kiranya.

Jumat, 11 Juli 2008

AKU MENGADU PADAMU, MAMA

Malam adalah saat-saat yang paling menegangkan bagiku akhir-akhir ini. Bayangkan, nyaris setiap malam aku harus terbangun kesakitan. Belum lagi kakiku terutama yang sebelah kiri sering mengejang dan menimbulkan sakit yang sangat. Karena itu malam hampir selalu menjadi musuhku.

Setiap malam aku senantiasa teringat mamaku. Ibu mertua yang sangat kukasihi. Beliau dulu sering mengatakan padaku bahwa sejalan dengan bertambah tuanya umur seseorang, kesulitan tidur malam dan sakit pada betis adalah hal yang rutin terjadi. Mama benar adanya. Di usiaku yang genap setengah abad kini, akupun mengalami hal yang sama. Yang membuatku semakin terkenang akan mama, dan rindu akan kebersamaan kami yang dulu.

-ad-

Aku masih menyimpan foto kenangan itu. Kami berdiri berdua berdampingan di muka tembok rumah mama. Foto itu diambil ketika kami akan berangkat ke suatu termpat bersama-sama. Sekalipun mama belum menjadi ibu mertuaku, tapi aku sudah menjadi putrinya. Dan dimana-mana orang akan mengenaliku sebagai bagian dari kehidupan mama, sekalipun aku sedang bersama ibuku.

Adakalanya kami duduk berdua-dua di teras rumah mama yang mungil di dalam gang itu. Kursi plastik hijau yang dibatasi sebuah meja formica menjadi tempat kami mengobrol. Di atasnya deretan stoples berisi kue-kue kering tradisional menunggu disantap. Mama membuatnya sendiri sambil menerima pesanan orang yang memang ketagihan makan kue-kue mama. Ada sagon bakar yang wangi jeruk purut, kaastengels dan nastar cantik berbentuk landak, bahkan kue bangket yang dibentuk macam-macam lengkap dengan gurat-guratan penghias di bagian atasnya. Mama yang mengerjakan itu dibantu mas Dj sejak kepergian bapak mertuaku di usia mama yang masih sangat muda.

Menurut bibi-bibiku di kampung sana, dulu mama merupakan salah satu murid kesayangan mbah Sup sepupu nenekku yang mendirikan Sekolah Keputrian di jaman Belanda. Gambaran tangannya sangat bagus, menjadikan mama mahir dan terampil mengerjakan segala sesuatu yang bernuansa seni.

Keluarga ibuku dan keluarga mama senantiasa berangkat sekolah bersama-sama naik rakit menyeberangi Kali Lukulo menuju sekolah di kota. Karenanya tak heran kami menjadi suatu kesatuan hingga dikemudian hari yang melahirkan generasi kami, aku dan mas Dj,

Setelah kepergian bapak, mama ditemani oleh kerabat bapak, seorang duda yang kami panggil papie. Kebetulan putra-putri papie sudah menikah semua ketika itu, sehingga atas kebaikan hati papie rumah tangga mamaku mendapat seorang penghuni lelaki sebagai pelindung. "Mama tak pernah mengundangnya untuk menemani kami," kata mama di suatu siang sambil memperhatikan orang lalu-lalang di gang. Anak-anak kecil berlarian tanpa sandal sambil menggigiti es mambo di bawah terik matahari yang mulai condong, tidak mengganggu keasyikan mama menuturkan kisah hidupnya. Waktu itu umurku belum lagi dua puluh tahun, dan sedang dalam masa kebahagiaanku bersama kedua orang tuaku. Namun aku sudah hadir di dalam kehidupan mama dan menjadi teman curhatnya dikala beban kehidupan menghimpit.

Bapak mertuaku hanya meninggalkan sebuah Surat Keputusan Pensiun kepada mama untuk melanjutkan hidup. Sehingga mama terpaksa bekerja keras mencukupi kebutuhan rumah tangga membesarkan mas Dj-ku seorang. Namun mamaku betul-betul perempuan tangguh yang tiada pernah mengeluh dan tak bosan bekerja. Seperti yang kudapati siang itu, Kebaya kanstof mama masih basah oleh keringat sehabis mama keluar mengantarkan kue pesanan orang dan belanja. Papie belum pulang dari kantor, tempatnya membuang waktu setelah pensiun dari instansi pemerintah yang dipimpin bapakku sendiri.

Papie datang dalam kehidupan ibu mertuaku bagai seorang pengembara yang hanya membawa semangatnya semata. Tanpa harta, tanpa apa-apa. Hanya sebentuk kasih sayang sebagai pembalas budi kepada almarhum bapak mertuaku, begitu tuturnya suatu hari. Kemudian dilaluinya hari-hari tua papie bersama mereka, seperti ketika papie baru datang dari Jawa Tengah dulu dibawa oleh almarhum bapak. Dan mama, menerimanya dengan senyum sekalipun jauh di dalam hatinya mama merasa jengah. Tapi tak urung kerelaan mama menerima papie, membuahkan kebaikan jua. Rumah tangga mama tak pernah diganggu orang, dan tak seorangpun pernah melecehkan mamaku yang janda.

-ad-

Masih kuingat harumnya teh Tong Tjie seduhan mama yang biasa kami teguk di teras rumah. Atau limun yang sengaja disimpan mama untuk menyenangkan tetamu yang datang. Semua dibeli dengan hasil keringat mama, dan disuguhkan oleh tangan perkasa mama yang meskipun kurus tetapi tak pernah mogok bekerja. Di bahu mama keranjang besar kotak-kotak selalu nyantel berisi bahan makanan, ditambah dua lagi di tangan kanan-kirinya. Di antaranya buah pisang "kampungan" yang berjuluk makanan burung, pisang siem kesukaanku. Dengan ikhlas, seringkali mama mampir ke rumah orang tuaku menyerahkan sesisir pisang untukku yang dibalas ibu dengan pisang kepok dari kebun kami. Ah, manisnya persahabatan itu.

Semua sudah lama berlalu. Keringat mama sudah menjadikan suamiku sebagai pamong praja yang tangguh dan tak kenal menyerah. Keluhan fisik mama sudah menyadarkanku bahwa aku merangkak tua dan harus lebih berhati-hati menjaga kesehatanku.

Malam-malam itu, ketika tidurku tidak lagi berbunga mimpi, maka aku akan segera bangkit. Membersihkan diri dan merenung. Jauh menatap masa lampau dimana mama masih ada dengan segala ceritanya padaku.

Lalu aku akan menyeret kursi plastik itu lagi, mendekati mama, dan ganti bercerita pada mama. Bahwa pengorbanan mama sudah berbuah. Bahwa buah keikhlasan mama sudah terasa manis. Dan akulah sebagai orang yang menikmatinya, tentu bersama cucu-cucu mama yang belum pernah dilihatnya. Ingin kusampaikan bakti dan terimakasihku pada mama, juga permohonan maafku atas segala kekuranganku kini.

Serasa aku sedang memegangi tangan tua mama yang keriput seperti dulu. Dan menciuminya dengan senang. Pada sikap manis mama semanis kue-kue buatannya di setoples kaca itu, kutumpahkan semua bebanku. Kuakui, aku bukanlah manusia yang baik, Dan karenanya aku tak dapat menyenangkan suami dan anak-anakku. Di usia yang belum lagi setua mama, aku sudah harus menyerah kepada keadaan. Terpuruk oleh kemunduran kesehatanku yang dari hari ke hari tak kunjung membaik.

Mama mengambil sehelai saputangan putih berbunga-bunga merah jambu. Koleksi lama mama yang dulu sering dipakainya untuk mengusap air mataku ketika aku menangisi ibuku sendiri yang terbaring sakit dan menuju kematiannya. "Sudah kukatakan," bujuk mama mesra. "Semua ini kehendakNya semata. jadi hanya kepadaNyalah kau berhak meminta." Lalu jemari tua itu mengusap-usap helai rambutku mesra. Lembut sekali. Selembut sinar mentari sore di barat sana yang menembusi tirai bambu teras rumah mama, menyampaikan salam hangatnya padaku.

Air matakupun berguliranlah di atas bantalku kini. Sebagai tanda bahwa aku merindukan mama, setiap malam, untuk menemaniku mengurai segala persoalan yang bersarang di dalam dadaku.

Minggu, 06 Juli 2008

SUATU SENJA YANG MURAM DI KOTAKU

Mengenang masa lampau bukanlah sesuatu yang baik. Sudah seharusnya lembaran kuno ditutupbukukan, dan diganti dengan lembaran baru. Tapi tidak demikian untukku. Justru berpijak di masa lalulah aku bisa tegak berdiri seperti sekarang bersama keluargaku dibawah pimpinan imam yang ditunjukkan Allah untukku.

-ad-

Saat hujan mengguyur sepanjang jaman, apa pula yang bisa kita lakukan? Keluar rumah jelas mustahil. Menonton TV di Republik Afrika Selatan ini adalah hal yang paling kubenci. Bukan karena dia sarat infotaintment yang menyeret kita kepada tayangan murahan penuh dosa. Melainkan karena kekerasan yang jadi keseharian di Republik Afrika Selatan ini selalu saja muncul di TV. Dan aku benci itu.

Sejak bangun tidur kusadari guyuran hujan dan angin marak lagi membantingi pot-pot tanaman yang sangat besar di teras kamarku. Nyaris tak menyisakan keheningan. Di telingaku bagai sebuah melodi yang sangat gaduh tak beraturan. Di hatiku bagai dentaman yang menyakitkan, yang mengingatkanku pada sebatang pohon damar besar yang tumbang di muka RS PMI Bogor sesaat aku akan meninggalkan kampung menuju ke Ottawa dulu sekali.

-ad-

Sore itu aku baru saja keluar dari sebuah tempat di Gang City yang sempit dan padat dengan pedagang kaki lima menjajakan makanan. Aku menumpang bemo dari pelataran parkir pinggiran Pasar Bogor menuju ke arah Kedung Halang. Niatku ingin menjenguk ibu yang baru lewat dari masa kritisnya yang kesekian di RS PMI. Paman dan bibi-bibiku masih berkumpul di Bogor untuk mendoakan dan menyemangti ibu, tapi sebagian besar kakakku justru sudah pulang ke rumah masing-masing.

Hujan yang deras semakin seru oleh dentuman halilintar dan kilat yang membahana di angaksa sana. Gelap menerjang. Kurapatkan tubuhku di pojok terdalam bemo hijau muda itu. Di sebelahku beberapa penumpang lagi juga turut merapat ke dalam bedesakan menghindar dari serbuan hujan yang dibawa angin. Derum mesin bemo tua itu memekakkan telinga, namun nyaris tertelan oleh kemarahan alam di sore itu. Semua penumpang terdiam. Bertafakur dan kuyakin pasti sedang membunuh ketakutan dengan doa. Sopir kami melaju perlahan menyebabkan kami terangguk-angguk kena goncangan bemo tuanya.

Di muka Fakultas Pertanian IPB arus lalu lintas berhenti dengan seketika. Bemo kami juga ada di rangkaian itu, tak maju tak juga bisa melangkah mundur kembali. Hari semkain gelap. Kulirik jam di pergelanganku, nyaris pukul lima sore. Sebentar lagi pintu pengunjung pasien dibuka. Lalu akan segera ditutup pada pukul enam petang. Aku yakin ibuku sedang menungguku, mengharap aku menghabiskan malam bersamanya. Sudah berminggu-minggu bahkan nyaris berbulan-bulan aku setia menjaga ibuku. Bahkan pernah aku sengaja tak meninggalkan ibu yang kutahu sangat kesakitan. Aku sangat ingin ada di sampingnya dan melihat sendiri semua perjalanan ibuku melawan serangan hepatitis kronisnya.

Di telingaku seakan terdengar desah ibuku. Lalu suara yang lemah mencari-cari aku dan suamiku, sekalipun ibu tahu bahwa mas Dj menantu kesayangannya sudah berpamitan untuk bekerja ke luar negeri. Antara mas Dj dan ibuku memang terjalin hubungan batin yang erat layaknya ibu dan anak kandungnya sendiri. Sebab, mas Dj sangat sayang dan memperhatikan ibuku. Selalu ada saja caranya untuk membuat ibu bahagia, sekalipun dia tidak memegang sesenpun uang. Mas Dj akan datang lewat sentuhan tangannya, lewat kesabarannya melayani ibu tanpa diminta, lewat upayanya mencari kesembuhan untuk ibu dan kesediaannya mendampingi aku sejak dulu.

"Pak, ada apa sih di depan sana?" tanya penumpang di barisan terbelakang bemo kepada sopir di bemo belakang kami. Kulihat pak sopir menggelengkan kepalanya, mengangkat bahu dan mengeluh panjang-pendek. Lalu dia sendiri turun ke jalanan mencari tahu. Tak seorangpun tahu. Semua sama terbingung-bingung. Jam lima sudah terlewati. Dan kutahu ibuku pasti sudah sangat gelisah di pembaringannya. Apalagi di tempat tidur sebelah pasti tetangga-tetangga ibu sudah asyik mengobrol dengan keluarga mereka masing-masing. Ah, keluhku. Aku hanya berharap semoga bapak dan mbak Wiek cepat datang. Setidaknya dengan begitu ibu akan sedikit terhibur dan melupakanku.

Di jalur seberang kami kendaraan juga tak nampak sama sekali. Angin dan hujan deras itu agaknya telah menghentikan semuanya, menjegal kantung rejeki sopir bemo kami. Dengan sigap dia minta persetujuan untuk membelokkan bemo ke Jl. Rumah Sakit II, guna menghindari kemacetan panjang itu. Kami semua mengangguk setuju, karena kami semua mempunyai kepentingan masing-masing.

Bemo kami menepi, menginjak rerumputan dan masuk ke samping gedung IPB keluar dari rute yang seharusnya. Aku menarik nafas lega. Di dalam situ rumah-rumah nampak tertutup rapat. Semua penghuninya seakan bersembunyi di balik tilam. Dingin yang menusuk memang sangat terasa. Terbayang di benakku secangkir kopi kental dan comro panas sebagai pelawan dingin.

Bemo berhenti di belakang kamar mayat Rumah Sakit PMI. Aku segera tersadar untuk turun disitu, lalu menembus pintu yang tidak biasa supaya bisa segera menjumpai ibuku di bagian depan rumah sakit sana. Biasanya aku paling ngeri masuk lewat situ. Tapi senja ini tak ada pilihan lain. Baju merahku yang tipis selutut sudah menuntut untuk diganti dengan sehelai baju kering yang memang kubawa di dalam tas untuk ganti besok pagi.

Hiruk-pikuk di dalam halaman rumah sakit mulai terasa. Pengunjung bertebaran menuju ke berbagai ruang. Para perawat sibuk hilir mudik dengan baju mereka yang putih bersih, sementara satpam berbaju biru tua entah dimana. Aku bebas merdeka masuk dari belakang, dengan bergegas sekaligus melawan rasa ngeri berada di area kamar mayat. Padahal kutahu persis, di balik dinding kamar mayat itu adalah rumah kawan pramukaku Titin, seorang calon guru putra pak mantri kamar mayat. Dan Titin sama sekali tidak pernah merasakan ketakutan selama tinggal disana.

-ad-

Di bagian muka rumah sakit suasana nampak tegang. Orang-orang melangkah menuju pintu depan, termasuk para perawat dan satpam-satpam itu. Aku menghambur ke kamar ibuku, dan mendapati beliau terbaring lemah dengan wajahnya yang kuyu serta cemas. "Ah, kau datang juga," serunya seraya menjulurkan tangannya ke arahku. Aku mendekat dan membiarkannya menciumiku serta memeluk sepuas hati. "Badanmu basah, sayang....." bisiknya. Aku mengangguk. Kuperlihatkan bungkusan baju di dalam tasku. "Nanti aku ganti dengan yang ini," kataku seraya minta diri menukar pakaian sebentar. Di pintu kamar kulihat mbakyu dan bibiku menghambur memelukku kuat-kuat. Pancaran mata bahagia kutangkap dari mereka, sementara bapak sibuk kembali memijat-mijat betis dan juga lengan ibuku yang lelah.

"Ada apa?" tanyaku tak mengerti pada mereka. "Puji Tuhan," seru bibiku. "Kau tak ada di antara mereka." "Mereka siapa?" tanyaku tak mengerti. Alis mataku beradu jadi satu sambil melirik ke arah orang-orang yang sibuk di halaman Rumah Sakit PMI.

Aku urung berganti pakaian. Langkahku ikut menuju ke halaman rumah sakit bersama arus manusia. Di pagar besi itu sebatang pohon besar tersandar tergeletak merintangi arus jalan raya. Kini kusadari apa yang telah terjadi, hujan badai sore ini telah menelan korban.

Kulihat sebuah mobil boks putih rebah ke tanah dan pipih nyaris menyentuh aspal. Lalu mobil dan mobil lainnya lagi. Kemudian barisan perawat laki-laki dan satpam yang sibuk memindahkan korban dari jalan raya menuju ke dalam rumah sakit. Tubuh-tubuh pipih berlumur darah itu dilemparkan begitu saja ke halaman untuk memudahkan pemindahan ke dalam tandu. Astagfirullahaladzim! Sebutku. Semua mata memandang kelu, ngeri dan jeritan-jeritan kecil terus bersahutan.

Aku lari masuk ke kamar ibu. Tak kami ungkapkan apa-apa padanya. Aku tepekur sendiri. Untung bemoku tadi masih jauh di belakang mobil boks dan serangkaian kendaraan lain itu. Untung aku tidak ada disitu. Ibu menatapku penuh sayang dan kerinduan. "Cepat ganti bajumu," perintahnya, menyadarkan diriku bahwa aku nyaris lupa akan tujuanku mengganti baju.

Di kamar mandi kubiarkan mataku basah. Oleh air mata keharuan bahwa aku masih diselamatkanNya. Sampai tiba-tiba pintu diketuk orang yang memerlukan kamar mandi. "Sebentar" jawabku parau. Sesak di dada menyebabkan aku terbatuk.Kuselesaikan semuanya, lalu aku beranjak pergi. Menemui ibuku lagi dan mulai mengobrol apa saja untuk mencoba melupakan kejadian yang baru terjadi di depan mataku.

-ad-

Rasanya semua ini baru kemarin saja terjadi. Seakan masih lekat dalam ingatanku. Memperingatkanku untuk senantiasa bermohon kepadaNya atas segala sesuatu. Lebih-lebih ketika hujan tidak mau berhenti seperti winter duaribudelapan di Cape Town saat ini. Ya, aku harus senantiasa mengingat dan memohon perlindungan kepadaNya. Kusudahi kemuraman pagi ini dengan membuka buku agamaku kembali. Pelan-pelan kulantunkan doa puji dan puja hanya bagi Sesembahanku semata. Semoga Beliau berkenan mendengarnya.

Sabtu, 05 Juli 2008

KEMBALI KE MASA LAMPAU (III)

Winter di Cape Town adalah musim hujan yang  panjang. Sejak aku bangun tadi pagi, kusadari cucuran langit sudah memasuki hari ke-empat. Dan winter kali ini adalah winter terburuk kedua sepanjang hidup kami. Aliran listrik di sekitar kamar tidur kami (saja) tiba-tiba pula bermasalah setelah petugas instalatur memeriksa jaringan listrik yang akan diremajakan. Lagi-lagi mengingatkanku pada witner delapanpuluhenam di Kanada sana.

-ad-

Waktu itu tahun kedua penugasan penuh suamiku sebagai diplomat. Ibuku sudah berpulang saat aku baru beberapa bulan meninggalkan kampung. Dan pikiran jernihku memaksaku untuk tidak kembali ke kampung sekedar menyaksikan tanah makam ibuku. Ibuku seorang muslim yang tentu harus segera dimakamkan, sehingga bagiku cukup mengirim doa dan sekedar uang pembeli bunga. Anak-anak gadis kecil mbakyuku yang sudah menjadi "anak-anak" kami jugalah yang dengan terpaksa menyelenggarakan semua urusan kematian ibuku. Mbakyuku -ibu anak-anak itu- yang bertanggungjawab merawat orang tua kami sedang dalam proses pendidikan akhirnya di Amerika Serikat sesuai dengan penugasan pemerintah. Kakak-kakakku yang lain tinggal di luar kota dan sibuk dengan pekerjaan serta rumah tangga masing-masing. Inilah sebentuk kepahitan yang harus kutelan dengan sabar dan tawakal. Yang pada akhirnya membuahkan pahala, berupa kehadiran buah cintaku yang kedua dengan mas Dj.

-ad-

Andriarto lahir dengan Caesar di Ottawa General Hospital pada musim gugur delapanpuluhenam. Dedaunan yang mulai berubah warna nampak cantik kuning kemerah-merahan membahagiakan kami. Untuk pertama kalinya kandunganku dibuka, menghindari kecelakaan kelahiran seperti yang terjadi tiga tahun sebelumnya ketika aku melahirkan Dimasdjati di kampung. Beratnya hanya dua kilo setengah saja, tapi jelas jauh lebih besar daripada almarhum kangmasnya. Dan binar matanya yang bening serta rambut lebatnya jelas karunia yang baik dari Allah kepada kami suami-istri. Tak putus-putusnya kami bersyukur. Bahkan mas Dj segera mengganti Honda Civic Hatchback kami yang dua pintu dengan Toyota Camry putih keluaran terbaru demi kenyamanan anak kami berkendara.

Kami menidurkannya di sisi ranjang kami pada sebuah tempat tidur bayi baru. Selimut dan segala perlengkapan tidurnya kami beri berwarna biru dengan nuansa jantan sebagai doa ketegaran jiwa dan keteguhan sikap anak kami. Kamiyah assisten rumah tanggaku kami jemput dari kampung untuk merawat anakku sejak dalam kandunganku. Akhirnya dia jadi inang pengasuh yang setia sampai anakku duduk di SMP, tanpa pernah sedikitpun mengeluh.

Hidup ini demikian indah. Apalagi bayi kami bukan tipe bayi rewel yang kerap menangis. Gerakannya yang halus dan bibir lembut itu begitu menenteramkan dan menghibur hati. Rasanya aku mau beroleh anak lebih banyak lagi asal semua serupa dirinya. Dia hanya akan menangis bila lapar, basah atau tidak nyaman, dan mencari bapaknya di waktu bangun tidur pagi. Jam biologisnya senantiasa tahu kapan saatnya dia harus meneriakkan kata "bapak-bapak-bapak" yang dilafalkannya sebaga "baba-baba-baba" untuk mendapatkan peluk hangat  ayahnya serta sebutir telur setengah matang kegemaran mereka berdua itu.

-ad-

Winter itu adalah winter terburuk. Andrie kecilku baru dua bulan saja. Salju yang turun setiap hari serupa benar dengan serpihan kapuk di muka halaman gedung IPB. Belum lagi temperatur yang sangat rendah -empat puluh derajat di bawah nol celcius- membekukan seluruh alam. Salju itupun berubah serupa kristal kaca bening yang menggelayut di ranting-ranting Mapple tree yang ditidurkan musim. Bentuknya yang tak beraturan menggemaskan dan mengakibatkan aku ingin mengambilnya sebagai kenang-kenangan.

Seakan mengerti, salju beku itu betul-betul jadi kenanganku yang abadi tanpa harus kupetik. Dunia tiba-tiba gelap. Padahal gema lagu-lagu natal dan nyala lampu-lampu hias mulai semarak berpendaran di seluruh penjuru kota. Di toko-toko biasa dijumpai nenek-nenek tua saling menyapa dengan menggumamkan lagu "Jinggle bells, jinggle bells, jinggle all the way......... hello Anne," lalu tangan-tangan tua itu berangkulan mesra sambil saling merapatkan pipi. Suasana natal yang penuh kebahagiaan dan rasa kehangatan. Sementara anak-anak kecil juga ramai melingkari Father Christmas minta berfoto bersama dan mengharapkan hadiah darinya. Natal yang seharusnya meriah penuh cahaya ceria.

Tapi tidak demikian natal tahun delapanpuluhenam itu. Angin dan salju beku di pepohonan serta kawat-kawat listrik memutuskan aliran listrik nyaris di seluruh penjuru kota Ottawa. Dingin serta merta menyergap. Naluriku sebagai ibu memaksaku untuk mengangkat anakku dan membawanya naik ke tempat tidur kami menjadi semacam garis demarkasi yang justru menyemarakkan cinta kasih mas Dj padaku. Dia senantiasa menganggap aku terlalu ingin mendominasi si kecil, sementara aku juga menganggapnya ingin menjadikan Andrie sebagai miliknya semata. Akhirnya, kami selalu berpelukan bertiga mengusir dingin dan mengikat cinta. Bahkan setelah jaringan listrik diperbaiki dua hari kemudian, Andrie tetaplah menghuni kasur kami setidak-tidaknya tiap beberapa hari sekali.

-ad-

Ottawa. Kota kenangan itu. Titik mula bertumbuhnya karier suamiku yang dimulai sebagai "tenaga serabutan" di berbagai bidang mulai dari bidang penerangan, sosial dan budaya, protokol-konsuler, hingga bidang ekonomi dan asisten kepala perwakilan.

Tanpa bimbingan dan arahan Duta Besar-Duta besar kami DR. Hasjim Djalal dan Drs. Adiwoso Abubakar, mustahil suamiku bisa melangkah jauh. Di belakang mereka senantiasa diharapkan ada suamiku. Dan dia diminta menimba sebanyak-banyaknya ilmu kedua Duta Besar kami tersebut. Termasuk ilmu bersosialisasi. Segala macam pekerjaan dicobakan kepada suamiku, termasuk mengantar-jemput tetamu di Mirabelle Airport yang jauhnya dua jam perjalanan lebih dari Ottawa.

Untuk itu dinas tidak menyiapkan sopir. Suamkiku diminta menyopiri Duta Besar Hasyim Djalal di musim winter tahun delapanpuluhlima. Dengan gemetaran si Tole -pangeranku- duduk di belakang Buick yang besar kendaraan dinas Duta Besar kami. Tubuhnya yang mungil mengakibatkan dia sulit menjangkau pedal rem dan gas. Belum lagi salju yang turun tanpa henti serta jalanan beku minta perhatian yang sangat serius. Tiap sebentar kepalnya melongok-longok jauh ke depan macam seseorang yang sombong.

Kata Dino Djalal dalam bukunya yang terbaru 'HARUS BISA", maka demikian pulalah suamiku menghadapi ayah Dino pada hari itu. Di belakang suamiku, Yang Mulia Duta Besar duduk tenang sambil menyimak berita dari radio. Kali itu tiba-tiba mobil kehilangan kendali, oleng dan terbanting ke arah tepian jalan. Tepat di mukanya, tiang listrik yang kokoh menjulang. Ketika kepanikan melanda, Tangan Allah membelokkan roda menghantam gundukan salju setinggi hampir dua meter diikuti seru Subhanallah. Astagfirullahaladzim. Serta wajah-wajah yang pucat pasi. Mereka terhindar dari tiang listrik, tersadar dan segera berucap Alhamdulillah.

Perjalanan berlanjut hingga airport Mirabelle dengan penuh kehati-hatian disertai ucapan terima kasih dari Bapak Duta Besar setelahnya. Winter itu sungguh jadi kenangan pertama dan abadi bagi kami. Terutama ketika winter datang sekejam tahun ini, dengan hujan-hujan-dan hujan yang menciutkan nyaliku. Lengan kiriku terasa begitu ngilu karenanya. Dan aku tahu, sudah saatnya aku makan pagi untuk menelan obat penghilang rasa sakit itu sekaligus melupakan kemuraman dunia yang tercipta sejak kemarin dulu.

Jumat, 04 Juli 2008

KEMBALI KE MASA LAMPAU (II)

Dua hal yang menyebalkan dalam hidupku terjadi hari ini. Pertama adalah hujan lebat yang tak juga selesai sejak kemarin. Banjir di sekitar carport rumah kami, mengakibatkan suamiku pagi-pagi sudah mengeluh. Cape Town yang cantik tapi infrastrukturnya sungguh tidak tertata baik, kembali mengingatkanku pada kampung halamanku di tengah Kota Bogor yang kata orang sudah mulai metropolis. Sampai saat ini masih juga ada genangan banjir.Terutama di sekitar Jalan Soleh Iskandar yang relatif baru seumur anakku yang baru seperempat abad kurang sedikit.

Selain itu jaringan listrik di kamarku dan sekitarnya tiba-tiba mati sebagian. Alat-alat elektronik kami tanpa sebab langsung "mogok kerja", menyisakan kejengkelan sebab instalatur listrik yang kemarin kami panggil untuk pembenahan jaringan, hari ini justru tidak kunjung datang.

Aku menarik nafas kesal. Tak ada yang bisa kulakukan. Padahal tanpa jaringan internet atau karaoke, hidupku hambar. Aku memang tipe manusia yang unik. Senang menyendiri dan melakukan kegiatan yang tidak begitu diminati teman-temanku.Lagi-lagi aku menarik nafas dalam, mencoba menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk menyuplai kebutuhan tubuhku yang entah kenapa mulai ringkih.

-ad-

Angin itu begitu kencang. Menerbangkan segala apa yang ada di tanah. Bahkan pohon alpukat di muka dapurku juga seperti menari-nari. Mengingatkanku pada tarian anak-anak di panggung tujuhbelasan waktu aku kecil dulu.

Aku tidak pernah kebagian menari. Seperti biasa, semua orangpun tahu bahwa aku sangat kaku. Tapi toch mereka juga tak akan membiarkanku berdiri di kerumuman penonton yang menyesaki jalanan di muka rumah kami. Karena itu mereka memanfaatkanku untuk menggunakan suaraku melantunkan "Gugur Bunga" yang jadi lagu wajib di panggung tujuhbelasan di kampungku dengan iringan gitar Kang Madi.

Kembali terlintas di mataku, seorang gadis dengan rambut keriting mengembang yang nyaris sulit dirapikan berdiri dengan pedenya menghadap pak Lurah dan pak Camat yang duduk di dampingi Ketua Rukun Kampung kami, pak Hassan. Dengan suara a la "kuda masuk angin" dia menjeritkan lagu kepahlawanan itu hingga gemanya menembus tembok beton rumah bapak. Setelah menyelesaikan lagu dan membalas tepukan petinggi desa dengan anggukan hormat, gadis cilik itu melesat ke luar panggung mengendap-endap minta dibukakan pintu rumah oleh mbakyunya yang menunggu dengan masam. "Kamu tahu, bapak tidak suka kamu naik panggung seperti mereka," sambut perempuan itu sambil buru-buru menutup pintu. Di dalam rumah gelap sudah menyergap. Semua penghuni sudah naik ke atas kasur masing-masing.

Gadis itu tidak menjawab. Segera dia berlalu masuk kamar mandi, mencuci kakinya dan bergegas ke kamar sambil membayangkan keriuhan di luar sana yang baru separuh jalan. Masih akan ada Kang Oden dan kakak-kakaknya ditemani Hanny pacarnya naik panggung melagukan lagu-lagu Koes Plus dan Panbers dengan berbekal sapu , meeja setrika serta ember sebagai "alat musik". Lalu genjrang-genjring gitar betulan mengawali penampilan mereka yang disambut tepuk riuh penonton. Sehabis itu Hanny sendiri akan naik pentas membawakan entah drama apa hasil kreasi mereka. Rasanya ingin si gadis bisa ikut menyaksikan bersama yang lain. Kaki-kaki kecilnya memanjat kusen jendela, melongok-longok lewat sela-sela teralis mencoba menangkap aksi panggung mereka. Tapi, yang ada cuma gelap dan gelap semata. Dan kekecewaan itu dibawanyalah ke atas kasur mengukir sendiri cerita di dalam benaknya.

-ada-

Bagian dari masa lalu itu seperti hidup lagi kini di Cape Town. Pada musim hujan menjelang Agustus seperti ini. Ada sepenggal rindu di dadanya. Rindu kehangatan matahari tropis dan kegiatan di kampung yang penuh keakraban.

Duduk membaca buku di ruang keluarga adalah satu-satunya kegiatan yang bisa kulakukan untuk membunuh rindu. Secangkir teh panas menemaniku mengusir dingin. Rasanya ada suara-suara halus berbisik-bisik dalam keheningan pagi ini. Semua menyeru padaku untuk "menonton" kembali masa laluku. Saat aku tidak malu-malu tampil berdodot pakaian kemben gadis Jawa di panggung Oriental Express bersama-sama ibu-ibu muda lainnya temanku di Dharma Wanita. Lalu juga ketika aku naik panggung bersama barisan anak-anak PPI Ottawa membawakan Lisoi dan teman-temannya di panggung Resepsi Diplomatik. Aku masih jadi perempuan lugu. Si Genduk desa tanpa polesan.

Kebaya yang kupakai waktu itu, ya, kebaya kenanganku yang mengikat aku dengan suamiku di pelaminan dua tahun sebelumnya. Kainku, parang barong halus pemberian mama yang kudapat dari barisan koleksi budhe Dirdjo kawan akrab mama dan ibuku. Aku masih ingat betapa aku senang mengakali mama dengan menunjukkan kain-kain bagus entah di kedai kain Haji Dudung di Pasar Anyar entah di "gembolan" budhe Dirdjo yang sering mampir ke tempat kami. Dengan begitu, ketika barang hantaran pemberian suamiku sampai di kamar pengantin kami, semuanya kain-kain batik tulis halus kesukaanku yang jumlahnya tak kurang dari sepuluh helai. Mbak Ien, mbakyuku terpukau menyaksikannya. Katanya, aku termasuk gadis beruntung. Betulkah itu?

-ad-

Suara-suara itu sangat mengganggu konsentrasiku membaca. Kupejamkan mataku. Kukosongkan pikiranku. Namun semakin kosong, semakin kenanganku datang mengganggu. Kenangan di pos pertama yang sangat mengesankan.

Suamiku dinyatakan "perlu dibina lebih lanjut" oleh Bapak Duta Besar yang bertanggungjawab membina para pemagang di KBRI Ottawa. Waktu itu pertengahan tahun delapanpuluhempat. Diplomat muda itu berlima dikumpulkan di ruang kerja Duta Besar Yang Mulia untuk menerima penilaian pimpinan atas hasil magang mereka. Satu demi satu nama disebut disertai tempat tugas mereka selanjutnya. Hanya nama mas Dj yang dibiarkan tak terpanggil, mengakibatkan kegundahan yang luar biasa. Keringat dingin membasahi tubuhnya, siap-siap untuk mendapat keputusan terburuk. "Dan saudara A saya nyatakan perlu mendapat pembinaan lebih jauh disini," begitu akhirnya terlontar kata dari mulut pimpinan kami. Suamiku menundukkan mukanya dalam-dalam. Betapa resahnya dia mendapati kenyataan itu. Tak dinyana tawa yang renyah terdengar dimana-mana menambah ciut nyalinya. Dan bersamaan dengan itu tangan-tangan akrab memeluk serta menyalaminya. Membuahkan tanda tanya yang makin dalam.

Maka sejak sore itu, suamiku dinyatakan terpilih sebagai pemagang yang akan dimanfaatkan sendiri jasanya oleh bapak Duta Besar. Dan untuk itu aku harus pulang kampung mengurus surat keputusan penempatan suamiku dan kepindahan keluarga kami ke Kanda. Ah, lucunya kenangan itu. Terpatri terus dalam hati kami menandai betapa polosnya kami di awal tugas kami. Waktu yang telah lama lampau dan mengajarkan kepribadian kami untuk menjadi lebih matang. Hadiah Tujuh Belas Agustus terindah sepanjang sejarah hidup kami.

-ad-

Pesta panjang kami dimulai disitu. Dengan segala kenangan yang membekas dalam. Tentang pejabat-pejabat penting yang kami layani itu, dan keluarga mereka yang juga sangat istimewa. Inilah hidup yang sedang kami jalani. Sampai entah bila, Hanya Tuhan yang tahu rahasia hidup kami.

Rabu, 02 Juli 2008

KEMBALI KE MASA LAMPAU (I)

Mendekati bulan Agustus adalah masa-masa sibuk untuk seluruh rakyat Indonesia. Tidak terkecuali kami. Kegiatan Peringatan HUT RI di luar negeri sama meriahnya dengan kegiatan yang sama di tanah air. Rangkaian pesta besar dimulai dengan Pekan Olah Raga Masyarakt Indoensia diikuti dengan Upacara Bendera dan diakhiri dengan Resepsi Diplomatik. Semua harus disiapkan bersama segera setelah selesai dengan Peringatan Hari Anak Nasioanal di bulan Juli. Walau tak banyak masyarakat Indonesia di tempat tugas suamiku, tapi kami tetap juga tak bisa berleha-leha. Dan untuk itu aku harus mempersiapkan tenaga sebaik mungkin.

Tenaga. Sesuatu yang menjadi sesuatu yang sangat mewah dan istimewa untukku saat ini. Lajunya pergerakan umurku membawa keausan pada organ-organ tubuhku. Aku menjadi mudah lelah akhir-akhir ini dan sangat "tua". Ya, tua, kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi ini.

Kubaringkan tubuhku di atas tempat tidur sambil memejamkan mata. Aku baru selesai melaksanakan sembahyang dhuhur yang segera kusambung dengan sembahyang ashar setelah seharian keluar rumah untuk merancang penyelenggaraan Peringatan HUT RI dan Hari Anak Nasional.

Di luar rumah dua orang kulit putih asyik memeriksa jaringan listrik di rumah dinas kami yang sejak dulu belum pernah diperiksa dan diperbaiki. Kemarin aku bertemu mereka di kantor suamiku dan sempat saling berucap salam. Kali ini aku lega mendapati para bulai itu bekerja untuk kami menggantikan instalatur listrik langganan kami yang lama yang kuanggap melecehkan diriku. Ataukah sejak tahun lalu aku sudah berubah dan menjadi terlalu sensitif? Aku tak mengerti dan jadi sulit memahami diriku sendiri. Bahkan aku juga tidak mengakui bahwa penyakit asthma bawaanku sejak kecil sedang "datang menyapa" kemarin siang. Dengan tegas dan ekspresi keheranan kutantang teman-temanku yang mendapati kondisi asthmaku yang kambuh untuk membuktikan. Dengan tegas juga mereka mengacu kepada bunyi-bunyi nyaring yang terdengar aneh dari arahku. Akukah yang kini jadi manusia lain, tanyaku dalam hati.

Kelopak mataku sudah lebih dari sepuluh menit mengatup, tapi lena itu tak jua datang. Tak ada mimpi sebagaimana biasanya yang menghiasi bunga tidurku. Yang ada hanya suara tangga digeser-geser orang di luar jendela kamarku dan gumaman tak jelas. Maka kucoba untuk membuat film sendiri dengan mengingat segala masa laluku.

-ad-

Mei delapanpuluhlima aku sampai di Ottawa untuk yang pertama kali sebagai "manusia selundupan". Waktu itu suamiku baru "separuh kerja", karena statusnya adalah pemagang bersama empat orang teman lainnya yang sama-sama diplomat baru lulusan Pusdiklat Departemen Luar Negeri di Iskandarsyah.

Papie, paman suamiku yang berfungsi menggantikan bapak mertuaku sejak beliau berpulang di usia yang sangat muda dulu baru menyusul almarhum bapak di usianya yang ke tujuhpuluhtiga. Namun aku masih punya ibu yang melahirkanku dan butuh perhatian penuh sejak sakitnya sepuluh tahun lalu.

Tapi kejenuhanku di rumah serta kenyataan harus berpisah dengan mas Dj untuk pertama kalinya memaksa mas Dj untuk secara  diam-diam mengundangku ke Ottawa. Dengan berbekal izin bapak pimpinan yang begitu mudah jatuh kasihan pada suamiku, sampailah aku di Ottawa berbekal paspor hijau sebagai warga negara Indonesia biasa.

Aku si bocah dusun serba terpana dengan kemegahan nuansa luar negeri yang pernuh gemerlap. Jadi kegiatanku sehari-hari selagi suamiku di kantor adalah berputar-putar di pusat kota untuk menikmati kemegahannya yang jauh dari kelas toko bertutupkan bilah papan berjejer seperti di kampungku sana. Di hari-hari tertentu saat ibu-ibu senior mengerjakan keperluan HUT RI aku juga diajak serta sehingga bisa ikut magang.

Ternyata Ottawa yang megah tidaklah semeriah metropolitan Jakarta pada saat ini. Dulu, sekitar duapuluh lima tahun yang lalu tak ada sarana hiburan. Sehingga penduduknya harus keluar kota untuk mencari hiburan. Dan suamikupun biasa membawa aku ke daerah di pinggiran St. Lawrence River. Ada sebuah museum terbuka disana. Inilah pengalaman baru untukku.

Namanya Upper Canada Village. Dengan berkendaraan selama dua jam saja, kami sampai di sebuah desa tepi sungai yang luas namun sunyi. Morrisburg, Ontaria, begitu bunyi yang kubaca pada papan-panan nama di sekitarnya. Sedikit sekali gedung-gedung perkantoran, perniagaan bahkan rumah. Namun, di tepian sungai yang kemudian kutahu namanya St. Lawrence River ada sekelompok bangunan kuno yang membawaku ke ruang waktu yang aku belum pernah mengalaminya. Jauh ke masa silam.

Bangunan pertama di bagian muka perkampungan itu adalah "Woolen Mills" alias pemintalan benang wool. Lengkap dengan gaya kunonya di abad ke sembilan belas, Rumah sederhana itu berdiri utuh sebagai "Asselstine's Woolen Factory". Belum nampak mesin-mesin otomatis disitu, sehingga terbayang olehku betapa para perempuan Scotlandia yang mendarat sebagai imigran pertama di Morrisburg harus menyediakan kedua tangan mereka yang lembut guna membuat penghangat tubuh keluarga mereka. Padahal, di musim dingin, Kanada sungguh menggigilkan dengan temperatur yang membekukan air. Aku terpana sendiri, sampai suamiku menarik lenganku mengajak berpindah ke bangunan selanjutnya.

Sama kunonya, berdirilah rumah bata merah tanpa polesan dengan kusen yang juga serba merah. Harum roti panggang tercium dari dalamnya. Dan ketika kulongokkan kepala melaui jendela kaca, sebuah oven raksasa berdiri di atas sebuah tungku batu. Melayangkan ingatanku ke buku-buku dongengku yang dulu dibelikan ibu di Filia Stroes dikampungku. Rasanya tikus-tikus pekerja yang putih keabu-abuan sigap berkeliaran dari tungku ke meja kayu bolak-balik untuk menciptakan pemuas lapar. Aku mengerjap-ngerjap tak percaya. Rasanya ibuku ada di sebelahku, berdiri menatapku mesra dengan senyum dan binar di matanya saat mengisahkan "Hansel and Gretel" dari Fairy Tales di tangannya. Mesra dan merdu sekali. Rasanya tak mungkin aku beranjak dari situ seandainya suamiku yang baik hati dan sangat penyabar tidak menggandengku berpindah lokasi. Dengan berat hati aku ikut melangkah menjauh.

Lalu rumah kayu di tepi air itu. Konon sejarahnya adalah penggergajian kayu untuk memenuhi kebutuhan seluruh penghuni Morrisburg. Di Kanada dipandang sesuatu bagian dari masa lampau, jika menggergaji kayu harus menggunakan dua pasang tangan manusia. Seorang menggenggam gergaji raksasa di bagian atas, diikuti seorang lagi pada bagian bawah kayu yang diletakkan setengah berdiri. Kami tidak merasa perlu berlama-lama sebab di Indonesia sendrii masih banyak orang pada abad keduapuluh ini mengerjakan penggergajian kayu dengan cara yang sama. Aku cuma tersenyum sambil mengajak mas Dj menjauh.

Lalu dua rumah kayu di depan mata kami. Di dalamnya seorang lelaki asyik mengerjakan sesuatu yang lebih pantas dinamakan kerajinan. Ternyata, rumah itu adalah pabrik sapu milik seorang petani yang ingin menambah penghasilan penutup kebutuhan dapur. Lagi-lagi aku tersenyum sendiri, menyaksikan kecekatan tangan bulai bertubuh tinggi itu menghasilkan sapu mirip dengan sapu-sapu di kampungku. Tapi tak urung aku tetap merasa kagum, sebab kebiasaan seabad yang lalu masih eksis di Kanada yang modern ini dan dipertontonkan pula untuk banyak orang terutama generasi muda yang sudah sangat "kelistrik-listrikan". Sesuatu yang belum pernah kusaksikan di negeri kita, batin kami.

-ad-

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk orang. Aku terkejut, dan segera buyar bayangan masa silam tadi. Sambil menjawab ya, aku bergegas bangkit, merapikan diri. Belum sepenuhnya sadar, sepotong kepala lelaki bulai mirip orang di lamunanku menegur dari pintu yng dikuakkannya sendiri. Astgfirullah, batinku. Kusapu kedua mataku untuk meyakinkan bahwa aku tidak sedang bermimpi.

Dan lelki itu dengan pedenya minta ijin memeriksa jaringan listrik di kamarku.Dia berdiri memaku sejenak. Mungkin dia sediri tertegun, menyaksikan aku tidak lagi berkerudung seperti ketika dia melihatku untuk pertama kalinya. Aku tersenyum malu. Mengutuk diriku senddiri. Mengapa begitu teledornya aku. Berbaring-baring di saat senja telah merebak, Kupersilahkan dia masuk, sementara itu aku bergegas merapikan rambut dan berlalu meninggalkannya. Mencari kebebasan dalam secangkir kopi tubruk yang kuseduh dan kemudian kuhirup pelan-pelan di muka televisi yang sengaja tak kunyalakan. Aku masih ingin mengenangkan kembali masa lampauku, ketika pertama kali aku keluar negeri dengan semangat bajaku dan tenaga yang bulat utuh, Dapatkah kiranya aku kembali ke masa lampauku?

Pita Pink