Powered By Blogger

Senin, 02 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (IX)

Bantalku benar-benar ajaib. Ataukah aku yang membuatnya jadi ajaib? Permohonanku didengar Allah. Aku terbangun pukul dua lewat sedikit tengah malam. Boleh dikatakan sudah pagi, tapi hari baru saja berganti.

Aku sempatkan untuk mengucap doa sejenak sebelum melangkah ke kamar mandi, berdiri di muka bidet dan membungkuk mengambil air sembahyang. Aku ingin menghadap pada-Nya untuk memohon keselamatan dan kebaikan bagi Ami yang kepergiannya mulai mengganggu kegiatan organisasi kami.

Memang Ami bukan siapa-siapa. Dia hanya istri seorang staff biasa. Tapi kiprahnya yang menyemarakkan kegiatan kami telah memberi arti tersendiri pada diri kami masing-masing.

Ketika dinas menugaskan kami untuk mengisi acara, dengan semangatnya dia mencari seorang pelatih arumba supaya arumba milik kantor bisa menyelamatkan kami dari ketiadaberdayaan kami. Di bawah asuhan seorang pendeta Indonesia yang sedang magang bekerja pada gereja di sini, kami berhasil tampil memuaskan dalam sebuah acara internasional. Dua lagu negara tetangga, ditambah dua lagu daerah serta masing-masing sebuah lagu setempat dan karya maha hebat Wolfgang Amadeus Mozart menjadi primadona panggung malam itu. Melambungkan nama Indonesia hanya dalam delapan kali berlatih.

Namun tanpa Ami, kini kami jadi sasaran kemarahan pimpinan kantor suami kami. Ya, memang harus kami akui kami tidak terampil memainkan alat musik apa pun. Jadi patutlah kepergian Ami menimbulkan kedukaan bagi kami wanita Indonesia di sini.

Belum lagi pada diriku, karena bu Narto tahu bahwa sejak aku membantu tugas kantin Ami, kami jadi teman akrab dan akulah satu-satunya yang sering nampak berbelanja bersama Ami atau kedapatan mencuci bersama di kios mesin cuci, Berkat aku pula menurut bu Narto, sekarang Ami mau ikut kegiatan-kegiatan di luar organisasi bahkan mengikutiku kursus -yang kutahu demi menjawab cemoohan suaminya-. Karenanya bu Narto sempat curiga padaku sebagai orang yang turut serta menutupi keberadaan Ami.

-ad-

Malam gulita ini kusujudkan diriku untuk Ami, meski aku lihat keluarganya tetap berjalan seperti biasa sejak dia "menghilang dari pergaulan". Aku ingin dia selamat dan mendapat petunjuk dari Allah untuk melewati masa pengasingannya yang entah di mana dengan selamat.

Tikar sembahyang yang kubeli dari pedagang Turki di sini betul-betul nyaman kududuki. Tak jemu dan tak lelah kutunaikan rakaat demi rakaat yang terus kurangkai untuk Ami. Karpet merah itu penyangganya dengan bersaksikan gambar masjid sebagaimana yang biasa kita dapati pada tikar-tikar sembahyang kita yang tipis di Indonesia.

"Ya Allah, hanya Engkau Yang Maha Tahu apa yang ada dalam hati kami, manusia. Hanya Engkau pulalah Yang Mengetahui apa yang ada di balik kepergian sahabatku Suratmi binti..." aku terdiam sejenak menyadari kebodohanku karena kusadari kini aku baru saja setahun ini mengenal Ami dengan lebih baik. Aku terlongong sejenak, sebelum kemudian melanjutkan kembali pintaku. Kuharap jiwa penerang pada diri Tuhan Yang Agung bersedia mengembalikan Ami kepada harkat dirinya sebagai manusia yang tak bersalah.

Masya Allah! Terpana aku pada ucapanku sendiri. Benarkah Ami tak bersalah? Ataukah hanya perasaanku saja sebab aku terlanjur banyak tahu tentang hubungan Ami dengan suaminya?

Pelan-pelan aku menitikkan air mata, menyesali perkataanku sendiri yang telah menghakimi Taufik dan seakan-akan menuduhnya sebagai orang yang mau menang sendiri. "Tuhanku, ampunilah hamba-Mu yang takabur. Janganlah kau ciptakan kebencian pada diri hamba, dan jauhkanlah hamba-Mu dari siksa dunia-Mu. Hamba menyesali semua pernyataan hamba, ya Allah, hanya Engkaulah Yang Maha Tahu atas segalanya," rintihku sambil mendekap dadaku yang terasa sesak.

Hampir sejam aku di situ meski pun winter sedang berat menitikkan hawa dingin dan salju di sekitar rumahku. Bahkan aku nyaris tak terganggu suara mesin penyapu jalan yang ditugasi membersihkan es sebelum masyarakat keluar rumah masing-masing menunaikan tugasnya.

Aku mengeringkan duka di mataku. Lalu kembali ke pembaringan memeluk tubuh suamiku yang tergolek pulas. Dia mengubah posisi tidurnya sambil menarik nafas hingga dengkurnya tiba-tiba menghilang dan melemah. Diraihnya selimut sampai menutupi dagu, waktu kucium keningnya menandakan kasih dan rasa terima kasihku padanya yang telah menempatkan aku sebagai bidadari dan bunga tidurnya yang abadi.

-ad-

Bulan kelima Ami menghilang. Elis semakin jarang berhubungan denganku. Menurutnya dia tengah mabuk-mabuk kehamilannya yang pertama. Aku bahagia untuknya, sebelum akhirnya kebahagiaan itu berubah jadi simpati waktu kuterima berita Elis keguguran. Kandungannya terlalu lemah, sedangkan dia tak punya waktu istirahat yang cukup untuk dirinya sendiri. Namun akhirnya, dia menghentikan semua aktivitas kerjanya atas nasehat dokter dan suaminya. Sehingga Elis sekarang jadi ibu rumah tangga yang betul-betul ibu rumah tangga dalam arti yang sesungguhnya. Dia cuma melakukan kewajibannya sebagai istri tanpa bersibuk-sibuk turut mencari nafkah. Sahamnya di perusahaan kudengar akan dialihkan seluruhnya kepada Roberts.

Ada kesepian karena dua sahabatku sekarang tak bisa lagi kuhubungi, Sekalipun Elis ada di rumahnya, tapi dia harus bersitirahat di atas ranjangnya. Dan akupun juga tak tega mengganggunya, bahkan dia kini masuk juga dalam daftar doa malamku itu.

Lebaran tahun ini yang akan segera tiba Desember besok batal kurencanakan dengan menu gudeg. Sebab Ami guruku tak meninggalkan resep dengan takaran yang pasti. Lagi-lagi aku menyesali kepergian Ami dan merasa sangat tersakiti. Kubayangkan kedua anaknya pasti lebih menderita daripadaku meskipun kerap kujumpai Rizqi sedang berbelanja di super market untuk mengisi dapur mereka dengan ketegaran yang mantap.

"Siapa yang masak kang?" tanyaku pada salah satu perjumpaan tak sengaja itu. "Ayah, dan kadang-kadang juga kami. Aku menggoreng nasi, tapi nasi goreng Cina tante. Ade menggoreng omelet," jawab Rizqi.

Si kecil menimpali dengan semangat, "aku taruh bayem dan tomat di dalamnya tante, sehat 'kan?" dia seperti minta dipuji. Ah, anak-anak yang manis batinku. Aku terharu sambil membelai mereka. Rasanya begitu sesak dadaku mendengarnya.

Kini setiap habis tarawih, kukhususkan waktuku untuk mendoakan Ami. Semoga dia cepat sembuh dan kembali ke tengah-tengah keluarganya. Apapun yang terjadi, Ami harus membuktikan bahwa dia tak seburuk apa yng dikeluhkan suaminya. Di mataku Ami tetaplah seorang perempuan yang berguna. Sekalipun dia bukan sarjana dan senang berkurung diri dalam kesendiriannya. Ah, Ami, lagi-lagi aku merindukan dan membutuhkanmu, bisikku dalam "nyanyian malam" di tikar sembahyangku. Doa-doa itu terus mengalun jua, hanya untuk Amiku.

(BERSAMBUNG)


38 komentar:

  1. trus trus....*taksabarsegerabacasambungannya*

    BalasHapus
  2. Terus sing ngarang isih lagi bingung mbak, arep tak apa ake ya mbak?
    Tuluuuuuuung..........

    BalasHapus
  3. wikikikikik...penulis kok malah tanya sama pembaca...ya bingung bin ajaib to !!

    BalasHapus
  4. semoga ami cepet sembuuh...
    senangnya di dalam doa selalu disebut namanya :)

    BalasHapus
  5. Hayo, nek bingung ndodok. Ini cerita bisa digiring ke segala arah juga kok menurut keinginan pembaca, Bagkankalo saya disuruh nyelesein sekarang ya bisa juga. Tapi sayang ah masih kepengin bikin penasaran hahahahahaha.........

    BalasHapus
  6. Semoga. Aku juga kepengin tahu sebenernya sakitnya Ami itu apa sehingga berbulan-bulan dia di Indonesia. Memang nggak ada gitu pengobatan canggih di pusat peradaban dunia di jantungnya Eropa? Aduh jadi makin penasaran ya.............?

    BalasHapus
  7. kalo di sinetron nih, kalo salah satu pemainnya gak muncul pasti dia lagi ngambil cuti untuk liburan. jadi Ami di episode ke IX gak muncul ya? dimanakah gerangan?

    BalasHapus
  8. Dia ada di dalam hatiku. Lagi kucariin saat yang tepat untuk muncul ke permukaan Sabar lagi ya say......

    Anyway thnak's deh udah setia mampir kemari.

    BalasHapus
  9. Malam bund, mampir neh. Tp binung ini fiksi apa nyata ceritany bund? Biasanykan kisah nyata. Ya maaf kalo tulalit, ketinggalan banyak episode je.

    BalasHapus
  10. Bun, absen! Pas doa ada huruf yg kurang tuh, sama kau untk Tuhan hrsnya pake hrf bsr kn? *Wah elis dah hamil, keguguran pula...

    BalasHapus
  11. Direncanakan dibilang fiksi, ini percobaan membuat karangan. Tapi, kata salah satu fans berat saya (hm,,,,,hm....!!!) ini kisah nyata, bahkan anak-anak yang menderita di balik ini jumlahnya 10 orang sekalian! Hebat nggak tuh?

    Silahkan dibaca secara runut mumpung masih gratis. Mana tau nanti harus beli di toko buku? (Hmm....hmmmmm..... lagi, lha kok ke-ge-er-an?)

    BalasHapus
  12. Ah, kok kowe weruhan wae sih nduk? Ya wis didadekna korektor naskah gelem pa piye? Nuwun.

    BalasHapus
  13. Endi sih mbak? Coba ditunjuk nanti biar bisa tak benerin sekalian.

    BalasHapus
  14. Opst! Emoh ah, cuma kelingan pelajaran B.Indonesia mbiyen pas skula...

    BalasHapus
  15. Lha...? Kowe dewe anggone nulis skula ya salah kuwi.....!! Wis-wis!!

    BalasHapus
  16. Wadoh...
    Udah mo komersil neh bund.

    BalasHapus
  17. Wah lina pake hp, iku lho pas doa, stlh tulisan -->pelan2 aq menitikkn airmata menyesali pkataanq yg tlh mhakimi taufik<

    BalasHapus
  18. Wis tak tambahi n-e sing keri. Wis ya apa durung?

    BalasHapus
  19. Iku sing ngojok-ngojoki mbak Niken alias bune Yasmin, piye tha? Hehehe,,,,,,,

    BalasHapus
  20. mestinya dibikin gini aja mbak lebih bagus: Dia mengubah posisi tidurnya sambil menarik nafas hingnga dengkurnya tiba-tiba semakin keras dan terus keras sampai orang sekampung pada melek...

    BalasHapus
  21. Wekekekee...... lucu juga loe ya jeng!
    Siiiip!! Iyalah silahkan dirubah begitu biar ngikik yang bacanya.
    Gw kira seriusan mau jadi kritikus buat bagusin naskah gw.

    BalasHapus
  22. gue susah serius mbak. sesedih apapun, seserious apapun, jadinya begono..

    BalasHapus
  23. saya save dulu, yah....
    enakan baca2 kl sambil tiduran (POSITION)...
    bila bangun...serasa ada inspirasi datang...:)

    BalasHapus
  24. Silahkan, seilahkan. Jangan lupa janjinya ya mas. Saya kan masih belajar jadi perlu ada yang ndandani gitu........

    BalasHapus
  25. inggih bunda...
    kalau berdandan, sudah serasi, kok...:)

    BalasHapus
  26. Hahaha..... bukan wonge. Cara penulisannya gitu lho. Maklum bibik dapur ae kepengin tiru-tiru kakangmas Saturindu.

    BalasHapus
  27. wah .. belum mucul juga nih si ami ... bakalan panjang ceritanya budhe?

    BalasHapus
  28. Just wait and see nak Siti. Sabar nggak? Kalo nggak tinggalin aja deh..........

    Xian de loe penasaran abiiiiizzzzz!!

    BalasHapus
  29. Tega nya teganya si Ami meninggalkan anak2nya yang masih kecil2.

    BalasHapus
  30. Emi meninggalkan keluarganya sudah 5 bulan???
    duhh.. teganya.

    BalasHapus
  31. Penyanyi dangdut mampir di sini nih : "Oh teganya..... teganya........ teganya.........."

    BalasHapus
  32. iya, kenapa tega meninggalkan kewajibannya sbg istri ya, bu Julie?
    di bagian I - IX ini saya belum melihat konflik mereka yg diceritakan secara langsung, tapi adanya kerenggangan hubungan itu justru saya pahami dari orang ketiga (Elis).
    wah, bu Julie berhasil membuat pembaca penasaran :)

    BalasHapus
  33. Kata para kontak yang sudi baca tulisan-tulisan saya, memang kekuatan saya nulis tu, ya di sini, di bagian bikin orang penasaran langsung diputus hehehe.........

    Setelah novel yang ini "nggantung" endingnya selama dua tahun, saya lanjutkan lagi dengan bikin "Siti" sebab masih ada aja yang penasaran sampai kirim PM kenapa cerita Ami nggak ada kelanjutannya.

    Terima kasih pak Iwan, selamat akhir pekan, salam untuk seisi rumah.

    BalasHapus
  34. Hiks.. Anak2 yang hebat. Umur berapa tan?

    BalasHapus
  35. Begitu ya? Umurnya 12 dan 9 tahun, kata yang ngarang hehehehe........

    BalasHapus
  36. Ok approved. Anakku yg 9 tahun juga da seneng masak.

    BalasHapus
  37. Anak-anak yang dicerita ini mah jadi-jadian seneng masaknya, karena di create sama bapaknya supaya ibunya dibilang nggak ada di rumah. : -P

    BalasHapus

Pita Pink