Powered By Blogger

Minggu, 22 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXIV)

Kami kembali berdua-dua di kamar tetamuku. Mas Tri sudah mahfum akan sikapku, karena aku membisikinya dengan pernyataan bahwa aku sedang membantu bu Taufik menyelesaikan masalahnya. Dia cuma mengangguk mempersilahkan dan tak banyak tanya. Begitupun di meja makan tadi, suamiku tak menanyakan apa-apa soal keluarga mereka itu. Dia cuma menanyakan situasi dan suasana kerja di tempat tugas baru bossnya di luar negeri sana.

"Mbak sudah bicara terus terang pada suami bahwa rahasia selingkuhannya sudah terbongkar oleh mbak dan anak-anak?" tanyaku memulai. Kuperhatikan wajah Ami semakin kuyu kebanyakan menangis tadi sore.

"Sudah, Nik. Rasanya aku tak kuat lagi memendam semua persoalan ini. Bagai duri dalam daging," bibir itu bergetar menjawabnya. "Kemarin waktu aku mau pulang, kukatakan  itu semua. Bahkan kusampaikan niatku akan tinggal menetap di Indonesia bersama Rizqi supaya dia tak harus sembunyi-sembunyi menjalin hubungan dengan perempuan itu lagi," ucap Ami sendu dan pasrah.

"Apa?" potongku terkejut, "mbak katakan mbak akan minta cerai, maksudnya?" mataku membeliak menatapnya. Wajah itu jadi tampak tirus di hadapan mataku.

"Bukan, aku tidak pernah berniat minta cerai. Aku tahu itu sangat terlarang. Aku cuma ingin memberinya kesempatan bersenang-senang secara resmi dengan perempuan itu. Dan untuk itu aku bersedia menyingkir, pulang kampung," kali ini jawabannya sangat tegas. Tapi lantunannya tetaplah parau ciri luka hati seorang istri.

"Maksudmu, rencananya gimana mbak?" berondongku tambah penasaran karena aku tak mengerti apa sebetulnya yang dimaui perempuan ini. Dia memang sungguh suatu pribadi yang unik, seunik suaminya juga. Pada dirinya kerap kutemui dua sifat dan dua sikap yang saling bertolak belakang. Di suatu saat dia bisa murung sedemikian murungnya, tapi sekejap kemudian keceriaannya kembali meluap-luap. Bahkan diantara isak tangisnya, sering terlontar mutiara-mutiara kesabaran hati seorang perempuan yang dinista dan terluka yang diuraikannya lewat kata-kata manis penuh senyum. Suatu kontradiksi yang aku bingung untuk menangkapnya.

-ad-

Jadi, menurut penuturannya, segera setelah mereka tiba di posnya, dia menjadi pengamat dan mata-mata yang baik untuk anak mereka. Setiap gerak-langkah suaminya diikuti dan diamati dengan cermat. Bahkan ketika mereka selesai menyelenggarakan upacara serah terima jabatan di kantor, matanyapun tak lepas dari posisi dimana suaminya berdiri. Di sudut aula kantor itu.

Dan di malam hari, dia mencuri-curi membaca SMS dalam telepon genggam suaminya seperti yang dulu dilakukan anak-anaknya. Itu pun  juga atas permintaan mereka. Telepon genggam itu katanya selalu digeletakkan tak jauh dari pembaringan mereka, tepatnya di sisi bantal suaminya. Tapi dengan amat hati-hati terbawa kesabarannya, dia berhasil mengambilnya, lalu masuk ke dalam kamar mandi di dalam ruang tidur mereka. Di sanalah dia membongkarnya hingga tuntas walau sempat terlupa untuk mengirimkannya lebih dulu ke ponsel anak-anaknya sebagai bukti.

"Ada yang bunyinya sangat menyakitkan kalau dipikir sih Nik," keluhnya. "Serangkaian SMS menjelang keberangkatan kami ke luar negeri dulu tentu sudah menyakitkan. Ketambahan lagi SMS malam-malam sebelumnya waktu mereka saling berkirim kabar sepanjang jalan sejak dari kantor hingga ke rumah," urainya.

"Apa sih mbak bunyinya? Boleh aku tahu?" tanyaku hati-hati takut melampaui batas kesopanan.

"Macam-macam Nik. Ada soal penampilan wanita itu yang dianggap suamiku seksi. Padahal apa urusannya, coba? Dia 'kan bukan apa-apanya? Belum lagi dia menangisi wanita itu yang dianggapnya punya beban hidup terlalu berat sebagai ibu rumah tangga dan pekerja kantoran," jawab Ami sambil menggigit bibirnya sendiri. Ada kepedihan menyentak di hatinya yang terluka.

"Kepadaku, dia sudah tak pernah lagi memuji atau bahkan mau tahu keadaanku yang sesungguhnya. Bahkan kalau kau ingat, di saat aku sakit dulu, dia tega menyuruhku jalan sendiri ke dokter. Perhatian dan kasih sayangnya betul-betul tak kelihatan lagi," kini suaranya bergetar lirih ditelan sesak di kalbu yang menjelma jadi butir-butir bening di kedua matanya.

Aku menghela nafas panjang. Di ruang-ruang ingatanku menjelma kembali sosok Ami yang kesakitan waktu membukakan pintu untukku saat kutengok ke rumahnya dulu. Lalu penggalan-penggalan cerita yang mengharukan itu. Duh Tuhan, berikan Ami kesempatan untuk menikmati kebahagiaannya kini. Dia sudah terlalu menderita, pintaku dalam hati.

"Kau tahu Nik, setiap posisi keberangkatan kami ada dalam outbox sent massages-nya. Bahkan dia bilang, aku ada di sebelahnya dan aku tak tahu apa yang dikerjakannya. Padahal Nik, fitnah semuanya. Aku tahu perbuatannya, tapi aku tak bisa mengatakannya sebab aku tak mau merendahkan wibawanya di muka orang banyak yang mengantar kami ke Cengkareng," kata Ami lagi di sela-sela isakannya.

Aku terdiam. Dan masing-masing diri kami tak saling bicara. Kuberikan kesempatan padanya menata hatinya lebih dulu sebelum kami mulai bicara lagi.

"Kau tahu Nik, Gusti Allah itu Maha Adil. Sebelum berangkat, ketika berpamitan ke tempat sepupunya yang tertua, tiba-tiba dia dinasehati untuk selalu menjaga diri dan menjauhi godaan setan yang dirumuskan menjadi mo-limo," lanjut Ami lagi.

"Apa, mo-limo, apa itu?" tanyaku bingung.

"Itu lho, panduan hidup orang Jawa yang berupa lima larangan, Jangan berjudi, jangan bermain perempuan dan sebagainya. Dan kau tahu Nik, entah siapa yang membisiki sepupunya, nasehat itu dimulai dengan petuah untuk menjaga kehormatan dengan menjauhi wanita," Ami menarik nafas. Pandangannya menusuk mataku membiaskan rasa jengah.

Aku terdiam dan terpekur mendengarnya. Tuhan memang Maha Adil adanya. Ada caraNya sendiri untuk mengingatkan seseorang yang telah melanggar petunjuk-Nya.

Kami saling berdiam diri, sampai saatnya Ami berkata lagi. "Dan kau tahu, ada lagi bisikan Illahi padaku. Sewaktu keluar dari bandara, di mobil dia segera menghidupkan ponselnya yang itu lalu mengirimkan SMS pertama. Dengan lembut kukatakan padanya, alhamdulillah aku mendapat seorang Imam yang sangat baik. Sebab sebagai seorang ayah dia langsung mengabari buah hati kami bahwa kami sudah tiba di tujuan dengan selamat." Ami menghela nafas lagi dan membuang pandang menghilangkan kaca-kaca di bola matanya. Tampak sekali dia sedang mengenangkan saat berduaan di dalam mobil itu.

Dengan parau dan tersendat-sendat oleh getaran beban di dadanya, dia melanjutkan lagi, "suamiku bilang dia belum mengirimkan SMS kepada anak-anak kami. Oh, alangkah bodohnya. Dia lupa bahwa aku ada di sampingnya dan membuka kedua mataku dengan baik seraya mencermati perjalanan pertamaku di negeri itu. SMS yang diketiknya tadi, untuk siapa?"

"Lalu mbak bilang apa?" sambutku penasaran.

Ami meneguk air putih dari gelas yang kusiapkan di sisi tempat tidurnya. "Hm, kukatakan bahwa aku melihatnya mengetik SMS, tapi andaikata SMS itu ternyata bukan untuk anak-anak kami, biarlah, tak mengapa. Aku bisa mengerti bahwa sekarang keluarga bukanlah prioritas utamanya lagi."

"Reaksinya bagaimana?" tanyaku lagi.

"Dia hanya diam saja dan menatapku dingin. Tapi sejurus kemudian dia menyadari ketololannya sendiri, lalu dikirimkannya SMS ke alamat anak-anak kami. Walau katanya pending," terbata-bata Ami mengucapkan jawabannya.

Ami mulai mengisak lagi. Kembali kupeluk tubuhnya. Dan di bahuku dia berlabuh lagi. Lagi dan lagi seperti suatu simfoni yang menyayat hati dan sangat panjang.

"Nik, yang lebih menyakitkanku, ternyata sewaktu selesai dengan upacara sertijab tempo hari, wanita itu jugalah yang dikabarinya. Kubaca di ponselnya dia bilang bahwa sertijab telah selesai, bahkan aku juga ada di situ, di kantornya, maksud suamiku. Tapi aku tak tahu bahwa mereka sedang berhubungan dengan SMS itu. Sungguh menyakitkan," gumamnya.

Aku mengelus dada selagi Ami meneruskan ceritanya, "Padahal aku sengaja membiarkannya, sekali lagi kukatakan padamu Nik, aku tak mau mempermalukannya di depan umum," tangisnya.

Perbuatan itu masih terus dilakukan suaminya. Tapi tanpa disadarinya telah "terbaca" istrinya. Bahkan di hari ketika suaminya akan resmi bertugas sebagai kepala perwakilan, bukan Ami lah yang pertama diberi tahu. Wanita itu juga orangnya, di dalam SMSnya yang terkirim di siang hari sebelum suaminya pulang ke rumah dan memberitahukan pada Ami tentang upacara di Istana Negara minggu depannya. "Kalau tak salah lima hari menjelang harinya, berarti tepat ketika suamiku baru mendapat kabar dari pejabat protokol," jelas Ami, "sakit hatiku Nik, aku ada tapi tiada di depan mata suamiku. Apalah artinya diriku."

Air mata itupun membanjir lagi hingga Ami terbatuk-batuk dan meraih pelega nafasnya yang selalu jadi andalan hidupnya. Aku membantunya dengan menumpuk beberapa bantal di belakang punggungnya.

"Sudah dulu ya mbak, aku bisa mengerti betapa sakitnya perasaan mbak Ami. Mbak sudah terlalu banyak mengorbankan perasaan, aku tahu itu. Maka Allahlah yang akan menilainya dan memberikan ganjaran. Buktinya, tanpa disangka-sangka semua perbuatan suami mbak dikuakkan Allah dengan kuasaNya melalui orang-orang dan peristiwa yang tak terduga, bukan? Ingat dan lihat mo-limo itu serta SMS yang disangkalnya sendiri. Sekarang saatnya kita bersyukur, menyatakan terima kasih kita kepada Sang Maha Mengetahui. Bersujudlah, masih ada jalan untuk mengembalikannya kepadamu mbak," pesanku pada Ami.

Ami memandangku sayu, Bibir itu seperti hendak mengucapkan terima kasih, tapi tak ada sepatah  kata pun yang keluar, kecuali sesak yang memburu dadanya. Ami minta izin ke kamar mandi untuk mencuci mulutnya bekas obat serta mengambil air sembahyang sekalian.

"Kamu benar Nik, aku harus bersujud dan bersyukur sekarang. Selamat malam, sampai besok," katanya dari balik pintu kamar mandi.

Aku menungguinya di luar pintu kamar mandi sambil berpura-pura merapikan rak sepatu kami sebelum kemudian mengunci diri di kamarku sendiri untuk merenungi diriku. Ah, andaikata aku menjadi Ami, akankah diriku sabar menerima semua ini? Kini air matakulah yang tumpah membanjir di atas tikar sembahyangku sendiri. Aku tak mau mengalaminya.

(BERSAMBUNG)

14 komentar:

  1. hiks.hiks... saya pernah punya pengalaman yang mirip banget ama cerita bunda diatas....

    BalasHapus
  2. Yuk kita ikutan sedih, biar ada yang nemenin Ami.

    Ditunggu ya mbak cerita-ceritanya di PM.

    BalasHapus
  3. Oh kakanda, si lelaki perkasa *hm....hm......*
    Masa' sih wong lanang kok nangis, ora model?!
    Terima kasih ya mas udah datang kesini.

    BalasHapus
  4. monyet juga tuh si sukro eh taufik. beneran deh gue bete aja sama orang yg selingkuh dgn alasan gak jelas kek si sukri eh taufik ini!!

    BalasHapus
  5. Sabaaar, wis mbok sing sabaaaar!! Lha Aminya aja sabar.

    Soalnya kalo karakter Taufik nggak dibikin ekstrem, nggak rame nih novelku!

    BalasHapus
  6. Apane sing ketinggalan sih nduk? Bukannya tadi subuh kowe maranin kesini?

    BalasHapus
  7. jadi ikut sedih bacanya, dan tambah jengkel sama pak Taufik.
    gak bisa membayangkan, kalo suami ber sms dengan wanita simpanannya, kalo aku jadi ami, aku datengi tuh si perempuan jalang itu.
    pedih... rasanya.

    BalasHapus
  8. Duh, kasihan amat dirimu bu! Perempuan baik-baik nggak boleh tukang nglabrak, justru intinya cerita ini, kita mesti ggunakan sopan santun dan perasaan halus kita untuk menohok orang yang mau merusak keluarga kita. Supaya terbukti bahwa kita orng baik-baik, dan yang salah adalah pendatang haram itu.........!!!

    Jangan sedih!

    BalasHapus
  9. waduh gue takut sebelum selesai baca, novelnya udah gue makan hahahahaa!

    BalasHapus
  10. Memang loe bisa nggigit kompi? Unbelievable!

    BalasHapus

Pita Pink