Powered By Blogger

Senin, 23 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXV)

Suamiku bilang aku tidak boleh terlalu jauh ikut campur mengenai masalah rumah tangga bossnya, waktu aku menyampaikan bahwa aku jadi keluar siang ini naik mobil mas Ruddy dengan Ami. Kukatakan pikiran Ami sedang kalut, karena suaminya semakin tak memperhatikan dirinya dan keluarganya. Aku mahfum akan larangan mas Tri. Maka aku keluar kamar dengan satu tekad, aku hanya akan mendengar saja keluhan Ami, bukan ingin mengorek-ngorek segala sesuatunya lebih dalam lagi.

Kami sampai di rumah kerabat pak Taufik hampir pukul sepuluh pagi, sekalipun kami keluar rumahku jam sembilan tepat. Anak-anak Ami nampak sudah menunggu dengan tak sabar. Si bungsu segera bergelayut manja di tubuh ibunya, waktu Ami mengucapkan salam di depan pintu.

Tuan dan nyonya rumah sudah ke kantor. Anak mereka juga keluar rumah untuk berdagang, meninggalkan pembantu rumah tangga mereka yang dua orang. "Rina, bekerja jadi penjahit Nik, jadi pagi-pagi begini dia keluar rumah mengantarkan jahitan pelanggannya sekaligus belanja kebutuhan menjahit," jelas Ami tentang kemenakannya yang dulu pernah dimintai tolong mengantarnya ke dokter. "Maklum pedagang pakaian, tapi pelanggannya banyak lho, termasuk toko-toko itu untuk seragam sales girlnya," lanjut Ami dengan nada bangga.

Ami segera minta diri kepada si pembantu, lalu aku minta tolong kepada supir kakakku untuk mengantarkan kami ke sekitar lokasi sekolah Rizqi. Rizqi sendiri tak banyak cakap, sementara Ridho terus menempel di tubuh ibunya. Di Kijang Krista kakakku, Rizqi memilih duduk sendiri di bangku depan.

"Kang Rizqi betul-betul mantap minta ditinggal?" tanyaku pada pemuda tanggung itu.

"Ya tante," jawabnya singkat tanpa menoleh.

"Kenapa kakang nggak pilih tinggal di rumah uwa yang tadi saja sih?" pancingku lagi.

" Saya ingin mandiri. Lagi pula ceu Ririn sendiri juga sibuk jarang bisa menemani saya, jadi ibaratnya sama saja kalau pun saya tinggal terpisah," jawabnya lagi dengan suara berat. Kuperhatikan pita suara Rizqi kini telah pecah, dan dari caranya bertutur serta mengatur kata-kata nampak bahwa dia sudah jadi Taufik junior, seorang lelaki yang penuh percaya diri dan tanggung jawab.

"Ya, kalau begitu andaikata kakang butuh pertolongan, jangan segan-segan menelepon tante dan oom ya, kami siap membantu sepanjang kami belum pergi lagi," kataku menawarkan.

"Terima kasih tante," lagi-lagi jawabannya cuma sepotong.

Mobil kami menembus kepadatan lalu lintas Jakarta, melewati deretan pedagang jalanan yang menghadang sopir di tengah kemacetan. Belum lagi anak-anak putus sekolah atau mungkin anak jalanan yang menggoyang-goyangkan botol aqua berisi butir-butir beras ada di hampir setiap lampu merah. Mata Ami tak putus-putus memperhatikannya.

"De, lihat mereka, seandainya orang tuanya mampu dia sudah ada di dalam kelas jam segini. Tapi, kasihan amat ya, mereka terpaksa berpanas-panas di jalanan berdebu, ramai lagi," kudengar Ami bercakap dengan anaknya.

Ridho tak menjawab. Tapi matanya tampak mengawasi arah yang ditunjukkan ibunya.

"Makanya De, belajar yang rajin, supaya kelak kamu dapat kerja kantoran yang tetap sehingga di masa dewasamu kamu bisa menghidupi keluargamu. Anak dan istrimu, seperti ayahmu, ya?" kata Ami lagi. Kedengaran begitu mantap menyiratkan betapa pun hatinya terluka, tapi dia tetap amat mengagumi dan mengasihi suaminya. Lelaki yang disebut-sebutnya sebagai harta karun terindah dalam hidupnya.

Tetap tak ada jawaban dari kedua anak-anaknya. Maka terasa betapa mobil kami begitu sepi, dingin, dan hanya ada deru mesin halus di gendang telingaku.

-ad-

Kami berhenti di beberapa rumah yang alamatnya didapat Ami dari penjaga sekolah anaknya. Sebuah rumah, berupa rumah petak milik seorang Haji Betawi asli. Kami tak memilihnya, karena Rizqi hanya bisa menyewa kamar petak di sana. Rumah lainnya milik sepasang suami-istri tua pensiunan Angkatan Laut, namun agak jauh dari sekolah walaupun pemilik rumah tinggal di paviliun rumah kost itu. Mereka mempertimbangkannya sambil mencari kemungkinan lain.

Di sebuah pekarangan luas mobil kami berhenti. Seseorang berjilbab keluar dari dalam rumah, dan mempersilahkan kami masuk. Perempuan paruh baya itu adalah janda pemilik rumah. Dia menerima kami dengan ramah sambil mengantar kami berkeliling ke kamar-kamar kostnya yang berada di sisi kiri dan kanan halaman itu. Semuanya ada enam kamar, lengkap dengan AC dan aliran listrik yang besar. "Saya dan orang tua almarhum suami saya tinggal di situ," katanya sambil menunjuk rumah induk. "Insya Alalh semua penyewa dapat terawasi. Sebab ibu mertua saya dulu guru di SPG,"katanya lagi.

"SPG, apa sih tante?" tanya Rizqi padaku.

"Sekolah Pendidikan Guru, sekolahan yang sekarang jadi SMK. Dulu dipakai mendidik para calon guru TK dan SD waktu tante masih sekolah," jawabku menjelaskan.

Nyaris seharian kami berkeliling kota sampai akhirnya Ami memutuskan tinggal di rumah seorang pensiunan perawat yang sederhana, namun rapi dan menyatu dengan tempat tinggal induk semangnya. "Aku lebih merasa tenang dan mantap dengan rumah itu, pemiliknya sangat ramah dan lagi rumahnya terawat. Belum lagi beliau bekas suster, jadi aku tak khawatir menitipkan Rizqi padanya," alasan Ami. Rizqi juga setuju dengan pendapat ibunya, "ya bu, buatku, yang penting rumahnya bersih, tenang, dan setiap saat ada yang mengawasiku," katanya senang.

Malam itu Ami kembali ingin menginap di rumahku. "Ibu masih ada yang perlu diselesaikan dengan tante Tri," alasan Ami.

"Boleh aku ikut?" tanya Ridho seketika. Nampak sekali dia tak mau berpisah dari ibunya. Aku mengangguk menyetujui, "ayo, silahkan, ada dua kamar kosong kok di rumah tante, Akang ikut juga ya?"

Rizqi diam sejenak sebelum kemudian menyetujui kemauan adiknya. "Tapi kita harus pulang ke rumah uwa dulu 'kan, pamitan baik-baik dan ambil baju?" tegasnya.

Kami membenarkan, sehingga sore itu di rumah keluarga Pandunagara hanyalah acara pamitan dan tukar pakaian.

-ad-

Ami tetap menempati kamar yang kemarin kuberikan kepadanya, selagi anak-anaknya kuinapkan di kamar anak-anakku. Kedua anak-anakku mengungsi ke kamarku, dan ke kamar Kurnia, pembantu kami.

Mereka asyik menonton televisi dan main games di komputer dengan anak sulungku. Suamiku menemani Rizqi dan mengobrol cukup asyik di depan televisi layaknya para lelaki dewasa. Nampaknya suamiku sengaja memberi kesempatan padaku untuk melanjutkan pembicaraan dengan Ami.

"Nik, aku harus gimana ya?" keluh Ami lagi ketika kami baru masuk ke kamar.

Aku terdiam sejurus, sebelum kemudian mulai dengan pertanyaan yang lumrah, "sebetulnya mbak Ami sudah menanyai pak Taufik soal wanita simpanan itu belum sih?"

"Sudah. Pada saat aku akan dipesankan ticket untuk menjemput anakku kemarin, kusampaikan keinginanku untuk sekalian tinggal di rumah."

Aku memandangnya tak mengerti, "mbak minta tinggal di rumah? maksudnya apa?"

"Kukatakan, aku dan anak-anak sudah tahu bahwa di balik diamnya suamiku dan kesibukan kerjanya, ada wanita yang menyita perhatiannya, suami orang lain di daerah sana."

"Oh ya, mbak bilang begitu? Apa reaksi pak Taufik, tentu kaget dong?"

"Ya, dia langsung berpaling menatapku, padahal semula dia sedang tekun dengan internet di meja kerjanya," jawab Ami sambil menghembuskan nafas seakan-akan hatinya melepas beban yang berat.

"Pak Taufik diam saja?"

"Ya, sampai aku yang memulainya. Kukatakan bahwa anak-anak sudah lama mengendus semua kejanggalannya setiap pulang kerja. Tentang ponsel keduanya serta SMS yang tak berhenti sejak di pintu rumah hingga menjelang tidur malam hari, termasuk di dalam mobil dalam perjalanan menuju Cengkareng," urai Ami.

"Reaksinya?"

"Dia semakin diam, dasar dia pendiam," jawab Ami. "Tapi aku terus saja berceloteh, sambil mencoba menahan tangisku, alhamdulillah, bisa sih Nik," kali ini Ami tersenyum manis padaku menampakkan gigi gingsulnya. Senyum kemenangan tentunya.

Konon ceritanya, Ami membeberkan semua temuan mereka anak-beranak. Juga pengamatannya atas gerak-gerik suaminya. Tak lupa dia mengakui bahwa dirinya bukanlah istri pendamping suami yang baik, bukan sarjana, tidak bekerja, dan tak pandai dandan seperti yang dulu dikeluhkan suaminya kepada almarhumah Elis. Untuk itu Ami minta maaf pada suaminya, dan menganjurkan agar suaminya membawa wanita itu ke tempat tugas mereka agar dapat memenuhi selera dan tuntutan dirinya.

Kemudian suaminya mengajaknya naik ke tempat tidur. Mereka bicara di situ, di atas pembaringan yang sudah lama tak dihangatkan nafas-nafas cinta mereka. Kini suaminya mengakui keberadaan wanita itu. Tapi dia melarang Ami pulang untuk selamanya.

"Aku tidak mau menceraikanmu," katanya pendek.

"Aku juga tidak berniat minta cerai," balas Ami. "Aku hanya ingin membahagiakanmu, dengan memberimu kesempatan memuaskan hawa nafsumu secara terbuka. Sebab aku tahu kau telah lelah dengan hubungan gelap yang kalian bina bertahun-tahun ini."

"Lalu maksudmu minta pulang itu apa?" desak suaminya.

"Aku mengharapkan dia mendampingimu sebagai permaisuri di istana ini. Sebab dia perempuan berpendidikan, wanita karier, bisa dibanggakan dan sinden cantik, iya toch? Semua sesuai dengan kriteria wanita impianmu?" suara Ami konon tetap lembut. Tak ada hawa nafsu amarah bahkan keraguan dalam mengucapaknnya. Hatinya sudah mantap. Dia ingin melawan suaminya dengan caranya sendiri.

Taufik terdiam tak mengerti di atas pembaringannya. Matanya memejam seakan-akan tak sudi lagi melihat belahan jiwanya sendiri yang sesungguhnya manis.

"Bapak jangan kuatir, aku bisa melegalkan semua ini. Demi Tuhan aku tidak mau mempermalukan suamiku sendiri. Akan kudatangi pimpinanmu untuk menyampaikan niatan ini, juga kudatangi kantor wanita itu untuk memintakan izin baginya. Sekarang izinkan dulu aku bicara dengannya di telepon," begitu Ami mengulang kembali permintaannya pada suaminya di tengah malam itu.

Taufik nampak terkejut dan mulai menyadari bahaya yang dituai dari perbuatan terlarangnya. Karena itu dia segera bangkit dan mengambil posisi duduk di tempat tidurnya sambil memandang wajah istrinya yang sedari tadi memang duduk. "Kamu jangan lakukan itu, aku tidak bermaksud meninggalkamu," katanya singkat,

"Ya, aku tahu, dan aku sendiri juga tak akan meninggalkanmu. Demi cinta kita, demi janjiku pada emak, aku tetap akan ada di sekitarmu. Hanya saja aku memilih tinggal di rumah dan mengisi rumah yang kita biarkan kosong bersama anak-anak kita, anak-anakmu. Tanpa aku kau akan merasakan kebahagiaan dan kenikmatan yang lebih baik. Kelak kalau perempuan itu sudah bosan dan ingin kembali pada suaminya, eh, dia bersuami, betul 'kan? Maka kau bisa kembali ke rumahmu sendiri. Di sana ada aku dan anak-anak kita yang menantimu tanpa putus asa." begitu jawab Ami panjang lebar memberi penjelasan yang cerdas kepada suami yang telah melecehkannya.

Diceritakannya betapa suaminya menjadi semakin terkejut. Wajahnya pucat pasi, pandangan matanya mengarah tak tentu. Dengan getaran di pita suaranya dia memohon, "tolong jangan lakukan itu, Aku tidak ingin ada dia di sini,"suara itu nyaris tenggelam ditelan kegalauan.

"Kalau begitu, lepaskan perempuan itu, Jangan pernah berhubungan lagi dengannya, atau dengan perempuan mana pun. Kau hanya akan meretas jalan ke api neraka jika kau masih juga melakukannya," timpal istrinya. "Aku hanya menginginkan imam yang baik untuk keluargaku. Kalau kau tak mampu jadi imam yang baik yang bisa membawa anak-istrimu ke surga, izinkan aku yang mengambil alih kemudi rumah tangga kita. Izinkan aku mendoakanmu supaya dirimu diampuni Allah dan bisa mendapat kenikmatan surga. Bagaimana?" tantang Ami.

Taufik terdiam menundukkan wajahnya. Dia tak berkata apa-apa. Ami setia menungguinya, hingga akhirnya Ami mendesaknya untuk mengambil keputusan. "bapak setuju? Atau aku akan tetap maju dengan rencanaku bersama anak-anak? Jangan khawatir, aku yang akan menghadapi suami wanita itu, Aku tahu di mana mereka tinggal. Akan kukatakan bahwa istrinya memilih suamiku sebagai pemuas nafsu duniawinya. Tapi jangan salahkan suamiku, sebab kau sesungguhnya tidak bersalah pak. Wanita penggoda itulah sumbernya. Renungkan, jika dia pandai menjaga dirinya dan mengunci kehormatannya, maka tak akan ada lelaki yang bisa tertarik padanya. Tapi andaikata dia membiarkan dirinya terekspose dan tersentuh oleh sembarang orang, tak salah juga jika kau suamiku, mendekatinya," tutur Ami panjang lebar.

Suaminya masih tetap membisu, sampai akhirnya dia sanggup berkata-kata, "Ayi, jangan lakukan itu. Aku akan segera menghentikan hubunganku dengannya." Konon Ami tertawa kecil, karena menurutnya sejak mereka menikah suaminya tak pernah lagi memanggilnya dengan sebutan kesayangan "Ayi" yang menurutnya berarti adinda dan tak seorang pun boleh menirunya.

Malam itu Ami menyumpah suaminya dengan minta bersalaman diikuti sembahyang malam, Dua kali dia melakukan sembahyang malamnya sendiri. Sebelum tidur dan segera sesudahnya, tanpa mengajak suaminya yang entah mengapa seperti tertidur pulas. Malam itu juga di balik sujudnya dia minta ampunan pada Sang Khalik atas azab dunia yang telah menimpa keluarganya.

-ad-

"Kudengar anak-anakmu ribut mencarimu tuh Nik, sudah dulu ya? Mereka pasti mau tidur," kata Ami mengingatkanku. "Besok antarkan aku kembali ke rumah kami, aku mau menemui guru ngajiku, ya," pinta Ami sambil membukakan pintu untukku.

"Apa sayang?" seru Ami sambil melongokkan kepalanya ke ruang keluargaku. "Ini ibumu, tante nakal ya, kelamaan ngobrol dengan ibu mas Hardi?" tanya Ami riang pada anakku.

Hardi mengangguk menghampiriku dan menyeret-nyeret bajuku. "Mau minum susu dong bu," pintanya manja diikuti tawa kakak-kakaknya yang malam itu jadi tiga. Aku sendiri ikut tertawa lalu menghilang ke dapur bersama anak bungsuku.

(BERSAMBUNG)

30 komentar:

  1. wah...bun! ami makin hebat! kagum ma ami... ehh, yg ke 24 lina dah baca blm ya bun??? *beberapa hari ini gprs nya ga ok.. jadi susah bgt buat mp an..

    BalasHapus
  2. wah..Pak Taufik mulai menuai badai ya bun ?

    BalasHapus
  3. membaca kisah ami ini kok mirip dengan cerita teman saya

    BalasHapus
  4. Kowe durung maca sing sakdurunge iki. Awas, sedelok engkas metu jilid 26 lho.......

    BalasHapus
  5. Badai pasti berlalu huhuhuhuhu......

    Eh kok kayak mas Chrisye?

    BalasHapus
  6. Tengkyu teteh cantik. Nanti saya bisikin sama Ami. Saya cari dulu ya, "Mi.....m Mi......, dimana sih kamu? Dicari teh Ratih tuh...."

    BalasHapus
  7. Oh, jadi ada realitanya ya? Terus boleh tahu kisah akhirnya gimana? Saya mau copas ah.....!

    BalasHapus
  8. daun luruh mbakyu, merelakan jatuh agar pohon tetap tumbuh. si istri mengorbankan semua sakit hati dan penderitaannya hanya utk menyelamatkan nama keluarga dan juga demi anak2nya,

    BalasHapus
  9. sepertinya dah kebayang niyyy....lanjutan ceritanya...
    bunda kasih lagu Chrisye, Krisna tambahin lagu Rossa yaa...'Terlanjur Cinta', karena sekali cinta...aku tetap cinta.....cuit..cuittt....

    BalasHapus
  10. Ya, deh. ideal sekali. Jangan-jangan naskah saya sumbernya dari temen kang Nasir nih? Wekekekeke...... coba mas dinovelkan juga, kayak saya gini, biar jadi pelajaran orang banyak. Kang Nas juga punya kemampuan nulis yang bagus lho!

    Nati saya jadi pembaca yang setia dan selalu datang pertama deh!

    BalasHapus
  11. Hayo, kasih tau dong akhirrnya gimana? masih panjang lho perjalanan cinta mereka di episode ini........

    BalasHapus
  12. pingin nulis mbakyu, tapi semangat lagi down banget. Insayaaloh nanti ada masanya bangkit lagi.

    BalasHapus
  13. Saya bantu doain deh, biar semangantnya kenceng lagi. Sakjane tambane wong stress adalah nulis lan nyanyi lho mas.

    BalasHapus
  14. wkakaka, saya blum ampe stres cuma bosen dengan rutinitas

    BalasHapus
  15. Ngati-ati kang, wah...., gejala-gejala tuh!

    BalasHapus
  16. ini kok gue bacanya mundur sih! tapi jadi seru..

    BalasHapus
  17. Berarti posisi loe ada di KRL dari kampung gw mengarah ke Beos, loe pas ngadep ke Selatan. Tentu bacanya mundur kikikikikiki..........

    BalasHapus
  18. Dramatis...
    Ami akhirnya mengkonfrontasi suaminya ya... Untaian kata yang dipilihnya bijak sekali, wajar kalau suaminya sempat tidak mampu menjawab...

    BalasHapus
  19. Terima kasih, aduh, ynag ngarang jadi tersipu-sipu. Tapi maksud novel ini memang pembelajaran buat para istri yang dilukai dan dinista suami. Supaya bisa bersikap bijak dan hati-hati dalam menyikapi dan menyelesaikan masalahnya. Gitu lho.

    Gimana jeng Leila, rugi nggak jadi kontak saya?

    BalasHapus
  20. Dengan senang hati, menunggu kelanjutannya.......

    BalasHapus
  21. Damang pak Endjat, aduh sumping ka dieu. janten isin yeuh si bibi nu gaduh bumi tea........

    Jol aya juragan di payuneun bumi, mangga atuh.......

    BalasHapus
  22. Punten pa Endjat, pan lanjutannya sudah ada saya postingin tadi malam, saya kria pa Endjat baca yang ke-26 itu. Silahkan pak diteruskan kesana.

    BalasHapus
  23. Jelas nggak, Bu :). Saya senang bisa belajar banyak dari pengalaman Bu Julie.

    BalasHapus
  24. kayaknya di episode ke 25 ini saya jadi teringat sama seseorang, trus membayangkan apakah dia ya, yang ada dalam cerita ini? soalnya hampir mirip2.

    BalasHapus
  25. Ouh......, matur nuwun, matur sanget nuwun. Aku nini-nini dadi tersanjung ki lho!

    BalasHapus
  26. Siapa? Dimana? Aya-aya wae ieu mah. Pan ngarana ge ngarang atuh urang mah.

    BalasHapus
  27. Saya baru baca sampai sini. Kebetulan libur jadi sedari siang asyik terus baca lewat HP.
    Bagian ini saya suka sekali. Cara Ami bicara dengan suaminya itu lho... bijaksana dan cerdas sekali.... Jempol deh
    (Tentunya jempol buat Bunda yang nulis dong...)

    BalasHapus
  28. Buat tokoh yang jadi pelakonnya dong cik. Kan beliau juga yang jadi sumber inspirasi saya. Wah...........

    BalasHapus
  29. Ooo... tokoh Ami itu beneran ada? Salut deh kalau begitu...

    BalasHapus

Pita Pink