Powered By Blogger

Jumat, 13 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XVII)

Hari ini aku melepas kepulangan Ami dan anaknya ke Indonesia. Hanya ada satu rasa dalam hatiku, haru namanya. Sebab kusadari Ami akan menjemput kebahagiaannya duduk dalam barisan istri orang-orang terhormat di sebuah departemen bergengsi. Padahal, dulu suaminya pernah mencelanya sebagai perempuan tak berpendidikan, pasif, kurang inisiatif sehingga membuahkan noda berupa cap bukan pendamping suami yang baik.

Aku dan mas Tri termasuk diantara orang-orang yang menitikkan air mata. Kupahami, semua juga berpikiran sama, terkenang akan segala pengalaman menyakitkan yang dialami Ami di negeri ini, jauh dari sanak-saudaranya. Tapi kuyakini juga, mereka sama bahagia dan bersyukurnya dengan kami sekarang ini.

Dari meja pemeriksaan imigrasi Ami melambaikan tangannya sedangkan Rizqi menunduk muram di belakangnya. Tangan mereka menyeret dua buah koper kecil serta masing-masing menyandang tas di bahu dan punggungnya. Kulihat Ami menepuk bahu anaknya seraya  membisikkan sesuatu, lalu Rizqi setengah terpaksa menengadahkan mukanya menatap kami dan turut melambai tanpa gairah. Mata itu begitu kuyu, ronanya cekung dalam seperti kehabisan air mata dan kurang tidur.

"Kasihan ya mas, sampai sebegitunya dulu perlakuan pak Taufik pada istrinya," keluhku sambil menggapai sabuk pengaman di sisi kananku. Mobil kami akan meninggalkan bandara yang hiruk-pikuk di luar kota metropoltan.

"Orangnya memang antik," kata suamiku. "Di kantor dia tak pernah percaya begitu saja pada pekerjaan bawahannya, maunya selalu perfect, mungkin begitu juga dia mengharap dari istrinya."

"Apa sih yang kurang dari mbak Ami?" tanyaku tak minta jawaban. "Dia sudah berusaha berbuat semaksimal mungkin dengan banyak mengurus rumah tangganya sendiri serta tak mengabaikan kewajibannya sebagai pendamping suami di kantor, coba kalau nggak ada dia, mana mungkin perwakilan kita selalu bisa tampil bagus dalam fora internasional sewaktu ada pentas-pentas seni?" sambungku lagi sambil menarik nafas dan membuang pandang ke kiri-kanan jalan yang lurus dan hanya dipadati mobil. Burung-burung hitam beterbangan di pagi berembun, dingin, basah kena hawa winter yang sudah menyusup turun.

Mas Tri berdehem seperti ingin melegakan tenggorokannya yang kering kena hawa empat musim. "Ya, orang antik tentu banyak keinginannya yang tak sejalan dengan kemauan kita," jawab suamiku sambil melajukan kendaraannya di kecepatan 100 km/jam.

"Kalau aku yang kau perlakukan begitu mas, hm. jangan harap ada ampun deh. Paling kugugat ke pengadilan agama," cibirku menggoda suamiku.

Dia melirik padaku, mencubit pipiku dan bicara ketus, 'hati-hati kalau ngomong, tabu tuh bicara begitu. Apalagi untukku, kamu sudah jadi istri yang baik, apalagi sih yang harus kutuntut darimu?"

"Nah, ya, ma'af, ma'af," kataku tertawa, "aku cuma bercanda kok, aku tahu mas Tri nggak akan memperlakukanku begitu. Bukankah kau selalu bilang aku dewimu?" lalu aku tertawa lagi.

Suamiku diam saja. Dia memperlihatkan ketidaksenangannya atas sikapku. Mobil kami terus saja dibawanya melaju lurus agar dapat sampai di kantor sebelum pukul sepuluh.

"Mas, ma'af ya?" desakku lagi sambil menyandarkan kepalaku ke bahunya.

Suamiku mengangguk, "jangan pernah menganggapku tega memperlakukanmu semaunya," katanya ketus, Aku mengangguk senang lalu mengalihkan pembicaraan pada hal lain sampai dia menurunkanku di depan pintu rumah. Mobil kami belum beranjak pergi sebelum mas Tri menyaksikan pembantuku membukakan pintu hingga aku selamat berada di dalamnya.

-ad-

Sejak kepulangan Ami aku hanya bergaul dengan Erna. Kini giliranku membagi ilmu dengan Erna, sebagaimana dulu aku menerima ilmuku di dapur Ami. Cetakan cendol dan serabi telur pemberian Ami sudah menjadi penanda bahwa aku adalah guru masak Erna. Kemarin dulu Erna menyajikan cendol sebagai dessert tugas kantinnya. Aku senang melihatnya.

"Mbak, sudah dengar kabar dari bu Taufik?" tanya Erna siang itu ketika kami sedang membersihkan sekretariat bekas anak-anak kami belajar keterampilan origami.

"Belum," kataku menggeleng. "Mungkin dia sibuk mencari sekolah yang cocok dengan kemampuan dan kemauan Rizqi," kataku mengira-ira.

"Sudah sebulan lebih 'kan ya?" tanya Erna seakan-akan menghitung perpisahan kami.

"Hmmm, ya, nyonya direktur pasti sibuklah," timpalku lagi.

"Tapi aku yakin mbak, bu Taufik pasti selalu ingat mbak terus, 'kan hanya mbak yang bisa masuk ke hatinya," Erna menyimpulkan di tengah kesibukannya menyapu ruang.

"Semoga, siapa sih yang tahu sifat orang yang sesungguhnya. Bisa jadi dia sudah berubah karena kedudukan suaminya mengharuskan dia menjaga jarak dengan kita," jawabku masygul walau aku tahu Ami bukan tipe orang seperti itu. Kesederhanaannya luar biasa, dan keluwesannya bergaul tak tertandingi. Dia telah membuktikan dia bisa berada di level manapun dengan siapapun juga.

"Mbak tahu ya, waktu pak Taufik mau dilantik, bu Taufik 'kan diminta mengirimkan surat keterangan dokter dari sini yang menyatakan dia tidak bisa hadir di acara itu karena sedang sakit dan dalam perawatan di sini," kata Erna separuh bertanya.

Aku menggeleng, "Nggak tuh, masa' sih begitu? Tahu darimana Er?" Rasanya tak mungkin persoalan sepele semacam itu akan terjadi.

"Dari dokter kandunganku, surat itu dititpkan padaku," jawab Erna.

"Pak Taufik bilang, dia harus hadir di acara pelantikan itu bersama istrinya. Kalau istrinya nggak hadir, dia diminta memberikan alasan ketidakhadirannya, jadi bu Taufik terpaksa minta surat keterangan sakit dari dokter disini,"

Aku mengangkat bahu dan mencibir, "luar biasa," desahku.

Erna menghentikan sapuannya lalu menatap padaku seraya tersenyum, "istimewa, bukan?" komentarnya disertai tawa tertahan.

Aduh Ami, lagi-lagi aku kasihan kepadamu. Betul yang dikatakan mas Tri kemarin, pak Taufik orang yang antik. Makhluk unik yang baru pernah kutemui disini.

"Eh, kata bu Tutik, sebetulnya itu nggak penting. Di Jakarta dulu bu Tutik sering mengurus upacara pelantikan. Dan banyak juga pejabat yang datang sendiri karena istrinya berhalangan," kata Erna lagi menirukan apa yang diceritakan bu Astuti pejabat administrasi di kantor suami kami padanya dulu.

"Ya, lah Er, masa' sih sampai sebegitu rupa perhatian pimpinan dalam upacara itu?" sambutku setengah mencibir. Tapi diam-diam rasa keingintahuanku mendorong aku membuat kesimpulan sendiri tentang TTM Taufik yang dahulu diceritakan Elis. Jangan-jangan perbuatannya sudah tercium unsur pimpinan, sehingga dia ingin betul membuktikan bahwa itu sekedar issue yang tidak benar, dan istrinya masih tetap Ami yang kini sakit di luar negeri. Affair itu tak pernah terjadi. Taufik tetap seorang lelaki setia yang patut jadi panutan. Begitu mungkin kira-kira maksudnya.

"Mbak, kenapa melamun mbak?" sodok Erna tiba-tiba ketika disadarinya aku tidak melakukan apa-apa dan asyik berdiam diri di sudut ruangan menatap ke pohon pear di luar yang mulai diselimuti guguran salju lagi. Temperatur menunjukkan lima derajat celcius di bawah nol, menggigilkan badan kami.

"Hm, nggak 'pa-'pa, hanya kangen bu Taufik," kataku berbohong.

"Yuk ah, pulang, aku mau jemput anakku," ajakku tanpa menunggu persetujuan Erna. Padahal niatku satu, aku ingin segera sampai di rumah dan mengirim surat elektronik baik kepada Ami maupun kepada Elis. Tiba-tiba siang itu aku sangat rindu keduanya, rindu yang tak tertahan. Dan akan kutitipkan rindu itu kepada Yahoo! yang setia menemani dan melayaniku. Semoga aku bisa kembali berhubungan dengan sahabat-sahabat karibku yang dulu.

(BERSAMBUNG)

9 komentar:

  1. Barusan bangun kok bun! Sambil menanti subuh...

    BalasHapus
  2. Oh, ya wis bagianku sing arep turu. Kepareng.........

    BalasHapus
  3. Silahkan, silahkan. Mau niru nyoba-nyoba nulis juga boleh lho. Nanti aku yang bagian moles bair siiip, enak dibacanya gitu........

    BalasHapus
  4. Wah, pernha mengalami hal yang nyaris sama, Bu, hehehe. Namanya perempuan ya, kadang merasa pengin punya 'bukti' secara lisan akan janji suami, dengan membandingkan atau ngetes, tanpa maksud lebih jauh. Tapi ya buat lelaki mungkin hal ini sudah menyinggung, wong udah baik-baik kok ya masih dites....

    BalasHapus
  5. Oh gitu tha mbak? Waduh kok jadi kayka banyka yng kena nih sama karnagan saya? Padahal sumprit mbka, itu cuma hasilnya saya mengkhayal aja lho..........

    Terima kasih ya duah datang lagi ke tempat saya.

    BalasHapus

Pita Pink