Powered By Blogger

Sabtu, 29 Maret 2008

MERAJUT SILATURAHMI (II)

Hari kedua suamiku berangkat ke tanah air. Kuraih HP yang sudah semalaman kuisi baterai. Maklum aku selalu diingatkan suami supaya senantiasa mengecek baterai agar tidak pernah sempat putus hubungan dengan siapapun. Terutama dengan dirinya dan anak-anak, katanya. Kedengarannya seperti egoisme, tapi sesungguhnya aku sangat mengerti apa yang dikehendakinya. Dia hanya ingin aku bisa senantiasa dihubungi dan menghubungi siapapun jika perlu. Maklum negeri ini memang rawan kejahatan, lagipula kantor suamiku yang staffnya cuma sedikit selalu "menjerit-jerit" minta bantuan tenaga kami kaum ibu. Baterai sudah kembali tiga bar, bahkan ada gambar amplop tertutup. Senyumku mengembang, mencerahkan mataku yang belum sempat kusapu air wudhu.

"Maaf ganggu, sdh tidur ya? Be sdh landed di Changi. Tks doanya. Ati2 di rumah." Begitu deretan huruf di layar HPku. Kusempatkan untuk meneliti jam kirimnya, pkl. 23.23.02 waktu di sini. Agaknya segera setelah aku lelap tadi malam. Aku memang naik ke ranjang setelah pukul sebelas malam sehabis melanjutkan bacaanku tentang riwayat hidup Mahatma Gandhi sebagai pengisi waktu sepiku. Biasanya, sekalipun suamiku tidak banyak bicara, tapi setidak-tidaknya dia ada di sisiku, sibuk mengerjakan pekerjaan kantornya. Sementara aku duduk entah belajar mengaji (karena baru sampai taraf belajarlah usahaku di Singapura dulu) atau bahkan berkaraoke ria menghibur diri dengan Magic Sing machine di dekatnya. 

Aku sekarang sudah mulai terbiasa dengan "diam". Betul-betul hanya duduk diam menemani suamiku menyelesaikan tugas-tugasnya. Aku sadari kini, suamiku memang tipe pekerja kantoran yang sibuk. Karenanya tidak pada tempatnya jika aku merengek minta waktu untuk sekedar mengobrol atau main scrabble berdua seperti ketika kami muda dulu. Meski begitu, sepiku tadi malam terasa lebih sepi dari biasanya, sebab aku tidak menampak wajah suamiku serta tak bisa membaui harum tubuhnya yang selalu kurindukan.

-ad-

Kujawab SMS singkat itu dengan ucapan syukur serta kembali mendoakannya agar tiba di Indonesia dengan selamat. Sepengetahuanku, suamiku mempunyai agenda pertama bersilaturahmi ke pemda Sulawesi Selatan dan Kota Makassar. Ini bukan kunjungan pertamanya kesana. Tapi, seingatku, ini adalah kunjungan pertama lewat udara yang dicapainya dari luar negeri. Jadi, kunjungan puluhan tahun lalu itu rasanya tidak berarti apa-apa baginya.

Ingatanku jelas ke tahun tujuh puluh empat. Waktu itu aku baru naik dari Tingkat Penggalang (G) di Gerakan Kepanduan Pramuka ke Tingkat Penegak (T). Ada agenda besar Kwartir Nasional berupa Perkemahan Wirakarya di Sulawesi Selatan untuk Penegak dan Pandega di seluruh tanah air. Kwartir Cabang Kota Bogor juga memutuskan untuk ikut. Beramai-ramai kami mencoba mendaftarkan diri. Saringan demi saringan kami tempuh. Sayang, aku gagal pada test kesehatan karena dokter berkeberatan mengeluarkan surat keterangan sehat. Sedangkan mas Dj -sahabat karibku waktu itu- juga tidak mendukung niatku. Katanya, "nanti adik sakit disana dan merepotkan banyak orang. Tinggallah di rumah. Aku bawakan oleh-oleh, cerita dan kubuatkan foto-foto yng bagus di sana," begitu ucapnya. Ada nada kasih dan tulus di getaran suaranya. Juga pada jemari yang menggenggam lembut bahuku. Mata itu, begitu tegas di balik kacamatanya. Aku menunduk menahan gemuruh di dadaku, campuran antara kecewa dan keinginan menurut. Aku sadari diriku memang lemah, dan lelaki sahabatku itu tidak akan sanggup mengurusi diriku seandainya aku jatuh sakit. Di sisi lain aku salut padanya. Pada perhatiannya yang dalam terhadapku. Seorang teman main yang belum tentu kelak menjadi bagian dari diri dan hidupnya. Aku menghela nafas menyembunyikan memori itu.

-ad-

Tidak ada hari yang menggairahkan tanpa dirinya. Suamiku memang sesuatu yang sangat istimewa buatku. Hari ini rasanya aku ingin mengurung diri saja. Tapi aku malu terhadap matahari yang terlihat garang dan congkak di langit sana. Maka kuputuskan untuk melangkah ke luar rumah

Aku masuk ke gedung tua di Rosmead Avenue yang dipenuhi pepohonan rindang. Batu-batu halus dan aspal mulus serta rerumputan memagari sekitarnya. Ada sepucuk pohon rindang dengan buah kecil-kecil sebesar kelereng, mirip cherry. Tidak berbiji, namun berbatu-batu. Merah darah, menantang menggiurkan. Kuamati daunnya, kecil-kecil halus, serasi sekali dengan buahnya. Penasaran kupetik sebutir dan dengan bismillah yang penuh keyakinan kucoba memasukkannya ke mulut. Asam-manis-segar menyemburat dari daging buahanya yang lembut. Di balik kulit yang lembut mulus itulah batu-batuan mencirikan dia sebagai jambu biji. Keajaiban alam, gumamku dalam hati. Belum pernah aku menemukan buah jambu biji semacam ini. Di rumah mbakyuku yang ke-dua, dulu ada juga jambu biji mini. Tapi daunnya toch kasar bertulang-tulang sama persis dengan jambu biji yang biasa ada di mana-mana. Begitupun buahnya tidak berkulit merah. Kupetik lagi sebuah, dan kuisap dalam-dalam sarinya, semuanya mengembalikanku ke masa silam. Ke jaman suamiku masih anak-anak yang gemar memanjati pohon apa saja termasuk jambu.

-ad-

Di muka rumah itu, di belakang bangunan pak Sobari di Ciwaringin, tumbuh juga pohon jambu. Buahnya tidak seberapa, tapi cukup menyenangkan. Mas Dj kecil gemar "nangkring" di atasnya dan mengunyah begitu saja satu-dua buah tanpa dicuci lebih dulu. Mama yang gemas sering meneriakinya dari dalam rumah sambil mengambil sebatang sapu siap diacung-acungkannya ke arah mas Dj. "Jorok, ayo turun. Cuci dulu," teriak mama dari bawah. Si kecil tersenyum kecut, buru-buru memetik beberapa lagi, memasukkannya ke dalam saku celana, melorot turun dan lari masuk perkampungan menggabungkan diri bersama teman-temannya yang lain. Kenangan itu menyeruak siang ini, di sini di Cape Town yang jauh.

Pohon jambu itu ada di muka ruang yang konon akan jadi Sekretariat Dharma Wanita Persatuan KJRI Cape Town. Mulai tanggal satu April nanti kantor suami kami akan segera beroperasi di Rosmead Avenue, karena kantor lama sewanya habis. Di dekatnya berdiri pembakaran sate dari batu. Tidak artistik, tapi sangat mendukung pekerjaan ibu-ibu kelak saatnya kami harus menyiapkan sate untuk berbagai keperluan dinas. Rumah tua ini lumayan nyaman. Halamannya yang sangat luas, bisa dijadikan lahan parkiran sekaligus tempat anak-anak beraktivitas di musim panas. Insya Allah di waktu upacara HUT RI pun kami bisa melaksanakannya di sini. Ada tiang bendera tinggi yang kokoh. Tinggal menebang gerumbulan bambu kecil yang menempel di sisi tiang saja. Maka lagi-lagi anganku melambung tinggi. Sepertinya mencirikan bahwa aku ini memang pemimpi.

Kubawa kakiku mengitari halaman. Di muka sebelah kanan ada lagi pohon tinggi yang rimbun dengan buah merah kecil-kecil. Tidak lebih dari besarnya jambu kancing. Kurang, malah. Yang ini memang umum ada di sini. Seluruh pagar rumah dinas suamiku pun dihiasi olehnya. Seakan belum tahu, kupetik juga sebuah setelah aku berhasil meraih dahannya yang terendah dengan cara berjingkat, maklum tubuhku agak pendek. Buah merah yang masuk ke mulutku itu begitu segar. Tidak banyak berair, mirip sekali dengan jambu bol yang sudah tak pernah nampak lagi di pasar di kotaku. Bijinya putih kecil-kecil serupa dengan daging buahnya yang nyaris tak ada. Ah, lumayan pikirku. Suatu hari nanti bisa jadi bahan rujakan. Kusyukuri saja apa yang telah ditumbuhkan Tuhan di sini sebagai rejeki untuk kami.

-ad-

Ada sepenggal kebahagiaan di hati ini. Tidak kuduga, di bumi nun jauh dari tanah air kita, kami masih punya keterikatan. Tidak saja hanya pada penduduknya yang ras Cape Malay dengan sejarah berasal dari nusantara. Melainkan juga pada kekayaaan floranya berupa buah-buah mungil yang mengungkit kembali kenanganku akan masa kecil kami. Dimanapun kami hidup, rasanya aku tidak berhenti bersyukur dan seperti hidup di rumah sendiri.

Tiba-tiba aku ingat, matahari sudah mulai condong hendak tidur. Aku sempatkan masuk ke dalam gedung, mengamati seberapa jauh proses pindahan berlangsung. Sebagian besar perabotan sudah mulai masuk, tapi belum satupun yang sempat tertata. Bahkan ruang-ruang belakang belum bisa diisi karena masih dihuni penyewa lama yang entah kapan akan beranjak dari sini. Koneksi telepon dan internet, alhamdulillah sudah berjalan dengan baik. Tengah malam nanti akan kusampaikan pada suamiku, semua urusan di Cape Town berjalan lancar. Selamat melanjutkan kerja di tanah air, cintaku. Semoga Allah merahmatimu dan membukakan jalan merajut silaturahmi masyarakat Cape Malay dengan bangsa Indonsia lebih jauh lagi. Hanya ada doa dan bisik cintaku untukmu selalu. Seperti itu.

Jumat, 28 Maret 2008

MERAJUT SILATURAHMI (I)

Pukul dua belas kurang lima menit. SMS di HPku masuk. Suamiku menyampaikan kabar terbarunya, dia sudah berada di dalam pesawat dan siap akan tinggal landas menuju Changi. Bandara pemberangkatan kami menuju Cape Town, bulan Juni tahun lalu.Tidak kusangka, sudah sembilan bulan kami menghirup segarnya udara Afrika Selatan. Aku ada di sini bersama suamiku, lelaki yang snagat kuimpikan dan puncak dari segala kebanggaanku. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, aku ada di sini, di sampingnya dan melepas keberangkatannya pula untuk melanjutkan keseluruh rangkaian tugasnya sebagai abdi negara menurut sumpah jabatan pegawai negeri yang pernah diucapkannya.

-ad-

Suamiku bertolak ke Jakarta, ke Indonesia, begitu seharusnya kukatakan. Para kepala Perwakilan RI yang bertugas di segala penjuru dunia akan mengikuti rapat kerja. Tapi suamiku justru punya satu missi lain, yaitu mempererat hubungan Rakyat Afrika Selatan dengan negeri kita, leluhur mereka yang diakui terlambat dikenali. Kunjungan Presiden RI dua minggu yang lalu ke Macassar Faure di Cape Town membuka jalan lebar untuk merajut tali silaturahmi di antara kedua bangsa. Karenanya agenda suamiku di Indonesia akan menjadi padat. Karena itu pula aku memutuskan untuk tidak mengikuti kunjungan kerjanya sebagaimana yang umum dilakukan orang dan pernah juga dipertanyakan sendiri oleh suamiku kepadaku. Dia pernah sangat terheran-heran mendapati aku yang tidak pernah ribut minta ikut dalam setiap perjalanan dinasnya, sebagaimana biasanya para istri. Tapi kujawab dengan diam semata. Aku bukanlah mereka.

-ad-

Di udara itu angin menerbangkan harapanku, membawanya melambung tinggi menuju Allah Sang Empunya yang paham akan maksud hati manusia. Semoga kelak suamiku dibekaliNya rezeki yang banyak untuk rakyat di sini yang sangat berharap kebaikan kita. Semoga ketika dua minggu lagi suamiku tiba kembali di Tanah Semenanjung Harapan, ada kabar bahagia bagi seluruh rakyat disini. Mereka adalah bagian daripada kita yang tercecer beratus tahun lamanya, dan mengonggok menjadi satu jati diri baru yang kering tanpa makna.

Belum pernah aku merasa segelisah hari ini saat melepas kepergian suamiku kemanapun dia bertugas. Bahkan saat dia harus naik ojeg terpagi dan menumpang Damri sampai ke Bandara Sukarno-Hatta, tak pernah hatiku diliputi resah. Biasanya aku hanya melambai di muka rumah sambil mengumbar senyum dan doa selamat padanya. Tapi pagi ini ritualku agak lain sedikit. Aku ragu, apakah suamiku bisa kembali membawa "buah tangan" untuk rakyat Afrika Selatan yang terlalu menaruh harap pada kami? Kehidupan dimanapun sedang sama tidak baiknya, sama-sama sulitnya. Permasalahannya, kali ini rakyat Afrika Selatan justru seakan ingin mengambil kesempatan untuk mendapat banyak dari "sumur" saudara tuanya, bangsa Indonesia. Cemas aku memikirkannya. Ini bukan Indonesia, dan aku tidak sedang mengantarkan suamiku bertugas ke luar kota atau ke luar negeri. Justru, aku mengantarkan suamiku yang akan kembali ke Jakarta untuk menjadi perantara warga Cape Malay yang ingin minta tolong pada bangsa kita. Aku termangu sendiri, namun batinku senantiasa terarah ke surga abadi untuk mendoakan keberhasilannya.

 -ad-

Kopi terakhir telah habis diteguk Imam Adam Philander, salah satu pemuka Islam di Cape Town ini. Suamikupun telah menyelesaikan cangkir tehnya yang kedua. Kami bangkit dari kursi-kursi di kedai kopi ruang keberangkatan Bandar Udara Internasional Cape Town. Pagi itu tidak begitu menggigit, namun tidak juga meningkatkan suhu udara. Semua tenang dan nyaman. memenjarakan hatiku di pojok sana. Aku memang masih punya hati, baik bagi Imam Adam dan saudara-saudara Cape Malay kami, terlebih-lebih bagi suamiku. Aku sangat ingin membahagiakan mereka sebisa mungkin, sekalipun aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa.

Kucium punggung tangan suamiku, dan kubisikkan padanya selamat jalan teriring doa semoga muhibahnya berhasil. Apalah artinya perjalanan jauh ini seandainya dia kembali dengan tangan kosong belaka? Sepeninggal suamiku menuju ke ruang keberangkatan, segera aku beranjak pulang menghampiri mobil dinas suamiku yang terparkir di luar. Imam Adam telah lebih dulu berlalu menuju mobilnya. Aku tahu, dia sendiri sedang larut dalam angan-angannya memperoleh banyak bantuan dari kita, rakyat Indonesia.

-ad-

Sore ini, kembali aku duduk di muka komputerku. Aku membuka site-site di internet sebagaimana biasanya. Tapi sesungguhnya pikiranku hanya tertuju pada suamiku. Izinkanlah ya Allah, suamiku sampai dengan selamat di Indonesia, dan kelak kembali kepada kami dengan membawa kabar bahagia. Semoga kiranya Engkau menuntunnya menjadi salah satu komponen perekat dua bangsa bersaudara yang dulu dipisahkan bangsa penjajah ini. Hanya kepadaMu aku berharap. Jadikanlah suamiku sebagai mutiara yang berharga.

Lalu mataku terkatup rapat, menahan kerinduanku yang tiba-tiba menyeruak dalam. Padahal, belum dua puluh empat jam dia berlalu dari sisiku. Kerinduan itu hadir kembali, di degup jantung kecilku, mirip kerinduanku tigapuluhempat tahun yang lalu pada sahabat karibku, mas Dj. Selamat jalan ke Indonesia, semoga missi kita berhasil.

Sabtu, 08 Maret 2008

SURYA YANG HILANG DI UJUNG USIA

Hidupku indah. Itu yang dapat kurasakan. Sejak aku membuka mata pertama kalinya dan menjejak bumi pada kemudian hari, yang terasa hanya barisan kenikmatan belaka. Aku dibesarkan dalam satu keluarga yang insya Allah selalu saling mengasihi. Dipimpin oleh seorang ayah yang senantiasa teguh pada pendiriannya, dan ibu yang penuh bakti pada suami. Alhamdulillah Tuhan senantiasa mengasihiku. Di balik tubuhku yang ringkih -namun selalu kelihatan kokoh- selalu ada cintaNya, Di situ selalu ada kasih sayang yang tiada habis-habisnya. Aku jatuh pada satu penyakit, berangsur membaik, kuat dan tegar kembali menyongsong penyakit yang entah mengapa selalu hinggap tanpa kuminta.

-ad-

Dulu ketika kanak-kanak aku berlangganan pada seorang dokter di Jalan Gedong Sawah di daerah belakang Hotel Salak, satu-satunya hotel kala itu di kota kami, Bogor. Dokter tua itu bernama Lie Po King. Sifatnya kebapakan serta lembut terhadap pasien-pasien kecil, sebagaimana dokter Djauharsjah Jenie yang kemudian menjadi dokter keluarga kami. Di tangan beliau berdualah selalu nasibku dipasrahkan ibu. Memang penyakitku terbilang ringan, hanya batuk dan pilek. Tapi Bandelnya bukan main. Dalam sebulan nyaris hanya beberapa hari aku "kering" dan dapat menajdi gadis kota yang manis. Selebihnya, ya batuk dan batuk itulah kelemahanku.

Beranjak besar, batuk itu semakin menyiksa. Bahkan setelah aku menjalani operasi pengangkatan amandel seperti yang disarankan dokter. malam-malamku senantiasa kuhabiskan di atas kasur sambil setengah terduduk, mencari dan mencuri-curi kesempatan bernafas. Karenanya aku jarang bisa mengikuti pelajaran pendidikan jasmani yang juga diistilahkan olah raga, sebab terus terang aku ogah lara setelah mengikutinya. Untung guru-guru olah raga di sekolah-sekolahku sangat mengerti dan memaklumi. Tak ada satupun yang menghukum aku dengan berbagai cacian atau hukuman fisik sebagaimana yang kusaksikan dilakukan terhadap teman-temanku yang entah kenapa kerap minta ijin untuk tidak ikut pelajaran olah raga. Akibatnya, kata teman-temanku, aku termasuk murid kesayangan guru.

-ad-

Menghadapi hari-hariku yang menyiksa, aku punya seorang teman yang sangat baik. Dia senantiasa penuh perhatian dan sangat memperhatikan seluruh aktivitasku. Sekalipun dia dua tahun lebih tua dariku dan baru menjadi teman sekolah ketika di SMA, tetapi dari dulu dia selalu berusaha menjagaku agar tidak jatuh sakit. Berpuluh-puluh tahun dilakukannya itu semua, hingga kini. Hingga rambut di kepala kami mulai menipis dan otot-otot kami mengendur menimbulkan gurat-gurat di sekitar wajah kami. Teman setiaku itu, kini, terbaring pulas di sisiku. Tangannya mendekap dada, seakan mohon kekuatan padaNya untuk menghadapi segala persoalan yang kami hadapi. Hidup di perantauan, tanpa sanak saudara dengan istri yang tak henti-hentinya butuh perawatan. Aku iba melihatnya, campur malu. Kutelan ludahku untuk membasahi kerongkongan yang tiba-tiba mengering. Lalu dengus nafas panjang di sampingku kedengaran teratur melempar semua bebannya.

-ad-

Sudah dua bulan ini aku mengeluhkan rasa sakit pada bahu dan sekujur lengan kiriku, mulai dari pangkalnya hingga ke ujung jari. Nyeri yang tak dapat kusampaikan dengan sempurna, sebab aku tak pandai bertutur dalam bahasa asing. Yang kutahu hanya ngilu campur pegal. Sudah kucoba untuk menghangatkannya dengan obat gosok, bahkan pijat urut a la Indonesia yang dilakukan salah seorang teman kami ahli pijat di sini dengan baluran minyak tawon. Ah, minyak tawon, sangat membangkitkan kenangan terhadap kak Lilis Surjani, salah satu penyanyi favoriteku ketika kecil dulu. Di ujung hayatnya yang takluk di bawah deraan kista indung telur yang berubah ganas, kak Lilis tidak pernah lepas dari minyak tawon. Baunya yang khas merasuk dari jarak bebarapa meter ketika kami duduk berdua-dua berbagi rasa dan pengalaman serta saling menguatkan satu sama lain di rumahku di Singapura dulu.

-ad-

Aku mengenalinya dari suara yang khas melengking tinggi. Beberapa lagu syahdu yang menjadi ciri khasnya lengket sekali di telinga dan ingatan kami. Suamiku sangat tersentuh oleh lagu "Dengar Ratapku" yang memang mendayu-dayu mengungkit jiwa yang haus belaian ayahnya. Bapak mertuaku berpulang ketika suamiku belum sempat lulus SD. Kanker itu juga yang menghabisi almarhum, menyisakan kegetiran yang dalam. Aku tak habis pikir, mengapa Allah menciptakan penyakit ganas itu untuk mengakhiri nyawa manusia?

Kak Tuty kakak kelas suamiku di SMP adalah salah satu teman baik kak Lilis. Walaupun kami bertiga baru saling mengenal, tapi aku dan kak Tuty cepat menjadi akrab. Apalagi dia datang dari kampung yang sama denganku. Adapun kak Lilis, sekalipun lahir di Jakarta, tapi nenek moyangnya orang Bogor juga. Dia diperkenalkan oleh kak Vivie Sumanti sahabat kak Tuty yang dulunya juga seorang penyanyi populer. Kami bertiga -kak Tuty, aku dan suamiku- sepakat untuk turut merawat kak Lilis kenalan baru kami.

Waktu pertama kali aku mengunjunginya di rumah kak Tuty, dia masih tampak cantik. Rambutnya yang selalu dipangkas pendek model Connie Francis penyanyi bule di tahun limapuluhan belum banyak rontok. Giginya juga masih berderet rapi di bagian muka, menimbulkan senyum manis yang sempurna pada raut wajahnya yang mungil. Aku mudah jatuh hati padanya, lalu kami habiskan malam-malam kami berdua di rumahku sambil mengobrol maupun bernyanyi bersama. Pelan-pelan kubuka ingatannya dengan menyanyikan kembali "Alam Permai" yang mulai hilang dari benaknya dan beberapa lagu lain. Lalu berloncatanlah satu demi satu kisah hidupnya yang dirangkai dalam bahasa yang lugas.

-ad-

Setahuku kak Lilis terlahir sebagai anak tunggal di daerah Gang Kelinci, Pasar Baru, Jakarta. Di situlah dia dibesarkan, sebagimana penuturannya dalam lagu yang diciptakan Titiek Puspa. "Saya adalah salah satu penggemar mbak Titiek yang nekad minta dibuatkan lagu waktu saya masih anak-anak," jelasnya membuka kenangan. "Umur saya belum akil baliq, tapi saya sudah suka bergenit-genit menyanyi dengan segala gaya," lanjutnya. Dari kegenitan campur kenekadannya itu, lahirlah penyanyi baru yang cepat memikat Bung Karno, sang Kepala Negara. Lilis Surjanipun kemudian melejit sebagai penyanyi nasional bahakan terkenal hingga ke manca negara. Aku tersenyum sendiri ketika mendengar penuturannya terbingung-bingung saat diminta menyanyikan lagu "Ulang Tahun Kakek" oleh warga Malaysia dan Singapura yang mengundangnya pentas di negeri mereka. Jangankan aku, kak Lilis sendiripun, lupa bagaimana melodi lagunya. Untung promotornya masih punya rekaman lagu tersebut dari sebuah piringan hitam kuna yang besarnya hampir dua kali lingakaran piring makan. Konon kisahnya, kak Lilis "terpaksa" menyelesaikannya dengan terbata-bata.

-ad-

Kak Lilis menikah di usia yang cukup muda. Suaminya datang dari luar Jawa, cukup temperamental menurut pengakuannya. Aku kasihan mendengar seluruh penuturannya yang sering diucapkan polos begitu saja untuk minta doa padaku. "Hidup saya begitu penuh perjuangan dik Julie," keluhnya sambil merebahkan diri di sofa di muka televisi tempat aku biasa menghibur diri. Banyak cerita yang mengalir begitu saja, mencekatkan hatiku. Kugenggam kedua tangannya dan kubujuk untuk terus bersabar. "Di balik ujian Tuhan pasti ada ganjarannya," hiburku. "Tapi sampai sekarang saya belum juga terlepas dari perjuangan hidup saya," sanggahnya lagi memelas. Mata yang tajam itu memudar sinarnya, menciptakan telaga yang nyaris meluap. Menggigilkan jantungku.

-ad-

Penyakit itu datang tiba-tiba. Berlainan dengan diriku, selama hidupnya kak Lilis tidak pernah merasakan nyeri hebat di saat menstruasi. Keluhan utamanya datang ketika dia mendekati usia ke-enampuluh. Menstruasi hebat yang tidak kunjung berhentilah yang mengakibatkan dirinya memeriksakan diri ke dokter kebidanan dan kandungan di Jakarta. Dokter yang dipilihnya bukan sembarangan. Seorang profesor yang pernah memegang jabatan sangat penting di struktur pemerintahan pusat. Di tangannya operasi pengangkatan kista itu dilakukan, namun berakhir naas. Dalam kesadarannya yang tidak sepenuhnya hilang -entah kenapa- kak Lilis mendengar dokter menyesali pecahnya kista yang sedang diambil. Dan setelah operasi itu, kista-kista itu justru bermunculan semakin subur, cepat dan berubah ganas. Kesakitanpun menderanya. Meluluhlantakkan semua kemampuannya. Baik kemampuannya bertahan dari rasa sakit maupun kemampuan finansialnya. Perlahan-lahan kak Lilis merosot turun, menjadi seorang pesakitan yang kesakitan sampai terang Illahi datang padanya tanpa diduga.

Satu demi satu penggemarnya mengulurkan tangan. Sahabat-sahabat dekatnya juga turut menopang semampu mungkin, sehingga melabuhkan kak Lilis di Mount Elizabeth Hospital tak jauh dari rumahku. Namun dia harus menjalani pengobatan itu seorang diri, tanpa sanak saudara dan kerabat yang mampu mengantarnya. Dia terpaksa mengelana dari bawah satu atap ke atap lain di seputar Singapura, yang masih mau mengenalinya hingga aku menjemputnya untuk bersama-sama berbagi rasa dan penderitaan. Ketika aku baru selesai menjalani operasiku yang ke-dua dan ke-tiga yang dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, dia juga yang turut merasakan sakitku. Dia datang berselang-seling dengan beberapa pasien lain yang serupa. Mbakyu Henny dengan kanker hati, Iwan Djalal dengan tumor di balik rongga dadanya dan Ritzky yang didera kanker kelenjar getah bening. Kami semua sama menderita, tapi masing-masing dari kami mempunyai pengalaman dan daya tahan yang berbeda serta sikap yang tidak mungkin sama. Mbak Henny yang paling dulu menyerah ditelan nasib. Kemudian kak Lilis, meninggalkan aku, Iwan dan Ritzky yang terus berusaha untuk mempertahankan diri dari terpaan gelombang.

-ad-

Minyak tawon itu mengingatkanku padanya. Menyemburatkan lagi kekecewaan dan amarahku pada penyakit kami. Tidak ada cara lain, kini aku harus mencari dokter lagi, sekedar membuang minyak tawon dan kenangan yang menyakitkan. Aku dapati Catherine seorang therapist muda yang cantik. Jemarinya yang halus menjauhkan aku dari perasaan ngeri dan sedih. Dia menggunakan minyak jenis lain yang harum lavendernya menyapa hati dengan tenang. kupasrahkan diriku ke tangannya, sambil mengubur dalam-dalam kenangan akan kak Lilis Surjani, sahabatku surya yang hilang di ujung usia. Ada haru biru yang tiba-tiba menyeruak kembali. Memberiku cemeti untuk tetap berjuang, melanjutkan sisa umurku.

Selasa, 04 Maret 2008

CATATAN HIDUP SEORANG PEJUANG

Di langkahku terpatri tekad
Maju terus pantang mundur
Hari masih terlalu pagi untuk mengucap selamat tinggal
Pada sebentuk kenyataan yang pahit

Di bulat bumi yang berputar
Sejuta genta dendang beraneka
Mengiba tanya mengapa bisa begini
Yang sarat semakin padat
Yang kerontang tinggal belulang?

Di sorot mataku terpancar kilat benderang
Aku tidak akan mundur
Sebelum nasibku beranjak dari :
Kemarau kering dan hujannya air mata

Lebih tiga puluh tahun aku di sini
Di persada nusa kureguk harapan
Yang menyembul dari angan-angan melelahkan
Melahirkan dusta
Dan jeriitan semata

Kita hidup di rumah makan bernama cinta
Yang menyoisakan tulang untuk kaum jelata papa
Setelah tersantap habis hidangan kaum mulia
Penghuni nirwana bumi

Tekadku masih bulat
Meraih keadilan makmur merata
Menebus kelamnya kisah dahulu
Waktu tidur tak boleh lagi bersantai
Dan kemalasan harus diperangi
Demi kelangsungan hari-hari perjuangan
Untuk menghadiahkan kebahagiaan
Kepada harta karunku
Sang generasi penerus


(Wien, sepuluh Juni sembilan tiga)

Pita Pink