Powered By Blogger

Rabu, 04 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XI)

Aku tahu, Ami sengaja tidak pergi mencuci ke tempat biasanya kami mencuci. Tapi ada yang tak kutahu, mengapa dia harus menyeret keranjang cuciannya sejauh itu?

Kios mesin cuci pilihannya kini agak di pinggir kota, masuk ke dalam gang yang tersembunyi. Tapi di situ ada guest house yang murah dan biasa disewa mingguan atau bulanan oleh para pemukim temporer. itulah sebabnya orang-orang baru di kantor suamiku selalu ditempatkan di situ sebelum mendapat rumah sewaan sendiri.

Kalau aku mau, kakiku bisa menuntunku menginjak kios cucian itu. Tapi aku tak ingin. Rasanya lebih baik aku memanfaatkan jasa Erna agar Ami tak merasa tertangkap basah olehku.

Dan hari ini adalah hari Ami mencuci. Jadi sejak pagi aku sudah harap-harap cemas menunggu telepon Erna soal Ami, mengharap kabar apa  pun darinya. Aku bahkan tak ke mana-mana kecuali mengantar jemput Buyung yang sekarang sudah di kelas satu SD, karena Buyung adalah prioritasku.

Baru pada pukul dua siang Erna bicara. Katanya, Ami dan keluarganya baru pulang liburan dari ujung selatan Eropa Barat. Mereka menghabiskan cuti akhir tahun suaminya di sebuah kota yang padat turisme tapi tak banyak turisnya. Jadi mereka masih mudah mendapatkan hotel di daerah pusat kota.

Logika di otakku sepertinya tak jalan kali ini, sebab yang kutahu Taufik dan anak-anaknya menjemput Ami ke Indonesia dan merayakan lebaran bersama keluarganya di kampung. Bagaimana mungkin Ami bilang mereka ada di Eropa dan bersenang-senang berempat? Aku menggeleng-gelengkan kepala tak mengerti, walau Erna pasti tak melihatku dari kamar penginapannya sana.

Dengan penasaran yang melambung melampaui otakku meluaplah sejuta tanyaku pada Erna yang terpaksa memutus perkataannya sebelum titik. "Iya mbak betul, katanya mereka berlibur di sana. Malah bu Taufik cerita tentang indahnya tempat itu. Banyak yang bisa dilihat, tapi kebetulan kosong dan sepi turis," tegas Erna.

Dan menurut Ami, mereka tidak pergi bersembahyang Idul Fitri karena tak menemukan Islamic Centre. Bahkan, Taufik lupa mengajak bermaafan. "Betul-betul seperti sedang jalan-jalan santai saja," tegas Ami.

Aku makin tak habis pikir. Betulkah yang dimaksud Erna adalah Ami? Jangan-jangan perempuan lain itu seperti yang diceritakan Elis dulu. Namun kubiarkan kini Erna bertutur lancar tanpa kusela.

Di negeri tempat liburan itu Ami disenang-senangkan suaminya. Mereka pesiar sepuas-puasnya. Bahkan apa yang diingini Ami dikabulkan suaminya. Untuk mempercantik dirinya, Ami minta sebentuk cincin mutiara serta kalungnya sekalian. Kalung tercantik yang dimilikinya, katanya, karena dia memang bukan penggemar perhiasan. Dan aku percaya itu, sebab selama bergaul denganku, di jari Ami hanya melingkar sebentuk cincin mirah delima yang konon pemberian ibunya karena melihat dirinya tak suka berdandan. "Kata ibu saya dulu, perempuan harus ada cantik-cantiknya, makanya dipilihkan cincin ini yang modelnya paling sederhana namun manis," begitu penjelasan Ami padaku waktu itu sambil tertawa mengenangkan ibunya. "Saya merasa sayang kalau harus beli perhiasan buat diri saya sendiri, lebih baik uangnya saya belikan apa yang dibutuhkan keluarga saya," begitu pungkasnya yang kuingat sampai kini. Itulah alasan mengapa Ami tidak suka memakai perhiasan.

Ami yang kukenal memang sangat simple. Dia biasa menggunakan kendaraan umum sebagai media transportasi, jadi karenanya dia menganggap perhiasan sebagai salah satu musuhnya untuk menghindari kejahatan yang biasa terjadi di atas kendaraan umum akibat perhiasan itu.

Berpatokan pada memoriku tentang Ami, keyakinanku kembali lagi bahwa perempuan itu memang Ami. Dan atas celaan suaminya, sekarang bangkitlah keinginannya untuk memperbaiki penampilan yang setahuku tidak buruk, hanya saja tidak glamour sebagaimana kebanyakan penampilan ibu-ibu pejabat.

Yang kemudian dikisahkan Erna justru suatu hal yang sangat mengejutkan bagiku. Ternyata selama ini Ami tidak sakit, dan Ami ada di dalam rumahnya sendiri menuruti keinginan suaminya.

-ad-

Kejadian itu bermula dari pertikaian antara salah seorang teman kami yang ingin bersaing menjadi primadona. Ami pernah mengatakan padaku bahwa dia sangat tidak berkeberatan akan hal itu. Apalagi Ami merasa tak mahir menari seperti perempuan itu. Namun yang kemudian terjadi, perempuan itu berseteru dengan suaminya disebabkan dia melalaikan rumah tangga dan terutama suaminya sendiri demi untuk mengejar popularitasnya di panggung hiburan yang tak berbayar.

Ami lah yang kemudian dituduh sebagai biang keladi. Suatu hari mereka suami-istri melabrak Ami di rumahnya. Taufik yang merasa tak berkepentingan dengan hal itu, mencoba untuk menghindari mereka. Ami akan dibiarkannya menghadapi mereka sendiri, tapi Ami mengiba-iba minta ditemani sebab Ami merasa tak akan sanggup menghadapi sepasang suami-istri itu, Ami takut terjadi peristiwa kekerasan.

Cerita Ami waktu itu, teman kami menuduhnya menyebarkan gossip busuk tentang dirinya sehingga suaminya merasa bahwa dia telah mempermalukannya. Tentu saja Ami bersikukuh menolak tuduhan itu, karena memang setahuku Ami termasuk satu diantara sedikit ibu rumah tangga yang jarang bergaul di luar rumah. Dia hanya bepergian dengan Elis atau aku saja, itu pun untuk urusan keluarga semacam belanja atau mencuci. Betul pernyataan Elis dulu bahwa Ami adalah tipe perempuan rumahan yang tidak suka berkeliaran berombongan di down town. Inilah juga yang menautkan persahabatan kami. Sebab sebagaimana halnya Ami, aku juga lebih suka duduk-duduk membaca di rumah atau memasak untuk mas Tri dan bermain dengan anak-anakku.

Sore kelabu itu, jadi hari terakhir buat Mahmudah pembantu rumah tangga Ami di keluarga itu. Keesokan harinya Taufik membelikan ticket pesawat untuknya dan Ami. Mahmudah dikembalikan kepada keluarganya sebelum tugas Taufik selesai.

Kini kuingat Ami tiba-tiba menghilang, setelah melayangkan surat pernyataan izin berobat di Indonesia yang diserahkan suaminya. Pesawat lokal yang terbang termalam hari itu, meggendong Mahmudah dan Ami ke kampung mereka melalui berbagai negara dengan masa singgah yang panjang. Apa boleh buat, hanya itulah pesawat yang memungkinkan mereka segera berangkat seperti kehendak suaminya.

-ad-

Cerita Ami yang sangat terbuka pada Erna menjelaskan semua tanda tanya kami.

Sore itu Ami diancam akan dibunuh oleh teman sekantor suaminya sendiri karena dituduh membiarkan Mahmudah yang lugu mengobral gossip dengan pembantunya seputar kegiatan istrinya di luar rumah. Padahal, demi Tuhan, kutahu Ami tak pernah tahu apapun tentang "sang primadona" ini. Ami yang kami kenal polos tak pernah tahu apa yang terjadi di luar halaman rumahnya. Pandangan mata Ami hanya terfokus kepada sekelilingnya belaka. Duh Tuhan, kasihan Ami-ku, jeritku tertahan.

"Ada apa mbak?" tanya Erna dari seberang sana.

"Demi Tuhan dik Erna, saya tahu bu Taufik tak pernah tahu itu. Bu Taufik 'kan tak pernah keluar rumah tanpa saya atau bu Baskara sahabat kami istri seorang karya siswa yang belum lama pulang ke Indonesia," jawabku tegas. Ada rasa ingin marah padaku. Aku sangat sayang pada Ami.

"Iya mbak, memang betul. Tapi 'kan katanya bu Taufik tahu bahwa pembantunya sedang asyik bertelepon menggossipkan mereka," balas Erna menjelaskan. "Jadi, dia diancam dibunuh kalau dia tidak mau mengakui bahwa gossip di luaran itu berasal dari rumahnya." Erna mengakhiri kata-katanya memberiku kesempatan bicara.

"Apa yang dilakukan pak Taufik untuk membela istrinya?" tanyaku penasaran.

Sejenak kedengaran Erna menghela nafasnya, lalu dijawabnya keingintahuanku, "pak Taufik diam saja. Beliau jadi penonton yang baik, sampai kemudian keluar nama lain dalam pertengkaran itu yang juga dituduh turut menebar gossips."

"Siapa dia?" tanyaku tak sabar.

"Entah ya mbak, saya tak kenal orangnya dan konon dia juga sudah tidak di sini, tugas suaminya sudah selesai," papar Erna membuat kepalaku tiba-tiba serasa penuh dan berputar.

Aku menyandarkan diri di dinding ruang kerja yang digelari peta dunia oleh suamiku. Rasanya aku sedang berdiri limbung di tengah-tengah dunia luas yang maha kaya itu. Kaya akan persoalan, maksudku.

Wajah Elis berkelebat di mataku. Tapi aku tak akan menuduhnya, sebab Elis bukan bagian dari warga kantor kami. Lalu siapa, siapakah pecundang itu? Tanyaku dalam hati.

"Mbakyu, mbakyu, mbakyu masih di situ?" kudengar suara Erna mengkhawatirkan keberadaanku yang menghilang sekian detik dari pembicaraan kami. Sementara itu keringat dingin mulai mengalir di sekujur tubuhku.

"Eh, ya, bagaimana kelanjutannya?" tanyaku memecah kebisuan.

"Ya itu, orang tadi kemudian dijemput pak Taufik untuk diminta keterangannya, yang ternyata juga tak membuahkan apa-apa. Dia bukan gentleman mbak. Dia tidak mengakui bahkan melumat bu Taufik dengan kata-kata yang pedas disertai perilaku yang tak senonoh." Erna mengambil nafas lagi.

"Maksudnya dia menyakiti fisik bu Taufik? Memukul begitu?" tanyaku lagi tak sabar.

"Hm, bukan mbak. Cuma dia menunjuk-nunjuk wajah bu Taufik dengan garang selagi suaminya minta mereka bermaafan."

"Suaminya? Oh, jadi ibu itu berdua dengan suaminya?" tanyaku makin penasaran. Betul-betul pusing aku dibuatnya.

"Ya mbak, bahkan si bapak itu juga disebut-sebut namanya."

"Astaghfirullah! Lalu pak Taufik bertindak apa?" tanyaku makin tak sabar.

"Pak Taufik bilang, dia tidak mau ikut campur. Semua dikembalikan kepada bu Taufik dan mereka, tapi bu Taufik memang orang baik hati betul ya mbak? Dia bilang dia mau maaf memaafkan sekalipun dia tidak merasa melakukannya," terang Erna lagi.

Aku setuju pada Erna. Ami sahabatku memang bukan sembarang perempuan. Di balik keluguannya tersimpan emas dan sejuta kasih sayang, berupa persediaan maaaf yang banyak. Itu juga yang kukagumi darinya setelah aku mendengar kisah hidupnya dari Elis dahulu. "Jadi, kemudian bagaimana?" tanyaku geram, "dibiarkan begitu saja?"

"Akhirnya ya begitulah, pokoknya mereka bermaafan dan bu Taufik diminta suaminya mengantarkan pembantunya ke Indonesia. Dia menetap enam minggu di tanah air," urai Erna menutup keingintahuanku.

"Tapi, sakitkah dia di sana?" sekali lagi timbul keingintahuanku.

"Ya, juga. Walau sekarang sudah kelihatan sehat," jawab Erna memberikan gambaran padaku bahwa Ami yang dijumpainya di kios mesin cuci tetaplah Ami sahabatku yang cerah ceria dalam kehidupannya sekalipun tipe perempuan rumahan dengan segudang masalah.

(BERSAMBUNG)

23 komentar:

  1. Bun, yg jarinya ada cincin merah delima erna apa ami??

    BalasHapus
  2. Ami, pemberian ibunya waktu masih gadis dulu. Eh iya, salah ketik. Tak benerake ndisik nduk. Nuwun. Wis ya tak tahbiskan dadi korektor naskahku.

    BalasHapus
  3. Ga mauuuu!! Wong cuma kesalahan kecil kok bun!

    BalasHapus
  4. Lina slalu menanti ceritanya ami dari bunda yg tiap hari bisa nemu, sama critanya si arga dan noname dari om suga.... *critanya keyen2 smua!

    BalasHapus
  5. wah, dah mulai bermunculan tokoh2 baru dan persoalan yang baru .... makin rame aja ceritanya ...

    BalasHapus
  6. LIn, arga siapa sih? Kayaknya bukan kontku deh. Coba aku dikasih alamat URLnya ya? Terima kasih atas kesabaranmu menanti.

    BalasHapus
  7. Huhuy.....!!! Budhe berhasil bikin nak Siti penasaran! Tunggu habis yang ini budhe bikin dengan setting di desa nenek moyang kita ya nak? Di sebuah pelosok di nJethak alias nJeruk........

    BalasHapus
  8. kok Ami bisa cepet akrab gitu ya sama Erna yang cuma kenal beberapa lama saja, udah gitu bisa dengan gamblang menceritakan hal2 rumah tangganya.
    kelanjutannya nunggu seminggu lagi dong

    BalasHapus
  9. waaahhhh sudah ketingggalan banyak niyyyyy semakin rame aja ceritanya..................mo balik dulu baca sebelumnya ..............;

    BalasHapus
  10. Lha, itulah ajaibnya karangan ya? Kalo di dunia nyata mana mungkin, gitu? Kayaknya mungkin aja deh kalo orang tsb kesepian hahaha..... kan butuh nyari temen ngomong. Tunggu ya, insya Allah kalo gw bisa nyuri-nyuri waktu sambil nemenin my boss kita terusin deh...........

    BalasHapus
  11. Memang kenapa dik Lely, penasarankah? Hayo silahkan dibalik-dibalik, nggak dimarahin kok sama yang ngarang.........

    BalasHapus
  12. hix tante u forced me to track back ... nice story. not true storyyyyy khan tan ?

    BalasHapus
  13. Iya terakhir baca baru bagian IX sekarang dah XI ............padahal cuman libur buka sehari lho .........

    BalasHapus
  14. Of course not (according to my self). But according to my fans back there in Malay sia, this is a true story. And for your information, actually involving 12 children!!!

    OMG!!!! Astaghfirullah deh!!! Amit-amit jabang bayi!!!

    BalasHapus
  15. Duh duh duh, maaf. Ngerepotin nih jadinya. Hih, jadi malu sama dik Lely :P

    BalasHapus
  16. lho kok ngerepotin siyyy............saya yg kesenangan punya bacaan menarik.

    BalasHapus
  17. Aduh lucu geli dengernya. Menarik apa sih? Menarik becakah?

    BalasHapus
  18. bukan....... masak siyyy menarik becak mana sanggupmah tulisan menarik becak wakakakak............yach menarik hatiku untuk selalu membacanya.............

    BalasHapus
  19. Aduuuuh, ati-ati hatimu rontok jatuh dari gantungannya. Pegangin yang kenceng tuh!

    BalasHapus
  20. wakakakak ...........ada aja jawabannya mbakku ini..........:)

    BalasHapus
  21. Kalo nggak ada jawabanku, nanti dikira aku dah tidur........ he?!

    BalasHapus
  22. Tak tidur dulu,besok2 dilanjutkan lagi.

    BalasHapus
  23. Mangga, mangga, sugeng sare mbakyu. Kemulan ingkang rapet!

    BalasHapus

Pita Pink