Powered By Blogger

Jumat, 13 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XVI)

Persahabatan bagiku bukanlah kisah sesaat. Meski aku jarang mengunjungi Ami, tapi hatiku tetap padanya. Dan apa yang dirasakan Ami akan sampai dentingnya ke hatiku serta memenuhi alam rasaku juga. Hari ini aku bermimpi tentang Ami. Sepertinya Ami sedang berada di suatu tempat dengan belanjaannya yang berat. Tapi di situ dia sendirian, di suatu sudut yang bercabang namun sepi.

Aku terbangun dalam kebingungan, serta sesaat kemudian kuputuskan untuk meraih telepon guna menanyakan keadaan Ami. Baru jam empat lima belas sore. Para suami masih sibuk menyelesaikan tugasnya di kantor hari itu. Masih cukup waktu bagiku untuk mengobrol sebentar dengan Ami. Apalagi sejuknya hawa musim gugur tak menyebabkan aku berkeringat dan ingin segera mandi sore. Cuaca selalu saja kering di bumi empat musim seperti di sini.

"Hallo," jawab sapaan di ujung telepon sana. Suara renyah seorang perempuan yang kutahu pasti adalah Ami.

"Hallo, mbak, ini aku. Apa kabar? Sehatkah? Aku barusan mimpi nih," sahutku demi mendengar suaranya. Kuusap mataku yang masih berat dan kuhapus lelehan liur yang tadi tertumpah tak sengaja di atas bantal.

"Ya, alhamdulillah, membaik. Seperti biasanyalah. Kalau mensnya berakhir 'kan ya nyaman lagi, mimpi apa sih kok sampai diperlu-perluin telepon?" jawab Ami dengan nada penasaran.

Aku menguap menghabiskan sisa kantukku sebelum mulai menjawab, "tentang kamu. Rasanya kamu ada di suatu tempat sepi yang jalanannya menurun-mendaki bercabang dua. Di tanganmu ada keranjang-keranjang belanjaan yang kelihatan memberatkanmu," kuraih gelas air putih di sisi meja telepon lalu kuteguk sedikit sekedar pembasah kerongkonganku.

"Oh," komentaranya, "kamu mimpi aku toch? Jangan kuatir dik, aku baik-baik saja. Tapi mungkin aku nggak perlu terburu-buru menyelesaikan packingku karena usulan permohonan perpanjangan tugas mas Taufik hingga Desember dikabulkan. Habis aku 'kan memang masih perlu treatment," terang Ami.

Semua melegakan kegundahanku.

"Jadi rencananya pulang Januari atau akhir Desember?" tanyaku lagi. "Aku siap bantu packing mbak, asal pak Taufik mengizinkan," kataku hati-hati. Aku tahu Taufik bukan tipe orang yang mudah, sedikit saja kita melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan pendapatnya bisa jadi kita celaka dan putus hubungan dengan mereka untuk selamanya.

Kata Ami mereka pulang Desember, dan aku tak perlu membantu. Dia sudah mulai dapat banyak hasil hanya berempat saja bersama suami dan anak-anaknya. "Barang-barang dapur aku yang bungkus, buku-buku mas Taufik, dan anak-anak kebagian barang mereka sendiri serta pajangan yang berderet di mana-mana, hahaha......" tawanya renyah.

"Jangan lupa kalau ada yang mau dibuang, lempar sebagaian ke rumahku ya mbak," gurauku yang diiyakannya. "Cetakan cendol dan cetakan tumpeng juga mau," pintaku.

Ami memang punya banyak perlengkapan dapur yang terus terang aku sendiri tidak memilikinya. Maklum baru kali inilah aku mengikuti tugas suamiku ke luar negeri. Hatiku lega mendengar suara Ami di telepon dan ceritanya yang baik-baik saja.

-ad-

Di samping sakitnya dan pengobatan itu serta kegiatannya menjelang mutasi, Ami tetap aktif menjalankan tugasnya di organisasi. Sekali-sekali aku jalan bersamanya baik menuju ke rumah sepulang rapat atau latihan arumba.

Problema Ami yang terbaru adalah menghadapi anak sulungnya. Dia tak mau dibawa pulang, karena merasa dirugikan pulang tidak pada saatnya kenaikan kelas. Kata Ami umur anaknya memang sudah lebih tua daripada anak-anak sekelas di Indonesia, sebab mereka dulu pernah tinggal kelas di Taman Kanak-Kanak ketika di pos kedua. Maksudnya, peraturan negeri setempat melarang anaknya duduk di kelas satu sebelum umurnya genap tujuh tahun di bulan September, awal tahun ajaran baru.

"Tapi aku masih terus berupaya membujuknya, mudah-mudahan dia mengerti," kata Ami. Aku menggenggam tangannya memberinya dukungan moral agar dia tak makin terpuruk. Sesungguhnya aku merasa kasihan mendengar masalah demi masalah yang menghampiri Ami. Tangan Ami terasa begitu dingin di genggamanku.

"Boleh aku ikut bicara dengan Rizqi mbak?" tawaranku padanya yang dibalas dengan sesungging senyum serta lirikan mata.

"Terima kasih, nggak usah deh, nanti malah jadi panjang-lebar," balasnya yang terpaksa kusetujui demikian saja. Aku tahu, dalam hatinya dia tetap punya rasa takut menghadapi suaminya. Sebab selalu kuingat perkataan Elis dulu bahwa apa kata suaminya adalah titah baginya.

Pembicaraan di atas bus kota itu memang membuahkan hasil tak sempurna pada akhirnya. Rizqi tetap menolak diajak pulang sebelum kenaikan kelas. Sedangkan tugas sang kepala keluarga tidak bisa ditunda lagi. Di sisi lain, pengobatan Ami sendiri juga belum membuahkan hasil yang berarti. Maka atas kesepakatan bersama, Taufik mengalah untuk meninggalkan istri dan anaknya di negeri ini hingga pertengahan tahun ketika kenaikan kelas nanti. Dia sendiri pulang berdua bersama Ridho si bungsu.

Ami mengambil sebuah studio apartemen tak jauh dari kantor, sebab tempat itu kebetulan di tengah-tengah antara lokasi sekolah anaknya dengan kantor di mana Ami masih punya kesibukan sebagai bagian dari pengurus organisasi para istri.

Menjelang kepulangan keluarganya seperti biasa diadakan suatu perpisahan resmi dari dinas yang alhamdulillah sangat ramai. Banyak juga rupanya fans Ami dan keluarganya. Sekali ini aku bangga lagi padanya yang bisa mengeruk persahabatan dan simpati banyak orang.

-ad-

Bulan kedua Ami ditinggal suaminya, dia kelihatan sangat lesu, gundah dan mudah panik. Waktu itu aku menjumpainya di dalam toko Cina di China Town yang cuma sederet kiri-kanan di pusat kota. Di keranjangnya ada kaleng-kaleng masakan matang serta pangsit siap saji.

"Eh, mborong nih mbak?" sapaku dari rak di balik tubuhnya.

Ami menoleh dan menelengkan kepalanya mencari sumber suaraku.

"Ah, Nonik. Iya nih, Rizqi minta sambal goreng labu siem dan pangsit, tapi labu siem nggak ada dan pangsit nggak mungkin aku bikin sendiri, terlalu banyak jadinya," kata Ami sambil menghampiriku yang tengah mengeranjangkan kecap Cap Kaki Tiga serta kacang tanah untuk persiapan sate besok lusa. Suamiku berencana mengundang counterpartnya makan malam di rumah. Biasa, tugas seorang diplomat, sekalipun diplomat junior seperti kami.

"Nggak beli kecap ABC?" tanya Ami sambil melongok keranjangku.

Aku menggeleng, "nggak mbak, lagi habis tuh. Dan lagi kami perlu banyak untuk sate dan nasi goreng, mas Tri mau mengundang makan malam teman-teman Asean dan lokal," jawabku sambil memandang ke barisan kecap serta saus di rak toko. Kecap cap Kaki Tiga memang buatan Belanda, tapi rasanya sudah persis sama dengan kecap ABC dan lagi harganya lebih murah. Aku tak pernah ragu menggunakannya.

"Mbak, kalau butuh perut untuk menampung pangsitmu, undang aku ya," gurauku sambil berjalan ke arah koelkast untuk mengambil tahu serta kacang panjang. Tak ada kacang panjang, hanya nampak tauge di dalamnya. Maka aku menimbangnya kira-kira sekilo, lumayan untuk gado-gado lusa. Ami mengikutiku di belakang. "Kalau butuh bantuan, besok aku datang," katanya.

"Terima kasih, dengan senang hati, tapi aku takut merepotkanmu," jawabku senang.

"Alah, demi sepiring nasi, gado-gado dan sepuluh tusuk sate aku mau kok," selorohnya lagi. Kami sama-sama menyelesaikan belanjaan kami dan jalan bersama menuju stasiun kereta bawah tanah yang mengarah ke rumah kami masing-masing.

Esoknya Ami betul-betul datang tanpa kuharap. Dia asyik memotongi daging selagi aku meracik bumbu. Mulutnya tak lupa mengobrol ringan. Untuk itu kusuruh pembantuku mengurus rumah, menyapu, mengelap perabotan dan mempersiapkan ruangan. Aku tak mau pembicaraan Ami didengar olehnya.

"Aku stress Nik, mikir anakku. Di Indonesia sana si bungsu baru kehilangan sahabatnya yang tadinya diharapkan bisa jadi jembatan untuk cari teman lagi. Di sini, si kakang malah kepengin nambah sekolah sampai lulus SMP. Padahal tahu sendiri 'kan bagaimana sulitnya mengurus izin tinggal dan melepas anak remaja di negeri orang sendirian?"

"Memang sakit apa mbak sahabat Ridho itu?" tanyaku sambil menguliti bawang putih.

"Leukemia, kanker darah, penyakit kanker khas anak-anak. Umurnya baru 12 tahun dan baru naik ke kelas 6 SD. Padahal dia anak tertua dari hanya dua bersaudara," jawab Ami. "Umur orang nggak ada yang tahu ya Nik?" katanya lagi seperti minta persetujuan. Mata Ami terus saja tertuju pada pisau tajam yang dipakainya mengiris daging ayam. Aku cuma mengangguk.

"Lha, soal Rizqi gimana tuh?" pancingku.

"Ya, itulah yang bikin pusing.Aku bukan tidak setuju dia tinggal di sini. Tapi bagaimana dengan ijzn tinggalnya? Juga dana siapa sih yang bisa dipakai menyekolahkan anak di luar negeri. Aduh, aku sendiri dengan penyakitku telah terlahir untuk memberatkan mas Taufik," keluhnya sambil menghela nafas.

"Mbak sudah bicarakan dengan suami?" tanyaku menatap lurus matanya yang kuyu.

"Sudah, justru itu mas Taufik bilang lebih baik pulang sekarang. Mas Taufik akan cari tempat yang cocok buat menyekolahkannya di Jakarta. Dan itulah yang ditentang anakku. Dia bilang bapaknya nggak pengertian, mau enaknya sendiri dan mau menangnya saja. Sedih sekali aku Nik, terjepit di antara kedua orang kesayanganku," keluhnya.

Aku sangat kasihan mendengarnya. Ami seperti tak pernah lepas dari belitan masalah. Dan Ami terjepit di antara situasi yang tak mengenakkan.

"Kalau aku jadi kamu ya mbak, memang serba salah. Tapi sadar 'kan bahwa sifat pak Taufik selalu ingin menang sendiri? Daripada jadi perkara, aku bujuk anakku dengan segala cara plus iming-iming. Aku bilang bahwa tinggal tanpa izin resmi sama dengan pendatang haram di Malaysia sana yang rawan terkena pengusiran paksa dengan kekerasan. Pasti anakmu mau mengerti dan takut sendiri mbak," saranku.

Ami terdiam dan menimbang-nimbang dalam diamnya. Maka kulanjutkan lagi celotehku, "aku sih akan bilang pada anakku, dengan tinggal di Jakarta berarti berkumpul kembali bersama keluarga dan mulai menata masa depan dengan lebih baik. Anak sebesar kakang pasti mengerti kok," aku beralih mengambil talenan untuk mengiris-iris bawang sebelum kumasukkan ke dalam blender. Ami tidak menjawab, namun nampak sekali dia merenungkan semua kata-kataku.

Kami bekerja dalam diam diselingi makan siang bersama. Pembantuku telah menyiapkan sup buntut dan oseng-oseng jagung muda dengan jamur dan cabai hijau. "Terima kasih ya Nik atas kesediaanmu kubantu. Aku memang butuh teman bicara Nik, dan insya Alalh semua saranmu akan kusampaikan pada suamiku maupun anakku nanti," kata Ami sambil memosisikan sendok dan garpunya ke arah jam empat di bekas piring makannya. Siang telah datang, tanda aku harus bersiap-siap menjemput Buyung. Ami sendiri juga mau pulang untuk mempersiapkan makan sore bagi anaknya.

"Nanti waktu jam minum teh akan kubicarakan dulu dengan Rizqi, do'akan aku ya Nik," kata Ami sebelum melangkah keluar disertai ungkapan terima kasihku atas segala bantuannya pada hari itu. Bagiku Ami tetaplah sahabat terbaik yang rela berbagi kasih serta punya sikap yang tabah. Mataku nanar menatap Ami di jalanan sana yang berjalan menunduk sedikit limbung. Pasti Ami sedang larut lagi dalam perasaannya.

(BERSAMBUNG)

20 komentar:

  1. makin menarik jalan ceritanya...
    padahal udah lompat 2 cerita
    :)

    BalasHapus
  2. Oh masa' iya sih? Ini cuma kisah ibu rumah tangga meluluhkan suami dan anak-anaknya gitu kok mas.

    Terima kasih ya mas.

    BalasHapus
  3. hhhhhh, berat kali beban Ami...........:(

    BalasHapus
  4. trus kalo disuruh pulang apa aminya udah sembuh? ditampung aja di wisma.

    BalasHapus
  5. Soal sekolah anak vs pindah negara itu agak diilhami pengalaman pribadikah Bu?

    BalasHapus
  6. Ah, model-model aja loe Wat! Mana boleh lah sama negara? Pak Dubes juga nggak bakal ngasih kayaknya sih, kecuali kalo Dubesnya laki gw bolehlah.........

    BalasHapus
  7. Iya mbbak, semua imajinasi saya saya poles dengan realita biar nggak kayak ngarang banget gitu....... Gimana hasilnya? Masih kelihatan terlalu ngarang alias ngawang-ngawang nggak mbak?

    BalasHapus
  8. duuuh... dalem ketinggaln, Tante. lama banget dalem mboten online dhateng MP. kudu merloake moco soko purwo carito iki :-))

    BalasHapus
  9. Mangga nak nek kersa. Iki agek jajal-jajalan kok. Tapi akeh sing nyuraki kon nggawa nang sing gelem nuku jare........

    Kemana aja nak, sibuk ya? Tahun baru pekerjaan makin banyak bukan?

    BalasHapus
  10. Nonik ketulis ninok bun!! Saat ketemu pas belanja.

    BalasHapus
  11. xixixixi...... kok ya sregep olehe niteni lho bocah iki!

    BalasHapus
  12. Pikiran'e lgi bener bun! Jjadang kalo lg ga bener, baca 2x pun jaln critanya lupa..

    BalasHapus
  13. Jangan kebanyakan mikir, dibawa santai aja, sakit di Penang sayang nggak ada yang ngrumati.

    BalasHapus
  14. Nggak kok Bu... justru mengingatkan akan suatu masalah yang wajar dialami orang-orang dalam posisi itu...

    BalasHapus
  15. Oh gitu, terima kasih ya mbak penilaian mbak Leila bisa saya jadikan patokan untuk ngarang babak-babak selanjutnya.

    BalasHapus
  16. aku udah ketinggalan banget nih mbak.. aku click prev2 dulu sampek trakhir yg gue baca dimana tuh ye..

    BalasHapus
  17. hahahahahaa... pulau sumatera apa jawa mbak???

    BalasHapus
  18. Pulau Bali lah, nggak gede-gede banget, sayang bantalnya ah......... kekekeke...

    BalasHapus

Pita Pink