Powered By Blogger

Kamis, 03 Desember 2009

PISANG GORENG (BANANA FRITTERS)

Description:
Mendung yang rajin mengunjungi kotaku, membuat aku selalu ingin menyantap sesuatu yang praktis dan mudah dibuat di saat pagi atau sore hari menghirup kopi panasku. Eh, kebetulan, tukang sayur langganan kami membawa sesisir pisang raja yang gemuk dan menggiurkan. Kemudian, datang lagi sepupu saya membawa dua sisir pisang oli yang tidak kalah menggairahkannya.

Akhirnya saya tengok persediaan di dapur kami, dan jadilah pisang goreng gemuk ini. Subhanallah! Anakku langsung menyambutnya dengan gembira sepulang kuliah, bahkan sebelum dia sempat mandi sore.

Dia kemudian menyarankan kepadaku untuk membagi resepnya kepada teman-teman kami. Ada yang tertarik mancobakah?

Ingredients:
- Sesisir pisang, jenis apapun juga bisa dan enak dimakan, karena di luar negeri biasanya saya hanya memakai pisang Cavendish dipotong menjadi tiga

- Satu sepertiga cup tepung terigu self raising (yang sudah mengandung baking powder)

- Sesendok makan mentega dicairkan

- Tiga sendok makan gula pasir

- Satu sachet susu kental manis (misalnya susu bendera)

- Sebutir telur

- Sejimpit garam

- Sedikit vanilla

- Air secukupnya.

Directions:
1. Siapkan pisang. Kalau pisangnya besar-besar boleh dipotong jadi beberapa bagian, tapi kalau kecil-kecil tidak perlu dipotong lagi.

2. Kocok telur dengan gula hingga menyatu, tuangi mentega cair, aduk lagi hingga rata.

3. Cairkan susu kental manis dengan air secukupnya (tidak usah banyak-banyak).

4. Campurkan vanilla ke dalam tepung bersama garam.

5. Pakailah adonan telur, mentega dan susu tadi untuk mencairkan tepung sehingga jadi adonan yang kental. Jangan cair, karena kalau cair pisang tidak akan berbentuk gemuk dan gembung. Celupkan pisang ke dalam adonan dan goreng hingga kuning.

6. Gorenglah dalam minyak yang banyak. Pisang akan matang dengan rasa empuk namun renyah.

Senin, 31 Agustus 2009

CENDOL MAIZENA MANIS

Description:
Panas terik di bulan Ramadhan mengingatkanku akan cendol dari tepung maizena yang biasanya kubuat sendiri saat aku numpang tinggal di luar negeri. Rasanya berbeda sekali dengan cendol tepung beras yang banyak mangkal di jalanan di saat puasa begini.

Iseng-iseng saya membuatnya untuk buka puasa kemarin sore, dan masih juga bersisa tadi sore. Rasanya, konon menurut orang serumah, hmmmm, legit! Silahkan ditiru.

Ingredients:
BAHAN CENDOL : 1 Cangkir tepung maizena, 4 cangkir air, sejumput garam, 100 gram gula pasir, pasta pandan secukupnya.

BAHAN KUAH : Setengah kilogram gula merah, 2 kotak kecil santan kara (400 cc), sedikit air, garam, dua lembar daun pandan dan sedikit susu kental manis..

Directions:
CARA MEMBUAT CENDOL : Larutkan maizena dengan air, bubuhi gula pasir dan garam, aduk rata hingga larut lalu bubuhi beberapa tetes pasta pandan dan masak di api sedang (jangan terlalu besar) hingga mengental dan tidak lengket di panci (tapi masih cukup cair sehingga bisa mengalir dengan mudah di saringan pencetak cendol). Selama merebus jangan pernah meninggalkan panci, terus aduk supaya tidak meringkil-meringkil dan tidak hangus. Jika sudah matang dan nampak mengkilat permukaannya, ambil segumpal es batu, letakkan dalam sebuah tempat (misalnya washkom), tuangi air matang dingin hingga cukup untuk mengentalkan adonan. Kemudian tuang adonan cendol ke dalam cetakannya di arahkan ke dalam washkom tadi, dan tekan-tekan hingga isinya jatuh membentuk butiran-butiran cendol. Biarkan beku dan dinginkan.

CARA MEMBUAT KUAH SANTAN : Rebus terlebih dulu gula merah hingga cair, kemudian disaring karena biasanya gula merah mengandung banyak kotoran waktu dicetak di pabriknya. Setelah itu rebus santan kara dengan sedikit air agar mencapai kekentalan yang pas dengan dibubuhi garam dan daun pandan. Jaga dengan cara mengaduk-aduknya agar tidak pecah. Setelah mendidih, angkat dan dinginkan.

CARA MENGHIDANGKAN : Ambil beberapa sendok cendol, tuangi sirup gula merah, tuangi santan secukupnya dan es serut terakhir tuangi sedikit susu kental manis. Aduk-aduk rata lalu hidangkan.

(Konon kata anak saya, gurih dan segar tenan!!!)

Sabtu, 08 Agustus 2009

NYANYI SUNYI UNTUK SEBUAH PEKIK MERDEKA

Adapun gelap bukanlah malam semata
Di sinar yang terang, di pagi benderang
Di awan berbintang nan bermesra dengan rembulan

Kaumku
Sejuta tangan diam dalam ikatan yang kukuh
Ada kepasrahan disana

Di antara mereka yang berpesta pora
Mereguk kesenangan

Di pinggir-pinggir kota
Ada kudengar deru gempita
para laskar berarak bertelanjang dada
Wahai bahagia, andaikata
Hidup ini penuh makna
Penuh nikmat dan canda-ria bergema

Tapi tengoklah
kita hanya mampu tersenyum
Sebab hanya ada nyanyi sunyi
Untuk sebuah pekik merdeka!

Itulah gelapnya kaumku
Yang senantiasa menggantung penuh
Dari masa lalu ke hari depan
Menuju pelabuhan penghabisan.


(Donau am Nussdorf, Wien, 20.04.1993)



Kamis, 06 Agustus 2009

POTRET HIDUP ITU ADALAH ANAKKU

Mengenang dirinya, si bungsu anakku Haryadi, aku senantiasa tersenyum simpul. Lelaki jantan di atas kamar tidurku ini, memang senantiasa menyenangkanku sejak aku menimangnya yang pertama kali hampir dua puluh tahun yang lalu.

Banyak nama alias diberikan orang kepadanya. Yayang, kata kakaknya. Haryo, kata ayahanya. Namun cukup Yadi atau Adik bagiku.

Apapun namanya, dia tetaplah seorang lelaki yang tangguh. Maksudku, sikapnya sangat dewasa. Bahkan sejak usianya belum lagi remaja. Dia terbiasa menyimpan semua rahasia untuk dirinya senfiri, dan baru akan membukanya dikala dia sudah benar-benar terdesak. Bayangkan, seorang bocah SD mampu melakukan itu untuk menenteramkan hatiku dan ayahnya. Bagiku, sungguh luar biasa karena aku sendiri yakin bahwa diriku tak akan mampu melakukannya.

-------

Dia kulahirkan di ranjang Rumah Bersalin Azra yang kini sudah bersalin status menjadi Rumah Sakit Azra. Di kota Bogor, kampung halaman kami, rumah sakit ini sangat populer bagi kalangan selebritis mengingat dialah satu-satunya rumah sakit modern di awal tahun 90-an. Karenanya tak heran hingga sekarang RS Azra tetap jadi favorit para pengisi panggung hiburan dari kota Bogor.

Masa kecilnya kami habiskan dimana-mana, karena dia merayakan ulang tahunnya yang pertama sehari setelah kami mendarat di kota Vienna, Austria guna mengikuti kepindahan tugas ayahnya. Di situ jugalah pada usia tiga tahun kami mendapati kelainan herediter pada matanya yang menyebabkan kacamata hingga kini tak pernah bisa lepas dari wajahnya yang bulat telur.

Wajah yang selalu tersenyum untukku. Wajah yang menjadi penghapus duka dan gundah gulanaku adalah miliknya semata. Anakku sayang si bungsu yang kukagumi sekalipun di saat dia duduk di bangku Sekolah Dasar bahkan Taman Kanak-Kanak di kota kami, aku sering mendapat teguran dari guru yang membimbingnya.

Semua guru menganggapnya terlalu pendiam, dan kurang inisiatif pula. Bahkan gurunya di kelas 1 SD sering mengolok-oloknya sebagai "raja bengong" sebab dia punya kegemaran menonton orang lain melakukan pekerjaannya, sampai dia lupa mengerjakan pekerjaannya sendiri. Dan sebagai akibatnya dia akan selalu keluar kelas sebagai murid yang terakhir. Bahkan tak jarang gurunya terpaksa menghukumnya untuk menulis sambil berjongkok di muka kelas.

Meskipun demikian, aku merasa yakin bahwa dia punya suatu kelebihan yang mungkin tak kami miliki dan belum terdeteksi sebelum dia mencapai usia dewasa. Karenanya kubiarkan dia berjalan dan berkembang apa adanya serta tumbuh menjadi anak bawang di kelasnya.

Naluriku benar semata. Di SMA kelas 1 tiba-tiba dia tampil secara mencengangkan di hadapan publik pada kesempatan mengisi acara Resepsi Diplomatik HUT RI di kantor ayahnya. Disitu, lelaki kesayanganku memegang instrumen melodi arumba yang aku sendiri tak pernah tahu bagaimana wujudnya. Dan dialah band leader dari Arumba Band Sekolah Indonesia Singapura tanpa sepengetahuanku. Padahal di tahun sebelumnya, dia hanya kuanjurkan untuk tampil sebagai salah satu penyambut tetamu di resepsi yang sama selagi guru kesenian mereka kebingungan mencari murid yang mau dilatih memegang instrumen musik itu.

"Ibu, saya sangat tidak percaya waktu tiba-tiba di suatu siang secara tidak sengaja melewati aula sekolah tempat instrumen-instrumen arumba diletakkan dan mendengar melodi dibunyikan orang mengalunkan lagu yang akan saya latihkan untuk resepsi," tutur Pak Budi Hartiana gurunya.

Aku tersenyum dan menimpali dengan tanya yang sama tidak percayanya, "Memang apa yang terjadi pak Budi, apakah arumba bisa bunyi sendiri?" selidikku.

Guru yang selalu tersenyum dengan penampilan sangat tenang itu tersenyum jua seraya menajwab, "Saya tidak mengira putra ibu memainkannya. Saya malah merasa agak bingung sebab setahu saya tidak ada seorangpun di aula waktu itu." Gigi-gigi yang putih berderet itu diperlihatkannya padaku. "Apakah sebelum ini putra ibu pernah main musik?"

Aku menggeleng keras. "Pak, jangankan main musik. Alat musikpun kami cuma punya keyboard mainan. Itupun hanya kami mainkan melodinya sebab kami orang-orang yang tak bisa baca partitur dan tak punya pendidikan sama sekali apalagi bakat musik, nihil,' sahutku sambil menatap anakku yang baru saja usai mengecek kelengkapan bandnya sebelum dikembalikan lagi ke sekolah.

Pendek kata cerita guru anakku, dia kemudian ditest di situ untuk memainkan lagu asing berjudul "Sway" yang sebetuilnya sangat populer tapi tak dikenali anakku dengan baik. Maka anakku minta gurunya menyanyikan melodinya untuknya. Dan ketika bait pertama lagu itu selesai, dia segera menyahut ringan, "Oh, lagunya Film Putri Duyung yang diperankan Ayu Azhari?" Rupanya itulah yang dikenalinya.

Gurunya mengangguk sambil mulai mendengarkan dengan cermat pukulan-pukulan anakku yang ngawur tanpa membaca partitur, tapi sangat cocok dengan permintaan gurunya. Dan sejak itu tahulah aku bahwa apa yang pernah tersirat di dalam batinku bisa menjadi kenyataan.

Setelah itu, anakku mulai kelihatan menaruh minat dan kemampuan pada bidang lain lagi, yakni Teknologi Informasi. Dia punya beberapa blog yang konsisten dikelolanya hingga sekarang, termasuk Multiply dengan username indoidols yang foto-fotonya sering kuminta sebagai pengisi site-siteku baik yang ini maupun senthong si bundel.

Khusus untuk situs foto, dia mengelola kerenboy-photo.co.nr yang lumayan berisi untuk ukuran seorang pemula. Masih ditambah dengan Theboydimension yang juga telah dikelolanya sejak dia masih di SMP dulu. Itulah kelebihan yang dimiliki anakku tapi tak kami miliki.

Susahkah hatiku mengingat dia tidak begitu berminat pada pelajaran-pelajaran umum yang harusnya dikuasai orang? Kalau itu yang dipertanyakan, maka jawabanku bulat-mutlak : TIDAK! Sebab sekalipun dia pas-pasan di bidang akademik, tapi dia tetap berguna bagi sekolahnya. Baik semasa di Singapura maupun kemudian di American International School of Cape Town, Repbulik Afrika Selatan, dia senantiasa dimanfaatkan guru-gurunya untuk mendisain dan mengelola Buku Tahunan sekolahnya. Dan itulah yang mendapat perhatian gurunya. Ada tertulis di raport terakhirnya kesan gurunya akan buku tahunan yang dikerjakannya. "saya tak bisa menemukan penggantimu dalam waktu dekat sayangku........"

---------

Di waktu orang tua murid kelas terakhir SMA sibuk mengupayakan putra-putri mereka bisa menembus Universitas pilihan terkemuka di tanah air, aku ternyata santai-santai saja. Anakku mengatakan dia akan mengambil jursuan Fotografi di Institut Kesenian Jakarta yang merupakan bagian dari Fakultas Film dan Televisi. "Aku yakin, aku akan dapat menghidupi diri dan keluargaku kelak dari situ," katanya memberi alasan.

Ayahnya tidak mendebat. Sama halnya denganku. Hanya pihak keluarga besar kamilah yang bertanya-tanya, sebab dalam sejarah keluarga kami tak seorangpun yang berminat mempelajari seni sekalipun itu hanya seni foto.

Dan tekad itu dibulatkannya dalam jawaban yang disampaikannya di depan para dosen penguji calon mahasiswa baru FFTv IKJ di kampus mereka Sabtu (01/08) yang lalu. "Fotografi memang kerja berkelompok. Sebab, juru foto tak akan mungkin membawa sendiri lighting-nya, properti-properti pengambil gambar dan sebagainya," katanya membuka jawaban. "Tapi, seni foto -seni foto-," katanya menekankan lagi," bukanlah sebuah suguhan yang sudah jadi semacam film yang memang dibuat lengkap dengan dialog. Dengan memotret, kita bisa menghadirkan gambar yang multi tafsir. Terhidang sebagai sesuatu yang bisu, maka foto bisa ditafsirkan menurut pemahaman penikmat yang melihatnya, tidak harus diterima begitu saja apa adanya seperti film yang jelas-jelas disertai dialog," urai anakku panjang-lebar.

Ketika di bangku Pujasera TIM dia menceritakannya kembali padaku, terbit rasa kagumku yang mendalam padanya. Entah apa pula yang jadi pemikiran pengujinya tadi.
Apakah kira-kira sama dengan pemikiranku, wallahu alam, aku tak tahu.

"Terus, apa reaksi pengujimu, dik?" pancingku ingint ahu.

Dia hanya mengangkat bahunya, "nggak tahu ya. Mreka langsung beralih topik menanyakan kelengkapan fotoku dan contoh foto yang kubuat."

"Ada kamu bawa?"

Anakku kembali menggeleng lagi, "nggak, habis waktu pendaftaran mereka nggak bilang harus bawa contoh hasil karya," katanya santai. "Dan mereka bisa mengerti, kok. Mereka akan melihatnya di web siteku. Sudah kuberikan alamat-alamatnya," sambungnya lagi diiringi anggukan paham dariku meski ketar-ketir di dalam hati mengingat salah satu temanku mengatakan sekarang cukup sulit menembus test masuk IKJ. Bahkan salah satu peserta test hari itu mengaku sudah pernah ikut di tahun sebelumnya tapi gagal.

"Mereka kebanyakan mendaftar ke jurusan Film dan jurusan Televisi. Yang ke jurusan foto hanya tiga orang termasuk aku. Ibu nggak usah panik, santai sajalah. Kalaupun aku gagal diterima, aku upayakan langsung kerja dulu sambil mencari tempat di universitas lain," tutur anakku seakan-akan bisa membaca kegundahanku.

Betapa tidak gundah? Anakku termasuk sudah cukup umur. Tahun ini dia akan jadi sembilan belas tahun, sebab dia pernah diminta mengulang kelas ketika di Belgia dulu sebab kami tiba di negeri berbahasa Perancis yang asing untuk anak-anak kami hanya beberapa bulan sebelum ujian kenaikan kelas. Apa jadinya kalau dia gagal diterima di IKJ pada tahun ini? Wah, tua dan semakin tua di jalan.

----------

"Tenang ya bu, perjuangan itu memang menegangkan dan melelahkan. Tapi aku barjanji akan menghadiahkan hasil yang memuaskan untuk ibu yang telah menyemangatiku sejak dulu," tegasnya di atas KRL Ekonomi yang membawa kami pulang dari Cikini siang terik itu. Di sampingku seorang ayah sibuk menenangkan tiga orang balitanya yang gelisah kepanasan selagi bau keringat berratus-ratus penumpang di gerbong kami menyeruak meniti bulu-bulu hidungku.

"Dik, kalau kamu diterima, berarti kamu akan mengalami yang namanya berjuang itu sendiri. Seperti ini. Berjejalan di atas KA Ekonomi, menanggung kewajiban bangun pukul empat fajar, mandi, sembahyang subuh dan seperti ayahmu dulu bergegas mengejar kereta ke Jakarta. Ibu tetap tidak akan mengizinkan ayahmu membelikanmu kendaraan pribadi atau motor. Terlalu beresiko. Lebih baik semacam ini," kataku menekankan arti perjuangan yang sesungguhnya baginya.

"Empat tahun lamanya tidak kurang dik. Belum lagi kalau kereta mengalami gangguan listrik atau sinyal seperti waktu kita berangkat tadi pagi, kau harus siap berganti angkutan. Tadi pagi Allah telah mencontohkannya padamu. Kita terpaksa turun di tengah perjalanan dan cari kendaraan alternatif," lanjutku lagi sambil menatapnya yang berdiri perkasa di depanku sambil bergelayutan di gelang-gelang gerbong.

Kepala yang dulu sering menyusupi dadaku itu mengangguk-angguk setuju. "Aku paham bu. Sekarang tolong ibu teruskan do'a-do'a ibu untukku ya?" pintanya.

Giliran aku yang mengangguk. Sebab tak pernah aku lupa menyebut namanya dalam setiap ritualku berkomunikasi dengan Allah Swt. Dialah gantungan hidupku kini, sejak aku menjadi tua dan semakin tak berharga. Sejak penyakit kerap menggerogotiku dan melumpuhkan dayaku. Aku terus juga mengangguk-angguk seirama bantalan kereta yang diinjak roda di gerbong-gerbong abu-abu berkarakter huruf kanji Jepang yang kami naiki ini.

Memang jauh dalam hatiku ada terbersit keyakinan bahwa dia akan diterima mengingat karya fotonya sering dilirik orang dan diminta untuk mengisi media mereka setelah lebih dulu berpamitan padaku. Meskipun tanpa diupah, kemunculan karya anakku di media daerah dan nasional sja sudah cukup menyemangati anakku untuk terus menekuni kegemarannya akan fotografi.

--------

"Bu Julie, sudah keluar lho majalah yang ada foto anak ibu........." Demikian penggalan komentar di blog fotoku di site ini yang memang pernah diketuk oleh sebuah penrbitan Islam di Jakarta. Aku tercenung sebab nyaris lupa foto apa yang mana.

Segera kupanggil anakku yang ikutan surprise sambil membantu mengingat-ingat. Kami klik alamat yang disertakan si penulis komentar tanpa wajah itu. Sayang kami tidak dapat menemukannya. Sehingga kuputuskan untuk mengirimnya Personal Message, yang baru dibalasnya dua hari kemudian, yakni hari kemarin. Dia menjanjikan akan mengirimi kami majalah itu satu eksemplar sebagai bukti dan tanda terima kasih.

Sekalipun majalah itu mungkin baru akan kami terima minggu depan, tapi rasanya message si pengelola majalah cukup menjadi penanda kegembiraan kami. Sebab, alhamdulillah! Tadi pagi di sela-sela tugasku membimbing cucuku belajar, anakku menghampiri sambil membawa telepon geggamnya. Matanya berbinar-binar dengan nuansa bahagia. Diambilnya tanganku dan dikecupnya sebelum dia menghujaniku dengan pelukan hangat yang bertubi-tubi.

"Terima kasih, terima kasih ya bu. Alhamdulillah do'a-do'a ibu terjawab sudah. Ini, IKJ menelepon........"

Belum tuntas dia mengucapkannya, terbaca sudah olehku kesyukuran kami. "Kamu diterima jadi mahasiswa disitu?"

Senyum itu mengembang lebar seperti rembulan empat belas merekahkan sinarnya di langit malam. "Ini persembahanku untuk ibu, terima kasih atas dukungan dan dampingan ibu untukku," katanya sumringah. "Seandainya tidak karena restu ibu, barangkali sekarang aku ada di barisan para putus sekolah yang berkeliaran tak tentu mencari jati dirinya.........."

Merebaklah keharuan di bola mataku. Anakku benar. Aku tak boleh melarang minatnya dan tak boleh menyetirnya menjadi apa yang kumaui, bukan yang dimauinya. Dan hasilnya, anugerah terindah pertama dari Allah bagi kami berdua.

Mulai bulan depan anakku akan merintis kariernya sebagai calon fotografer professional. Lalu tiba-tiba berkelebatan di mataku, anakku dengan gagah dan tanpa takut-takut keluar masuk istana negara dengan menenteng peralatan kerjanya. Dia jadi fotografer orang nopmor satu di negeri ini, suatu hari kelak. Ah, semoga Tuhan meridhai kami!

Senin, 03 Agustus 2009

MEMACU ANAK MELESAT MAJU : WAJAH PENDIDIKAN DASAR BANGSAKU

Jadi nenek zaman sekarang beda lagi modelnya dengan nenek zaman dulu. Setidaknya begitu menurutku setelah aku mengalami mengurus sendiri cucuku yang kini duduk di kelas 3 SD.

Dulu, seorang nenek hanya harus siap meladeni keinginan cucunya bermanja-manja misalnya minta ditemani tidur sambil didongengi. Sekarang, lebih dari itu, untuk urusan sekolahpun nenek masih diperlukan oleh sang cucu. Terlebih-lebih di sekolah-sekolah di perkotaan yang metode pengajarannya sudah luar biasa mencengangkan. Bantuan nenek tentu sangat diharapkan menggantikan peran ibu mereka yang sibuk mejadi mesin pencari uang di kantor-kantor entah di pabrik-pabrik.

Itulah yang kualami dengan cucuku Rahmaghina Miranda Permana tadi pagi.

Sebagai murid kelas 3 di sebuah Sekolah Dasar Negeri yang Kepala Sekolahnya pernah mendapat anugerah guru teladan tingkat nasional, SDN Sukadamai 3 Kota Bogor menerapkan cara pembelajaran yang sangat maju, setidak-tidaknya begitu menurutku. Ada pelajaran-pelajaran yang diberikan dalam Bahasa Inggris, sehingga di kelasnya dia menerima pelajaran IPA Bilingual (yang tidak dilafalkannya dengan lafal Inggris, melainkan lafal Indonesia seperti contoh dari gurunya), dan Mathematika Bilingual. Selain itu, tentu saja ada pelajaran Bahasa Inggris dan pelajaran-pelajaran standard lainnya seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah manapun.

---------

Pagi tadi dia datang membawa tasnya yang cukup berat. Kuperiksa isinya satu persatu. Selain buku-buku dan berbagai alat sekolah, ada telekung serta roti tawar sebagai bekal dari ibunya. Ini merupakan hal yang baru saja terjadi, sebab biasanya anakku hanya memberinya uang barang beberapa helai atau beberapa keping, kira-kira cukup untuknya membeli minuman di sekolah, sedangkan aku akan membekalinya dengan kue donat dari pedagang keliling langganan keluargaku.

"Tumben, ibu memberimu roti," komentarku pada cucuku.

"Iya," katanya sambil memperlihatkan gigi-giginya yang besar-besar seperti gigiku.

"Untuk kau makan di rumah sini?" tanyaku ingin tahu.

"Bukan, untuk dibawa sebagai bekal sekolah. Kata ibu aku dilarang jajan," jawabnya menjelaskan.

Bagus, batinku. Anakku sekarang sadar bahwa di sore hari anaknya masih perlu mengunyah mengingat dia masih dalam masa pertumbuhan dan butuh enerji sebagai pengganti yang hilang terserap berbagai aktivitasnya sebab dia bukan tipe perempuan yang lembut.

"PR mu sudah kau kerjakan? PR apa?" tanyaku lagi sambil terus meneliti bawaannya.

"Sudah, TI, tapi ibu belum tanda tangan hanya diperiksa. Semua sudah betul," jawab si peri kecilku.

"Teknologi Informasi?" tegasku sambil mencari-cari buku yang dimaksudnya.

Dia mengangguk lalu mengeluarkan sebuah buku cetak bergambar perangkat komputer. "Ni, disini," katanya sambil membuka halaman buku yang berisi PR yang dimaksudkannya.

Aku mengambilnya dari tangannya. Tampak isian cucuku dengan menggunakan pensil di soal yang cukup banyak, tak kurang dari 30 saja. Kuteliti satu demi satu sebelum kububuhkan tanda tanganku seperti biasanya, "ya, sudah betul semua."

"Terima kasih ya mbah," katanya senang dan memasukkan kembali buku itu.

Batinku lagi, anak sekecil itu sudah harus mempelajari sesuatu yang sulit dijangkau orang kebanyakan terutama di pelosok-pelosok desa yang catu daya listriknya masih sangat terbatas. Apalagi istilah-istilah yang dipakai dalam pelajaran itu berbahasa Inggris semua. Wah, bukan main pendidikan dasar kita sekarang dibuat pemerintah. Hanya sekedar untuk membingungkan rakyat kebanyakan semacam kami saja rupanya.

"Kau ada pelajaran apa hari ini? Sudah belajarkah semalam?"

"Sudah. Ada ulangan PKn," jawabnya.

"Dari halaman dua sampai sepuluh lho," katanya lagi memicuku untuk melihat bahan ajar yang dimaksudkannya.

"Mana,mbah lihat, kita ulangi lagi belajar nanti ya? Sekarang mbah selesaikan pekerjaan rumah tangga dulu sebentar," kataku pada si peri yang dengan sigap menyodorkan bukunya untuik kuamati.

Sebuah buku berukuran cukup besar hampir menyerupai majalah terbentang di hadapanku. Walaupun isinya ditulis dengan huruf besar-besar, tetapi tampak cukup padat dengan materi yang berat sekali menurut pendapatku.

"Ya sudah, tunggu sebentar ya," seruku sambil berlalu mengambil sapu yang kutinggal di dekat pintu masuk waktu aku membukakan untuknya tadi. Cucuku mengangguk dan berlalu ke dalam kamarnya.

---------

"Sini Mir, ambil buku PKn-mu," seruku setengah memerintah kepada si peri kecil yang biasanya agak rewel dengan aturan belajar yang kubuat.

"Nasib baik buatmu, simbah malas naik ke ruang belajar. Kita duduk di meja makan ya, karena simbah masih harus menunggu tukang sayur lewat," begitu kataku memberi alasan.

Dia mengangguk senang dan mengambil posisi nyaris berhadap-hadapan denganku di sudut meja. Buku itu dibukanya menghadap ke arahku. "Ni, yang ini sampai halaman sepuluh," tunjuknya.

"Oh, sejarah Indonesia, kamu sudah baca semalam?" tanyaku memastikan.

Cucuku mengangguk.

"Kamu mengerti? Sudah tanya-jawab dengan ibumu atau ayah?" desakku.

Mulutnya membuka lebar, "sudah, tapi nggak ada tanya-jawab," katanya tegas.

"Ayolah kalau begitu. Simbah baca dulu, nanti bergantian denganmu ya?" perintahku.

Mira kecil mengangguk memperhatikanku. Telinganya dipasang baik-baik, setidaknya begitu menurutku melihat bentuknya yang seakan-akan tegak lurus disertai mata yang memancar terang.

Habis satu paragraf aku menanyakan isi pokok bahasannya pada Mira-ku. Dia nampak bisa menjawab dengan baik menandakan dia betul-betul menyimak. Kemudian kuminta dia untuk membaca lanjutannya pada paragraf kedua. Setelah itu dia kusuruh menanyaiku.

Tentu saja dia kebingungan, sebab gaya bahasa dan bahasan materi pelajaran itu tidak sesuai dengan nalar anak sekecil cucucku yang umurnya belum cukup di dua rentangan jari-jari di tangannya.

"Simbah aja deh yang tanya, aku nggak bisa tanya-tanya," protesnya.

Aku cukup mengerti, maka kuambil alih bagian cucuku dengan memberinya penjelasan materi yang memang kutahu sama sekali tak mudah dipahaminya sebab bertaburkan kata-kata abstrak yang terlalu sulit ditangkap nalar cucu kecilku.

Begitu seterusnya, dalam lima paragraf dia hanya mampu membacanya tanpa bisa memahaminya. Sebab disana dikisahkan mengenai perjuangan bangsa Indonesia memerdekakan diri dari penjajah Belanda lengkap dengan istilah-istilah yang sulit bagi cucuku dan anak-anak sekecilnya. Ada istilah Nusantara, Ibu Pertiwi, patriot, ekonomi, politik bahkan juga nama-nama organisasi pemuda sebelum kemerdekaan RI. Segala macam Jong-Jong dan Bond ada di kertas putih yang nyaris tanpa makna bagi cucuku yang membacanya sebagai "jong" seperti seharusnya ejaan Bahasa Indonesia bukan Bahasa Belanda yang dilafalkan dengna "y".Belum lagi ada kata ras dan suku yang dipakai bersamaan dalam satu kalimat, yang membuatnya kebingungan seperti kebingungan saya menjumpainya sambil menjelaskan bahwa antara ras dan suku tak ada perbedaan makna sama sekali. Walaupun secara fisik ciri-ciri sebuah ras bisa saja berbeda, tapi apalah bedanya suku dari ras?

"Nusantara itu apa mbah?" tanyanya polos sedikit melompong.

"Oh ya, Nusantara itu negara Indonesia. Negara kita itu terbentuk dari banyak pulau di lautan yang letaknya ada di antara dua daratan besar. Di utara daratan Benua Asia, di selatan daratan Benua Australia. Nusantara itu terdiri dari dua kata bahasa lama yaitu nusa yang berarti pulau dan antara. Jadi pulau di antara dua daratan besar tadi, disebut Nusantara atau resminya Republik Indonesia, negara kita, mengerti?" jelasku.

"Oh, ya, ya, tapi Ibu Pertiwi itu ibunya siapa?" tanyanya kemudian membuatku hampir tergelak.

"Oh, itu bukan ibunya siapa-siapa. Itu adalah nama lain untuk tempat kelahiran kita atau tanah air kita yaitu negara Indonesia ini," jelasku sambil berharap dia tidak menanyakan mengapa dinamai Pertiwi sebab jangankan aku, rasanya gurukupun dulu tak pernah tahu mengapa disebut Pertiwi. Untung dia mengerti, sehingga aku cukup bernafas lega.

Ketika pokok bahasan mengacu kepada berdirinya perkumpulan para pemuda daerah, aku mendapati penggunaan istilah ekonomi dan politik. Celaka dua belas, batinku. Apa yang harus kujelaskan kepadanya? Mengertikah dia jika aku bicara begitu saja?

Kupandangi wajah hitam manis itu. Di matanya sorot minta penjelasan dan penuh pengharapan menjeratku. Aku merasa berdosa jika meninggalkannya tanpa bicara. Kutelisik taplak mejaku yang kusam sekedar mencari inspirasi, yang alhamdulillah kutemukan juga.

"Mira pernah dengar kata ekonomi dan politik?' selidikku.

Gerak kepalanya yang menggeleng ke kiri ke kanan menyadarkanku bahwa masalah ini cukup sulit baginya.

"Begini, ekonomi itu adalah kegiatan yang berhubungan dengan uang. Contohnya, kamu lihat budhe menjual kerupuk Kenny?"

Mira-ku mengangguk.

"Nah kamu tahu budhe dapat kerupuk dari siapa?" tanyaku lagi.

"Beli dari tante Anneke, enak ya mbah?" katanya sedikit melenceng tapi benar belaka.

Kini giliran aku yang mengangguk setuju sambil terus menjelaskan lebih rinci. "Nah, dari tante Anneke harganya limapuluh ribu sekilo. Di kooperasi kantor budhe dijual enampuluh ribu sekilo, berarti jadi lebih......?"

"Mahal sepuluh ribu," katanya tangkas.

"Nah, itu yang namanya ekonomi. Budhe jualan kerupuk tante Anneke tapi dapat untung sepuluhribu. Jadi artinya budhe melakukan perbuatan ekonomi, budhemu disebut pelaku ekonomi, ngerti?"

"Oh gitu ya?"

Aku mengangguk senang sambil ikut-ikutan memamerkan senyumanku yang agak basi. Tinggal aku memutar langkah menjelaskan kata politik.

Untung segera terbayang hiruk-pikuk Pemilu yang baru lalu dan serangkaian peristiwa terorisme yang mewarnai wajah televisi yang ikut ditongkrongi cucuku.

"Kau tanya politik nggak?" pancingku sambil mengelus anak rambut di dahinya.

Dia mengangguk lagi.

"Politik itu adalah kegiatan yang ada hubungannya dengan negara dan orang-orang yang mengurus negara. Kau ingat Pemilu? Kau ingat bom di Jakarta? Itu namanya kegiatan politik. Memilih Presiden itu politik, membicarakan keamanan negara itu juga politik, ngerti ya?"

Lagi-lagi kepala kecil itu mengangguk-angguk bagaikan kena tenaga mekanis. Aku pun tersenyum senang menyadarinya.

"Mir, kau tahu jang disebut Jong Java, Jong Islamieten Bond dan lain-lain tadi? Juga Boedi Oetomo?" tanyaku kemudian.

"Nggak, tapi Boedi Oetomo itu nama orang kan ya mbah?"

Aku nyaris tergelak, tapi kutahan. Mira kecilku sama sekali tidak bersalah jika dia keliru menafsirkan. Sebab seingatku di SD kelas 3 dulu pelajaranku hanya soal Pendeta Durna, Bala Kurawa dan sejenisnya.

"Bukan sayang. Boedi Oetomo dan Jong-Jong itu adalah nama perkumpulan seperti partai yang kemarin ada waktu Pemilu. Kamu dengar 'kan ada PDIP, PAN, PKS, Demokrat, Hanura, Gerindra, Golkar dan banyak lagi lainnya? Ya, itulah Boedi Oetomo dan Jong-Jong itu, partai juga........."

"Oooh.......," bulat dia menjawab lega.

Tinggal satu pertanyaanku, "Patriot itu apa artinya ya Mir?"

"Nggak tahu, kasih tahu dong mbah, simbah 'kan pinteran," rajuknya memaksa aku mengajari semuanya.

"Ah, siapa bilang simbah pinter? Simbah nggak sekolahan Mir, bukan sarjana," balasku sungguh-sungguh.

Dia menengadahkan wajahnya menatapku juga sungguh-sungguh. "Ih, nggak mungkinlah simbah nggak sekolahan........ kok serba tahu seperti guru? Guruku aja nggak tahu......."

"Oalah, cucuku nggak percaya amat sih. Ya sudah, patriot itu adalah kata lain dari pahlawan, jadi andaikata waktu ada bom kemarin terus ada tentara atau polisi yang meninggal kena bom waktu mau mengejar si pembom, dia itu disebut patriot, karena dia nggak kenal kata takut melawan penjahat. Begitu lho," jelasku sambil melirik ke jam dinding yang hampir berdentang sepuluh kali.

"Tuh, kan, pinter?" komentarnya memekarkan pucuk hidungku yang memang lebar typikal hidung Indonesia pribumi.

"Ya udah, kalau begitu kamu juga harus pinter seperti simbah. Simbah minta dikasih tahu isi Sumpah Pemuda yang tadi kita pelajari, ayo........" ledekku.

"Hih, susah. Panjang amat sih kalimatnya.," katanya mengelak.

Aku tersenyum gemas sambil meraih kepalanya dan menciuminya sampai puas sebelum bau matahari lengket di situ sore nanti. Dia membalasnya dengan gelayut manja yang hanya aku yang sanggup merasakan kehangatannya. Ah, cucuku, berat benar beban pelajaranmu sekarang. Akankah kamu menjadi lebih maju dibandingkan aku?
Matanya nyalang menembusi seluruh permukaan mukaku yang mulai panas-dingin menahan malu.

Senin, 27 Juli 2009

"TIGA MENGUAK TAKDIR"

Judul di atas merupakan cuplikan dari pelajaran sastra yang aku dapatkan dulu di sekolah menengah. Sutan Takdir Alisjahbana, maksudnya, dikupas-tuntas oleh teman-teman beliau sesama sastrawan pada jamannya.

Dan kini yang terjadi dalam rumah tanggaku, bukan takdir yang itu. Namun takdir kehidupan yang sesungguhnya kusandang.

Berbekal tekad dan niatan untuk menjadi diri sendiri, kuberanikan diri berpisahan dari suamiku. Kulangkahkan kaki lebar-lebar ke luar dari sangkar emas yang dihadiahkannya bagiku, untuk kembali ke kandang kami yang menjorok di dalam suatu perumahan di luar kota metropolitan Betawi.

Di sinilah, di penjuru Bogor yang mulai pengap oleh desingan motor yang mengaum-aum dari  sebuah kendaraan baik roda dua, roda tiga maupun yang lebih dari itu, aku tinggal bersama anak-anak dan cucuku si peri kecil yang kadang menyentil.

---------

Bidadariku yang dilahirkan dari rahim kemenakanku, menjadi salah satu penyemangat hidupku. Umurnya belum lagi sembilan tahun, tapi tingkahnya sudah bak gadis remaja. Dengan manja dia memamerkan dandanan rambut gaya barunya seraya menyebut sejumlah nominal mata uang sebagai ongkos untuk merubah penampilannya hari itu.

"Rambutku dicuci, digunting, diblow dan disisir, semua ongkosnya tigapuluhlima setengah," katanya kemayu sambil meraba-raba ujung rambutnya yang rapi. Ombak di kepalanya tertata indah, lurus di bagian mahkota, dan bergelombang besar di dekat bahunya.

"Halah! Mahal amat?" Gerutuku sambil menghangatkan makan malam.

"Ih, biar aja atuh, 'kan yang bayar ibuku ini," jawabnya ketus sambil menatap cermin di atas wastafel pencuci tangan. Kupandangi anak-menantuku yang diam nyaris tanpa komentar.

"Jadi, kau biarkan dia berdandan macam orang dewasa begini?" selidikku panik.

Anak dan menantuku hanya diam membuang pandang ke lantai.

"Untuk suatu kepuasan sesaat kau habiskan dana begitu banyak? Kau lihat sendiri besok pagi, hilang sudah kecantikan di kepalanya," timpalku lagi memancing jawaban mereka.

"Habis, sudah begitu maunya, daripada dia nggak mau potong rambut bu. Kemarin kan ibu sendiri yang protes rambut cucu kepanjangan," anak perempuanku mulai mengeluarkan suara emasnya malu-malu entah takut-takut.

---------

Begitulah romantika kehidupan sekarang. Anak-anak seperti kehilangan kesempatan bermanja-manja dalam dekapan orang tuanya, sehingga sebagai penebus rasa bersalah, orang tua mereka rela berkorban apa saja demi menyenangkan anaknya.

Peri kecilku datang setiap pagi ke rumah kami diantarkan ayahnya yang akan menitipkan mobil tua mereka sebelum melanjutkan naik kendaraan umum ke kantornya, selagi istrinya, kemenakan perempuanku yang telah kuanggap sebagai anak telah berangkat lebih dulu ke pabrik furniture sedikit di batas kota.

Lalu si gadis kecil mampir sebentar ke area dapur, menyalamiku sambil minta seteguk susu sebelum mulai dengan kegiatannya menonton televisi. Sayang sekali kami tidak punya pembantu seorangpun, sehingga dia terpaksa kubiarkan asyik sendiri selagi aku mengerjakan pekerjaan ibu rumah tangga.

Dunia memang sudah berubah. Dulu, ketika ibunya masih kecil, kakakku memang bekerja juga sebagai guru. Tapi anak-anaknya tak pernah kesepian atau terlantar. Selalu ada ibuku atau aku yang menemani, mendampingi dan merawat mereka sebagaimana seharusnya.

Masih kuingat dengan jelas ritual pagi saat aku mengantarkannya ke gerbang rumah untuk menyaksikannya duduk manis di dalam kendaraan jemputan yang disopiri pak Maman. Di atas mobil sana sudah duduk lebih dulu Wida, Temmy, kakak beradik Nora, Sofia dan Dian serta Alex. Pintu mobil ditutup sempurna, lalu tangan kecilnya melambai padaku sampai hilang di kelokan jalan.

Di saat dia pulang nanti, ada aku atau ibuku yang siap membukakan pintu, menanyainya soal kegiatan di sekolah pagi itu serta mengajaknya makan siang serta tidur sebelum belajar sore hari. Kakakku, ibu anak-anak itu akan tersenyum senang sebelum menerima tugasnya memeriksa PR mereka, menemaninya makan malam dan mendongeng sebelum tidur.

Jaman sudah berubah. itu tak terjadi lagi kini. Tidak mustahil di esok hari, hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya tentu akan semakin jauh. Sebab manusia modern sekarang tidak lagi punya waktu untuk anak-anak dan keluarga mereka.

---------

Anak perempuanku berangkat saat kokok ayam jantan baru saja kedengaran. Dia hanya punya waktu untuk dirinya sendiri. Menurut penuturan cucuku si peri kecil, ibunya cuma menciumnya sejenak di dahi, lalu menghilang bersama deru ojeg yang mengantarkannya sampai ke pemberhentian bus pabrik yang mengantar-jemputnya setiap hari. Dia sendiri kemudian melanjutkan tidurnya tanpa diusik oleh sang ayah, menantuku yang punya kebiasaan berangkat ke kantor siang hari.

"Habis, jam tujuh angkot masih selalu penuh dengan pegawai yang mau ke Jakarta sih," alasan menantuku suatu hari. Aku cuma terdiam tak habis pikir. Kemana sudah etos kerja orang muda kantoran sekarang ini lari?

Di rumahku sehabis menyerah-terimakan anaknya kepadaku, dia makan sedikit dari persediaan makan pagi di mejaku. Lalu mencium tanganku hormat sebelum keluar rumah.

---------

Tadi pagi ritual itu berulang seperti biasanya. Aku tak banyak tanya dan tak banyak selidik. Kuanggap semuanya baik-baik saja. Maka kulanjutkan pekerjaan rumahku mencuci dan merapikan rumah.

Cucuku asyik menonton TV sambil menjawab pertanyaanku soal pekerjaan rumahnya dan pelajaran hari itu. "Ada PR yang belum dikerjakan mbah, Bahasa Sunda," kata cucuku.

"Kamu tidak bisa? Kenapa tidak kau tanya ibumu?" Tanyaku sekenanya, karena aku tahu anak-anakku tak ada seorangpun yang bisa berbahasa daerah dengan baik.

"Ibu nggak bisa, ayah lebih-lebih lagi, nggak ngerti," jawab cucuku terang-terangan, "ayo dong mbah, bantu aku," rajuknya sambil tak beringsut dari muka televisi.

Kulirik jam di atas televisi, sembilan tigapuluh. Sudah cukup siang untuk mengerjakan PR yang tertunda. Melihat wajah polosnya yang memelas, tergerak hatiku untuk meletakkan tangkai sapu. "Ya sudah, kalau begitu matikan televisinya, dan ambil bukumu. Bawa ke meja belajar," perintahku pada si peri kecil.

Patuh dilakukannya perintahku. Tapi buku itu tidak dibawanya ke ruang belajar di lantai atas. Dia terus mendekatiku yang masih bersibuk diri sejenak di ruang makan. "Disini aja ya mbah," rajuknya, "mbah 'kan bisa sambil kerja jadinya," mulut kecil itu termonyong-monyong.

"Ya sudah, buka bukumu," kataku menyetujui.

Pensil itu ditorehkannya ke buku baru yang belum tergores sedikitpun. Sementara itu sebelah tangannya lagi membuka halaman ketujuh dari buku cetak berkertas putih yang aku yakin jatuhnya harga pasti cukup mahal, tak seperti slogan pendidikan murah bebas-biaya yang digembar-gemborkan Menteri Pendidikan ktia.

Aku meneliti soal yang ditunjukkannya. Ah, mudah, pikirku. Hanya menerjemahkan kalimat ke dalam bahasa tinggi. Maka sambil meracik masakan, kudiktekan jawabannya sambil kuterangkan artinya satu demi satu dalam Bahasa Indonesia.

Selepas itu aku meninggalkan rumah untuk belanja ke warung tetangga langganan kami di ruko. Anakku lelaki si bungsu sibuk melanjutkan tugas merapikan rumah kami yang lumayan luas.

-----------

Aku masuk dari warung mendekati pukul dua belas. Kusiapkan makan siang untuk cucuku, sekalipun dia tak nampak batang hidungnya. "Mir........, Mira.........., makan dulu sayang, sebentar lagi jemputanmu datang," seruku mencarinya.

Tak ada sahutan dari mulutnya. Kulongokkan kepalaku ke kamar mandi, untuk mencari keberadaannya. Kamar mandi kami kosong belaka. Kutanya anak bungsuku, dia juga tak bisa menjawab. Bahkan di halaman rumahpun si kecil tak nampak. Iseng-iseng kubuka pintu kamar anakku yang tertutup.

Di situlah, di balik pintu, di sudut ruang dengan bersandar ke dinding di lantai cucuku menampakkan wajah kebingungan. Telepon rumah kami yang kebetulan nirkabel ada di genggamannya. Matanya redup dan nyaris kosong.

"Hei, kamu belum tukar seragam?" seruku panik. Aku yakin dalam seperempat jam lagi kendaraan jemputan cucuku pasti datang dengan deruman keras dan dering bellnya yang memekakkan telinga.

Wajahnya pucat pasi, membias di antara putihnya dinding. "Seragamku ketinggalan di rumah," keluhnya takut-takut. Pandang tidak berdosa itu ditujukannya padaku, lalu menunduk seiring dengan siraman dingin dari mataku.

"Bagaimana mungkin? Tadi pagi apa saja kerja ayah-ibumu?" bentakku panik.

"Ini aku sudah telepon ayah dan ibu. Kata ibu, ibu mau telepon ayah juga," jawab cucuku keluar dari konteks pertanyaanku.

"Orang tua teledor! Lalai mengurus anak sendiri!" gerutuku marah-marah tak karuan.

"Tadi rasanya udah aku bawa ke mobil, tapi sekarang nggak ada," sahut cucuku tanpa dosa.

"Ya sudah, hari ini kamu nggak ke sekolah. Tunggu mobil jemputanmu di depan, sebentar lagi pasti datang. Katakan kamu minta maaf atas kelalaian ini, dan kamu terpaksa tidak sekolah hari ini," perintahku sambil menyuruhnya bangkit.

Cucuku menurut. Dia beringsut meninggalkan ruangan sambil menahan tangis.

"Apa yang dilakukan ibumu tadi pagi? Bukankah dia yang harus bertanggungjawab terhadapmu?" tanyaku mendesak cucuku bicara.

Cucuku cuma menggelengkan kepalanya.

"Ayahmu juga, apa saja kerjanya? Minggu lalu kerudungmu ketinggalan, minggu sebelumnya ikat pinggangmu, selalu ada saja yang terlupa, bagaimana ini bisa terjadi? Kemarin dulu 'kan simbah bilang, bangun pagi. Jangan biasakan tidur larut malam. Mandi, minum susu, sarapan dan siapkan sendiri semua keperluan sekolahmu. Kau sudah jadi gadis cilik sekarang, tapi anak besar, kau mengerti?" omelku entah didengarnya entah pula tidak.

"Iya," jawab cucuku sepotong, sepenggal kalimat seraya menatap ke jalanan. Kebetulan mobil jemputan sudah nampak dan siap membunyikan bellnya. Dia berlari keluar, dan sekilas kudengar cucuku meneriakkan, "saya nggak sekolah ya pak, sampai besok!"

Sesak sekali dadaku! Takdir seorang nenek harus mengawasi cucunya. Kupikir dulu setelah anak-anak kami menjadi dewasa dan tumbuh sebagai diri sendiri, tugasku sebagai ibu akan ringan. Tapi, dunia telah membalikkan fakta itu.

Dengan terbukanya kesempatan bersekolah tinggi, para perempuan sekarang mendapat posisi yang baik di masyarakat. Sudah setara dengan lelaki, berpendidikan serta sanggup bersaing bekerja mencari nafkah. Itulah yang terjadi pada anak-anakku.

Mereka ikut membantu mencari nafkah, sehingga mereka tak lagi punya waktu yang cukup untuk suami dan anak-anak mereka. Sampai di rumah mereka sudah kelelahan.Tapi tak ada waktu untuk bersenang-senang memanjakan diri. Menyiapkan makan malam sudah jadi kewajiban mereka. Dan umumnya mereka siasati dengan membeli masakan di kedai-kedai nasi, sehingga tugas mereka tinggal menghangatkan sebelum disantap bersama.

Selepas itu anakku akan masuk ke ruang belakang menyetrika baju-baju yang sudah dicuci suaminya di mesin cuci tadi malam, diakhiri dengan menyapu dan membersihkan rumah. Sungguh suatu pola hidup yang sudah sangat bertolak belakang dengan gaya hidup di jamanku dulu. Lalu kapan mereka ada waktu untuk menemani anak-anak mereka?

Tak terasa aku menangis pedih. Cucuku rupanya harus bertumbuh seorang diri tanpa dampingan ibu yang telah memberinya kehangatan di gua garbanya sembilan bulan lamanya.

-------------

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh dering telepon yang segera diangkat cucuku. Lalu kedengaran dia bicara, "aku sudah selesai makan barusan,........... oh, iya, iya, sebentar ya bu,.........oom, oom......... ini ibuku mau bicara.........." suara itu menjauh ke lantai atas.

Anak bungsuku nampak keluar dari kamarnya dan berbicara di telepon dilanjutkan dengan instruksi kepada si peri kecil.

"Mir, buruan, ambil kunci rumah kalian di mobil ayah. Kita pergi sekolah. Kita ambil baju dulu naik ojeg, terus oom antar ke sekolah, ayo lekas. Bu guru nunggu asal kamu nggak kelamaan," perintah anakku pada kemenakannya yang sering minta disentil.

Peri kecilku tergesa-gesa merapikan tasnya, memasang kaus kaki dan sepatunya, lalu lari ke luar rumah lupa mengucapkan salam padaku diiringkan pamannya yang minta diri padaku mau mengantar si kecil.

Aku cuma bisa termangu-mangu, termenung lesu dan ragu akankah ibu guru mengizinkannya masuk kelas.

Di depan televisi kusantap makan siangku tanpa gairah. Hanya sepotong ikan mas yang mampu mengganjal perutku bertemankan sayur lodeh. Sementara itu di layar kaca Metro TV masih asyik dengan analisanya mengenai pengeboman di Jakarta.

Empat puluh menit berlalu ketika aku menjawab salam si bungsu. Keringat masih berleleran di dahi dan pipinya. "Untung ibu gurunya baik, tapi malunya itu lho bu," kata si bungsu tanpa kutanya.

"Jadi dari depan rumah aku naik sembarang angkot. Sopirnya bilang mau ngantar penumpang ke dalam, tapi aku boleh juga minta diantar ke rumah mbak Mel," cerita anakku.

"Angkot kubayar limabelas ribu. Dari rumah mbak Mell langsung nemu angkot. Terus si Mira bilang nyambung ojeg. Aku pikir sekolahnya masih jauh dari jalan besar."

"Ternyata gimana?" tanyaku penasaran.

"Ya Allah, bisa jalan kaki. Cuma dasar si Mira, dia mungkin panik campur baingung, dia minta ngojeg dan kesasar pula ke sekolah lain yang sama namanya cuma lain angkanya, nah, malunya itu lho disitu. Sopir ojegnya tanya apa kemenakannya baru kelas satu mas?"

"Lalu kau jawab apa?"

"Bukan, kelas tiga, tapi dia lagi panik," jawab anakku tersenyum-senyum. "Untung tukang ojegnya mau ngantar sekalian ke rumah. Jadi dia tunggu di depan pintu gerbang sampai aku selesai menyerahkan Mira."

"Terus apa kata gurunya?"

"Oh, dia sudah tahu masalahnya rupanya karena katanya sudah ada yang telepon menjelaskan masalah Mira. Cuma Mira dinasehati, lain kali kalau mau nginap di rumah nenek bawa seragam ya?"

"Hah? Nginap di rumah nenek? Dia nggak tahu apa?" potongku bingung.

"Naga-naganya sih nggak tahu. Maklum sekolah negeri kebanyakan murid," jawab anakku.

"Ah, bukan itu. Kehidupan sekarang ini yang membingungkan. Orang berumah tangga tapi tidak punya kesiapan. Jadi, bapak-ibu kerja semua, anak terlantar dan terpaksa dititipkan kesana-sini. Lha........, untung takdirnya ada saya, si nenek-tuwek!" balas saya sambil meneguk segelas es pala.

Anak bungsuku tertawa, "iya juga sih, untung juga ada saya. Kalau nggak ada saya, apakah nenek-tuwek sanggup dikerjai anaknya mesti ngibrit nganter cucu dengan gaya koboy?"

"Hahahahaha.......... ada-ada saja! Benar juga kamu! Takdirnya aku jadi nenek bawel, kamu jadi pengasuh, dan si mbak mu cuma bisa jadi pencari nafkah doang.........."

Tiga menguak takdir, batinku tersenyum kecut menyembunyikan gigi-gigi gingsulku yang mulai habis lagi keropos.

Jumat, 03 Juli 2009

BUKU HARIAN ROSA HIBRYDA

Setiap kali kubaca
Adalah derita yang lara
Dari kehidupan yang tersisa
Di ujung perjuangan berbisa

Disini kucatat
Tumpuan curahan hati
Dari seorang perempuan yang sendiri
Memencil memenjarakan diri di sudut bumi.

Minggu, 14 Juni 2009

DUA PRIBADI SATU RUPA SATU RASA

Aku dan anakku adalah bersaudara. Dia dan aku adalah satu. Demikian yang kerap kudengar dari orang-orang di sekitarku.

Anakku kedua adalah serpihan dari jiwaku. Sifatnya serupa, sa
ma-sama keras kepala, kaku sekaligus unik. Dia berani berjalan sendiri tak ubahnya diriku. Untuk mencapai suatu yang diidam-idamkannya, dia tak segan-segan melawan arus, Siapapun akan ditabraknya, sepanjang mereka tak sejalan dengan keinginan dan cita-citanya yang memang cenderung tidak pasaran.

Akupun begitu. Kuakui, aku setali tiga uang, sangat serupa dengannya. Dimana ketika orang lain sibuk mempelajari tarian poco-poco, aku justru asyik duduk menyimak d pinggir gelanggang mempelajari lagunya untuk kemudian kunyanyikan mengiringi mereka. Juga disaat orang-orang sibuk mencermati bagaimana caranya mencampur warna serta menggoreskan kuas dengan tepat untuk menghasilkan gambar-gambar indah, aku justru akan keluar ruang, duduk menepi di bawah keteduhan pohon menja
ring cericit burung di pepohonan atau desiran angin lalu untuk kutuangkan sebagai sebuah syair di "kanvas" kertasku.

Kamilah itu, dua makhluk tak sejenis, tapi sama dan sebangun.

Hampir dua puluh tiga tahun yang lalu aku menyambutnya dalam pelukanku di suatu senja musim gugur di belahan utara bumi. Hawa dingin dan kering merubah dengan sekejap hijaunya dedauan maple dengan menggoreskan warna kuning emas kemerahan layaknya tembaga di pucuk-pucuk pohon, pada setiap dedaunan yang ada. Dingin mulai menyergap kulit menyeruak ke kedalaman tulang, membuatku mendekapnya seerat mungkin untuk menyalurkan kehangatan kasih sayangku.

Anakku yang mungil. Bayi lelaki yang sangat kami rindukan setelah
sekian lama kami memintanya pada Sang Maha Empunya. Rasanya hingga kini tak berkurang syukurku pada-Nya atas karunia agung itu.

--------

Siang tadi aku mengajaknya pergi. Kami beriringan berdua menuju ke toko pakaian, sebab aku merasa perlu mendandaninya dengan sehelai kain batik klasik yang kuyakini akan menambah wibawa serta seri pada kulitnya yang terang. Dia memang sudah dewasa sekarang.

Tubuhnya lebih tinggi dariku, meski dia termasuk pendek untuk ukuran seorang lelaki sempurna. Rambutnya dibiarkan tergerai panjang seperti rambut perempuan menandakan keunikan yang sudah melekat pada dirinya. Warnanya hitam legam berkilauan ditimpa mentari khatulistiwa, meski teksturnya bergelombang alami.


Anakku selalu penuh senyum dan canda-tawa. Deretan giginya yang putih menyembul di balik kehalusan bibirnya yang kontras dengan jenggot, jambang dan tentu saja kumis di atasnya.

Di toko penjual pakaian tadi, si pemilik gerai melirik padaku. Lalu mengalihkan matanya pada anak lelakiku. Dia tersenyum sangat manis. Kulit putih bersihnya nyata sekali bersinar ketika dia menyodorkan sebuah batik klasik coklat kemerahan berpadu sedikti emas prada pada anakku. Anakku menolaknya, seraya terus meneliti deretan kemeja itu satu-persatu.

Pilihan anakku jatuh pada motif yang lebih klasik dengan desain sangat sederhana. Tapi hatiku langsung mengatakan bagus dan ingin dia memilikinya. Dia memperlihatkannya padaku tanpa bicara. Aku mengangguk mengamini dan mempersilahkannya mencoba terlebih dulu. Anakku segera melangkah menghilang di balik tirai.

"Adik ibu sangat mirip ya?" tiba-tiba perempuan pemilik gerai itu mengomentari kami.

Aku menengadah menghentikan tanganku yang asyik menyibak-nyibak kemeja untuk menatap padanya. "Bagaimana, ada apa?" tanyaku kepadanya.

"Ibu sangat mirip dengan si adik," katanya lagi.

Aku hampir saja terduduk, tak dapat mempercayai pendengaranku. "Siapa adik saya?" balasku bertanya lagi.

"Lha, adik tadi, wajah, bentuk tubuh dan gerak-geriknya sangat mirip dengan mbak," kini si pedagang menegaskan pernyataannya.

Aku mulai mengerti. Senyumku mengembang, seperti bolu kukus baru matang di dalam dandangku. "Itu? Dia anak saya," jawabku mantap.

Kini giliran perempuan itu terperangah. Hitam-hitam pada bola matanya yang bulat nyaris meloncat keluar. Bibirnya ikutan menganga, sebelum kemudian mengeluarkan sebentuk pernyataan, "putra mbak? Bukannya mbak baru empatpuluh tahunan?"

Hup! Aku tersedak dibuatnya. "Ibu tidak sedang main-main 'kan?" tanyaku memastikan.

Perempuan itu menggeleng pasti. "Tidak saya serius, kenapa mbak?" terlontar kesungguhan itu dari mulutnya.

"Terima kasih. Saya sudah lebih dari setengah abad," kataku menjelaskan sambil terus menatapnya sehingga nampak sekarang dia merasa jengah.

"Oh, tidak disangka. Saya baru sampai pada bilangan lima puluh," katanya malu-malu sambil merapikan barang dagangannya yang sesungguhnya sudah rapi itu.

Sebetulnya dia kelihatan begitu cantik. Kulitnya kuning terang dengan seri pada setiap lapisannya. Tak sedikitpun ada goresan atau guratan. Hanya caranya berdandan memang menampakkan bahwa dia sudah kelihatan lebih berumur dari padaku.

Aku tersenyum penuh arti, berterima kasih padanya dan tentu saja pada Tuhan yang telah mengaruniaku citra sebagai seorang perempuan awet muda.

"Alangkah nikmatnya kesehatan ya bu," kata perempuan itu padaku. "Andaikata sakit tentu orang akan jadi kelihatan cepat tua, tidak seperti ibu," sambungnya sambil membetulkan ucapannya dari mbak menjadi ibu begitu dia menyadari bahwa dia adalah juniorku.

Aku lagi-lagi cuma bisa tersenyum sambil menerima sepotong kemeja yang kata anakku pas di tubuhnya dan nampak bagus untuk kuserahkan kepada kasir di toko itu. "Ibu tidak pernah tahu, bahwa semua organ kandungan saya berikut sebagian usus saya sudah habis dibabat penyakit. Tapi saya masih tetap berdiri disini menemani anak-anak saya, sebab saya menyukurinya dengan sempurna. Syukur karena Allah masih memberi saya peringatan untuk menjaga kesehatan dengan lebih baik sebelum umur saya jadi enam puluh tahun," kataku panjang lebar.

Perempuan pedagang batik itu kini semakin terpana dan ternganga-nganga, tak bisa membenarkan pendengarannya.

"Benarkah begitu?" tanyanya ragu-ragu menyiratkan kebingungan.

Aku dan anakku sama-sama tersenyum dan hanya dapat membalas perkataannya dengan anggukan menandakan bahwa kami dua manusia yang sama rasa, sama rupa. Sama-sama makhluk Tuhan yang tak kenal berdusta. Insya Allah.

Jumat, 08 Mei 2009

BALLADA MARSINAH, 22 DESEMBER 1993

[MENGENANG PERJUANGAN BURUH TAK BERNAMA]


Namaku Marsinah
Lambang perjuangan kaum sapi
Sebuah bangsa yang terpaksa lahir
Dengan takdir pekerja
Semata-mata alat
Pemuas kebutuhan dan nafsu belaka

Marsinah sapi perahan
Menjelma kuda
Menerjang kuat
Menggila rasa
Satu dalam nuansa
Papa tanpa harus terhina

Akulah Marsinah
Darahku tiada kenal menyerah
Dan mengalah pada sebuah kepuasan
Yang menjajah

Kubawa lelehan merahnya hatiku
Yang terluka
Hingga ke lubang kubur

Marsinah tak akan pernah mati
Selama sapi-sapi tetap tertindas
Bersama deru yang menyeru keras
Melantunkan dengus
Nyanyian sengsara

Marsinah tak akan pergi
Akulah Marsinah.

Pemompa semangat kaumku
Indung penyebar pejuang kecil
Marsinah-Marsinah yang terlahir kemudian
Dari kubur Marsinah yang tak akan pernah lena
Dan lelap dalam beku
Sorga nirwana yang sunyi.


*Mayday, 2009*

Kamis, 23 April 2009

"PERSINGGAHAN"

Di bilik pengakuan dosa

Menatap hati lurus ke sorga

Menyiksa kata

Menguak nurani yang pernah alpa

:  "Ave Maria!"


Inilah saat Tuhan berhadapan pandang

Mencari makna

Kejujuran yang seharusnya ada

Terpulang tanya

pada siapa

yang pernah jatuh dan cedera

Adakah kesucian itu akan abadi

:  "Ave Maria!"


(In memoriam S. Elizabeth
yang pernah hadir dan mengukir mimpi bersamaku)

Di sini cinta ini pernah bersemi bersamamu, cantik

"WAHANA"

Dari puisi aku makan sepotong roti

yang dijuluki kasih sayang

Datang dari langit mendung

Membawa hujan kepedihan hati anak-anak manusia

Puisiku ruamh harapan

Penuh cinta dan pengertian yang dalam

Tempatku berbagi rasa

Sepanjang luka masih setia menganga

Sampai entah bila


Hofzeile 12, 1180 Vienna
11.06.93

Diperbaharui di Chatsworth Road, Singapore
Juni, 2004

Dikemas kembali di Edinburgh Drive, Cape Town
April, 2009

Minggu, 19 April 2009

KERINDUAN

Kutuliskan puisi pagi ini
Untuk seraut wajah yang mengembara entah dimana
dalam anganku

Kutitipkan sebait syair
Yang mengalun di kabut-kabut putih
Untukmu pengelana jiwa
yang entah dimana

Ada segenggam rindu memburu
Disini pada selasar dadaku
Di sepanjang lorong iga yang membentang
Menghidupi jiwaku

Tolong jangan tanya kenapa aku merinduimu
Karena duka itu begitu pekat
dan sarat dengan kenangan yang melekat
tentang dirimu

Andai suatu hari nanti kau dengar
Gelak murai di rumpun bambu
Akulah itu
yang membunyikan serulingnya
dari atas punggung kerbau peliharaanmu

Tolong segera kembali
menyusuri jalan kenangan yang tak lagi pernah kau singgahi
Dan temukan cincin kita di sisi semaknya
Lalu pakaikan di jari manisku
Yang kiri saja dahulu
Persis seperti dulu
waktu baju kita masih hijau
berpadu putih
Putihnya hati

Di batas cakrawala pagi
Aku menanti
Hingga sore membentang
Mengawinkan kaki langit dengan ombaknya laut
Adakah kau kembali
Di saat itu
Dengan sarat rindumu
menjemputku pergi
Ke baris peraduan yang terakhir?


(Di bawah rintik hujan yang menembusi atap rumahku
pagi hari, duapuluhenam April di Cape Town)

Selasa, 14 April 2009

MUNAJAT MALAM

Ku ketuk pintu-Mu, Tuhan
Waktu seikat mawar ku onggokkan di depan arsy-Mu
Ada salam dari anak-anakku
Yang memintakan maaf atas kelalaian kami menjalankan sabda-Mu.

Mohon jangan bukakan neraka
Yang dipenuhi asap dari api-api yang mengganas
Sebab aku takut pada-Mu, Tuhan
Ketika Kau permalukan aku di hadapan anak-anak kami.

Kusambut panggilan-Mu, Tuhan
Dalam dingin yang menggigilkan jantung
Jangan marahi aku lagi, Tuhan
Kuakui aku telah salah melangkah.

Dengan seonggok lumpur yang kelabu
Aku pernah mandi di Kali Birahi
Berkubang cinta dan nafsu hayati
Yang tertuang dalam bibir berlumur lipstick murahan
Dan keringat pandan wangi campur oli.

Pagi tadi
Waktu malam baru mengatupkan matanya
Aku beranikan diri menghadap pada-Mu
Dengan memalingkan wajah membuang malu-ku
Kuketuk pintu-Mu ya Tuhan
Adakah Kau dengar aku
Dan kau baui cucuran peluhku
Yang kini telah tercampur darah
Dari luka yang menganga di dasar jiwa
Dan mata yang telah kerontang
Sejak aku tak punya lagi harga diri.

Di haribaan-Mu aku mengiba
Menadahkan tangan membelasah tubuh
Mohon jangan Kau singkirkan aku
Dengan hinaan yang dina sangat
Ampuni aku
Dan bawalah kini jadi budak setia-Mu
Supaya boleh aku mencicipi rumah-Mu
Jannatul na'im yang Maha Agung dan Suci.


(Dalam kepasrahan di sepertiga malam hariku
Saat angin membawa kabut turun dari Devil's Peak
Selasa empatbelas April tahun sembilan)


Minggu, 12 April 2009

JAKARTA UNDER KOMPOR DI CAPE TOWN




Arham Kendari, karikaturis dari media daerah di Sulawesi sana sudah mendunia. Dia dibawa oleh buku kocak yang ditulisnya menuju ke berbagai negeri, berbagai belahan bumi bahkan sampai ke Cape Town di Afrika Selatan.

Arham Kendari berteman dengan anak saya Harry ketika mereka masih sama-sama "ngeblog" di Indosiar, dan pertemanan itu berlanjut terus hingga sekarang. Dengan senang hati Harry memenuhi keinginan Arham untuk membawa Jakarta Under Kompor keliling Cape Town.

JIWA

Jangan lagi panggil namaku
Sebab kereta telah lama berlalu
Perjalanan tiada mungkin terhenti
Di kelok waktu yang membuahkan angan-angan
Aku sudah pergi
Membawa harap yang belum lagi pasti
Dan terus mencari
Apa yang jadi kebenaran sejati
padaku.
Pada akhir hidupku kutemukan sangsi
serta keraguan teramat berat
Akan kehidupan yang senantiasa sarat dilakoni
Pembual-pembual kelas satu
Yaitu mereka yang tanpa sungkan
Berpesta ria di tengah manusia-manusia sengsara.
Tolong jangan panggil namaku.
Keretaku tak akan pernah kembali
Ke tengah-tengah gelanggang
Yang seakan-akan cuma rumah sandiwara.


(Vienna, 11.09.93 di sudut Werthemstein Park
Diperbaharui di Singapura, pertengahan 2004
Dan dimaknai kembali di Bishopscourt, Cape Town, malam hari 13.04.09)



HAMPA

Menoleh ke masa lalu
Adalah penyesalan yang datang terlambat
Berjalan ke hari depan
Cuma harapan yang sia-sia

Waktu adalah kini
Kepastian yang tiada arti
Antara impian dan kenyataan
Yang tiada pernah lepas landas

Terpulang kembali
Kepada tanya
Mengapa semangat hanya
Membara
Tanpa membuahkan arti
Dan makna yang berguna?


(Vienna, tepian Donau di Nussdorf, pagi hari Ahad, 04.09.94
diperbaharui di Cape Town, di kaki Devil's Peak, gelap malam 13.04.04)

Sabtu, 11 April 2009

SISI KELAM SEBBUAH DUNIA YANG TERPUTUS

Konon terentanglah tali dengan ujung-ujung yang tiada terkait. Lalu dua dunia tak lagi saling menyapa : kiri dan kanan

Pada sebuah perjumpaan gemintang menggantung di angkasa. Dua dunia bisu. Permata malam jadi saksi. Ada sisi gelap dan terang sebuah rumah.

Tak ada lagi anak kuncinya. Tertutup rapat semua pintu. Terkunci jendela serta cerobong asapnya sekali.

Begitulah hidup harus dilakoni. Setegar hati tanpa gentar. Bahkan nyawamu tiada lekat pada sebuah rumah yang tunggal. Pentas sandiwara yang senantiasa siap merenggut harga diri.

Ibarat suatu sisi kelam dunia yang terputus : akan mengalir air mata yang mengantarkan kearifan. Penuntun ke alam abadi. Bersihnya sebuah diri yang diisi jiwa murni, semata pengabdian kepada petunjuk Illahi.

Allahu akbar! Tuhan Maha Agung! Hiduplah untuk-Nya! Untuk sebuah nyawa yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya! Kelak di rumahmu yang akan datang, di istana agung itu!

Vienna, 01.25.1994
Renewed in Cape Town, 04.11.2009

Minggu, 05 April 2009

PEKUBURAN ISLAM ASAL INDONESIA DI AFRIKA SELATAN




Ini adalah pemandangan di pekuburan cikal-bakal penyebaran agama Islam di Repbulik Afrika Selatan. Mereka yang dimakamkan disitu umumnya adalah orang-orang Indonesia yang terbuang oleh pemerintahan kolonial Belanda (VOC) kira-kira empat ratus tahun yang lalu.

Sabtu, 04 April 2009

NOSTALGIA RUANG GELAP DI DADA PEREMPUAN YANG TERHINA

"Kala ku mendengar suara murai berkicau
Lincah nian bergurau di atas dahan
Kuteringat saat itu kau di sampingku
Menunaikan sumpah setia dan cintamu.

Suatu saat kumendengar elang berbunyi
Jauh nian terpencil di puncak pohon
Hatiku tersentuh menahan air mata
Kuteringat pada waktu perpisahan."

Perempuan itu menyenandungkan lagunya. Lagu dari masa kecilnya, yang dijeritkan batin yang terluka dan hampa. Yang ditangiskan dari sekeping hatinya yang kosong, dibawa pergi kenangan lalunya.

Tak beringsut dia dari gua pertapaannya. Cuma matanya yang nyalang merayap-rayap menguak gelap. Yang ditimbulkan hujan. Dan badai dari harinya yang penuh duka.

Pada suatu masa, dia pernah muda. Pernah cantik dengan gairahnya yang membara.

Dia memang bukan perempuan biasa.

Di sebuah taman, dia ibarat bunga mekar kepagian. Yang harumnya mengoyak jantung lelaki yang bangun subuh.

Warnanya yang kemuning gading adalah seronce cempaka di sudut jendela. Di bawah bayang-bayang manusia yang memiliki rumahnya.

Perempuan itu harta simpanan yang tak terkuak. Oleh sembarang orang dengan tangan-tangannya yang kotor.

Dia Maha Dewi yang gemulai, lembut dan menebar cinta.

Perempuan itu rapsodhy yang dikungkung orkestra. Dari kamar musik orang tuanya. Keelokan semata. Bagai serangkai keindahan penawar gundah dan gulana jiwa. Bagi siapapun makhluk yang mendekatinya. Rapsodhy jiwa pengelana muda pencari rumah asmara.

~ 00000 ~

Kini perempuan itu terbaring, di lantai gua tanpa secarik kain. Menatap jauh lurus pandangannya ke sorga. Menyibak-nyibak Malaikat yang pernah berjanji menopangnya. Ketika dia melucuti harga dirinya. Di tangan lelaki yang merampas harkat kemanusiaannya. Dulu, tanpa ampun.

Yang ada hanya gelap. Mendungnya firdaus yang diciptakannya sendiri. Dengan mengirim air mata berdikit-dikit, ketika dia tidak pernah sudi menumpahkannya di dunia. Di dekat lelaki yang amat dibanggakannya. Dulu, suatu masa, di ketika itu.

Mendung itu menyibak kelamnya. Menampakkan seorang perrempuan muda yang tak lagi perawan. Lalu dengus-dengus nafas dan kucuran-kucuran air dari mata air di dasar hati lelaki yang merayunya. Dalam rajutan rajuk yang menjelma asmara. Sepasang kekasih yang terlarang.

Perempuan itu mengusap perutnya. Merabai dadanya. Dan menggigiti bibirnya. Menjalin jemari dalam kepalan doa, penghapus noda dan dosa mereka. Perempuan itu mengurai mayang dari matanya yang menyimpan duka. Perempuan itu kini sendiri.

Nafas cinta itu telah berlalu. Bersama harga dirinya yang terenggut bebas. Ketika ia meliukkan tubuhnya menarikan cinta. Di lipatan paha lelakinya dulu.

Astaghfirullah aladzim! Semoga Tuhan mengampuni dosanya.

~ 00000 ~

Di peluk malam dalam kelam gua dia tertidur. Tanpa mimpi, tak kenal lena. Hanya diam, bisu dan mati. Meratapi duka yang ditumpahkan padanya. Dari pelukan lelaki yang dulu merayunya dengan debar dada dan rona-rona cinta.

Sekeping hatinya menganga. Menebarkan bau dari luka yang meroyak.

Aku padanya. Menjemput dukanya dalam genggaman buku do'aku di sajadah panjang malam hariku

(Bishopscourt, ketika hawa panas menyembul di antara pokok-pokok kastanyet, April 2007)

Jumat, 03 April 2009

PAGELARAN PERTAPAAN DI RUMAH DUKA

Dua anak manusia terkungkung oleh keangkuhannya masing-masing. Berdiam di pertapaan sepi. Tinggalkan sifat duniawi, dan harkat manusia mereka.

Di pertapaan sepi, di sudut persimpangan jalan, di semak-semak bunga, cinta tak lagi ada terasa. Semua kesat, dan mengabur di pandangan yang buram. Selapis sutera hitam menjuntai, menggelapkan kejenihan nurani yang sirna dikoyak nafsu.

Hidup jadi bagai lakon di atas panggung. Dengan pemain-pemain pantomim yang asyik sendiri-sendiri membiarkan gelora jiwanya menyala-nyala sesuka hati Di bawah sana, anak-anak yang terlahir dari gua garba ibunda menatap iba, tajam tapi tak mengerti. Sedih campur bimbang. Seperti belati-belati yang mencari mangsa tak pasti.

~ 00000 ~

Sang perempuan menoleh ke belakang. Menembusi dinding gua yang sarat kelam.

Disana dulu, pada bagian belakangnya dia pernah ada. Menjalani hari-harinya dalam penjara waktu. Ketika dia terikat dalam sebuah komitmen perkawinan untuk kebersamaan.

Berkubang duka dia pernah ada. Melayari lautan cinta tanpa pernah keluar dari kungkungan ombaknya. Yang abadi menari-nari.

Lelaki itu penyebabnya. Setelah dia tahu bahwa lelaki itu bukan untuknya.

Lelaki itu bebas melantunkan sabdanya. Memberinya sederet aturan dan sebaris daftar dosa. Dengan semau hatinya.

Lelaki itu benci padanya. Pada setiap langkah ynag dilakukannya. Pada setiap pantun yang dibunyikannya. Pada dirinya yang tak lagi menjelma dewi. Di dalam tidur larut malamnya.

Keangkuhan lelaki itu adalah mahkota yang abadi. Dari kurun waktu ketika ia berupa merpati yang terbang bebas. Hingga ia jadi induk dari lagu cericit liirh di dahan pohon, yang ditumbuhkan cinta di halaman rumah mereka.

Perempuan itu pernah ternista. Tersiksa oleh apa yang tidak pernah dilakukannya. Tanpa hak untuk menjawab, tanpa ada pembelaan diri yang boleh disebut dari ujung lidahnya.

Di gua ini, perempuan itu melihat lagi. Dirinya yang dilucuti dari cinta dan ditelanjangi semena-mena. Oleh lelaki yang dulu menjemputnya dengan mahar janji surgawi. Lelaki itu yang kini menistanya.

Kini dia ingat lagi. Betapa malam itu dia membulatkan diri jadi milik lelaki itu. Di ranjang kapuk yang nyaris lapuk. Tanpa menuntut apapun. Hanya sebatas dengusan nafas yang menyentuh gendang telinganya.

Dulu perempuan itu begitu percaya dan dia telah bersyukur. Akan wujud cinta yang amat sederhana, layaknya tembang-tembang keroncong di piringan-piringan hitam tua.

Begitu melodius namun penuh bermakna dan membiuskan jiwa yang dilamun cinta.

Dulu, itu dulu sekali. Pada sebuah masa, ketika dunia belum dewasa. Lalu berubah tua. Dan menjelma manusia durjana.

~ 00000 ~

Lelaki itu mendongak ke angkasa. Mencari rembulan dan bintang yang mengangguk-angguk keletah.

Dia butuh mereka, untuk menuntunnya mencari pembenaran. Atas sangkaan yang pernah dituduhkannya pada sang perempuan. Jati dirinya sendiri.

Malam, oh gulita semata yang ada di bumi. Tak sepercik sinar, selarik embun datang ke permukaannya. Cuma dingin dan gelap yang kelam.

Lelaki itu terus mencari. Dan memutar kembali ingatannya mencari pembenaran diri.

Perempuan itu ada di sana. Pada singgasana yang berlainan rupa. Perempuan itu jadi makhluk asing untuknya, terlibas oleh anak-anak wayang yang melintas di kaki-kakinya. Dalam balutan sampur warna-warni dan topeng tembaga.

Lagu perempuan itu adalah alarm kematian yang bergaung cepat. Tinggi mengerit-ngerit menggigiti jiwa. Memekakkan telinga dan membutakannya. Bagai sederet Epitaph.

Pada hamparan padang yang lain. Wanita-wanita bergigi emas bersanggul konde bergoyang hilir-mudik. Mencabik-cabik hatinya, menoreh-noreh lukanya.

Bagai air mawar di atas secawan madu. Adalah obat ternikmat yang ingin dihisapnya.

Lelaki itu mabuk kepayang, hingga menulikan apa yang tak harus ditutupnya. Membutakan apa yang harus dilihatnya. Lelaki itu terserang durjana semata.

Allahu Akbar! Tuhan Maha Bear!

Maka dia ada diguncangan ombak. Yang memadati samudera kehidupannya. Kemudian melemparnya jatuh sendiri. Ke kedalaman bumi yang kekal.

Maka, adakah kini dia sadari? Bahwa hidup adalah sederet lakon. Yang butuh lelaki-lelaki setia dan perempuan bijak?

Bulan berkalang duka. Di balik bukit batu. Adakah hawa surga akan menciumnya?

Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

(Ketika luka menjeritkan nyeri di suatu tempat, Bishopscourt, April 2009)

Kamis, 02 April 2009

DARI BUMI YANG TERBELAH : PERGULATAN MELAWAN KEANGKUHAN

Bumi gonjang-ganjing. Egoisme dua anak manusia meluluhlantakkan kebahagiaan. Mengusir kebanggaan yang dulu dipupuk tinggi agar menjulang menjelang mega keberkahan.

Bumi gonjang-ganjing adalah prahara tak bertuan, milik ibu dan bapaknya yang dikuasai syaithon.

Hati itu menguncup pedih. Mengunci diri di dada yang sempit.

Senyum itu tak lagi cerah. Tanpa kilau mentari dan kilasan angin di sudut-sudutnya. Mata itu begitu redup. Laksana sekawanan awan menggendong hujan. Berat bergelayut siap menangis. Menangiskan kesedihan yang datang bagai mimpi yang tak terbayangkan.

“Innalillahi wa innailaihi roji’un. Kami ini milik Allah semata, dan hanya kepada Allahlah kami akan dikembalikan.” Terucap kepasrahan dari sepasang bibirnya. Bibir yang belum pernah digunakannya untuk berkata buruk. Bibir yang penuh kehangatan cinta dan kasih sayang.

~ 00000 ~

“Aku tak pernah minta dilahirkan. Aku tertakdir sebagai korban nafsu birahimu. Tak ada lagi kini sayangmu padaku, makhluk yang tak pernah tahu apa-apa?”

Terlontar tanya dari hatinya kepada kedua insan dewasa yang telah menyebabkan dirinya lahir di dunia ini. Yang telah meluncurkannya dari perut jannah yang menjatuhkan Adam dan Siti Hawa dahulu ke bumi.

“Kau telah menelan buah khuldi itu. Kau melanggar buah terlarang. Kau penyebab segalanya.”

Teriakan itu begitu keras, menggema memadati relung hati, menjalari jantung yang pernah berdegup sangat kencang. Dia merentangkan tangannya. Menghalau segala makhluk yang masuk mengganggu bapak dan ibunya. Dia maju menghadang, dengan mata memerah saga dan muilut membuncah busa. Dia menangis kuat-kuat, meledakkan dadanya di tengah rumah mereka.

~ 00000 ~

Kedua budak-budak cinta itu saling berpagutan. Memaknai anaknya dengan kemarahan yang saling membakar.

Manusia dewasa selalu merasa sebagai Maha Dewa. Yang unggul dan serba ingin dibenarkan. Keji melindas harga diri anak-anaknya sendiri. Makhluk-makhluk yang lahir karena nafsu birahi mereka semata.

“Takdir adalah bagian dari keimanan yang harus kau yakini, anakku. Terimalah dia apa adanya.”

Si ayah membelah jantung anaknya. Dengan sepagut gigitan yang pedas.

Di balik punggungnya, si ibu meratapi pedih, seraya mengusap-usap anak rambut itu dengan kelima jemarinya silih berganti.

“Bukan maksudku melukaimu, sayangku. Ayahmu benar belaka. Takdir itu tak bisa dielakkan. Songsonglah ia dengan kelapangan hatimu, bukan dengan kemarahan yang menyala di dalam dadamu.”

Kembali si buyung budak cinta mengaum garang.

“Ya Tuhanku! Sungguh aku berlindung kepada-Mu dari segala godaan syaithon yang terkutuk dan mimpi-mimpi buruk!”

Lalu tangannya bersedekap di dada. Debur jantung itu begitu nyata, menembusi rongga-rongga kulit arinya, menjalarkan panas dan rona merah ke segenap permukaan wajahnya. Juga pada lekuk liku mata dan hidungnya. Lelaki muda itu begitu terluka.

Bumi gonjang-ganjing. Tiada purnama empat belas di belantara malam berbintang. Hanya gelap dimana-mana. Di seluruh permukaan bumi yang dipijaknya.

Lalu desir angin itu, bagai melagukan kematian dengan seruling bambu. Yang kerap ditemukannya di sisi-sisi sungai di kampung ibunya. Lelaki muda itu begitu tersayat.

~ 00000 ~

Dua makhluk Tuhan telah melampaui harkat dirinya, kembali kini mereka bagai seonggok daging tak bernyawa. Tak berotak, tak kenal malu.

Mereka saling berebut, bergelut melucuti diri. Membiarkan dada mereka terbuka menjaring luka.

Sang lelaki tetaplah teguh. Pada hasrat kelaki-lakiannya yang ingin menguasai perempuan.

Perempuan itupun memaparkan lukanya, yang dulu ditorehkan sendiri oleh bapak dari anak-anaknya. Yang pernah meminangnya dengan segumpal senyum, sederet puisi serta seonggok mawar yang mengandung romantisme.

Dua makhluk Allah tak lagi mengenal malu, di hadapan buah-buah cinta mereka.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya nikmat yang telah Kau anugerahkan, dan lunturnya keselamatan yang telah kau berikan kepadaku. Dan aku berlindung kepada-Mu dari  musibah dan murka-Mu yang datang dengan tiba-tiba.”

Lelaki muda itu berseru lagi. Dengan seluruh daya yang tersisa diisak tangisnya, lelaki yang penuh duka.

Aku berdiri di dekatnya. Membaui semua lelehan keringatnya. Mengecup semua cucuran air matanya. Aku tetap bersamanya. Berjuang dalam doa-doa malam mengharap ridha Tuhannya untuk kelanggengan biduk yang dibangun ayah-ibunya.

 

(Tertangkap di Bishopscourt, Maret-April 2009)

Pita Pink