Perempuan desa yang terlempar oleh nasibnya ke dalam genggamanku tentulah perempuan yang mempunyai perasaan yang sama dengan diriku. Tak pernah membayangkan akan sampai disini, di belahan bumi yang lain yang namanyapun belum terekam di otaknya dengan baik.
Perempuan itu sama denganku yang hanya pernah berencana sampai ke negara tetangga di ujung mata. Di belakangnya sana ada buah hatinya yang mengharapkan sering berjumpa, setidak-tidaknya berkirim kabar. Anak yang dikasihi serta suaminya di kampung halaman, penahan langkahnya untuk mengarungi angkasa luas yang jaraknya tak lagi terbilang.
Akupun punya Andri yang dulu melepasku ke Singapura tanpa pernah tahu bahwa perjalanan karier ayahnya akan menembus Republik Afrika Selatan ini. Ketika kami berpisahan empat tahun lalu, dia menegarkan diri untuk menjaga rumah sekaligus mencoba mencari peruntungannya sendiri terlepas dari kami. "Aku adalah tuan untuk diriku sendiri. Aku menetapkan bahwa Bogorlah tempatku yang sesungguhnya. Tapi ibu jangan khawatir, aku akan tetap bersama ibu dalam seluruh doa dan usahaku," katanya memberi alasan sebelum aku mengangguk mengerti menyetujui keinginannya untuk ditinggal.
Berbeda dengan Andri, Harry justru ingin tetap bersama kami sekalipun kepindahan kami ke Singapura adalah dua bulan menjelang kenaikan kelas.
Air muka itu begitu muram ketika Garuda Indonesia selesai menimbang bagasi kami. Digenggamnya tanganku erat-erat. Disandarkannya kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu ke dadaku. "Aku pasti kangen ibu," rengek anak bungsuku,
Andri menariknya menjauh dan membisikkan sesuatu. Di dekapnya tubuh yang jauh lebih tinggi darinya itu. Sekalipun berperawakan lebih kecil, tapi jiwa anakku tak kerdil. "Adik, ingat. Dua bulan lagi kau pasti berkumpul bersama bapak-ibu," kudengar dia meneteramkan adiknya. Tangan itu mengusap lembut pipi si bungsu. "Kita hadapi semuanya bersama. Aku ada disisimu dan akulah yang bertanggungjawab atas semuabya, atas dirimu juga," katanya lagi menyolok mataku menimbulkan rasa pedih disana. Serpihan permata jernih menggantung pada pelupukku siap membasahi pipiku sendiri. Kugigit bibirku pengunci haru.
-ad-
Andriku menjadi dewasa karena ditempa keadaan. Dia terpaksa memutus sekolahnya di kelas 2 SMP jurusan Latin yang diraihnya dengan susah payah di "Athenee Royal Cromelynx", Brussel, Belgia pada awal tahun 2002. Suamiku kembali ke Indonesia tidak pada akhir tahun ajaran.
Andriku menangis keras. Dia mengutuki perjalanan karier ayahnya, Dia menyalahkan kami yang telah keliru memilih jalan hidup. Maksudnya jalan hidup yang berbeda dari keinginannya.
-ad-
Ketika dia tengah menikmati kebahagiaannya di kelas Latin yang membutuhkan perjuangan, kami merasa berdosa memaksanya pulang. Ayahnya mengupayakan segala cara agar dia dapat tinggal sementara hingga kenaikan kelas di Belgia sementara aku juga terus melanjutkan pengobatanku yang baru dimulai.
Harry memilih ikut pulang. Karena itu kami pindah menyewa sebuah studio untuk kami berdua tak jauh dari kantor suamiku di Belgia. Andri pergi-pulang sebagaimana dulu dengan menumpang angkutan kota.
Di kamar kami yang tak seberapa besarnya itu aku menghabiskan waktu sendiri, Sekali-kali aku masih menjalani rutinitasku di Dharma Wanita Persatuan atas kehendak Ibu Duta Besar sebagai Penasehat organisasi kami. Berlatih kulintang dan menjaga serta mengawasi Kantin Pegawai yang entah mengapa sejak dulu dibebankan kepadaku, menjadi pengisi waktu luangku.
Bersama Andri kuhabiskan senja hari di muka pesawat televisi sambil menyantap pangsit goreng yang kami beli di toko. Tayangan favoritenya adalah "Thalasa" sebuah programa tentang alam laut dan sekitarnya, "Enak ya bu pangsitnya," katanya selalu sambil mencocol sambal dari piring keci berbentuk ikan yang kami temukan di sebuah toko di dekat studio apartemen kami. 'Seperti buatan ibu biasanya," sambungnya lagi sambil terus mengunyah. Kentara sekali bahwa dia sedang mencoba mengusir gelisah hatinya atas status ijin tinggal kami yang tidak pasti. Pangsit berisi kepiting, udang dan rebung itu habis dikunyahnya tanpa jeda.
Aku mengangguk sambil ikut makan dari piringnya, sepiring berdua. "Ibu susah membuat sendiri sekarang, peralatan dapur ibu tak memadai," kataku berkilah. "Ya, nggak 'pa'pa, yang penting enak," jawabnya lagi sambil merapat ke tubuhku. Matanya kelihatan menatap televisi dengan pandangan kosong. Bagaikan hanya ingin merasakan kesejukan samudera biru di layar sana.
Lain kali dia melabuhkan channel televisi kami ke stasiun Perancis yang menayangkan hiburan cabaret. Perhatiannya sangat besar bahkan kadang-kadang memaksaku untuk ikut menyimak bersamanya. Mulut itu turut menyenandungkan lagu dalam cabaret selagi matanya menatap layar tak berkedip.
-ad-
Kebersamaan kami semakin erat jadinya, hingga suatu hari dia menarik diri dariku. Tidur menjauh memisahkan diri di sofa waktu aku melontarkan kegalauanku soal ijin tinggal kami. "Bapak telah menemukan sekolah yang bisa menampungmu mas," kataku membuka pembicaraan. "Sekolah apa?" tanyanya tak mengerti benar. Bola matanya bulat mengarah padaku.
"Ada Sekolah Perancis di Jakarta yang bisa menampungmu andaikata kita pulang sekarang," jelasku hati-hati. "Pulang sekarang?" tanyanya tak percaya dengan mata terbelalak menghunjamku.
Aku mengangguk. "Ya, kau tahu kita tidak punya ijin tinggal yang resmi sekarang ini. Dan ini akan membahayakan kita sendiri,' ungkapku mencoba menjelaskan.
Dia menjauhkan mukanya dan memandangku tak mengerti. "Bukankah dulu bapak bilang kita bisa tinggal disini sampai kenaikan kelas empat bulan lagi? Bahkan bapak pernah menawariku menyelesaikan SMP disini?" tanyanya tak percaya.
Kembali aku mengangguk. Menelan ludahku sendiri adalah salah satu upaya mengusir kegalauanku juga. Lalu serentetan tanya-jawab yang lebih berupa penjelasan dariku mengalir tanpa henti.
Malam itu jadi malam pertama ketegangan kami. Dia tak lagi mempercayai kami orang tuanya, serta aku tak bisa lagi membuka mata hatinya. Dalam keadaan demikian kami seperti hidup dalam sepi. Bersama-sama tapi nyaris tanpa suara. Dia tenggelam dalam pelajaran atau kebisuannya di muka televisi. Dan aku juga dalam bacaanku serta kerajinan tangan yang kucoba untuk kukerjakan sekedar penghalau sepi, tapi tak pernah selesai.
Malam-malam dan hari-hari berikutnya adalah pertengkaran sengit yang sering membuahkan air mata dan permusuhan pada diri anakku. Sementara itu sakit pada kandunganku justru terasa semakin menghunjam menenggelamkan aku di atas kasur yang kutiduri bersamanya. Aku pada punggungnya, dan dia pada punggungku.
-ad-
Begitulah kiranya perempuan yang sekarang dalam dekapan keluargaku ini. Sama galaunya menahan segala perasaan seperti diriku dulu. Di hatinya ada kecewa dan rindu yang berbaur menjadi kesedihan.
Maka setiap kali aku berpapasan dengannya dan melihatnya kusut masai, ingatanku terlempar selalu kepada Andriku. Juga pada kenanganku bersamanya, di suatu masa di awal tahun 2002. Masa yang sudah selayaknya jadi kenangan bagi kami, sebab Andriku kini tak akan pernah lagi mau mengalaminya. Namun dia tetap ada disini, di hatiku selalu.