Powered By Blogger

Kamis, 30 Oktober 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU IX

Perempuan desa yang terlempar oleh nasibnya ke dalam genggamanku tentulah perempuan yang mempunyai perasaan yang sama dengan diriku. Tak pernah membayangkan akan sampai disini, di belahan bumi yang lain yang namanyapun belum terekam di otaknya dengan baik.

Perempuan itu sama denganku yang hanya pernah berencana sampai ke negara tetangga di ujung mata. Di belakangnya sana ada buah hatinya yang mengharapkan sering berjumpa, setidak-tidaknya berkirim kabar. Anak yang dikasihi serta suaminya di kampung halaman, penahan langkahnya untuk mengarungi angkasa luas yang jaraknya tak lagi terbilang.

Akupun punya Andri yang dulu melepasku ke Singapura tanpa pernah tahu bahwa perjalanan karier ayahnya akan menembus Republik Afrika Selatan ini. Ketika kami berpisahan empat tahun lalu, dia menegarkan diri untuk menjaga rumah sekaligus mencoba mencari peruntungannya sendiri terlepas dari kami. "Aku adalah tuan untuk diriku sendiri. Aku menetapkan bahwa Bogorlah tempatku yang sesungguhnya. Tapi ibu jangan khawatir, aku akan tetap bersama ibu dalam seluruh doa dan usahaku," katanya memberi alasan sebelum aku mengangguk mengerti menyetujui keinginannya untuk ditinggal.

Berbeda dengan Andri, Harry justru ingin tetap bersama kami sekalipun kepindahan kami ke Singapura adalah dua bulan menjelang kenaikan kelas.

Air muka itu begitu muram ketika Garuda Indonesia selesai menimbang bagasi kami. Digenggamnya tanganku erat-erat. Disandarkannya kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu ke dadaku. "Aku pasti kangen ibu," rengek anak bungsuku,

Andri menariknya menjauh dan membisikkan sesuatu. Di dekapnya tubuh yang jauh lebih tinggi darinya itu. Sekalipun berperawakan lebih kecil, tapi jiwa anakku tak kerdil. "Adik, ingat. Dua bulan lagi kau pasti berkumpul bersama bapak-ibu," kudengar dia meneteramkan adiknya. Tangan itu mengusap lembut pipi si bungsu. "Kita hadapi semuanya bersama. Aku ada disisimu dan akulah yang bertanggungjawab atas semuabya, atas dirimu juga," katanya lagi menyolok mataku menimbulkan rasa pedih disana. Serpihan permata jernih menggantung pada pelupukku siap membasahi pipiku sendiri. Kugigit bibirku pengunci haru.

-ad-

Andriku menjadi dewasa karena ditempa keadaan. Dia terpaksa memutus sekolahnya di kelas 2 SMP jurusan Latin yang diraihnya dengan susah payah di "Athenee Royal Cromelynx", Brussel, Belgia pada awal tahun 2002. Suamiku kembali ke Indonesia tidak pada akhir tahun ajaran.

Andriku menangis keras. Dia mengutuki perjalanan karier ayahnya, Dia menyalahkan kami yang telah keliru memilih jalan hidup. Maksudnya jalan hidup yang berbeda dari keinginannya.

-ad-

Ketika dia tengah menikmati kebahagiaannya di kelas Latin yang membutuhkan perjuangan, kami merasa berdosa memaksanya pulang. Ayahnya mengupayakan segala cara agar dia dapat tinggal sementara hingga kenaikan kelas di Belgia sementara aku juga terus melanjutkan pengobatanku yang baru dimulai.

Harry memilih ikut pulang. Karena itu kami pindah menyewa sebuah studio untuk kami berdua tak jauh dari kantor suamiku di Belgia. Andri pergi-pulang sebagaimana dulu dengan menumpang angkutan kota.

Di kamar kami yang tak seberapa besarnya itu aku menghabiskan waktu sendiri, Sekali-kali aku masih menjalani rutinitasku di Dharma Wanita Persatuan atas kehendak Ibu Duta Besar sebagai Penasehat organisasi kami. Berlatih kulintang dan menjaga serta mengawasi Kantin Pegawai yang entah mengapa sejak dulu dibebankan kepadaku, menjadi pengisi waktu luangku.

Bersama Andri kuhabiskan senja hari di muka pesawat televisi sambil menyantap pangsit goreng yang kami beli di toko. Tayangan favoritenya adalah "Thalasa" sebuah programa tentang alam laut dan sekitarnya, "Enak ya bu pangsitnya," katanya selalu sambil mencocol sambal dari piring keci berbentuk ikan yang kami temukan di sebuah toko di dekat studio apartemen kami. 'Seperti buatan ibu biasanya," sambungnya lagi sambil terus mengunyah. Kentara sekali bahwa dia sedang mencoba mengusir gelisah hatinya atas status ijin tinggal kami yang tidak pasti. Pangsit berisi kepiting, udang dan rebung itu habis dikunyahnya tanpa jeda.

Aku mengangguk sambil ikut makan dari piringnya, sepiring berdua. "Ibu susah membuat sendiri sekarang, peralatan dapur ibu tak memadai," kataku berkilah. "Ya, nggak 'pa'pa, yang penting enak," jawabnya lagi sambil merapat ke tubuhku. Matanya kelihatan menatap televisi dengan pandangan kosong. Bagaikan hanya ingin merasakan kesejukan samudera biru di layar sana.

Lain kali dia melabuhkan channel televisi kami ke stasiun Perancis yang menayangkan hiburan cabaret. Perhatiannya sangat besar bahkan kadang-kadang memaksaku untuk ikut menyimak bersamanya. Mulut itu turut menyenandungkan lagu dalam cabaret selagi matanya menatap layar tak berkedip.

-ad-

Kebersamaan kami semakin erat jadinya, hingga suatu hari dia menarik diri dariku. Tidur menjauh memisahkan diri di sofa waktu aku melontarkan kegalauanku soal ijin tinggal kami. "Bapak telah menemukan sekolah yang bisa menampungmu mas," kataku membuka pembicaraan. "Sekolah apa?" tanyanya tak mengerti benar. Bola matanya bulat mengarah padaku.

"Ada Sekolah Perancis di Jakarta yang bisa menampungmu andaikata kita pulang sekarang," jelasku hati-hati. "Pulang sekarang?" tanyanya tak percaya dengan mata terbelalak menghunjamku.

Aku mengangguk. "Ya, kau tahu kita tidak punya ijin tinggal yang resmi sekarang ini. Dan ini akan membahayakan kita sendiri,' ungkapku mencoba menjelaskan.

Dia menjauhkan mukanya dan memandangku tak mengerti. "Bukankah dulu bapak bilang kita bisa tinggal disini sampai kenaikan kelas empat bulan lagi? Bahkan bapak pernah menawariku menyelesaikan SMP disini?" tanyanya tak percaya.

Kembali aku mengangguk. Menelan ludahku sendiri adalah salah satu upaya mengusir kegalauanku juga. Lalu serentetan tanya-jawab yang lebih berupa penjelasan dariku mengalir tanpa henti.

Malam itu jadi malam pertama ketegangan kami. Dia tak lagi mempercayai kami orang tuanya, serta aku tak bisa lagi membuka mata hatinya. Dalam keadaan demikian kami seperti hidup dalam sepi. Bersama-sama tapi nyaris tanpa suara. Dia tenggelam dalam pelajaran atau kebisuannya di muka televisi. Dan aku juga dalam bacaanku serta kerajinan tangan yang kucoba untuk kukerjakan sekedar penghalau sepi, tapi tak pernah selesai.

Malam-malam dan hari-hari berikutnya adalah pertengkaran sengit yang sering membuahkan air mata dan permusuhan pada diri anakku. Sementara itu sakit pada kandunganku justru terasa semakin menghunjam menenggelamkan aku di atas kasur yang kutiduri bersamanya. Aku pada punggungnya, dan dia pada punggungku.

-ad-

Begitulah kiranya perempuan yang sekarang dalam dekapan keluargaku ini. Sama galaunya menahan segala perasaan seperti diriku dulu. Di hatinya ada kecewa dan rindu yang berbaur menjadi kesedihan.

Maka setiap kali aku berpapasan dengannya dan melihatnya kusut masai, ingatanku terlempar selalu kepada Andriku. Juga pada kenanganku bersamanya, di suatu masa di awal tahun 2002. Masa yang sudah selayaknya jadi kenangan bagi kami, sebab Andriku kini tak akan pernah lagi mau mengalaminya. Namun dia tetap ada disini, di hatiku selalu.

Rabu, 29 Oktober 2008

DI HALAMAN MUSEUM HUGUENOT DI AFRIKA SELATAN




Bangsa Republik Afrika Selatan layaknya pelangi. Ada yang berwarana ada yang putih. Bangsa kulit putih berasal dari Eropa. Kulit berwarna selain merupakan orang-orang asli/lokal, juga datang dari Asia. Selain itu tentu ada juga bangsa kulit hitam.

Dari Eropa orang-orang Perancis yang disebut sebagai bangsa Huguenot, yaitu pengikut Gereja Protestan yang mereforamsi Gereja Katholik- berpindahan ke berbagai negara termasuk ke Afrika Selatan. Pada tanggal 31 Desember 1687 sejumlah besar pengungsi Perancis yang terdiri dari keluarga Huguenots berlayar ke Tanjung Harapan, menyusul saudara-saudaranya yang sudah lebih dulu datang satu-presatu mulai tahun 1671.

Mereka kemudian menetap di kota Franschoek kira-kira 60 Km di barat laut Cape Town dan beranak-pinak sebagai pengusaha minuman anggur nomor satu di dunia. Sayang bahasa dan budaya Perancis mereka tergerus oleh VOC yang mengharuskan penggunaan Bahasa Belanda di dalam kehidupan sehari-hari, hingga sekarang mereka hanya bercakap-cakap dalam bahasa Afrikaans, turunan Bahasa Belanda.

Selagi mengambil gambar di luar museum tidak dilarang, berikut ini keluarga kami memotretnya untuk kenang-kenangan.

Selasa, 28 Oktober 2008

KIRIMAN DARI ANAKKU DI KAMPUNG




Tak semua anak kami bisa berkumpul menghabiskan Ramadhan dan Idul Fitri di tempat kami. Terasa begitu rindu kami pada mereka.

Hidangan Ramadhan dan Idul Fitri yang senantiasa sedap di meja makan keluarga kami menimbulkan kepedihan di hati, sebab mereka tak turut menikmatinya. Namun Andri dan Diana mengatakan mereka akan menghabiskan Idul Fitri di Bandung berkumpul bersama keluarga kakakku. Aku hanya bisa mengiyakan tanpa daya untuk memaksanya kemari. "Hiburlah diri kalian selagi jauh dari kami," pesanku. Mereka menyikapinya dengan berwisata ke Kawah Putih di daerah Bandung Selatan yang konon bukan di puncak gunung, melainkan di lahan datar sehingga kesannya menyerupai danau.

Inilah foto-foto mereka yang dikirimkan kepada kami sebagai pengobat rindu. Insya Allah kami kelak akan minta diantarkan juga kesana, agar dapat turut menikmati keceriaan mereka di alam terbuka yang konon masih indah dan asri.

Jumat, 24 Oktober 2008

BALLADA PEREMPUAN DESA YANG TERLEMPAR

Perempuan muda itu menangis. Tidak di pelukanku. Tidak juga pada siapa-siapa. Dia menangis sendiri, di dadanya yang sesak.

Umurnya belum lagi duapuluhlima tahun. Menurut pengakuannya masih kurang setahun. Tapi dia sudah bersuami dan beranak perempuan lima tahun. Anak yang tak pernah dituntunnya, apalagi dibelainya.

Perempuan itu datang kepadaku di suatu pagi. Ketika embun baru saja menuntaskan tuagsnya. Dan burung-burung malam terbang pulang ke sarang.

Wajahnya pasi, tak bergairah dan mendung. Seperti gugusan mega kelabu di kejauhan angkasa sana. Siap menumpahkan hujan air mata diselingi getaran halilintar yang menyalak malu-malu. Lalu bibir itu bergetar menumpahkan gundahnya. Di suatu pagi belaka.

-ad-

Dia tak tahu harus bilang apa. Sebab tak ada apa-apa yang terjadi padanya.

Kakinya yang kekar sampai di tanah perantauan ini menumpang tunggangan orang. Atas nama nasib dan kehendaknya sendiri.

Semula ditinggalkannya hamparan sawah serta bubur lumpur ke negeri tetangga semata. Demi rasa ingin tahunya dan harapan akan seringgit-dua ringgit dalam genggaman,

Ditinggalkannya kebahagiaan yang seharusnya ada di sisi lelaki piihannya. Seorang kesatria jantan yang meleburkan diri dalam pengapnya kebisingan Jakarta.

Disishkannya biji matanya tanpa kenal iba, demi menggapai keinginannya hidup lebih layak.

Perempuan itu hanya satu di antara banyak perempuan tak berdaya. Laskar pejuang yang hanya kenal bambu runcing. Tanpa sepatah kata bahasa penjajah yang akan dihadapinya di medan perjuangan kelak. Perempuan yang terlalu sederhana.

-ad-

Dia meratap tanpa mengerti apa yang diratapkannya. Dia ketakutan tanpa tahu apa yang ditakutinya. Dia membisu tanpa memahami mengapa dia harus membisu. Semua hanya kegalauan semata. Dan dia tak tahu apa makna kegalauannya.

Tidak juga kami, ketika dia merebahkan dirinya di pelukanku. Kuraih kepalanya, kucari wajahnya, kususuri segala lekuk likunya, gurat-gurat pembuluh darah disitu.

Mata itu begitu dangkal. Garis mulut itu nyaris mengerucut. Menuju kesatu titik, sudut kesepian.

Kususuri setiap helai rambutnya, yang menyembul kusut masai di balik kerudung gelapnya. Kuurai dan kusisiri dengan jemariku disertai lantunan lagu dari dalam lubuk hatiku. Dendang seorang ibu yang menimang anaknya, mengharap mereka tenteram bersama irama gita yang lembut. Ave Maria! Perempuan itu sumber cinta kasih. Dimana buaian adalah kedua tangan halusnya.

-ad-

Lalu perempuan desa itu menumpahkan semua bebannya. Mencari penawar disetiap bujuk rayuku. Mencoba mengerti arti kini dan kesehariannya.

Mata itu terpejam. Kemudian membiarkan bola-bola matanya lari sendiri. Kesegala arah yang kutunjukkan. Juga mindanya mengunyah, menggigiti kata-kataku. Yang mengalir satu arah. Sama gencarnya dengan derai sungai di musim penghujan yang digelontorkan alam dari hilirnya di pegunungan sana.

Terkuak sudah pintu jeruji yang selalu dielusnya dalam sapuan kain basah air mata kerinduan. Nafaskupun mulai teratur mendengkur bersama diriku yang terbaring tidur. Mendekapnya. Perempuan desa yang tak berdaya. Serta menghembuskan nafas lembut kehidupan. Dunia jadi tenang, namun tak temaram. Kerjap bintang di langit sana ada mencurahkan sinarnya meski hanya sepercik. Menebar senyum, bersama rembulan yang mengangguk-angguk keletah.

-ad-

Perempuan itu melanjutkan jalannya. Di sisiku belaka. Dengan kepala separuh tengadah, meski sigap menangkap kerikil dan bebatuan yang mneyerak tak beraturan di bumi Allah.

Tapi, manusia tetaplah budak nafsu jua. Walau tak kering mulut bertasbih jiwa melambungkan doa. Jika tak kuat biduk dikayuh, tak cukup baik dia dibangun, maka karang di lautan siap menahan. Memurukkannya ke pusaran sepi dan kebimbangan.

Maka tak ada cerita lain. Selain kulepas dia dari genggamanku. Perempuan desa sederhana itu. Yang seperti pohon sengon di pinggir tegalan di kampung kakekku. Menjemput semua kemauannya yang diaturnya sendiri.

Kututup pintu hatiku. Kukunci pintu rumahku. Tanpa kehalusan tanganku yang dulu pernah kupakai membukanya untuk menyambut si perempuan desa.

Disana, di kejauhan, di luar pagar rumahku, tak dalam bentangan tanganku, perempuan itu berjalan seorang diri. Mengikuti nafsunya, meninggalkanku. Entah kemana, ke arah yang tak terbaca sebab dia adalah dirinya yang papa.

Selamat jalan perempuan desa, yang terlempar bersama putaran nasib. Dan tak hendak kuentaskan. Jemputlah dirimu di terminal impianmu sesaat. Yang tak jelas menjanjikan apa-apa untuk masa depanmu. Sampai jumpa, seandainya takdir kita mengarah ke satu titik yang sama, pertemuan dan petemuan berikutnya. Tetapi mungkinkah itu?

(KISAH SUMIATI PEREMPUAN PRIANGAN YANG TERHANYUTKAN NAFSU)

Bishopscourt, awal musim panas 2008.

Minggu, 19 Oktober 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU (VIII)

Anakku "Si bebek jelek" kembali ke hatiku. Menyusup ke dalam ingatan melalui SMS-SMSnya yang selalu menggoda dan datang tiba-tiba.

Aku sedang makan siang berdua dengan adiknya, si bungsu Yadi yang lebih populer dengan nama Harry hasil "tahbisan" kawan-kawannya. Setengah jam yang lalu dia baru mengabariku bahwa ayahnya sudah tiba di Bandung dalam perjalanan dinas semi wisata budaya bersama serombongan masyrakat Afrika Selatan yang mengaku keturunan Indonesia. Kini giliran ponsel Harry yang bergetar. "Mandow-Mandow......." pancingnya mengundang senyum sebab diikuti sebaris kata yang mengungkit kenangan silam. Sebetulnya iseng-iseng yang tak berarti, tapi justru membuat kami senantiasa merasa dekat satu sama lain.

Harry tersenyum-senyum sendiri selagi aku penasaran. "Apa sih dik?" tanyaku. Senyum itu terus saja mengembang. "Dari salah satu di antara dua tetamu hatimu ya?" desakku lagi. Kali ini sambil meneliti setiap tarikan bibirnya. Biasanya dia akan membuat gerakan khas jika dia menyembunyikan sesuatu yang menggairahkan hatinya.

Diulurkannya ponsel itu padaku. "Si Mas mulai gila lagi, kangen kita rupanya," jawab si bungsu sambil mengunyah nasi berteman asem-asem dan tahu goreng di piringnya,

Aku meraih dan membacanya. Tak urung aku ikut juga tersenyum sambil membayangkan saat itu. Hampir sepuluh tahun yang lalu ketika kami tinggal di Belgia.

-ad-

Dia kami sekolahkan di dekat rumah pada sekolah lokal berbahasa Perancis. Sebetulnya dia mengharapkan bersekolah di sekolah berbahasa Belanda mengingat pengalaman dasarnya bersekolah dalam Bahasa Jerman. Tentu berdua dengan adiknya. Tapi ayahnya bersikeras untuk memberi mereka Bahasa Perancis sebagai modal hidup kelak.

Kedatangan kami sungguh di waktu yang salah. Indonesia di awal masa krisis. Kondisi politik dan ekonomi porak poranda menyisakan banyak masalah. Lebih dari dua ratus staff pada Perwakilan-Perwakilan RI di Luar Negeri ditarik kembali ke Jakarta, sementara entah apa sebabnya suamiku justru ditugaskan ke Belgia untuk menggantikan dua Kepala Bidang yang pulang tiba-tiba itu. Suatu berkah yang tiada terkira, sehingga kami selamat dari ketakutan dan kesulitan yang menghantui setiap rakyat Indonesia. Ajaibnya, suamikulah salah satu di antara dua orang yang terakhir diberangkatkan ke pos di luar negeri.

-ad-

Tunjangan pegawai dan segala kemungkinan pinjaman dana bagi staff baru tiba-tiba harus dipotong. Akibatnya kami hanya sanggup menyekolahkan anak-anak ke sekolah lokal dan mencari rumah yang bisa dipakai berhemat. Maksudnya, dekat dengan kendaraan umum sehingga memudahkan kegiatan kami keluar rumah tanpa harus memiliki mobil. Selain itu pusat perbelanjaan dan pasar serta dokter juga harus berada dalam jarak tempuh kaki-kaki kami sehingga kami dapat memenuhi segala kebutuhan dasar dengan mudah.

Hanya "La Fermette-2000"lah sekolah lokal yang mudah dijangkau serta bersedia menerima anak-anak kami. Syaratnya, mereka harus segera masuk dan langsung mengikuti semua kegiatan belajar-mengajar yang sudah separuh jalan pada bulan Februari itu.

Andriarto di kelas 5 dan Haryadi di kelas 2 SD. Bersama mereka ada tiga murid Indonesia lainnya, kakak-beradik putra kolega kami yang sudah masuk beberapa bulan lebih awal. Hanya yang kedua yang berteman dengan anak kami, sebab dia seumuran dan kebetulan didudukkan sekelas dengan Harry.

Mr. Willy Nouten, lelaki paruh baya yang mengepalai sekolah tersebut menerima kami dengan baik dan sangat terkesan akan sikap anak-anak kami yang dianggapnya santun. "Kalian sangat menghormati saya," katanya ketika anak-anak kami mencium tangannya takzim. "Disini kebiasaan mencium tangan dilakukan oleh seorang lelaki kepada perempuan yang dikaguminya," sambungnya lagi sambil tertawa ketika kami jelaskan bahwa adat kebiasaan di negeri kami adalah mencium tangan para guru di setiap pertemuan.

Andri didudukkan di kelas 5B persis seperti kelasnya di Indonesia. Gurunya juga seorang perempuan yang lembut keibuan, ibu dari salah seorang murid kelas 5A. Beliau menyertai anak kami dengan sabar ketika seminggu setelah diterima di kelasnya mereka melaksanakan karya wisata tahunan ke luar kota selama seminggu. Pasalnya, anak kami belum bisa berbahasa Perancis dan masih diserang jet lag akibat perbedaan waktu antara Indonesia dengan Belgia.

Masih kuingat betapa air mata itu menggantung di pelupuk mata anak lelakiku saat bus sekolah membawanya pergi ke Niewpoort di laut utara untuk mendalami masalah biota laut dan kehidupan masyarakat pantai. Aku sendiri nyaris menangis sebab membayangkan diriku yang bodoh ini menjadi dirinya. Tapi, suntikkan kekuatan dari suamiku memaksaku untuk tegar. Maka kusunggingkan senyum mengiringi lambaian tangan yang memisahkannya dari pelukanku.

Ketika dia pulang di akhir pekan, segudang pengalaman diceritakannya. Bagaimana guru-guru di Belgia begitu memperhatikan murid dan benar-benar menyebarkan ilmu pengetahuan sambil membimbing, "Aku sekarang tahu bagaimana air laut dirposes agar tidak terasa asin dan siap untuk digunakan sehari-hari," ceritanya sambil berjalan menyeret kopor kecilnya ke rumah. Dinginnya penghujung winter dilawannya dengan langkah tergesa di balik long-john dan sweater tebal yang mendasari jacketnya.

"Gurumu yang menjelaskannya?" tanyaku menyemangati. "Ya, juga dari penjelasan pengelola air itu sekalipun aku mendengarkannya separuh tertidur," jawabnya. Menurut anakku dia mendapat penjelasan rinci dari Ingrid Orbaen -begitu guru itu ingin disebut-, sebab bu guru memahami jet lag yang masih menyertai minggu-minggu awal anakku di Belgia.

Sayang seperti semua orang tahu, Bahasa Perancis yang eksotik itu tak mudah diikuti. Sehingga kedua anakku tak naik kelas kemudian, namun kami mengistilahkannya diminta mengulang di kelas yang sama untuk memperdalam dan memperlancar Bahasa Perancis mereka aggar mereka tak terlalu kecewa.

Andriku tampak murung. Namun kubimbing ia untuk mengerti keadaannya dan mau meyiasati nasib dengan tekun belajar. Kuantarkan dia mengikuti kursus intensif Bahasa Perancis di sebuah lembaga kursus bersama banyak orang dewasa pendatang baru. Aku sendiri lebih memilih menahan keinginan dan menyalurkan penghasilan suamiku yang kini berkurang secara signifikan untuk kebutuhan kedua anak-anakku saja.

Hasilnya nampak nyata. Andriku mulai lancar berbahasa Perancis serta dapat membimbing adiknya menyelesaikan PR dan PSnya. Hatiku berbunga-bunga penuh harap padanya. Diapun mulai yakin bahwa dirinya tidaklah sebodoh yang dikira, kecuali dalam pelajaran hitungan. Bahkan pada tahun keduanya di kelas lima, dia berubah jadi salah satu murid yang diakui di kelasnya.

Di kelas enam gurunya yang itu-itu juga menobatkannya sebagai murid peraih nilai terbaik untuk pelajaran dikte Bahasa Perancis, sehingga dia diminta mewakili daerah tempat tinggal kami ke lomba di tingkat kota. Setengah tak percaya aku mendatangi gurunya, Dan sebagai jawabannya, bu guru memperlihatkan berkas-berkas penilaian yang menunjukkan nilai nyaris seratus untuk anakku.

Sayang dia kemudian gagal di tingkat kota, karena peserta lainnya adalah murid Belgia asli atau pendatang-pendatang lama. Tetapi hati kami tetaplah berbunga-bunga, Ini jadi satu catatan tersendiri yang mengesankan dalam hidup anakku. Lebih-lebih lagi dia pergi ke lokasi lomba dengan diantar dan ditunggui sendiri oleh bu guru.

-ad-

Di masa itulah kedewasaannya tumbuh dan terasah. Di saat kami harus bergumul melawan kondisi keunagan yang menurun dan kesibukan kerja ayahnya yang serba tak kenal waktu.

Saat itu beberapa pos jabatan kosong hampir serentak, sebab pemerintah pusat tak mengirimkan pejabat pengganti dari Jakarta. Dan di tengah minimnya jumlah personal, pimpinan kantor menugaskan suamiku untuk merangkap empat jabatan sekaligus. Akibatnya dia kerap pulang laurt malam dan menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri. Entah di muka komputer, entah dalam diam yang tak berkesudahan.

Dalam situasi itu muncullah si kecil, dewa penyelamat kami. Dengan kepolosannya Andri dan Harry mempertanyakan kepada ayahnya kapan akan punya waktu untuk kami. Atau lain kali dia mengkhawatirkan kami bermusuhan, sebab nyaris tak ada lagi percakapan dan senda gurau yang biasa mewarnai kebersamaan kami suami-istri.

"Akankah terjadi pertengkaran yang berakhir dengan perpisahan jika sepasang suami-istri tidak pernah lagi saling menyapa dan melontarkan gurauan?" tanya mereka polos ketika kami berjalan beriringan pulang sekolah. Andri mendahului aku dan adiknya, menunduk menatap aspal jalanan dengan suara bergetar. Harry menggenggam tanganku erat-erat seakan-akan takut berpisah.

Aku tertegun mendengar perkataannya yang tiba-tiba menyentakkan aku dari mimpi buruk yang sedang menghadang perjalanan hidup kami. Semua kusimpan sampai di rumah, di atas pembaringan kami ketika malam mulai merayap meninggalkan matahari di langit sana. Ada bulan yang mengintai di sela-sela tirai seakan menyemangati kami bahwa kebersamaan dan kebahagiaan kami tak akan pernah berakhir.

Suamiku merangkulku dan meraihnya ke dadanya. Dalam hembusan nafasnya dia berbisik minta pengertian. Permainan nasib dan keadaan umumlah yang menyembunyikannya jauh dari kehidupan keseharian kami. Aku tak kuasa membantah. Dia benar semata. Maka ketika kami menemani buah hati kami mengisi perut sebelum sekolah, kusampaikan perkataan suamiku.

Dua kepala kecil itu saling pandang. Sekali padaku, lalu pada ayahnya. Habis itu mereka bertukar pandang dan menunduk tanpa bicara menghabiskan suapan-suapan nasi mereka.

Ayahnya angkat bicara meyakinkan. Dan sejak itu mereka mulai bisa menerima nasib tanpa meratap lagi. Lalu keluarlah kerceriaan mereka, terutama Andriku yang memang gemar memparodikan segala keadaan. "Mandow-Mandow....." itulah antara lain celotehan ngawurnya yang justru sering meredakan ketegangan batinku seperti saat ini ketika suamiku jauh dari kami untuk suatu tugas mulia mempersatukan dua tulang yang terpisah berabad-abad lamanya. Lalu akupun turut tersenyum bersama bayangan Andri di ponsel itu.

Sabtu, 18 Oktober 2008

KLEPON

Description:
Ini jajanan tradisional yang di kampungku cuma dijajakan di gerobak dorong di sore hari seakan-akan disiapkan untuk tea time. Di sampingnya ada lupis dan kue putu walaupun sering-seringnya si kue putu ini jalan sendiri keliling kampung dipanggul di bahu pedagangnya sambil "bernyanyi" tuuuuuiiiiiiit....... dari cerobong bumbung bambunya.

Setidak-tidaknya sekarang aku mau bicara klepon saja dulu untuk membangkitkan kembali gairah bikin jajanan mbakyuku tercinta, Ambarini Hartomo di Bulgaria sana.

Ingredients:
BAHAN : 300 gram tepung ketan, setengah sdt garam halus, pewarna hijau atau biasanya saya pakai sedikit pasta pandan, 170 ml air dingin, 100 gram gula jawa disisir halus atau gula palem (yang buatan Thailand itu). Ini semua adalah bahan dasar pembuatan kleponnya.

Dilengkapi dengan kelapa parut yang digarami serta dikukus dulu supaya tidak mudah basi.

Directions:
CARA MEMBUAT : 1. Campur tepung ketan, garam dan pewrna kue sampai rata. 2. Tuangkan air berdikit-dikit sampai adonan jadi kalis. 3. Bulat-bulatkan adonan sebesar duku dengan menaruh sejumput gula merah di tengah-tengahnya. (Adonan jangan kebesaran, nanti dikira makanan Malaysia atau Singapura yang rasa dan modelnya persis sama, hanya istilahnya beda yaitu onde-onde Melaka karena besarnya sebesar onde-onde kita). Di Malaysia dan Singapura, apa yang kita namakan onde-onde justru berubah nama jadi onde-onde bijan (wijen). 5. Rebus kue yang sudah siap tadi hingga matang. 6. Tiriskan lalu diguling-gulingkan ke kelapa parut sebelum siap disantap.

Jumat, 17 Oktober 2008

CENIL

Description:
Di negeri tempatku bermukim sekarang sudah jam sebelas malam. Dingin mulai menusuk tulang, menjalar lewat kaki yang tak berbalut kasut. Aku tiba-tiba teringat secangkir kopi tubruk. Lalu terbayang makanan kampung ibuku yang sederhana namun khas.

Kerinduan itu memuncak. Memaksaku untuk mengingat-ingat kembali resepnya dengan tekad besok pagi aku akan ke dapur membuatnya. Insya Allah.

Ingredients:
Bahan : 300 gram kanji, 100 ml air mendidih, 10 sdm air dingin dan pewarna kue merah, serta hijau, (ini semua bahan dasar pembuatan cenil),

Cenil ini dimakan dengan parutan kelapa dan gula baik gula merah dibuat syrup (juruh) kental maupun taburan gula pasir.

Directions:
Cara membuat : 1. Ambil 2 sdm kanji dilarutkan dengan 10 sdm air dingin itu tadi. 2. Aduk-aduk kanji-air tadi sampai rata. 3. Tuangkan 100 ml air mendidih ke kanji tadi. 4. Aduk-aduk rata lagi, baru ditambahkan seluruh tepung kanji sisanya sambil terus diuleni hingga rata dan bisa dibentuk.
5. Bagi adonan jadi tiga. Yang satu dibiarkan putih, yang dua lagi diberi pewarna masing-masing merah dan hijau. Aduk hingga warnanya tercampur rata. 6. Sudah itu digiling-giling dengan tangan kira-kira jadi sebesar jari, lalu dipotong-potong seruas jari. 7. Terakhir rebus adonan ini dalam air mendidih hingga mengapung sebagai tanda sudah matang. Tiriskan dulu sebelum disantap. Waktu menyantap taburi parutan kelapa yang digarami dan syrup gula jawa yang kental (juruh) atau gula pasir (tergantung selera).

Minggu, 12 Oktober 2008

NAGASARI

Description:
Kue ini sering juga disebut kue pisang, sebab memang diisi dengan pisang di dalamnya.

Ingredients:
Bahan : 200 gram tepung beras, 200 ml santan kental, 600 ml santan encer, 250 gram gula pasir, 2 lembar daun pandan atau pandan essence, setengah sendok teh garam halus, pisang (pakai pisang apa saja yang ada), alumunium foil sebagai ganti daun untuk pembungkus.

Directions:
Cara membuat : 1. Larutkan tepung beras dengan 200 ml santan kental, aduk rata dan sisihkan.

2. Panaskan santan encer bersama gula, daun pandan atau pandan essence serta garam. Masak hingga mendidih lalu saring.

3. Tambahkan teung beras yang tadi sudah dilarutkan ke dalam santan panas itu, diaduk rata dan didihkan lagi hingga setengah matang. Angkatlah.

4. Ambil pembungkusnya, masukkan satu sendok adonan tadi, beri sepotong pisang, titip dengan sesendok adonan lagi, lalu bungkusi.

5. Kalau sudah terbungkus semua kukus dengan api besar selama kira-kira setengah jam sampai matang.

KUE LAPIS

Description:
Kue lapis ada dua macam, ada yang terbuat dri tepung beras, ada yang dari kanji. Tapi sebetulnya namanya beda. Yang dari kanji disebut kue pepe.
Yang dari tepung beraspun tetap dicampur kanji supaya agak kenyal, tapi iniah sebetulnya yang disebut kue lapis.

Ingredients:
Bahan : 1500 santan kelapa kental, 500 gram gula pasir, 2 lembar daun pandan atau pandan essence (beli di toko Thailand), setengah sendok teh garam halus, 400 gram tepung beras, 200 gram tepung kanji, pewarna kue.

Directions:
Cara membuat : 1. Rebus santan dengan gula pasir, garam dan pandan sambil diaduk-aduk hingga mendidih. Setelah mendidih, saring. Disisihkan dulu.

2. Campur tepung beras dengan kanji (tapioka) lalu diaduk rata. Setelah itu baru dituangi santan yang sudah hangat berdikit-dikit sambil diuleni terus hingga jadi adonan yang licin.

3. Bagi adonan jadi dua. Yang sebagian diberi pewarna kue sesukanya. Aduk-aduk dulu supaya warnanya rata.

4. Panaskan air di dandang, masukkan loyang ke dandang dengan diolesi minyak lebih dulu dan dialasi plastik. Biarkan sampai loyangnya panas.

5. Masukkan adonan berselang-seling selapis demi selapis dengan antara waktu lima menit supaya adonan pertama mengeras dulu. Kalau sudah habis semua, baru dikukus kira-kira sejam lagi sampai matang betul.

6. Dipotong-potong setelah kuenya dingin. Kalau masih panas tidak bisa bagus.

KUE MANGKUK GAYA BARU

Description:
Resep ini tertuju kepada adinda Prapti Utami Sutanto di Brussels yang kangen jajan pasar. Tapi siapapun boleh mengaksesnya. Silahkan.

Kue mangkuk ini tidak perlu memakai tape, cukup dengan yeast.

Ingredients:
Bahan : 450 gram tepung beras, 50 gram tepung kanji, sebungkus yeast (=fermipan), 200 gram gula pasir, 150 gram air suam-suam kuku, 400 gram air biasa.

Directions:
Cara membuat : 1. Mula-mula rendam yeast dengan satu sendok teh gula pasir memakai air suam-suam kuku sampai naik dan berbusa kira-kira seperempat jam.

2. Aduk-aduk air yeast, lalu dpakai menguleni 150 gram tepung beras. Kemudian diamkan dulu sampai melar, kira-kira sejam.

3. Tambahkan sisa tepung beras, kanji dan gula pasirnya sambil menuangkan air berdikit-dikit sampai habis semua dan jadi adonan yang cair.

4. Saring dengan ayakan, kemudian diamkan lagi sampai kembali berbusa. Kalau mau wangi bubuhi vanilla atau pakai pasta pandan.

5. Siapkan dandang yang diisi air sampai mendidih pada bagian dasarnya.

6. Taruh mangkuk cetakan kuenya di dndang mendidih tadi, lalu isilah penuh-penuh dengan adonan yang sudah diaduk terlebih dulu supaya tidak ada endapan. Kukuslah (biasanya tutupnya dilapisi serbet supaya uapnya tidak menetes ke kue). Sebelum sepuluh menit jangan dibuka supaya bagus jadinya. Kue terus dimasak selama setengah jam-an, pasti sudah matang.

Sabtu, 04 Oktober 2008

AKU TERHANYUT DALAM LAUTAN CINTAMU

Ya Allah, aku telah terhanyut dalam lautan cintaMu. Kupastikan diriku sedang bahagia. Semua kerabatku berkumpul, memberi maaf padaku. Dan aku sendiri meminta maaf mereka serta merenungi apa yang telah lalu. Terasa betapa Kau dekat padaku. Dan kedekatan itu membuahkan kebahagaiaan dan kebanggaan bahwasannya aku sekarang sudah menjadi muslimah yang lebih baik daripada dulu.

Genap setahun ini aku menutup aurat. Peristiwa itu terjadi Ramadhan tahun lalu. Begitu saja, seakan-akan peringatan Allah padaku.

Di rumahku aku mempunyai hubungan dengan seorang tenaga ahli pemeliharaan jaringan listrik. Seorang lelaki lokal, dari ras Cape Malay. Namanya tak perlu kusebutkan disini. Tapi yang jelas dia menyandang harkat sebagai hamba Allah juga sebagaimana kami seisi rumah.

Hari itu masih pagi. Aku keluar dari kamar untuk memastikan kegiatan di dapur sudah berlangsung. Di pintu dapur aku bersirobok dengannya. Lelaki paruh baya yang jelas lebih muda dariku itu segera menyapaku. Tapi dengan senyumannya yang "nakal" dan matanya yang "liar". Biji jakunnyapun menonjol naik-turun ketika menyaksikanku berdiri dibalut rok dan kemeja batik lengan panjang yang kupadu padankan dengan kalung batu.

"Wow, Julie! You look so beautiful. Gorgeous! Masha Allah! " serunya sambil menatap lekat padaku. Biji matanya membulat seperti hendak keluar.

"Julie, teach me your bahasa, so I can go to Indonesia. Fetch me a wife justt like you, please," katanya lagi nakal sekali. Padahal konon dia sudah beristri tiga orang.

Gemetar aku dibuatnya. Jijik yang sangat segera merajai diriku. Dengan menjawab terima kasih kutinggalkan dia masuk kembali ke dalam rumah. Kakiku melangkah gemetaran. Seumur hidupku tak pernah ada lelaki lain yang berani berkata seperti itu selain mas Dj bapaknya anak-anakku.

Aku mematut diri di cermin kamarku. Tak ada yang salah disana. Wajahku masih yang biasanya. Dengan rambut terurai sebahu serta pulasan bedak Venus buatan Indonesia dan sedikit perona pipi. Gincukupun masih yang itu-itu saja, Revlon warna natural yang nyaris tak nampak di bibir. Lalu apa yang salah padaku? Aku menghela nafas tegas mengusir semua kemarahanku.

Lelaki itu tak berani lagi mencariku. Dan hari itu lalu begitu saja tanpa laporan apa-apa darinya padaku sebagaimana seharusnya.

-ad-

Jilbab itu kemudian bertengger di kepalaku, keluar dari sarangnya di laci lemari baju kami. Pertama aku mengenakannya, aku minta ijin dulu kepada suami dan anak-anakku. Semua mengatakan tidak berkeberatan, sebab hanya aku yang tahu bagaimana sepatutnya aku melindungi diri.

Dan sejak itu dia tak lagi berani menegurku dengan sembrono. Dia hanya menganggukkan kepala sambil mengucap assalamualaikum sewajarnya. Bahkan atas laporanku, suamiku tidak mau lagi menggunakan jasanya. Dia berlalu dari kehidupan kami begitu saja.

Kejadian itu setahun yang lalu. Tepat ketika Ramadhan mulia bertandang pada kami. Nikmatnya mengikuti belakangan. Para saudara seiman selalu menegurku dengan salam yang sopan serta mengajak berbasi-basi di setiap kesempatan. Bahkan sejak saat itu dapurku selalu terisi hidangan halaal berkat pemberitahuan mereka.

Di toko-toko selalu saja ada yang mengira aku perempuan Malaysia yang butuh daging halaal, Dan untuk itu mereka rela menunjukkan tempatnya, Bahkan ketika terjebak minuman beralkohol di pesta-pesta orang kulit putih, mereka jugalah yang mengingatkanku untuk tidak menyentuhnya bahkan kemudian menggantinya dengan minuman ringan tanpa kuminta.

Ya Allah, hidupku nikmat sesudahnya. Kau ada di sisiku selalu. Kau tuntun aku dengan jiwa dan ragaMu yang menitis di setiap hati insan yang iman. Kau dekap aku dengan kalimat-kalimat suciMu yang terus mengiang dari Kitab-KitabMu. Subhanallah! Kau sungguh Maha Sempurna untuk menyempurnakan kehidupanku yang tiada sempurna.

-ad-

Hari ini, di beningnya embun pagi yang turun pada kelopak-kelopak bunga di halaman rumahku aku dapat berkaca jelas. Bahwa Kau ada disini, di rumahku, pada setiap jengkal tanah yang kuinjak.

Juga ketika gema takbir diagung-agungkan orang di dalam masjid, aku bisa menangkap bayang-bayangMu, Kau juga nampak di mana-mana, pada setiap apa yang kulihat. Di baju-baju bersih para pendoa yang saleh. Di telekung-telekung perempuan yang shalihah dan duduk mengukir doa pujian.

Kemudian ketika tiba saatnya kami bermaafan, kau juga hadir. Pada setiap tangkup telapak tangan yang menggenggamkan persahabatan. Pada setangkup bibir yang menggumamkan keindahan sebuah persaudaraan. Juga pada jemari para ibu yang menyiapkan hidangan di dapur untuk dibawa ke meja makan. Serta kulihat juga dirimu ya Allah, di kantung-kantung plastik makanan anak-anak serta kantung uang yang diselipkan di saku-saku baju mereka.

Maka, kupakai mulut ini untuk menyapaMu. Dengan sebentuk doa kesyukuran serta serangkai nasyid pujian. Semoga suaraku melambung ke langit, dan Engkau menangkap gemanya di angkasa sana.

Selamat idul Fitri. Dari suci kita kembali kepada kesucian belaka. Semoga hari mulia ini membawa kebaikan bagiku selamanya. Lalu kucium bayang-bayangMu yang menera di hamparan tikar sembahyangku. Aku bersyukur telah diijinkan untuk memilikiMu selamanya.

Pita Pink