Powered By Blogger

Selasa, 30 Oktober 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (12)

Sungguh merana jadi orang yang tidak mandiri secara finansial, lalu sakit pula. Apalagi penyakit kanker. Seperti yang saya lihat dan saya amati, pasiennya kebanyakan sakit berlama-lama. Pengobatannya memerlukan peralatan yang tak bisa dioperasikan sendiri di rumah. Sehingga pasien mesti berangkat ke rumah sakit yang artinya biaya pengobatannya tak sedikit, sebab banyak komponen biaya yang mesti dibayarkan untuk itu.

Banyak orang menganggap sakit di luar negeri meski mahal tapi lebih akurat diagnosanya dan lebih cepat sembuhnya. Tak bisa dikatakan tidak, itu memang terjadi. Sayang yang lama sembuh bahkan penyakitnya meruyak hingga nyawanya tak tertolong lagi pun sudah tak terbilang. Itu menimpa teman saya yang sedang mengikuti penugasan suaminya di Singapura.

Setiap tahun setiap PNS RI dan pejabat BUMN RI yang ditugaskan di Singapura diminta memeriksakan kesehatan mereka di rumah sakit. Dananya tentu saja dibiayai asuransi kesehatan yang memang wajib diikuti oleh setiap orang. Dengan ikut asuransi memang sedikit banyaknya pengobatan kita diringankan. Itu sebabnya asuransi dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kami semua.

Salah seorang teman saya berusia sekitar 46 tahun kembali dengan hasil pemeriksaan tahunan yang mengejutkan. Dia dicurigai menderita tumor paru-paru yang ketika dibiopsi hasilnya menunjukkan keganasan. Sehari-hari, dia yang bersuamikan bankir tidak terpapar asap rokok karena suaminya tidak merokok di dalam rumah mereka, mengingat anaknya tiga orang masih belum ada yang dewasa. Si sulung pemuda yang baru berumur enam belas tahun pun tidak mengenal rokok. Adapun kegiatannya sehari-hari selain mengurus rumah tangga juga menjadi instruktur senam bagi kalangan teman-temannya sendiri. Sedangkan olah raga yang rutin ditekuninya adalah bowling seminggu sekali, juga bersama teman-temannya. Apa yang kurang sehat dalam irama kehidupan teman saya ini, tak jelas benar adanya. Sehingga ketika dia selesai melakukan general check up dengan hasil yang tidak baik tentu amat mengganggu pikiran dan perasaan kami.

 ***

Teman ini kemudian berobat di rumah sakit langganan kami menuruti kemudahan yang bisa kami peroleh. Di rumah sakit itu selain tidak terlalu besar dan hiruk pikuk tapi peralatannya cukup lengkap, kami akan didampingi oleh seorang penghubung pasien yang berkebangsaan Indonesia untuk memudahkan komunikasi kami. Sebetulnya bukannya kami tak bisa bercakap dalam bahasa Inggris, melainkan bahasa Inggris logat Melayu mereka (Singlish) yang dicampuri banyak terminologi medis sering membuat kami berpikir keras. Itulah pentingnya seorang perantara yang biasa diistilahkan sebagai "Liaison Officer" (LO) itu.

Pasien ini hanya menerima regimen kemoterapi dan radioterapi saja, tanpa diharuskan dibedah. Teman-teman yang menjenguk merasa cukup heran sebab kami memang tak tahu sendiri seberapa parah penyakitnya. Sehari-hari teman kami tak pernah batuk-batuk, namun tak dapat disangkal, dia kerap kali kelihatan menarik nafas dalam-dalam jika tengah berbicara, atau lebih sering ketika tengah mengaji Qur'an. Tapi dari LO didapat penjelasan bahwa dokter menganggap pengobatan dengan kemoterapi yang diperkuat radioterapi juga sudah cukup. Memang dikatakan dokter, pada beberapa kasus diperlukan operasi pengambilan jaringan yang terkena sakit di paru-paru pasien.

Lamanya kemoterapi dan radioterapi teman saya ini cukup menggelisahkan. Semula tentu saja kami berharap bisa meringankan penyakitnya. Tetapi kenyataannya, diketahui penyakitnya telah menyebar (metastase) hingga ke area hatinya. Meski demikian, teman kami ini tetap nampak prima dan sigap mendatangi setiap perkumpulan yang kami adakan terutama mengaji seminggu sekali. Bahkan ketika dia menjadi tuan rumah kami, hidangan lezat yang berasal dari tangannya masih tersaji dengan sempurna sebagaimana dulu ketika dirinya masih sehat.

Sehubungan dengan selesainya masa tugas suaminya di Singapura, teman kami ini kembali ke Indonesia. Pengobatannya dilanjutkan di Jakarta pada sebuah rumah sakit milik BUMN. Tapi secara berkala dia tetap memeriksakan diri kepada dokter yang merawatnya di Singapura. Sayang kondisinya tidak kunjung membaik, bahkan teman saya ini akhirnya kehilangan kesadarannya. 

Dengan segala kemampuan yang ada, suaminya memindahkan perawatannya ke Singapura pada rumah sakit lainnya. Di sana dokter yang memeriksa mendapati pasien sudah berada pada stadium akhir karena tumor pada hatinya sudah sedemikian parah, sedangkan di titik-titik lain tubuhnya telah ditemukan penyebaran termasuk di otaknya. 

Terus terang saja seluruh biaya pengobatan itu tidak ditanggung negara, tidak ditanggung kantor suaminya sehingga terasa amat memberatkan. Sudahlah demikian, keterlambatan diagnosa yang ditegakkan dokter yang terakhir merawatnya membuat semua upaya yang ditempuh jadi sia-sia. Akhirnya teman saya tidak tertolong lagi. Dia menghembuskan nafasnya di usia yang belum lagi separuh abad. Ketika saya berkontak dengannya melalui teman-teman yang sedang menengok di Singapura, dikabarkan dia masih bisa mengingat-ingat siapa saya. Sayang memorinya terbatas juga kesadarannya hilang-timbul, sehingga dia tak mampu lagi bicara jelas. Itulah akhir daripada pertemanan kami. Antara saya dan dia, teman yang tak pernah lupa untuk saling mendoakan dan menjadi penopang di kala lelah menghadapi penyakit kami. Selanjutnya sering tergambar di pelupuk mata saya senyumnya yang manis sedang berdiri di sisi ranjang tidur saya bahkan di area ICU Raffles Hospital ketika menyemangati saya untuk berjuang menuju kesembuhan. Hanya Allah kiranya yang tahu sampai di mana kemampuan manusia mengobati seseorang. Dan hanya Allah juga yang tahu sejauh mana kita akan terus mengelana di muka bumi ini. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

(Bersambung)

Jumat, 26 Oktober 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (11)

Serangkaian operasi yang saya ceritakan di jurnal sebelum ini semuanya tergolong operasi besar. Begitu penjelasan dokter kebidanan dan kandungan yang menolong saya, maupun dokter paru-paru yang rutin memantau kondisi asthma saya. Dokter bedah yang kemudian juga ikut menangani saya dalam pembedahan darurat untuk membuang usus saya yang membusuk, juga sepaham. Karenanya setiap habis dioperasi, saya diharuskan beristirahat total sekitar enam minggu, bahkan terkadang lebih lama lagi. Itu semua tergantung dari kondisi saya pasca perawatan di rumah sakit.

Waktu itu sebagai istri pegawai negeri yang bertugas mengayomi masyarakat Indonesia di luar negeri, saya sering sekali kena protes teman-teman saya sendiri. Pasalnya pekerjaan kami sangat banyak dengan tingkat urgensi dan kepentingan yang tinggi, meski kami cuma pendamping para diplomat. Susahnya beberapa orang teman saya pernah menjalani operasi kandungan juga, karena itu mereka tak habis pikir bagaimana mungkin setiap tahun saya harus masuk rumah sakit dan mengambil cuti sakit begitu lama padahal mereka tidak. Biasanya mereka cuma tinggal satu dua malam di rumah sakit, lalu beristirahat di rumah satu dua minggu saja. Dan sakit mereka itu pun tidak datang berulang seperti yang saya alami.

Sulit juga untuk saya sebagai orang awam menjelaskan keadaan saya kepada sesama orang awam. Karenanya saya jadi sering merasa serba salah bahkan tersingkir dari lingkungan saya sendiri. Rasanya? Bukan senang saudara-saudaraku, malah tidak enak hati. Sebab kalau ada sesuatu yang besar dan layak segera diketahui, maka saya akan menjadi orang terakhir yang tahu di lingkungan kami. Cukup menyedihkan, bukan?

Di masa-masa sakit itu, saya bahkan pernah tidak mampu untuk mengangkat sebuah piring hidangan. Bayangkan, ketika sedang bekerja beramai-ramai untuk mempersiapkan jamuan makan kunjungan Kepala Negara ke negara penugasan mantan suami, tiba-tiba piring di tangan saya serasa menghunjam perut saya. Rasanya nyeri bukan main sehingga makanan di atas piring tertumpah semua. Untung piring itu masih tetap saya genggam. Akibatnya, belalakan mata teman-teman saya menyingkirkan saya dari arena kerja itu. Lalu saya diistirahatkan di tengah ruangan duduk seorang diri seakan-akan pengawas alias mandor kerja. Nah, seandainya anda menjadi seperti saya apa rasanya coba? Saya terka pasti malu, tidak enak hati dan semacam itu. Itulah yang terjadi pada saya.

Juga ketika saya ingin memuaskan nafsu baca saya di atas pembaringan  karena totally bed rest adalah keharusan yang tidak boleh saya langgar, buku yang saya pegang itu juga seperti mata pisau tajam yang menghunjam menyakitkan luka bekas operasi. Akhirnya saya cuma bisa membaca tabloid-tabloid tipis yang nyaris tak ada isinya selain gossips belaka. Dan itu menjadi luka baru, luka lain lagi pada diri saya, karena berwujud luka batin. Akhirnya dengan menguatkan diri saya melanggar nasehat dokter, duduk di muka komputer pribadi saya dan berselancar sambil menjulurkan kaki hingga tubuh saya kembali menyerah minta ditidurkan. Begitulah biasanya berlangsung berlama-lama pada diri saya.

Satu peristiwa yang tak pernah terhapus dari ingatan adalah, saya mengalami pendarahan karena saya memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur menyambut kedatangan Kepala Negara RI dalam kunjungan kerjanya di suatu masa dulu. Tapi alhamdulillah pendarahan berhenti setelah saya diasingkan kembali di rumah sakit selama tiga hari diikuti oleh istirahat total sepenuhnya di rumah yang terawasi. Jadi, operasi saya memang beda benar dengan yang dijalani teman-teman saya selama ini.

Ada lagi pengalaman pahit saya, yakni pendarahan internal dari dalam rongga perut pasca operasi pengangkatan indung telur. Waktu itu saya terus menerus muntah darah tanpa terkendali. Anak sulung saya yang mendampingi saya di kamar rawat inap mulai panik, sehingga atas saran ayahnya dia melaporkan kepada perawat dan dokter. 

Melalui pemeriksaan CT-scan sekali lagi, diketemukan robekan pada usus halus saya sepanjang lebih dari sepuluh centimeter.  Jadi, antara sadar dan tidak, malam itu saya kembali masuk ruang bedah. Antara sadar dan tidak juga saya menjawab salam sapa kru ruang bedah yang sudah sangat mengenali saya, dan baru terjaga kemudian di sebuah ruang kecil yang amat senyap lagi remang-remang. Suara mesin halus bersahut-sahutan menyadarkan saya bahwa saya tengah bertaruh mempertahankan nyawa saya di dalam ruangan perawatan intensif (ICU).

Inilah awal mula saya sekarang tidak lagi mau berobat ke dokter, lalu memilih sinshe sebagai pengobat alternatif. Peristiwa operasi usus halus itu jugalah yang membuat saya lebih percaya lagi kepada jejamuan, sebab waktu itu saya sempat hampir dibedah untuk ketiga kalinya di minggu itu hanya karena penyumbatan terjadi lagi di usus saya. Tapi dokter bedah yang memang keturunan Cina mencoba menyuruh saya minum teh jahe wangi yang katanya herbal dari negeri leluhurnya ~meski saya mengatakan justru itu minuman resmi orang Jawa~ untuk mengatasinya. Alhamdulillah saya terhindar dari jadwal operasi ini.

***

Selain alasan-alasan takut menghadapi operasi dan prosedur pelaksanaannya, saya pun khawatir tidak akan bisa disembuhkan sama sekali di tangan dokter. Pasalnya di masa itu saya sedang sama-sama berobat untuk penyakit kista indung telur dengan seorang teman yang merupakan penyanyi senior yang pernah sangat terkenal di era 1960-1970'an.

Pendendang lagu "Tjai Kopi" yang cantik jelita ini merupakan seorang janda beranak tiga. Penyakitnya terdeteksi di Jakarta oleh seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang terkenal. Di tangannya dia dibedah tapi hasilnya kurang memuaskan. Kista di ovarium (indung telurnya) pecah dalam operasi itu sehingga isinya yang kedapatan ganas menyebar ke mana-mana, menimbulkan banyak kista baru dari waktu ke waktu. Dokter di Jakarta minta maaf dan menyesali kecerobohan ini lalu mulai menerapi dengan regimen kemoterapi berikut radiasi. Sayang si pasien tidak pernah merasa membaik, sehingga pengobatan akhirnya dialihkan ke Singapura.

Di Mount Elisabeth Hospital inilah saya bertemu dengannya. Meski berbeda rumah sakit, tapi hubungan kami terjalin lancar. Kami sama-sama menceritakan treatment yang kami terima sekaligus membanding-bandingkan hasilnya. Dia bahkan sempat menginap di rumah saya beberapa waktu menjelang akhir ajalnya. Di saat itulah saya dengar tentang penyakitnya dari penuturannya sendiri.

Seharusnya kata dokter, kista yang dioperasi tidak boleh sampai pecah. Dia menjalani pembedahan tertutup berupa laparoskopi, seperti halnya saya karena saya sudah terlalu sering dibedah terbuka (laparotomi). Pembedahan dengan teknik laparoskopi hanya memerlukan tiga titik saja sebagai jalan untuk menyalurkan slang halus yang ujungnya berupa peralatan tempur ke dalam lokasi sakit. Masing-masing titik hanya disayat sekitar 0.5-1 cm saja, sehingga tangan dokter digantikan oleh fungsi instrumen mini yang dikendalikan dari luar perut. Pada saat itu seharusnya pengerjaan berhati-hati mengingat isi kista belum diketahui tingkat keganasannya. Inilah yang dilanggar dokter di Jakarta sehingga penyakit teman saya tadi menjadi-jadi.

Sayangnya di Singapura teman saya berobat kepada dokter yang justru menawarkan tiga macam paket kemoterapi kepada para pasiennya, yaitu paket termahal, sedang serta termurah. Dengan kemampuan finansial yang terbatas, dia hanya sanggup mengambil paket murah hingga akhirnya nyawanya tak lagi bisa diselamatkan. Dia meninggal dunia di Indonesia setelah kehabisan dana dan kehabisan kesempatan untuk terus berobat.

Nah, berkaca dari kasus itu saya jadi ketakutan sendiri. Terbayang di benak saya banyaknya uang yang mesti saya setorkan ke rumah sakit tanpa kesembuhan pada akhirnya seperti yang saya inginkan. Maka kini semakin kentallah tekad saya untuk berobat ke sinshe. Ya, unsur kehabisan dana serta kelelahan fisik termasuk rasa sakit, lemah, tak bernafsu makan dan kerontokan rambut teman saya tersayang telah menghantui saya. Ah, izinkanlah saya untuk sembuh dengan cara yang lebih enak daripada teman saya itu, demikian selalu batin saya jika sedang berkomunikasi dengan Tuhan. Semoga saja Allah mengabulkannya.

(Bersambung)

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (10)

Senja menjelang di kota kami. Gema takbir mulai kedengaran dari kejauhan. Bunyi binatang kurban yang seakan-akan mengerti akhir dari hidup mereka segera tiba ada juga menyeruak ke dalam gendang telinga saya. Idul Adha akan tiba esok pagi. 

Beberapa tahun terakhir ini saya selalu terbaring di rumah sakit di waktu Idul Adha. Sebab kondisi kesehatan saya yang ditumbuhi kista serta tumor ganti berganti pada organ reproduksi amat menyusahkan. Saya akan selalu mengalami kesakitan yang membuat saya terpaksa tak bisa beraktivitas beberapa waktu lamanya. Padahal sebagai istri abdi negara, saya punya kewajiban untuk bekerja membantu tugas-tugas kedinasan suami. Karena kesibukan kerja itulah, hari raya Idul Adha selalu saya pilih sebagai waktunya saya membuang penyakit saya. Saya berharap suami saya akan selalu siap sedia menemani saya di rumah sakit selama proses itu berlangsung.

Didahului oleh serangkaian pemeriksaan pendahuluan yang memang wajib saya lakukan setelah diketahui bahwa saya menderita tumor serta kista di rahim dan indung telur saya, maka biasanya saya menjalani pemeriksaan lanjutan. Yang pertama tentu saja memeriksakan kadar "virus" kanker di dalam darah saya, yang dikenal sebagai "tumor marker" atau test penanda tumor. Kalau angka hasil pemeriksaan berada di atas normal, biasanya operasi mendesak segera dilakukan.

Selanjutnya saya akan dikirim ke bagian ultrasonografi yang lebih cermat lagi peralatannya, diikuti dengan pemeriksaan memakai alat canggih computer tomography scanner (CT-scan). Kedua alat pemeriksaan ini berbeda. Ultrasonografi (USG) yang sudah sangat populer di Indonesia hanya dilakukan dengan semacam komputer yang layarnya terhubung ke bagian yang akan diperiksa dengan seacam slang yang ujungnya berupa lensa pengintai ke dalam tubuh manusia. Kita cuma perlu berbaring di ranjang biasa, selagi teknisi laboratorium atau dokternya berada di samping kita mengoperasikan peralatannya. Adapun pemeriksaan dengan CT scan agak lebih rumit. Sebab pasien akan ditidurkan di dalam sebuah tabung raksasa, dengan terlebih dulu disuntik intravena dengan semacam zat yang akan menimbulkan efek panas pada tubuh. Lama pemeriksaannya pun sekitar empat puluh lima menit, di mana teknisi laboratorium mengoperasikannya dari ruang yang berbeda. Pasien diharap menyimak teliti perintah teknisi yang berupa keharusan menahan nafas beberapa detik kemudian menghembuskannya kembali begitu berulang-ulang. Entah apa sebabnya, saya pernah muntah dua kali ketika selesai melakukan pemeriksaan ini. Bahkan yang sekali secara kecelakaan terjadi di dalam tabung yang tengah dioperasikan. Waktu itu kepala saya tiba-tiba merasa pusing dan tentu saja jadi berakibat perut mual.

MESIN USG

MESIN CT-SCAN


Lepas dari situ, saya pun menjalani pemeriksaan thorax foto yang kita kenal sebagai ronsen (roentgent) dan juga pemeriksaan darah lengkap. Semuanya akan digunakan sebagai alat siaga ketika operasi berlangsung kelak.


Begitulah prosedur awal dari rangkaian persiapan operasi saya. Meski untuk kasus-kasus tertentu saya pun pernah menjalani pemeriksaan dengan mesin yang sangat serupa mesin CT-scan akan tetapi menggunakan gelombang suara magnetic untuk mengoperasikannya. Namanya mesin Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pencitraan di sini dibutuhkan untuk mendapatkan diagnosa yang paling akurat tentang penyakit yang diderita pasien. Nah sewaktu masuk ke mesin MRI ini sensansinya beda lagi. Sepertinya ada dentam-dentam ketukan yang saya dengar dari dalam tabung mesin itu. Tapi prosedurnya sih kurang lebih sama dengan CT-scan, hanya kegunaannya lebih terarah kepada pemeriksaan sistem syaraf, sebab waktu itu saya menghadapi bedah tulang untuk mengoreksi penebalan pada tulang bahu saya yang menimbulkan nyeri berkepanjangan. Inilah mesin MRI itu :



***

Serangkaian pemeriksaan itu menjadi menu wajib saya sebelum mencari kamar perawatan. Oh ya tidak lengkap rasanya kalau tidak saya gambarkan satu macam pemeriksaan lagi yang dipergunakan untuk memeriksa keadaan di dalam rongga perut (abdomen saya). Namanya endoskoskopi yang dilakukan dengan menggunakan semacam kamera mini berikut selang tipis yang amat panjang yang dimasukkan melalui mulut untuk merekam keadaan di dalam tubuh sana. Untuk itu pasien akan dibius sehingga tidak merasa sakit. Tapi menurut salah seorang pasien di Indonesia, di awal tahun 2000-an endoskopi jenis gastroskopi yang dipakai mendeteksi borok (ulkus) baik di kerongkongan, lambung maupun usus dua belas jari dilakukan tanpa bius sehingga pasien merasakan sakit yang tak terkira. Saya sendiri mengalami pemeriksaan endoskopi dari jenis kolonoskopi untuk mendeteksi pendarahan yang terjadi di usus saya yang dicurigai sebagai tumor usus besar.

Jika hasil persiapan sudah lengkap, pasien akan masuk ke rumah sakit semalam sebelumnya guna pemantauan kondisi termasuk puasa yang bisa mencegah terjadinya kecelakaan sewaktu operasi. Malam itu, saya hanya akan menerima makan malam pada pukul tujuh lalu sama sekali tidak diberi apa-apa walau hanya sekedar seteguk air. Berbeda halnya dengan persiapan yang dilakukan di rumah, pasien dipesani untuk tidak mengonsumsi apa pun setelah pukul sepuluh malam. 

Setelah itu dokter pun berdatangan satu demi satu mengontrol kesiapan pekerjaan mereka esok paginya. Yang pasti ada melengkapi kunjungan itu adalah dokter spesialis anestesi. Dialah yang bertanggung jawab memantau kondisi umum pasien, menurut saya sih begitu. Soalnya beliau akan melakukan serangkaian tanya jawab mendetail mengenai kondisi kesehatan saya dan keluarga induk saya, yakni ayah-ibu dan saudara-saudara kandung saya. Kepadanya juga saya titipkan jiwa saya karena saya adalah penderita asthma. Biasanya dia akan mengecek kebenarannya kepada dokter ahli paru saya yang juga datang belakangan sambil mengambil obat-obat asthma saya untuk bekal di ruang bedah. Tentu saja yang pertama muncul adalah dokter yang akan mengoperasi saya. Baru akhirnya dokter paru terkait dengan kondisi  bronkus saya yang lemah.

Keesokan harinya saya perut saya akan dipompa supaya isi lambung saya keluar semua dan tak mungkin mengotori meja bedah. Setelah semua dilakukan, barulah saya dibawa ke ruang bedah (theater) yang luas dan suhunya dingin minta ampun. Apalagi saya cuma mengenakan selembar kain tipis seragam pasien yang cuma diberi bertali di belakang leher sebagai pengancingnya.

Di langit-langit persis di atas meja bedah tergantung lampu yang amat terang, semacam lampu neon kalau saya tidak salah tangkap. Sejurus kemudian para kru yang akan menangani saya menyapa satu demi satu. Biasanya dokter bedah didampingi dokter spesialis paru-paru yang biasa merawat saya serta tentu saja dokter ahli anestesi. Mereka akan menyapa saya dengan ramah, memperbincangkan hal yang remeh-remeh seraya minta izin memasangkan jarum infus ke tangan saya.  Tapi sejurus kemudian saya sepertinya tertidur nyenyak sekali barang beberapa saat. Tahu-tahu tiba-tiba saya akan disadarkan oleh suara orang-orang mempercakapkan saya, yang saya kenali di antaranya adalah suara keluarga saya sendiri. Ini tandanya saya sudah kembali "hidup" siuman dari prosedur operasi yang baru saya alami.

Setelah sekian waktu saya akan dikembalikan ke kamar rawat saya sendiri. Di Raffles Hospital sana, dari tahun ke tahun saya sepertinya diizinkan untuk menempati satu sudut khusus, yakni ruang 825 yang menghadap ke sebuah bangunan dengan interior taman yang cantik berupa patung megah. Tak kurang dari satu hingga dua minggu saya menjadi penghuninya nyaris tanpa daya. Dan di situlah segalanya berawal. Masa-masa menyakitkan itu yang jumlahnya tak kurang dari empat puluh lima hari bagi saya. Sampai di suatu hari nanti, yang biasanya akan tiba di hari yang sama, Idul Adha tahun berikutnya. Saya kembali menjadi pasien dengan menjalani operasi yang sama. 

Ah, betapa menyakitkannya semua itu, meski ketika hasil pemeriksaan sitologi jaringan di laboratorium yang saya terima sepuluh hari pasca pembedahan menyatakan sel-sel liar yang tumbuh di tubuh saya jinak semua. Karena, siapa sangka kemudian hari saya akan mengalaminya lagi di bagian lain tubuh saya seperti sekarang ini, bukan?!

(Bersambung)

Kamis, 25 Oktober 2012

MENJALA MATA NINA

"Yayah..., Yayah....," begitu suara yang keluar dari mulut perempuan di sebelahku seraya mengetuk-ngetuk dinding kaca yang membatasi kami. Mulutnya menganga bulat, seraya matanya membeliak tak percaya pada sosokku.

Sama halnya dengannya, aku pun tak mengira dia ada di sini. Nina, teman sekolahku dulu sedang menyantap setangkup roti di tangannya sambil menyeruput secangkir teh panas. Agaknya pie ayam yang sedang dinikmatinya. Jenis makanan kegemarannya yang sangat kuhafal ketika kami sama-sama duduk di bangku kuliah dulu. Bu Sastra ibu kost Nina yang memiliki kedai kue, memang menjual pie ayam itu dalam porsi kecil-kecil tapi lezatnya tak kalah dari jaringan toko kue luar negeri. Dan kami biasa membelinya untuk disantap bersama pacar masing-masing di teras rumah bu Sastra sebagai pengisi malam Minggu kami.

Nina seorang eksekutif sukses. Aku pernah mampir ke kantornya sewaktu mengantarkan undangan pernikahan Dini sahabat kami yang diperistri Agung sepupuku. Kamar kerja Nina terbilang mewah. Sederet alat komunikasi canggih berjejeran serta senantiasa menimbulkan bebunyian yang sibuk, sehingga menyita waktu Nina untuk menanggapinya. Waktu itu aku tahu diri, tak berlama-lama kutemui dia hingga menjadi pertemuan terakhirku dengannya sebab kemudian aku harus mendampingi mas Hadi suamiku waktu itu ke tempat tugasnya yang jauh.

Perempuan yang memanggilku itu bergegas bangkit dari duduknya, lalu setengah berlari menghampiriku di ruang sebelah. Tangannya direntangkan untuk menjangkau tubuhku. Dia melepas rindu seraya menciumiku. "Yayah? Kamu ada di sini?" Ucapnya tegas.

Kami saling merenggangkan tubuh sebelum aku menjawab dengan kata-kata ya. "Mas Hadi sedang dalam pemeriksaan. Diduga dia mengidap kanker kelenjar getah bening," kataku membuka diri.

"Oh ya? Aku mengantarkan ayahku. Beliau sudah selesai menjalani transplantasi hati di Guangzhou lalu dipindah ke sini untuk perawatan pemulihannya. Ah, kau tak nampak berubah lho," ujarnya lagi seraya mencubit pipiku. "Kau tinggal di mana?"

Aku menyeretnya duduk di sudut ruangan. "Masih di tempat yang dulu, di Bandung. Mas Hadi sekarang sudah pensiun Nin, lalu membeli rumah orang tuaku," jawabku mulai berbagi kisah. "Kamu sendiri?" Aku balas bertanya dan mulai ingin menyelidiki apa yang ada di dalam kehidupan perempuan flamboyan di sebelahku ini. Rambutnya yang dulu legam kini dipolesnya dengan cat keperak-perakan lalu dibiarkannya tergerai menjangkau punggungnya. Dia masih sama seperti dulu, punya kebiasaan menyangkutkan jepit rambut di dekat telinganya. Cuma sekarang sekedar jepit batang yang hitam itu. Dan dari balik rambutnya, anting-anting panjang berkilauan menjurai menandakan Yayah termasuk perempuan modis.

Nina membetulkan letak rok selutut yang dikenakannya dulu sebelum kemudian menyandarkan tubuh dengan anggun dan mulai bicara. "Aku di daerah pinggiran Bogor, perusahaan Papa yang kemudian dipegang kang Dudi sekarang pabriknya kupegang sendiri di Bogor. Aku sudah lama berhenti bekerja pada orang lain, capek sih Yah," ocehnya dalam satu kalimat nyaris tanpa jeda.

"Oh ya? Kang Dudi, jadikah dia menikahi Sita anak Kedokteran itu?" Tanyaku lebih lanjut begitu dia menyebut nama abang sulungnya. Siapa pun ketika kami muda dulu tahu kisah percintaan mahasiswa Fakultas Ekonomi yang setiap hari mengayuh sepedanya hingga ke Pasirkaliki hanya untuk memboncengkan calon dokter cantik dari rumah kost bu Sastra menuju rumah sakit tempatnya belajar membaktikan diri. Sita sendiri selalu nampak lekat merangkul pinggang abang Yayah sambil asyik mengobrol dan tertawa-tawa. Saat itu Bandung memang kota ternyaman. Cuacanya sejuk menyirami seputar kota yang tak begitu padat penghuni. Itulah sebabnya kang Dudi menjadi satu-satunya pemuda yang unik untuk zamannya, setia mengendarai sepedanya dibandingkan menunggang sepeda motor yang jumlahnya mulai menjamur di kampus kami. Bersepeda itu sehat, demikian prinsip yang dipegangnya bersama Sita juara kelas di SMP-ku. Padahal semua orang tahu, ayah Dudi pemilik perkebunan teh di Sukabumi.

"Ya. Anak mereka tiga, dan sekarang ceu Sita jadi dokter spesialis mata di Jakarta," jawab sahabatku senang.

"Kamu sendiri? Berapa anakmu dengan Rudolf?" Pancingku kemudian. Kutahu dia dan Rudolf dulu berniat untuk menunda punya anak jika kelak mereka menikah. Sebab Nina ingin bekerja keras dulu selagi Rudolf melanjutkan pendidikannya ke negeri kincir angin dengan bea siswa yang diperolehnya dari negara. Siapa pun tahu, mahasiswa teknologi pertanian yang satu itu memang cemerlang di kelasnya. Kelas kakakku Tary yang jadi dosen di sebuah perguruan tinggi kedinasan di daerah.

***

Pertemuan pertamaku dengan Nina semakin meningkatkan rasa keingintahuanku. Sebab, selain mendampingi oom Affandi, seringkali kulihat dia masuk ke ruangan lain berlama-lama entah untuk mengunjungi siapa. Sekali-dua dari kantin rumah sakit ketika kebetulan kami makan siang bersama, Nina minta diri berbelok ke ruang sakit itu dengan sekotak makanan di tangannya.

Tante Affandi ibunda Nina sudah meninggal dunia. Kata Nina abangnya pun sibuk sendiri dengan perusahaan keluarganya selagi waktu Sita pun tersita untuk pasien-pasiennya dan sederet pengabdian kemanusiaan seperti yang diceritakan Nina.

"Mas Hadi, ingatkah pada Nina? Ini teman kuliahku yang kost di rumah bu Sastra," ujarku ketika membawa Nina menjenguk suamiku. Mas Hadi segera mengenalinya dan berusaha untuk bangkit menjangkau jemari tangannya yang halus. "Apa kabar Nina?" Sambut suamiku. "Rudolf mana?" Secara tak terduga suamiku bahkan menanyakan lelaki yang dulu menjadi calon suami Nina. Pemuda berdarah Flores-Jawa itu sebetulnya ditolak oleh keluarga Nina yang merupakan keturunan santri di Sukabumi sana, sebab sudah barang tentu akidah mereka berbeda.

"Ah, aku tidak jadi menikah dengannya kok," jawab Nina malu-malu. Ada semburat merah jambu di pipinya yang tirus namun menonjol karena tulangnya menjulang tinggi.

"Oh ya? Maafkan saya, kita sama sekali tak pernah bertemu lagi selulus kuliah ya Nin," balas suamiku sopan. Ku tahu pasti mas Hadi memang bukan tipe orang yang selalu ingin tahu urusan orang lain. Dan jika dia merasa telah melakukan suatu kekeliruan, biasanya dia akan segera minta maaf begitu.

"Nggak apa-apa kok mas, semua sibuk dengan urusan pekerjaan dan menata masa depan masing-masing ketika itu," Nina menyahut disertai gerakan bibir yang membuahkan senyum yang amat sensual menurut penglihatanku. Wah, Nina, di usianya yang tidak muda lagi tetap saja cantik memikat.

Nina tak berlama-lama di kamar suamiku. Setelah itu bahkan jarang sekali bisa kutemui dia di tempat-tempat umum seperti itu kecuali di jam-jam makan. Tapi setiap kali kami bertemu di kantin rumah sakit, kami akan mengobrol panjang lebar sebab dia selalu punya cerita menarik mengenai apa saja, termasuk perjalanannya yang seperti tiada habisnya ke luar negeri. Menurut pengakuannya Nina pernah ke India, bahkan ke Jerman untuk urusan perdagangan tehnya. Sedangkan negara Cina yang disebutnya sudah nyaris jadi rumah kedua baginya, adalah tempat yang tersering dikunjunginya. Itu sebabnya dia dan Sita memutuskan untuk mencangkok hati orang tua mereka di Guangzhou.

***

Ada senyum bahagia di mulut Nina waktu aku dan mas Hadi berpamitan akan pulang ke Jakarta. "Saya juga sebentar lagi pulang mas, Papa sudah diizinkan untuk berobat jalan," ujar Nina seraya mengantarkan kami ke bagian depan rumah sakit bertingkat itu. Di sana, taksi yang kami pesan sudah menunggu untuk perjalanan kami menuju bandar udara Changi yang luar biasa mewah dan luasnya.

Tiba-tiba seorang lelaki Cina menyeruak ke arah kami seraya minta izin berbicara dengan Nina. "Oh, I'm sorry miss. But the family of mr. Ching Yuen would like to speak to you," kata lelaki itu kepada Nina yang segera ditanggapi Nina dengan anggukan kepala diikuti langkah bergegas mengikutinya setelah dia melambaikan tangan kepada kami. Sejak itu hubungan kami dengan Nina kembali terputus. Bahkan ketika aku sesekali mengantarkan suamiku untuk berobat ke Singapura, tanda-tanda keberadaan Nina di sana pun tak ada. Lagi-lagi Nina seperti menghilang ditelan bumi.

Hingga tiba-tiba di suatu siang secara tak terduga aku kembali bertemu dengannya di Bandung. Perempuan cantik itu nampak berbeda. Mata kirinya terbalut verband serta ditutupi kacamata. Hampir saja aku tak mengenalinya, kalau saja dia tidak menyapaku terlebih dulu.

Di keramaian pesta pernikahan anak sepupuku yang juga sahabat kami ada Nina. Gaunnya yang hitam beledu berkelas dipadu rompi merah sewarna dengan tas di tangannya dan sepatu hak tinggi berkeletak-keletok menjadi ciri khas Nina. Segera setelah prosesi arak-arakan pengantin berakhir, aku mencari Nina yang datang seorang diri.

Kudapati dia ada di sudut ruang, sedang menatap ke arah pelaminan berdiri anggun. "Nin, ke mana saja selama ini? Apa kabar sekarang?" Sodokku menyikut pinggang Nina sehingga membuatnya sedikit terkejut.

"Aih Yayah, alhamdulillah aku baik-baik saja. Sekarang aku kembali sibuk dengan pekerjaanku," ucapnya senang. "Sudah sehatkah mas Hadi?" Tanyanya berbalik kepadaku. Kuhunjamkan bola mataku mengarah kepadanya, tepat menuju matanya yang dulu cemerlang namun kini berbalut satu.

"Alhamdulillah dia sehat lagi. Sejak operasinya dulu itu sekarang dia hanya bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ringan. Lalu dia kembali kepada kegemarannya semula menulis-nulis di koran," jawabku, "dan kamu? Ayahmu?"

"Aha, aku baik-baik saja. Papaku sudah tidak ada. Tapi dia akan tetap hidup bersamaku. Jadi kini aku kembali aktif mengelola perusahaan Papa," kata Nina. Kemudian kami berjalan beriringan menuju panggung pelaminan akan memberi ucapan selamat kepada kemenakanku anak Agung dengan Dini sahabat kami berdua.

Sambil mencicipi hidangan Nina minta aku untuk membawanya ke sudut keluarga pengantin. Di sana, seraya menyuapkan potongan-potongan makanan yang dipilihnya dia bercerita. Bahwasannya hati yang didapatnya dari pendonor berkebangsaan Cina itu tak mampu menyelamatkan nyawa ayahnya. Padahal sebagai gantinya Nina telah menyerahkan sebelah biji matanya kepada keluarga si pendonor untuk cucunya gadis delapan tahun yang tertembak peluru pistol mainan temannya.

Aku tercekat mendengarnya. "Aku tahu kau pasti kaget Yah. Semua orang pun begitu pada mulanya. Tapi, aku berpendapat apalah artinya hidupku dengan dua belah bola mata jika ada seorang anak yang kakeknya telah menjadi malaikat untuk orang tuaku terancam kebutaan? Aku sanggup mendonorkan satu saja bola mataku untuk gadis keluarga Chan Ching Yuen," cerita Nina hati-hati. "Aku tidak pernah menikah, sehingga tidak ada satu pun yang akan merasakan kehilangan kalau aku cuma bermata satu. Sedangkan gadis kecil itu, dengan kelincahannya sebagai pesenam cilik yang baru saja memulai kariernya di kelompok akrobat tentu akan kehilangan kebanggaan dan masa depannya jika dia benar-benar tak bisa melihat," ujar Nina lagi. Lalu dia mengeluarkan foto seorang bocah Cina berambut lebat dari dalam tasnya.

"Ini, Lie Xiang, anakku di sana. Lihat sorot matanya, jernih dan menyatakan kecerdasan bukan?" Kata Nina seraya mendekatkan foto itu kepadaku. Aku mengambilnya penuh rasa ingin tahu yang tiba-tiba berbalut haru ketika kulihat Nina segera mengambilnya kembali, kemudian menciuminya lekat-lekat. "Dia bidadariku...........," kata Nina melengkapi ceritanya.

Di seantero ruangan sinar-sinar kebahagiaan sebagaimana yang tergurat di wajah Nina juga kelihatan. Kemenakanku menggandeng istrinya dengan mesra di depan bidikan para juru foto keluarga. Lalu kerabat kerja dan sanak saudaraku juga nampak asyik saling mengobrol, melempar senyum hingga melempar tawa menyemarakkan pertemuanku kembali dengan Nina. Mata Nina, aku telah menjala mata Nina yang jelita di siang itu.

~Bogor, pekan kedua November dua ribu dua belas~

Kamis, 11 Oktober 2012

SERAPAH SARIPAH

Perempuan itu duduk mencakung di balik jendela sambil memandang ke luar. Ke arah pekarangan kosong di seberang rumahnya. Ingatannya kembali ke masa lalu, ketika dia kecil dulu. Di situ, di balik gerumbulan ketela pohon yang ditanam bersama pokok-pokok pisang dan jambu, kaki-kaki kecil anak-anak kampung di sekitar situ biasa bermain-main.

Saripah melihat sosok itu lagi. Anak lelaki berkulit coklat tua dengan mata yang dalam dibatasi bulu-bulu alis yang lebat memandangnya dengan penuh kebencian. Sebab Saripah adalah anak kesayangan tuan tanah pemilik kebun itu. Tepatnya dia memang bukan anak pak Amir pemilik kebun, tetapi tuan tanah yang tak beranak itu memang menyukainya. Karenanya Saripah bebas bermain-main di lahannya dan memanjati jambu lalu menggerogoti sepuasnya. Tak seperti anak-anak lain, termasuk Fadhlan lelaki itu. Kepadanya, pak Amir justru sangat benci. Setiap gerak langkahnya ditujukan untuk mengamat-amati anak itu. Apalagi Fadhlan memang senang menggoda Saripah seorang.

Dari balik kaca mata tuanya Saripah bisa mengenang kembali saat-saat itu. Fadhlan akan menadahkan kain sarungnya yang dipakainya ke langgar untuk mengaji, supaya Saripah bisa menjatuhkan buah-buah yang ranum itu dengan biji kemerahan ke atasnya. Jambu biji pak Amir memang terkenal enak. Sewaktu masih muda pun tak terasa mentah, karena pada setiap dagingnya terasa kerenyahan yang berpadu dengan air sari buahnya yang manis.

"Ipah, Ipah, beri aku sedikit," teriak Fadhlan pelan-pelan sembil menengok ke kanan ke kiri juga ke atas pohon untuk menyaksikan kulit betis gadis sebayanya itu yang putih kekuningan mulus sekali. Dengan tenangnya Saripah berpura-pura tak mendengar. Lalu dengan asyiknya dia mengunyah gigitan demi gigitan jambu di mulutnya, sambil memperlihatkan ketidak peduliannya. Fadhlan kemudian menjemput batu kerikil di bawah kakinya dan melemparkannya ke atas supaya menyentuh kulit gadis cilik itu.

"Aih..... Ipah......, bagi-bagi lah.....," teriak bocah lelaki itu lagi penuh nafsu. Lalu karena Saripah tak bereaksi, anak itu mulai menyingkapkan kain sarungnya dan naik secepat kilat memanjat mendekati Saripah.

Demi menyaksikan kenekadan anak itu, Saripah terkejut, lalu buru-buru berusaha turun. Malang, ketergesaannya membuatnya jatuh dan patah kaki. Suatu kejadian yang membekaskan luka di hati serta tubuhnya hingga kini.

Sejak itu Saripah amat membenci Fadhlan. Tekadnya sudah bulat untuk tidak lagi mau mengenalnya apalagi sampai bermain bersamanya. Setiap senja ketika anak-anak asyik bermain bersama di pekarangan kosong itu, Saripah hanya memandangi dari dalam rumahnya. Saripah terlalu membenci Fadhlan senada dengan sumpahnya yang menyatakan bahwa dia tak akan pernah berhubungan lagi dengan Fadhlan.

***

"Mak, kita harus bicara sekarang," perempuan paruh baya di sebelahnya mengajak Saripah bicara. Sejak tadi mereka saling berdiam diri. Si nenek asyik menatapi kebun milik keluarga Amir sementara anaknya menjahit bajunya yang terlepas jahitannya di sebelahnya. Baju itu memang hasil karya tangannya sendiri, sebab dia termasuk satu di antara beberapa penjahit perempuan yang rapi di kampungnya. Sedangkan di sampingnya seorang perempuan muda menangis merintih-rintih.

"Anak di perut Nurlaili memerlukan ayah Mak," ucap perempuan itu lembut. Adik bungsunya yang bekerja di Jakarta baru saja pulang kampung mengadukan nasibnya. Dia telah dihamili oleh anak orang kaya yang mengenalnya lewat internet. Tapi lelaki itu tak bertanggung jawab, lalu meninggalkannya begitu saja. Sementara itu tentu saja janin di kandungannya terus menciptakan bukit yang minta diselamatkan.

"Lelly memang salah Mak, tak pernah Lelly sangka lelaki itu busuk hatinya. Dia menyuruhku menggugurkan kandungan, tapi tetap kutahu aku berdosa kalau melakukannya," isak perempuan berumur dua puluh empat tahun di pangkuan ibundanya. Perempuan yang biasa dipanggil dengan sebutan Lelly ini termasuk salah seorang gadis cerdas yang cantik. Karenanya tak heran kalau banyak tetangganya yang mengingini menjadi kekasihnya. Termasuk Juffri anak lelaki Fadhlan yang telah menorehkan luka di betis ibundanya.

Saripah tua tak berkutik. Bak batu hatinya begitu keras. Apalagi menghadapi Fadhlan dan keturunannya yang dulu pernah disumpahinya. Dia sangat ingat bahwa mulutnya pernah berujar untuk tidak mau berurusan lagi dengan Fadhlan setelah kejadian yang membuatnya jatuh dari pohon jambu. Memang sejak itu mereka bermusuhan, bagai anjing dengan kucing. Kegalakannya menjadikan Fadhlan pun tak lagi menyenanginya. Terlepas dari kemulusan betisnya yang pernah menyita perhatiannya.

"Mak, kalau anak ini lahir tanpa bapak, apa kata orang nanti?" Desak anak sulungnya Sumartini yang tak juga melepaskan jahitan di tangannya. Saripah tetap membeku.

***

Bunyi gamelan bertalu-talu. Rebab yang digesek pemusik tua  menyemarakkan suasana membuat setiap pasang mata mengarah ke panggung hiburan sederhana di halaman berbatu-batu yang becek itu.

"Alhamdulillah, Lelly sudah menemukan jodohnya sekarang," bisik Atun di telinga suaminya sambil menikmati hidangan dan hiburan di pesta siang itu. Sahri hanya melirik ke arah istrinya. Perempuan berkerudung oranye itu tetap lebih menarik jika dibandingkan dengan kecantikan Nurlaili pengantin yang secara resmi menjadi kemenakannya kini. Sejujurnya dirinya sedang bertanya-tanya, sejak kapan Juffri menjadi dekat dengan Nurlaili apalagi diketahuinya Saripah ibunda Nurlaili amat sinis kepada Fadhlan abang sepupunya tanpa diketahui apa sebabnya.

"Kalau dipikir-pikir keluarganya 'kan sombong ya pak? Aneh juga keponakan kita mau memilihnya jadi istri," bisik Atun lagi seraya menyunggingkan senyumnya. Matanya tetap asyik menyaksikan pengantin perempuan itu menarikan jaipongan di atas panggung. Sahri tetap bergeming. Pikirannya terus saja asyik mereka-reka sendiri bagaimana asal muasal perjodohan yang jadi rahasia Tuhan itu terjadi.

"Eh pak, biarpun cantik tapi kok kelihatannya gemukan ya pak?" Lagi-lagi Atun berkomentar. Kali ini Sahri menghentikannya dengan sedikit hardikan, tatap mata membulat dan sodokan di pinggang perempuan itu. "Diam, jangan ngomong aja." Yang menelurkan reaksi terkejut di muka bulat Maryatun. Matanya jadi seperti hendak lepas dari sarangnya, ditambah bibir yang menganga bulat lebar. Tapi tak urung dia diam saja.

***

Kentongan bambu kedengaran bertalu-talu malam itu di desa yang biasanya sepi senyap. Meningkahi cericit tikus liar di got-got rumah juga siulan cengkerik yang cuma kelihatan rupanya di waktu malam. Seluruh desa terbangun onar.

Saripah diketemukan tewas menggantung dirinya sendiri di pohon durian pak Amir oleh tetangganya yang pulang kemalaman dari kota. Derak-derik kuda coklat kebanggaannya tiba-tiba berhenti di muka lahan itu, persis di seberang jendela rumah janda Saripah yang terkenal sombong di kampungnya. Karena kudanya tiba-tiba tak mau lagi bangkit, Machyudin terpaksa turun hendak menambatkannya di pokok salam yang tertanam paling dekat dengan jalanan. Rumahnya tinggal beberapa ratus meter lagi, sehingga dia berniat berjalan kaki untuk mencapainya. Tubuhnya benar-benar sudah letih sehabis seharian berbelanja kebutuhan warungnya sambil menjual hasil buminya kepada pelanggannya di kota.

Tiba-tiba hatinya terkejut tatkala matanya bertumbukan dengan sesosok benda yang kelihatan berat terayun-ayun di dalam kebun kosong itu. Lebih terkejut lagi ketika dia nekad menghampiri dan menyaksikan perempuan uzur beranak delapan itu menatapnya dengan mata melotot dan lidah terjulur. Rambutnya yang memutih keperakan seakan dibiarkannya tergerai melambai-lambai, selagi tubuhnya hanya berbalutkan kain sarung pelekat yang sudah pudar warnanya.

Saripah telah pergi. Bersama dendamnya kepada Fadhlan teman di masa kecilnya yang kini terombang-ambingkan nasib resmi menjadi besannya.
"Ingat Fadhlan, meski kau kini menjadi mertua anakku, tapi aku tak akan pernah menjadi bagian dari keluargamu. Kau terlalu baik untukku, maafkan aku........."

Begitulah sepenggal kalimat yang terserak di bawah kaki Saripah. Sepucuk surat yang ditulis dengan tangannya sendiri yang kini dan untuk selamanya telah kaku membeku bagai hatinya yang tak pernah bisa jatuh cinta kepada lelaki itu. Beginilah permainan dunia.

~Kota Hujan medio Oktober dua ribu dua belas~

Senin, 08 Oktober 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (9)

Pasien kanker kelenjar getah bening kedua yang saya temui, adalah pemuda berumur sekitar dua puluh delapan tahun kemenakan kakak kelas saya dan mantan suami saya. Keluhannya lain lagi. Dia merasa sangat kesakitan di bagian perutnya yang diperkirakan dokter di Jakarta penyakit pada hati. 

Saat dia datang mendadak ke tempat kami, saya sendiri dalam persiapan menjalani pembedahan yang kesekian kalinya. Kali itu dokter akan mengangkat salah satu indung telur saya, yang ternyata berakhir dengan operasi lebih besar lagi yakni pemotongan sebagian usus halus saya keesokan harinya, hanya berselang dua hari sejak kedatangan eksekutif muda bank swasta nasional tersebut.

Dia bisa berjalan sendiri meski terbungkuk-bungkuk kelihatan menahan nyeri. Kata ibundanya yang mengantar, sakit anaknya sudah berlangsung cukup lama namun tak ada dokter yang bisa menyembuhkannya hingga akhirnya mereka memutuskan untuk mencari pendapat kedua kepada dokter di Singapura.

Siang itu juga pasien kami antar ke Mount Elizabeth Hospital berobat pada dokter yang saya ceritakan sangat terkenal di kalangan pasien Indonesia itu. Ternyata benar, sejak di Jakarta pasien ini sudah mengincar akan berobat kepadanya setelah mendengar informasi dari seseorang. Segera juga pemeriksaan dilakukan dengan cermat, sehingga berdasarkan ultrasonografi dicurigai adanya tumor pada bagian perut. Malam harinya diputuskan pasien menjalani kolonoskopi, yakni peneropongan ke dalam saluran cerna. Lensa yang super mini itu menghasilkan gambaran adanya tumor yang menyumbat di dalam rongga perut bagian bawah. Maka keesokan harinya diputuskan untuk membedah pasien dengan bedah terbuka (laparotomi) bukan hanya dengan bedah laparoskopi yang cuma menggunakan sayatan kecil pada tiga titik. 

Selanjutnya pasien tinggal di Rumah Sakit tak kurang dari seminggu dilanjutkan dengan radioteraopi dan kemoterapi karena hasil pemeriksaan kultur jaringan di laboratorium menunjukkan kondisi keganasan atau kanker kelenjar getah bening. Sayang saya tak bisa mengikuti perkembangan terinci mengenai penyakit si pasien sebab saya sendiri terpaksa harus menginap di Intensive Care Unit (ICU) Raffles Hospital untuk kondisi saya yang tak kalah buruknya. Yang saya ingat justru pasien itu menyempatkan diri menjenguk saya di rumah sakit sekeluarnya dari perawatan di rumah sakit yang lain.

Mengenai pasien yang satu ini, saya yakin penyakitnya diperoleh secara turun-temurun (herediter). Sebab kakek dan neneknya yang kebetulan dimakamkan berdampingan dengan makam ayah saya, dulu meninggal karena penyakit kanker juga. Si nenek adalah penderita kanker rahim sedang si kakek mengidap kanker prostat. Sedangkan sepupu pasien ini yakni putri teman saya meninggal di usia remaja karena kanker otak.

Penyakit pasien ini membuka mata saya bahwa rasa nyeri, gangguan dan tumor pada bagian perut (abdomen) tidak berarti selalu tumor usus besar (kanker kolon), melainkan dapat juga berarti kanker kelenjar getah bening. Ini adalah salah satu di antara sejumlah gejala kanker kelenjar getah bening yang juga disebut Non-Hodgkin's Dissease. Itu sebabnya pasien tidak merespons dengan baik pengobatan yang dilakukan di Jakarta pada sejumlah dokter di rumah sakit yang terbilang besar serta modern. Dokter ahli pun bisa salah diagnosa, begitu agaknya.

Pasca keluar dari rumah sakit, pasien ini harus mengonsumsi makanan yang khusus serta serba lembut. Tentu saja demikian, karena dia baru menjalani operasi besar pada bagian perutnya. Susahnya pasien ini tidak tinggal di rumahnya sendiri, sehingga dia memerlukan jasa caterer untuk memasak menu makanannya. Tapi sedihnya hingga saat ini usaha jasa seperti itu tak pernah terpikirkan oleh para pelaku niaga, sehingga akhirnya salah seorang teman yang menetap di Singapura berbaik hati melayaninya. Darinya saya ketahui bahwa pasien kanker ini banyak berpantang. Segala daging-dagingan dan telur tidak boleh dikonsumsi, juga makanan yang digoreng. Karena itu saya beroleh pengalaman bahwa mengatur menu sehat untuk penderita kanker memang tak mudah. Itu juga yang dikeluhkan oleh kawan saya, sehingga akhirnya dia menyerah lalu mundur teratur membiarkan pasien semakin menderita di rantau orang. Saya tak paham entah mengapa rumah sakit tak menawarkan ahli gizi untuk menyuplai makanan bagi penderita yang dirawat di luar rumah sakit dalam masa pemulihan. Jadi, pengobatan di luar negeri itu nyaman-nyaman susah rupanya.

Kabar selanjutnya mengenai pasien yang satu ini tak pernah saya ketahui selain dia menikah. Apakah penyakitnya benar-benar bisa teratasi, saya tak paham benar. Apalagi saya kebetulan pindah juga dari Singapura menuju ke negara lain yang jauh di seberang lautan. Tapi sebelum pindah, saya masih menemukan beberapa kasus lain lagi tentang penyakit menakutkan dan mematikan ini. Kanker, saya harus bisa melawannya, sebelum dia yang menaklukkan saya!

(Bersambung)

Selasa, 02 Oktober 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (8)

Saya sudah mulai terbiasa berdamai dengan rasa sakit. Juga berdamai dengan kepedihan yang seringkali datang jika mengenang teman-teman senasib yang sudah lebih dulu berpulang atau entah di mana sekarang berada. Meski begitu di waktu-waktu tertentu mereka yang pernah bersama-sama menjadi pasien dengan penyakit yang serupa dulu itu sering hadir di pikiran saya. Wajah-wajah kesakitan mereka yang letih mengguratkan cerita sedih. Sekaligus mencambuk saya untuk bangkit melawan maut.

Ada istri politisi senior yang kini sudah almarhum, yang terkena tumor pada otaknya bersamaan dengan penderitaan mendalam putri mereka yang menderita kanker payudara stadium akhir. Di sela-sela waktu istirahat saya dari kegiatan berobat, saya sering menjenguk mereka di ICU Mount Elizabeth Hospital yang terkenal sebagai rumah sakit terfavorit di Singapura untuk sebagian besar pasien Indonesia. Sang putri yang sudah beranak seorang gadis remaja, waktu itu baru saja sebulan duduk sebagai anggota DPR. Kanker pada payudara yang terlambat ditangani membuatnya mencari pengobatan di Singapura demi melaksanakan tugasnya sebagai anggota Dewan yang terhormat. Di ICU Mount Elizabeth Hospital itulah pertama kali saya berjumpa dengan perempuan muda ini dalam keadaan sedang tertidur lelap. Dia koma, terbaring tanpa daya dalam satu bilik pengap yang diwarnai suara derit-derit mesin berngiangan. Kedua orang tuanya gelisah menanti keajaiban yang diharapkan ada. Padahal dalam masa itu, sang bunda, yang berprofesi sebagai guru SMA di Yogyakarta sedang dalam masa penyembuhan setelah operasi tumor otak yang selalu membuatnya sakit kepala berkepanjangan. Bedanya, sang bunda terselamatkan, sebagaimana saya dengan serangkaian operasi pada organ reproduksi saya. Sedangkan putrinya wafat di Jakarta setelah dipulangkan dari Mount Elizabeth Hospital dalam keadaan tak tertolong.

Istri almarhum politisi gaek yang biasa dipanggil orang dengan sapaan akrab "mBah" yang menandakan ketuaan beliau, mengeluh sakit kepala ketika kami berjumpa di Singapura di suatu saat. Saya menawarinya untuk memeriksakan diri ke rumah sakit tempat perawatan saya. Tapi beliau memilih rumah sakit lain. Dan berkat pemeriksaan itu, ditemukanlah penyebab sakit kepala beliau, yaitu daging tumbuh di otaknya. Saya pun kemudian beberapa kali menjenguknya, membalas kunjungan beliau semasa saya dalam perawatan dokter. Begitulah menurut saya, sesama pesakit harus saling mendukung dan memerhatikan kondisi temannya. Alhamdulillah hingga suaminya meninggal dunia di usia senjanya akibat penyakit diabetes mellitus yang diidapnya, beliau masih diberi panjang usia guna meneruskan pesan almarhum merawat cucu mereka satu-satunya yang sudah piatu.


***

Ada lagi pasien lain yang membuat saya tahu bahwa di Mount Elisabeth Hospital itu memang ada seorang dokter ahli penyakit kanker (onkologis) yang gencar mempromosikan jasanya kepada para pasien Indonesia. Dokter bersuku Cina ini mengklaim dirinya sebagai seorang ahli yang patut diandalkan, lewat buku yang ditulisnya sendiri soal penanganan penyakit kanker. Saya membaca buku itu dipinjami putra mantan atasan mantan suami saya yang sedang menderita penyakit kanker kelenjar getah bening.

Inilah pertama kalinya saya mendengar istilah kanker kelenjar getah bening atau Non-Hodgkin's Dissease atau Limfoma. Disebut Limfoma, karena penyakit kanker ini menyerang sistem limfatik yaitu bagian dari sistem kekebalan tubuh sebagai pertahanan dari serangan bakteri, virus dan jamur penyebab infeksi pada seseorang. Agaknya tak mudah untuk menegakkan diagnosa atas penyakit ini, buktinya Uda Iwan, teman saya itu tak terdiagnosa meski sudah berkali-kali berobat kepada dokter spesialis syaraf yang terkemuka di Jakarta.

Pasien ini datang ke Profesor yang bekerja di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta itu dengan keluhan mengalami kelemahan otot pada sebelah tubuhnya. Setiap bangun tidur matanya akan mengatup satu. Gerakan tangan dan kakinya kaku, dadanya pun terasa berat dan sakit.

Saya terkejut ketika mendapatinya berjalan gontai dari area dalam ruang kedatangan Bandara Changi dengan tatap mata sayu. Lelaki berumur sekitar empat puluh lima tahunan itu nampak tua. Istrinya yang punya sepasang mata terang benderang mengatakan, suaminya sekarang memang lemah. Anggota tubuhnya nyaris lumpuh sebelah meski sudah mengonsumsi sejumlah besar obat syaraf yang diresepkan akhli syaraf di Jakarta yang dulu merawat penyakit stroke orang tuanya.

Ketika kemudian dia sampai di ruang tamu rumah dinas kami, dia nampak bernafas pendek-pendek terputus-putus oleh batuk-batuk berkepanjangan yang menyiksa. Seketika itu saya menduga ada ketidak beresan entah pada organ paru-parunya atau jantungnya. Saya menghargai pilihannya untuk hanya minum air hangat ketika saya menawarinya minuman selamat datang. 

Siang itu juga dia berangkat ke Mount Elizabeth Hospital. Siang itu juga dia diperiksa oleh tenaga medis menggunakan segala peralatan canggih yang ada. Karena sewaktu di Jakarta dia meminta diperiksa dengan CT Scan, dokter yang merawatnya mengatakan ongkos pemeriksaan itu mahal. Artinya jika dokter tak mengindikasikan untuk melakukannya, jangan pernah meminta. Padahal pasien ini datang dari kalangan ekonomi yang kuat, ditunjang oleh pekerjaannya yang bergengsi di sebuah stasion televisi swasta.

Siang itu juga dia diharuskan untuk tinggal di rumah sakit, sementara istrinya mengabarkan kepada kami bahwa suaminya akan menjalani persiapan untuk pembedahan thorax (dada) karena ditemukan adanya penyumbatan di antara rongga jantung dan paru-parunya. Segalanya berlangsung begitu cepat dan mendebarkan.

Operasi yang memakan waktu lama keesokan harinya membuka wawasan saya akan satu kondisi kanker lainnya, yaitu kanker kelenjar getah bening yang tak disertai benjolan di sekitar leher penderitanya atau di bagian lain yang kasat mata. Setahu saya, getah bening terdapat di berbagai bagian tubuh, namun yang utama adalah di leher bagian belakang dekat telinga. Di situ biasanya teraba semacam benjolan yang terjadi karena pembengkakan. Pada teman saya yang ini, kanker itu menyumbat di rongga dadanya, bukan di lehernya pun juga tidak di bagian-bagian tubuh lainnya. Untuk membuang tumor ganas itu, diperlukan menggergaji rongga dadanya. Ah, tak terbayangkan betapa sakitnya! Setelah itu, dengan sangat hati-hati tumor itu dikeluarkan dan dipotong. Tentu saja tidak boleh sampai mengenai organ vital lainnya, yakni paru-paru bahkan jantungnya itu. Betapa sulitnya pekerjaan ini, saya tak sanggup untuk membayangkannya. Berbeda dari keadaan saya biasanya ketika akan dioperasi. Di luar negeri sana, setiap pasien akan dibekali pengetahuan tentang tindakan yang kelak dilakukan dokternya. Dan pada kasus saya hanyalah sebuah tindakan sederhana, membuka perut, kemudian langsung mengambil organ yang sakit 

Uda Iwan, pasien itu terpaksa tidur di rumah sakit selama seminggu lalu beristirahat total bersama kami di rumah dinas kami sebelum dinyatakan siap kembali ke Jakarta. Namun setelah itu beliau tetap diwajibkan datang memeriksakan diri sambil menjalani rangkaian kemoterapi serta radioterapi. Beberapa kali juga dia menyewa apartemen sendiri, tapi sempat suatu saat dia memilih menginap di tempat kami karena kondisinya yang cukup memprihatinkan. Kulitnya kehitaman seperti bekas terbakar. Sedangkan dadanya katanya masih sangat sakit. Saya yakin itu adalah bekas tindakan radiasi yang diterimanya. Sebab beberapa pasien tumor ganas lainnya juga mengalami nasib yang serupa.

Jeng Dien istri uda Iwan menceritakan, seorang teman mereka yang menderita kanker rahim pada saat yang sama bahkan lebih menderita lagi. Perempuan itu hanya bisa tergolek lemah di rumah sakit lain, disebabkan tidak kunjung membaik dalam perawatan dokter terkenal di Mount Elizabeth Hospital ini. Tubuhnya sudah kurus kering, kulitnya kisut menghitam dengan bibir pecah-pecah dan kepala botak. Selama sekian bulan dia tidak bisa pulang ke Jakarta, sehingga suaminya terpaksa meninggalkan pekerjaannya untuk mendampinginya di sebuah apartemen sewaan mereka. Kini saya membayangkan sendiri, berapa banyak dana yang harus disiapkan seorang penderita kanker apalagi stadium lanjut jika berobat di luar negeri, meski tidak dijamin akan sembuh kembali. Sangat beruntung diri saya yang hanya mengalami tumor dan kista jinak pada waktu itu. Rasanya sebanding biaya yang telah kami keluarkan dengan panjangnya waktu bagi saya untuk menarik nafas di dunia yang indah ini.

Di suatu kesempatan uda Iwan secara tak sengaja melihat dokter yang merawatnya di Jakarta sedang berjalan-jalan di suatu pertokoan di dekat rumah sakit. Dengan segera dia mencegatnya untuk melaporkan kondisi kesehatannya, setelah dia memperkenalkan diri sebagai pasiennya di Jakarta yang pernah ditolaknya melakukan CT scan. Cerita pasien itu di saat kami sama-sama beristirahat di teras rumah suatu senja, dokter yang dilaporinya cuma memperhatikan sekejap, setelah itu mengucapkan salam dan berlalu sambil mendoakan semoga lekas sembuh. Rasanya geram sekali saya membayangkan sikap seorang profesional yang begitu dingin di dalam menanggapi keluhan kliennya. Ah Indonesia, iklim dan budaya kerja kita memerlukan banyak perbaikan. Akankah kiranya itu terjadi?!

(Berambung)

Pita Pink