Powered By Blogger

Jumat, 27 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXIX)

Persahabatanku bersama Ami sudah mencapai titik puncaknya. Dia tetap mengharapkanku untuk menemani dan mendampinginya. Dan aku sendiri, selalu senang bisa berada di dekatnya, seperti siang ini ketika aku dan suami kembali mengantarkannya ke Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang.

Rizqi akan menempati tempat kostnya dengan kuantar. Keluarga Pandunagara masing-masing sibuk dengan pekerjaan dan kegiatannya, kecuali ibu Pandu yang disapa Ami sebagai ceu Ningsih, membolos dari kantornya untuk mengantar Ami. Tapi jika kuperhatikan, antara ceu Ningsih dengan anak-anak Ami kelihatan terhalang oleh rasa sungkan yang menurutku agak berlebihan.

Seperti siang itu, ketika dia menawari Rizqi untuk membawa peralatan makan miliknya ke rumah kost, Rizqi menolak dengan sopan. Dikatakannya dia akan menumpang makan pada ibu kostnya atau pergi makan ke warung nasi. Padahal aku tahu, calon ibu kost Rizqi waktu itu mengatakan, dia tidak bisa menyediakan lauk-pauk yang enak sebab semasa aktif berdinas di Rumah Sakit dulu, dia jarang punya kesempatan memasak. Karenanya biasanya anak kost di situ memilih untuk makan di luar atau memasak sendiri di dapurnya. Untuk itu disediakan sepojok tempat di belakang dapur bu Pratiwi, nama induk semang Rizqi itu untuk meletakkan kompor dan peralatan memasak anak-anak kostnya.

Tak ada tangisan di mata Rizqi. Hanya tatap mata yang tak putus-putusnya dan mengandung cinta yang dalam terhadap ibu dan adiknya. Juga pelukan erat yang dalam disertai ciuman yang bertubi-tubi sebelum Ami dan Ridho masuk ke dalam bandara.

"Kakang titip ibu ya De, jangan menyusahkan ibu di sana. Kalau ibu ada kesulitan atau penyakitnya kambuh lagi, kasih tahu aku ya? Jaga dan rawat ibu baik-baik, kakang titipkan sama kamu," kudengar dia membisikkan salam perpisahan yang bernada sangat dewasa ke telinga adiknya.

Ridho mengangguk dalam-dalam dan membalas dengan ucapan serupa, "kakang juga, hati-hati di rumah orang lain. Selamat belajar ya kang, jangan lupa jaga diri dan kesehatan, juga nanti sering-sering SMS atau ngimeil," lalu dia menciumi kakaknya dengan mata berkaca-kaca. "Aku pasti akan sangat rindu kakang," bisiknya seraya menjauh memasuki area dalam bandara menyusul ibu mereka.

-ad-

Hari perpisahan itu sepertinya semakin mendewasakan Rizqi. Setiap minggu kalau kutanyakan keadaannya, dia selalu menjawab baik-baik saja. Bahkan sewaktu kami menengoknya di akhir bulan, ibu kostnya mengatakan dia sangat sibuk dengan kegiatan sekolahnya. Bahkan hampir tiap hari dia kedatangan sekelompok teman-temannya untuk belajar bersama atau sekedar berbincang-bincang di kamarnya. "Warnet di sebelah rumah sini jadi langganan mereka sekarang, seminggu minimal empat kali," cerita ibu Pratiwi. Rizqi tersenyum mengangguk mengiyakan. "Banyak tugas sekolah tante, juga kegiatan OSIS, kebetulan saya ketuanya," alasan Rizqi.

Saat pengambilan raport tiba, Rizqi meneleponku minta tolong diambilkan raport. "Ibu nggak bisa pulang tante, karena kata Ade, ibu sedang sakit," ceritanya mengiba.

Penyakit pada kandungan Ami nampaknya kambuh kembali, dan menurut Rizqi Ami sedang dalam perawatan dan pengamatan seorang ahli kebidanan dan kandungan di sebuah rumah sakit swasta yang bagus di sana. "Kata bapak, di rumah sakit itu peralatan lengkap, tenaga medis memadai, tapi suasananya sepi dan tenang mirip di sebuah hotel. Kasihan, ibu tidak bisa jalan lagi dan kesulitan bernafas. Paru-parunya bermasalah lagi," cerita Rizqi. Di antara rasa prihatinku, terselip kegembiraan, sebab upaya Ami mendo'akan suaminya dulu tampaknya membuahkan hasil. Suaminya berbalik memikirkan dia dan mengupayakan kenyamanan serta kenikmatan yang terbaik untuknya sepanjang dia sakit.

Rizqi menyongsongku di muka pintu gerbang sekolahnya. Dia mempersilahkanku mengikutinya ke kelasnya sambil memperkenalkan kepada wali kelasnya yang menyambutku dengan hangat. Aku membaur bersama para orang tua murid, yang ternyata salah satu di antaranya adalah orang tua murid teman anakku Buyung.

"Ini anak sahabat saya mama Arini, ibunya di luar negeri sedang sakit, jadi saya yang mewakili," jawabku menjelaskan ketika ibunda Arini menanyakan hubunganku dengan Rizqi.

"Ya, seingat saya saya juga kenal ibunya. Ramah dan senang mengobrol. Sakit, di mana?" perempuan paruh baya itu menanyaiku lagi. Aku menjawab apa adanya. Kemudian dia menitipkan salam dan do'anya untuk Ami.

"Rizqi juga baik hati, senang bergaul, sopan dan banyak temannya di sini. Kata anak saya sih merupakan salah satu bintang kelas IPS," cerita Mama Arini tentang Rizqi. Aku mengangguk menyetujuinya.

Kelas sudah semakin sepi ketika kusadari nama Rizqi belum juga dipanggil. Sampai akhirnya tinggal dua orang saja lagi, bertiga dengan orang tua murid yang sedang menerima raport anaknya di meja konsultasi sana.

Perempuan berdarah Arab yang kini duduk denganku inilah yang kemudian menerima gilirannya, meninggalkan aku seorang diri. Rizqi nampak melongok-longokkan kepalanya dari jendela, seperti tak sabar lagi. Aku menebarkan senyumku kepadanya.

"Silahkan ibu, wali murid Muhammad Rizqi Rahman," tiba-tiba pak guru mengejutkanku yang tengah membuang pandang ke luar kelas.

Aku melangkah menghampirinya dengan senyum hangat.

"Mohon ma'af pak, ibunda Rizqi tidak bisa pulang dari tempat tugasnya karena sakit dan sekarang sedang dalam perawatan dokter," kataku membuka percakapan.

"Ya, saya mengerti bu. Dan saya pun menghargai kehadiran ibu. Biasanya memang ibunya selalu datang sendiri mengambilkan raport anaknya termasuk ketika kenaikan kelas kemarin. Beliau datang, walaupun saya tahu beliau ada di luar negeri. Saya tahu prinsip beliau bahwa pendidikan anak adalah urusan maha penting bagi orang tuanya," jawab pak guru panjang lebar. "Itulah yang saya hargai dari keluarga Rizqi."

"Jadi, bapak sudah dua tahun berturut-turut jadi wali kelas Rizqi?" tanyaku lancang.

"Oh, tidak, tapi kami semua sangat mengenali ibu Taufiq. Sebab selain Rizqi Ketua OSIS di sini, beliau dan ayahnya merupakan orang tua yang aktif memantau perkembangan sekolah anaknya," jelas pak guru lagi. "Di akhir pekan, pak Taufik bahkan tak segan-segan menjemput anaknya ke sekolah sendiri," tutupnya.

Lalu dia mulai membuka lembaran raport Rizqi dan menjelaskannya padaku. Ada beberapa nilai yang berubah, sayangnya agak sedikit merosot. "Saya lihat akhir-akhir ini terutama sejak akhir kelas satu, Rizqi sering kedapatan melamun walau semua pekerjaannya masih bisa diselesaikan. Bahkan seringkali dia menjadi murid yang terakhir menyerahkan tugas-tugasnya."

Guru Rizqi menduga Rizqi seperti punya beban masalah di rumahnya. Sebab sejauh itu, hubungan dengan teman-teman sekolahnya berlangsung baik. Tapi Rizqi sering kelihatan
malas pulang ke rumah, atau bahkan malas ke luar rumah, begitu menurut pengakuan teman-teman dekatnya. Dia juga lebih suka menyendiri di mushala sekolah berlama-lama atau di perpustakaan.

Dulu menurut Ami, di rumah pun Rizqi hanya senang membaca, menulis-nulis atau main musik di kamarnya. Ada sebuah keyboard yang sengaja diletakannya di sana.

Pak Daud guru Rizqi memintaku untuk menyampaikan masalah ini kepada orang tuanya, dengan maksud agar anaknya dapat menyelesaikan kelas dua dengan baik sebagai bekal menempuh pendidikan di kelas tiga yang kelak akan membawanya masuk ke universitas.

"Insya Allah saya sampaikan pak, saya bisa menghubunginya lewat telepon atau mengiriminya E-mail," janjiku disambut perasaan senang pak guru.

"Bantuan ibu sangat kami hargai, dan informasi dari ibu mengenai sakitnya ibunda Rizqi akan saya jadikan masukan kepada guru Bimbingan dan Penyuluhan yang akan menindaklanjutinya kemudian. Terima kasih atas kesediaan ibu hadir di sini," kata pak guru pada akhirnya.

Aku membungkuk hormat menyalaminya, lalu berlalu menghampiri Rizqi. "Kita bicara di rumah tante ya? Atau kakang mau makan di luar dengan tante dan oom? Nanti tante bisa minta tolong oom jemput di sini sehabis mengambil raport dik Buyung dan dik Hardi," kataku menawarkan kesejukan batin.

"Hm, nggak usah tante, bicara di rumah tante saja, kalau boleh nginap, mau juga sih," jawabnya kemudian. Lalu kami berjalan beriringan ke pemberhentian kendaraan umum yang akan mengantar kami pulang ke rumahku. Aku menyarankan Rizqi untuk berpamitan pada ibu kostnya dulu, tapi dia mengatakan sudah melakukannya tadi pagi. "Saya memang sudah rencana kepengin tidur di rumah tante hari ini," katanya ringan. Aku memeluknya dan mengguncang-guncang jambulnya layaknya kepala anakku sendiri. Rizqi pun tetrtawa malu-malu.

-ad-

Aku minta ijin suamiku untuk menelepon Ami atau pak Taufik dari rumah. Dengan senang hati dia menyambungkan line telepon untukku. Tanpa sepengetahuan Rizqi kusampaikan apa hasil konsultasi di sekolah Rizqi tadi pagi.

Ami sendiri yang mengangkat telepon walau suaminya ada di dekatnya. Dia mendengarkan semua kata-kataku dengan cermat tanpa menyela dengan komentar. Setelah habis, baru dikatakannya bahwa dia akan mendiskusikan ini dengan suaminya nanti malam. "Terima kasih atas bantuan, kebaikan dan terutama perhatianmu pada kami, Nik, semoga Allah membalas semuanya. Akan saya diskusikan dengan ayahnya nanti malam," janjinya.

Ami mengatakan bahwa dokter masih meneliti penyakitnya. Tapi kandunganku sudah pasti akan diangkat segera. "Jaringan otot di rahimku membengkak," keluhnya. "Obat-obat itu tak ada gunanya lagi untukku, do'akan aku ya Nik. Juga aku titip Rizqi," ceritanya sambil minta ijin bicara dengan anaknya.

Tak lama berselang kedua orang ibu dan anak itu telah asyik terlibat percakapan. Rizqi kedengaran berbisik-bisik lirih, seakan-akan membicarakan sesuatu yang patut dirahasiakan sebelum kemudian menyerahkan tangkai telepon padaku kembali. Air mukanya nampak muram. Aku mengelus-elus kepalanya sambil menerima tangkai telepon dari genggamannya.

"Ya Nik, sampaikan ma'af pada pak Tri, kami telah merepotkan kalian. Kata Rizqi dia minta ijin sering-sering pulang ke rumahmu. Dia tidak begitu cocok dengan keluarga uwaknya yang sangat sibuk dan penuh aturan layaknya di rumah keluarga bangsawan," kata Ami. Aku mengiyakannya serta meminta maaf pula seandainya kami juga tak dapat melayani kebutuhan Rizqi dengan baik. Sekali lagi aku mendo'akan keberhasilan operasinya serta kesembuhan sempurna baginya sebelum menutup telepon.

Malam itu Rizqi menumpahkan semua perasaannya padaku. Dia sangat kecewa pada uwaknya yang dinilainya terlalu membela Taufik. "Waktu pulang dari Sukabumi dengan tante, ibu bicara terbuka dengan wa Ningsih. Tapi tante, wa Ningsih malah bilang, ibu dilarang berprasangka terhadap bapak. Katanya, seumur hidup bapak nggak pernah berprasangka buruk terhadap ibu atau siapa pun juga. Juga bapak tak pernah menyakiti hati orang, jadi tidak pada tempatnya ibu mendukunkan bapak. Waktu itu ibu jadi nangis," tutur Rizqi.

"Ibu bukan ke dukun 'kan ya tante? Salahkah kalau ibu minta diajari do'a oleh seorang ustad?" tanya Rizqi seakan tak minta dijawab.

"Kalau tante tahu, tingkah laku bapak akhir-akhir ini begitu berbeda, menyita perhatian kita, dan terbukti menyakiti hati kami, bersalahkah jika ibuku mengatakan bahwa bapak meninggalkan kami?" gerak bibir itu mulai mengarah ke bawah, matanya sayu siap menitikkan hujannya air mata. Aku tak sampai hati melihatnya. Hatinya nampak begitu terluka.

"Kakang benar, tapi mereka juga tidak bisa disalahkan kang, mungkin uwakmu merasa dipermalukan ayahmu sehingga uwakmu membela ayahmu. Tidak apa-apa kang, kakang jangan sakit hati, tak perlu tersinggung. Itu hal yang wajar dan manusiawi. Tapi yakinlah bahwa ibumu tidak berdukun. Ibumu hanya minta diajari berdo'a untuk keselamatan ayahmu dan rumah tangga kalian. Itu yang tante ketahui," kataku membujuknya.

Anak lelaki itu menangis di kasurku. Bahunya terguncang-guncang tertelungkup di bantalku. Lelehannya membentuk gambaran-gambaran bundar tak beraturan.

Aku tetap di sisinya, mengelus-elus rambutnya yang lebat sampai dia merasa lega dan jatuh tertidur kelelahan. Di dalam lelapnya kuharap ada mimpi indah bersama ayah-ibu dan orang-orang terdekat yang disayanginya. Semoga.

(BERSAMBUNG)

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXVIII)

Aku terdiam merenung di atas pembaringanku. Malam mulai merayapkan dingin ke sekujur tubuhku. Kutarik selimut rapat-rapat menjangkau daguku. Tapi aku tetap sulit tidur. Masih saja terbayang olehku betapa Ami bersedia dimandikan sedemikian rupa.

Pikiranku terus berjalan menjalari seluruh syaraf ingatanku, mencoba-coba untuk membenarkan semua tindakan Ami. Ya, memang Ami dalam keadaan sudah sangat tertekan. Rasionya sudah mulai hilang seiring menipisnya kesabaran dalam hatinya. Apapun pasti akan dilakukannya untuk mengembalikan cinta kasih suaminya kepadanya, atau menurut bahasa Ami, menarik kembali suaminya dari lembah neraka yang tak pernah diridhai Allah itu..

Siapa pun perempuan itu, jika sakit hatinya memuncak, dia pasti akan mencari jalan sebagai pelepas stressnya. Dan aku membenarkan Ami, dia memilih mendatangi guru ngajinya daripada sembarang orang. Dia ingin mendapatkan penguatan jiwa lewat doa-doa yang tentu tak bertentangan dengan agama dan kepercayaan manapun.

Tapi soal mandi kembang itu? Aduh, bingung sekali aku memikirkannya. Aku hanya bisa mendoakan dalam harap semoga apa yang dilakoninya bukanlah syirik. Dan andaikata pun Allah tidak membenarkannya, maka kumohon bukan kepada Ami lah kemurkaan itu ditimpakan. Aku sungguh sayang pada Ami, apalagi sekarang baru terkuak olehku betapa tujuh tahun lamanya dia memendam semua perasaan tersisih dari suaminya dan kecemburuan yang beralasan itu. Andaikata itu terjadi padaku, aku yakin tak akan kuat menghadapinya.

Dentang lonceng di jam dinding kami sudah berbunyi dua kali. Sebentar lagi matahari akan bangun. Aku mencoba untuk berdzikir hingga tidur itu mampir menemaniku, membuaiku dalam kesenyapan hati dan pikiran. Duh, nikmatnya terasa ketika aku terbangun oleh sentakan selimut ditarik suamiku.

"Oh, sudah subuh ya?' kataku buru-buru duduk sambil mengusap-usap kelopak mataku. Bumi seperti bergoyang sebab aku sempat terkejut, Aku duduk barang sejenak, melihat suamiku sudah mengambil handdoeknya akan mandi pagi. Segera aku beranjak.

"Kamu kecapekan tuh jalan-jalan ke Sukabumi dengan bu Taufik kemarin," komentar suamiku.

"Ya, maklum seru, pake acara ke sawah segala sih," timpalku sekenanya sambil bergegas mencoba bangkit mengambil air sembahyang di kamar mandi pembantuku. Aku tak boleh kesiangan dan melalaikan tugasku menyediakan sarapan pagi bersama Kurnia, begitu tekadku.

Pembantuku itu sudah rapi, di tangannya semangkuk telur dikocok-kocoknya hingga menimbulkan buih tinggi.

"Saya masak nasi uduk saja ya bu, habis mau tanya ibu kemarin ibu langsung istirahat, pagi ini kesiangan bangun, capek ya bu?" kata pembantuku dari dapur. Aku menyahut singkat dengan anggukan.

Di meja makan mas Tri menyuruhku mengantarkan paspor bu Taufik dan anaknya yang sudah dikembalikan dari kantor setelah mendapat pengesahan lapor diri di tanah air sesuai prosedur yang diharuskan dinas.

"Paspornya ada di meja kerja, di dalam laci bagian tengah," pesan suamiku.

Aku mengangguk senang, sebab tanpa kusangka hari ini aku akan dapat kesempatan  bertemu Ami lagi. Telah kurencanakan aku nanti akan mengajaknya makan siang di luar sebelum minggu depan dia kembali ke posnya.

Anak-anak menolak untuk ikut ke tempat Ami. Mereka ingin mencoba permainan baru yang baru dibeli minggu lalu sebagai hadiah kenaikan kelas mereka. Mumpung libur, kuizinkan mereka bermain sepuasnya.

-ad-

Aku sampai di rumah keluarga Ami tepat ketika Ami akan berangkat menemui guru ngajinya lagi. "Aduh, maaf mbak nggak pake telepon dulu, tadi mas Taufik tiba-tiba nyuruh saya mengantarkan paspor. Saya nggak lama kok mbak," kataku di muka rumah keluarganya begitu menyadari dia akan keluar rumah.

Ami mengajak aku ke tempat ustadzahnya sekalian. "Aku mau tanya-tanya lagi ke mak Azizah, ikut aja yuk?" bujuk Ami. Tanpa ragu-ragu aku mengiyakan permintaannya karena sesungguhnya aku juga agak khawatir akan nasib Ami kalau dia mengunjungi guru ngaji itu sendirian saja.

Bu Azizah ada di rumahnya, baru selesai mengajar di rumah bu dokter Farid tak jauh dari rumah Ami. Bahkan dia masih memakai abaya hitamnya yang kemarin dulu dipakainya.

"Mari bu, silahkan masuk. Aduh kebetulan saya baru pulang ngajar juga," katanya. Dia mempersilahkan kami duduk di kursinya yang kemarin, maklum di rumah itu memang tak ada perabotan lainnya lagi. Anaknya Umar ada di rumah, baru saja tiba dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik sepatu di kawasan Tangerang sehabis berdinas malam.

"Maklum orang kecilan bu, terpaksa pulang kerja malam masih mesti belanja dulu buat istrinya dagangan di sekolahan," kata mak Azizah menjelaskan. Tapi tak urung Umar masih juga menyempatkan diri ke dapur menjerang teh dan menghidangkan sepiring bakwan yang katanya bagian dari dagangan istrinya di kantin sekolah anak mereka.

Bertemankan segelas teh manis dan sepiring bakwan, Ami menceritakan maksud kedatangannya. Dia ingin tahu apa arti kalimat Arab yang dituliskan pak haji untuknya kemarin. Juga do'a-do'a itu.

"Oh, ini artinya, ibu minta supaya hubungan cinta kasih dan sayangnya bapak sama perempuan itu diputus sama Allah. Yang ini, ibu minta supaya dibukakan pintu hati suami ibu untuk ibu. Nah, yang mesti ditaro di pintu rumah ini, artinya minta supaya bapak selalu dikasih kewaspadaan, dijaga dan dilindungin selama di luar rumah sehingga saban hari bakal selalu inget sama ibu dan kepengin cepet-cepet kumpul dengan keluaga di rumah lagi," jelas bu Azizah satu demi satu.

Ami nampak mengangguk-angguk mengerti. Namun dari mulutnya masih saja keluar pertanyaan berbau keraguan, "tapi bener ya ustadzah, artinya begitu?"

"Iya bu, ibu kudu yakin. Kalo ibu yakin, Allah bakal kasih jalan buat ibu rukun kembali sama bapak, banyak kok bu yang ketolong mamang saya," jawab mak Azizah mantap.

Ami terlihat menarik nafas lega dan tersenyum manis. Setelah itu Ami bercerita lagi mengenai perbuatan suaminya selama ini. Sebetulnya dia cuma memperdalam apa yang telah diceritakannya di hari-hari yang lalu. Namun satu dua pengakuannya, merupakan hal baru bagiku yan sungguh menggelitik.

Dikatakannya, seringkali di waktu tengah malam, dia sekan-akan mendapat bisikan dari hati nuraninya, bahwa di ponsel suaminya masih ada SMS-SMS baru dari wanita itu, sekalipun suaminya sudah menyatakan putus hubungan. Suatu malam dia berhasil membongkarnya sendiri dan mendapati SMS bertanggal hari kemarin dan hari itu, yang menyatakan bahwa suaminya tak jadi menemui wanita itu di suatu tempat. Bahkan kemudian dia menanyakan apakah hari itu si wanita sudah mendarat di negara tujuannya. Sungguh suatu pukulan bagi Ami yang paling menyakitkan.

Maka keesokan malamnya Ami menanyai suaminya lagi tentang kebenaran putusnya hubungan mereka. "Sungguh, telah kuputuskan hubungan kami. Kamu harus percaya padaku," jawab suaminya ketus.

"Tapi, aku yakin, naluriku mengatakan hingga tadi siang, kau masih bertukar SMS dengannya. Dia sedang dalam perjalanan dinas ke luar negeri juga 'kan?" desak Ami.

Suaminya merah padam, setengah memaksa dia minta diambilkan kitab suci untuk bersumpah. Tapi Ami yang bijaksana mengatakan tidak mau melaksanakannya. Cuma dipesankannya untuk tidak meladeni wanita itu lagi, kapan pun juga. Bahkan dengan sabar Ami mengatakan bahwa suaminya benar, dia sudah memutuskan hubungan, namun wanita itu yang masih nekad mengejar suaminya. Perkataan Ami dibenarkan oleh suaminya, karena itu sekali lagi dia mendesak minta diambilkan Al Qur'an, yang tentu lagi-lagi ditolak Ami.

"Sudahlah, akang tak perlu bersumpah. Aku percaya pengakuan akang jujur. Hanya pesanku, tolong jangan dekati dan bahkan jangan ladeni lagi wanita murahan itu," tutup Ami.

Tak urung menjelang keberangkatan Ami menjemput anaknya ini, Taufik menanyakan kesiapan Ami untuk berbicara dengan wanita itu di telepon. Ami yang tak menyangka, sungguh-sungguh terkejut dibuatnya. Diantara keterkejutannya dan rasa senangnya, dia mengangguk pasrah. Lalu diperhatikannya suaminya menekan nomor telepon wanita itu di ponselnya.

Pada kesempatan pertama, hubungan tidak dapat tersambung. Dan Ami mengatakan tak berkeberatan seandainya tak bisa bicara, dia minta diizinkan untuk menemui langsung wanita itu, sebab menurut Ami, dia tahu di mana tempat tinggalnya.

Suaminya yang sama sekali tak menyangka reaksi Ami, nampak pucat dan gugup. "Jangan, jangan datangi dia, tunggu, aku masih mencoba lagi menghubungi nomornya," kata suaminya sambil terus menekan-nekan keypad ponselnya.

"Aduh, kok belum juga sih," gerutunya panik. Kelihatan sekali dia begitu gelisah.

"Ya sudah, ibu bilang jangan risaukan, ibu masih bisa datangi orangnya biar pembicaraan ini jelas dan disaksikan suaminya sekalian," reaksi Ami sambil menyisir rambutnya di muka kaca rias kamar tidur mereka. Senyap terasa begitu mencekam.

Pada percobaan ketiga, ponsel itu segera diserahkan ke tangan Ami, "ini, bicaralah," kata suaminya. Ami memandang lurus padanya, "bapak dulu lah," sanggah Ami. Lelaki itu cuma menggeleng dan berujar singkat, "sudah," seraya beranjak pergi meninggalkan Ami sendirian di kamarnya bertemankan wanita itu di ujung sana.

Menurut Ami, dia memperkenalkan diri dengan nama resminya, Suratmi diikuti nama suaminya. Lalu dia menanyakan kabar wanita itu sebelum dilanjutkan dengan pernyataan bahwa dia dan anak-anaknya telah mencium hubungan terlarang wanita itu dengan suaminya,

Wanita itu cepat menyahut membela diri dan mengatakan bahwa dia hanya kawan kerja suaminya yang dinilainya lelaki sangat cerdas, penuh perhatian kepada teman-teman dan lingkungannya serta baik hati. Dinyatakannya juga bahwa antara dia dan suaminya tidak ada hubungan apa-apa, kecuali sekedar teman sekerja walaupun berlainan instansi, tegasnya.

Ami segera menyahuti dengan membenarkan semua pernyataan wanita itu, tapi sekaligus juga dia mengatakan bahwa dibalik semua kebaikan suaminya, ada riwayat masa lalu keluarganya yang kelam. Namun Ami tak berniat memerinci apapun, karena aku tahu cinta Ami pada suaminya bukanlah disebabkan Ami mengejar status sebagai anggota masyarakat kelas atas yang selain berpendidikan, bangsawan pula.

Tiba-tiba secara mengejutkan wanita itu menyahuti ucapan Ami dengan suatu kalimat yang nadanya dipaksakan untuk mengesankan kesantunan dan kebijakan orang itu. Tapi, ajaibnya dia memanggil Ami dengan nama kecilnya. "Teh Ami jangan suka membicarakan kejelekan Aa Taufik ya, selama ini Aa juga nggak pernah membicarakan tentang teteh Ami kepada saya."

Telinga Ami serentak berdiri sembilan puluh derajat. Dia sangat terkejut karena tak menyangka wanita yang diajaknya bicara menyebut nama kecilnya, padahal tadi dia memperkenalkan diri sebagai Suratmi. Dan ajiab pula, wanita yang mengatakan suaminya tak pernah bercerita menyebut-nyebut dirinya, tahu bahwa dia punya nama kecil Ami.

Belum sempat dia mendebat panjang lebar, wanita itu kemudian menyatakan bahwa dia tak ada hubungan dengan suaminya dan berniat menutup telepon dengan menanyakan, hal yang sungguh-sungguh mencegangkan, bila Ami akan sampai di Jakarta. "Itukah pertanyaan orang yang tidak pernah berhubungan lagi dengan suamiku dan membicarakan aku?" tanya Ami retoris pada kami.

Kepala Ami berdentam bukan main dan rasanya nyaris meledak. Dia menarik nafas panjang, beristighfar di dalam hati sebelum kemudian menyampaikan bahwa dia bermaksud memberitahukan sejauh ini hubungan gelap Taufik dengan wanita itu tak merugikan dirinya sama sekali. Namun justru diingatkannya bahwa wanita itu telah merugikan diri sendiri, sebab wanita itu punya pekerjaan dan karier bagus yang terhormat yang bisa terganjal oleh perbuatan nistanya sendiri.

Wanita itu terdiam sesaat sebelum kemudian mengiyakan pesan terakhir Ami, "titip jaga diri anda baik-baik. Diri anda punya masa depan yang cemerlang, bukan hanya sebagai ibu rumah tangga semata. Di mana pun kelak kalau anda bertemu dengan suami saya lagi, tolong ingatkan suami saya untuk menjaga harga diri, martabat dan karier kalian, terutama kariermu. Sebab, saya tahu, bagi suami saya bekerja bukanlah untuk mencapai puncak kariernya, melainkan untuk berbuat banyak yang akan memberi arti bagi masyarakat, maklum dia dulu anak janda yang kenyang makan asam-garam kehidupan," tutup Ami terdengar sangat bijak.

Tak ada setetes pun air mata, bahkan saat Ami mengulang kembali ceritanya dimuka kami, aku dan mak Azizah di gang pengap itu. Kata-katanya terlontar datar, lembut dan sangat santun namun mengena.

Mak Azizah mengelus-elus pundak Ami, aku menggenggam tangannya. Kami berbagi kebahagiaan mendengar penuturan Ami yang begitu santun jauh dari emosi murahan yang meledak-ledak.

"Dari mana mbak Ami tahu alamat wanita itu?" tanyaku tentang rencana Ami mendatanginya ke kotanya.

Ami tersenyum nakal. "Ada deh, pokoknya aku punya intel-lah. Intel inside," guraunya.

Sambil berjalan pulang dari rumah bu Azizah Ami mengatakan bahwa dia memanfaatkan jasa saudaranya di kota itu untuk menelusuri nama dan alamat yang dtiemukannya sewaktu membongkar-bongkar tas kerja suaminya setelah kejadian SMS-SMS menyakitkan itu.

"Kertas itu tak lebih dari separuh lebarnya kartu nama, dimasukkan memojok di dalam tas. Tapi Allah berada di pihakku dan anak-anak Nik, aku dituntunNya dalam sekali raba kesana. Kau boleh percaya, boleh tidak Nik, Ini bukan kejadian pertama untukku. SMS-SMS dua hari berturut-turut yang disangkalnya itu, juga kuketahui lewat sesuatu bisikan yang aku tak tahu bisikan siapa di tengah malam itu, tepat  ketika aku menyelenggarakan shalat tahajjudku," urai Ami padaku.

"Kata saudaraku, betul ada nama itu di jalan yang kusebut. Dia seorang pegawai negeri yang menambah penghasilannya dengan membuka biro jasa pernikahan, event organizer sekaligus menyediakan hiburan pesta. Dan dia sendiri itulah sinden di kelompok seni tradisional yang diasuhnya. Saudaraku menelepon ke sana, berpura-pura menanyakan jasa pengaturan rencana pernikahan," kata Ami lagi sambil tersenyum jenaka malah nyaris tertawa. Dia terkikik sendiri sehingga memancing tawaku juga.

Jalanan Jakarta yang panas siang itu tak lagi kami hiraukan. Aku jadi semakin terkagum-kagum saja pada Ami yang menolak kuajak makan siang di luar. Sebagai gantinya dia bahkan menghentikan gerobak bakmi ayam di muka rumah keluaga Pandunagara seakan-akan pelengkap kebahagiaan hatinya yang mulai tumbuh.

(BERSAMBUNG)

Kamis, 26 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXVII)

Agaknya walaupun sudah jadi "orang Betawi" yang hidup di Metropolitan Jakarta, mak Azizah tetap tak bisa lupa akan kampung halamannya. Untuk menghindari macet yang mengular di sekitar Pasar Cicurug, mak Azizah mengarahkan pak Binsar untuk berbelok ke timur, mengambil jalan pintas di sekitar Parungkuda, sehingga kami bisa sampai di kampung kelahiran mak Azizah cukup pagi.

Rumah yang merangkap pesantren kecil-kecilan itu berdempetan dengan klinik bidan, di arah barat jalan raya menuju kota Sukabumi. Pemiliknya seorang lelaki kira-kira berumur enam puluh tahun kurang sedikit, berpenampilan rapi tanpa jenggot panjang maupun kumis.

Matanya bening tajam, dan kulitnya kuning langsat, bersih, terlalu bersih untuk kulit seorang lelaki. Dia hanya mengenakan kopiah hitam, bercelana panjang dengan kemeja putih digulung lengannya menjadi tiga perempat. Jauh dari bayangan dalam benakku sebelumnya.

Istrinya yang mempersilahkan kami adalah seorang dukun beranak yang mendampingi praktek bidan anaknya. Atau lebih tepatnya sebetulnya, anaknya mendampingi ibunya untuk mengajari proses menolong persalinan secara modern.

"Ijah kamana wae, mani lami teu aya ka dieu," sambutnya sambil memeluk mak Azizah. lalu mereka bercakap-cakap dalam bahasa daerah setelah terlebih dahulu memperkenalkan Ami dan aku padanya. Kemudian dia masuk diikuti mak Azizah untuk melihat kesiapan suaminya. Menurutnya, masih ada seseorang yang sedang berkonsultasi di dalam, serta seorang perempuan dengan anak balitanya duduk menunggu di ruang tamu berdekatan dengan kami.

Mak Azizah kembali membawa sesetoples kacang sukro dan gelas-gelas air minum berisi teh bening tawar yang sudah dingin. Dipersilahkannya kami mencicipinya sambil menunggu pamannya menyelesaikan persoalan pengunjung terdahulu.

Rumah di balik punggung bukit kapur itu agaknya sudah cukup termasyhur sampai ke mana-mana. Buktinya, perempuan di dekat kami ini bercerita tentang keperluannya tanpa kami tanya. "Saya mau membuat suami saya kapok bu, dia meninggalkan saya dan anak ini berkali-kali. Hati saya sakit bu, sebab kami 'kan bukan mainan," katanya.

Konon suaminya seorang supir bus antar kota, sering sekali berlaku serong dengan perempuan yang ditemuinya di sembarang tempat.

"Ibu-ibu jangan kuatir, pak Haji berhasil balikin lagi suami kakak saya," katanya bersemangat, "Biasanya kita diminta bawa syarat bu, ibu lihat saja nanti, pak Haji akan panggil ibu untuk beli apa supaya doanya waktu dimandiin manjur," lanjutnya lagi.

"Biasanya minta apa ceu?" tanya Ami penasaran.

"Tergantung, kadang-kadang kelapa gading sama kembang-kembang gitu bu," orang itu menjawab santai.

-ad-

Ami masuk satu jam kemudian. Aku dimintanya ikut menemani ke dalam atas ijin pak Haji Dudung. "Kamu nanti mengingatkanku kalau-kalau ada yang terlupa kusebut," alasannya.

Aku terpaksa masuk juga walau setengah tak bergairah. Ami duduk berhadap-hadapan di sebuah meja dengan pak haji layaknya orang konsultasi di dokter. Aku diberi tempat di sudut ruang, pada sebuah bangku kayu. Tak ada apa-apa di meja itu, selain seuntai tasbih dan sebuah buku lengkap dengan ballpointnya.

Di dinding ayat-ayat suci dan asma-asma Allah digantungkan rapi. Semua dalam nuansa serba putih.

Ami memulai ceritanya. Pak haji menanyainya lebih dalam, termasuk nama ibu mertua Ami untuk merujuk kepada nasab pak Taufik. Semua dicatat baik-baik oleh pak haji di bukunya yang satu itu. Layaknya orang konsultasi dokter saja. Aku tersenyum mengamatinya.

Baru di ruangan ini kudengar kisah Ami selengkapnya. Perselingkuhan itu sudah di curigainya sejak mereka tinggal di Eropa dulu. Walau dia tidak pernah menyebut rasa cemburunya kepada Elis, tapi tersirat bahwa dia merasa diabaikan suaminya sejak mereka mengenal Elis. Juga ketika suatu hari pembantu mereka melaporkan pada suaminya ada telepon dari Indonesia, dengan menyebut sebuah kota yang asing bagi keluarga mereka.

Selesai bertelepon Ami sempat menanyakan kepada suaminya asal-usul penelepon itu dan apa maksudnya. Katanya dia mendengar suaminya membicarakan uang, sehingga dia ingin tahu isi telepon itu.

"Dari temanku Budi Sunarso, anaknya sakit di rumah sakit dan berniat pinjam uang untuk pengobatan anaknya," jawab Tauffik.

Ami sempat mengernyitkan dahi, "Budi Sunarso? Teman di mana? Rasa-rasanya aku kenal semua teman-temanmu sejak sekolah hingga sekarang, tapi Budi Sunarso siapa?" tanyanya polos.

"Teman kerjaku di kota itu. Anaknya terserang usus buntu yang semula dikira typhus. Karena emergency dia langsung dioperasi. Tapi ya itu, biayanya kurang, jadi dia minta pinjam lebih dulu," terang Taufik lagi begitu tenangnya.

Ami mendesak lagi dengan segala keluguannya," kok orang baru kenal sudah berani bilang pinjam, ya, berapa?"

Taufik tak banyak bicara, "Tiga juta saja," cuma itu katanya.

Setulus hatinya Ami yang tak pernah mengerti permainan cinta anak manusia mempercayai penuturan suaminya, Sampai dia sendiri lupa untuk mempertanyakan dari mana lelaki bernama Budi Sunarso itu mendapatkan nomor rumah mereka di luar negeri.

Baru kini, hari ini, Ami menyadari kebohongan suaminya. Dia mengaitkannya dengan temuannya dan anak-anak mereka di ponsel itu. Juga hasil pelacakannya yang menakjubkan. Sebab di dalam salah satu SMS Taufik yang tertuju pada kekasih gelapnya, ada disebutkan kiriman uangnya untuk anak wanita itu. Dilengkapi lagi dengan SMS yang tertuju kepada anak gadis wanita itu bahwa dia akan membayari ongkos sekolahnya.

"Mbak Sari, jangan kuatir soal biaya PKLmu. Mama sudah dapat solusinya. Oom sudah selesaikan dengan mama, mbak Sari tenangkan hati," begitu kira-kira bunyinya. Ami bilang, dia lupa pastinya, karena dibawah tekanan rasa gugup campur keterkejutan, dia lupa untuk memforward lebih dulu pesan itu ke ponsel anak-anaknya.

Aku terpana mendengarnya. Betapa selama ini, aku yang ada di depan matanya, tak pernah bisa menangkap isi hati dan perasaan Ami yang sesungguhnya. Dia kelihatan biasa saja, cerah ceria seakan-akan hidupnya bahagia. Bahkan di panggung hiburan yang jadi tugasnya itu, dia selalu menawan dan berhasil menjadi sang Primadona yang luwes.

Pak haji mendengarkannya penuh kesabaran sampai titik terakhir cerita Ami. Setelah itu dia minta diri mengambil air sembahyang, lalu berdo'a serta berdzikir. Terakhir kalinya dia mengambil alat tulisnya lalu menulis-nulis sesuatu di situ.

Ritualnya diakhiri dengan berbicara kepada Ami, "ibu, wanita itu ada di timur. Dia istri seseorang sekaligus pegawai. Suaminya inilah sumber masalahnya. Dia tidak bekerja sehingga si istri harus kerja keras. Dalam kesulitan begini, suami ibu masuk. berkenalan. Suami ibu sendiri karakternya sangat baik, penuh kasih sayang dan perhatian kepada semua orang. sehingga wanita itu memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya," kata pak haji sambil memperlihatkan coretan-coretan di kertasnya yang tak kami mengerti. Sebagian besar beraksara Arab.

"Apakah suami saya menikahinya pak?" tanya Ami lirih. Kelihatan sekali betapa Ami belum siap mendengar jawabannya. Dia menundukkan wajahnya.

"Nggak, nggak dinikahi sih bu, tapi wanita itu terus saja mengganggu suami ibu dengan upaya-upaya liciknya. Ini harus ibu singkirkan, karena bapak nggak menyadari," jawab pak haji.

Aduh, lelaki, batinku. Kesalahan sesama kaumnya tentu akan dibelanya habis-habisan dengan mengatakan bahwa Taufik melakukan itu di luar kesadarannya. Benarkah demikian?

"Tolonglah saya pak, saya harus baca do'a apa dan menjalankan syarat apa supaya suami saya terlepas darinya," suara Ami bergetar menahan tangis.

"Saya tahu, genggaman cinta ibu sangat kuat, jadi ibu pasti bisa membawa bapak kembali ke tangan ibu. Asal ibu mau menyucikan diri, ibu mandi dengan air yang saya doakan. Sehabis itu ibu saya kasih rapalan do'a yang harus ibu ucapkan setiap habis shalat terutama subuh dan isya. Jangan lupa tahajjud malam hari, gimana bu?" tantang haji itu lagi.

Ami memandang padaku seolah-olah minta pendapat. Aku mengangkat bahu, tak tahu-menahu. Akhirnya terlontar dari mulutnya bahwa dia bersedia dimandikan.

Pak haji beranjak ke dalam rumahnya, lalu mak Azizah mengikutinya di belakang dengan membawakan sewashkom air bunga. "Bu Taufik, aduh saya lupa bilang, bu Taufik atuh harusnya bawa baju ganti tadi, ya sudah sekarang ibu pakai punya bibi saya dulu ya, nanti kita bisa pergi cari baju sebentar sesudah mandi," katanya menyesali diri.

Ami nampak kebingungan lalu mengangguk pasrah, "ya deh mak, apapun yang terjadi saya sudah kepalang sampai disini, saya jalani saja, terima kasih atas pertolongannya," kata Ami.

Di depanku Ami nampak diguyur dengan air bunga yang lebih dulu dido'akan pak haji setelah menggelar tikar di lantai sebagai alasnya. Mataku nyaris copot, kebingungan tak percaya, sebab, setiap guyuran air itu seperti segera habis ditelan lantai yang terbuat dari ubin. Kugosok-gosok sendiri mataku, tapi ya, betul, aku tak salah melihat.

Dalam pada itu Ami digurat-gurat di beberapa bagian punggungnya dengan lidi, entah apa maksudnya. Setiap guratan itu seperti tak menimbulkan rasa apa-apa pada Ami. Selesai itu Ami diminta membilas tubuhnya di kamar mandi keluarga pak haji, selagi mak Azizah setia menungguinya untuk mengangsurkan handdoek dan pakaian bersih untuknya.

Aku minta ijin berangkat ke pasar di dekat situ untuk mencarikan pakaian bagi Ami seadanya saja. Ami menyetujui, bahkan dia ingin dapat segera selesai dan pulang ke Jakarta agar tak menimbulkan kecurigaan anak-anaknya. "Daster saja ya Nik, supaya aku bisa bilang aku kecemplung sawah disini sehingga ganti dengan daster," serunya dari bilik kamar mandi. Aku tertawa sendiri, lalu buru-buru meninggalkannya,

-ad-

Ami sudah nampak duduk di ruang makan keluarga pak haji dengan bu hajah istrinya dan mak Azizah. Mereka menunggu kami untuk makan siang yang sudah aggak kesiangan. Perut lapar kami segera terisi karedok, sambal terasi, ikan mujair goreng dan tumis oncom. Ami makan dengan lahap. Sepertinya dia puas sekali.

Hampir jam tiga sore kami buru-buru kembali ke Jakarta. Bu Azizah kembali menyusuri jalan kampung karena dia akan mengantar Ami membuang kelapa gading yang didapatnya dari pak haji serta seekor ikan mas juga pemberiannya ke sungai yang mengalir deras.

Ami menyempatkan diri mampir sebentar di pasar mencari oleh-oleh untuk anak-anak kami. "Biar nggak pada ribut nanya ini-itu," alasan Ami.

Sambil mengobrol lirih sepanjang perjalanan di jok belakang, Ami mengatakan bahwa dia dibekali do'a-do'a dari pak haji berikut sebuah kertas yang bergambarkan jantung hati. Aku harus menjiplaknya di atas baju bekas pakai suamiku, nanti kugunting pada bagian gambar hatinya dan kutanam di halaman," kata Ami tentang isi kantung plastik di tasnya. "Oh ya, ini ada juga tulisan pak haji yang mesti digulung, nanti di taruh di pintu tempat keluar-masuknya suamiku tiap hari," lanjut Ami sambil mempelihatkan mantera dalam huruf Arab yang dituliskan pak haji di selembar kertas putih kecil.

"Mbak percaya dengan ritual begini?" pancingku ingin tahu.

"Hm, bukan pada ritualnya ya, aku cuma percaya keampuhan do'a-do'a pak haji sih. Apalagi ibu muda tadi bilang, kakaknya tertolong, ya walahu alam lah," jawab Ami sambil menatap jejeran persawahan dengan padinya yang berayun-ayun mengangguk ditiup angin.

"Kalau dibilang aku disuruh melarung kelapa dan ikan ini serta menanam sobekan baju suamiku, aku cuma sekedar mengikuti apa maunya pak haji, semoga ada manfaatnya," lanjut Ami lagi.

"Lha, rapalan isim atau apa tuh yang harus ditaruh di pintu?" pancingku lagi.

"Moga-moga isinya benar-benar tidak menyesatkan, melainkan membawa suamiku untuk ingat pulang kembali ke rumah kami, tentunya lewat pintu itu," jawabnya tak terduga namun terkesan cerdas.

Kami berdiam diri sampai di pinggir jembatan besi tua entah di daerah mana. Di bawahnya sungai mengalir deras, membawa muatan-muatan hasil perbuatan kotor manusia di hulunya sana. Ami menjatuhkan kelapanya, memandanginya sampai kelapa itu benar-benar hanyut walaupun sulit sebab batu-batu kali yang besar-besar berserakan mengganjalnya. Tapi setidak-tidaknya, ikan mas yang dipindah dari kolam pak haji bisa berenang mengikuti derasnya air entah kapan sampai ke pelabuhan Pasar Ikan.

Benderang malam metopolitan menyambut kami di rumah keluarga Pandunagara disertai pandang mata keheranan anak-anak Ami menyaksikan Ami tampil berdaster. "Ini ibu terpaksa beli daster baru, tadi habis ngaji ustadzah ngajak ke sawah, ah, dasar ibumu orang kota, kecemplung di balong," seru Ami seriang mungkin sambil tertawa-tawa sendiri.

Oh Ami, kau sungguh sang Primadona. sekaligus aktris terbaik di panggung sandiwara rumah tanggamu, batinku kelu.

(BERSAMBUNG)

Senin, 23 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXVI)

Taksi pak Binsar tetangga lima rumah dariku kami sewa ke rumah Ami. Anak-anak mereka semua menunjukkan wajah cerah. "Aku mau masuk gudang ya bu, ada buku dan mainan yang mau aku ambil," pinta si bungsu Ridho. Rizqi juga tak mau kalah, katanya dia akan membawa pindah perlengkapan sekolahnya sekalian. Katanya, selama ini dia hanya membawa barang sedikit ke rumah uwaknya. Maklum mereka berdua harus tidur di satu kamar sehingga lemarinya sangat terbatas. Ami mendengarkan dengan sabar dan mengabulkan keinginan anak-anaknya,

"Tapi ibu mau pergi ke rumah mak Azizah ya? Ibu mau belajar ngaji dan shalat apa tuh yang terakhir dulu diajarkan mak Zizah. Biar nggak lupa," kata Ami sambil tersenyum lega dan memincingkan sebelah matanya padaku. Aku mengangguk mengerti.

"Nanti siang, beli makan di warung pak Karno. Ibu minta balado kentang, gulai ati-ampela, sayur kacang panjang dan tempe goreng. Kalian boleh pilih lainnya, sekalian tanya pak supir dan tante Tri mau apa," pesan Ami.

Kedua anaknya mengangguk dan menjawab serempak. Lalu mereka menanyai kami masing-masing.

Di perjalanan yang hanya setengah jam itu kami mengobrol santai. Tapi tak sepatahpun Ami melanjutkan curahan hatinya semalam.

Kami lalu turun di muka pintu gerbang rumah Ami. Rizqi menekan bel pada pintu, Seorang lelaki paruh baya tampak mengintai dari gordijn jendela ruang tamu sebelum kemudian keluar membukakan pintu menyambut kami.

"Itu penjaga rumahku. Lik Dullah dengan istrinya, pegawai pabrik garment di blok Q," kata Ami menjelaskan. "Lumayan Nik, daripada dikosongkan, lebih baik mereka numpang tinggal padaku. Biasanya lik Dullah masuk pagi, bergantian dengan istri dan adiknya, tapi entah kenapa gini hari dia ada di rumah."

Lelaki yang dinamakan lik Dullah dan istrinya yang belakangan kuketahui bernama So'im bergegas menyambut kami dengan mencium tangan Ami dan menepuk-nepuk bahu anak-anak itu.

"Nggak ke pabrik lik?" tanya Ami.

"Kebetulan jadwal giliran dirubah bu, sekarang Atun yang kerja, saya dan mbok-e ada di rumah, kena giliran siang dan malam," jawab lik Dullah sambil mempersilahkan masuk.

Rumah itu masih tetap bersih dan terawat. Hanya saja perca-perca guntingan kain nampak di atas meja makan keluarga mereka seperti ada orang sedang bekerja.

"Aduh maaf bu, ini saya bawa sedikit lemburan," kata So'im malu-malu seraya beranjak merapikannya.

"Nggak 'pa-'pa Im, toch kamu nggak tahu ibu mau datang," jawab Ami kalem. Anak-anaknya sudah menghambur ke dalam dan memasuki kamar mereka masing-masing.

Kami tak berlama-lama di rumah, karena Ami segera ingin menemui guru ngajinya di perkampungan belakang tempat tinggalnya.

"Saya panggilkan mak Azizah kesini bu?" lik Dullah menawarkan diri.

Ami menggeleng dan melenggang ke luar lalu menyeretku memasuki gang di perkampungan yang sarat anak-anak kecil berbaur dengan kucing, anjing liar, ayam serta segala jenis binatang termasuk lalat dan tentu saja bau busuk sampah yang dikerumuninya. Panas pagi Jakarta menyentak gairahku.

-ad-

Rumah itu berada di lembah, mendekati bantaran kali. Hanya petak batako kusam tanpa warna. Tapi ada cahaya dari jendela lebar yang sengaja dibuat dan dibuka pemiliknya menghadap ke timur.

"Assalamu'alaikum bu hajah," seru Ami dari luar.

Seorang wanita kira-kira sebaya dirinya muncul dari dalam berabaya hitam. "Wa'alaikum salam, masya Allah, bu Taufik? Lha kok ada di sini? Kok ke sini sendiri?" Senyumannya lebar, tapi tetap menampakkkan keterkejutan dirinya.

"Iya bu hajah, mau jemput si bungsu biar ikut pindah. Perkenalkan dulu, ini sahabat saya bu Triatman," kata Ami sambil memperkenalkanku.

Kusambut uluran tangan guru ngaji Ami dengan senang hati. Diapun mempersilahkan kami masuk, duduk di kursinya yang sudah pudar kehilangan warna serta tenggelam ke tanah ketika kami duduki. "Aduh maaf ibu-ibu, tempatnya nggak pantes nih," katanya malu-malu.

"Sudah jangan dipikirin bu hajah, saya ke sini memang sangat perlu mau bicara dengan bu hajah, nih,' jawab Ami.

Tak lama diapun mulai dengan kisahnya, selagi guru ngaji itu mendengarkan dengan sabar dan saksama.

"Jadi saya sekarang mesti gimana bu hajah? Ada orang yang bisa bantu saya menguatkan iman dengan do'a-do'a nggak ya?" tanya Ami akhirnya sampai ke pokok persoalan.

Ibu Azizah menyebutkan nama seseorang di pelosok Sukabumi sana sebagai orang yang dimaksud Ami. "Paman saya sendiri sih, sudah banyak kok yang baikan lagi setelah dimandikan dengan jampi-jampi dan dibekelin do'a serta dzikir dari paman saya," terang bu Azizah. "Ini bukan musrik meminta-minta sama jin, cuma paman saya mengajarkan do'a sambil mendo'akan juga. Nah, do'anya itu diucapkan di air kembang, air kembangnya terus dipake mandi deh," sambungnya lagi menjelaskan secara rinci.

Ami tampak terdiam merenungi. Urat-urat di sekitar dahinya berkerut menandakan dia berpikir keras.

"Ibu inget pak Saman yang supir kopaja 'kan? Noh yang di RT 4? Lagi dia baru diberhentiin dari kerjanya, dia minta tolong sama paman saya. Dimandiin dan diajarin do''a gitu, eh, nggak lama dia dapet kerja jadi supir Kopaja ini. Pan dulunya mah tukang anter jemput anak sekolah," cerita mak Azizah untuk memberi contoh dan meyakinkan Ami.

"Kalu ibu setuju, saya sedia anter ke rumahnya, kita naik bus juga bisa," celoteh bu Azizah lagi pada akhirnya.

Ami menyatakan kesanggupan dan tekad bulatnya. Tapi aku mencegahnya dengan hati-hati, "mbak, kurasa lebih baik pak haji itu yang diundang ke sini, rasanya terlalu riskan kalau mbak yang harus mendatanginya," pintaku.

Ami memandangku dengan tegas, ternyata dia tetap pada keinginannya, "nggak, aku harus mencobanya Nik. Barangkali kita bisa menyewa taksi pak Binsar ini daripada naik bus, iya toch? Aku ingin yang terbaik untuk suamiku Nik, untuk keselamatan dirinya dunia akhirat," jawab Ami sambil menggigit bibirnya.

Aku hanya bisa mengangkat bahu. "Ya sudahlah kalau memang mbak maunya begitu, asal mbak yakin saja akan keberhasilannya," jawabku pada akhirnya.

Kemudian mereka berunding soal hari keberangkatan setelah mak Azizah lebih dulu menelepon saudaranya itu lewat ponsel Ami. Besok pagi kami diputuskan akan kesana.

Kami minta diri. Tinggal tugasku memesankan taksi pak Binsar lagi seharian. Untunglah beliau bersedia,mengantarkan besok pagi. Aku akan menjemput Ami di rumah keluarga Pandunagara pagi-pagi sekali.

Semalaman aku nyaris tak tidur memikirkan apa yang akan kusaksikan besok di rumah seorang haji di Sukabumi. Antara percaya dan tidak, aku akan menenami dan mendampingi sahabatku ke dukun. Ah, tak salahkah jika aku mengistilahkan haji itu sebagai dukun?

Mas Triatman menangkap gelisahku, "ibu kenapa sih melamun terus? Bubur ayam cuma diaduk-aduk tak habis-habis?" pancingnya.

Aku menunduk menghindari tatapannya, "hm nggak, ibu minta ijin ya? Bu Taufik minta ditemani ke tempat kerabat guru ngajinya di Sukabumi untuk belajar ngaji seharian," kataku ragu-ragu.

"Di mana? Di ustadnya penyanyi yang diribut-ributkan TV itu?" selidik suamiku sambil menyuap buburnya.

"Hm, bukan sih, di rumah ustad tua pemilik pesantren, gurunya ustadzah bu Taufik," jawabku apa adanya.

"Ya sudah, silahkan, asal hati-hati ya. Naik apa?" tanya suamiku lagi.

Aku menunjuk rumah pak Binsar, "diantar pak Binsar lagi, aku janji cepat pulang kok."

Suamiku diam saja. Diam dalam arti yang dalam, mungkinkah dia kebingungan sendiri akan kegiatan kami yang di luar kebiasaan ini? Aku pun turut terdiam, merenungi semua gerak langkah Ami sahabatku sayang. Semoga Allah menuntunnya mencapai kebahagiaan.

(BERSAMBUNG)



BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXV)

Suamiku bilang aku tidak boleh terlalu jauh ikut campur mengenai masalah rumah tangga bossnya, waktu aku menyampaikan bahwa aku jadi keluar siang ini naik mobil mas Ruddy dengan Ami. Kukatakan pikiran Ami sedang kalut, karena suaminya semakin tak memperhatikan dirinya dan keluarganya. Aku mahfum akan larangan mas Tri. Maka aku keluar kamar dengan satu tekad, aku hanya akan mendengar saja keluhan Ami, bukan ingin mengorek-ngorek segala sesuatunya lebih dalam lagi.

Kami sampai di rumah kerabat pak Taufik hampir pukul sepuluh pagi, sekalipun kami keluar rumahku jam sembilan tepat. Anak-anak Ami nampak sudah menunggu dengan tak sabar. Si bungsu segera bergelayut manja di tubuh ibunya, waktu Ami mengucapkan salam di depan pintu.

Tuan dan nyonya rumah sudah ke kantor. Anak mereka juga keluar rumah untuk berdagang, meninggalkan pembantu rumah tangga mereka yang dua orang. "Rina, bekerja jadi penjahit Nik, jadi pagi-pagi begini dia keluar rumah mengantarkan jahitan pelanggannya sekaligus belanja kebutuhan menjahit," jelas Ami tentang kemenakannya yang dulu pernah dimintai tolong mengantarnya ke dokter. "Maklum pedagang pakaian, tapi pelanggannya banyak lho, termasuk toko-toko itu untuk seragam sales girlnya," lanjut Ami dengan nada bangga.

Ami segera minta diri kepada si pembantu, lalu aku minta tolong kepada supir kakakku untuk mengantarkan kami ke sekitar lokasi sekolah Rizqi. Rizqi sendiri tak banyak cakap, sementara Ridho terus menempel di tubuh ibunya. Di Kijang Krista kakakku, Rizqi memilih duduk sendiri di bangku depan.

"Kang Rizqi betul-betul mantap minta ditinggal?" tanyaku pada pemuda tanggung itu.

"Ya tante," jawabnya singkat tanpa menoleh.

"Kenapa kakang nggak pilih tinggal di rumah uwa yang tadi saja sih?" pancingku lagi.

" Saya ingin mandiri. Lagi pula ceu Ririn sendiri juga sibuk jarang bisa menemani saya, jadi ibaratnya sama saja kalau pun saya tinggal terpisah," jawabnya lagi dengan suara berat. Kuperhatikan pita suara Rizqi kini telah pecah, dan dari caranya bertutur serta mengatur kata-kata nampak bahwa dia sudah jadi Taufik junior, seorang lelaki yang penuh percaya diri dan tanggung jawab.

"Ya, kalau begitu andaikata kakang butuh pertolongan, jangan segan-segan menelepon tante dan oom ya, kami siap membantu sepanjang kami belum pergi lagi," kataku menawarkan.

"Terima kasih tante," lagi-lagi jawabannya cuma sepotong.

Mobil kami menembus kepadatan lalu lintas Jakarta, melewati deretan pedagang jalanan yang menghadang sopir di tengah kemacetan. Belum lagi anak-anak putus sekolah atau mungkin anak jalanan yang menggoyang-goyangkan botol aqua berisi butir-butir beras ada di hampir setiap lampu merah. Mata Ami tak putus-putus memperhatikannya.

"De, lihat mereka, seandainya orang tuanya mampu dia sudah ada di dalam kelas jam segini. Tapi, kasihan amat ya, mereka terpaksa berpanas-panas di jalanan berdebu, ramai lagi," kudengar Ami bercakap dengan anaknya.

Ridho tak menjawab. Tapi matanya tampak mengawasi arah yang ditunjukkan ibunya.

"Makanya De, belajar yang rajin, supaya kelak kamu dapat kerja kantoran yang tetap sehingga di masa dewasamu kamu bisa menghidupi keluargamu. Anak dan istrimu, seperti ayahmu, ya?" kata Ami lagi. Kedengaran begitu mantap menyiratkan betapa pun hatinya terluka, tapi dia tetap amat mengagumi dan mengasihi suaminya. Lelaki yang disebut-sebutnya sebagai harta karun terindah dalam hidupnya.

Tetap tak ada jawaban dari kedua anak-anaknya. Maka terasa betapa mobil kami begitu sepi, dingin, dan hanya ada deru mesin halus di gendang telingaku.

-ad-

Kami berhenti di beberapa rumah yang alamatnya didapat Ami dari penjaga sekolah anaknya. Sebuah rumah, berupa rumah petak milik seorang Haji Betawi asli. Kami tak memilihnya, karena Rizqi hanya bisa menyewa kamar petak di sana. Rumah lainnya milik sepasang suami-istri tua pensiunan Angkatan Laut, namun agak jauh dari sekolah walaupun pemilik rumah tinggal di paviliun rumah kost itu. Mereka mempertimbangkannya sambil mencari kemungkinan lain.

Di sebuah pekarangan luas mobil kami berhenti. Seseorang berjilbab keluar dari dalam rumah, dan mempersilahkan kami masuk. Perempuan paruh baya itu adalah janda pemilik rumah. Dia menerima kami dengan ramah sambil mengantar kami berkeliling ke kamar-kamar kostnya yang berada di sisi kiri dan kanan halaman itu. Semuanya ada enam kamar, lengkap dengan AC dan aliran listrik yang besar. "Saya dan orang tua almarhum suami saya tinggal di situ," katanya sambil menunjuk rumah induk. "Insya Alalh semua penyewa dapat terawasi. Sebab ibu mertua saya dulu guru di SPG,"katanya lagi.

"SPG, apa sih tante?" tanya Rizqi padaku.

"Sekolah Pendidikan Guru, sekolahan yang sekarang jadi SMK. Dulu dipakai mendidik para calon guru TK dan SD waktu tante masih sekolah," jawabku menjelaskan.

Nyaris seharian kami berkeliling kota sampai akhirnya Ami memutuskan tinggal di rumah seorang pensiunan perawat yang sederhana, namun rapi dan menyatu dengan tempat tinggal induk semangnya. "Aku lebih merasa tenang dan mantap dengan rumah itu, pemiliknya sangat ramah dan lagi rumahnya terawat. Belum lagi beliau bekas suster, jadi aku tak khawatir menitipkan Rizqi padanya," alasan Ami. Rizqi juga setuju dengan pendapat ibunya, "ya bu, buatku, yang penting rumahnya bersih, tenang, dan setiap saat ada yang mengawasiku," katanya senang.

Malam itu Ami kembali ingin menginap di rumahku. "Ibu masih ada yang perlu diselesaikan dengan tante Tri," alasan Ami.

"Boleh aku ikut?" tanya Ridho seketika. Nampak sekali dia tak mau berpisah dari ibunya. Aku mengangguk menyetujui, "ayo, silahkan, ada dua kamar kosong kok di rumah tante, Akang ikut juga ya?"

Rizqi diam sejenak sebelum kemudian menyetujui kemauan adiknya. "Tapi kita harus pulang ke rumah uwa dulu 'kan, pamitan baik-baik dan ambil baju?" tegasnya.

Kami membenarkan, sehingga sore itu di rumah keluarga Pandunagara hanyalah acara pamitan dan tukar pakaian.

-ad-

Ami tetap menempati kamar yang kemarin kuberikan kepadanya, selagi anak-anaknya kuinapkan di kamar anak-anakku. Kedua anak-anakku mengungsi ke kamarku, dan ke kamar Kurnia, pembantu kami.

Mereka asyik menonton televisi dan main games di komputer dengan anak sulungku. Suamiku menemani Rizqi dan mengobrol cukup asyik di depan televisi layaknya para lelaki dewasa. Nampaknya suamiku sengaja memberi kesempatan padaku untuk melanjutkan pembicaraan dengan Ami.

"Nik, aku harus gimana ya?" keluh Ami lagi ketika kami baru masuk ke kamar.

Aku terdiam sejurus, sebelum kemudian mulai dengan pertanyaan yang lumrah, "sebetulnya mbak Ami sudah menanyai pak Taufik soal wanita simpanan itu belum sih?"

"Sudah. Pada saat aku akan dipesankan ticket untuk menjemput anakku kemarin, kusampaikan keinginanku untuk sekalian tinggal di rumah."

Aku memandangnya tak mengerti, "mbak minta tinggal di rumah? maksudnya apa?"

"Kukatakan, aku dan anak-anak sudah tahu bahwa di balik diamnya suamiku dan kesibukan kerjanya, ada wanita yang menyita perhatiannya, suami orang lain di daerah sana."

"Oh ya, mbak bilang begitu? Apa reaksi pak Taufik, tentu kaget dong?"

"Ya, dia langsung berpaling menatapku, padahal semula dia sedang tekun dengan internet di meja kerjanya," jawab Ami sambil menghembuskan nafas seakan-akan hatinya melepas beban yang berat.

"Pak Taufik diam saja?"

"Ya, sampai aku yang memulainya. Kukatakan bahwa anak-anak sudah lama mengendus semua kejanggalannya setiap pulang kerja. Tentang ponsel keduanya serta SMS yang tak berhenti sejak di pintu rumah hingga menjelang tidur malam hari, termasuk di dalam mobil dalam perjalanan menuju Cengkareng," urai Ami.

"Reaksinya?"

"Dia semakin diam, dasar dia pendiam," jawab Ami. "Tapi aku terus saja berceloteh, sambil mencoba menahan tangisku, alhamdulillah, bisa sih Nik," kali ini Ami tersenyum manis padaku menampakkan gigi gingsulnya. Senyum kemenangan tentunya.

Konon ceritanya, Ami membeberkan semua temuan mereka anak-beranak. Juga pengamatannya atas gerak-gerik suaminya. Tak lupa dia mengakui bahwa dirinya bukanlah istri pendamping suami yang baik, bukan sarjana, tidak bekerja, dan tak pandai dandan seperti yang dulu dikeluhkan suaminya kepada almarhumah Elis. Untuk itu Ami minta maaf pada suaminya, dan menganjurkan agar suaminya membawa wanita itu ke tempat tugas mereka agar dapat memenuhi selera dan tuntutan dirinya.

Kemudian suaminya mengajaknya naik ke tempat tidur. Mereka bicara di situ, di atas pembaringan yang sudah lama tak dihangatkan nafas-nafas cinta mereka. Kini suaminya mengakui keberadaan wanita itu. Tapi dia melarang Ami pulang untuk selamanya.

"Aku tidak mau menceraikanmu," katanya pendek.

"Aku juga tidak berniat minta cerai," balas Ami. "Aku hanya ingin membahagiakanmu, dengan memberimu kesempatan memuaskan hawa nafsumu secara terbuka. Sebab aku tahu kau telah lelah dengan hubungan gelap yang kalian bina bertahun-tahun ini."

"Lalu maksudmu minta pulang itu apa?" desak suaminya.

"Aku mengharapkan dia mendampingimu sebagai permaisuri di istana ini. Sebab dia perempuan berpendidikan, wanita karier, bisa dibanggakan dan sinden cantik, iya toch? Semua sesuai dengan kriteria wanita impianmu?" suara Ami konon tetap lembut. Tak ada hawa nafsu amarah bahkan keraguan dalam mengucapaknnya. Hatinya sudah mantap. Dia ingin melawan suaminya dengan caranya sendiri.

Taufik terdiam tak mengerti di atas pembaringannya. Matanya memejam seakan-akan tak sudi lagi melihat belahan jiwanya sendiri yang sesungguhnya manis.

"Bapak jangan kuatir, aku bisa melegalkan semua ini. Demi Tuhan aku tidak mau mempermalukan suamiku sendiri. Akan kudatangi pimpinanmu untuk menyampaikan niatan ini, juga kudatangi kantor wanita itu untuk memintakan izin baginya. Sekarang izinkan dulu aku bicara dengannya di telepon," begitu Ami mengulang kembali permintaannya pada suaminya di tengah malam itu.

Taufik nampak terkejut dan mulai menyadari bahaya yang dituai dari perbuatan terlarangnya. Karena itu dia segera bangkit dan mengambil posisi duduk di tempat tidurnya sambil memandang wajah istrinya yang sedari tadi memang duduk. "Kamu jangan lakukan itu, aku tidak bermaksud meninggalkamu," katanya singkat,

"Ya, aku tahu, dan aku sendiri juga tak akan meninggalkanmu. Demi cinta kita, demi janjiku pada emak, aku tetap akan ada di sekitarmu. Hanya saja aku memilih tinggal di rumah dan mengisi rumah yang kita biarkan kosong bersama anak-anak kita, anak-anakmu. Tanpa aku kau akan merasakan kebahagiaan dan kenikmatan yang lebih baik. Kelak kalau perempuan itu sudah bosan dan ingin kembali pada suaminya, eh, dia bersuami, betul 'kan? Maka kau bisa kembali ke rumahmu sendiri. Di sana ada aku dan anak-anak kita yang menantimu tanpa putus asa." begitu jawab Ami panjang lebar memberi penjelasan yang cerdas kepada suami yang telah melecehkannya.

Diceritakannya betapa suaminya menjadi semakin terkejut. Wajahnya pucat pasi, pandangan matanya mengarah tak tentu. Dengan getaran di pita suaranya dia memohon, "tolong jangan lakukan itu, Aku tidak ingin ada dia di sini,"suara itu nyaris tenggelam ditelan kegalauan.

"Kalau begitu, lepaskan perempuan itu, Jangan pernah berhubungan lagi dengannya, atau dengan perempuan mana pun. Kau hanya akan meretas jalan ke api neraka jika kau masih juga melakukannya," timpal istrinya. "Aku hanya menginginkan imam yang baik untuk keluargaku. Kalau kau tak mampu jadi imam yang baik yang bisa membawa anak-istrimu ke surga, izinkan aku yang mengambil alih kemudi rumah tangga kita. Izinkan aku mendoakanmu supaya dirimu diampuni Allah dan bisa mendapat kenikmatan surga. Bagaimana?" tantang Ami.

Taufik terdiam menundukkan wajahnya. Dia tak berkata apa-apa. Ami setia menungguinya, hingga akhirnya Ami mendesaknya untuk mengambil keputusan. "bapak setuju? Atau aku akan tetap maju dengan rencanaku bersama anak-anak? Jangan khawatir, aku yang akan menghadapi suami wanita itu, Aku tahu di mana mereka tinggal. Akan kukatakan bahwa istrinya memilih suamiku sebagai pemuas nafsu duniawinya. Tapi jangan salahkan suamiku, sebab kau sesungguhnya tidak bersalah pak. Wanita penggoda itulah sumbernya. Renungkan, jika dia pandai menjaga dirinya dan mengunci kehormatannya, maka tak akan ada lelaki yang bisa tertarik padanya. Tapi andaikata dia membiarkan dirinya terekspose dan tersentuh oleh sembarang orang, tak salah juga jika kau suamiku, mendekatinya," tutur Ami panjang lebar.

Suaminya masih tetap membisu, sampai akhirnya dia sanggup berkata-kata, "Ayi, jangan lakukan itu. Aku akan segera menghentikan hubunganku dengannya." Konon Ami tertawa kecil, karena menurutnya sejak mereka menikah suaminya tak pernah lagi memanggilnya dengan sebutan kesayangan "Ayi" yang menurutnya berarti adinda dan tak seorang pun boleh menirunya.

Malam itu Ami menyumpah suaminya dengan minta bersalaman diikuti sembahyang malam, Dua kali dia melakukan sembahyang malamnya sendiri. Sebelum tidur dan segera sesudahnya, tanpa mengajak suaminya yang entah mengapa seperti tertidur pulas. Malam itu juga di balik sujudnya dia minta ampunan pada Sang Khalik atas azab dunia yang telah menimpa keluarganya.

-ad-

"Kudengar anak-anakmu ribut mencarimu tuh Nik, sudah dulu ya? Mereka pasti mau tidur," kata Ami mengingatkanku. "Besok antarkan aku kembali ke rumah kami, aku mau menemui guru ngajiku, ya," pinta Ami sambil membukakan pintu untukku.

"Apa sayang?" seru Ami sambil melongokkan kepalanya ke ruang keluargaku. "Ini ibumu, tante nakal ya, kelamaan ngobrol dengan ibu mas Hardi?" tanya Ami riang pada anakku.

Hardi mengangguk menghampiriku dan menyeret-nyeret bajuku. "Mau minum susu dong bu," pintanya manja diikuti tawa kakak-kakaknya yang malam itu jadi tiga. Aku sendiri ikut tertawa lalu menghilang ke dapur bersama anak bungsuku.

(BERSAMBUNG)

Minggu, 22 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXIV)

Kami kembali berdua-dua di kamar tetamuku. Mas Tri sudah mahfum akan sikapku, karena aku membisikinya dengan pernyataan bahwa aku sedang membantu bu Taufik menyelesaikan masalahnya. Dia cuma mengangguk mempersilahkan dan tak banyak tanya. Begitupun di meja makan tadi, suamiku tak menanyakan apa-apa soal keluarga mereka itu. Dia cuma menanyakan situasi dan suasana kerja di tempat tugas baru bossnya di luar negeri sana.

"Mbak sudah bicara terus terang pada suami bahwa rahasia selingkuhannya sudah terbongkar oleh mbak dan anak-anak?" tanyaku memulai. Kuperhatikan wajah Ami semakin kuyu kebanyakan menangis tadi sore.

"Sudah, Nik. Rasanya aku tak kuat lagi memendam semua persoalan ini. Bagai duri dalam daging," bibir itu bergetar menjawabnya. "Kemarin waktu aku mau pulang, kukatakan  itu semua. Bahkan kusampaikan niatku akan tinggal menetap di Indonesia bersama Rizqi supaya dia tak harus sembunyi-sembunyi menjalin hubungan dengan perempuan itu lagi," ucap Ami sendu dan pasrah.

"Apa?" potongku terkejut, "mbak katakan mbak akan minta cerai, maksudnya?" mataku membeliak menatapnya. Wajah itu jadi tampak tirus di hadapan mataku.

"Bukan, aku tidak pernah berniat minta cerai. Aku tahu itu sangat terlarang. Aku cuma ingin memberinya kesempatan bersenang-senang secara resmi dengan perempuan itu. Dan untuk itu aku bersedia menyingkir, pulang kampung," kali ini jawabannya sangat tegas. Tapi lantunannya tetaplah parau ciri luka hati seorang istri.

"Maksudmu, rencananya gimana mbak?" berondongku tambah penasaran karena aku tak mengerti apa sebetulnya yang dimaui perempuan ini. Dia memang sungguh suatu pribadi yang unik, seunik suaminya juga. Pada dirinya kerap kutemui dua sifat dan dua sikap yang saling bertolak belakang. Di suatu saat dia bisa murung sedemikian murungnya, tapi sekejap kemudian keceriaannya kembali meluap-luap. Bahkan diantara isak tangisnya, sering terlontar mutiara-mutiara kesabaran hati seorang perempuan yang dinista dan terluka yang diuraikannya lewat kata-kata manis penuh senyum. Suatu kontradiksi yang aku bingung untuk menangkapnya.

-ad-

Jadi, menurut penuturannya, segera setelah mereka tiba di posnya, dia menjadi pengamat dan mata-mata yang baik untuk anak mereka. Setiap gerak-langkah suaminya diikuti dan diamati dengan cermat. Bahkan ketika mereka selesai menyelenggarakan upacara serah terima jabatan di kantor, matanyapun tak lepas dari posisi dimana suaminya berdiri. Di sudut aula kantor itu.

Dan di malam hari, dia mencuri-curi membaca SMS dalam telepon genggam suaminya seperti yang dulu dilakukan anak-anaknya. Itu pun  juga atas permintaan mereka. Telepon genggam itu katanya selalu digeletakkan tak jauh dari pembaringan mereka, tepatnya di sisi bantal suaminya. Tapi dengan amat hati-hati terbawa kesabarannya, dia berhasil mengambilnya, lalu masuk ke dalam kamar mandi di dalam ruang tidur mereka. Di sanalah dia membongkarnya hingga tuntas walau sempat terlupa untuk mengirimkannya lebih dulu ke ponsel anak-anaknya sebagai bukti.

"Ada yang bunyinya sangat menyakitkan kalau dipikir sih Nik," keluhnya. "Serangkaian SMS menjelang keberangkatan kami ke luar negeri dulu tentu sudah menyakitkan. Ketambahan lagi SMS malam-malam sebelumnya waktu mereka saling berkirim kabar sepanjang jalan sejak dari kantor hingga ke rumah," urainya.

"Apa sih mbak bunyinya? Boleh aku tahu?" tanyaku hati-hati takut melampaui batas kesopanan.

"Macam-macam Nik. Ada soal penampilan wanita itu yang dianggap suamiku seksi. Padahal apa urusannya, coba? Dia 'kan bukan apa-apanya? Belum lagi dia menangisi wanita itu yang dianggapnya punya beban hidup terlalu berat sebagai ibu rumah tangga dan pekerja kantoran," jawab Ami sambil menggigit bibirnya sendiri. Ada kepedihan menyentak di hatinya yang terluka.

"Kepadaku, dia sudah tak pernah lagi memuji atau bahkan mau tahu keadaanku yang sesungguhnya. Bahkan kalau kau ingat, di saat aku sakit dulu, dia tega menyuruhku jalan sendiri ke dokter. Perhatian dan kasih sayangnya betul-betul tak kelihatan lagi," kini suaranya bergetar lirih ditelan sesak di kalbu yang menjelma jadi butir-butir bening di kedua matanya.

Aku menghela nafas panjang. Di ruang-ruang ingatanku menjelma kembali sosok Ami yang kesakitan waktu membukakan pintu untukku saat kutengok ke rumahnya dulu. Lalu penggalan-penggalan cerita yang mengharukan itu. Duh Tuhan, berikan Ami kesempatan untuk menikmati kebahagiaannya kini. Dia sudah terlalu menderita, pintaku dalam hati.

"Kau tahu Nik, setiap posisi keberangkatan kami ada dalam outbox sent massages-nya. Bahkan dia bilang, aku ada di sebelahnya dan aku tak tahu apa yang dikerjakannya. Padahal Nik, fitnah semuanya. Aku tahu perbuatannya, tapi aku tak bisa mengatakannya sebab aku tak mau merendahkan wibawanya di muka orang banyak yang mengantar kami ke Cengkareng," kata Ami lagi di sela-sela isakannya.

Aku terdiam. Dan masing-masing diri kami tak saling bicara. Kuberikan kesempatan padanya menata hatinya lebih dulu sebelum kami mulai bicara lagi.

"Kau tahu Nik, Gusti Allah itu Maha Adil. Sebelum berangkat, ketika berpamitan ke tempat sepupunya yang tertua, tiba-tiba dia dinasehati untuk selalu menjaga diri dan menjauhi godaan setan yang dirumuskan menjadi mo-limo," lanjut Ami lagi.

"Apa, mo-limo, apa itu?" tanyaku bingung.

"Itu lho, panduan hidup orang Jawa yang berupa lima larangan, Jangan berjudi, jangan bermain perempuan dan sebagainya. Dan kau tahu Nik, entah siapa yang membisiki sepupunya, nasehat itu dimulai dengan petuah untuk menjaga kehormatan dengan menjauhi wanita," Ami menarik nafas. Pandangannya menusuk mataku membiaskan rasa jengah.

Aku terdiam dan terpekur mendengarnya. Tuhan memang Maha Adil adanya. Ada caraNya sendiri untuk mengingatkan seseorang yang telah melanggar petunjuk-Nya.

Kami saling berdiam diri, sampai saatnya Ami berkata lagi. "Dan kau tahu, ada lagi bisikan Illahi padaku. Sewaktu keluar dari bandara, di mobil dia segera menghidupkan ponselnya yang itu lalu mengirimkan SMS pertama. Dengan lembut kukatakan padanya, alhamdulillah aku mendapat seorang Imam yang sangat baik. Sebab sebagai seorang ayah dia langsung mengabari buah hati kami bahwa kami sudah tiba di tujuan dengan selamat." Ami menghela nafas lagi dan membuang pandang menghilangkan kaca-kaca di bola matanya. Tampak sekali dia sedang mengenangkan saat berduaan di dalam mobil itu.

Dengan parau dan tersendat-sendat oleh getaran beban di dadanya, dia melanjutkan lagi, "suamiku bilang dia belum mengirimkan SMS kepada anak-anak kami. Oh, alangkah bodohnya. Dia lupa bahwa aku ada di sampingnya dan membuka kedua mataku dengan baik seraya mencermati perjalanan pertamaku di negeri itu. SMS yang diketiknya tadi, untuk siapa?"

"Lalu mbak bilang apa?" sambutku penasaran.

Ami meneguk air putih dari gelas yang kusiapkan di sisi tempat tidurnya. "Hm, kukatakan bahwa aku melihatnya mengetik SMS, tapi andaikata SMS itu ternyata bukan untuk anak-anak kami, biarlah, tak mengapa. Aku bisa mengerti bahwa sekarang keluarga bukanlah prioritas utamanya lagi."

"Reaksinya bagaimana?" tanyaku lagi.

"Dia hanya diam saja dan menatapku dingin. Tapi sejurus kemudian dia menyadari ketololannya sendiri, lalu dikirimkannya SMS ke alamat anak-anak kami. Walau katanya pending," terbata-bata Ami mengucapkan jawabannya.

Ami mulai mengisak lagi. Kembali kupeluk tubuhnya. Dan di bahuku dia berlabuh lagi. Lagi dan lagi seperti suatu simfoni yang menyayat hati dan sangat panjang.

"Nik, yang lebih menyakitkanku, ternyata sewaktu selesai dengan upacara sertijab tempo hari, wanita itu jugalah yang dikabarinya. Kubaca di ponselnya dia bilang bahwa sertijab telah selesai, bahkan aku juga ada di situ, di kantornya, maksud suamiku. Tapi aku tak tahu bahwa mereka sedang berhubungan dengan SMS itu. Sungguh menyakitkan," gumamnya.

Aku mengelus dada selagi Ami meneruskan ceritanya, "Padahal aku sengaja membiarkannya, sekali lagi kukatakan padamu Nik, aku tak mau mempermalukannya di depan umum," tangisnya.

Perbuatan itu masih terus dilakukan suaminya. Tapi tanpa disadarinya telah "terbaca" istrinya. Bahkan di hari ketika suaminya akan resmi bertugas sebagai kepala perwakilan, bukan Ami lah yang pertama diberi tahu. Wanita itu juga orangnya, di dalam SMSnya yang terkirim di siang hari sebelum suaminya pulang ke rumah dan memberitahukan pada Ami tentang upacara di Istana Negara minggu depannya. "Kalau tak salah lima hari menjelang harinya, berarti tepat ketika suamiku baru mendapat kabar dari pejabat protokol," jelas Ami, "sakit hatiku Nik, aku ada tapi tiada di depan mata suamiku. Apalah artinya diriku."

Air mata itupun membanjir lagi hingga Ami terbatuk-batuk dan meraih pelega nafasnya yang selalu jadi andalan hidupnya. Aku membantunya dengan menumpuk beberapa bantal di belakang punggungnya.

"Sudah dulu ya mbak, aku bisa mengerti betapa sakitnya perasaan mbak Ami. Mbak sudah terlalu banyak mengorbankan perasaan, aku tahu itu. Maka Allahlah yang akan menilainya dan memberikan ganjaran. Buktinya, tanpa disangka-sangka semua perbuatan suami mbak dikuakkan Allah dengan kuasaNya melalui orang-orang dan peristiwa yang tak terduga, bukan? Ingat dan lihat mo-limo itu serta SMS yang disangkalnya sendiri. Sekarang saatnya kita bersyukur, menyatakan terima kasih kita kepada Sang Maha Mengetahui. Bersujudlah, masih ada jalan untuk mengembalikannya kepadamu mbak," pesanku pada Ami.

Ami memandangku sayu, Bibir itu seperti hendak mengucapkan terima kasih, tapi tak ada sepatah  kata pun yang keluar, kecuali sesak yang memburu dadanya. Ami minta izin ke kamar mandi untuk mencuci mulutnya bekas obat serta mengambil air sembahyang sekalian.

"Kamu benar Nik, aku harus bersujud dan bersyukur sekarang. Selamat malam, sampai besok," katanya dari balik pintu kamar mandi.

Aku menungguinya di luar pintu kamar mandi sambil berpura-pura merapikan rak sepatu kami sebelum kemudian mengunci diri di kamarku sendiri untuk merenungi diriku. Ah, andaikata aku menjadi Ami, akankah diriku sabar menerima semua ini? Kini air matakulah yang tumpah membanjir di atas tikar sembahyangku sendiri. Aku tak mau mengalaminya.

(BERSAMBUNG)

Sabtu, 21 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXIII)

Meja kerja pimpinan kantor suamiku agak lama dikosongkan. Sebab konon sulit mencari pengganti sebaik pak Taufik. Suamiku bilang, di balik segala kekurangannya terhadap keluarganya, pak Taufik ternyata tetaplah salah seorang pegawai terbaik yang ada di kantor itu.

Relasinya luas, kemampuan negosiasinya cakap, dan inisiatifnya baik. Tak heran jika dulu beliau sering sekali ditugaskan ke luar negeri atau ke daerah mendampingi tetamu dari luar negeri. Seketika aku teringat akan ungkapan yang menyatakan bahwa di balik kesuksesan seorang lelaki ada peran seorang perempuan.

Perempuan itu adalah Ami dan tentu saja ibu kandungnya sendiri. Dia pernah menceritakan mengenai ibunya yang janda dengan sepenuh kebanggaan kepada Elis dulu. Juga Ami sendiri sering mengagung-agungkan ibu mertuanya pada kami. "Ibu adalah juru masak yang jempolan, dan manajer rumah tangga yang belum tertandingi. Setidak-tidaknya olehku. Beliau bisa mendidik sendiri putranya sekalipun tanpa seorang suami. Aku dulu diajarinya mengaji, karena beliau tak pernah putus shalat dan membaca ayat-ayat suci," cerita Ami waktu itu. Ada nada kekaguman dan kebanggaan yang kental di lidahnya. Aku cuma bisa membayangkan sosok tinggi besar ibunda pak Taufik seperti gambaran fisik pak Taufik yang kukenal.

Sudah lebih dari empat bulan Ami di luar negeri. Besok dia akan datang untuk menjemput anaknya. Dia mengirimiku E-mail minta bertemu dan ditemani mengurus keperluan keluarganya,

Anak-anak mereka ditinggal dengan kakak sepupu pak Taufik, namun si sulung akan segera mencari tempat kost di dekat sekolahnya. Karenanya Ami minta tolong aku mengantarnya.

-ad-

Kedatangan Ami yang kutunggu-tunggu sungguh suatu kejutan buatku. Seharian itu kami bersama-sama, tepatnya dia tinggal di rumahku dan meluapkan semua bebannya di pundakku. Air matanya berderai tak putus, selagi mulutnya mengatup rapat.

"Dia punya wanita simpanan Nik," katanya lirih sambil menundukkan kepala. Butir-butir bening berjatuhan melalui kedua pipinya yang halus dan dulu bulat berisi berseri-seri namun kini cekung kekurangan semangat.

Aku berpura-pura terkejut dan gagap. Padahal keterkejutanku bukanlah karena aku tak mengetahui soal wanita itu. Hanya saja aku tak menyangka bahwa sesungguhnya Ami tahu dan sengaja datang kepadaku untuk mengungkapkan masalahnya hari itu.

Kubiarkan dia menangis di dadaku. Wajah itu jadi pucat, sirna kurang gairah. Helai-helai rambutnya jatuh di bahuku seperti benang layangan kaku. Sebagian mulai memutih dalam sekejap, entah karena apa.

Ami menghabiskan semua isaknya seraya kubelai dengan lembut. Tak ada siapapun di kamarku. Anak-anakku kubiarkan bermain di halaman bersama Nia. Ya telah kupesankan pada pembantuku tadi untuk tidak mengizinkan anak-anak mengganggu kami berdua. "Ibu mau bicara masalah organisasi yang penting," alasanku pada mereka.

"Dari mana mbak Ami tahu?" tanyaku singkat.

Mata itu lurus menatap kakinya sendiri, merebakkan air dan warna merah pada selaput putih matanya. Isaknya terus berkepanjangan menyesakkan dada. Dia tersengal-sengal dan meraih obatnya dari dalam tasnya. Diputarnya dasar tabung obat itu, lalu dibawanya ke mulutnya dengan membekap menggunakan sepasang bibirnya setelah kudengar suara "klik" dari kemasan obat itu. Ami terkena serangan asthma, seperti dulu pernah kulihat di Eropa sana. Agaknya beban batinnya yang berat itulah penyebabnya.

Aku memijiti kedua sisi bahunya, Dia terdiam selagi isak itu menghabiskan sisa tenaganya. Perlahan dia tengadah, menatapku di balik tubuhnya. Ah, mata itu begitu mengiris hatiku yang tiba-tiba rapuh. "Terima kasih," bisiknya.

-ad-

Kami tak jadi bicara banyak. Kubiarkan dia tertidur di kasur kamar tetamuku, serta kututupi tubuhnya dengan sehelai selimut tipis. Aku ingin ada damai di hatinya, dalam lelap tidurnya siang itu.

Menjelang maghrib baru kudengar Ami bergabung bersama anak-anakku di muka televisi. Kurnia menawarinya secangkir teh atau kopi.

"Kopi saja buatku ya, teteh Nia? Kalau ada pisang goreng ibumu yang hangat juga mau," kudengar jawaban Ami dari dalam kamarku.

Aku segera keluar ikut bergabung bersamanya. Wajah itu masih membekaskan tangisan deru derita yang menghempaskannya ke lumpur jalanan di pasar becek. Dia mencoba membalas senyumku ketika aku menjejerinya di karpet.

"Mbak, kita duduk di sofa, lebih enak begitu," ajakku. Dia menurut dan rebah begitu saja di bibir sofa.

"Bisa istirahat mbak?" tanyaku memulai percakapan.

"Terimakasih, alhamdulillah bisa, mudah-mudahan besok aku cukup fit untuk keliling cari tempat kost ya?" jawabnya bernada miris.

"Jangan takut, insya Allah kuat. Aku akan bawa mobil mas Ruddy kakakku. Dia tinggal dekat-dekat sini, dan tadi sudah kutelepon. Sopirnya besok pagi akan menjemput kita," jawabku menenangkan.

"Tapi aku harus kembali ke rumah kakakku dulu ya, anak-anak akan ikut. Besok Rizqi biar memilih sendiri di mana dia ingin tinggal, dan Ridho ingin ikutan juga," kata Ami lagi.

Aku mengangguk, "kita bisa berangkat jam sembilan setelah sopir kakakku mengantarkannya ke kantor. Kantornya pun nggak seberapa jauh kok dari sini," jelasku.

Ami nampak tersenyum lega. Apalagi kemudian Nia masuk mengantarkan kopi untuk Ami dan secangkir teh untukku. Pisang goreng kegemaran teman-temanku agaknya sudah disiapkannya sejak tadi, mulai dingin di piring hidangan. "Nia, tolong hangatkan sebentar di oven ya?" pintaku, "bu Taufik suka yang hangat-hangat." Ami tersenyum memandangku.

"Anak-anak nggak belajar dan bikin PR nih? Sebentar lagi ayah kalian pulang lho," bujukku.

Kedua anakku mengangkat kakinya menjauh memasuki ruang belajar di lantai atas. Sekejap kemudian samar-samar kudengar gumaman dari mulut-mulut anakku. Agaknya mereka sibuk menghafal sesuatu.

"Soal yang tadi, aku boleh tanya sedikit mbak?" tanyaku hati-hati separuh berbisik.

Ami mengangguk lalu mengajakku masuk ke kamar tidur tetamuku lagi. "Di kamar kita bisa bicara lebih santai," katanya. Aku mengiyakan dan ikut masuk sambil membawa cangkir-cangkir kami. Ami menolong membawakan piring-piring kue untuk makan pisang goreng.

"Nia, nanti tolong antar pisang gorengnya ke kamar bu Taufik ya," teriakku ke arah dapur lalu menghilang ke dalam kamar.

-ad-

Kata Ami, perselingkuhan suaminya tercium oleh anak-anak mereka. Semula, mereka hanya meraskan kejanggalan pada rumah tangga orang tuanya.

Semasa masih di luar negeri sana, Rizqi sering menanyakan apakah bapak-ibunya baik-baik saja. "Kalau orang hidup suami istri tidak pernah saling bicara, berarti seperti orang yang di teve-teve itu ya? Bermusuhan, marah-marah lalu lama-lama berpisah rumah?" pancing Rizqi suatu petang dalam perjalanan pulang sekolah dijemput Ami.

Ami hanya menjawab apa adanya, tanpa menyadari ke arah mana pertanyaan anaknya bersumber. "Ya, bisa jadi begitu kang, Memang kenapa?" tanya Ami polos. Ah, disini hatiku tersentak. Ya, betul belaka penilaian Taufik tentang istrinya yang dikatakannya polos itu.

Konon Rizqi tak menjawab, tapi Rizqi nampak mulai menunjukkan sikap kedewasaan tak selayaknya anak-anak seumurannya. Dan sejak itu, atas persetujuan suaminya, tayangan televisi yang ditonton anak-anak mereka diatur sangat selektif. Mereka tidak mengijinkan anak-anak menonton channel tertentu pada jam siaran tertentu. Bahkan saluran sewaan yang dikenal sebagai tele-cable pernah diniatkan akan diputus.

"Mbak pernah dengar bahwa dulu almarhumah Elis mengajakku ke gereja untuk mendoakan mbak dan suami supaya tercipta komunikasi dua arah yang saling menguntungkan?" tanyaku memancing.

Ami menggeleng, "nggak, memang kenapa?" katanya balik bertanya.

"Oh, maaf," jawabku. "Aku kira dulu Elis cerita sendiri pada mbak, bahwa dia menganggap antara  mbak Ami dan suami kurang komunikasi, meyebabkan kurang harmonisasi sehingga dia memutuskan mendoakan mbak berdua di gerejanya. Perhatiannya pada mbak cukup besar lho, dan kasihnya sangat tulus pula sebagai sahabat kita," tegasku berpanjang-panjang kata.

"Kapan itu? Waktu Elis sudah nikah dengan mas Bas?" tanya Ami surprise.

Aku membiarkan Nia masuk mengantarkan pisang gorengnya setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Lalu kupersilahkan Ami mencicipinya. Dia mengambil sepotong dengan sangat hati-hati serta mengunyahnya sambil dinikmati.

"Hm, nggak, bukan, sebelum itu. Waktu pak Taufik masih asyik dengan kuliah-kuliahnya dan sibuk sendiri di luar rumah," jawabku santai. Aku ingin membantunya mengenangkan masa lalu dan segala kebaikan Elis padanya. Tapi sekaligus juga aku tak ingin menyakitinya.

"Maaf mbak, ingat suatu hari mbak sekeluarga pergi berlibur dengan Elis ke luar kota? Ya kira-kira sehabis itulah," lanjutku lagi.

Ami sedikit mengerutkan keningnya, kemudian mengangguk pasti, "ya, aku sangat ingat. Sehabis itu kami tak begitu akrab lagi dengan Elis. Semua itu hanya gara-gara liburan yang kurang terencana dengan baik, maksudku mas Taufik mengatur sendiri tanpa minta pertimbangan atau memberi tahuku soal rencana liburan itu," sahut Ami. Mukanya masih tetap menatap padaku, dan telinganya dijelikan mengarah ke bibirku.

 Ada perasaan gundah gulana padanya. Dia merasa diriku sudah lebih tahu tentang kelakuan suaminya sebelum dia menyadarinya sendiri.

Kupeluk tubuhnya dari samping. "Maaf ya mbak, maaf, saya tidak bermaksud menyakiti hati mbak dengan mengungkit-ungkit masa lalu," pintaku padanya.

"Nggak 'pa-'pa kok Nik," jawabnya tulus, lalu dia meneruskan ceritanya sambil menunggu adzan maghrib digemakan dari masjid di sekitar perumahanku.

Dalam luapan perasaannya dia bilang, suatu hari anaknya menyuruhnya memperhatikan setiap gerakan Taufik ketika pulang dari kantor. Selalu mereka lihat ayah mereka segera merogoh saku celana panjangnya, mengambil sebuah telepon genggam yang entah milik siapa, kemudian mengirim SMS. Tak lama SMS itu akan segera berbalas. begitu berulang-ulang termasuk pada saat makan. Bahkan sekali lagi Ami mendapatinya setiap akan pergi tidur.

Dan malam itu dengan mengendap-endap anak mereka masuk kamar orang tuanya yang tak pernah dikunci. Telepon genggam itu berhasil ditemukan, dan SMS yang bertumpuk di inbox serta outboxnya berpindah dengan selamat ke telepon genggam mereka.

Rahasia itu bocor ke tangan Ami beberapa waktu kemudian, sepulang sekolah. Mereka sama-sama menangis dalam keterkejutan. Bahkan si bungsu sempat tidak mau berangkat les di rumah gurunya sore itu. Dia kehilangan gairah, patah semangat dan menangis tak habis-habisnya.

Lucunya, Taufik seperti sudah "gelap mata". Dia tak menyadari perubahan dalam diri keluarganya. Dengan kebiasaan barunya, dia tetap berkomunikasi dengan seseorang di seberang sana. Seseorang yang dinamakannya Mama. Perempuan terhormat, pegawai negeri yang sukses dan punya masa depan baik serta keluarga yang sempurna.

Batinku tercekat! Perempuan itu punya keluarga!

"Ya, ada seorang anaknya, calon artis yang dijaring lewat audisi para bintang di televisi," terang Ami. "Ibunya sendiri juga sinden di kampungnya, mirip Mayang dengan ibunya lah," terang Ami.

Batinku semakin tercekat lagi! Bagaimana mungkin seorang lelaki berkedudukan terhormat di lingkungannya dan di masyarakat tega menjatuhkan harga dirinya ke pelukan perempuan semacam itu? Siapapun tahu kehidupan seseorang dengan predikat artis, sekalipun hanya sekelas panggung hiburan lokal.

Ami mulai menangis lagi. Kali ini aku ikut larut bersamanya. Air mata kami saling berbaur di pelukan kami masing-masing. "Nonik, aku harus bagaimana?" tanyanya pilu.

Aku merenggangkan pelukan kami dan menatapnya dari tentangan lenganku, "hm, hanya kepada-Nya lah kita kembalikan semua ini, kita harus minta Allah yang menyelesaikannya," kataku padanya. Kuusap lelehan di pipinya. Juga di pipiku dengan tissue kotak Tessa yang selalu kusiapkan di sisi tempat tidur.

"Aku sudah melakukannya. Aku mengadukan semuanya pada Allah, sehingga aku diberiNya kekuatan untuk mendampingi suamiku ke tempat tugasnya yang baru. Tapi aku masih bingung, aku tidak tahu apakah Allah telah menolongku, aku bingung," sambatnya parau dan pilu yang sangat menusuk telinga dan jantungku.

Tepat bersamaan dengan itu adzan mengalun merdu, naik turun dibawa angin senja. Malampun tiba meredupkan surya siang yang seharian tadi gemilang. "Mbak Ami, kita shalat dulu ya, kita pasrahkan lagi semuanya ke tangan Allah, aku akan membantumu," bujukku seiring dengan bel pintu rumah ditekan mas Tri.

"Assalamu'alaikum........" bunyinya menegaskan tibanya malam. Malam untuk bersyukur dan bermohon.

(BERSAMBUNG)

Jumat, 20 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXII)

Penyerahan hak beasiswa kepada tiga orang pegawai di kantor suami kami telah kulaksanakan bersama bu Syarif tadi pagi. Bu Taufik alias Ami tidak menghadirinya. Konon Ami sedang tidak enak badan. Karenanya kuputuskan untuk melaporkan pada Ami lewat telepon. Bu Syarif juga akan segera menelepon Ami sesuai tugasnya.

Di seberang sana telepon diangkat oleh seorang perempuan, bukan Ami. "Bu Taufik ada bu, baru pulang dari dokter, sedang sakit," jawab perempuan itu.

"Saya Ibu Triatman mau melaporkan kegiatan organisasi, boleh mengganggu beliau?" tanyaku sesopan mungkin.

Perempuan itu memintaku menunggu sejenak, kemudian kudengar Ami di ujung teleponnya, "Ya, Nik, bagaimana tadi pagi?"

"Alhamdulillah bu, sudah diserahkan dengan baik. Bahkan ada yang langsung kepada anaknya karena dia dibawa oleh orang tuanya, tiga orang semuanya terkabul," jawabku langsung ke pokok persoalan.

"Syukurlah. Ibu Ketua tidak menanyakan saya 'kan?" tanya Ami lagi.

"Sudah saya beri tahu lebih dulu bahwa ibu mohon izin ke dokter," jawabku.

"Ya sudah, semoga beliau paham. Untung kamu ada di barisanku ya Nik," timpal Ami. "Andaikata suami kita berlainan kantor, wah, berabe, dikira saya yang memang nggak mau kerja," dia tertawa renyah. Walau dalam keadaan sakit Ami akan selalu nampak riang tanpa setetespun air mata kemurungan. Aku ikut tertawa mendengarnya.

"Penyakit di kandunganku itu lagi lho Nik, makanya hari ini keponakanku menginap di rumah dan mengantarkan aku ke dokter. Biasalah, kalau punya suami sibuk, selalu dia tak ada waktu untuk kita," kata Ami tanpa kutanya.

"Memang pak Taufik ke luar negeri lagi?" tanyaku berpura-pura tidak tahu, padahal tadi pagi kulihat beliau ada di kantornya.

"Ada sih, nggak ke mana-mana, cuma beliau ada tamu dari luar kota, jadi nggak sempat antarkan aku ke dokter," jawab Ami ringan.

"Hasil pemeriksaannya bagaimana?" pancingku lebih lanjut.

"Ada kista lagi di indung telurku, tadi sudah di-USG. Solusinya cuma operasi, tapi ya nanti dulu deh, mesti aku pertimbangkan baik-baik. Mungkin lebih baik aku bertahan dengan suntikan lagi. Aku rasa lebih baik saat nanti suamiku tugas di luar negeri lagi baru aku jalankan operasi. Mungkin dokter di luar negeri punya pendapat lain atas kasusku, semoga bisa menghindari operasi maksudku" jawab Ami panjang-lebar.

"Kau bertahan mbak?" kembali aku menyapanya dengan nama kecil secara tidak sengaja. Mungkin memang itu cara Tuhan untuk mendekatkan hubungan kami.

"Apa boleh buat Nik, dalam jaman susah begini, semua orang mesti tahan, sabar," katanya. Kubayangkan dia sedang tersenyum manis walau meringis menahan nyeri.

"Mulai besok aku disuntik lagi, tadi keponakanku baru dapat obatnya, jadi besok aku kembali ke Rumah Sakit untuk suntik," lanjutnya tenang.

Aku menggigit bibir, menelan ludahku sendiri yang tiba-tiba terasa pahit.

"Ya sudah kalau begitu, aku do'akan semoga mbak segera pulih ya, jangan lupa kalau butuh bantuan kami sekeluarga siap membantu," tutupku mengakhiri pembicaraan yang dijawab dengan pernyataan terima kasihnya. Aku terharu mendengarnya.

Terbayang kembali di mataku seorang Taufik yang bebas melenggang kesana-kemari dengan perempuan lain. tapi selalu kehabisan waktu untuk istrinya sendiri. Pedih di dalam batinku, tak habis pikir juga aku kemanakah Taufik yang pernah tiba-tiba jadi begitu romantis dengan menyodorkan sekuntum mawar pada istrinya saat menyanyi dulu itu.

-ad-

Kini secara rutin setiap minggu kutelepon Ami untuk memantau keadaannya sekaligus melaporkan apa saja yang terjadi di kepengurusan organisasi kami. Biasanya Ami akan melanjutkan dengan curahan hatinya, kira-kira seperti apa yang dulu disampaikan kepada almarhumah Elis.

Selalu diungkapkan kesendirian dan kesepiannya. "Mas Taufik jarang di rumah, dan setiap pulang sibuk dengan Hand Phone di tangannya, dia tak ada waktu untukku lagi," celotehnya.

"Sabar ya mbak Ami, semua ini 'kan untuk kesukesannya juga," hiburku.

"Ya, untung anak-anakku penuh pengertian semua. bahkan mereka sekarang mulai mengambil alih peran ayah mereka di rumah tangga, si Rizqi sudah mulai ikut-ikut rapat pengurus RT karena bapaknya nggak sempat aktif lho," cerita Ami.

Meskipun demikian dikisahkannya bahwa setiap malam suaminya selalu makan bersama dengan seluruh keluarga, serta mengantarkan si bungsu ke mana saja di akhir pekan. "Akhir pekan hanya tersedia buat kami anak-beranak," itu kata Ami. Aku mengiyakan dengan sepatah kata syukur.

-ad-

Akhir pekan itu kami diundang Ami dan keluarganya untuk menghadiri acara perpisahan mereka. Kudengar dari mas Tri, pak Taufik akan berangkat ke luar negeri lagi, ke suatu tempat yang bergengsi dan jadi incaran orang banyak. Hatiku melonjak gembira, karena aku tahu mereka patut mendapatkan tempat itu. Apalagi Ami yang begitu penuh dedikasi dan sabar dalam mendampingi suaminya.

Aku bawakan sepasang patung pengantin Jawa untuk kenang-kenangan mereka. Aku menemukannya di Sarinah Thamrin terselip di antara banyak kerajinan tangan. Patung keramik yang cantik dengan pakaian dodot.

Mas Tri tersenyum senang melihatnya, "aduh kamu pintar sekali memilih barang bagus," pujinya. "Pasti bu Taufik akan senang," dia menjentik pipiku.  Aku tersenyum malu.

Pesta kebun itu dihadiri banyak orang. Tidak hanya staff kantor suami kami, melainkan juga kerabat kerja pak Taufik lainnya dan handai-taulannya. Anak-anak mereka berdandan serasi, rapi menyenangkan mata. Rizqi sudah tampak dewasa sekarang, begitu juga Ridho kulihat mulai bongsor.

"Saya memutuskan akan melanjutkan sekolah di sini tante, sampai kuliah nanti pun saya tidak akan pergi," jawab Rizqi waktu kutanya soal sekolahnya. "Adik yang akan ikut pindah, sebab ibu 'kan perlu ditemani terus, takut ibu butuh bantuan dan bapak nggak sempat nolong," jelas Rizqi. Aku terkagum-kagum menyaksikan kedewasaan sikapnya. Kutahu Rizqi baru pertengahan SMA dan si bungsu baru naik kelas 1 SMP.

Semua mata menatap pasangan itu dengan kebahagiaan teramat bahagia, saat pak Taufik menyampaikan salam perpisahannya dikitari anak-istri di kiri-kanannya. Hanya aku yang tahu bagaimana perasaan bu Taufik. Mata itu begitu bangga, namun sekaligus bercerita bahwa dia telah mengorbankan semua perasaannya untuk menemani suaminya sampai ke posisi terhormat ini. Suaranya yang merdu tiba-tiba seakan menguap begitu saja, entah ditelan keharuan atau lainnya, saat diminta menyanyi.

Ami terdengar parau, agak sedikit sengau. Nadanya terlalu rendah seperti ditekan, tepatnya malah tertekan. Aku membuang pandang ke rerumputan hijau di kebun bunga sana. Ada rasa sesak dan sebak di dadaku. Aku tahu, betapa perasaan Ami amat rapuh. Antara bangga dan sedih mengenangkan cap yang pernah ditimpakan oleh suaminya sendiri ke pundaknya.

"Saya menunjuk ibu Triatman untuk menyanyi sebagai hadiah persahabatan bagi keluarga kami," tiba-tiba lamunanku buyar dikejutkan oleh suara Ami dari arah depanku sana.

Aku tergagp-gagap tak siap. Diam tak beranjak dari kursiku di bawah tenda biru itu. Tukang es cendol di bawah pohon mangga asyik mengedarkan pandangannya mencari-cari bu Triatman yang dimaksud.

"Bu, ayo bu, dipanggil tuh," seru teman-temanku. Sebagian malah mendorong-dorong aku untuk maju. Aku bingung menoleh ke kanan dan ke kiri, sampai Ami menghampiriku sendiri minta aku menghampiri keyboardist di depan sana.

"Ini dia, ayo Nik, kau pasti tahu lagu apa yang cocok untukku," katanya sambil menarik-narik lenganku.

Dengan malu-malu karena kutahu suaraku tidak layak, kubuka-buka buku kumpulan lagu yang tersedia di sisi keyboard. Semua orang serasa memandangku menimbulkan keringat dingin. "Ya, ini dia," kataku pada sang pemusik sambil menunjukkan halaman yang dimaksud. Dia segera menyetel keyboardnya dan menyesuaikan dengan suara kaleng rombengku.

"Vison of you, in shades of blue

Smoking, shifting. lazily drifting

My darling I miss you so........"

Lantunku memecah ketegangan seiring dengan cucuran keringat dinginku itu. Kurasakan mata-mata itu menatapku, menghunjam, terutama mata Suratmi sahabatku di meja utama sana. Begitu tajam walau dengan guratan pedih yang tak terucapkan.

(BERSAMBUNG)

Selasa, 17 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXI)

"Cinta kasihmu padaku kuharapkan abadi selalu

  Setulus hati aku memintakan kesadaranmu

  Cinta kasihmu padaku tak sedetikpun akan terhenti

  Sampai matipun aku jalani asal kau setia..............."

Begitulah pagi itu kudengar suara Ami menyenandungkan "Saling Percaya" yang dulu kerap kudengar dari koleksi pita kaset kakakku. Dia kelihatan sangat cantik dalam balutan gaun biru muda yang menutupi tubuhnya yang mulai sintal.

Ami yang kukenal memang seorang periang. Bersenandung adalah kegemarannya. Bahkan dulu ketika kami masih sama-sama istri staff di luar negeri, dia tak malu-malu menyuarakan lagu-lagu apa pun lewat mulutnya di saat asyik bekerja bakti di kantor suami kami. "Sebagai pelepas lelah," alasannya, "daripada mesti nyari-nyari tape dan kaset atau ngobrol ngalor-ngidul yang tak jelas 'kan?" katanya disertai anggukan setuju kami semua teman-temannya,

Tak merugi, suara Ami memang cukup lumayan, Inilah yang menyamarkan semua perasaan yang sesungguhnya ada di hati terdalam Ami. Perempuan kesepian yang serba tanggung. Tak pernah bergaul dengan sembarang orang di luar rumah karena dia sangat amat menghargai suaminya yang begitu protektif atau mungkin juga posesif.

"Wah bu, pagi-pagi sudah menghibur kerabat kerja," sapaku waktu membuka pintu sekretariat organisasi dan mendapati beliau duduk di sana sedang menulis-nulis rencana kerja yang harus kami laksanakan segera sambil bersenandung. Cantik sekali ia pagi itu.

"Ya, daripada sepi Nik," jawabnya sambil mempersilahkan aku duduk di dekatnya. Belum ada siapa-siapa di situ, Sebab bu Syarif yang seharusnya menangani urusan ini masih di atas bus jemputan yang mengantarkan dia dan suaminya dari kompleks.

Aku mendekatinya. Tercium harum wewangian Eropa yang sangat lembut dari tubuhnya. "Hm, bu Taufik wangi sekali, parfum apa sih?" tanyaku penasaran.

Dia tersenyum memandangku dan mempermainkan ballpoint di tangannya, "ah, murahan kok, saya dulu selalu beli di Drugstore, Le jardin de Paris, sekarang sih sudah nggak keluar lagi. Bahkan andaikata kamu berani-beraninya menanyakan itu pada penjual parfum, kamu akan ditertawakan, kuno, katanya," lanjut Ami diakhiri dengan tawa renyah.

Tapi biarpun demikian, aku sungguh kagum padanya. Dia termasuk salah satu di antara jarang orang yang cermat dalam memakai segala sesuatu termasuk parfum. Yang kuingat memang ada patokan tak tertulis bahwa memakai parfum harus dicobakan di titik nadi dulu. Jika wanginya "nempel" dan "lembut",  berarti itulah yang cocok untuknya. Tak peduli merek dan harga. Sebab keharuman parfum konon tak dapat dipaksakan cocok untuk semua tubuh. Ami memang cermat, batinku.

"Berapa orang bu yang lolos seleksi penerimaan beasiswa?", tanyanya padaku.

Aku buru-buru mengeluarkan catatanku hasil survey dengan bu Syarif kemarin dulu. "14 orang bu, tapi kita harus cermati lagi sebab jatah kita kan cuma lima anak," laporku.

"Klop, 14 juga dalam catatan saya," timpal Ami sambil melirik ke kertas di depannya, "Yang tiga keluarga masing-masing mengajukan dua orang anak, bukan?" tanyanya lagi.

Kini giliranku mencermati kertas di tanganku, "ya, pak Endang, bu Sutarsih, dan pak Deswar," jawabku sambil menyodorkan catatanku. Nama-nama itu segera kulingkari agar Ami mudah menelitinya.

Diambilnya kertas di tanganku, lalu kami mulai berdiskusi serius disambung dengan kedatangan bu Syarif kemudian. Kelihatan sekali Ami yang dinista suaminya sebagai perempuan tak berpendidikan, ternyata masih menampillkan kualitas yang layak untuk duduk sebagai istri pendamping suami yang baik. Aku tersenyum kecut mengenangkannya sambil membayangkan apa yang pernah terjadi pada Ami nun di belahan bumi sebelah barat sana dulu itu.

"Nampaknya kita harus memilih antara pak Heru dengan pak Amri," usul bu Syarif memberi masukan kepada Ami sebagai ketua untuk memutuskan.

"Alasannya apa?" tanya Ami sabar.

Anak-anak pak Heru dan pak Amri sama-sama perlu ditolong bu. Yang lain-lain masih bisa kita pertimbangankan lagi. Ronni anak pak Amri duduk di STM kelas 3, kalau kita tidak memberinya beasiswa dia nggak bisa ikut ujian, bu, Susi anak pak Heru juga butuh sekali bu, dia duduk di kelas akhir SMP, tanpa bantuan kita dia akan drop out juga," jelas bu Syarif.

Ami mendengarkan baik-baik sambil meneliti kertas di tangannya, "Ronni yang mana sih? Kok saya nggak menemukan nama Ronni?" tanya Ami.

"Khaironni bu," jawab kami bersamaan, "nomor delapan."

"Bagaimana kalau keduanya jadi prioritas?" tanya Ami.

"Maaf bu, jatah kita cuma dua atau paling banyak tiga, sebab direktorat lain di lingkungan ini juga punya banyak calon yang kemarin sama-sama lulus seleksi," jawab bu Syarif memberanikan diri.

Ami tidak nampak marah. Dia menekuni kertasnya kembali selagi seorang pelayan meletakkan gelas-gelas minum berisi sirup marjan merah di hadapan kami dan sepiring bolu kukus entah dari mana. Ami mengangguk mengucapkan terima kasih seraya mempersilahkan kami minum, " maaf di rumah hanya ada bolu kukus, jangan kecewa ya ibu-ibu," kata Ami.

Kami membalas tawaran Ami dengan kata yang serupa sambil menyelesaikan perbincangan kami. Ternyata Ami juga seorang ibu yang penuh perhatian kepada lingkungannya.

"Kalau saya boleh sarankan, kita kabulkan keduanya, lalu satu lagi kita ambil salah satu di antara putra pak Deswar, bu Tarsih atau pak Endang, karena mereka memang butuh betul Tinggal kita seleksi enam orang anak ini siapa yang paling butuh," usulku. Aku sudah tahu sifat Ami. Dia tak pernah bisa menolak permintaan orang kecil. Kuingat dulu Ami pernah mengorbankan sebagian uang arisannya untuk membantu seorang staff yang anaknya harus dioperasi mendadak karena menginjak jarum jahit ibunya yang tercecer di karpet. Padahal mereka baru tiba dan tidak punya asuransi yang preminya terkenal mahal itu.

Bu Syarif memandang padaku penuh tanya, maksudnya tentu menyesalkan ucapanku yang sangat bertolak belakang dengan kebijakan yang telah kami sepakati kemarin.

Kuinjak kakinya sambil kutatap matanya. Bu Syarif diam menunduk. "silahkan, saya ikut kebijaksanaan ibu," jawab bu Syarif pada akhirnya.

"Bagaimana dengan kondisi anak yang enam lagi?" tanya Ami penuh selidik.

"Rata-rata sama bu, tak ada yang di kelas akhir. Tapi melihat kondisi keluarganya saya memilih keluarga pak Deswar. Anaknya tujuh, baru menikah dua, yang bersekolah tiga, yang dua menganggur," terang bu Syarif.

"Wow!" Ami membelalakkan matanya, "baru nikah dua dan anaknya tujuh ada yang pengangguran?"

"Iya bu, yang dua kembar dua, jadi sebetulnya hamil lima kali tapi hidup semua," jawabku menegaskan.

"Ya, tolong tetapkan satu anak pak Deswar kalau begitu,' putus Ami melegakan.

Bu Syarif dan aku tak bisa berbuat apa-apa selain menyetujui kehendak Ami. Di mataku Ami tetaplah seorang perempuan sempurna. Bijak dan bisa dibanggakan, tak seperti tuduhan suaminya yang tak akan pernah kulupakan betapa menyakitkannya.

-ad-

Siang itu kerja kami selesai dengan tenang. Aku berhasil sekaligus membuatkan surat pengantar permohonan kepada pengurus induk setingkat di atas kami sambil menyiapkan kelengkapan data para calon penerima bea siswa. Ami menungguiku dengan sabar karena dia berjanji akan pulang bersamaku naik kendaraan umum. "Capek kalau aku mesti nunggu mas Taufik Nik, beliau pasti pulang larut malam. Maklum selalu sibuk dengan rapat-rapat antar departemen yang melelahkan di luar kantor itu," alasan Ami. Aku mengangguk mengiyakan.

Sehabis makan di kantin kantor kami pulang bersama. Bu Syarif tak ikut serta karena rumahnya tak searah dengan kami. Aku sendiri sebetulnya jadi memutar jalan mengingat aku berkewajiban moral mendampingi istri boss suamiku sampai ke daerah rumahnya.

Di bus kota Ami bercerita tentang segala kesibukan suaminya termasuk gangguan SMS malam hari itu. "Aku kasihan sama dia, selalu pulang kelelahan dan harus siap dipanggil dengan SMS-SMS itu," katanya.

Aku tak bereaksi apa-apa. Tapi jauh di dalam hatiku, aku meragukan kesibukan dan kepadatan kerja pak Taufik, terlebih-lebih mengingat aku melihat dengan mata kepalaku sendiri perempuan lain di sisi pak Taufik waktu di Bandara Changi dulu. Kubiarkan Ami terus mengobrol melepaskan semua beban batinnya yang keluar tanpa disadarinya. Bendungan air mata itu toch harus meluap juga.

"Ibu di mana?" kudengar suara Ridho di telepon ketika kami hampir sampai di daerah rumah Ami.

"Masih di Patas sayangku, kamu sudah lama pulang? Sudah makan sore? Kakangmu juga sudah di rumah?" kudengar jawaban Ami. "Bicaranya jangan teriak-teriak dong dik, malu kedengaran orang," bujuk Ami sambil melirik padaku.

Aku tersenyum padanya, "ya beginilah orang punya anak. Biarpun sudah kelas enam, manjanya minta ampun. Maklum kurang perhatian bapaknya," kata Ami pada akhirnya, Sorot matanya nampak kecewa kali ini namun wajah bulat telur itu masih penuh senyum juga.

"Sabar mbak, semua kan demi kesuksesan karier pak Taufik sendiri," jawabku. Namun jauh dalam hatiku aku trenyuh telah mengucapkannya, Sebab Ami benar, anak-anak selalu butuh kebersamaan dengan orang tuanya. Lebih-lebih lagi anak lelaki dengan ayahnya.

Ami permisi turun di Hero dekat rumahnya, "Nik aku turun di sini ya? Mau cari kue buat nanti sore anak-anak dan bapaknya 'kan belum kusediakan snack," katanya seraya bangkit mendekati pintu.

Aku mengangguk mengiyakan sambil memandangi sosoknya yang tak goyah dan tak meleleh diguncang ganasnya kehidupan Jakarta di hawa panas yang mendekati 33 derajat Celsius. Bus Bianglala melaju lagi meninggalkan Ami perempuan sempurna itu di halaman Hero Supermarket.

(BERSAMBUNG)

Pita Pink