Powered By Blogger

Sabtu, 21 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXIII)

Meja kerja pimpinan kantor suamiku agak lama dikosongkan. Sebab konon sulit mencari pengganti sebaik pak Taufik. Suamiku bilang, di balik segala kekurangannya terhadap keluarganya, pak Taufik ternyata tetaplah salah seorang pegawai terbaik yang ada di kantor itu.

Relasinya luas, kemampuan negosiasinya cakap, dan inisiatifnya baik. Tak heran jika dulu beliau sering sekali ditugaskan ke luar negeri atau ke daerah mendampingi tetamu dari luar negeri. Seketika aku teringat akan ungkapan yang menyatakan bahwa di balik kesuksesan seorang lelaki ada peran seorang perempuan.

Perempuan itu adalah Ami dan tentu saja ibu kandungnya sendiri. Dia pernah menceritakan mengenai ibunya yang janda dengan sepenuh kebanggaan kepada Elis dulu. Juga Ami sendiri sering mengagung-agungkan ibu mertuanya pada kami. "Ibu adalah juru masak yang jempolan, dan manajer rumah tangga yang belum tertandingi. Setidak-tidaknya olehku. Beliau bisa mendidik sendiri putranya sekalipun tanpa seorang suami. Aku dulu diajarinya mengaji, karena beliau tak pernah putus shalat dan membaca ayat-ayat suci," cerita Ami waktu itu. Ada nada kekaguman dan kebanggaan yang kental di lidahnya. Aku cuma bisa membayangkan sosok tinggi besar ibunda pak Taufik seperti gambaran fisik pak Taufik yang kukenal.

Sudah lebih dari empat bulan Ami di luar negeri. Besok dia akan datang untuk menjemput anaknya. Dia mengirimiku E-mail minta bertemu dan ditemani mengurus keperluan keluarganya,

Anak-anak mereka ditinggal dengan kakak sepupu pak Taufik, namun si sulung akan segera mencari tempat kost di dekat sekolahnya. Karenanya Ami minta tolong aku mengantarnya.

-ad-

Kedatangan Ami yang kutunggu-tunggu sungguh suatu kejutan buatku. Seharian itu kami bersama-sama, tepatnya dia tinggal di rumahku dan meluapkan semua bebannya di pundakku. Air matanya berderai tak putus, selagi mulutnya mengatup rapat.

"Dia punya wanita simpanan Nik," katanya lirih sambil menundukkan kepala. Butir-butir bening berjatuhan melalui kedua pipinya yang halus dan dulu bulat berisi berseri-seri namun kini cekung kekurangan semangat.

Aku berpura-pura terkejut dan gagap. Padahal keterkejutanku bukanlah karena aku tak mengetahui soal wanita itu. Hanya saja aku tak menyangka bahwa sesungguhnya Ami tahu dan sengaja datang kepadaku untuk mengungkapkan masalahnya hari itu.

Kubiarkan dia menangis di dadaku. Wajah itu jadi pucat, sirna kurang gairah. Helai-helai rambutnya jatuh di bahuku seperti benang layangan kaku. Sebagian mulai memutih dalam sekejap, entah karena apa.

Ami menghabiskan semua isaknya seraya kubelai dengan lembut. Tak ada siapapun di kamarku. Anak-anakku kubiarkan bermain di halaman bersama Nia. Ya telah kupesankan pada pembantuku tadi untuk tidak mengizinkan anak-anak mengganggu kami berdua. "Ibu mau bicara masalah organisasi yang penting," alasanku pada mereka.

"Dari mana mbak Ami tahu?" tanyaku singkat.

Mata itu lurus menatap kakinya sendiri, merebakkan air dan warna merah pada selaput putih matanya. Isaknya terus berkepanjangan menyesakkan dada. Dia tersengal-sengal dan meraih obatnya dari dalam tasnya. Diputarnya dasar tabung obat itu, lalu dibawanya ke mulutnya dengan membekap menggunakan sepasang bibirnya setelah kudengar suara "klik" dari kemasan obat itu. Ami terkena serangan asthma, seperti dulu pernah kulihat di Eropa sana. Agaknya beban batinnya yang berat itulah penyebabnya.

Aku memijiti kedua sisi bahunya, Dia terdiam selagi isak itu menghabiskan sisa tenaganya. Perlahan dia tengadah, menatapku di balik tubuhnya. Ah, mata itu begitu mengiris hatiku yang tiba-tiba rapuh. "Terima kasih," bisiknya.

-ad-

Kami tak jadi bicara banyak. Kubiarkan dia tertidur di kasur kamar tetamuku, serta kututupi tubuhnya dengan sehelai selimut tipis. Aku ingin ada damai di hatinya, dalam lelap tidurnya siang itu.

Menjelang maghrib baru kudengar Ami bergabung bersama anak-anakku di muka televisi. Kurnia menawarinya secangkir teh atau kopi.

"Kopi saja buatku ya, teteh Nia? Kalau ada pisang goreng ibumu yang hangat juga mau," kudengar jawaban Ami dari dalam kamarku.

Aku segera keluar ikut bergabung bersamanya. Wajah itu masih membekaskan tangisan deru derita yang menghempaskannya ke lumpur jalanan di pasar becek. Dia mencoba membalas senyumku ketika aku menjejerinya di karpet.

"Mbak, kita duduk di sofa, lebih enak begitu," ajakku. Dia menurut dan rebah begitu saja di bibir sofa.

"Bisa istirahat mbak?" tanyaku memulai percakapan.

"Terimakasih, alhamdulillah bisa, mudah-mudahan besok aku cukup fit untuk keliling cari tempat kost ya?" jawabnya bernada miris.

"Jangan takut, insya Allah kuat. Aku akan bawa mobil mas Ruddy kakakku. Dia tinggal dekat-dekat sini, dan tadi sudah kutelepon. Sopirnya besok pagi akan menjemput kita," jawabku menenangkan.

"Tapi aku harus kembali ke rumah kakakku dulu ya, anak-anak akan ikut. Besok Rizqi biar memilih sendiri di mana dia ingin tinggal, dan Ridho ingin ikutan juga," kata Ami lagi.

Aku mengangguk, "kita bisa berangkat jam sembilan setelah sopir kakakku mengantarkannya ke kantor. Kantornya pun nggak seberapa jauh kok dari sini," jelasku.

Ami nampak tersenyum lega. Apalagi kemudian Nia masuk mengantarkan kopi untuk Ami dan secangkir teh untukku. Pisang goreng kegemaran teman-temanku agaknya sudah disiapkannya sejak tadi, mulai dingin di piring hidangan. "Nia, tolong hangatkan sebentar di oven ya?" pintaku, "bu Taufik suka yang hangat-hangat." Ami tersenyum memandangku.

"Anak-anak nggak belajar dan bikin PR nih? Sebentar lagi ayah kalian pulang lho," bujukku.

Kedua anakku mengangkat kakinya menjauh memasuki ruang belajar di lantai atas. Sekejap kemudian samar-samar kudengar gumaman dari mulut-mulut anakku. Agaknya mereka sibuk menghafal sesuatu.

"Soal yang tadi, aku boleh tanya sedikit mbak?" tanyaku hati-hati separuh berbisik.

Ami mengangguk lalu mengajakku masuk ke kamar tidur tetamuku lagi. "Di kamar kita bisa bicara lebih santai," katanya. Aku mengiyakan dan ikut masuk sambil membawa cangkir-cangkir kami. Ami menolong membawakan piring-piring kue untuk makan pisang goreng.

"Nia, nanti tolong antar pisang gorengnya ke kamar bu Taufik ya," teriakku ke arah dapur lalu menghilang ke dalam kamar.

-ad-

Kata Ami, perselingkuhan suaminya tercium oleh anak-anak mereka. Semula, mereka hanya meraskan kejanggalan pada rumah tangga orang tuanya.

Semasa masih di luar negeri sana, Rizqi sering menanyakan apakah bapak-ibunya baik-baik saja. "Kalau orang hidup suami istri tidak pernah saling bicara, berarti seperti orang yang di teve-teve itu ya? Bermusuhan, marah-marah lalu lama-lama berpisah rumah?" pancing Rizqi suatu petang dalam perjalanan pulang sekolah dijemput Ami.

Ami hanya menjawab apa adanya, tanpa menyadari ke arah mana pertanyaan anaknya bersumber. "Ya, bisa jadi begitu kang, Memang kenapa?" tanya Ami polos. Ah, disini hatiku tersentak. Ya, betul belaka penilaian Taufik tentang istrinya yang dikatakannya polos itu.

Konon Rizqi tak menjawab, tapi Rizqi nampak mulai menunjukkan sikap kedewasaan tak selayaknya anak-anak seumurannya. Dan sejak itu, atas persetujuan suaminya, tayangan televisi yang ditonton anak-anak mereka diatur sangat selektif. Mereka tidak mengijinkan anak-anak menonton channel tertentu pada jam siaran tertentu. Bahkan saluran sewaan yang dikenal sebagai tele-cable pernah diniatkan akan diputus.

"Mbak pernah dengar bahwa dulu almarhumah Elis mengajakku ke gereja untuk mendoakan mbak dan suami supaya tercipta komunikasi dua arah yang saling menguntungkan?" tanyaku memancing.

Ami menggeleng, "nggak, memang kenapa?" katanya balik bertanya.

"Oh, maaf," jawabku. "Aku kira dulu Elis cerita sendiri pada mbak, bahwa dia menganggap antara  mbak Ami dan suami kurang komunikasi, meyebabkan kurang harmonisasi sehingga dia memutuskan mendoakan mbak berdua di gerejanya. Perhatiannya pada mbak cukup besar lho, dan kasihnya sangat tulus pula sebagai sahabat kita," tegasku berpanjang-panjang kata.

"Kapan itu? Waktu Elis sudah nikah dengan mas Bas?" tanya Ami surprise.

Aku membiarkan Nia masuk mengantarkan pisang gorengnya setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Lalu kupersilahkan Ami mencicipinya. Dia mengambil sepotong dengan sangat hati-hati serta mengunyahnya sambil dinikmati.

"Hm, nggak, bukan, sebelum itu. Waktu pak Taufik masih asyik dengan kuliah-kuliahnya dan sibuk sendiri di luar rumah," jawabku santai. Aku ingin membantunya mengenangkan masa lalu dan segala kebaikan Elis padanya. Tapi sekaligus juga aku tak ingin menyakitinya.

"Maaf mbak, ingat suatu hari mbak sekeluarga pergi berlibur dengan Elis ke luar kota? Ya kira-kira sehabis itulah," lanjutku lagi.

Ami sedikit mengerutkan keningnya, kemudian mengangguk pasti, "ya, aku sangat ingat. Sehabis itu kami tak begitu akrab lagi dengan Elis. Semua itu hanya gara-gara liburan yang kurang terencana dengan baik, maksudku mas Taufik mengatur sendiri tanpa minta pertimbangan atau memberi tahuku soal rencana liburan itu," sahut Ami. Mukanya masih tetap menatap padaku, dan telinganya dijelikan mengarah ke bibirku.

 Ada perasaan gundah gulana padanya. Dia merasa diriku sudah lebih tahu tentang kelakuan suaminya sebelum dia menyadarinya sendiri.

Kupeluk tubuhnya dari samping. "Maaf ya mbak, maaf, saya tidak bermaksud menyakiti hati mbak dengan mengungkit-ungkit masa lalu," pintaku padanya.

"Nggak 'pa-'pa kok Nik," jawabnya tulus, lalu dia meneruskan ceritanya sambil menunggu adzan maghrib digemakan dari masjid di sekitar perumahanku.

Dalam luapan perasaannya dia bilang, suatu hari anaknya menyuruhnya memperhatikan setiap gerakan Taufik ketika pulang dari kantor. Selalu mereka lihat ayah mereka segera merogoh saku celana panjangnya, mengambil sebuah telepon genggam yang entah milik siapa, kemudian mengirim SMS. Tak lama SMS itu akan segera berbalas. begitu berulang-ulang termasuk pada saat makan. Bahkan sekali lagi Ami mendapatinya setiap akan pergi tidur.

Dan malam itu dengan mengendap-endap anak mereka masuk kamar orang tuanya yang tak pernah dikunci. Telepon genggam itu berhasil ditemukan, dan SMS yang bertumpuk di inbox serta outboxnya berpindah dengan selamat ke telepon genggam mereka.

Rahasia itu bocor ke tangan Ami beberapa waktu kemudian, sepulang sekolah. Mereka sama-sama menangis dalam keterkejutan. Bahkan si bungsu sempat tidak mau berangkat les di rumah gurunya sore itu. Dia kehilangan gairah, patah semangat dan menangis tak habis-habisnya.

Lucunya, Taufik seperti sudah "gelap mata". Dia tak menyadari perubahan dalam diri keluarganya. Dengan kebiasaan barunya, dia tetap berkomunikasi dengan seseorang di seberang sana. Seseorang yang dinamakannya Mama. Perempuan terhormat, pegawai negeri yang sukses dan punya masa depan baik serta keluarga yang sempurna.

Batinku tercekat! Perempuan itu punya keluarga!

"Ya, ada seorang anaknya, calon artis yang dijaring lewat audisi para bintang di televisi," terang Ami. "Ibunya sendiri juga sinden di kampungnya, mirip Mayang dengan ibunya lah," terang Ami.

Batinku semakin tercekat lagi! Bagaimana mungkin seorang lelaki berkedudukan terhormat di lingkungannya dan di masyarakat tega menjatuhkan harga dirinya ke pelukan perempuan semacam itu? Siapapun tahu kehidupan seseorang dengan predikat artis, sekalipun hanya sekelas panggung hiburan lokal.

Ami mulai menangis lagi. Kali ini aku ikut larut bersamanya. Air mata kami saling berbaur di pelukan kami masing-masing. "Nonik, aku harus bagaimana?" tanyanya pilu.

Aku merenggangkan pelukan kami dan menatapnya dari tentangan lenganku, "hm, hanya kepada-Nya lah kita kembalikan semua ini, kita harus minta Allah yang menyelesaikannya," kataku padanya. Kuusap lelehan di pipinya. Juga di pipiku dengan tissue kotak Tessa yang selalu kusiapkan di sisi tempat tidur.

"Aku sudah melakukannya. Aku mengadukan semuanya pada Allah, sehingga aku diberiNya kekuatan untuk mendampingi suamiku ke tempat tugasnya yang baru. Tapi aku masih bingung, aku tidak tahu apakah Allah telah menolongku, aku bingung," sambatnya parau dan pilu yang sangat menusuk telinga dan jantungku.

Tepat bersamaan dengan itu adzan mengalun merdu, naik turun dibawa angin senja. Malampun tiba meredupkan surya siang yang seharian tadi gemilang. "Mbak Ami, kita shalat dulu ya, kita pasrahkan lagi semuanya ke tangan Allah, aku akan membantumu," bujukku seiring dengan bel pintu rumah ditekan mas Tri.

"Assalamu'alaikum........" bunyinya menegaskan tibanya malam. Malam untuk bersyukur dan bermohon.

(BERSAMBUNG)

20 komentar:

  1. Hmm, diam-diaman begitu biasanya memang menyisakan bom waktu yang siap meledak ya Bu... Dan jadi agak serbasalah juga posisi Bu Nonik.

    BalasHapus
  2. Eh....eh.... selamat siang! Aduh jadi malu, udah ada yang dateng bertamu.

    Iya betul sekali komentarnya. Tunggu terusannya ya mbak.

    Saya semaleman cari inspirasi buat nulis yang bab ini aja sampe bingung nggak dapet-dapet. Begitu bangun tidur langsung ngalir aja sesukanya. Halah!

    Terimakasih ya mbak udah mampir. Selamat menghabiskan akhir pekan, semoga besok fresh lagi buat ngantor.

    BalasHapus
  3. kira2 bu taufik ini siapa ya? dalam kisah nyatanya lho....
    jadi penasaran.

    BalasHapus
  4. Bu Yudi bukan? *penasaran selesai.grak!*

    BalasHapus
  5. Akhirnya yang baca lega.......

    Pengen tahu akhirnya nggak? Ikutin terus ya?!

    BalasHapus
  6. Kebenaran pastinya akan terungkap, pengen tau niyyy...apa reaksi pak Taufik selanjutnya....

    BalasHapus
  7. Maunya mbak Kris, si bapak pejabat bereaksi gimana hayo? Aku tampung idenya biar bisa diolah lagi.

    BalasHapus
  8. bikin Pak Taufik sakit ditempat dinasnya bun, jangan hanya bu Ami yang sakit dan disakiti terussss.... karena kalo lagi sakit biasanya yang dekat dan penuh perhatian justru Keluarga bukan ? xixixii...maaaaffff jadi malu niyyy....kalo salah...:)

    BalasHapus
  9. Oh oke, saya jadiin pertimbangan ya. Bisa aja saya bikin begitu, kan namanya percobaan membuat karangan ini, nggak ada salahnya deh.

    BalasHapus
  10. iya yaaa...gimana tuch jadinya ya kalo Pak Taufik, orang yang "tak terbantahkan", dan harus menerima kondisi dimana dia harus mengikuti "aturan main", dari dokter dan ternyata hanya keluarga yang selama ini "lepas" dari perhatiannya yang setia mendampingi, hehehe...yachhh...stroke ringan aja bun, kalo berat2 kasian juga nanti ibu Ami dan anak2nya...hehehe....sokkkk ngatur niyyy Krisna yaaa... ;)

    BalasHapus
  11. Duh, tapi kasihan ah, nggak tega. Lihat deh mau saya gimanain ya, sabar!

    BalasHapus
  12. sabar dah pasti dong bun, kan penasaran terus niyyy...

    BalasHapus
  13. Hahahaha..... jadi ketawa sendiri nih yang ngarangnya.

    Tengkyu ya mom!

    BalasHapus
  14. mbak.. nyebut2 mayangsari.. ntar tersungging loh itu orang hahaha... kan makin banyak kelakukan aneh makin sensitipppp...

    BalasHapus
  15. Hahahaha..... lha terus mau disepertiin siapa yang maknya sinden? Boleh kasih ide, entar aku ganti sama tokoh lain. Tapi mesti yang populer ya, biar pembaca nggak bingung.

    BalasHapus
  16. kagak ada! kalo emake sinden yg pasti dia lah..

    BalasHapus
  17. Itu dia makanya aku jadi pake namanya beliau. Ah, tapi kuedit, tak buang sepotong. Hihihihihihi,,,,,,,,,, aduh mamaf kalo ybs baca dant ersungging, maklum adanya di dunia nyata cuma dia. Sedangkan lakonku maunya tak bikin begitu, biar rada gimana gitu.......... nggak cetek-cetek banget lah!

    BalasHapus
  18. ini kisah nyata atau rekayasa ? maunya dari kami apa yach ?

    BalasHapus
  19. Kenapa pak? Ada kisah serupa ya? Kata temen saya sih ini kisah nyata, cuma anaknya banyak, uakeh tenan, bilangannya sepuluh. Jadi bingung.........? Mau diambil jadi sinteron? Silahkan dibeli pak.

    BalasHapus

Pita Pink