Powered By Blogger

Senin, 16 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XX)

Pesawat yang akan mengantar keluargaku kembali untuk selamanya ke Indonesia mendarat di Changi Airport, Singapura pagi hari. Terpaksa kami berjalan-jalan menjelajahi bandara modern dan cantik itu untuk menunggu pesawat lanjutan ke Jakarta tiga jam lagi. Mas Tri sengaja memilih penerbangan lokal sebagai lanjutannya, mengingat keluarga kami yang akan menjemput baru bisa tiba di airport lewat tengah hari.

Melongok kecantikan Terminal 1 Changi Airport, rasanya rugi juga kalau kami tak menyempatkan diri ke Terminal 2. Di sana pasti ada juga sudut-sudut bagus yang dipenuhi anggrek cantik seperti di Terminal 1. Lumayan untuk berfoto, pikirku. Karenanya kuajak mas Tri ke Terminal 2. Ada kereta lokal di bandara itu yang siap membawa penumpang dan pengunjung bandara ke terminal tujuannya. Mas Tri memenuhi keinginanku sekaligus melemaskan otot-otot kaki yang sudah terpasung di udara selama lebih dari dua belas jam.

Anakku Hardi kududukkan pada stroller payungnya, sementara Buyung sibuk berlarian kesana-kemari. Mas Tri mendahului kami sambil melihat-lihat. Maklum inilah pengalaman pertama kami turun di Singapura sekalipun tidak keluar dari area bandara.

Orang-orang sibuk melangkah memenuhi bandara di mana-mana, termasuk di ban-ban berjalan yang nyaris tak pernah kosong meskipun belum lagi pukul delapan. Kedai-kedai kopi juga dipadati para pencinta kopi plus orang-orang yang butuh sarapan pagi. Buyung memanggil ayahnya dan menunjuk ke arah sebuah kedai kopi minta hot chocolate.

"Boleh duduk di situ ya pak? Aku kepengin minum coklat susu, boleh ya?" kudengar anakku menghentikan langkah ayahnya sambil menunjuk kedai kopi di dekat kami.

Mas Tri melihat jam di pergelangan tangannya kemudian mengangguk. Jadilah kami berbelok dan aku memilih tempat paling depan agar leluasa meletakkan stroller Hardi. Air mancur di tengah kolam buatan dalam gedung itu memercik sedikit ke arah kami. Anakku senang melihatnya. Kupesankan teh panas untuknya serta sepotong cake wortel. Buyung sendiri memilih donat kesukaannya,

Kami makan dalam tenang seraya memerhatikan orang lalu lalang. Mas Tri tak berlama-lama, sebab katanya ia ingin mendapat sebuah kamera model terbaru untuk merekam rumah baru kami yang belum sempat kami nikmati karena kami mencicil pembeliannya pada BTN dari luar negeri. Dia meninggalkan kami di situ diikuti Buyung, seakan memberi kesempatan padaku untuk berdua saja dengan si bungsu.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sapaan seseorang di belakangku. Perempuan berwajah oriental yang sudah sangat lama tak kutemui. "Aduh, ternyata ada Retno, mau kemana? Apa kabar?"

Kuangkat wajahku menoleh padanya. "Hai, Vivie, ada di sini? Apa kabar?" balasku lagi penuh keterkejutan karena tak kusangka aku akan bertemu teman lamaku di area bandara ini.

"Baik, ya aku lagi nunggu pasien dari Jakarta, sekarang 'kan aku kerja disini. Jadi tukang ngurus pasien," jawabnya sambil tersenyum dan menjabat tanganku.

"Aha! Aku kira kamu jadi penduduk negeri bule dengan Tommy-mu," balasku tak peduli akan pertanyaannya.

"Nggak, dia kerja jadi dokter disini, spesialis paru,' jawabnya lagi sambil menyeret kursi bekas mas Tri duduk, "Aku boleh duduk di sini?" tanyanya langsung meletakkan tubuhnya tanpa persetujuanku.

"Wah, kamu sudah jadi Warga Negara Singapura dong," gurauku.

Dia tersenyum dan menggeleng, "nggak lah, Permanent Resident aja. Rugi aku kalau harus kehilangan WNI-ku yang harus kuurus dengan susah payah dan main sogok sana-sini, aku bisa bekerja disini karena suamiku 'kan Warga Negara Singapura asli," tegasnya.

Aku mengenal keduanya ketika Tommy dulu mengajar Bahasa Inggris di lembaga kursus yang kami ikuti di kotaku sambil dia melakukan penelitiannya tentang penyakit tropis. Masih kuingat, kami senang menggodanya, sebab logat Bahasa Inggrisnya sekalipun bagus, tapi tetaplah dengan gaya seorang Cina peranakan yang aneh di telinga.

Konon nenek-moyang Tommy ada yang menetap di Pasar Baru sehingga dia merasa nyaman berada di lingkungan orang-orang Indonesia terutama keturunan Cina seperti Vivie. Dan Vivie sendiri mengambil manfaat dari pergaulannya dengan Tommy, yaitu memperlancar Bahasa Inggris. Tak heran ketika dia lulus ujian Bahasa Inggris di jurusan kami, nilainya terbaik di antara kami.

Aku menceritakan kehidupanku sebagai istri seorang pegawai negeri. Bahkan kemudian kuperkenalkan dia kepada mas Tri yang sudah kembali dengan kamera barunya. Aku kemudian memintanya memotret pertemuan kami, yang diturutinya dengan senang hati.

Vivie melirik jam di tangannya, "ma'af aku harus segera ke gate D-14 ya, pasien itu hampir datang," katanya sambil beranjak bangkit dan menyalami kami.

Suamiku menghentikannya dengan pertanyaan "D-14? Bareng yuk, itu juga pesawat yang kami tumpangi ke Jakarta," ajak suamiku. Lalu kamipun merapikan meja bekas sarapan serta berjalan beriringan menuju kereta ke Terminal 1. Nampan dan cangkir kotor kami letakkan di bak sampah yang disediakan.

"Begitulah kerjaku di sini, lari dari satu terminal ke terminal lainnya demi mengejar pasien dan tentunya juga target upahku," kata Vivie sambil tertawa-tawa. Nafasnya sedikit memburu.

"Aku tadi habis ngantar obat pasien yang transit dan nunggu di Terminal 2, sekarang pergi jemput pasien di Terminal 1. Begitu terus bolak-balik," lagi-lagi dia menjelaskan irama kerjanya sambil tertawa.

"Suami dan anak-anak kalian terurus?" tanyaku iseng.

"Ya, aku nggak pernah masak sih, karena di setiap apartemen di sini pasti ada warung makanan di hawker centre, tinggal pilih kita mau beli apa. Dan, puji Tuhan anak-anak dan suamiku bisa menerima kondisi ini. Aku punya pembantu dari Indonesia, kiriman mama, anaknya mak Yah yang dulu mengasuhku," paparnya lagi diiringi anggukkanku. Begitulah kehidupan seorang Singaporean, batinku.

Di muka gate D-14 kami bersalaman. Kami nyaris masuk seandainya suamiku tak memperhatikan dengan cermat bahwa pintu gate belum dibuka. Menyadari keadaan itu, kami kembali duduk bergabung bersama Vivie di bangku tunggu sepanjang koridor Terminal 1.

Tak lama kemudian para petugas berseragam biru tua dan perempuan-perempuan berbatik Cina pesisiran berkumpul mendekati pintu kedatangan. Vivie mohon diri karena pasiennya akan segera datang.

Seorang lelaki tua diiringkan keluarganya duduk di atas kursi roda. Vivie tampak menyambutnya dengan ramah dan menjabat tangan pengiringnya, lalu mendorong pasien tua itu ke luar dari area kedatangan. Ketibaan, demikian istilah orang Melayu di situ yang kubaca dari papan petunjuk di bandara.

Tak jauh dari pasien itu aku melihat sosok yang juga sangat kukenali, pak Taufik beriringan dengan orang lain yang bukan istrinya. Mereka nampak bercakap-cakap seakan sudah lama saling mengenal. Suamiku memburunya untuk mengucapkan salam, lalu dia segera kembali kepada kami. Kata mas Tri, pak Taufik dalam perjalanan menuju Amerika untuk suatu perjalanan dinas.

Kami hanya menatap beliau berlalu tanpa berniat menanyakan apa-apa lagi. Tapi jelas tertangkap di depan mataku sosok lelaki yang selama ini dibanggakan istrinya berjalan mesra dengan perempuan lain yang tak jelas siapa. Aku membuang pandang ke dalam ruang menembusi kaca-kaca yang temaram siap akan dibuka pintunya. Perutku terasa muak seketika.

-ad-

Sudah sebulan lebih kami di rumah. Cat dinding yang mulai kusam karena disewa orang sudah mulai kami poles kembali. Mas Tri bahkan sedang berencana menambah sebuah ruang pada bidang tanah kosong di sisi bangunan rumah untuk membuat gudang yang sesungguhnya sehingga kelak barang-barang rumah tangga kami yang baru keluar dari pelabuhan punya kamarnya sendiri.

Aku sudah mendapat sekolah yang cocok untuk Buyung di SD di dekat rumah. Memang bukan sekolah yang baik, tapi aku yakin dengan tambahan belajar sendiri di rumah anakku bisa mengikuti pelajaran di kelasnya sebaik anak-anak yang memang belajar sejak kelas 1 di Indonesia. Menurut pendapatku, kelas 2 SD masih belum seberapa sulit.

Dengan pertimbangan mengurus rumah dan anak-anak karena pembantu kami minta pulang ke kampung, aku mangkir dari tugas organisasi para istri di kantor suamiku. Suamiku sendiri juga belum jelas akan ditempatkan di mana karena dia staff junior yang boleh dikata belum punya banyak pengalaman.

Aku jadi agak ketinggalan berita karenanya. Duniaku hanya berpusar di dalam rumah tanggaku semata. Satu-satunya hubunganku dengan teman-teman adalah melalui telepon. Sekali-kali aku juga menghubungi Ami melalui telepon itu, yang selalu dijawabnya dengan nada yang sama riangnya dengan kebiasaannya bersikap dulu. Hal ini cukup menggusarkan hatiku, karena terus terang sejak bertemu dengan pak Taufik di Changi waktu itu, ingatanku selalu kembali kepada cerita almarhumah Elis bahwa pak Taufik menduakan cintanya di belakang Ami. Tapi aku yakin, bahwa Ami sama sekali tak mengetahui ini. Aku jadi tak habis pikir.

-ad-

Malam itu mas Tri masuk ke rumah dengan berita bahagia. Dia ditempatkan di kantor pak Taufik. Suatu hal yang tak pernah kami duga, mengingat mereka berdua berlainan bidang. Tapi di tempat suamiku bekerja apa pun bisa terjadi. Dan inilah yang terjadi terhadap kami, pak Taufik mengangkatnya menjadi staff di kantornya.

Hubungan kerja suamiku ini kembali mendekatkan aku dengan Ami. Sekarang aku tak pernah lupa menyapanya sebagai bu Taufik, mengabaikan permintaannya dulu yang ingin disapa dengan mbak Ami agar lebih akrab.

Aku sudah minta petunjuknya mengenai kegiatan organisasi kami. Dan sebagai jawabannya, mbak Ami mengutusku mewakilinya ke kegiatan-kegiatan yang menyibukkan dan melelahkan mengingat dia sendiri tidak bisa terlalu lelah sejalan dengan penyakitnya yang tak kunjung membaik. Untuk itu aku terpaksa memanggil kembali inang pengasuh anak-anakku yang alhamdulillah bersedia dengan segala kesadarannya sendiri ikut kami.

Secara rutin aku menghubungi bu Taufik untuk melaporkan semua kegiatan kami. Dalam pada itu kami jadi punya kesempatan mengobrol berbagai hal di luar organisasi seperti dulu ketika di luar negeri.

Menurutnya, suaminya setiap malam selalu pulang lewat waktu makan. Bahkan di rumah pun senantiasa sibuk dengan pekerjaannya, karena telepon genggam di tangannya nyaris senantiasa menjerit minta perhatian. SMS masuk terus menerus, katanya.

Waktu kutanyakan soal perhatiannya terhadap keluarga, mbak Ami bilang suaminya tak berubah. Di akhir pekan mereka tetap sering makan di luar walaupun suaminya tak banyak bicara. "Maklum sekarang sangat sibuk," katanya lagi.

Suamiku mencibirkan bibirnya. "Sesibuk-sibuk bossku, tapi dia manusia biasa Nik, Tetaplah big boss kami tahu diri dan tak akan mengganggu waktu week-end nya," komentar suamiku. Aku cuma bisa merenungi apa yang dikatakan suamiku. Ada benarnya juga. Hm, aku hanya bisa menarik nafas panjang dan tak mampu berargumen, Elis dulu itu benar, ada sumbatan komunikasi pada pasangan itu. Mataku nanar menatap foto mereka berdua yang ditinggalkan Elis di albumku. Benarkah pak Taufik tidak tersenyum untuk istrinya? Hanya dia sendiri yang bisa menjawabnya.

(BERSAMBUNG)

15 komentar:

  1. mo cari yang 'I' dulu yaa...trus COPAS dech...boleh ya bun ?

    BalasHapus
  2. ummh.. ternyata masih bersambung ya bun..?
    penasaraan..

    BalasHapus
  3. Simpen aja mbak di flash disk. Kalo malam mau tidur boleh dilihat-lihat untuk pengantar tidur.

    BalasHapus
  4. Memang aku mau bikin teh Ratih penasaran............ boleh 'kan?

    BalasHapus
  5. iya bun, Krisna dah ada niat spt itu, malam bisa baca sambil tiduran..laptopnya taruh di kasur...hmmmmm bisa engga tidur karena penasaran.

    BalasHapus
  6. Aduh aku telah berdosa kepada orang banyak (yang pada penasaran........)

    BalasHapus
  7. dinas keluar negri dipake untuk alasan ya. padahalmah ketemuan sama selingkuhan. emang selingkuh itu indah. kata sebuah lagu, dan juga kata yang udah merasakannya kali.... ih amit2 deh.

    BalasHapus
  8. memebaca prosa mbakyu nih selalu menarik, apalagi kali ini sisis "akunya" nampak tergambar di ceritanya

    BalasHapus
  9. Terima kasih ya kang. Gambar apa yang yang nampak di cerita ini? *bingung terus nyureng.com*

    Terima kasih ya mas udah menyempatkan baca bacaannya ibu-ibu kurang gaweyan.

    BalasHapus
  10. Wah sudah kembali ke Indonesia, noniknya!!

    BalasHapus
  11. Om munama@bunda memang hebat memposisikan sudut pandang "akunya", dlu aja lina kirain pengalaman pribadi..

    BalasHapus
  12. Wis ah, kesel urip nang LN terus. Jare padha kangen maem tempe nduk.........

    BalasHapus
  13. Detil-detil-detil! Aduh, saya suka sekali cara Bu Julie menuliskan tentang istilah ketibaan. Juga foto yang disebut di episode sebelumnya lalu jadi penutup di atas.

    BalasHapus
  14. Aduh, dadi isin jeng........
    Aku nek nulis mung asal wae kok jeng.
    Terima kasih sudah bersedia jadi komentator.
    TErus ya jeng kasih masukan seperti Lina dan yang lain-lain ngasih masukan untuk saya.

    BalasHapus

Pita Pink