Powered By Blogger

Senin, 31 Agustus 2009

CENDOL MAIZENA MANIS

Description:
Panas terik di bulan Ramadhan mengingatkanku akan cendol dari tepung maizena yang biasanya kubuat sendiri saat aku numpang tinggal di luar negeri. Rasanya berbeda sekali dengan cendol tepung beras yang banyak mangkal di jalanan di saat puasa begini.

Iseng-iseng saya membuatnya untuk buka puasa kemarin sore, dan masih juga bersisa tadi sore. Rasanya, konon menurut orang serumah, hmmmm, legit! Silahkan ditiru.

Ingredients:
BAHAN CENDOL : 1 Cangkir tepung maizena, 4 cangkir air, sejumput garam, 100 gram gula pasir, pasta pandan secukupnya.

BAHAN KUAH : Setengah kilogram gula merah, 2 kotak kecil santan kara (400 cc), sedikit air, garam, dua lembar daun pandan dan sedikit susu kental manis..

Directions:
CARA MEMBUAT CENDOL : Larutkan maizena dengan air, bubuhi gula pasir dan garam, aduk rata hingga larut lalu bubuhi beberapa tetes pasta pandan dan masak di api sedang (jangan terlalu besar) hingga mengental dan tidak lengket di panci (tapi masih cukup cair sehingga bisa mengalir dengan mudah di saringan pencetak cendol). Selama merebus jangan pernah meninggalkan panci, terus aduk supaya tidak meringkil-meringkil dan tidak hangus. Jika sudah matang dan nampak mengkilat permukaannya, ambil segumpal es batu, letakkan dalam sebuah tempat (misalnya washkom), tuangi air matang dingin hingga cukup untuk mengentalkan adonan. Kemudian tuang adonan cendol ke dalam cetakannya di arahkan ke dalam washkom tadi, dan tekan-tekan hingga isinya jatuh membentuk butiran-butiran cendol. Biarkan beku dan dinginkan.

CARA MEMBUAT KUAH SANTAN : Rebus terlebih dulu gula merah hingga cair, kemudian disaring karena biasanya gula merah mengandung banyak kotoran waktu dicetak di pabriknya. Setelah itu rebus santan kara dengan sedikit air agar mencapai kekentalan yang pas dengan dibubuhi garam dan daun pandan. Jaga dengan cara mengaduk-aduknya agar tidak pecah. Setelah mendidih, angkat dan dinginkan.

CARA MENGHIDANGKAN : Ambil beberapa sendok cendol, tuangi sirup gula merah, tuangi santan secukupnya dan es serut terakhir tuangi sedikit susu kental manis. Aduk-aduk rata lalu hidangkan.

(Konon kata anak saya, gurih dan segar tenan!!!)

Sabtu, 08 Agustus 2009

NYANYI SUNYI UNTUK SEBUAH PEKIK MERDEKA

Adapun gelap bukanlah malam semata
Di sinar yang terang, di pagi benderang
Di awan berbintang nan bermesra dengan rembulan

Kaumku
Sejuta tangan diam dalam ikatan yang kukuh
Ada kepasrahan disana

Di antara mereka yang berpesta pora
Mereguk kesenangan

Di pinggir-pinggir kota
Ada kudengar deru gempita
para laskar berarak bertelanjang dada
Wahai bahagia, andaikata
Hidup ini penuh makna
Penuh nikmat dan canda-ria bergema

Tapi tengoklah
kita hanya mampu tersenyum
Sebab hanya ada nyanyi sunyi
Untuk sebuah pekik merdeka!

Itulah gelapnya kaumku
Yang senantiasa menggantung penuh
Dari masa lalu ke hari depan
Menuju pelabuhan penghabisan.


(Donau am Nussdorf, Wien, 20.04.1993)



Kamis, 06 Agustus 2009

POTRET HIDUP ITU ADALAH ANAKKU

Mengenang dirinya, si bungsu anakku Haryadi, aku senantiasa tersenyum simpul. Lelaki jantan di atas kamar tidurku ini, memang senantiasa menyenangkanku sejak aku menimangnya yang pertama kali hampir dua puluh tahun yang lalu.

Banyak nama alias diberikan orang kepadanya. Yayang, kata kakaknya. Haryo, kata ayahanya. Namun cukup Yadi atau Adik bagiku.

Apapun namanya, dia tetaplah seorang lelaki yang tangguh. Maksudku, sikapnya sangat dewasa. Bahkan sejak usianya belum lagi remaja. Dia terbiasa menyimpan semua rahasia untuk dirinya senfiri, dan baru akan membukanya dikala dia sudah benar-benar terdesak. Bayangkan, seorang bocah SD mampu melakukan itu untuk menenteramkan hatiku dan ayahnya. Bagiku, sungguh luar biasa karena aku sendiri yakin bahwa diriku tak akan mampu melakukannya.

-------

Dia kulahirkan di ranjang Rumah Bersalin Azra yang kini sudah bersalin status menjadi Rumah Sakit Azra. Di kota Bogor, kampung halaman kami, rumah sakit ini sangat populer bagi kalangan selebritis mengingat dialah satu-satunya rumah sakit modern di awal tahun 90-an. Karenanya tak heran hingga sekarang RS Azra tetap jadi favorit para pengisi panggung hiburan dari kota Bogor.

Masa kecilnya kami habiskan dimana-mana, karena dia merayakan ulang tahunnya yang pertama sehari setelah kami mendarat di kota Vienna, Austria guna mengikuti kepindahan tugas ayahnya. Di situ jugalah pada usia tiga tahun kami mendapati kelainan herediter pada matanya yang menyebabkan kacamata hingga kini tak pernah bisa lepas dari wajahnya yang bulat telur.

Wajah yang selalu tersenyum untukku. Wajah yang menjadi penghapus duka dan gundah gulanaku adalah miliknya semata. Anakku sayang si bungsu yang kukagumi sekalipun di saat dia duduk di bangku Sekolah Dasar bahkan Taman Kanak-Kanak di kota kami, aku sering mendapat teguran dari guru yang membimbingnya.

Semua guru menganggapnya terlalu pendiam, dan kurang inisiatif pula. Bahkan gurunya di kelas 1 SD sering mengolok-oloknya sebagai "raja bengong" sebab dia punya kegemaran menonton orang lain melakukan pekerjaannya, sampai dia lupa mengerjakan pekerjaannya sendiri. Dan sebagai akibatnya dia akan selalu keluar kelas sebagai murid yang terakhir. Bahkan tak jarang gurunya terpaksa menghukumnya untuk menulis sambil berjongkok di muka kelas.

Meskipun demikian, aku merasa yakin bahwa dia punya suatu kelebihan yang mungkin tak kami miliki dan belum terdeteksi sebelum dia mencapai usia dewasa. Karenanya kubiarkan dia berjalan dan berkembang apa adanya serta tumbuh menjadi anak bawang di kelasnya.

Naluriku benar semata. Di SMA kelas 1 tiba-tiba dia tampil secara mencengangkan di hadapan publik pada kesempatan mengisi acara Resepsi Diplomatik HUT RI di kantor ayahnya. Disitu, lelaki kesayanganku memegang instrumen melodi arumba yang aku sendiri tak pernah tahu bagaimana wujudnya. Dan dialah band leader dari Arumba Band Sekolah Indonesia Singapura tanpa sepengetahuanku. Padahal di tahun sebelumnya, dia hanya kuanjurkan untuk tampil sebagai salah satu penyambut tetamu di resepsi yang sama selagi guru kesenian mereka kebingungan mencari murid yang mau dilatih memegang instrumen musik itu.

"Ibu, saya sangat tidak percaya waktu tiba-tiba di suatu siang secara tidak sengaja melewati aula sekolah tempat instrumen-instrumen arumba diletakkan dan mendengar melodi dibunyikan orang mengalunkan lagu yang akan saya latihkan untuk resepsi," tutur Pak Budi Hartiana gurunya.

Aku tersenyum dan menimpali dengan tanya yang sama tidak percayanya, "Memang apa yang terjadi pak Budi, apakah arumba bisa bunyi sendiri?" selidikku.

Guru yang selalu tersenyum dengan penampilan sangat tenang itu tersenyum jua seraya menajwab, "Saya tidak mengira putra ibu memainkannya. Saya malah merasa agak bingung sebab setahu saya tidak ada seorangpun di aula waktu itu." Gigi-gigi yang putih berderet itu diperlihatkannya padaku. "Apakah sebelum ini putra ibu pernah main musik?"

Aku menggeleng keras. "Pak, jangankan main musik. Alat musikpun kami cuma punya keyboard mainan. Itupun hanya kami mainkan melodinya sebab kami orang-orang yang tak bisa baca partitur dan tak punya pendidikan sama sekali apalagi bakat musik, nihil,' sahutku sambil menatap anakku yang baru saja usai mengecek kelengkapan bandnya sebelum dikembalikan lagi ke sekolah.

Pendek kata cerita guru anakku, dia kemudian ditest di situ untuk memainkan lagu asing berjudul "Sway" yang sebetuilnya sangat populer tapi tak dikenali anakku dengan baik. Maka anakku minta gurunya menyanyikan melodinya untuknya. Dan ketika bait pertama lagu itu selesai, dia segera menyahut ringan, "Oh, lagunya Film Putri Duyung yang diperankan Ayu Azhari?" Rupanya itulah yang dikenalinya.

Gurunya mengangguk sambil mulai mendengarkan dengan cermat pukulan-pukulan anakku yang ngawur tanpa membaca partitur, tapi sangat cocok dengan permintaan gurunya. Dan sejak itu tahulah aku bahwa apa yang pernah tersirat di dalam batinku bisa menjadi kenyataan.

Setelah itu, anakku mulai kelihatan menaruh minat dan kemampuan pada bidang lain lagi, yakni Teknologi Informasi. Dia punya beberapa blog yang konsisten dikelolanya hingga sekarang, termasuk Multiply dengan username indoidols yang foto-fotonya sering kuminta sebagai pengisi site-siteku baik yang ini maupun senthong si bundel.

Khusus untuk situs foto, dia mengelola kerenboy-photo.co.nr yang lumayan berisi untuk ukuran seorang pemula. Masih ditambah dengan Theboydimension yang juga telah dikelolanya sejak dia masih di SMP dulu. Itulah kelebihan yang dimiliki anakku tapi tak kami miliki.

Susahkah hatiku mengingat dia tidak begitu berminat pada pelajaran-pelajaran umum yang harusnya dikuasai orang? Kalau itu yang dipertanyakan, maka jawabanku bulat-mutlak : TIDAK! Sebab sekalipun dia pas-pasan di bidang akademik, tapi dia tetap berguna bagi sekolahnya. Baik semasa di Singapura maupun kemudian di American International School of Cape Town, Repbulik Afrika Selatan, dia senantiasa dimanfaatkan guru-gurunya untuk mendisain dan mengelola Buku Tahunan sekolahnya. Dan itulah yang mendapat perhatian gurunya. Ada tertulis di raport terakhirnya kesan gurunya akan buku tahunan yang dikerjakannya. "saya tak bisa menemukan penggantimu dalam waktu dekat sayangku........"

---------

Di waktu orang tua murid kelas terakhir SMA sibuk mengupayakan putra-putri mereka bisa menembus Universitas pilihan terkemuka di tanah air, aku ternyata santai-santai saja. Anakku mengatakan dia akan mengambil jursuan Fotografi di Institut Kesenian Jakarta yang merupakan bagian dari Fakultas Film dan Televisi. "Aku yakin, aku akan dapat menghidupi diri dan keluargaku kelak dari situ," katanya memberi alasan.

Ayahnya tidak mendebat. Sama halnya denganku. Hanya pihak keluarga besar kamilah yang bertanya-tanya, sebab dalam sejarah keluarga kami tak seorangpun yang berminat mempelajari seni sekalipun itu hanya seni foto.

Dan tekad itu dibulatkannya dalam jawaban yang disampaikannya di depan para dosen penguji calon mahasiswa baru FFTv IKJ di kampus mereka Sabtu (01/08) yang lalu. "Fotografi memang kerja berkelompok. Sebab, juru foto tak akan mungkin membawa sendiri lighting-nya, properti-properti pengambil gambar dan sebagainya," katanya membuka jawaban. "Tapi, seni foto -seni foto-," katanya menekankan lagi," bukanlah sebuah suguhan yang sudah jadi semacam film yang memang dibuat lengkap dengan dialog. Dengan memotret, kita bisa menghadirkan gambar yang multi tafsir. Terhidang sebagai sesuatu yang bisu, maka foto bisa ditafsirkan menurut pemahaman penikmat yang melihatnya, tidak harus diterima begitu saja apa adanya seperti film yang jelas-jelas disertai dialog," urai anakku panjang-lebar.

Ketika di bangku Pujasera TIM dia menceritakannya kembali padaku, terbit rasa kagumku yang mendalam padanya. Entah apa pula yang jadi pemikiran pengujinya tadi.
Apakah kira-kira sama dengan pemikiranku, wallahu alam, aku tak tahu.

"Terus, apa reaksi pengujimu, dik?" pancingku ingint ahu.

Dia hanya mengangkat bahunya, "nggak tahu ya. Mreka langsung beralih topik menanyakan kelengkapan fotoku dan contoh foto yang kubuat."

"Ada kamu bawa?"

Anakku kembali menggeleng lagi, "nggak, habis waktu pendaftaran mereka nggak bilang harus bawa contoh hasil karya," katanya santai. "Dan mereka bisa mengerti, kok. Mereka akan melihatnya di web siteku. Sudah kuberikan alamat-alamatnya," sambungnya lagi diiringi anggukan paham dariku meski ketar-ketir di dalam hati mengingat salah satu temanku mengatakan sekarang cukup sulit menembus test masuk IKJ. Bahkan salah satu peserta test hari itu mengaku sudah pernah ikut di tahun sebelumnya tapi gagal.

"Mereka kebanyakan mendaftar ke jurusan Film dan jurusan Televisi. Yang ke jurusan foto hanya tiga orang termasuk aku. Ibu nggak usah panik, santai sajalah. Kalaupun aku gagal diterima, aku upayakan langsung kerja dulu sambil mencari tempat di universitas lain," tutur anakku seakan-akan bisa membaca kegundahanku.

Betapa tidak gundah? Anakku termasuk sudah cukup umur. Tahun ini dia akan jadi sembilan belas tahun, sebab dia pernah diminta mengulang kelas ketika di Belgia dulu sebab kami tiba di negeri berbahasa Perancis yang asing untuk anak-anak kami hanya beberapa bulan sebelum ujian kenaikan kelas. Apa jadinya kalau dia gagal diterima di IKJ pada tahun ini? Wah, tua dan semakin tua di jalan.

----------

"Tenang ya bu, perjuangan itu memang menegangkan dan melelahkan. Tapi aku barjanji akan menghadiahkan hasil yang memuaskan untuk ibu yang telah menyemangatiku sejak dulu," tegasnya di atas KRL Ekonomi yang membawa kami pulang dari Cikini siang terik itu. Di sampingku seorang ayah sibuk menenangkan tiga orang balitanya yang gelisah kepanasan selagi bau keringat berratus-ratus penumpang di gerbong kami menyeruak meniti bulu-bulu hidungku.

"Dik, kalau kamu diterima, berarti kamu akan mengalami yang namanya berjuang itu sendiri. Seperti ini. Berjejalan di atas KA Ekonomi, menanggung kewajiban bangun pukul empat fajar, mandi, sembahyang subuh dan seperti ayahmu dulu bergegas mengejar kereta ke Jakarta. Ibu tetap tidak akan mengizinkan ayahmu membelikanmu kendaraan pribadi atau motor. Terlalu beresiko. Lebih baik semacam ini," kataku menekankan arti perjuangan yang sesungguhnya baginya.

"Empat tahun lamanya tidak kurang dik. Belum lagi kalau kereta mengalami gangguan listrik atau sinyal seperti waktu kita berangkat tadi pagi, kau harus siap berganti angkutan. Tadi pagi Allah telah mencontohkannya padamu. Kita terpaksa turun di tengah perjalanan dan cari kendaraan alternatif," lanjutku lagi sambil menatapnya yang berdiri perkasa di depanku sambil bergelayutan di gelang-gelang gerbong.

Kepala yang dulu sering menyusupi dadaku itu mengangguk-angguk setuju. "Aku paham bu. Sekarang tolong ibu teruskan do'a-do'a ibu untukku ya?" pintanya.

Giliran aku yang mengangguk. Sebab tak pernah aku lupa menyebut namanya dalam setiap ritualku berkomunikasi dengan Allah Swt. Dialah gantungan hidupku kini, sejak aku menjadi tua dan semakin tak berharga. Sejak penyakit kerap menggerogotiku dan melumpuhkan dayaku. Aku terus juga mengangguk-angguk seirama bantalan kereta yang diinjak roda di gerbong-gerbong abu-abu berkarakter huruf kanji Jepang yang kami naiki ini.

Memang jauh dalam hatiku ada terbersit keyakinan bahwa dia akan diterima mengingat karya fotonya sering dilirik orang dan diminta untuk mengisi media mereka setelah lebih dulu berpamitan padaku. Meskipun tanpa diupah, kemunculan karya anakku di media daerah dan nasional sja sudah cukup menyemangati anakku untuk terus menekuni kegemarannya akan fotografi.

--------

"Bu Julie, sudah keluar lho majalah yang ada foto anak ibu........." Demikian penggalan komentar di blog fotoku di site ini yang memang pernah diketuk oleh sebuah penrbitan Islam di Jakarta. Aku tercenung sebab nyaris lupa foto apa yang mana.

Segera kupanggil anakku yang ikutan surprise sambil membantu mengingat-ingat. Kami klik alamat yang disertakan si penulis komentar tanpa wajah itu. Sayang kami tidak dapat menemukannya. Sehingga kuputuskan untuk mengirimnya Personal Message, yang baru dibalasnya dua hari kemudian, yakni hari kemarin. Dia menjanjikan akan mengirimi kami majalah itu satu eksemplar sebagai bukti dan tanda terima kasih.

Sekalipun majalah itu mungkin baru akan kami terima minggu depan, tapi rasanya message si pengelola majalah cukup menjadi penanda kegembiraan kami. Sebab, alhamdulillah! Tadi pagi di sela-sela tugasku membimbing cucuku belajar, anakku menghampiri sambil membawa telepon geggamnya. Matanya berbinar-binar dengan nuansa bahagia. Diambilnya tanganku dan dikecupnya sebelum dia menghujaniku dengan pelukan hangat yang bertubi-tubi.

"Terima kasih, terima kasih ya bu. Alhamdulillah do'a-do'a ibu terjawab sudah. Ini, IKJ menelepon........"

Belum tuntas dia mengucapkannya, terbaca sudah olehku kesyukuran kami. "Kamu diterima jadi mahasiswa disitu?"

Senyum itu mengembang lebar seperti rembulan empat belas merekahkan sinarnya di langit malam. "Ini persembahanku untuk ibu, terima kasih atas dukungan dan dampingan ibu untukku," katanya sumringah. "Seandainya tidak karena restu ibu, barangkali sekarang aku ada di barisan para putus sekolah yang berkeliaran tak tentu mencari jati dirinya.........."

Merebaklah keharuan di bola mataku. Anakku benar. Aku tak boleh melarang minatnya dan tak boleh menyetirnya menjadi apa yang kumaui, bukan yang dimauinya. Dan hasilnya, anugerah terindah pertama dari Allah bagi kami berdua.

Mulai bulan depan anakku akan merintis kariernya sebagai calon fotografer professional. Lalu tiba-tiba berkelebatan di mataku, anakku dengan gagah dan tanpa takut-takut keluar masuk istana negara dengan menenteng peralatan kerjanya. Dia jadi fotografer orang nopmor satu di negeri ini, suatu hari kelak. Ah, semoga Tuhan meridhai kami!

Senin, 03 Agustus 2009

MEMACU ANAK MELESAT MAJU : WAJAH PENDIDIKAN DASAR BANGSAKU

Jadi nenek zaman sekarang beda lagi modelnya dengan nenek zaman dulu. Setidaknya begitu menurutku setelah aku mengalami mengurus sendiri cucuku yang kini duduk di kelas 3 SD.

Dulu, seorang nenek hanya harus siap meladeni keinginan cucunya bermanja-manja misalnya minta ditemani tidur sambil didongengi. Sekarang, lebih dari itu, untuk urusan sekolahpun nenek masih diperlukan oleh sang cucu. Terlebih-lebih di sekolah-sekolah di perkotaan yang metode pengajarannya sudah luar biasa mencengangkan. Bantuan nenek tentu sangat diharapkan menggantikan peran ibu mereka yang sibuk mejadi mesin pencari uang di kantor-kantor entah di pabrik-pabrik.

Itulah yang kualami dengan cucuku Rahmaghina Miranda Permana tadi pagi.

Sebagai murid kelas 3 di sebuah Sekolah Dasar Negeri yang Kepala Sekolahnya pernah mendapat anugerah guru teladan tingkat nasional, SDN Sukadamai 3 Kota Bogor menerapkan cara pembelajaran yang sangat maju, setidak-tidaknya begitu menurutku. Ada pelajaran-pelajaran yang diberikan dalam Bahasa Inggris, sehingga di kelasnya dia menerima pelajaran IPA Bilingual (yang tidak dilafalkannya dengan lafal Inggris, melainkan lafal Indonesia seperti contoh dari gurunya), dan Mathematika Bilingual. Selain itu, tentu saja ada pelajaran Bahasa Inggris dan pelajaran-pelajaran standard lainnya seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah manapun.

---------

Pagi tadi dia datang membawa tasnya yang cukup berat. Kuperiksa isinya satu persatu. Selain buku-buku dan berbagai alat sekolah, ada telekung serta roti tawar sebagai bekal dari ibunya. Ini merupakan hal yang baru saja terjadi, sebab biasanya anakku hanya memberinya uang barang beberapa helai atau beberapa keping, kira-kira cukup untuknya membeli minuman di sekolah, sedangkan aku akan membekalinya dengan kue donat dari pedagang keliling langganan keluargaku.

"Tumben, ibu memberimu roti," komentarku pada cucuku.

"Iya," katanya sambil memperlihatkan gigi-giginya yang besar-besar seperti gigiku.

"Untuk kau makan di rumah sini?" tanyaku ingin tahu.

"Bukan, untuk dibawa sebagai bekal sekolah. Kata ibu aku dilarang jajan," jawabnya menjelaskan.

Bagus, batinku. Anakku sekarang sadar bahwa di sore hari anaknya masih perlu mengunyah mengingat dia masih dalam masa pertumbuhan dan butuh enerji sebagai pengganti yang hilang terserap berbagai aktivitasnya sebab dia bukan tipe perempuan yang lembut.

"PR mu sudah kau kerjakan? PR apa?" tanyaku lagi sambil terus meneliti bawaannya.

"Sudah, TI, tapi ibu belum tanda tangan hanya diperiksa. Semua sudah betul," jawab si peri kecilku.

"Teknologi Informasi?" tegasku sambil mencari-cari buku yang dimaksudnya.

Dia mengangguk lalu mengeluarkan sebuah buku cetak bergambar perangkat komputer. "Ni, disini," katanya sambil membuka halaman buku yang berisi PR yang dimaksudkannya.

Aku mengambilnya dari tangannya. Tampak isian cucuku dengan menggunakan pensil di soal yang cukup banyak, tak kurang dari 30 saja. Kuteliti satu demi satu sebelum kububuhkan tanda tanganku seperti biasanya, "ya, sudah betul semua."

"Terima kasih ya mbah," katanya senang dan memasukkan kembali buku itu.

Batinku lagi, anak sekecil itu sudah harus mempelajari sesuatu yang sulit dijangkau orang kebanyakan terutama di pelosok-pelosok desa yang catu daya listriknya masih sangat terbatas. Apalagi istilah-istilah yang dipakai dalam pelajaran itu berbahasa Inggris semua. Wah, bukan main pendidikan dasar kita sekarang dibuat pemerintah. Hanya sekedar untuk membingungkan rakyat kebanyakan semacam kami saja rupanya.

"Kau ada pelajaran apa hari ini? Sudah belajarkah semalam?"

"Sudah. Ada ulangan PKn," jawabnya.

"Dari halaman dua sampai sepuluh lho," katanya lagi memicuku untuk melihat bahan ajar yang dimaksudkannya.

"Mana,mbah lihat, kita ulangi lagi belajar nanti ya? Sekarang mbah selesaikan pekerjaan rumah tangga dulu sebentar," kataku pada si peri yang dengan sigap menyodorkan bukunya untuik kuamati.

Sebuah buku berukuran cukup besar hampir menyerupai majalah terbentang di hadapanku. Walaupun isinya ditulis dengan huruf besar-besar, tetapi tampak cukup padat dengan materi yang berat sekali menurut pendapatku.

"Ya sudah, tunggu sebentar ya," seruku sambil berlalu mengambil sapu yang kutinggal di dekat pintu masuk waktu aku membukakan untuknya tadi. Cucuku mengangguk dan berlalu ke dalam kamarnya.

---------

"Sini Mir, ambil buku PKn-mu," seruku setengah memerintah kepada si peri kecil yang biasanya agak rewel dengan aturan belajar yang kubuat.

"Nasib baik buatmu, simbah malas naik ke ruang belajar. Kita duduk di meja makan ya, karena simbah masih harus menunggu tukang sayur lewat," begitu kataku memberi alasan.

Dia mengangguk senang dan mengambil posisi nyaris berhadap-hadapan denganku di sudut meja. Buku itu dibukanya menghadap ke arahku. "Ni, yang ini sampai halaman sepuluh," tunjuknya.

"Oh, sejarah Indonesia, kamu sudah baca semalam?" tanyaku memastikan.

Cucuku mengangguk.

"Kamu mengerti? Sudah tanya-jawab dengan ibumu atau ayah?" desakku.

Mulutnya membuka lebar, "sudah, tapi nggak ada tanya-jawab," katanya tegas.

"Ayolah kalau begitu. Simbah baca dulu, nanti bergantian denganmu ya?" perintahku.

Mira kecil mengangguk memperhatikanku. Telinganya dipasang baik-baik, setidaknya begitu menurutku melihat bentuknya yang seakan-akan tegak lurus disertai mata yang memancar terang.

Habis satu paragraf aku menanyakan isi pokok bahasannya pada Mira-ku. Dia nampak bisa menjawab dengan baik menandakan dia betul-betul menyimak. Kemudian kuminta dia untuk membaca lanjutannya pada paragraf kedua. Setelah itu dia kusuruh menanyaiku.

Tentu saja dia kebingungan, sebab gaya bahasa dan bahasan materi pelajaran itu tidak sesuai dengan nalar anak sekecil cucucku yang umurnya belum cukup di dua rentangan jari-jari di tangannya.

"Simbah aja deh yang tanya, aku nggak bisa tanya-tanya," protesnya.

Aku cukup mengerti, maka kuambil alih bagian cucuku dengan memberinya penjelasan materi yang memang kutahu sama sekali tak mudah dipahaminya sebab bertaburkan kata-kata abstrak yang terlalu sulit ditangkap nalar cucu kecilku.

Begitu seterusnya, dalam lima paragraf dia hanya mampu membacanya tanpa bisa memahaminya. Sebab disana dikisahkan mengenai perjuangan bangsa Indonesia memerdekakan diri dari penjajah Belanda lengkap dengan istilah-istilah yang sulit bagi cucuku dan anak-anak sekecilnya. Ada istilah Nusantara, Ibu Pertiwi, patriot, ekonomi, politik bahkan juga nama-nama organisasi pemuda sebelum kemerdekaan RI. Segala macam Jong-Jong dan Bond ada di kertas putih yang nyaris tanpa makna bagi cucuku yang membacanya sebagai "jong" seperti seharusnya ejaan Bahasa Indonesia bukan Bahasa Belanda yang dilafalkan dengna "y".Belum lagi ada kata ras dan suku yang dipakai bersamaan dalam satu kalimat, yang membuatnya kebingungan seperti kebingungan saya menjumpainya sambil menjelaskan bahwa antara ras dan suku tak ada perbedaan makna sama sekali. Walaupun secara fisik ciri-ciri sebuah ras bisa saja berbeda, tapi apalah bedanya suku dari ras?

"Nusantara itu apa mbah?" tanyanya polos sedikit melompong.

"Oh ya, Nusantara itu negara Indonesia. Negara kita itu terbentuk dari banyak pulau di lautan yang letaknya ada di antara dua daratan besar. Di utara daratan Benua Asia, di selatan daratan Benua Australia. Nusantara itu terdiri dari dua kata bahasa lama yaitu nusa yang berarti pulau dan antara. Jadi pulau di antara dua daratan besar tadi, disebut Nusantara atau resminya Republik Indonesia, negara kita, mengerti?" jelasku.

"Oh, ya, ya, tapi Ibu Pertiwi itu ibunya siapa?" tanyanya kemudian membuatku hampir tergelak.

"Oh, itu bukan ibunya siapa-siapa. Itu adalah nama lain untuk tempat kelahiran kita atau tanah air kita yaitu negara Indonesia ini," jelasku sambil berharap dia tidak menanyakan mengapa dinamai Pertiwi sebab jangankan aku, rasanya gurukupun dulu tak pernah tahu mengapa disebut Pertiwi. Untung dia mengerti, sehingga aku cukup bernafas lega.

Ketika pokok bahasan mengacu kepada berdirinya perkumpulan para pemuda daerah, aku mendapati penggunaan istilah ekonomi dan politik. Celaka dua belas, batinku. Apa yang harus kujelaskan kepadanya? Mengertikah dia jika aku bicara begitu saja?

Kupandangi wajah hitam manis itu. Di matanya sorot minta penjelasan dan penuh pengharapan menjeratku. Aku merasa berdosa jika meninggalkannya tanpa bicara. Kutelisik taplak mejaku yang kusam sekedar mencari inspirasi, yang alhamdulillah kutemukan juga.

"Mira pernah dengar kata ekonomi dan politik?' selidikku.

Gerak kepalanya yang menggeleng ke kiri ke kanan menyadarkanku bahwa masalah ini cukup sulit baginya.

"Begini, ekonomi itu adalah kegiatan yang berhubungan dengan uang. Contohnya, kamu lihat budhe menjual kerupuk Kenny?"

Mira-ku mengangguk.

"Nah kamu tahu budhe dapat kerupuk dari siapa?" tanyaku lagi.

"Beli dari tante Anneke, enak ya mbah?" katanya sedikit melenceng tapi benar belaka.

Kini giliran aku yang mengangguk setuju sambil terus menjelaskan lebih rinci. "Nah, dari tante Anneke harganya limapuluh ribu sekilo. Di kooperasi kantor budhe dijual enampuluh ribu sekilo, berarti jadi lebih......?"

"Mahal sepuluh ribu," katanya tangkas.

"Nah, itu yang namanya ekonomi. Budhe jualan kerupuk tante Anneke tapi dapat untung sepuluhribu. Jadi artinya budhe melakukan perbuatan ekonomi, budhemu disebut pelaku ekonomi, ngerti?"

"Oh gitu ya?"

Aku mengangguk senang sambil ikut-ikutan memamerkan senyumanku yang agak basi. Tinggal aku memutar langkah menjelaskan kata politik.

Untung segera terbayang hiruk-pikuk Pemilu yang baru lalu dan serangkaian peristiwa terorisme yang mewarnai wajah televisi yang ikut ditongkrongi cucuku.

"Kau tanya politik nggak?" pancingku sambil mengelus anak rambut di dahinya.

Dia mengangguk lagi.

"Politik itu adalah kegiatan yang ada hubungannya dengan negara dan orang-orang yang mengurus negara. Kau ingat Pemilu? Kau ingat bom di Jakarta? Itu namanya kegiatan politik. Memilih Presiden itu politik, membicarakan keamanan negara itu juga politik, ngerti ya?"

Lagi-lagi kepala kecil itu mengangguk-angguk bagaikan kena tenaga mekanis. Aku pun tersenyum senang menyadarinya.

"Mir, kau tahu jang disebut Jong Java, Jong Islamieten Bond dan lain-lain tadi? Juga Boedi Oetomo?" tanyaku kemudian.

"Nggak, tapi Boedi Oetomo itu nama orang kan ya mbah?"

Aku nyaris tergelak, tapi kutahan. Mira kecilku sama sekali tidak bersalah jika dia keliru menafsirkan. Sebab seingatku di SD kelas 3 dulu pelajaranku hanya soal Pendeta Durna, Bala Kurawa dan sejenisnya.

"Bukan sayang. Boedi Oetomo dan Jong-Jong itu adalah nama perkumpulan seperti partai yang kemarin ada waktu Pemilu. Kamu dengar 'kan ada PDIP, PAN, PKS, Demokrat, Hanura, Gerindra, Golkar dan banyak lagi lainnya? Ya, itulah Boedi Oetomo dan Jong-Jong itu, partai juga........."

"Oooh.......," bulat dia menjawab lega.

Tinggal satu pertanyaanku, "Patriot itu apa artinya ya Mir?"

"Nggak tahu, kasih tahu dong mbah, simbah 'kan pinteran," rajuknya memaksa aku mengajari semuanya.

"Ah, siapa bilang simbah pinter? Simbah nggak sekolahan Mir, bukan sarjana," balasku sungguh-sungguh.

Dia menengadahkan wajahnya menatapku juga sungguh-sungguh. "Ih, nggak mungkinlah simbah nggak sekolahan........ kok serba tahu seperti guru? Guruku aja nggak tahu......."

"Oalah, cucuku nggak percaya amat sih. Ya sudah, patriot itu adalah kata lain dari pahlawan, jadi andaikata waktu ada bom kemarin terus ada tentara atau polisi yang meninggal kena bom waktu mau mengejar si pembom, dia itu disebut patriot, karena dia nggak kenal kata takut melawan penjahat. Begitu lho," jelasku sambil melirik ke jam dinding yang hampir berdentang sepuluh kali.

"Tuh, kan, pinter?" komentarnya memekarkan pucuk hidungku yang memang lebar typikal hidung Indonesia pribumi.

"Ya udah, kalau begitu kamu juga harus pinter seperti simbah. Simbah minta dikasih tahu isi Sumpah Pemuda yang tadi kita pelajari, ayo........" ledekku.

"Hih, susah. Panjang amat sih kalimatnya.," katanya mengelak.

Aku tersenyum gemas sambil meraih kepalanya dan menciuminya sampai puas sebelum bau matahari lengket di situ sore nanti. Dia membalasnya dengan gelayut manja yang hanya aku yang sanggup merasakan kehangatannya. Ah, cucuku, berat benar beban pelajaranmu sekarang. Akankah kamu menjadi lebih maju dibandingkan aku?
Matanya nyalang menembusi seluruh permukaan mukaku yang mulai panas-dingin menahan malu.
Pita Pink