Powered By Blogger

Senin, 21 April 2008

DIMAKAN USIA

Aku begitu rindu pada kasur di kamar 851 Raffles Hospital Singapura. Bukan berarti aku minta sakit. Bukan berarti aku ingin tidur dan dirawat disana, tapi karena aku merasakan nyeri yang tak berkesudahan di bahu hingga lengan kiriku. Sakit itu seperti ganti-berganti saling menyambung bersahutan dengan sakit kepalaku. Seharusnya aku tidak boleh memikirkannya, bahkan seharusnya aku membuang ingatan tentang kasurku itu dengan sempurna. Tapi malam kemarin, gigitan ngilu campur pegal di lengan kiriku menyebabkan aku terbangun. Bukan main. Aku cuma mampu menahan segala rasanya.

Terbayang di mataku wajah manis Frida Bashir suster kesayanganku yang memang sangat sayang padaku. Lalu Veronica Lee yang lebih tua daripadaku namun masih gesit dan bersemangat, serta barisan cleaning service keturunan India yang senang menyapaku dalam bahasa Melayu. Semuanya seakan-akan memanggilku, mengingatkanku bahwa sudah waktunya aku kembali ke Raffles Hospital untuk check-up tahunanku.

-ad-

Sudah sepuluh bulan lebih aku di pos kami kelima. Selama itu baru dua kali aku ke dokter untuk memeriksakan kondisi kesehatanku karena keluhan pada tanganku ini. Awalnya dari bahu yang nyeri dan pegal, kemudian menjalar hingga ke lengan, tangan, bahkan pernah menyentuh jariku. Dokter pertama mengatakan tak ada yang salah padaku, karenanya aku hanya dikirim kepada seorang ahli fisioterapi untuk melemaskan otot-ototku. Sudah hampir sepuluh kali tangan halus Catherine merabaku tanpa hasil. Dengan putus asa dia melemparku kepada seorang dokter bedah tulang, yang menyatakan bahwa kondisiku disebabkan oleh tuanya "peralatan" pada tubuhku yang aus bersama usia. Karenanya aku menerima suntikan pada bahuku diikuti pesan agar aku kembali lagi tiga minggu kemudian. Harinya sudah terlampaui seminggu. Itulah sebabnya semalam aku berkali-kali terbangun dengan rasa nyeri yang mengganggu.

-ad-

Akhirnya kemarin aku ke Rumah Sakit lagi. Klinik tulang, tepatnya. Di halamannya terpampang tulisan "National Institute - Sport Science Centre". Banyak orang kemari. Bahakan di balik dinding dokter bedah tulangku, ada sebuah kolam renang dalam ruang berukuran olimpiade yang digunakan untuk terapi.. Seharusnya tempat ini menjadi tempatku menyandarkan harapan, melabuhkan "kapal"ku yang hampir karam.

Aku melangkah masuk dan melaporkan diri kepada penjaga pintu. Dia mempersilahkan aku sambil menanyakan apakah aku sudah tahu letak klinik yang akan kutuju. Aku mengangguk seraya menunjuk hall di sebelah kanan kami. Dia tersenyum sambil mempersilahkan aku masuk ke ruangan yang hanya dikunjungi dua orang pasien saja. Meski demikian aku tetap harus menunggu giliranku. Kusandarkan bahuku ke kursi satu-satu yang mengarah ke meja resepsionis. Kesibukan disana nampak nyata di mataku. Telepon berdering serta tangan-tangan cekatan membolak-balik tumpukan map serta mencoret-coret kertas yang ada di hadapan mereka. Dokter-dokter bergantian muncul dari ruang prakteknya sambil memberikan instruksi. Kesibukan yang nyata, yang ditekuni dengan sungguh-sungguh.

Seperempat jam aku menggigil di udara yang mulai drop ke suhu rendah, seorang diri. Sudah bertahun-tahun aku mulai terbiasa duduk sendiri menunggu kesempatan dokter memeriksaku. Tidak pernah ada lagi, atau boleh dikatakan tidak setahun sekali mas Dj suamiku duduk menemaniku. Aku bukan perempuan cengeng lagi, semua sudah jadi terbiasa. Tapi kali ini nyaris aku tak kuat menahan sejuk yang menggerogoti tulang sumsumku. Ingin rasanya dia ada disini, memberiku rasa hangat yang abadi seperti dulu. Kelopak mataku mulai basah lagi, sampai aku terpaksa mengusapnya ketika dokter Vreetos memanggil namaku untuk mengikutinya ke bilik pemeriksaan.

Pertanyaannya yang pertama cukup standar. Apakah aku mengalami perbaikan. Ketika kujawab dengan gelengan, dia menyuruhku melepas pakaian luarku untuk mengamati dan memeriksa sekali lagi bahuku. Tangan itu memijat disana-sini, mengangkat lenganku dan menjatuhkannya kembali. Menginstruksikanku untuk menggerakkan tangan di posisi-posisi tertentu, sampai dia memperoleh kesimpulan bahwa aku harus menjalani pemeriksaan lanjutan. MRI. Tiga kata yang sangat mengecutkan hatiku. Yang akan mengingatkanku akan lantai dua Raffles Hospital dimana berkali-kali aku ada di dalamnya. Terbayang kembali wajah teknisi India yang selalu memanggilku dengan lembut disertai pertanyaan apakah aku siap untuk menjalani pemeriksaan, sekalipun adakalanya aku kesana untuk mengantarkan tetamuku yang kebetulan juga sakit.

"Bolehkah saya mengajukan permohonan lain?" Tanyaku pada dokter Vreetos yang sudah siap memberiku pengantar ke klinik MRI. Wajahnya menatapku aneh. "Anda takut? Ini pemeriksaan yang tidak menyakitkan. Anda akan ditidurkan di dalam sebuah tabung," begitu antara lain katanya memberikan penjelasan yang dsegera kupotong dengan jawaban tidak. "Saya sudah sangat terbiasa dengan pemeriksaan ini maupun scanning dan semacamnya untuk kasus-kasus lain di tubuh saya. Bahkan yang terakhir adalah MRI untuk tempurung kepala saya," jawabku mantap. Sejujurnya ingin kukatakan bahwa ketakutanku bukan pada prosedur MRI itu sendiri, melainkan pada hasil akhirnya. Terbayang saat aku terbaring sendrii di meja bedah itu lagi. Bukan meja bedah yang sama yang sudah sangat lekat denganku selama ini. Meja bedah lain, dalam panduan orang lain pula. Sesudahnya tercipta sendiri di khayalku sebuah ruang yang sempit dan gelap dengan mesin-mesin berdesingan, bedetakan menyambungkan nyawaku. Ah, itu lagi.......... Aku menarik nafas dalam. Bulir-bulir bening mengaliri pipiku mengharuskan aku mengigit bibirku sendiri.

-ad-

Aku melangkah gontai ke luar gedung megah itu membawa tangis. Supir keluarga kami yang setia menyalakan mesin dan membukakan pintu untukku serta menangkap kegalauan hatiku. Dia tidak berani bertanya apa-apa. Senyap menyergap sepanjang perjalananku pulang ke rumah. Namun dalam hatinya dia tahu apa yang sedang jadi pikiranku, karena sejak lama dia sudah bertugas menggantikan suamiku, dulu -bersama-sama istrinya- menemani aku berobat. Dulu, aku bisa mencurahkan semua kesedihanku pada Bu Bambang, istri supirku. Tapi sejak bu Bambang menolak kami ikut ke Afrika, tak ada lagi tempatku berkeluh kesah. Ah, aku merindukan bu Bambang dalam keterpurukanku begini.

Di Bsishopscourt Road mobil kami masuk, menyeberangi jalan nasional yang membentang di depan rumahku. Pohon di pagar-pagar rumah nyaris tak ada artinya bagiku. Tidak seperti kemarin ketika aku belum sakit. Senantiasa mengundang keinginan untuk menelitinya. Gerombolan jambu bol mini yang merah ranum sudah tak ada lagi artinya. Begitu pula dengan kembang sepatu dan protea warna-warni yang semarak. Semua gelap dan kaku tanpa gereget. Kepalaku terasa berat, mengajakku istighfar menyebut kebesaran Illahi. Dan mobilpun berhenti di sudut jalan. Di muka rumah pak Bambang membunyikan horn yang segera disambut dengan sigap oleh pak Base yang membukakan pintu pagar. Rasanya wajah itu begitu kaku menyambutku. Aku melangkah gontai masuk ke dalam rumah tanpa salam.

Lalu kusiramkan air dingin membasuh tangan dan wajah. Rasanya hidupku limbung. Kuambil sehelai baju rumah lalu aku mulai menggabungkan diri dengan teman-temanku yang sedari pagi sudah sibuk mengerjakan tugas untuk acara dinas minggu ini. Sebagai istri pegawai negeri lagi-lagi aku harus kuat. Setelah meneguk segelas air dingin aku mulai menjawab pertanyaan teman-temanku. "Aku minta dido'akan. Sebab lagi-lagi aku harus berhadapan dengan prosedur pemeriksaan yang lebih detail. Mudah-mudahan aku survive menghadapi kondisiku kali ini,' jawabku. Tanganku mulai memasang sarung plastik dan ikut merangkai potongan-potongan daging menjadi sate. "Ada apa lagi?" tanya mereka penasaran. Serempak semua menghentikan kerjanya dan menatapku. "Aku belum tahu, mesti menunggu hasil MRI tiga minggu lagi," ucapku memberi penjelasan. Kemudian aku mengajak mereka menyibukkan diri dengan pembicaraan lain, sementara hati dan pikiranku sesungguhnya tidak sependapat. Namun aku malu jika harus mengungkapkan sejujurnya. Semua sekaan mengerti hatiku, dan kamipun bekerja dalam diam haingga tusukan daging yang terakhir. Ninik temanku menghitungnya dengan cermat, mencapai bilangan lima ratusan tusuk. Aku mengucapkan terima kasih kepada mereka serta salam untuk putra-putri mereka yang telah merelakan ibunya bekerja untuk kami.

-ad-

Ditinggalkan teman-temanku, cuma sepi yang menyergap. Lalu-lalangnya kendaraan di muka rumah seakan tak ada gemanya di telingaku. Di bantal putih itu kurebahkan kepala yang berat serta separuh tubuhku yang ngilu. Entah berapa lama aku mengucapkan dzikirku ketika di ruang mataku kujumpai wajah ibuku. Senantiasa tersenyum dan penuh kasih.

Disana di balik kebayanya ada "rumahku". Tempat aku dulu menyusu, mencari hidup dan nafas cinta. Ibuku bukan perempuan cantik. Juga tidak cerdas. Sekolahnya hanya di desa pada sebuah HIS di kota kecamatan yang dulu berjuluk kawedanaan. Namun ibuku punya keindahan. Pada tutur katanya yang lembut. Pada senyumnya yang manis, yang menyembulkan gigi-gigi nyaris gingsul. "Jaga dirimu baik-baik," begitu ibu pernah berpesan. "Hidup tidak akan lama, sebelum Tuhan memanggilmu siapkan jiwamu untuk suatu penilaian yang agung," ucapnya sambil meremas jemariku. Ibu di pembaringannya di Rumah Sakit PMI dimana dulu aku dilahirkannya. Sudah bertahun-tahun ibuku jadi penghuni yang setia didera sirosis hati yang tak mudah ditolakkan. Aku jadi salah satu perawatnya yang setia, sebab aku sangat takut kehilangan nyawa ibuku. Umurnya belum lagi enampuluh tahun. Tidak berbeda jauh dari umurku sekarang. Ibuku membuka kilas balik hidupnya yang dipenuhi warna. Ada rangkaian perjalanan dari desa yang disambung dengan kunjungan keluarga-keluarga dari desa ke rumah kami serta orang-orang lain yang butuh perhatian. Dengan bertututur begitu ibuku tidak bermaksud menyombongkan diri. Ibuku cuma ingin mencontohkan bahwa  beliau sudah mengisi diri sebaik-baiknya sebelum wafat sebagai bekalnya mencapai rahmat surgawi. Ibuku perempuan yang bakti pada suaminya. Di bawah bayang-bayang ayahku, ibuku senantiasa hormat dan menjaga kehormatan keluarga kami. Aku terdiam merenunginya. Berpasrah diri pada malam yang panjang di lorong waktu menuju Tuhan. Semoga aku bisa meneladani ibuku, pintaku dalam hati.

-ad-

Aku ini manusia hampa. Tak ada kelebihan dan kebaikanku. Aku ini manusia yang nyaris tak berjiwa. Hanya seperti robot yang bergerak tanpa pikiran. Banyak sudah manusia yang tersakiti olehku. Dan banyak sudah kerugian akibat perbuatanku di muka bumi ini sepanjang pergaulanlku dengan teman-temanku. Rasanya pesan ibuku belum terpenuhi. Beliau kini hadir di sisiku untuk mengingatkanku bahwa saatnya sudah tiba. Aku harus cepat mengisi diri sebelum kereta terakhir mengangkatku ke hadapan Allah.

Tiba-tiba gigitan di bahu dan lengan kiriku minta perhatian lagi. Aku terjaga dalam seringai. Hampir kupukuli tubuhku seandainya aku tak segera sadar bahwa wktu ashar hampir habis. Buru-buru aku turun dari pembaringanku untuk menunaikan shalat. Insya Allah aku akan mohon kekuatan padaNya sekali lagi, agar aku bisa melaksanakan pesan ibundaku sebelum waktunya tiba. Yaitu ketika bajuku diganti putih dan tidurku jadi abadi. Innalillahi wa innaillaihi raji'un, begitu nanti kata-kata yang akan menggema di seluruh ruang rumahku. Entah kapan.

Jumat, 18 April 2008

PEREMPUAN-PEREMPUAN ITU

Aku bangun pagi dengan rasa berat menggelayut di kepalaku. Sudah sangat lama aku terbebas dari sakit kepala. Hampir dua tahun sejak obat pemberian dokter yang biasa rutin kuminum dinyatakan tidak usah dikonsumsi lagi karena keadaanku sudah membaik, sedangkan obatpun sudah dicabut dari peredaran. Pasti ada sesuatu efek negatifnya yang membonceng di obat itu. Hi, ngeri juga rasanya membayangkan begitu banyak obat yang telah kutelan selama ini.

Udara pagi yang segar tidak mampu menyembunyikan rasa berdentam di sisi kiri kepalaku. Tepat di ubun-ubun serasa ditimbuni beban. Tentu bukan beban pikiran, karena aku telah menyerahkan semuanya kepada Allah. Dan suamiku sudah tersenyum manis lagi. Kucoba untuk bangkit dari pembaringan. Alhamdulillah mampu. Lalu seperti biasa aku segera masuk ke kamar mandi, mulai dengan kegiatan pagi mengguyur tubuh dan bersembahyang. Hanya suara adzan yang tak ada di sini. Padahal aku merindukannya sebagai teman penyejuk jiwaku. Dinginnya air kuatur sedemikian rupa dengan memadukannya dengan kran air panas sampai ke titik yang bisa kutolerir. Senngaja aku menghidupkannya sepanas mungkin, sambil mengharap sakit di kepalaku akan reda.

Burung di luar sana mulai kedengaran kicaunya, berpadu dengan derum mobil yang mulai melaju satu-satu meninggalkan rumah masing-masing. Sajadahku kubentangkan. Kupilih telekungku yang putih susu dengan pinggiran borduur untuk membalut tubuh. Wangi cairan pelembut menyeruak begitu aku mengerudungkannya menyelubungi kepala. Kuhirup dalam-dalam. Nyaman sekali.

Di tengah sujudku yang kedua, hampir tak dapat kutahan untuk terus merunduk. Kepalaku terasa sangat berat. Kuselingi bacaanku dengan istighfar sambil mencoba mengangkat kepala lagi. Rasa sakit itu kian menjadi-jadi. Pandanganku seperti kabur. Padahal selamanya aku tidak pernah bisa melepaskan kacamataku kecuali waktu tidur dan mandi. Maka kuikuti sujudku dengan doa mengharap keridhaanNya.

-ad-

Lepas sembahyang aku masuk ke ruang kerja suamiku. Suasana masih senyap. Lampu-lampu baru mulai dimatikan oleh pengurus rumah tanggaku. Bahkan dia sendrii belum kedengaran bergerak di dapur. Kunyalakan komputer untuk melahap sarapan pertama berupa berita dari Indonesia. Yang pertama ku 'klik" adalah koran lokal dari ibu kota propinsi kami. Justru semakin jauh kami dari kampung halaman, terasa betapa kami semakin membutuhkan informasi mengenai situas di kampung. Ah sayang, aku harus menahan kecewa lagi karena sudah berminggu-minggu tampilannya di layar komputerku tidak mau sempurna. Hari kemarin bisa dibaca, hari ini tiba-tiba menghilang dengan sepatah kata "error". Ya ampun, sambatku sambil mengarahkan cursor menuju koran nasional. Sepintas kubaca topik-topik yang menarik, sekedar bahan diskusi seandainya ada ajakan berbincang-bincang dari orang-orang di sekitarku. Tapi mata dan kepalaku, alamak, betul-betul seperti zandzak tinju. Berat tak menentu.

Kupanaskan water ketle dan kutuang sesendok kopi tubruk dengan tiga gula di dalam cangkir. Uap air yang memenuhi udara berpadu kopi, sangat nikmat. Kuharap bisa meredakan sakit di kepalaku. Lalu aku kembali ke muka komputer untuk melanjutkan tugasku membaca sebelum suami dan anakku minta ditemani makan pagi. Sebetulnya siapa bilang mereka minta ditemani makan pagi? Duduk menyantap jatah sarapanku bersama mereka lebih berupa kewajiban saja. Pagi yang suram.

Di luar matahari menyembul malu-malu menyapa langit Cape Town yang sejuk. Pohon alpukat di muka kamarku belum mulai berbuah. Aku membayangkan, betapa hebohnya kelak jika alpukat kami mulai bermunculan. Aku tahu, akan banyak ulat bulu merayap menggatalkan kulit. Semuanya seperti terbayang kembali di depan mataku.

-ad-

Di sana, di depan rumahku tumbuh sebatang sirsak. Di sisi kiri ada nangka dan pisang Lampung. Lalu mengarah ke kebun di belakang rumah ada rambutan, kelapa, jambu Semarang, belimbing, pisang kepok dan alpukat itu. Letaknya hampir mepet ke sumur, bertetangga dengan kelapa kuning yang tinggi. Tak jauh-jauh amat dari dapur. Di waktu-waktu tertentu, tanpa permisi tiba-tiba ulat bulu sudah ikut nongkrong bersama kami para perempuan penghuni dapur. Hiii..... aku akan segera lari menjauh dan mengucap permisi untuk tidak lagi-lagi menginjak dapur sebab aku benci sekaligus takut kepada ulat-ulat itu.

Kenangan itu bermain-main dengan sangat manisnya, di antara regukan kopi Liong Bulan yang kubawa hampir setahun yang lalu dari kampungku. Aku seperti meliha sosok ibuku, perempuan suci dalam bilanganku yang langka. Pemimpin dapur kami yang tahan bantingan mengabdikan diri ke tangan seorang pegawai negeri murni semacam ayahku. Ibu memanggilku untuk segera kembali ke dapur membantu menyiangi sayuran atau mencuci perabotan dapur. "Anak manja!" gerutunya, "ulat aja kok takut," lalu suaranya yang lembut akan menggema kemana-mana menyuruh setiap orang yang lalu di dekat dapur untuk memanggilku kembali. Aku, jangan ditanya. Sudah pasti akan lari bablas ke depan. Menjauh meninggalkan musuh-musuhku.

-ad-

Biasanya aku akan menenggelamkan diri di dalam bacaan apa saja di kamarku. Memang aku tidak rajin belajar. Tapi aku gila membaca. Hampir semua bahan bacaan masuk ke otakku. Terlebih-lebih karya sastra dan budaya. Jika tidak malu kepada waktu, ingin rasanya kuhabiskan semua masa di balik bacaan-bacaan itu, atau kusetorkan semua uang jajanku ke toko buku Filia Strores atau Nusa Indah milik orang tua teman-temanku. Karenanya konon tak heran, kacamataku semakin tebal saja. menciptakan sinar mata tersendiri pada wajahku.

Pagi ini entah bagaimana tampak mukaku. Yang jelas, mataku terasa berat seberat beban di tempurung kepalaku. Buru-buru kuseduh cangkir kopi kedua sehingga menimbuklkan protes dari bu Mimin, ratu dapurku sekarang. "Ibu, lha kok ada orang minta tambah kopi?" serunya sambil mengaduk-aduk teh untuk tetamu kami yang baru bangun dan sudah siap-siap akan pulang. Aku "berbenturan" dengannya di muka pintu ruang kerja. "Selamat pagi," sapanya hangat. Air muka cerah itu mengingatkanku bahwa di balik predikatnya sebagai pegawai, dia tetaplah juga seorang ibu rumah tangga yang dibebani tanggungjawab mengurus suami dan anaknya. Dan itu berarti, hari ini adalah saatnya harus menyetel ulang posisinya sebagai ibu rumah tangga disertai polesan rindu yang menggebu setelah selama seminggu berpisah demi pekerjaannya.

"Siap pulang, bu Rina?" tanyaku ketika dia mendekat berhadapan denganku di meja kerja suamiku. Pagi-pagi begini aku selalu membaca di sana karena di kamar tidur kami suamiku juga sedang menggunakan komputernya dan bersiap-siap hendak ke kantor. "Ya bu," angguknya. "Malam terakhir kemarin saya sudah rapikan semua bawaan saya, terima kasih atas kesediaan ibu menampung saya," ucapnya lagi menegaskan. Semburat uban di kepalanya mengingatkan aku akan guguran bunga jambu di pojok belakang rumahku. Wajahnya nampak letih, tapi segar dibalut selapis tipis bedak dan lipstick yang memberinya kecerahan. Dia kenalan baru kami. Ketika kami meninggalkan pos ketiga kami di Belgia dulu, beliau belum tiba. Dan di saat kami sudah harus sampai di Singapura, beliau masih juga di Belgia. Begitulah perputaran kerja. Satu disana satu disini, tak memberi kesempatan kami untuk bertemu.

Aku menawarkan secangkir kopi yang segera ditolaknya. Lalu kugusur ke meja makan supaya kami bisa bersama-sama sarapan dengan anakku. Suamiku masih sibuk di kamar. Ada pekerjaan yang belum terselesaikan sebab semalam kami menjamu tetamu hingga hampir tengah malam. Bu Rina mengobrol dengan anakku, sementara aku menyimak. Dia menceritakan putranya yang cuma seorang sebaya anak lelakiku yang kedua. Betapa sulitnya dia dulu mencari sekolahan di Belgia. Betapa kemudian dia berhasil menamatkan sekolah Indonesia di Belanda dan kini tengah bersiap-siap ingin ikut saringan masuk perguruan tinggi negeri. Hidup memang tidak mudah dan butuh perjuangan. Anakku mengiyakan sambil menyuap satu-demi satu sendok nasi ke mulutnya. Kutangkap nada harap pada tetamuku akan sekolah anaknya di masa datang. Lalu kutatap anakku yang mendengarkan dengan serius. Dalam batinku berdoa, semoga anakku menghargai waktu dan bersemangat dalam menjalankan tugasnya belajar karena terbukti bahwa mencari sekolah yang baik dan sesuai itu tidak mudah. Seperti kata Ibu Rina, satu dari sejuta perempuan Indonesia masa kini yang mendarmabaktikan hidupnya tidak hanya di dalam rumah tangganya tetapi juga di masyarakat luas. Seorang srikandi yang jauh bertolak belakang denganku ibu rumah tangga rumahan. Piring itu menjadi licin tandas, menyisakan kuah gulai nangka dan serpihan tulang-belulang ikan dari Samudera Atlantik.

-ad-

Jam dua belas baru aku tiba di rumah kembali, murni sebagai ibu sejati setelah sepagian aku membereskan dapur kantor suamiku dan mengantarkan tetamu kami ke airport. Aku enggan makan. Hanya semangkuk sup kambing yang kupaksakan masuk. Kepalaku masih tetap terasa berat minta ditidurkan kembali. Lalu aku menyegerakan shalatku walau aku tahu kemungkinan besar suamiku masih di Masjid Nurul Latief belum selesai dengan Jum'atan dan silaturahmi dengan masyarakat Macassar Faure, saudara-saudara baru kami. Di atas bantal itu semua menjadi gelap. Sebelum kemudian terang kembali mencitrakan mimpi bahwa kenikmatan hanyalah sebatas angan-angan. Manusia harus tahu diri. Ada saatnya kita menjadi senang, tapi ada pula tuntutan untuk tidak lupa daratan. Bahwa di balik punggung kita, ada manusia-manusia lain yang masih butuh perhatian dan uluran kasih cinta. Setidak-tidaknya mereka, anak-anak kita yang butuh bimbingan kita para empu, sebagai ibunya. Di situlah khayalanu bermain-main kembali menciptakan cerita yang seru antara kemenangan dan gejolak batinku. Masya Allah! Kubuka mataku, aku terjaga dalam temaram senja di kekinian. Aku tersadar, di kamarnya anakku butuh bimbingan belajar. Sementara sebentar lagi suamiku akan masuk ke rumah siap menerima laporan tentang perkembangan dan kemajuan studi anakku. Apa yang akan kulaporkan kepadanya jika seharian ini aku tersiksa oleh sakit di kepalaku dan belum sempat bertanya tentang hal sekolah anakku minggu itu? Buru-buru aku melangkah ke luar kamar, menyapa anakku yang asyik dengan tugas sekolahnya di muka komputer. Mengajaknya untuk menunaikan ashar yang hampir habis sebelum kemudian menuai cerita-cerita dari anakku. Ingin kuingatkan padanya, bahwa dia harus tetap bersemangat belajar demi mendidik anak-nakanya sendiri kelak. Tentu bersama perempuan juga, empu generasi baru yang mungkin akan jauh lebih sibuk daripada tetamuku tadi, Ibu Rina Sumarno. Begitulah dunia, akan terus berkembang dan semakin maju. Siapa yang dapat mencegahnya? Tak satupun ada.

Rabu, 16 April 2008

DIORAMA DRAMA

Lembayung jingga menusuk mata. Aku baru setengah perjalanan menuju pusat kota tempat janjianku dengan suami. Malam ini rencananya kami akan mengundang tamu kehormatan kami bersantap malam di sebuah restoran di pinggir laut di pusat kota. Suatu kejadian yang sangat jarang kami lakukan. Biasanya kami mengundang tetamu penting di rumah dinas suamiku, atau setidak-tidaknya di restoran di pinggiran kota yang sepi. Tapi berhubung tamu kami kali ini adalah orang penting yang cukup istimewa, kami kesulitan untuk mengadakan jamuan di rumah maupun di restoran yang lengang. Semua kembali terpulang kepada keterbatasan waktu luang tetamu kami.

-ad-

Jam enam lima belas petang. Sebentar lagi hampir setengah tujuh. Aku pasti sudah akan sampai di hotel dimana suamiku menunggu tetamu kami yang menginap disitu.Dadaku berdegupan tak menentu. Seperti baru sekali ini saja layaknya aku bertemu dengan orang-orang penting. Padahal, tetamu yang satu ini sudah sekian kalinya menjadi tamu kami baik di Singapura dulu maupun sekarang. Orangnya cukup santai dan gayanya sangat casual. Kami biasa bicara bebas dengan mulut yang menganga lebar-lebar menderaikan tawa di sela-sela pembicaraan yang ringan. Tapi tak urung sore ini jantungku berpacu jua.

Mobil di depan kami melaju teratur, tanpa tarikan gas dan injakan rem. Memang di sore hari begini, biasanya kendaraan akan melaju berlawanan arah denganku. Jadi, seharusnya hatiku tenang. Kuhela nafasku dengan tarikan yang berat. Lalu kuhempaskan begitu saja mengisi ruang-ruang kosong di mobil dinas suamiku yang hanya diisi aku dan supir kami saja. Kami saling terdiam sebab memang tak ada yang harus dan patut untuk dibicarakan. Tubuhku terasa letih, selelah pikiranku setelah tiga hari keluar rumah terus-menerus.

-ad-

Sudah jadi bagian dari tugas kami untuk keluar menemani tetamu-tetamu dinas yang berkunjung ke tempat tugas kami. Jika para istri, maka tugas kaum ibulah untuk mengantarkan berkeliling kota maupun medampingi dalam setiap kegiatan mereka disini. Semuanya biasa kami lakukan dengan senang hati dan rela, karena justru dengan tugas semacam ini kami bisa ikut jadi bagian orang-orang penting dan karenanya tahu banyak tentang kehidupan orang-orang penting. Begitupun kali ini. Aku tetap senang melaksanakan tugasku. Namun entah apa sebabnya badanku seperti menolak diajak jalan. Karena itu hari ini aku memutuskan untuk berbaring-baring saja di rumah sambil menanti saatnya suamiku memanggil untuk menemuinya.

-ad-

Berjalan bersama mereka sangat senang rasanya. Gelak tawa dan ramainya dunia mewarnai detik-detik kebersamaan kami. Juga kemarin dulu dan kemarin. Namun entah bagaimana aku seperti pohon layu kurang siraman, Rasanya tak bergairah. Dan itu menjadi pemicu suamiku mengguyurkan tegurannya padaku. "Kamu jangan melepas mereka sendirian dong, jadilah nyonya rumah yang baik," tegurnya ketika rombongan tetamu kami pergi bersama-sama pemandu wisata dari suatu biro perjalanan. Padahal saat itu aku bukan mau lepas tangan. Aku merasa tidak perlu lagi mengikuti mereka ketika sudah kami daftarkan untuk ikut rombongan wisata. Rencananya aku akan minta tolong temanku menjemput mereka di objek wisata yang terakhir untuk kemudian menemani tetamu makan malam. Badanku terasa lesu luar biasa. Penyakit lamaku seperti kambuh. Menginfokan bahwa aku butuh "bertapa" barang sehari. Aku menjelaskan duduk soal dan rencana kami hari itu sebagai jawaban atas teguran suamiku. Kemudian hari itu berlalu tanpa nikmatnya madu. Aku sebagai pesakitan yang terhukum oleh sikap dan kesalahanku yang sepele.

-ad-

Mobil berhenti di tengah keramaian di entrance hotel. Tak ada tanda-tanda teman-temanku duduk disana siap melanjutkan tugas mendampingi tamu untuk makan malam. Kuhampiri supir suamiku yang sedang duduk di tengah-tengah simpang-siur dan lalu-lalangnya peserta konferensi dari dan ke convention centre di seberang hotel. Waktu kutanyakan kemana rombongan temanku dengan tetamu, dia cuma menggeleng menyatakan tidak tahu. Maka kumasuki kedai kopi di sudut dalam hotel sambil menyapukan pandangan mencari mereka. Tidak seorangpun disana. Lalu aku menelpon temanku menanyakan keberadaan mereka. Ternyata mereka masih ada di suatu tempat dan belum mau pulang. Walaupun katanya tetamu kehormatan kami sudah tahu bahwa akan ada jamuan makan malam untuk beliau menemani suaminya. Kebetulan nampak olehku sosok suamiku. Dengan setengah hati aku mohon diri karena aku menganggap tetamuku tidak mau ikut makan malam. Suamiku mengangguk mendengar penjelasanku, lalu mengantarku masuk kembali ke mobil siap pulang. Belum sempat mobil melaju, suamiku melambaikan tangan menyuruh aku menunggu sebentar. Di tangannya ada SMS masuk yang menyatakan ibu-ibu tetamu barangkali kelak akan menyusul. Tapi aku sudah tidak bergairah. Letih sekali rasanya, terlebih-lebih mendapat penjelasan yang serba tidak jelas. Kututup kembali jendela mobilku dan membiarkan supir kami membelah malam yang mulai merayap turun dari punggung Table Mountain.

-ad-

Selepas sembahyang maghrib di tengah-tengah aku menyuap nasi di piringku, SMS temanku masuk mengabarkan bahwa mereka akhirnya melaju ke restoran. Cukup kujawab dengan "selamat makan, saya sudah di rumah kembali." Tak ada jawaban apa-apa. Sampai kemudian selepas isya masuk SMS berikutnya yang menanyakan keberadaanku dari teman satunya. Aku kembali harus mengulang penjelasan panjang lebar. Kembali kutarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan pula kencang-kencang. Duh. Rasanya sumpek sekali duniaku malam ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti di saat suamiku pulang ke rumah. Mungkin, permainan cinta kami yang belum sempat membara, akan kembali menjadi dingin membeku. Aku melenguh tipis menyepertikan diriku bagai seekor kerbau dungu.

-ad-

Dentangan jam membuyarkan semuanya, mengingatkan aku bahwa malam sudah pukul sepuluh. Kelelahan itu semakin kental. Kuputuskan untuk menutup hari ini dengan ritual sikat gigi, mencuci muka lalu berdoa dan naik ke atas pembaringan. Di sana di atas kasurku terbayang rombongan ibu-ibu ceria itu. Dengan gelaknya yang khas mereka sedang menikmati hidup. Menjauh dari segala rasa yang kental melekat di sekitar mereka. Melepas kepenatan dan kepedihan yang melilit tanpa diminta. Mataku mengatup rapat. Memendam semua rasa yang hadir di relung-relung jiwaku. Untung aku tiada bersama mereka. Hanya menjadi penonton di balik kaca.

Jumat, 11 April 2008

DI BALIK BILIK RINDU (II)

Rindu itu nyaris terhapus, bersama mendaratnya Singapore Airlines 840 di Bandara Internasional Cape Town. Kulihat serombongan penumpang turun dari bis yang membawa mereka ke ruang tunggu dari landas pacu. Tak salah lagi, sekalipun dalam jumlah besar, tapi aku bisa menandai mana bapaknya anak-anakku. Sepucuk rambut di kepalanyapun sudah cukup bagiku untuk menyerukan namanya. Aku menghambur ke pelukannya. Menumpahkan semua kerinduanku di dadanya, menciumi tangan itu yang sudah sangat sering membimbingku. Lalu pipi kami pun beradu. Pagi yang indah nyaris tanpa angin menghangatkan hati kami. Tuhan maha kasih, diantarkanNya kembali imamku ke rumah kami di perantauan ini. Karena seharusnya memang dia ada disini, dimana aku telah mengikutinya dengan suka rela dan penuh cinta.

-ad-

Dia sibuk menyelesaikan semua tugasnya, mengarahkan rombongan pejabat yang tiba dari Jakarta bersamanya. Kemudian dia mulai sibuk mengerahkan anak buahnya dan mengecek apa yang telah mereka persiapkan untuk rombongan tetamu yang banyak itu. Aku melihat kesungguhan padanya. Masih tetap sama seperti dulu ketika dia mengungkapkan cita-citanya menjadi pelayan masyarakat alias abdi negara.

Kopor-kopor itu agak lama baru terkumpul dan dapat kami muat ke dalam mobil besar yang telah kami sewa. Namun kulihat semua dilakukannya dengan teliti. Timbul kebanggaanku terhadap suamiku, yang senantiasa cermat dan tak pernah menyepelekan sesuatu. Betapapun sibuknya dia. Baru sejam kemudian kami dapat duduk berdua, berdampingan tanpa siapapun di dalam kendaraan dinasnya, melaju menuju rumah. "Andrie semakin mantap ditinggal," ujar suamiku membuka percakapan. "Bagaimana perkembangan kemajuan sekolahnya?" tanyaku. "Menjadi lebih baik. Sekaligus komitmennya untuk menjadi dirinya sendiri, semakin kental," urainya lagi sambil menatap wajahku. Di matanya tersimpan rindu yang belum terpuaskan. Balik kutatap wajahnya, "maksud bapak?" tanyaku minta penjelasan. "Rambutnya mencapai dada sekarang, sepanjang rambut mbak Tetty Kadi, tapi itu tidak membawa pengaruh buruk terhadap perilakunya." Jawab suamiku. Mulutku ternganga. Terbayang di mataku, seorang pemuda dengan wajah yang menajadi "cantik" atau bahkan "kelaki-lakian dan kasar".

"Bapak buat potretnya?" tanyaku sangat ingin tahu."Jangan kuatir, semua terekam khusus untuk ibu yang telah melahirkannya." begitu jawab suamiku menyungging senyum seraya menepuk HP di genggaman tangannya. "Aku juga bawa foto Miranda," sambungnya tanpa kutanya menyebut nama bidadari kecil cintaku yang terakhir. "Dia juga berjilbab seperti neneknya, masya Allah tingginya sudah mendekati dadaku," urai suamiku sambil tersenyum. Semuanya membuncahkan rindu semata. Dan kebahagian itu.

-ad-

Menurut mas Dj anak kami tengah melakukan penelitian lagi. Kali ini tentang band favoritenya dari negeri Ratu Elizabeth yang akan dikaitkannya dengan peta politik internasional. Rasanya waktu cepat berlalu. Masih kuingat betapa dulu melewati beberapa musim anakku masih seorang bocah yang tiada berdaya. Karena seringnya berpindah-pindah sekolah dari satu negara ke negara berikutnya dengan bahasa yang berbeda, anakku tidak menguasai hitungan serta pengetahuannya pun terbatas. Mereka berdua -lelaki-lelaki kecilku- pernah tinggal kelas karenanya. Dan itulah penyebab anakku membulatkan tekad untuk tinggal menyelesaikan sekolah di tanah air.

Band itu jadi satu kegemarannya. Di hampir setiap kesempatan dia selalu tampil menyanyikan lagu-lagu mereka, meniru penampilan dan gaya para personalnya. Sangat mirip. Bahkan ketika dia menyelesaikan SMAnya teman-teman sekelasnya bersibuk ria mencarikan band pengiring sekedar ingin melihat anak kami tampil di atas panggung pesta perpisahan sebagai duplikat penyanyi utama band itu untuk kenang-kenangan. Bahkan ketika dia sempat berdua-dua denganku, selalu dia meraih mikropon untuk menyanyikan lagu-lagu yang disukainya itu sambil mengajak aku turut menyanyi bersamanya. "Makna syairnya dalam dan bermutu," katanya ketika kutanyakan mengapa dia begitu tergila-gila. Karenanya di saat-saat kesendirianku dibalut rindu padanya, sering pula kulantunkan lagu-lagu kegemaran anakku. Sebagai makna cintaku padanya.

-ad-

Mobil kami berhenti di drive-way di depan rumah tanpa terasa. Keasyikan mempercakapkan anakku di sela-sela kesibukan suamiku mengecek anak buahnya melaksanakan tugas, mengakibatkan aku tidak sadar bahwa hari sudah lewat pukul sembilan. Kesibukan membongkar-muat bawaan suamiku menjadi acara yang paling menyenangkan. Tak sabar aku ingin melihat potret anak dan cucuku. Tapi suamiku justru mengeluarkan sebuah "Ayat-Ayat Cinta" dari tumpukan buku-buku yang dibelinya di Jakarta. "Ini khusus untuk ibu," katanya mengulurkan buku itu kepadaku. "Ceritanya sangat bagus, bapak sudah nonton rame-rame," katanya menjelaskan. Buku dan film yang bikin heboh di Jakarta itu memang sesungguhnya menarik minatku juga. Tapi aku memang sengaja tidak meesannya sebelum dia berangkat dulu. Aku takut dia tidak mengerti, karena sesungguhnya kami memang dua manusia yang unik. Aku sangat gemar membaca, terutama sastra. Tapi suamiku tidak. Dulu ketika sekolah, sekalipun dia dua tingkat lebih tua daripadaku, tapi semua pekerjaan rumah sastranya akulah yang menolong mengerjakannya. Namun dalam satu hal, kami nyaris sama. Aku dan dia tidak pernah melewatkan waktu dengan menonton film karena menurut kami, menonton bukanlah sesuatu yang mengasyikkan. Pemeran dan tokohnya semata-mata pilihan sieneas. Aku tidak bisa mengreasikan sendiri sesuai daya khayalku. Padahal menurutku, dengan membaca aku bisa menokohkan semuanya menurut seleraku. Si baik kutokohkan dengan wajah sahabatku, sedang si jelek kutokohkan dengan wajah orang yang tidak begitu cocok denganku. Aha! Begitu naifnya. Karena itu, di bilik ingatanku hanya terbentang rangkaian panjang perjalanan mubihah menyusuri toko-toko buku baik di Bogor maupun di seputar kota Bandung. Terutama di Bandung, dimana ketika itu uang saku kami sudah mencapai jumlah yang lumayan untuk membeli buku-buku kesukaan kami. Sahabatku mas Dj biasanya akan memilih buku-buku politik dan sejarah serta gerografi sosial sebagaimana bidang ilmu yang diambilnya. Tapi, aku akan sibuk mencari tidak hanya buku-buku pelajaranku melainkan juga sederet buku-buku sastra yang lumayan berisi. Lalu aku akan menceritakan kembali isinya kepada mas Dj. Di sana, di teras rumah orang tuaku atau di sudut rumah mbah Mochtar, induk semang yang kami tumpangi semasa mahasiswa dulu.
Padahal aku tahu, dia hanya pura-pura tertarik untuk mendengarkannya.

-ad-

Persinggahan kami yang pertama adalah Toko Buku Gramedia di bekas Bioskop Panti Karya, Jalan Merdeka, Bandung. Waktu itu Gramedia merupakan toko baru dengan desain dan gaya penataan toko yang baru. kami bebas melihat-lihat apa saja dengan nyaman, kemudian mengumpulkannya di dalam keranjang-keranjang plastik transparan sebelum diserahkan ke kasir untuk dibayar. Biasanya selalu saja ada yang kami beli. Terlebih-lebih jika kebetulan kami bertemu dengan mas Adnan, iparku yang kedua serta keluarganya. Mbakyuku akan menyuruh aku mengekor di belakang mas Adnan supaya dibayari. Lalu setelah itu kami dibawa makan malam yang tidak bergaya mahasiswa. Sepiring soto sulung yang lezat atau ayam bakar dan sate pasti akan terhidang di muka kami.

Jika kami tidak bertemu dengan keuarga mbakyuku, kami akan melanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri Braga mulai dari ujung hingga ke ujung lagi. Sangat banyak toko di situ, setidak-tidaknya tiga buah diantaranya milik Penerbit Indira dan Toko Buku Mawar. Lalu perjalanan masih akan berlanjut hingga ke ujung Asia Afrika guna melihat-lihat koleksi Toko Buku Sumur Bandung dan Karya Nusantara yang cukup tua diakhiri masuk Toko Palos di belokan Alun-Alun Kota Bandung. Perjalanan kami baru akan berakhir setelah kami berjongkok di muka penjual bahan bacaan bekas di belokan Kantor PLN Kota Bandung untuk menjemput National Geography terbitan lama atau Majalah Psikologi Anda dan Ayah-Bunda untukku. Tak terkatakan puasnya hati kami, sampai kami lupa bahwa memesan makanan di salah satu kedai pinggir PLN butuh waktu. Sebab, di akhir pekan sangat banyak orang menghabiskan waktu di sana. Perut yang menjerit minta diisi itulah yang kemudian mengistirahatkan kami sebelum pulang naik kendaraan tua yang sangat unik. Body-nya terbuat dari kayu, nyaris tanpa model. Setirnya terletak miring di sisi kanan, sehingga posisi supir yang mengemudikannya ikut-ikutan miring. "Palih dieu.... palih dieu..... palih dieu......" begitu seru sopirnya mencari penumpang yang searah dengan kami menuju Gang Tilil di dekat tempat tinggal kami tak jauh dari kampus di Dipati Ukur. Opelet itu jadi satu kenangan yang membangkitkan rindu kami pula.

-ad-

"Ibu melamun?" tanya suamiku menyentakkan aku. "Ah, nggak," jawabku sekenanya. "Aku hanya ingat betapa bapak dulu selalu mengutamakan uang saku kita untuk membeli buku sebanyak ini," kataku sambil menggambarkan tebalnya tumpukan buku yang kami pindahkan ke kamar sewaan kami sebulan sekali. "Ya, buku kan banyak manfaatnya. Ni, satu lagi khusus untukmu," kata suamiku sambil menyodorkan sebuah lagi. Karya Cipta Gesang. "Halah bapak, saking cintanya pada penyanyi keroncong, dua kali aku dihadiahi buku ini," kataku sambil menerima dan meneliti isi buku itu. Buku tebal bersampul coklat yang sama persis dengan oleh-olehnya di Singapura dulu waktu dia pulang tugas ke Indonesia. "Oh ya,?" serunya seperti tak mengira. "Ya Allah, waktu cepat berlalu ya, kita sekarang sudah jadi tua rupanya, dan maaf, bapakpun seperti aku mulai sering-sering lupa," jawabku. "Ya sudah, simpan saja lagi. Dua kali aku mengenangmu kalau begitu" katanya sambil masuk ke kamar hendak mulai membongkar kopor pakaian dan mandi bersiap-siap ke kantor. Aku tersenyum sendiri.

-ad-

Gesang, lagu keroncong dan kami berdua adalah suatu kesatuan. Selagi anak-anak muda meninggalkan keroncong, kami justru menjadi penikmat utama. Sekalipun mas Dj tidak pandai main musik, tapi dia sangat menikmati suaraku melantunkan keroncong walaupun hanya sekelas penyanyi kamar mandi setelah bapakku melarangku masuk dapur RRI Bogor. Dan "Keroncong Berjumpa Diri" adalah favoriteku selain keroncong-keroncong klasik lainnya. Bahkan di pesta pernikahan kami, aku dan mas Dj senaja memutar "Stambul Baju Biru" yang saat itu lagu baru di bawah label Toto Salmon. Begitulah kami, manusia yang unik dan nyaris tiada duanya.

"Biarkan aku menghadiahimu dua buku pak Gesang," kata suamiku sambil memasuk-masukkan pakaian bersih ke lemarinya, sementara aku mengumpulkan yang kotor. "Itu pertanda, aku selalu ingat engkau dan cintaku yang pertama sekali dua kali dan masih berkali-kali lagi," lanjutnya sambil menutup kopornya yang telah kosong. "Dengan sepenuh kerinduankah?" pancingku. "Ya dong, karena asmaraku hanya membara di dadamu," jawabnya sambil mencubit pipiku lalu menghilang ke dalam kamar mandi.

Di sana, di bilik mandi kami, ada rindu yang minta dipuaskan. Mungkin nanti malam, setelah semua sepi dan dunia ini hanya jadi milik kami berdua saja lagi. Lalu kututup layar kamar tidur kami berdua.

Rabu, 09 April 2008

DI BALIK BILIK RINDU (I)

Pagi hari di Cape Town. Angin musim gugur meninggalkan jejaknya di kulit dan tulangku. Kubungkus tubuhku dengan sweater baru yang kubeli kemarin dulu di Access Park. Siapa sih orang di Cape Town ini yang tidak mengenal Access Park? Letaknya tidak begitu jauh dari tempat tinggalku. Suatu pusat perbelanjaan yang dikategorikan "factory outlet", yang dilengkapi super market dengan sayur-mayur dan buah segar sebagai primadonanya. Di situ juga ada lapangan tertutup tempat para olahragawan bulu tangkis berlatih. Di situlah setiap Sabtu pagi suamiku mengolahragakan tubuhnya bersama komunitas Indonesia yang hanya segelintir.

-ad-

Baju itu berwarna coklat tua. Berkerut-kerut di tepinya. Pada sepanjang sisi belahan depan dan lengannya. Cantik memang, sesuai dengan harganya yang agak lumayan mahal. Bukan kebiasaanku harus membeli barang-barang yang mahal. Biasanya, asal patut di tubuhku, aku justru akan dengan sangat bangga mengenakan serta memamerkannya. Kadang disertai ucapan, "ini barang kacangan lho.....", tapi aku tetap pe-de mengenakannya.

Aku dan keluargaku memang demikian adanya. Manusia yang apa adanya. Tapi dengan keadaan ini, justru banyak orang salah menduga dan menempatkan kami seakan-akan orang banyak duit. Amin, batinku. Maka, aku mematut diri di depan cermin, sebelum melangkah meninggalkan rumah menuju ke kantor suamiku. Di bagian belakangnya, Dharma Wanita Persatuan KJRI Cape Town yang kupimpin mendapat sepojok kantor. Tempat kami berkumpul merundingkan dan mengerjakan tugas-tugas kami istri para pegawai negeri yang dianugerahi kesempatan langka untuk turut melalangbuana ke luar negeri.

Zsizsi dan Fanny temanku yang cantik sudah lebih dulu ada disana menyalamiku dengan sapaan manis, "Assalamu'alaikum Ibu. Aduh keren banget, cardigan baru ya? Dimana tuh belinya?" "Ah, bisa' aja," jawabku, "Di Access Park, mau beli juga?" Lalu mereka mulai merabai dan mengamati baju baruku. Aku tersenyum geli. Ingat diriku ketika maih muda dulu. Sama dan sebangun, selalu senang melihat barang teman-temanku dan ada keinginan untuk juga memiliki. "Ayo beli, besok saya antar." bujukku bukan basa-basi. Mulut-mulut mereka terlongong. Mata yang bulat membola, menatapku penuh keraguan. "Nggak salah denger nih Bu?" tanya mereka serempak. "Lho, "mang kenapa?" tanyaku lagi. "Saya tulus, kalau kepengin kembaran, buat saya malah jadi kebanggaan karena saya berarti jadi trend setter, ya toch?" jelasku ringan. Kedua temanku tertawa bersamaan sambil menyusun rencana kapan kami akan kesana. Obrolan ringan pagi itu sungguh menghangatkan suasana. Menyadarkanku bahwa hidup ini memang indah untuk dinikmati.

-ad-

Kami jadi punya baju kembaran. Padahal dulu aku selalu mengatakan kepada siapapun di dekatku yang senang memakai baju kembaran sebagai penghuni asrama yatim-piatu. Namun untuk diriku, ini malah jadi suatu kebangaan. Karena orang-orang di sekitarku ternyata menghargai upayaku memilih busana.  Fanny tampak semakin berseri dengan cardigan kuning kunyirtnya, sementara Zsizsi menjadi semakin anggun dibalut cardigan hitam. "Ini, saya dapat surprisse satu," serunya berseri-seri sambil keluar dari ruang coba pakaian menenteng sebuah gaun kaus yang modis. Dilirik sepintas kesannya mewah dan berkelas. Ada dua warna di sana. Pada bagian atas sampai ke dada coklat muda sedangkan di roknya paduan garis-garis hitam dan ungu muda. "Surprisse apa? tanyaku penasaran. "Made in Indonesia." jawabnya tertawa lebar. Gigi-gigi putih yang rapi nampak berbaris padat.  "Dibeli dong," bujukku. "Ya, pasti. Siapa yang nggak bangga Bu dapat baju Indonesia di Afrika sini?" sahutnya tanpa minta dijawab. Lalu dia bergegas membayar belanjaannya.  Membuat ingatanku tercerabut lagi, lari ke masa lalu.

-ad-

Ke saat dimana aku baru menjejakkan kaki yang pertama kali di luar negeri. Kurun waktu itu tercatat dalam lembar sejarah hidupku berangka tahun 84-88. Kami pulang ke Indonesia dengan selembar baju melekat pada tubuh masing-masing berlabel "Made In Indonesia". Pesawat itu mendaratkan kami dari perjalanan panjang Kanada lewat Negeri Belanda. Anakku masih batita. Baru hampir dua tahun. Tapi otak kecilnya yang sangat kompromis mudah sekali menangkap apa yang kami ajarkan, atau apa yang sering dilihat dan didengarnya. Shalawat badar kegemaranku dan Kamiyah inang pengasuhnya, melekat erat di rekaman telinganya. Dia sudah pandai menyanyikannya walau belum dengan kalimat yang jelas. Adakalanya shalawat versi Jawa hasil kreasi pengasuh anak-anak gadisku dulu ikut dilagukannya, Lucu sekali seiring lenggak-lenggok tubuhnya. Juga lagu kebangsaan "Indonesia Raya" yang menandai dimulainya siaran TVRI satu-satunya saluran televisi pada jaman itu, adalah favoritenya. Dia bisa menyanyikannya dengan bahasa kanak-kanak yang belum lengkap "Iya ya, iya ya, merdeta.....merdeta.... tanahtu nedritu... nang tucinta........."

Andrie-ku, buah cintaku dengan mas Dj. Harapan kalbuku selalu. Waktu cepat berlalu. Dia memang ada, tapi dia sudah punya dirinya sendrii. Dia menjadi bagian dari kehidupan luas di luar rumah tangga kami. Buru-buru kususut air mata bening yang menggenangi pelupuk mataku. kerinduanku padanya merebak kembali. "Ibu, aku ini milik bangsaku. Sekalipun aku terlahir sebagai Canadian, tapi daraah dan jiwaku adalah nusantara," begitu katanya dulu ketika kami memintanya menetapkan pilihan belajar. "Aku tidak mau belajar di Kanada sekarang, sekalipun bapak mampu mengongkosiku," katanya tegas. "Apa alasanmu?" tanya ayahnya penuh selidik. "Aku belum punya cukup pengetahuan mengenai bangsa kita. Sedangkan hidup dan matiku hanya akan kusumbangkan untuk negeri ini, tunggulah setelah aku selesai dengan strata satuku di dalam negeri," ucapnya memberi penjelasan yang menggetarkan batinku. "Kau tak jauh-jauh amat dari semangat bapakmu dulu," sambutku spontan. Kuingat jelas, di dalam buku harian kami ketika remaja ada tertuang niat dan cita-cita suamiku "bantulah aku mewujudkan harapan menjadi insan yang berguna dengan mengabdikan diri pada nusa, bangsa dan negara." Niatan seorang idelais murni yang tidak kuduga, sekarang menitis tajam kepada darah daging kami. Maka air mata itu meleleh pelan mencari sangkutan di kerudungku.

-ad-

"Wah, ayo, ibu tiba-tiba kangen bapak ya?" duga teman-temanku. Di situ, di balik dinding bangunan di seberang toko baju ada arena bermain suamiku. Mungkin mereka menduga aku teringat suamiku dengan hanya melihat badminton hall itu. Aku tidak menjawab. Menyembunyikan semua kerinduanku di dalam bilik yang rapat. Kerinduanku tidak hanya kepada suamiku, melainkan juga kepada anak lelakiku yang sulung. "Kuatkanlah hatiku," sambatku, "agar aku dapat mendampingi belahan jiwaku si biji mata menggapai cita-citanya yang begitu agung dan mulia." Lalu air mata itu menggenang kembali, menggigiti seluruh bilik jantungku dan hati yang sepi. Tanpa mereka, tanpa mas Dj yang masih dua-tiga hari lagi baru akan kembali ke sisiku, dan pada Andrie harapan hidupku.

(Dedicated to the one I love, with lots of love)

PS : Zsizsi, sebaris khayalku akan menjadi penutup yang manis dari kebersamaan kita kemarin. Terima kasih atas kehangatan persahabatan yang kau tawarkan padaku.

Minggu, 06 April 2008

JALINAN KEKELUARGAAN

Semalam aku tidur sangat nyenyak. Maklum di luar hujan mulai mengguyur, sehingga nikmat rasanya bersembunyi di balik selimut tebal. Dan semalam itu, aku tidak mimpi sama sekali. Betul-betul lena sampai pagi. Sampai saraf di otakku membangunkanku menyuruh sembahyang. Kuteliti jam di HPku. Lima kurang lima menit. Saat yang tepat untuk bangkit, mandi, membersihkan tubuh dan menghadap Tuhan. Ritual pagi yang siapapun pasti melakukannya.

Kasur di sebelahku amat rapi. Tidak segorespun bergeser. Bahkan rambut-rambut halus yang baisa aku punguti kini tak nampak. Kehangatan yang baisa menyentuhku sedang absen. Kesadaranku kini kembali sempurna. Pemiliknya sedang menjemput kerinduan, bermandi keringat nun di keelokan nusantara, di Jakarta sana. Senyum mengembang di sudut bibirku.

Kumasukkan kakiku ke sandal biru muda yang nyaris rapat hanya menyisakan ruang depan untuk memamerkan jari pada matahari. Atau lebih tepatnya pada angin, di musim gugur yang di Cape Town ini nyaris tiada tanda. Tak juga daun-daun kuning yang berjatuhan satu demi satu. Hanya angin dan keringnya bunga-bunga biru semacam lily yang mengitari seluruh perkampungan rumakulah yang jadi pertanda.

Di kamar mandi aku usapkan air yang mengalir jernih di pipa kraan. Sejuknya menyuruh aku untuk bergegas mandi. Lalu segera aku berpakaian siap utnuk membuka ayat-ayat Tuhan sebelum tiba waktunya shalat subuh. Di sini subuh akan berlangsung agak "siang". Kira-kira setengah enam. Pagi yang senyap ini memaku hasratku hanya kepada Sang Empunya. Lalu mulutku yang belum lancar membaca mulai mengeja, menyahuti bunyi cengkerik di luar jendela.

-ad-

Kemarin pagi masuk SMS dari anakku ketika aku menanyakan keadaannya. Maklum sudah sembilan bulan kami terpisah, dan belum sekalipun aku sempat melihat wajahnya. Biasanya kami senantiasa berhubungan lewat suara, Jatinagnor-Cape Town, mengikuti luangnya waktu belajar anakku. "Aku lagi nunggu bapak di pool Cipaganti," katanya di layar HPku. "Dimana, di Jatos atau kamu ke Jakarta, kamu di Cikini?" balasku bertanya. "Ya, aku di Cikini. Bapak OTW," jelasnya pula. Tak lama kemudian SMS itu datang lagi dengan ucapan "Kami sedang berdua-dua, sekarang kami mau makan siang." Terbersit kebahagiaan di situ. "Selamat makan, nikmati kebersamaan kalian yang langka dan cuma datang sejenak," balasku. Terbayang dua sekawan yang sangat kompak, bapak dan anak. yang selama ini senantiasa saling mendukung dan menyayangi. Dari belakang anakku berpenampilan mirip bapaknya. Bahkan gaya dan cara jalannyapun setali tiga uang, sekalipun wajahnya adalah punyaku asli.

-ad-

Kebersamaan mereka betul-betul cuma sejenak. Belum lagi sore di Cape Town, sudah masuk pemberitahuan suamiku bahwa anak kami sudah kembali ke Jatinangor dijemput dan diantar mbak Tetty Kadi, sahabat keluarga kami. Rasanya seperti mimpi, percaya tapi tak percaya. "Kenapa bapak menyuruhnya pulang?" sesalku. "Maaf, malam ini bapak ada acara penutupan Rakor, dan besok pagi diminta stand by untuk suatu urusan pekerjaan,' jelasnya. Hampir saja air mata ini tumpah (lagi) seandainya tidak kusadari bahwa pekerjaan suamiku memang butuh pengorbanan. Beginilah agaknya, suamiku memang pencinta pekerjaan, sebagaimana anakku juga pernah membuat istilah yang sama untuk dirinya "aku ini pencinta sekolahan". Hanya senyum kecut yang sempat kusunggingkan.

-ad-

Surprisse ku tidak habis-habisnya. Selagi aku membayangkan suamiku terpaku di hotel untuk pekerjaannya, tiba-tiba masuk SMS yang tidak kuduga. "Bapak dalam perjalanan ke Bogor. Naik mobil pak Bambang, utamakan nyekar," begitu bunyinya. Pak Bambang supir pribadi kami disini meninggalkan keluarganya di Indonesia. Dan hubungan baik kami menguntungkan suamiku. Keluarga pak Bambang ikhlas mengantarkan suamiku menuju ke Bogor. Indahnya ikatan kekeluargaan yang dijalinkan Allah terasa sekali pada kami. Aku tiba-tiba teringat ke masa silam. Masa dimana orang tuaku masih ada dan juga punya hubungan sangat baik dengan orang-orang yang membantu di rumah kami.

-ad-

Ada para pembantu yang ganti-berganti ikut di rumah orang tuaku. Yang pertama kukenali adalah mbok Rah. Namanya Mudjirah. Umurnya ketika itu kira-kira tiga puluh lima tahun, seorang janda dengan anak gadisnya sebaya mbakyuku Ieneke. Mbok Rah dan Si Sur alias Suryati menempati bagian belakang rumah, di daerah dapur. Mereka berdua inang pengasuh kami yang setia. Konon, sebelum aku lahir mbok Rah sudah ikut bersama kami, dan baru berganti majikan ketika aku duduk di kelas satu SR. Sebagai upahnya, selain mendapat uang bulanan, Si Sur dimasukkan ibuku ke SR Gadis di daerah Panaragan dimana SD Negeri Panaragan yang terkenal itu sekarang berada, yang dipimpin oleh Tante Siregar yang cantik dengan wajah mirip indo. Di tangan mbok Rah aku bertumbuh. Makanan yang masuk ke perutku adalah hasil karyanya. Dia yang pergi ke Pasar Mawar dan mengolahnya menjadi hidangan, serta dia juga yang menyuapkannya ke mulutku yang dari dulu terkenal tidak begitu doyan makan. Tapi, jangan ditanya, soal jajan pasar akulah penggemar paling utama. Biasanya aku berjongkok di muka bibi sayur yang juga membawa dadar gulung diwarnai merah jambu, atau di muka mamang penjual gethuk gula merah. Ada kalanya aku nongkrong menunjuk oli jepret, sejenis gethuk singkong yang sangat khas bertabur gula dan bumbu cabe. Mbok Rah selalu tahu apa mauku, termasuk grontol jagung yang lezat gurih. Pokoknya dia akan selalu mengupayakan apapun yang aku mau. Mbok Rah sangat sayang padaku.

-ad-

Kebersamaanku dengan mbok Rah berakhir ketika suatu hari dia pamitan mau pindah ke Kota Paris, suatu perkampungan di belakang rumahku. Orang-orang terpandang dan terpelajar banyak tinggal di situ, diantaranya keluarga bu Tati, guru Taman Kanak-Kanak di Jl. Merdeka. Di rumah merekalah mbok Rah ingin tinggal. Kami tidak tahu apa daya pikatnya. Yang jelas di suatu siang dia mengungkapkan niatnya sambil membenahi baju-bajunya dan minta permisi. Ibu kami sempat mengingatkan bahwa keputusannya yang mendadak sangat mengejutkan, dan menurut ibuku belum dikaji dengan baik. Tapi entah bisikan siapa yang mengalahkan ibuku. Yang jelas, mbok Rah dan Si Sur terus saja pergi tanpa bisa dicegah lagi.

Tapi besok siangnya, Si Sur tiba-tiba sudah nongol di rumah kami sambil meletakkan tas sekolahnya di ambin dapur. Dia minta minum dan sedikit makanan tanpa malu-malu. Lalu sebagaimana hari-hari sebelumnya, menggabungkan diri bersama kakakku dan gadis-gadis prawan kencur lainnya yang asyik main gatrik di halaman depan. Sesudahnya dia seperti enggan pergi, begitu dan begitu saja, hingga aku dibawanya ke rumah ndara Tedjo, majikan mereka yang baru. Aku tidak tahu apa yang jadi pembicaraan, sebab waktu itu aku sendiri masih terlalu "bocah" untuk mengerti. Yang jelas, beberapa hari kemudian rumah kami kembali seperti semula.

-ad-

"Bu Insinyur, ada orang masuk ke dalam rumah," begitu tiba-tiba lapor pak Atjih tetangga di seberang rumah kami. Sekalipun yang insinyur itu ayahku, tapi ibuku cukup paham juga maksud pak Atjih. Ayahku sedang tidak di rumah, berangkat ke Irian Barat untuk memimpin tim pertanian disana. Waktu itu Papua baru akan masuk ke dalam bagian RI. Di rumah kami hanya ada satu lelaki dewasa, yaitu pak-dhe ku yang kebetulan belum menikah. Ibu bergegas ke belakang mencari pak-dhe yang kedapatan sedang asyik ura-ura di kamarnya. "Kangmas, kae ana wong mlebu ngomah seka mburi," bisik ibuku. Pak dhe sempat terperanjat sejenak, sebelum kemudian dengan berjingkat-jingkat menuju bagian terbelakang rumah yang berupa dapur dan gudang diikuti ibu yang takut-takut. Belum sempat pak-dhe mengintai, kedengaran isak tangis seorang perempuan. Lalu dialog ibu-beranak yang menyayat hati, "aluwung awake dewe nderek nang kene ndhuk. Arepa uga ora kepenak, nanging kowe isih bisa bebas lan sekolah," tercermin betapa wanita dewasa itu sangat mendambakan kebebasan bagi putrinya serta pendidikan yang memadai. Begitu cintanya tercurah dalam nada kepasrahan campur kepahitan.

Pamanku melangkah maju, bersama ibuku. Simbok Mudjirah ada di kamarnya yang dulu, Sedangkan tangannya mengosongkan kembali kopor kayunya, menumpahkan isinya ke atas  dipan beralas tikar dan menaruh isinya di lembari tembok. "Nyuwun pangapunten, ndrara putri, dalem mboten saestu pindhah. Pejah gesang aluwung nderek mriki," sambatnya sambil menjatuhkan diri di kaki ibuku. Dengan arif ibu mengangkat kepalanya, Lalu simbokpun mulai dengan kisahnya yang seru. Simbok bilang majikan barunya sangat galak. Selain itu Suryati tidak diijinkan masuk ke dalam rumah induk semangnya dan tidak pula diperbolehkan bersekolah, terlebih-lebih setelah mengetahui ibuku yang membayarinya. Ibuku turut larut dalam kegetiran sang janda. Keduanya bertangis-tangisan, seperti dua makhluk bersaudara kandung saja layaknya. Malam itupun jadi penanda bahwa antara kami terjalin rasa kekeluargaan.

Tapi nafsu manusia memang besar adanya. Setelah setahun bergabung kembali bersama kami, tiba-tiba mbok Rah kembali mengajukan penguduran diri. Kali ini tidak main-main. Mbok Rah akan jadi warga ibu kota, dengan bekerja pada seorang artis di Jakarta. Manusia sejujur mbok Rah sampai hati mengungkapkan bahwa mak Emul tetangga kami di pinggir Kanaal Cidepit lah yang akan mengantarkannya ke rumah juragan Ivo. Ibuku tidak melarangnya. Kali ini malah mendoakan kebahagiaannya.

Mbok Rah memang bahagia. Ketika Aas anak mak Emul pulang dari rumah majikan mereka itu, di tangannya ada sebuah vulpen Ero bergurat-gurat biru tua serta jepit-jepit rambut plastik model baru. "Kiriman untuk eneng dari mbok Rah," katanya waktu menyampaikan titipan itu padaku. Kami tercengang dan tercenung sendiri. Inikah artinya persaudaraan yang sejati? Tidak mengenal jarak apapun. Tidak kilometer, juga tidak antara "orang gedongan" dan "orang rendahan". Di hadapan Allah semua manusia sama. Tergantung bagaimana kita menjalankan inti ajarannya. Seperti yang hari ini terjadi kembali pada keluargaku, dengan ikhlas keluiarga pak Bambang mengantarkan suamiku cuma-cuma membelah Jakarta yang padat, menembus hujan yang lebat, menuju Bogor kampung halaman kami. Semoga Allah memberkati mereka.


Kamis, 03 April 2008

ZIARAH KUBUR (II)

Lina dan kematiannya mengingatkanku akan makam leluhur kami. Ada orang tuaku,mertuaku dan sebagian kerabat suamiku di Taman Pemakaman Umum Blender, Kebon Pedes, Bogor. Bukan suatu daerah yang "elite" karena tersembunyi di balik perkampungan padat penduduk yang sebagian adalah pengusaha susu sapi murni. Bau kotoran kambing dan sapi merebak di dekat pintu pemakaman, berasal dari hewan-hewan yang digembalakan atau dikandangkan di dekat situ. Sebuah kanaal kecil melintas di dekatnya, juga nyaris sangat keruh karena banyak muatan yang digulirkan orang seenaknya di situ.

Di situ, di makam-makam itu aku dulu sering menyepi. Menghabiskan waktuku sendiri, mengunjungi makam bapak mertuaku yang waktu itu masih calon. Terutama saat hatiku sedang gundah. Makam bapak hanya berupa sebuah nisan bersemen dengan taburan sepihan batu marmer kecil di atasnya, terletak jauh di dalam sana. Pada sebuah blok yang dinamakan blok lama, menuju ke perkampungan di kejauhan yang berbatasan dengan desa yang sekarang lebih terkenal sebagai Cimanggu Bharata.

Di daerah makam bapak banyak guguran kamboja putih yang menyerak tak beraturan dijatuhkan angin dari pohonnya yang rindang disitu. Aku biasa memungutinya, memilihnya dengan cermat satu-persatu sampai kudapat jumlah serta kondisi yang kuinginkan. Biasanya, kuntum-kuntum segar yang baru jatuh akan jadi bagian dari ritualku menjenguk "rumah" bapak. Lalu diamku mengumbar doa tahlil serta obrolan dari hati ke hatiku dengan Allah serta dengan bapak. Aku tidak lagi peduli apakah bapak bisa mendengarnya, yang pasti aku merasa harus dan ingin bicara padanya. Sebab bapak tak pernah menolakku. Bapak tak pernah membantahku. Dan yang jelas, kurasakan bapak menyayangiku sebagaimana orang tuaku sendiri.

Saat itu aku bisa berlama-lama disitu. Sampai Iman seorang pemuda desa setempat tiba-tiba menegurku entah datang darimana. Lalu dia menyabitkan lumut yang menempel di nisan bapak untukku serta menyapu kotoran yang ada. Seperti biasa aku tahu, Iman mengharapkan sesuatu dariku. Sekedar upah, sekalipun dia tahu anak sekolah semacam aku tak mungkin mengantungi uang banyak. Tapi Iman tak peduli dan dia terus saja mengganggu saat-saat kebersamaanku dengan bapak. Semuanya bermain-main di ruang khayalku. Di sini, di Cape Town yang jauh.

-ad-

Bapak. Kemudian Mama. Lalu Ibu. Diikuti Bude Is kakak Mama dan diakhiri Bapakku. Semua meninggalkan kami satu persatu. Bapak dan Mama menyerah diterjang ganasnya kanker. Ibu mengakhiri serangan panjang sirosis hati, sementara Bude Is pergi begitu saja. Dan bapakku, perokok sejati itu tumbang di tangan stroke dan serangan pada jantungnya.

Semua telah berlalu. Seperti berlalunya KRL di rel besi di sebelah timur sana. Mula-mula sebuah gerbong kehidupan yang kosong. Kemudian padat terisi, berjalan menjalar, lari, hingga tiba di stasiun terakhir. Jika aku boleh mengibaratkan Beos sebagi akhirat, di situlah letaknya kenikmatan atau bahkan kesengsaraan. Tergantung darimana kita menyikapinya. Ada deretan penjual makanan mulai dari gorengan tahu Sumedang hingga buah-buahan dan minuman botolan. Ada bahan bacaan, bahkan banyak juga barang-barang lain yang seharusnya tidak ada di situ. Tapi di situ juga letaknya ketidaknyamanan. Banyak debu, peminta-minta yang kerap mekmaksa hingga copet dan jambret. Itulah Beos, stasiun terakhir kereta yang melaju dari kotaku

-ad-

Bapak bukan satu-satunya anggota kerabat kami yang menetap lebih dulu di Blender. Sebelum Mama ada Romo Said serta istrinya, Bude Tinah, kerabat bapak. Walaupun bukan keluarga sekandung, tetapi hubungan mereka sangat akrab. Konon dulu, di masa mudanya mereka sering saling berkunjung dan duduk-duduk menghabiskan waktu sambil bermain ceki. Sejenis kartu yang aku sendiri tidak pernah tahu macamnya. Konon biasanya para priyayi menggelar meja dan kartu ceki sambil berjudi. Tapi mereka tidak. Bapak paling anti berjudi. Bapak hanya senang menghabiskan waktu sambil mengasah otak. Tidak lebih, begitu pernah kudengar penuturan Mama.

Romo Said berpulang ketika suamiku sudah kuliah. Suatu siang ketika suamiku datang menjenguk di sisi pembaringannya Romo mengatakan harapannya ingin mencicipi bakso yng dibeli dari uang gaji suamiku. "Kowe kudu dadi pegawe negeri ya nak, mbesuk aku mbok tukokna bakso. Mesthi rasane enak," begitu keinginan Romo di balik pesan singkatnya pada suamiku yang diperlakukan macam anaknya sendiri. Seingat suamiku dia mengiyakannya. Tapi belum sampai suamiku lulus kuliah, Romo sudah keburu berpulang. Dan bakso itu hanya sebuah keinginan yang tak terwujud.

-ad-

Kali ini suamiku sudah bisa membelikan bakso untuk Romo Said. Kali ini juga suamiku sedang bertugas ke Indonesia. Menurut rencana dia akan berziarah di akhir pekan, guna membersihkan makam-makam orang tua kami. Maklum di Bogor tanah makam sudah sangat sulit didapat. Kunjungan ke makam menjadi suatu keharusan jika tidak ingin mendapati makam leluhur sudah ditempati jasad lain akibat proses sewa-beli lahan. Sebelum mas Dj berangkat, aku pernah mengingatkannya seraya berseloroh, "inilah saatnya bapak mewujudkan janji membelikan semangkuk bakso untuk Romo Said." Suamiku hanya tersenyum melirik padaku. Dia tak menyangka, aku masih ingat akan janjinya dulu. Puluhan tahun yang lalu.

"Ya sudah, jangan paksakan diri ke makam. pekerjaan bapak lebih utama,' begitu tulisku di atas layar HP menjawab kabar dari suamiku. Rupanya dia tidak punya waktu untuk naik KRL pulang kampung menjenguk makam. Tapi aku tahu, di dalam hatinya dia sangat kecewa. karena baginya makam orang tua kami adalah warisan yang utama. Menurut suamiku sekalipun makam tidak berarti apa-apa, tapi makam jualah yng membantu mengingatkan kita untuk mengisi hidup ini dengan amal dan kebajikan. Karena, suatu saat nanti di tanah jugalah kita akan menetap. Membaur, melebur abu menjadi satu dengan alam.

Suamiku benar semata. Lalu terbayang lagi di mataku sepinya pekuburan itu. Hanya desiran angin serta rengek kambing di kejauhan. Sekali-kali di waktu tertentu, adzan kaji dan shalawat badar serta tausiyah ulama menggema dari masjid dan langgar-langgar di kejauhan yang menyusup dibawa angin menembusi sepinya alam. Di situ juga kelak kami akan terbaring. Dengan Iman menyabiti rumput serta lumut di sisi nisanku. Dan dengan IMANku kepada Illahi Rabbi. Kelak jika saatnya tiba.........

ZIARAH KUBUR (I)

Seharian SMSku bergetar hebat, nyaris tanpa jeda. Lisa, teman pengajianku di Singapura dulu, mengabarkan bahwa salah satu sahabat kami, Apriliana wafat. Setelah itu masuk lagi SMS serupa dari segala penjuru bumi. Dari tempat-tempat lain, bahkan termasuk dari Jakarta, dari suami almarhumah sendiri.

"Innalillahi wa innaillaihi rojiun. Telah berpulang ke Rahmatullah istri kami tercinta, ibu kami tersayang, Apriliana pada hari ini 1 April 2008 jam 17.50 di RSPP Jakarta. Mohon dimaafkan segala kesalahan beliau.........." demikian penggalan SMS Pak Iwan. Aku tercenung seperti kehilangan kesadaran. Seharusnya aku tahu bahwa Lina akan kembali menghadap padaNya. Naluriku mengatakan itu. Sepagian tadi dia ada di pelupuk mataku. Bahkan suaranya yang merdu melantunkan ayat-ayat suci menggema di ruang-ruang ingatanku. Seperti kata keluargaku, aku memang mempunyai naluri yang sangat tajam. Aku tahu sebelum segala sesuatunya terjadi. Aku mengerti sebelum segala sesuatunya terkuak. Tapi toch aku tetap merasa kehilangan Lina juga.

-ad-

Sahabatku yang satu ini masih sangat muda. Putra sulungnya adalah kawan anak bungsuku di Sekolah Indonesia di Singapura dulu. Bahkan umurnya jauh lebih muda daripada anakku yang terpaksa pernah tinggal kelas di Eropa. Dengan karier suaminya yang baik di bank nasional yang cukup punya nama, Lina mengecap semua kebahagiaan. Rejeki yang berkecukupan, sarana hidup sehat dan putra-putri yang cerdas. Dia jadi teman baikku ketika kami sama-sama duduk di "kelompok pemula" Pengajian Al-Faizat, mengeja huruf demi huruf Arab dari buku IQRA seperti tuntunan ustadzah kami. Hanya Lina lebih cerdas. Umurnya yang baru mencapai empatpuluh sekian tahun mendudukkannya sebagai murid dengan peringkat tertinggi. Dengan cepat dilahapnya keseluruhan kitab Iqra selagi aku masih sibuk menghafal bedanya huruf dengan titik di atas dan huruf dengan titik di bawah. Suaranya lembut, jernih dan mengalun dalam tarikan nafas yang teratur halus. Pokoknya, di mataku Lina ada di atas yang lain-lain, seorang pelajar dan pembaca yang sangat istimewa.

Dia sangat gemar masak dan menghidangkannya untuk siapa saja. Pengajian di rumahnya selalu marak dengan aneka makanan lezat dan ibu-ibu yang gemar bersantap. Karenanya tidak heran jika di setiap kesempatan kami mendapati makanan istimewa di luar rencana yang bertajuk "Ny. Darma Setiawan", serta serombongan ibu-ibu fans berat Lina mengantri di depannya. Meski demikian, Lina kelihatan sangat sehat dengan bobot tubuh yang stabil serta stamina yang tinggi di setiap bowling game yang dipimpinnya.

Sampai tiba suatu saat. Saat yang mengejutkan itu........

-ad-

Medical repport dari semua staff KBRI dan BUMN RI di Singapura telah dietrimakan kepada masing-masing pihak yang berhak. Umumnya baik semua, paling-paling hanya disertai catatan kecil yang nyaris tidak mengkhawatirkan. Tapi kami dengar punya Lina kembali dengan catatan merah. Dia dicurigai mengidap sesuatu kelainan pada paru-parunya yang mengakibatkan dokter harus mengulang seluruh pemeriksaan dengan lebih detail.

Tak seorangpun menyangka, tidak juga Lina dan keluarganya sendiri, mas Iwan serta ketiga buah cinta mereka. Di paru-paru Lina ditemukan sel-sel liar yang ganas. Padahal Lina dan suaminya tidak merokok. Bahkan ketika aku terbaring di ICU Raffles Hospital, Lina jugalah yang menyemangatiku dengan senyumnya yang lebar dan kegesitannya yang nyata bahwa dia sangat fit. Aku tahu kata teman-teman lama kami, dulu Lina pernah menjadi instruktur senam dan body language kelompok pengajian kami. Dapat dibayangkan betapa bugarnya Lina.

-ad-

Lina kedapatan jadi pasien di RS secara tidak sengaja oleh Lisa yang kebetulan bertemu di dalam RS. Tapi konon katanya, dia bersikap sangat positif. Dan Lisa bilang, dia tidak ingin diketahui sebagai pasien. Rahasia itu hanya dinikmatinya bersama Evi, sahabat terkarib Lina. Dan Evi, dia selalu tutup mulut serta hanya mengulum senyum pula di bibirnya yang merah menantang.

Itu kejadian dua tahun lalu. Ketika Lina masih jadi salah satu penduduk negeri Singa. Ketika suaminya belum dimutasi kembali ke Jakarta. Ketika aku belum juga ikut suamiku mutasi ke Cape Town. Namun, menjelang kepergianku aku sempat menerima pesan dari bu Dewi salah satu pejabat BUMN agar menggalang doa bersama untuk kesembuhan Lina. Dan kusampaikan niatan itu ke hadapan majelis pengajian kami, yang segera diprotes oleh Lina sendiri. Menurutnya dia tidak apa-apa. Kanker itu sudah hampir habis dilindas kemoterapi. Kami menghargai keinginnanya dan tidak banyak tanya. Kami lihat semburat merah di pipi Lina yang kini menggemuk sebagai pertanda kemajuan kesehatannya. Kami hanya bisa mendoakan dalam hati sendiri-sendiri, semoga Allah mendengar doa baik kami.

-ad-

Lina sempat mengucapkan selamat jalan padaku. Dia datang ketika teman-teman dan handai-taulan kami sudah pulang semua. Aku menangkap maksudnya. Lina tidak kuat berada di tengah-tengah kerumunan orang banyak. Waktu itu sebelas Juni duaributujuh. Hawa panas kemarau di Singapura melambaikan tangan menutup lembaran hidupku disana. Lina bilang, dia juga mendekati kepulangannya ke Indonesia namun masih tetap berharap bisa menjalin silaturahmi dnegan kami sekeluarga. Dan itu kami wujudkan dengan saling bertukar SMS setibanya aku di tempatku yang baru.

Tanpa dinyana, ternyata sepupuku jadi teman baik mas Iwan. Dan mas Iwan bahkan pernah jadi anak buah ayahnya, pamanku, di Jakarta dulu. Sepupuku bilang, Lina masuk RSPP dalam kondisi koma. Teman-teman pengajian di Singapura dan alumnusnya juga berebutan mengirimkan berita itu padaku. Menurut cerita keluarganya, kanker Lina sudah meyebar tidak saja sampai ke hati melainkan sudah bersarang di otak. Tak terasa air mataku luruh, membasuh hatiku yang pedih mengenangkan Aditya dan adik-adiknya yang masih butuh dampingan ibunda.

Kulangkahkan kakiku mengambil air sembahyang. Jadilah maghrib itu acara sembahyang terpanjang untukku yang bersambung dengan isya karena zikir dan permintaanku yang banyak. Aku tidak peduli apakah Allah berkenan mendengarnya. Yang jelas kusampaikan keinginanku untuk mengharap kesehatan Lina kembali prima. Kemudian bintang-bintang kecil di langit Cape Town menghiburku dengan semangat untuk tetap hidup, berdoa untuk Lina. Seakan-akan menyemangati diriku sendiri untuk tidak mengalah menghadapi kondisiku yang dulu jauh lebih buruk daripada Lina. Di luar sana katak bersahut-sahutan di tepian kolam. Dan cengkerikpun menyumbangkan suaranya ytng mengiris hatiku.

-ad-

Aku terbangun oleh sapaan SMS teman-teman yang ramai mengabarkan Lina dilarikan dengan ambulans udara ke Mt Elisabeth Hospital, Singapura. Konon didapati bahwa dokter yang merawat Lina di Raffles Hospital kurang cermat mengamati keadaan pasien, sehingga metastase sel-sel kanker itu membiak di luar dugaan. Kembali kusujudkan mukaku pada Illahi untuk Lina. Terbayang senyumnya yang teduh dan gerakannya yang halus.Terbayang wajah-wajah polos bocah-bocah itu yang seingatku sangat manis. Aku mengisak di tengah malam.

Berhari-hari lamanya aku berkomunikasi ke surga dan ke Singapura. Aku terus memantau kondisi Lina, baik melalui Lisa, Evi, maupun Susi dan Yanti. Mereka bilang Lina masih belum sadar penuh berhari-hari lamanya. Sampai alhmadulillah masuk sebuah SMS yang menceritakan bahwa ustadzah Azizah sedang menyuapi Lina di sisi pembaringannya di luar ICU. Mereka mulai bercengkerama, sekalipun ingatan Lina banyak yang hilang. Mereka bilang, mereka tersenyum getir karena Lina tidak mengenali anak-anak Evi yang dulu sangat akrab dengannya. Bahkan dia sendiri tidak tahu bahwa Evi ada di sisinya selalu sejak dia dilterbangkan dari Jakarta. Namun, keajaiban Tuhan menyantelkan memori Lina pada ustadzah yang dikenalinya luar dalam. Subhanallah!!

Siang itu aku tersenyum bahagia. SMS Yanti mengabarkan bahwa Lina mulai mengenaliku. Katanya dia bilang "Julie sekarang jauh ya? Rumahnya cantik di kaki gunung. Julie pernah kirim SMS dan gambar-gambar rumahnya di Cape Town" Begitu lapor Yanti yang kusambut dengan sujud syukurku.

-ad-

Lama aku tak mendengar kabar tentang Lina, sampai tiba-tiba dia ada di sisiku tadi. Suara itu sungguh nyata melantunkan ayat suci dengan merdu. lalu SMS-SMS itu. Dan akhir dari suatu perjalanan panjang Lina, seorang anak manusia sepertiku. Saatnya aku merenungkan arti ziarah kubur. Bahwa manusia akan kembali kepada khalikNya. Sebelum lebur daging dan tulang menjadi tanah, sudahkah aku menyiapkan diri? Menggali sendiri kuburku dengan cermat? Agar kelak orang bisa menyiraminya dengan doa-doa yang baik dan kenangan yang indah tentangku? Agar aku dapat mencapai rahmat surgaMU, firdaus yang abadi dimana bunga-bunga bermekaran indah dengan aroma wangi yang menyegarkan. Ya Allah, ampunilah segala kesalahan sahabatku Lina dan terimalah dia di surga abadiMu dalam pelukan nikmatMu ynag tiada habis-habisnya. Air mata ini meleleh lagi, mengiringi kepergian seorang ibu muda yang penuh dedikasi terhadap kelurganya dan sahabat yang nyaris tanpa cela. Lina, engaku mendahuluiku, aku mengiringimu dengan doa-doaku untukmu.

Selasa, 01 April 2008

MUHIBAH KULINER

Hari ketiga suamiku di tanah air. Katanya dalam SMS dia sedang makan Coto Makassar. Terbayang olehku kuah kentalnya yang merendam daging-daging jerohan musuh utama kami para sepuh. Maklum urusan kolesterol disitu bisa merambat sampai ke rumah sakit. Ih, ngeri. Bergidik bulu kuduk di tengkukku. Aku tidak ingin selain aku, suamiku juga ikut mencicipi kasur rumah sakit walau bagaimanapun empuknya.

Kujawab SMSnya dengan sepotong pesan agar dia berhati-hati terhadap asupan makanan selanjutnya. Aku tahu, dia sendiri cukup cermat menjaga pola makannya. Tapi, aku juga tahu di Indonesia dia serasa hidup dalam surga. Segala rasa makanan ada di hadapannya. Menghampiri begitu saja tanpa diminta.

-ad-

Aku ingat di muka rumah besar kami. Segerobak martabak manis setiap sore selalu menanti untuk dijemput pembelinya. Tidak pernah lama dan tidak pernah sempat menjadi dingin berdebu, martabak-martabak "kosongan" yang betul-betul tanpa isi apa-apa selain selai kacang dan susu kental manis itu berpindah ke mobil-mobil penggemarnya. Minimal ke tangan pejalan kaki yang tinggal di sekitar situ seperti diriku.

Dulu, sore hari jam setengah lima, aku kerap membeli barang sewajan untuk kupersembahkan kepada suamiku. Bapakku juga suka akan rasanya yang manis legit. "Martabak Singgalang", begitu bunyi tulisan di kaca gerobaknya. Dengan seribu rupiah dikala itu, kami serumah sudah bisa puas menikmatinya sambil menyeruput teh kental cap botol dari bungkusnya yang hijau tua atau secangkir kopi tubruk. Penjualnya dua bersaudara. Yang seorang lelaki separuh baya berpostur gemuk yang sudah setia berdiri mengocok adonan sejak tahun enampuluhan di Pasar Mawar yang kini telah berubah wajah. Anehnya, sekalipun kini dia diasisteni lelaki muda usia yang gesit karena posturnya yang langsing, rasanya tetap sama. Legit, manis semanis budi bahasa penjualnya. Bahkan mengalahkan rasa Martabak Bangka di Gang City atau Jalan Ranggagading. Martabak itu hanya satu sisi dari wajah kuliner kampung halamanku.

Di tengah pasar ada lagi bakmie bakso yang sedap seperti namanya. Jangan tanya soal halaal tidaknya. Sekalipun penjualnya babah dan tacik tapi semua pegawainya serupa denganku. Sawo matang dengan logat daerah yang kental. Yang setiap waktu shalat bergantian menghilang satu demi satu ke Masjid Agung di sisi pasar. Jubelan pembelinya di kios sempit yang pengap berasap itu, luar biasa. Ada kepala-kepala tanpa jilbab, namun tak sedikit yang rapat hingga menjuntai ke dada. Termasuk guru-guru dan kepala sekolah di sekitar pasar tempat aku menyekolahkan anakku

Dimana-mana bakso pasti seragam. Yang membedakan Mie Bakso Sedap dari Mie Bakso Bandung langgananku lainnya di bawah Toko Ramayana adalah bentuk bakmienya. Bakmie di situ terasa buatan sendiri. Bahkan aku pernah menyaksikan tacik sedang berkutat sibuk membanting adonan serta membentuknya di samping adonan-adonan pangsit siap goreng.
Tacik agak gemuk dan senang mengobrol denganku. Katanya, dia selalu mengupayakan bahan segar dari kualitas unggul. Daging sapinya dibeli dari pak Haji pengusaha daging di kios Nyalindung di deretan terbelakang Pasar Anyar itu..Sayurannya, caysiem baru petik yang diturunkan petani dari truck yang melaju membelah Jalan Raya Puncak. Ditambah irisan ayam dan jamur masak aduhai sedap sekali rasanya. Air liurku menetes disini.

Bakso Bandung itu juga punya rasa tersendiri. Sama-sama sedap, bahkan yang ini sedikit lebih "prestigious" karena dikelola dengan sangat hati-hati. Kiosnya jauh lebih sempit, namun terbuka lebar dan tidak berjejalan. Hanya ada lima meja kapasistas empat orang menyebar di situ. Tak ada pula mesin gilingan es batu seperti di Sedap. Yang ada hanya sebuah koelkast kecil tempat menyembunyikan beberapa botol teh Sosro, Fanta, Sprite atau Coca Cola. Aku tahu pemiliknya juga seorang Tionghoa. Tapi, ceu Tati dan teman-temannya yang jelas muslimah itulah yang mengundang selera untuk selalu duduk mencicipi rasanya. Dengan harga sedikit di atas Bakmie Bakso Sedap, dia punya kulifikasi Sedap Plus. Sepi dan bersih, itulah kelebihannya.

SMS itu memanggilku lagi. Ada dia di seberang sana. Katanya, dia akan pergi tidur sekarang. Dan dia bilang, dia akan memperhatikan semua peringatanku. "Terima kasih untuk semua perhatian dan kasih sayangmu," tutupnya. Kucium layar hand phoneku dengan gemas, seakan-akan aku sedang menciumi dirinya, belahan jiwaku yang sudah menyatu dalam segenap kehidupan serta tarikan nafasku selama tiga puluh empat tahun lamanya.

-ad-

Di ruang makan kudengar suara anakku menyetel TV yang disetnya menjadi tontonan film. Kulongokkan kepalaku, dan kudapati adegan-adegan bayi mungil menangis keras di layar kaca. "Oh, kamu menonton video bayimu sendiri?" tanyaku mendekat. Dia tersenyum manis. "Memory," katanya. "Times flies so fast," sebutnya lagi kali ini sambil mengunyah keripik kentang rasa asam yang diambilnya dari kantong hijau. "Ya, dulu kamu masih menetek padaku," jawabku menjejerinya. "Sekarang makananmu sudah beginian, junk food yang nggak bermutu," sindirku. Matanya melirik padaku mempersilahkan aku duduk di sampingnya. "Ibu mau?" tanyanya lugu.

Aku menggeleng bahkan mulai berceramah padanya. Tentu tentang masa lalu dan makanan itu. "Apa nama klinik bersalin tempat lahirmu?" tanyaku memancing percakapan. "RS Azra," tempat dimana aku dirawat untuk DBDku tahun 2003 katanya. "Disitu ya dik, di depan RS ada soto mie yang lezaaaaat sekali," kataku seraya menelan liur. Potongan-potongan tomat yang segar berpadu dengan kubis dan daging-daging berlemak serta gorengan terigu berisi bihun disiram kuah bening bermain-main di mataku. Anakku menatapku. "Ibu suka ya?" tanyanya lugu. " Ya lah, jajanan ibu waktu masih sekolah dulu," jawabku santai.  Lalu memori itu melayang-layang lagi, membalik ingatanku ke masa-masa berseragam hijau putih di SMA Negeri I Bogor.

-ad-

Di sisi kiri sekolah, ada mushala cukup luas untuk civitas academica melaksanakan ibadah.
Setiap giliran sekolah siang -maklum waktu itu sekolah negeri kekurangan lahan sehingga dua sekolah disatukan- ada saja orang beribadah sore disitu. Tapi lebih ramai lagi justru anak-anak yang memanfaatkan waktu istirahat untuk jajan dan mengobrol. Kami biasa mangkal di daerah sebelah kanan sekolah yang merupakan lahan SMP N I. Di balik pagar kawat berduri pembatas Gang Selot, berderet tukang makanan. Mulai dari kedai gerobak penjual permen dan sejenisnya, kue basah, doclang, soto mie, mie bakso Jawa hingga es baik cendol maupun es puter. Doclang pernah jadi satu favoriteku. Isinya sederhana, cuma berupa ketupat yang dicampur tahu goreng serta kerupuk disiram dengan bumbu kacang kental bercampur kecap. Tapi rasanya, mak nyuss, kata pak Bondan Winarno sekarang, sih.

Di sebelahnya adalah mamang ampiran favoriteku. Ya si soto mie itu. Aku biasa menghabiskannya semangkuk dengan taburan seledri-bakung dan bawang goreng yang minta spesial banyaknya sampai-sampai suatu hari si mamangnya mengeluh rugi melayaniku. Biasanya Sulistyaningwati sahabatku berambut tebal panjang ikut juga memesan semangkuk disertai es cendol yang aku akhirnya ikutan juga memesan.Dalam hal ini aku ekstra hati-hati, sebab takut ketahuan mas Dj yang asyik mengobrol dengan teman-teman seangkatannya di sudut lain sekolah kami. Mas Dj sangat benci melihatku menyeruput es cendol. "Nanti kamu batuk lagi," begitu selalu peringatannya berulang-ulang sehingga aku terpaksa merelakan cacing tanah menghabiskan semua cendolku yang melorot ke bawah karena kutumpahkan dari gelasnya.

Kini di depan video anakku sambil merabai rambutnya yang tebal aku terkikik sendiri. Mengingat baru saja aku memperingatkan mas Dj untuk berhati-hati menyantap Coto Makassar. Oh Allah! Dunia terasa seakan terus berputar. Bagai roda. Dari masa silam ke masa kini, kembali pula akhirnya ke masa silam. Kusudahi kenanganku samil meneguk segelas air putih dari dispenser kami yang berjudul :H2O pada gallonnya. Selamat malam sayangku, ibu mau tidur. Bersama mimpi-mimpi itu. Mimpi indah tentangmu, tentang anak-anak kita dan tentang kehidupan kita dulu, kini dan nanti.
Pita Pink