Powered By Blogger

Sabtu, 22 Desember 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (21)

Telah cukup lama saya tinggalkan laman ini. Laman yang memuat cerita mengenai kanker penyakit menakutkan yang mematikan itu. Dan malam ini saya tersadar untuk segera melanjutkannya, karena kemarin pagi selepas subuh masuk sebuah pesan pendek dari teman maya saya yang merasa kehilangan kisah saya. Ada terbersit kekhawatiran padanya, meski tentu saja kekhawatiran yang wajar. Pasalnya minggu-minggu ini keadaan fisik saya semakin memburuk. Tumor saya pecah, menimbulkan nanah yang mengucur basah menembus pakaian saya. Rasa sakitnya jangan ditanya, sehingga saya pun tak mampu lagi mengenakan pakain yang wajar.

Sebetulnya bersamaan dengan itu saya juga tiba-tiba teringat lagi akan kisah seorang diplomat wanita dari generasi terdahulu yang sudah berpulang akibat kanker payudara seperti yang saya alami. Sore itu, seminggu yang lalu, saya melihat menantunya di tayangan televisi yang ternyata juga mewarisi gen kanker dari orang tuanya sendiri. Katanya, ibundanya sudah meninggalkannya saat dia masih remaja. Di situ dia bercerita tentang dirinya, keluarga besarnya dan kesehariannya. Presenter cantik yang cerdas itu ternyata pengidap kanker ovarium, seperti mendiang ibundanya. Sedangkan, ibu mertuanya yang saya kenal, cukup lama berjuang mengenyahkan kankernya.

Diplomat karier yang cantik itu tetap sibuk menunaikan tugasnya, ketika penyakit kanker pada payudaranya sudah diketahui. Saya ingat betapa beliau masih terbiasa mengerjakan laporan-laporannya untuk dikirimkan ke Pejambon walau nyaris lewat tengah malam. Waktu itu, saya sedang menemani mantan suami saya yang merupakan diplomat muda yang baru saja belajar bekerja (magang). Kegesitan dan ketangkasan ibu yang satu itu amat menonjol membuat kami semua terkagum-kagum. Staminanya amat prima, itu pendapat kami. Dengan telaten beliau menuntun juniornya mengerjakan tugas-tugas kantor mereka.

Sampai akhirnya di periode awal tahun 1990 tibalah berita duka cita itu. Beliau menyerah meski telah menjalani pembedahan diikuti rangkaiannya berupa kemoterapi dan radiasi di kota Bonn, Jerman tempat beliau bertugas. Ada teman saya di sana yang menyaksikan sendiri rangkaian pengobatan dan perjuangan beliau. Katanya, beliau tak kenal menyerah. Di sela-sela padatnya tugas, beliau tetap berobat; sedangkan di sela-sela pengobatannya, beliau pun tetap mengerjakan tugas-tugas kantornya. Di saat itu, kata teman saya, beliau sudah sama sekali mengikuti gaya hidup vegetarian karena dokternya menganjurkan demikian. Memang memperbanyak asupan sayur-mayur dan buah-buahan yang kaya antioksidan adalah keharusan untuk penderita kanker apa pun.

Suami beliau yang merupakan sastrawan ternama, juga meninggal dunia di usia lanjut (79 tahun) karena kanker prostat. Biasanya penyakit ini memang menyerang orang-orang tua dengan gejala sulit buang air kecil atau buang air kecil terputus-putus serta merasa tidak tuntas. Pada akhirnya nanti, tulang belakang di sekitar panggulnya akan terasa sakit disebabkan penyebaran sel-sel kankernya. 

Saya sendiri tak melihat penderitaan beliau, namun mendengar dari asisten pribadi beliau yang saya kenal baik, Fitriasari. Ceritanya, beliau juga sudah menjalani operasi dan kemoterapi serta radiasi di rumah sakit di Republik Afrika Selatan yang relatif modern. Ingat saja, transplantasi (pencangkokan) jantung yang pertama di dunia berlangsung di sana puluhan tahun yang silam. Jadi kemajuan teknologi pengobatannya tak diragukan lagi, meski di belahan bumi Afrika yang diasosiasikan orang dengan keterbelakangan.

Meski begitu, kondisi pasien sepuh ini terus saja memburuk hingga akhirnya keluarganya memutuskan untuk dirawat jalan saja agar beliau senantiasa berada dalam lingkungan yang menenteramkan, yakni kalangan keluarganya sendiri. Di akhir hayatnya beliau cuma mampu berbaring-baring tanpa bisa melakukan apa-apa lagi. Saya percaya itu, karena sesudah sekian tahun beliau berpulang, saya menemukan draft naskah novel yang sedang ditulisnya tapi tak tuntas di meja kerja yang pernah beliau gunakan selagi hidupnya. Sayang saya tak terpikir untuk menyelamatkan naskahnya. Saya biarkan saja lembar-lembar kertas itu menguning dan mulai keriting kusut di suatu rak dinding yang dingin di negeri yang jauh itu. Kini hanya ada penyesalan pada diri saya, sebab saya tak yakin ada orang yang menaruh minat menyimpan dan mengabadikan naskah itu. Sebab tak semua orang membaca sastra, bukan?

***

Kanker memang amat menyakitkan dan perlu ditangani dengan tepat sekaligus hati-hati. Sewaktu menyadari bahwa penyakit mematikan ini kembali menyerang saya, yang terbayang adalah mahalnya biaya perawatan saya di rumah sakit. Akan ada komponen biaya pemeriksaan dokter, pembedahan, radiasi dan kemoterapi serta sudah barang tentu administrasi. Sepanjang pengetahuan saya, semua terapi akan memakan waktu lama yang berimbas pada mahalnya ongkos yang dikeluarkan. Celakanya, saya kini bukan istri Pegawai Negeri Sipil (PNS) lagi. Sebab perceraian yang dipaksakan sepihak tanpa izin atasan telah membuat saya terpuruk menjadi seseorang tanpa arti. Hak-hak pemenuhan hajat hidup saya tak pernah lagi saya terima, termasuk hak penggunaan Asuransi Kesehatan (Askes) yang diberikan kepada setiap PNS dan keluarganya. Padahal menurut peraturan kepegawaian pada Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 pasal 8 ayat 2, sebagai istri yang diceraikan dan tidak menikah lagi, saya berhak memperoleh sebagian gaji mantan suami saya. Sayang nasib baik belum berpihak kepada saya.

Oleh sebab itu, saya kemudian beralih ke pengobatan alternatif yakni pengobatan herbal melalui seorang sinshe Cina. Kepadanya biaya pengobatan bisa ditekan lebih memadai untuk saya. Obat kemoterapi yang harus digunakan pun dimasukkan per oral sehingga harganya lebih murah dibandingkan kemoterapi di rumah sakit. Secara logika mengikuti penjelasan sinshe, keuntungan pengobatan ini adalah saya tak perlu disakiti namun obat kemoterapinya tetap akan masuk ke dalam tubuh bahkan bisa menjangkau seluruh bagian tubuh sebab larut di dalam aliran darah.

Satu hal yang harus saya jaga benar adalah, kondisi kejiwaan saya. Saya tak boleh banyak berpikir. Stress harus dihindari. Selain itu, kelelahan fisik pun tak boleh terjadi. Dengan kata lain, saya harus beristirahat total.

Hal-hal menyenangkan itu ternyata jauh dari jangkauan saya. Selain tak punya penata laksana rumah tangga yang bisa membantu melakukan tugas-tugas harian saya, hidup saya pun penuh dengan tekanan. Ada pihak-pihak tertentu yang sepertinya tak menghendaki hidup saya bahagia. Oleh karena itu, saya rentan terkena stress yang berimbas pada meruyaknya penyakit saya.

Kini tumor saya pecah di bagian luar, menimbulkan luka yang basah menyakitkan. Sinshe mengatasinya dengan memberikan sejenis serbuk obat luka yang terbuat dari  akar-akaran. Dengan menaburkannya di atas luka pecahan tumor saya seharusnya luka itu akan mengering. Namun entah mengapa, serbuk yang amat mahal harganya itu tetap tak mampu menolong keadaan saya. Sehingga akhirnya sinshe menganjurkan saya untuk membeli antibiotika yang amat terkenal dalam khazanah pengobatan Cina, yaitu obat Pien Tze Huang. Obat ini biasa digunakan sebagai pelawan infeksi, termasuk membantu mempercepat penyembuhan pasien yang habis menjalani operasi.

Untuk mendapatkannya, seorang pasien mesti teliti. Sebab konon sinshe mengatakan, di negara asalnya sana, obat itu hanya diproduksi oleh empu-empu tertentu yang betul-betul adidaya. Bahkan pabrik obat keluarga sinshe saya di Propinsi Guangzhou pun tidak bisa membuatnya. Itu sebabnya obat berbentuk lempengan sebesar setengah jari manusia yang kemudian akan ditumbuk terlebih dulu sebelum diserahkan kepada pembelinya, harganya pun luar biasa mahal berpatokan kepada kurs dollar yang berlaku saat itu. 

Obat yang satu ini dijual dalam kemasan karton kecil berwarna merah jingga dengan logo keperak-perakan. Di Indonesia, Pien Tze Huang yang terdaftar pada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kementerian Kesehatan adalah hasil impor PT. Saras Subur Ayoe. Selain yang itu kata sinshe, adalah obat dengan kualitas nomor dua. 

Anak-anak saya yang alhamdulillah selalu sabar serta ikhlas mengupayakan pengobatan untuk saya mencoba untuk mendapatkannya. Pada masa ini harganya berkisar enam ratus dua puluh ribu rupiah. Obat ini dibagi menjadi enam butir kapsul yang harus dimakan sehari tiga kali. Jika beruntung, dengan dua dosis atau dua belas kapsul saja, pasien sudah tertolong. Namun tak demikian halnya dengan saya, agaknya obat ini seperti tak sudi meringankan beban penderitaan saya. Sehingga akhir-akhir ini sinshe bahkan menganjurkan saya untuk pergi ke rumah sakit dan menjalani pengangkatan payudara saya.

Duh, operasi lagi. Itu keluhan saya ketika menanggapi usulannya. Sudah barang tentu saya tak mampu mendanainya. Belum lagi saya dan anak saya teringat pesan sinshe untuk menghindari operasi sedapat mungkin. Dulu, di masa awal pengobatan kepadanya, sinshe sangat senang mendapati tumor saya belum dilukai, belum pernah dioperasi. Tapi mengapa kini justru larangannya dicabutnya sendiri?

Mencermati kegelisahan dan tanda tanya kami sinshe mengatakan, larangan dioperasi hanya berlaku untuk pasien yang tumornya masuk kategori prima, yakni tumor yang belum disentuh-sentuh pisau bedah atau alat apa pun juga. Sebab dengan dilukai, sel-sel kanker seperti ceritanya dulu, akan berontak melawan menjadi semakin ganas. Itu sebabnya dulu kista pada organ reproduksi saya selalu tumbuh kembali. Tapi kini berhubung tumor saya sudah luka dengan sendirinya, tak ada cara lain untuk menghilangkan sakit yang menyiksa itu selain membuang tempat tumbuhnya. Artinya payudara saya diangkat seluruhnya. Lalu nanti bekas-bekasnya digempur dengan kemoterapi, radiasi dan juga obat-obatan herbal darinya yang tetap harus saya makan seperti sekarang. Syaratnya cuma satu, saya tak boleh menyatukan obat-obat rumah sakit dengan obat herbal itu. Jadi saya harus mengonsumsinya dua jam setelah selesai dikemoterapi atau menelan obat-obatan dokter.

Penjelasannya mudah dimengerti dan sangat masuk akal pula. Sebab, sinshe ternyata memperhitungkan juga mahalnya biaya pengobatan yang mesti saya tanggung hingga sembuh tuntas. Kata sinshe, pengobatan herbal yang diberikannya bukanlah obat yang bisa segera menyembuhkan. Diperlukan waktu bertahun-tahun untuk memperlihatkan hasilnya. Sangat berbeda dengan pengobatan empiris dari rumah sakit. Jadi, kalau saya dioperasi, maka waktu penyembuhan penyakit diharapkan lebih singkat sehingga biaya dapat ditekan.

Saya tercenung mencermati penjelasannya. Di masa kini di mana manusia kelihatannya sangat individualistis, ternyata masih ada yang sudi memikirkan manusia lainnya, meski dia bukan sanak bukan pula saudara. Dan, sinshe ini cuma salah satu di antaranya. Sebab ternyata, kabar sakit saya sudah menyebar di kalangan teman-teman saya, baik teman sekolah, teman kuliah maupun teman-teman anggota Dharma Wanita Persatuan di kementerian tempat mantan suami saya bekerja. Lalu mereka secara beramai-ramai menengok saya serta merundingkan cara terbaik untuk menyelamatkan nyawa saya. 

Di antara bibir-bibir yang mengembangkan senyum dan mata-mata indah yang memancarkan kehangatan, mereka akan berjuang bersama-sama mengusahakan pengobatan itu untuk saya. Bahkan secara tak terduga, Allah lagi-lagi telah menampakkan kuasaNya bagi saya. Minggu lalu ketika dalam perjalanan menuju kampusnya di Jakarta, anak bungsu saya bertemu secara tak sengaja dengan salah seorang dari mereka. Subhanallah! Teman saya yang satu ini menyuruh anak saya membujuk saya untuk mau berobat ke RS Kanker Dharmais. Beliau sendiri menjanjikan akan membawa saya kepada dokter kenalannya di sana, lalu teman-teman yang lain akan bergantian bersama-sama merawat saya. Ya Tuhanku! Panjang benar uluran TanganNya, KasihNya tiada henti dan tiada berbatas. Artinya, tiada pula saya dapat membalasnya. Kini saya dalam kebimbangan, bimbang menanti saat yang tepat untuk menjalani semuanya. Sebab, masih ada faktor psikologis yang mesti saya pertimbangkan sebelum saya memulai perjuangan saya yang selanjutnya. Yakni perjuangan kali ini untuk melawan penyakit mematikan ini guna meraih mahkota kebahagiaan yang akan saya persembahkan bagi anak-anak saya yang budiman. Saya cuma bisa merenunginya sekarang ini. Hidup dengan penyakit kanker benar-benar tidak mudah kiranya.

(Bersambung)

Senin, 03 Desember 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (20)

Ada yang menyentuh hati saya di akhir pekan kemarin. Anak saya Andrie yang baru mulai bekerja untuk pertama kalinya, menyatakan diri akan pulang ke rumah menengok saya. Meski di hari Sabtu siang dia mengatakan masih sibuk mengerjakan pekerjaan kantornya yang belum terselesaikan, tetapi dia tetap bersikeras pulang barang semalam. "Pokoknya aku harus melihat sendiri bagaimana sesungguhnya keadaan ibu, sebab sekarang ibu 'kan sudah jadi tanggung jawabku," katanya beralasan waktu saya menyarankan agar dia terus saja mengerjakan lemburannya demi pembelajaran akan tugas-tugasnya.

Benar saja, lepas maghrib ketika saya baru saja menyudahi dzikir saya, anak saya masuk ke dalam kamarnya yang kini saya okupasi sejak sakit. Suaranya yang khas membuat telinga saya langsung mengangkat kepala tegak memandang ke arah pintu kamar. Dengan wajah tenangnya yang terkesan lugu, dia mengembangkan senyum lalu meletakkan tasnya di sisi saya. Diambilnya tangan saya ke dalam genggamannya lalu diciumnya dengan santun. "Assalamu'alaikum, ibu bagaimana?" Itu kalimat yang dilontarkannya langsung mengarah kepada saya.

"Ah, kamu terlalu mengkhawatirkan ibu. Semua masih seperti kemarin kok, tapi ibu sudah terbiasa mengatasinya. Kamu sehat-sehat 'kan?" Jawab saya berbalik arah meneliti keadaannya seraya menajwab salamnya. Dengan berpakaian celana pendek dan kaus oblong merah cabai, kelihatan benar bahwa anak saya sangat santai. Dia mengangguk menjawab pertanyaan saya itu, lalu mulai memperhatikan saya, selagi adiknya asyik menuturkan kejadian kemarin dulu yang membuat dirinya panik. "Oh, jadi sampai hari ini sinshe nggak ngasih tambahan obat lagi?" Simpul anak saya begitu adiknya selesai bertutur.

"Ya, nanti atau besok akan ibu coba menghubunginya lagi lewat SMS," jawab saya. "Tapi kamu jangan kuatir, ibu baik-baik saja, cuma sekarang kau lihat, ibu berpakaian begini longgar. Dan lagi kalau kau lihat dada ibu basah, itu artinya luka ibu menyemburkan cairan yang bau itu, insya Allah dengan doa-doa dan ketekunan ibu makan obat serta diet semua akan lekas membaik," saya kemudian bangkit dari duduk saya lalu melipat pakaian sembahyang saya. Sudah lama memang saya bersembahyang sambil duduk saja, sebab, untuk membungkukkan tubuh, rasanya dada saya nyeri sekali.

Anak saya beralih mengarahkan pandangannya ke dada saya yang mulai saya lucuti dari pakaian sembahyang. Ada noda basah kekuningan di sekitar tempat tumbuhnya tumor saya. Sejenak dia terdiam, kemudian menarik nafas dan meminta saya untuk bersabar. "Begini lho, sinshe bukannya menyerah mengatasi penyakit ibu, cuma sedang berupaya mencarikan obat lain lagi," ucapnya berupaya berpikiran baik menenangkan saya.

"Ya, betul begitu. Kemarin dulu waktu aku telepon, sinshe 'kan bilangnya nanti waktu treatment berikutnya diusahakan akan membawakan solusi lain. Dia akan carikan obat lagi yang sekarang belum diketahuinya, ibu jangan panik," timpal adiknya menjelaskan.

Malam itu jadi malam Minggu paling mengesankan untuk saya. Sebab itu malam Minggu pertama saya menyaksikan anak saya beristirahat dari rutinitasnya yang baru, menjadi pegawai. Lalu kami mengobrol panjang-lebar mengenai pekerjaannya. Katanya dia masih belum terbiasa, namun mulai mengerti dan menyukainya. Bahkan karena kantornya sangat kecil, dia akan diberi seorang teman lagi dalam waktu sangat dekat ini untuk mengurangi bebannya. Sebab banyak klien besar yang menggunakan jasa konsultan di kantornya, tetapi belum tertangani dengan baik. Saya biarkan anak-anak saya mengobrol dengan ramainya. Bahkan kemenakan saya yang memang selalu pulang ke rumah di akhir pekan, kebetulan kali ini juga bekerja lembur hingga tiba lebih malam dibandingkan adiknya tadi. Dengan pengalamannya dia mengajari anak saya untuk bersabar dan bertahan, karena mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat bukanlah hal mudah. Bahagianya saya mendengarkan bincang-bincang mereka yang diiringi suara hiburan dari televisi yang dinyalakan. Rumah kami kembali ceria.

***

Keesokan paginya anak-anak mengajak saya membeli pakaian sehari-hari yang longgar, selagi saya kembali mengirimkan SMS keluhan kepada sinshe saya. Jujur saja, selapis kain tipis yang menyentuh daerah payudara saya yang meradang, mampu membuat saya meringis bahkan menjerit tanpa kendali. Karenanya mereka begitu berniat untuk mengganti baju-baju saya yang tak memadai lagi itu. Padahal saya tahu, sebagai pegawai baru anak saya sendiri mempunyai banyak kebutuhan untuk dirinya memulai rutinitas sebagai orang kantoran.

Kami menuju ke pusat pertokoan kuno di dekat rumah orang tua saya dulu. Di situ saya yakin akan menemukan yang saya butuhkan, sekaligus membeli strawberry organik. Strawberry yang kaya akan antioksidan biasa saya konsumsi bergantian dengan buah naga berdaging merah sesuai saran sinshe. Saya kemudian juga tertarik membeli sepasang sandal karet kulit di toko tua yang kini keadaannya sungguh serupa gudang. Dengan mengenakan sandal seperti itu yang tanpa hak, saya bebas bergerak di dalam rumah saya, sekaligus cukup pantas jika tiba-tiba ada tetamu datang menengok. Terus terang saja, sejak saya sakit ini banyak orang yang tanpa diduga sengaja datang menengok. 

Pasangan tua pemilik toko itu menyambut kami dengan ramah. Lagak bicara dan gaya bahasanya mengingatkan saya akan tokoh-tokoh pada boneka jari. Saya tersenyum sendiri karenanya. Ketika akan berpamitan, saya didoakan supaya senantiasa sehat walafiat, yang tentu saja saya jawab dengan kata amin. Saya bilang, saat ini justru saya sedang sakit kanker payudara seperti tetangga di sebelah rumah merangkap toko mereka. Entah mengapa, tiba-tiba saya jadi ingat ibu teman SD saya yang berprofesi sebagai penjahit yang meninggal akibat kanker payudara lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Sakitnya tidak lama, tahu-tahu kami semua sudah kehilangan penjahit pakaian kesayangan kami, seorang Cina berumur sekitar lima puluh tahunan yang gemuk.

Demi mendengar penuturan saya, nyonya dan tuan pemilik toko itu terperangah. Mereka membenarkan bahwa tetangganya dulu meninggal karena kanker payudara yang tak terselamatkan lagi. Dari mulut pasangan tua itu saya baru tahu bahwa setelah dioperasi di rumah sakit besar di Jakarta, ibu teman saya ini justru memburuk. Tumornya sama seperti tumor saya, pecah bahkan menyebar hingga ke bagian lain tubuhnya yang sehat. Jiwanya terenggut begitu saja, meninggalkan anak-anaknya, yang di antaranya seorang gadis pelajar SMA.

Saya sampaikan kepada pemilik toko sandal itu bahwa karena saya sudah sering dioperasi namun masih juga menyimpan sel-sel tumor, maka saya lebih memilih untuk berobat kepada sinshe saja. Tak dinyana, pasangan tua itu mendukung upaya saya. Katanya, itu lebih baik daripada berobat ke dokter, sudahlah mahal, disakiti, tak tertolong juga. Sebagai masyarakat keturunan Cina tentu saja beliau berdua amat percaya akan keampuhan pengobatan jamu Cina begini. Hanya saja mereka berpesan untuk bersabar dalam berobat, karena sesungguhnya iklan sinshe yang dulu kerap tayang di televisi banyak yang menyesatkan. Menurut mereka, tak akan mungkin suatu penyakit serius bisa ditaklukkan jamu hanya dalam waktu lima kali terapi saja. Dan saya pun menjadi semakin yakin untuk melanjutkan pengobatan ke sinshe. Sebab, sinshe pun berpendapat demikian. Di sana, di kuil Shaolin tempatnya menimba ilmu dan ditempa keluarganya, para sinshe dan ahli obat-obatan Cina diberitahu bahwa mengobati pasien itu tak bisa tergesa-gesa, ingin segera menyembuhkan. Sebab, sinshe dan herbalis itu hanyalah manusia yang ilmu serta kepandaiannya terbatas. Jadi kuncinya adalah pada kata sabar dan tekun telaten. Maka terkembanglah senyum di bibir saya mengenangkan itu semua. Senyum terima kasih karena sudah dibantu diingatkan untuk pantang menyerah menjalani pengobatan saya.

***

Sepulangnya berbelanja pakaian saya, sebetulnya hati saya menjadi semakin sedih. Sebab, lagi-lagi tiba-tiba saya mesti mengingat sebuah kasus kematian akibat kanker. Padahal jauh di dalam hati ada keinginan saya untuk melupakannya.

Sehabis makan siang dan menelan semua obat yang diharuskan, saya minta diri untuk beristirahat. Saya tunaikan dulu shalat dhuhur saya yang tertunda, sebelum akhirnya saya naik ke atas kasur. Sedangkan anak-anak saya sibuk berdua-dua mempersiapkan kebutuhan Andrie yang akan dibawa ke Jakarta sambil menuntaskan rancangan kegiatan yang harus dilakukan minggu ini.

Diam-diam saya memasang telinga saya. Dan dalam tidur-tidur ayam saya merasa menjadi orang yang sangat beruntung. Betapa tidak, anak-anak itu, kini mereka telah pandai mengambil alih peran orang tua. Mengelola rumah tangga sambil menata masa depan mereka. Ah, beruntungnya saya.

Saya mencoba bangkit dari pembaringan ketika, tangan anak saya menyentuh lembut pipi saya, akan minta diri berangkat ke Jakarta lagi. "Doakan aku ya bu, semoga pekerjaanku terpakai, dan aku bisa cepat mandiri seutuhnya. Ibu nggak boleh mikir macam-macam, percaya saja bahwa takdir kita adalah takdir yang baik adanya............," begitu ucap anak saya. Lalu tangan saya diraihnya dibawa ke hidungnya. Saya pun membalasnya dengan kecupan di pucuk rambutnya. Ah, wangi rambut dan tubuhnya itu masih sama seperti dulu. Wewangian lelaki yang sejati. Percampuran antara keringat dan harumnya parfum pejantan. Saya menebar senyum termanis untuknya. Sampai jumpa minggu depan ya nak..............

(Bersambung)

Minggu, 02 Desember 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (19)

Air mata adalah sekresi langka yang terpaksa saya keluarkan dalam minggu ini. Pertama di awal minggu. Wujudnya berupa linangan karena buncahan rasa syukur di dalam hati. Sebabnya, anak lelaki saya, Andrie pada akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga konsultan di Jakarta yang dulu pernah menyatakan diri menolak lamaran yang diajukannya.

Awalnya anak saya yang sudah setengah tahun lulus kuliah, berniat mencari pekerjaan tak jauh-jauh dari rumah dengan maksud agar bisa tinggal di rumah merawat saya. Kebetulan sekali sahabat baiknya semenjak kuliah sudah bekerja lebih dulu, dan mendapati kekurangan staf di kantornya. Dia kemudian berinisiatif mengajak anak saya ikut melamar. Sayang lamaran anak saya tidak kunjung dibalas, sehingga terkesan anak saya tidak bisa bekerja di sana. Namun tanpa diduga, setelah anak saya juga sibuk mengikuti test penerimaan pegawai di sejumlah tempat, hari Jumat seminggu yang lalu sahabatnya memintanya datang menghadap kepala bagian kepegawaian kantornya itu keesokan harinya. Dalam pesan singkatnya, tiba-tiba anak saya diminta datang untuk diwawancarai tanpa perlu membawa surat lamaran.

Alangkah gembiranya kami, tapi tentu saja dicampuri rasa tak percaya sebab tanpa bersusah payah menulis surat lamaran. Janji mereka, anak saya cuma diminta menggandakan ijazah serta kartu identitas dirinya saja. Tak lebih tak kurang. Kejadian ini berlangsung ketika saya baru saja selama lima hari melaksanakan sembahyang tahajjud saya kembali, dengan melawan segala rasa yang mengganggu saya mengikuti saran dari sinshe yang merawat saya. Pesannya dalam kunjungan-kunjungan saya yang terakhir ke tempat prakteknya, saya diminta melaksanakan meditasi malam hari, sebab itu merupakan jalan untuk meminta segala hal, termasuk kesembuhan saya. Dia sendiri berjanji akan mendoakan saya sebaik-baiknya melalui meditasi yang dilakukannya. Lalu saya pun mengerjakannya. Meski banyak kendala, di antaranya adalah rasa sakit yang membuat saya ingin terus berbaring tapi saya tekadkan untuk mulai beribadah malam kembali.

Kenyataannya, setelah datang menghadap ke kantor yang memanggilnya di hari Sabtu, Minggu malamnya anak saya sudah mulai menginap di Jakarta karena kantor itu mengharapkannya mulai bekerja hari Senin pada pukul tujuh pagi. Padahal dari rumah kami agak sulit mendapatkan jadwal yang pas untuk berangkat dengan kereta listrik. Akhirnya, sahabat anak saya mengundangnya untuk menginap di tempat kostnya sambil mencari rumah kost sendiri.

Semudah itu semuanya terjadi, di hari Rabu malam, tiba-tiba dia mengabarkan bahwa rumah kost di daerah itu penuh semua. Ada tempat yang bagus, tapi harganya tak terjangkau. Sehingga saya menyarankannya untuk menghubungi kakaknya, yakni kemenakan yang saya asuh sedari kecil yang juga kost di Jakarta Selatan di daerah kantor anak saya Andrie. Seingat saya, kemenakan saya ini mengatakan rumah tetangganya yang menerima kost lelaki masih punya kamar kosong. Andaikata anak saya mau, dia akan mengajak untuk menyewa penatu pencuci pakaian mereka berdua. Dengan begitu ongkosnya akan lebih murah.

Mendengar saran saya, anak saya mengatakan akan menimbang-nimbang terlebih dulu karena dia masih ingin mencari kemungkinan tinggal bertetangga dengan sahabatnya agar bisa mengerjakan lembur mereka bersama-sama. Katanya lembur sering ada tiap hari, meski upahnya tak pernah dibayar. Saya hanya diam saja. Di dalam hati saya cuma mendoakan supaya keinginannya tercapai. Tak perlu kiranya saat sekarang memperhitungkan upah kerja. Sebab memperoleh pekerjaan secara tak diduga pun sudah membahagiakan benar. Maklum saya dalam keadaan sakit, dan anak-anak adalah penopang hidup saya. Lalu tak disangka-sangka lagi, dalam satu jam ke depan anak saya melaporkan bahwa dia sudah mendapat rumah kost yang lebih baik keadaannya dibandingkan dengan rumah kost temannya. Letaknya cuma di balik dinding rumah itu. Ongkos sewanya nyaris sama, bahkan ada kelebihan-kelebihan yang tak dimiliki di tempat sahabatnya. Katanya, saat itu dia menelepon sambil berjalan menuju ke rumah kostnya akan mulai tidur di sana. Subhanallah, semuanya begitu dimudahkan Tuhan.

***

Kali kedua saya menangis lagi, bukan disebabkan terharu atau bersyukur. Melainkan kesakitan. Sakit yang saya tak pernah membayangkannya sebelum ini. 

Hari itu saya sudah bertemu dengan sinshe. Obat taburan untuk tumor saya yang pecah menganga bernanah sudah di tangan saya. Isinya sangat sedikit, meski harganya tentu saja mahal. Sebab katanya, obat itu terbuat dari akar-akaran yang cuma tumbuh di daratan Cina. Baunya pun menegaskan itu. Sangat tajam, tidak ada enak-enaknya sama sekali. Obat itu harus dipakai secara cermat namun sering sehingga cepat sekali habis.

Ketika obat itu tinggal sedikit sekali, saya semakin berhati-hati menggunakannya. Sehingga luka saya tak kunjung membaik. Bahkan di hari itu, pagi-pagi saya sudah menahan tangis. Bayangkan saja, saya seperti merasakan luka bekas operasi besar di sekitar perut saya yang kehabisan obat pemati rasa. Sehingga saya amat merindukan narkotika dalam dosis yang tertinggi yang dulu kerap menjadi pelawan rasa nyeri saya. Demerol, saya mencoba mengeja namanya mengikuti saat pertama saya berurusan dengan rasa sakit akibat pembedahan.

Semakin siang saya tak kuasa lagi menyembunyikan perasaan saya. Perlahan-lahan saya pindah kamar menghindari kebersamaan dengan anak bungsu saya yang karena kesetiaannya mengorbankan waktu kuliahnya demi saya. Dia mengikuti dengan tatap matanya, tapi tanpa tanya. Kemudian saya melantunkan dzikir dan doa memohon agar saya diberi kekuatan kepada Allah dari balik selimut yang saya sengaja menutupi tubuh hingga wajah saya.

Saya tak tahan lagi. Tapi saya pun belum ingin mati. Saya masih mengharapkan dapat menyaksikan anak-anak saya benar-benar mandiri. Lalu bertemu gadis shalehah, dan meminangkan untuk mereka. Terakhir, saya ingin menyaksikan kelahiran anak-anak mereka yang akan saya asuh dengan cara yang sama seperti saya mengasuh anak-anak saya dulu. Dengan dongengan, gita kidung asmara serta obrolan-obrolan ringan dari hati ke hati. Saya ingin mengajari mereka mengucap doa ketika mereka menerima rizki mereka di meja makan setiap kali ibu mereka menghidangkan makanan, juga kesyukuran ketika mereka dibangunkan oleh matahari pagi kiriman Allah. Pokoknya, saya ingin mengajari caranya bersyukur lewat komunikasi sederhana dengan Sang Maha Pencipta.

Tiba-tiba saya teringat buku yang baru saja dibelikan Andrie anak saya. Tentang ibadah bagi orang sakit. Di sana ada pesan untuk tidak meninggalkan shalat dengan mengerjakannya sesuai kemampuan kita. Tak tertinggal ada doa-doa yang berkaitan dengan permintaan bagi orang sakit. Dari buku itu juga saya tergerak benar mengerjakan kembali shalat tahajjud saya, karena katanya, tahajjud itu amat disenangi Allah. Lalu permintaan orang sakit dikatakan dikabulkan olehNya karena shalat-shalat itu termasuk tahajjud.

Saya raih buku yang tergeletak persis di sisi tempat tidur anak saya itu. Karena selama sakit ini, saya memang sengaja memilih tidur bersama anak bungsu saya yang amat telaten merawat saya. Sambil menangis saya lantunkan doa yang diajarkan di situ. Terus berulang-ulang hingga tak terasa, saya mulai bisa menguasai diri. Setelah itu saya kembali ke ruang bawah menggabungkan diri dengan anak saya yang tengah asyik menyetrika pakaian sebab saya tak sanggup lagi melakukannya.

Dia menoleh ke arah pintu begitu mendengar saya membukanya. Tatapannya penuh curiga mengarah ke wajah saya. "Ibu kenapa?" Tanyanya amat lembut. Dia menghentikan setrikanya.

Saya menggelengkan kepala, tak urung saya jawab juga, "sakit dik, tapi apa yang bisa kita lakukan lagi?" Ujar saya seraya membaringkan diri di kasur saya sendiri yang sudah sangat lama tak lagi saya tiduri. Tiba-tiba sakit itu menyengat lagi membuat saya menjerit tak tertahankan mengakibatkan anak saya benar-benar kepanikan. Dalam situasi itu, mulut saya terus saja berdzikir dan berdoa mohon kebaikan, kesembuhan dan kekuatan untuk panjang umur.

Dengan bimbang anak saya mengambil telepon genggam saya. Lalu dia menghubungi sinshe menanyakan apa yang sebaiknya kami lakukan. Agaknya dia tak peduli lagi apakah saat itu sinshe tengah bekerja mengobati pasiennya. Untungnya sinshe segera menjawab. Kata sinshe dia tak bisa melakukan apa-apa lagi. Hanya menyarankan anak saya menaburi luka saya lebih banyak lagi dengan obat bubuknya. Menurutnya, obat bubuk itu sudah yang terkuat yang dipunyai farmasi keluarganya. 

Anak saya bergegas membuka pakaian saya untuk mengamati luka saya. Dengan cemas dia melaporkan keadaannya sangat buruk. Pecahannya amat lebar, sedangkan daerah di sekitarnya sangat membengkak merah kehitam-hitaman. Tapi saya puji, anak saya amat tenang di dalam melakukan semua tindakannya. Atas laporan pandangan mata anak saya, sinshe menyuruh anak saya untuk melucuti pakaian dalam saya, agar tak ada yang bisa menyentuh kulit saya. Lalu pakaian saya pun diharuskan diganti dengan segala yang serba longgar. Itu artinya, saya perlu punya persediaan pakaian tidur, daster yang sangat banyak. Maklum, tiap sebentar pakaian saya akan lengket dengan kulit saya yang senantiasa basah menyakitkan itu.

Hari itu alhamdulillah ada pelipur lara lagi yang datang juga tanpa terduga. Salah seorang teman sekolah kemenakan saya di SMP dulu yang sekarang menjadi anak maya saya di sini, datang bertandang ke rumah untuk kedua kalinya. Kali pertama dia mengantarkan buah-buahan segar yang menjadi menu harian saya. Dan kali ini dia kembali lima menit saja untuk membawakan saya sekeping Cakram Digital yang berisi musik-musik serta bahan perenungan yang bisa digunakan untuk menenangkan pikiran (relaksasi). Cakram istimewa itu, khusus dibuat oleh suaminya untuk saya. Bukan main, Maha Suci Allah yang Maha Agung. Dengan segala KasihNya telah dilimpahkan sejuta kebaikan yang tak terkira bagi saya sekeluarga.

Saat itu sakit yang saya rasakan seperti mendapat penawarnya. Saya mulai berdamai dengan deraan itu lewat masa istirahat yang tenang di atas pembaringan saya. Tuhan itu Maha Penyanyang adanya.

(Bersambung)



Senin, 26 November 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (18)

Kunci menuju kesembuhan, kata semua orang sih sabar. Sifat sabar yang diiringi tawakal atau bersedia menerima takdir yang ditetapkan Allah memang merupakan anjuran dalam agama yang saya anut. Bahkan salah seorang teman maya saya mengingatkan bahwa sesudah kesulitan akan datang kemudahan, karenanya manusia yang sedang diuji Allah diharapkan bersabar untuk menjalaninya. Sebab siapa pun beranggapan bahwa kemudahan itu sifatnya pasti bagus, menyenangkan, bukan?!

Berkat kesabaran yang saya lakukan, alhamdulillah, dengan senang hati saya sudah mulai menuai hasilnya. Tuhan memilihkan anak-anak yang juga sabar menghadapi saya. Betapa tidak, bayangkan saja, saya sedang sangat amat rewel. Sebab rasanya sungguh tidak nyaman menghadapi hadangan penyakit ini dari hari ke hari. Apalagi seharian kemarin. Tak bisa tidak maka saya menjadi amat menyulitkan.

***

Pagi-pagi saya sudah minta tolong diantar anak saya ke super market karena persediaan makanan saya habis. Anak saya yang sebetulnya sedang menyiapkan diri untuk mulai menetap sementara di Jakarta mulai kemarin malam, dengan senang hati bersedia. Kami berangkat cepat-cepat langsung menuju ke tujuan. Tiba di toko pun saya tak banyak membuang waktu kemudian pulang. Tapi namanya hari Minggu, kebetulan pula ada kegiatan anak-anak di toko itu sehingga proses penyelesaian belanja agak lama. Namun alhamdulillah anak saya tidak nampak kecewa, sehingga pukul dua belas tepat kami sudah tiba kembali di rumah.

Rencananya menurut surat pemberitahuan undangan perekaman data elektronik untuk pembuatan Kartu Tanda Penduduk yang dikeluarkan Ketua RT di lingkungan rumah kami, pada pukul dua belas hingga pukul dua siang kami diharapkan menghadap pejabat kelurahan. Memang Kecamatan kami merupakan kecamatan terakhir agaknya di kota Bogor ini yang melaksanakan proses perekaman KTP. Sedihnya lagi, RW saya termasuk RW "terbelakang" yang diproses. Bayangkan saja, di tempat kerabat mantan suami saya sudah direkam sebelum lebaran haji, jauh sekali tenggang waktunya, bukan?!

Begitu tiba di rumah dengan tubuh yang tiba-tiba terasa letih, kami segera berjalan kaki ke kantor desa (Kelurahan) yang letaknya dekat dari rumah. Langit mulai menampakkan tanda-tanda akan menangiskan isi "hatinya", karena mendung begitu menggelayut di atas sana. Tapi daripada nanti kelamaan mengantri, saya niatkan tetap pergi sambil menenteng payung. Untung hujan belum turun, dan lebih untung menurut saya waktu itu, baru ada satu dua orang saja yang menunggu di teras kelurahan.

Dengan penuh percaya diri dan rasa senang kami ikut duduk. Sekalipun demikian saya minta anak saya untuk melihat-lihat ke sekitar kantor yang pintunya tertutup itu di mana kira-kira tempat pelaksanaan perekaman. Ternyata, tiba-tiba seorang lelaki berpakaian sipil seperti kami menyahut bahwa kegiatan sedang ditunda untuk istirahat. 

Pernyataannya mencengangkan kami, sebab jelas tertera di undangan yang kami peroleh waktu untuk warga RT kami adalah pukul 12.00-14.00. Nyatanya lelaki itu jadi bertambah heran, dengan tegas dia menunjukkan jadwal praktek kegiatan perekaman yang tertempel di pintu masuk gedung. Benar saja, jarinya menunjuk bahwa pukul dua belas siang dan pukul enam petang mereka beristirahat untuk makan dan beribadah. 

Kenyataan itu langsung mencubit kesabaran saya. Dengan tegas saya sodorkan surat pemberitahuan sekaligus undangan yang kami terima dari pihak RT kami. Anak saya dengan sigap menenangkan saya, lalu mengambil alih pembicaraan. Lelaki itu kemudian meminta undangan kami untuk ditelitinya. Sambil mengembalikan ke tangan saya, dia mengatakan bahwa pengurus RT kami lah yang keliru membuat jadwal. Sehingga akhirnya kami memutuskan untuk pulang terlebih dahulu melaksanakan shalat dhuhur dan makan siang untuk kelak kembali lagi setelah pukul satu siang menuruti jadwal yang ditunjukkan lelaki tadi. Saya gusur kaki yang lemah karena keletihan itu kembali ke rumah. Celakanya, saya lupa untuk minta tolong kepada Allah. Dalam perjalanan saya cuma mengeluh panjang-pendek sehingga semakin menghabiskan stamina saya.

Begitu tiba di rumah saya buru-buru mengambil air sembahyang. Kemudian selepas shalat tubuh saya rasanya tak lagi ingin melakukan apa-apa. Saya terbaring di atas kasur sampai tiba-tiba saya dikejutkan oleh sentuhan di pipi saya yang dengan halus meminta saya makan siang supaya obat saya tak terlambat masuk ke dalam aliran darah. Masya Allah, rupanya saya langsung tak sadarkan diri beberapa saat. Beruntung anak-anak yang sabar ini melakukan tanggung jawabnya dengan sepenuh hati, sehingga hati saya bersemburat keharuan. Tak ada yang lebih beruntung dibandingkan diri saya, gumam saya di dalam hati. Subhanallah, Allah Maha Memelihara saya.

Di luar rumah hujan sudah tercurah deras. Tapi tak bisa tidak, kami diburu waktu untuk segera menuntaskan kewajiban kami, meski kata lelaki yang memberi tahu kami tadi, proses perekaman baru akan ditutup pukul sembilan malam. Sebab, Andrie anak terbesar saya sore itu juga harus segera ke Jakarta untuk mulai dengan hari barunya sebagai pegawai di sebuah lembaga konsultan yang diperolehnya dengan mudah berkat kasih Tuhan juga.

***

Kelurahan mulai dipenuhi penduduk. Tidak terlalu banyak, tapi teras dan ruang tunggu sudah terisi semua bangkunya. Kami bertiga menempatkan diri di bangku terluar, dan pelan-pelan bergeser hingga akhirnya mencapai giliran kami. Ternyata semua tak perlu waktu lama. Kami pulang tiga perempat jam kemudian ketika hujan mulai reda. Tapi kali itu rasanya kaki saya sudah benar-benar lemas. Saya minta anak saya mencegat angkutan kota. Sehingga akhirnya kami jadi seperti "raja diraja" yang tak pernah sudi berpayah-payah berjalan kaki. :-D Sungguh di luar kebiasaan kami, namun tak bisa saya hindari.

Mau tahu bagaimana kegiatan di kelurahan sore itu? Benar-benar penduduk satu RW dicampur baurkan, bukan seperti apa yang tertera di surat pemberitahuan merangkap undangan yang dibuat Ketua RT kami. Bahkan kami hanya bertemu dengan tiga keluarga saja yang tinggal di wilayah kami, sedangkan selebihnya saya tak tahu sama sekali di mana mereka menetap.

Penduduk hanya difoto seadanya, kemudian dipindai mata, empat jari jemari tangan beserta dua lainnya lalu membuat spesimen tanda tangan. Sialnya untuk saya, waduh, tangan saya tidak mau diajak kompromi. Sehingga tanda tangan saya adalah tanda tangan terjelek yang pernah saya buat sepanjang hidup ketika di kelas enam SD saya menorehkannya untuk yang pertama kali. Ah, agaknya penyakit saya memang menyita nyaris seluruh stamina serta tenaga saya. Sedih sekali saya mengingatnya.

Tiba di rumah saya langsung naik ke atas kasur lagi. Itu pun begitu cepatnya membuat saya terlelap. Entah mengapa, seharian itu rasanya tubuh saya begitu mudah tertidur meski kata anak saya tidur saya gelisah. Berkali-kali saya membalikkan tubuh dan menyeringai pula. Yang jelas saya tidak terlalu merasakannya.

Anak saya yang bungsu kemudian minta saya mengganti pakaian saya, sebab dia melihat di bagian tumbuhnya tumor saya nampak basah. Dengan hati-hati dia mengganti pakaian saya, sambil merawat luka dari tumor saya yang terbelah oleh pecahan yang menganga menyakitkan. Ada obat taburan dari sinshe yang terbuat dari akar-akaran. Soal baunya jangan ditanya, saya sendiri merasa amat tidak enak. Boleh dikata sekarang tubuh saya mengeluarkan bau anyir yang pasti mengganggu penciuman orang-orang yang berada di sekitar saya. Tapi, subhanallah, saya tahu, hanya demi menjaga perasaan saya anak-anak saya semua sepakat mengatakan tidak mencium bebauan itu. Bukan main, betapa rasanya saya semakin sedih, sebab mereka begitu kuat hati untuk menyenang-nyenangkan saya. Di dalam hati, hanya doa yang bisa saya panjatkan agar Allah membalas segala kebaikan dan bakti mereka dengan kehidupan yang menyenangkan lagi penuh berkah. Pelan-pelan air mata saya meleleh turun, mengaliri kedua pipi saya dan membawa saya menyadari bahwa hidup saya memang ditakdirkan untuk selalu seperti berada di atas roller coaster. Hidup yang indah, namun menegangkan dan seperti membuai.........

(Bersambung)

Jumat, 23 November 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (17)

Kata anak-anak saya, kepedihan tak pernah lekat di bola mata saya. Sebab setiap sorot yang memancar dari kedalaman sana adalah sinar cerah yang memancarkan kebahagiaan dan kehangatan. Sinar kehidupan.

Kadang saya kasihan mengingat anak-anak saya itu, sebab saya yakin mereka tak tahu apa yang sesungguhnya saya rasakan. Sedih, sakit, luka, nestapa atau apa pun namanya selama saya mampu sudah biasa saya singkirkan jauh-jauh ke sudut hati yang terdalam. Karena saya sama sekali tak pernah ingin merasakannya atau sekedar mengingatnya. Meski tak bisa saya dustai, rasa tak nyaman itu kerap sekali muncul menyeruak ke permukaan, sehingga saya pun buru-buru terpaksa menyumbatnya dengan segala daya.

Sesungguhnya dalam minggu-minggu belakangan ini, saya sering merasa ketakutan akan keburu mati dibabat kanker. Soalnya dua orang kerabat teman maya saya dikabarkan telah menghadap Illahi akibat deraan kanker meski sudah menjalani serangkaian pengobatan. Yang seorang meninggal bulan lalu karena kasus kanker payudara yang tak tertangani dengan sempurna.

Beliau seorang ibu rumah tangga yang bekerja dari rumahnya membuka usaha dagang skala rumahan. Usianya mungkin tak seberapa jauh dari saya, nyaris enam puluh tahun. Menantunya yang jadi teman maya saya mengabarkan, semula ibu mertuanya itu diperiksa di dokter. Setelah dilakukan biopsi, dinyatakan bahwa tumor pada payudaranya bersifat ganas. Berhubung langkah pengobatan selanjutnya tentu memakan banyak biaya, keluarganya kemudian beralih ke pengobatan alternatif biomedis Islami. Di sana pasien diterapi menggunakan suatu alat dari logam yang berfungsi seakan-akan jarum penotok syaraf. Akan tetapi kondisi pasien tidak kunjung membaik, sehingga terbersit keinginan keluarganya untuk membawa beliau ke seorang penemu peralatan medis pembasmi kanker, yakni seorang ilmuwan lulusan luar negeri dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Di sana, si pasien nanti akan diterapi menggunakan semacam mangkuk yang diikatkan pada payudara yang sakit. Sang penemu yang mendadak jadi terkenal setelah diwawancarai sebuah saluran televisi swasta nasional besar mengklaim berhasil menyembuhkan kakaknya sendiri dalam waktu sangat singkat. Menurutnya, sel-sel kanker itu akan luruh oleh alat ciptaannya dan larut bersama kotoran dari tubuhnya termasuk larut ke dalam keringat. Tapi temuannya tak mendapat respons positif dari ahli onkologi (spesialis penyakit kanker) di RS Dharmais. Mereka beranggapan, temuan sang sainstis seharusnya diujicobakan kepada hewan terlebih dahulu setelah melalui presentasi ilmiah di depan para pakar pengobatan. Baru kemudian layak diujicobakan kepada manusia (pasien kanker). Tanpa memenuhi prosedur itu, temuannya tidak bisa dianggap aman apalagi mengingat kanker dinyatakan oleh para dokter sebagai penyakit yang sulit untuk ditaklukkan apalagi hingga disembuhkan secara sempurna. 

Kembali kepada kasus penyakit mertua teman maya saya tadi, beliau akhirnya berpikir ulang untuk mencoba penggunaan alat ini. Apalagi mengingat kankernya sudah metastase atau menyebar ke organ tubuh lainnya di antaranya ke kandung kemih. Akhirnya pengobatan dilakukan secara medis kembali, namun sayangnya pasien tak tertolong lagi.

Hari kemarin, seorang teman maya lainnya mengabarkan bahwa ibundanya wafat karena kanker usus setelah sempat dioperasi dilanjutkan dengan sesi kemoterapi. Teman maya saya ini seorang dokter, sehingga tentu saja pengobatan yang diambil oleh orang tuanya juga bersifat medis semata di bawah pengawasan ketat sang anak. Tapi kanker benar adanya, seperti ditegaskan ahli onkologis, adalah penyakit mematikan yang sulit untuk ditangani. Innalillahi wa innailaihi rojiun.

***

Dua kasus terhangat yang saya paparkan tadi melengkapi sejumlah kasus lain yang saya temui dalam perjalanan hidup saya. Saya sering menyaksikan tumbangnya pasien kanker dalam kesakitannya yang sangat. Bahkan seorang di antaranya adalah dokter yang waktu sakit tengah memangku jabatan sebagai dekan di Fakultas Kedokteran Universitas Negeri tempat saya dulu mengikuti pendidikan. Tapi belakangan setelah tekun berobat di National University Hospital, Singapura guru besar ini sekarang kembali menduduki jabatan sebagai Direktur Pendidikan Pasca Sarjana di Fakultasnya. Tubuhnya tetap bugar siap melaksanakan semua tugas-tugasnya seperti ketika belum mengidap kanker dahulu. Artinya, memandang kepada beliau saya berkesimpulan kanker masih bisa diatasi dan punya peluang untuk ditaklukkan meski tak boleh dinyatakan sembuh seratus prosen seperti pendapat para pakar kanker di RS Dharmais.


 Profesor ini adalah dokter ahli penyakit kebidanan dan kandungan yang terkenal di ibu kota propinsi tempatnya mengabdi. Ketika penyakitnya diketemukan sebagai dokter beliau bahkan tak menyadari keadaannya. Keluhannya yang nyata cuma rasa lelah yang diikuti sakit di bagian perutnya. Saya lupa apa persisnya kanker yang menyerang beliau. Namun yang jelas ketika saya menengok di RS tempat beliau dirawat, beliau benar-benar dalam keadaan terbaring lemah antara sadar dan tidak. Cukup lama juga beliau berobat di negeri tetangga ini, bahkan hingga saya meninggalkan Singapura untuk penugasan di negara berikutnya, beliau masih tercatat sebagai pasien di sana.

Namun berkaitan dengan kasus penyakit saya, berkaca kepada beliau, meski saya takut segera dijemput ajal, saya toch tetap menyimpan keinginan untuk memerangi kanker apa pun caranya. Yang sedang saya ikuti sekarang memang bukan cara medis empiris melainkan cara herbal dengan panduan seorang sinshe berkebangsaan Indonesia keturunan Cina yang dikirim orang tuanya untuk belajar di Kuil Shaolin, di Guangzhou selama berbelas-belas tahun dimulai sejak usinya lima tahun saja. Saya percaya akan keampuhan herbal karena banyak melihat pembuktian sembuhnya aneka penyakit hanya dengan menggunakan jamu tradisional. Bahkan kolega almarhum ayah saya, seorang peneliti di LIPI pada tahun 1970-an pun membuktikan bahwa hasil penelitiannya mengenai daun kejibeling bisa menyembuhkan penyakit kencing batu. Sedangkan saya sendiri ketika terbaring di antara serangkaian operasi kandungan yang saya jalani di Singapura berhasil menghindar dari operasi yang dijadwalkan akan dilakukan sekali lagi hanya dengan mengonsumsi air teh jahe. Dokter yang juga menganjurkan saya untuk mencobanya, kebetulan sepaham dengan saya bahwa tumbuh-tumbuhan pun bisa mendatangkan manfaat untuk pengobatan. 

Sampai minggu ini sudah tercatat 22 kali kunjungan saya ke tempat seorang herbalis untuk mendapatkan jejamuan anti kanker, anti radang usus, hingga anti sinusitis dan asma ditambah vitamin serta antibiotik yang kesemuanya diracik menjadi bentuk obat-obat modern. Di samping makan jejamuan itu, saya pun menjalani terapi totok darah yang dilakukan dengan tangan kosong. Menurut teori sinshe, totok darah dipakai untuk menekan sel-sel kanker supaya tidak menimbulkan masalah. Sedangkan jamunya membasmi akar-akar sel kanker yang tersebar di seluruh penjuru tubuh lewat aliran darah. Artinya, tidak hanya ditujukan ke satu bagian tubuh tertentu yang sedang sakit. Ini jelas berbeda dengan prinsip pengobatan empiris yang lebih menekankan kepada pembuangan sel kanker di tempat yang sakit, yang kemudian ditekan dengan menyemprotkan sinar radiasi ke bekas tempat tumbuhnya ditambah obat-obatan kemoterapi. Menurut teori sinshe saya, dengan sistem empiris pengobatan hanya tertuju kepada satu titik tertentu, yang celakanya jika kurang akurat bahkan bisa merusak sel-sel tubuh yang sehat.

Sepanjang pengobatan ini, meski saya tidak merasakan perbaikan yang signifikan, tetapi vitalitas saya tidak berkurang. Saya masih mampu melakukan kegiatan-kegiatan fisik sederhana, meski cenderung mudah merasa lelah. Dan satu hal lagi yang saya amati, tumor saya yang besar itu pernah dinyatakan mengecil sebelum akhirnya membesar dan mengganas kembali disebabkan terguncangnya batin saya oleh sesuatu hal. Waktu itu yang saya rasakan, jaringan kulit di sekitar tumor saya tidak tegang. Bahkan rasa sakit menghunjam tak sehebat sebelumnya. Adapun penampilan lokasi tubuh saya yang sakit yang jadi membengkak kemerah-merahan, disebutkan oleh sinshe saya sebagai terkena semacam infeksi bisul. Benar saja, dia bahkan sempat pecah mengeluarkan cairan nanah yang berbau di kala saya terguncang itu.

Sekali lagi, intinya saya cuma ingin menanamkan keyakinan di dalam diri saya bahwa pengobatan ke dokter maupun ke pengobat herbal sama saja. Kedua-duanya memungkinkan untuk sembuh, juga memungkinkan untuk tidak membaik. Namun berkat tambahan ramuan herbal dari sinshe, serta nasehat untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran sekarang tumor saya yang pecah mulai mengering lukanya. Insya Allah ini akan menjadi jalan bagi saya meraih kesembuhan kembali, meski tentu saja akan butuh waktu sangat lama. Bukankah tak ada pengobatan yang tak membutuhkan kesabaran? Tak usah mengeluh, tak perlu berkecil hati, begitu selalu dibisikkan anak-anak saya untuk menyemangati hidup saya. Tuhan memang senantiasa hadir untuk memperbaiki kemuraman hari-hari saya agaknya, alhamdulillah!

(Bersambung)

Rabu, 21 November 2012

"BURUK MUKA CERMIN DIBELAH"

Sifat iri hati itu sangat manusiawi. Dia ada di mana-mana, baik di pergaulan maupun di dalam lingkungan keseharian kita sendiri. Sesungguhnya iri hati itu adalah suatu penyakit kejiwaan yang berpangkal dari rasa tidak percaya diri yang menimbulkan kecemburuan sosial. 

Pada hakikatnya, sifat iri hati itu adalah suatu perasaan tidak senang atas keunggulan, keberhasilan atau keberuntungan orang lain. Dalam terminologi agama yang saya anut, iri hati ini dikenal sebagai sifat hasad yang tidak terpuji dan sedapat mungkin mesti diperangi. Sebab rasa iri itu membuat manusia yang mengidapnya menjadi tidak senang sehingga mudah terserang stress.

Mengapa saya membahasa masalah ini? Tentu saja karena saya tergoda oleh curahan hati salah seorang teman saya yang merasa terusik oleh sikap serba ingin tahu temannya atas keberuntungan dan keberhasilan yang telah diraihnya. Lagi pula saya sendiri pun pernah mengalaminya.

Dalam kasus saya, individu yang merasa iri kepada saya adalah orang terdekat saya sendiri. Sebagai orang dekat, tentunya dia sudah mengetahui dengan pasti bagaimana pribadi saya berikut kekurangan atau kelebihan yang saya miliki. Saya tidak mengatakan bahwa diri saya punya kelebihan, apalagi sampai banyak. Namun tak bisa tidak, sebagai manusia, tentu saja saya punya dua sisi sifat yang saling bertolak belakang namun dapat saling menopang. Artinya di balik kekurangan-kekurangan saya, masih ada hal yang menggembirakan dan bisa dikemukakan, yakni sepercik kebaikan-kebaikan saya yang bisa diumpamakan suatu kelebihan.

Semula saya tidak begitu menyadari adanya orang yang hasad kepada saya, disebabkan menurut kebanyakan saudara dan kerabat saya, saya termasuk orang yang sangat polos dan terbuka. Di mata saya, semua manusia sama baiknya sehingga saya tidak pernah bisa melihat kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan orang lain. Ini dibuktikan oleh banyaknya kenalan saya, bukan musuh saya. Sedangkan individu yang iri kepada saya itu, terbukti memiliki beberapa musuh bebuyutan meski toch juga punya banyak teman. Begitu kata kerabat yang membuka mata saya tentang perlunya mewaspadai orang iri hati kepada saya. Jadi, karena individu yang menyimpan hasad kedengkian kepada saya itu berperilaku baik terhadap saya, maka saya tidak mempedulikan keburukan sifat-sifatnya yang harus saya akui sesekali juga saya rasakan. Sebab saya menganggap manusia sesuai kodratnya punya dua sifat yang saling bertolak belakang itu tadi. Ah, betapa polosnya pemikiran saya, bukan?!






***

Terus terang saja, pernyataan yang dibisikkan kerabat saya kemarin dulu tentang diri saya amatlah mengejutkan. Dia mampu membuka mata saya tentang keadaan diri saya yang sesungguhnya. Sebab, ternyata dia sendiri juga merasa tidak disukai oleh orang yang menyimpan rasa iri dan dengkinya kepada saya itu. Aduhai...... oh kiranya mengejutkan!

Menurut analisa kerabat kami, saya dibenci orang itu karena saya lebih populer dibandingkan dia.Kenalan saya banyak, sedangkan musuh tidak ada. Selain itu walau pendidikan saya tanggung, tapi saya mampu membuatnya terperangah gugup waktu saya berhasil mengalahkannya di ajang debat yang lumayan berharga dulu sekali. Waktu itu, katanya, dia sama sekali tak menduga saya mempunyai senjata berupa pengetahuan yang dia justru tak menguasainya. Karenanya, semakin iri lah dia kepada saya.

Dan satu hal lagi, entah mengapa, banyak orang yang bersimpati kepada nasib saya belakangan ini. Sehingga rizki saya selalu saja datang mengalir tanpa terduga apalagi terbendung. Ini juga yang membuat individu tadi semakin tak menyukai saya.

Berhenti di kalimat ini, saya jadi teringat keluhan salah satu teman baru saya tentang rasa iri temannya terhadapnya. Benar, si teman itu selalu saja ingin tahu apa yang sedang dikerjakannya, dan berapa besar upah yang diterimanya. Itu yang dikeluhkannya. Dia merasa sangat terganggu oleh setiap pertanyaan temannya soal pekerjaan dan upahnya. Ah, kalau demikian, layak saja orang menjadi iri terhadap seseorang. Yang jelas, saya tetap akan berusaha menahan diri untuk tidak marah kepada siapa pun yang tak menyukai pribadi saya. Sebab bukankah sifat iri, dengki, hasad atau apa pun namanya termasuk hal yang amat tidak disukai Allah? Semoga saya dijauhkan dari sifat-sifat tercela itu. Termasuk anda semua tentunya, hehehe....... amin!

Nah coba, sekarang apa pantasnya judul jurnal saya kali ini? "Buruk Muka Cermin Dibelah" atau "Buruk Muka Kayak Monyet" ya?! :-D Permisi..........

Senin, 19 November 2012

IBARAT CERMIN RETAK SERIBU




Purnama empat belas sudah lewat. Pendarnya menghilang tergantikan kelabunya awan yang menurunkan hujan di atas kota kita. Kau tak akan dapat menyaksikannya, sayangku. Sebab kau telah membawa dirimu pergi menjauh dan tak akan kembali, menurut janjimu dahulu.

November, kurang sebulan dari saat perpisahan kita tiga tahun yang lalu. Perpisahan yang kau rancang agak kurang cermat sebenarnya dengan perempuan yang telah mengetuk pintu hatimu.

Hujan itu, adalah cerita lama tentang deraian air mata yang mengalir ketika kau bersikap begitu arogan, tanpa hati memunggungi kami, terutama para perjaka buah hatimu yang dulu kau titipkan di rahimku. Derasnya tak terkira, seakan-akan mampu membobol bendungan yang mereka jaga kuat-kuat di setiap sudut mata mereka.

Malam ini aku duduk memandangi langit yang bersuara gemuruh lengkap dengan rinainya hujan. Di kelamnya cakrawala tergambar kembali satu demi satu lelakon yang telah lalu, meski tidak kunjung paripurna juga.

***

Dulu, ketika hidup kita baru seregukan air sumur, masing-masing diri kita amat belia. Kebeliaan kita murni diwarnai kepolosan yang menjadikan diri kita insan-insan yang tanpa noda. Kita senantiasa bergandeng tangan, berjalan bersisian tanpa ingin untuk saling menjegal bahkan sekedar mendahului. Tapi begitu langkah kita mulai panjang meninggalkan tanah yang pertama kita pijak tempat tumpahnya darah dari rahim ibunda kita, maka aku pun menyadari bahwa selayaknya kau berada di depanku. Menjadi imam yang bisa memimpinku, agar kaki-kakiku tak salah melangkah bahkan punya penuntun yang bisa membawaku kepada kehidupan di alam luas. Aku hanya inginkan kau saja sebagai tamengku, sebagaimana kau katakan dulu, kau inginkan aku untuk menemani setiap geser langkahmu. Kau inginkan hanya aku yang menjadi rumah untukmu di setiap ujung dari perjalananmu sehari-hari.

Sayangku, aku telah mengikuti maumu, sebagaimana kau pun dengan bangga mengambil peran yang kusodorkan. Lalu lupakah kau kini, bahwa berdua kita menapaki permukaan bumi yang seringkali terjal dan penuh kerikil menyakitkan?

Satu demi satu anak manusia tercipta dari desah nafasmu dan lenguh setiaku. Peluh kita yang mengalir adalah pupuk yang menjadikan mereka insan-insan yang tangguh. Lihatlah pada kedua belah tangan mereka. Tak ada tetesan darah yang merembes dari nadi mereka meski mereka menggunakannya untuk membentengi harga diri mereka dari badai yang kau taburkan bersama para kekasihmu. Sebab, kau harus menukik, mengintai ke dalam dasar hati mereka, supaya bisa kau temukan juga untaian-untaian nama Allah dalam hurufnya yang besar-besar yang senantiasa mereka eja tiap hari untuk membuat Allah berbesar hati telah menciptakan mereka bagi kita.

Menengok ke situ, aku tersenyum kecut. Mereka adalah jelmaan masa mudamu dulu. Namun kau tak pernah lagi bisa melihatnya sendiri. Sebab kau rela meninggalkan kami untuk meraih permata yang menyolok matamu ibarat bintang berjatuhan dengan sudut-sudutnya yang amat tajam.

***

Sayangku, aku tetap menyayangimu. Ikrarku yang kuat laksana benteng besi yang tak tergoyahkan. Tak kuizinkan sedikit pun rasa itu berpindah apalagi sampai mati mengubur diri. Karena itu tak kubiarkan buah cinta kita menaburkan dendam apalagi kebencian tak berujung padamu.

Maka, ketika kau tebarkan kebencian untukku, tengoklah padaku. Lihat kedua bola mataku. Reguk semua senyum setiaku. Maka, setelah itu hanya akan dapat kau baca di sudut bibirku, serangkai tulisan yang mengeja jati dirimu. Bahwasannya, : "Kau kini ibarat cermin retak seribu".

Di jiwamu terpancar kilauan cahaya yang memadu memantulkan bayang-bayang. Kisah kita semasa lalu, ketika belum ternoda debu-debu bumi yang diterbangkan angin dari mana-mana. Lalu terpaan badai menyentuh dirimu. Dan, di situ, kini tinggal bayang-bayang yang terbelah-belah menimbulkan luka di mata batinku. Aku pun akan segera menutupinya, dengan selapis beledu yang indah di pandang mata.

Nanti di sana, di padang itu kubangun kembali hidupku sendiri. Sambil melantunkan doa dan nyanyian pujian untuk Tuhanku. Ah, tak akan kubiarkan cerminku tersentuh lagi olehmu. Sebab aku tak pernah menghendaki cerminku retak jadi seribu. Tabik, sayangku!

~Medio November dua ribu dua belas~

Jumat, 16 November 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (16)

Minggu ini rasa sakit saya memuncak. Tumor di payudara saya pecah mengakibatkan pakaian yang saya kenakan lengket di badan. Soal rasanya, jangan ditanya. Sungguh seperti daging saya dikuliti, mengakibatkan akar rambut saya ikut-ikutan pedih serasa tercerabut juga. Akibatnya saya mesti mengenakan pakaian yang serba longgar termasuk kaus dalam yang sekarang jadi pelapis tubuh saya. Dan karenanya tadi pagi saya terpaksa mencari tambahan pakaian sehari-hari yang baru di pasar dengan berusaha menekan rasa sakit itu semampunya. Jejalan orang memaksa saya menggunakan tangan saya sebagai pelindung tubuh dengan cara mengangkatnya menyiku di depan dada saya.

Meski dulu saya kerap juga sakit bahkan hingga mencicipi ranjang ruang perawatan intensif di rumah sakit, tapi saya memang belum pernah merasakan sakit saya yang ini. Jadi, pengalaman kali ini adalah keadaan baru. Saya harus bisa menahannya, sebagaimana dulu saya menahan rasa nyeri di bagian bawah perut saya. Dulu saya berjalan amat pelan, layaknya kura-kura sambil terbungkuk-bungkuk. Bahkan saya pernah terjatuh lemas akibat kelelahan menahan nyeri dan tumpukan beban pekerjaan saya sebagai istri pendamping suami. Kini, saya tak lagi begitu. Langkah saya tegap, lagi pula anak saya setia mendampingi bahkan menuntun saya ketika saya nyaris kehabisan daya di jalanan. Inilah nikmatnya sakit ketika saya sudah bukan istri seorang abdi negara lagi.

***

Minggu lalu anak-anak saya bertemu teman lama saya, seorang politisi perempuan di Senayan yang dulu kerap berhubungan kerja dengan kantor mantan suami saya. Berhubung lama tidak bertemu saya, dia tak tahu kabar saya sekarang. Kemudian dia menanyai anak-anak saya.

Mendengar cerita anak-anak saya, perempuan itu sempat terkejut-kejut. Dia tercenung dulu sebelum kemudian menanyai anak saya lebih lanjut. Sebetulnya dia ingat bahwa semasa di Singapura dia tahu bahwa saya adalah pasien rumah sakit yang berkeliaran ketika sedang merasa mampu mengerjakan tugas-tugas sebagai pendamping abdi negara. Dia pun cukup tahu apa penyakit saya, tapi dia tak menyangka apa yang menjadi penyebabnya, sebab ketika kami berhubungan dari Afrika dulu kelihatannya saya baik-baik saja, sehat lahir dan batin. Dulu beliau pernah menyampaikan penghargaannya atas kerja sama yang terjalin di antara kami. Bahkan menurutnya, saya sudah bisa diandalkan kalau dalam keadaan terpaksa untuk menjalankan tugas promosi Indonesia di luar negeri. 

Anak saya tersenyum kecut seraya membenarkan pernyataannya. Tapi anak saya terus saja menceritakan keadaan saya yang sesungguhnya. Sehingga teman saya semakin terdiam. Hanya satu yang ditegaskannya, yakni bahwasannya saya bisa melalui semua kesulitan dan cobaan yang saya alami mengingat saya sudah berhasil melampauinya dulu. Kini giliran saya yang tersenyum kecut mendengar cerita anak saya.

***

Teman saya tadi kebetulan berteman baik sejak sangat lama dengan penyanyi diva Titiek Puspa. Di dalam E-mailnya kepada saya yang menyemangati, dia menceritakan soal penyakit kanker payudara yang diderita sang diva. Kata teman saya, seharusnya saya berobat ke dokter lagi, dan tak mencemaskan kemoterapi. Sebab meskipun mahal dan kemungkinan kekambuhan penyakit itu ada, tetapi kemoterapi menurutnya tidak menyakitkan dan mampu mempertahankan nyawa seseorang seperti pengamatannya terhadap sang diva.

Saya mengomentari sarannya dengan satu pandangan yang saya harap bisa diterima olehnya. Yakni bahwasannya kondisi saya dan sang diva berbeda dalam segala hal. Saya sudah masuk stadium III dengan tumor yang sudah besar serta mudah diraba dari luar, sedangkan sang diva masih di stadium awal. Adapun kemoterapi sekali lagi meski menyembuhkan penyakit sang diva, tapi belum tentu menyembuhkan semua orang. Saya ingatkan bahwa teman satunya lagi yang pernah saya ceritakan di salah satu episode terdahulu ternyata tak bisa bertahan. Sebabnya karena obat kemoterapi yang dipakainya dari kelas yang terbilang murahan meski toch tetap saja mahal. Ini saya dengar dari pengakuan teman kami itu semasa akhir hayatnya, yang menceritakan bahwa dokter di Singapura yang merawatnya menawarkan beberapa harga obat kemo. Lalu dia memilih yang termurah sesuai dengan dana yang tersedia di kantungnya. Nah, dalam hal saya, andaikata saya dioperasi, sudah barang tentu saya akan mengambil paket kemoterapi termurah itu juga, sehingga hasilnya belum tentu seperti pengobatan sang diva.

Dalam balasannya kemudian, teman saya ini mengatakan bisa mengerti. Bahkan dia turut prihatin pada keadaan saya. Dia mengharapkan saya terus berusaha bertahan dengan terapi herbal sinshe pilihan saya dan mendoakan kesembuhan. Dia mengingatkan, apa pun pengobatan yang saya jalani, dia menyarakan agar saya mengikuti diet tinggi antioksidan seperti yang dijalani sang diva atas saran dokternya. Ternyata nasehat dokter dan sinshe sama saja. Pasien dilarang mengonsumsi daging-dagingan terutama daging merah dan ayam broiler, tapi disuruh makan banyak buah dan sayur yang mengandung antioksidan. Selain itu teman saya bilang, sang diva tetap rajin berolah raga ringan semampunya. Sehingga dia pun mengharapkan saya melakukannya.

***

Siapa orang yang tak kenal penyanyi kawakan Titiek Puspa itu? Saya sendiri pun terkagum-kagum akan staminanya di balik usianya yang sudah uzur. Ternyata tak hanya itu, semangat tinggi untuk hidup sehat menjadi pelawan penyakitnya yang ampuh.

Titiek adalah nenek ajaib yang selalu menyunggingkan senyum, lalu menyapa dengan wajah ramah siapa pun yang berada di dekatnya. Saya menduga, senyum merupakan bagian dari keceriaan hati dan keikhlasan di dalam menjalani takdir nasib. Jadi, saya pun akan mulai terus ceria memandang hari depan dan saat-saat yang saya lalui bersama anak-anak saya. Apalagi tanpa terduga, seperti sebuah anugrah, tiba-tiba ayah anak-anak saya seakan-akan tersadar bahwa dia harus rela berbuat sesuatu demi membahagiakan darah dagingnya sendiri. Dan itu artinya, dia harus mencarikan banyak cara bagi pemeliharaan kesehatan saya.

Secara tak terduga itu, akhir pekan lalu dia tiba-tiba menggenggamkan makanan suplemen berupa bubuk beras merah yang berwarna ajaib, putih, ke tangan anak-anak saya. Tanpa sepengetahuan pasangan barunya, dia menugaskan anak-anak untuk merawat saya sebaik-baiknya dengan menghidangkan air seduhan suplemen itu setiap hari dua kali kepada saya. Petunjuk penggunaannya berikut penjelasan mengenai manfaat dan nilai gizinya dipaparkan kepada anak-anak. Bahkan keesokan harinya dia mengecek apakah anak-anak sudah melakukan apa yang ditugaskannya, sambil mencari tahu apakah saya bersedia mengonsumsinya. Setiap hari itu dan itu saja ditanyakannya kepada anak-anak dalam komunikasi mereka yang selalu singkat melalui jaringan internet mengingat kendala komunikasi dari negara tempat tugasnya di Afrika sana ke tanah air. Bahkan terakhir kali, kemarin dia masih mengajari lagi bahwasannya cara menyeduh bubuk beras merah itu adalah dengan memakai peralatan plastik, bukan logam. 

Sungguh, di balik keterpurukan saya, ternyata ada secercah sinar menerangi gelapnya hidup saya. Di situ, pada alurnya yang keemasan, saya seperti menemukan lagi benih-benih kasih sayang yang hilang. Meski tak teraba dan nyaris tanpa wujud, tapi saya sudah menyukurinya. Begitulah jalan Allah, senantiasa tak terduga, tanpa bisa dimengerti. Adakah kasih sayang bisa membantu meredam rasa lelah yang diakibatkan luka lahir dan batin yang saya alami? Wallahu alam bishshawwab. Hanya pada Allah sajalah tertera apa jawabannya. 

(Bersambung)


Sabtu, 10 November 2012

KETIKA CINTA MENAHBISKAN LUKA

Cinta, kata lima huruf ini banyak ceritanya. Ada kisah-kisah manis yang menyertainya, tapi tak sedikit cinta justru dibumbui air mata. Tak percaya? Silahkan simak cerita saya di bawah ini yang tak bersangkut paut dengan kehidupan saya, namun jelas ada dalam jangkauan penglihatan saya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Rumah tangga yang bahagia adalah impian semua pasangan ketika baru merajut cinta. Untuk mendapatkan itu kedua makhluk yang mempersatukan diri ini menyatakan rela melakukan apa saja demi meraih kebahagiaan bersama. Cinta memang membius, bukan?

Namun sepanjang perjalanan rumah tangga itu, tak bisa disangkal ada saja batu sandungan yang mewarnai keharmonisan yang berusaha dijalani. Sehingga pada akhirnya tak sedikit rumah tangga yang goyah hingga berujung pada perceraian.

Saya tak berniat membahas masalah perceraian dan penyebabnya. Di sini saya cuma ingin menceritakan rumah tangga yang sudah terbelah begitu, yang kemudian menimbulkan masalah baru lagi seakan-akan puncak dari neraka dunia bagi mereka yang terlibat di dalamnya.

***
Sehelai kartu undangan pernikahan bergaya gedongan sampai di alamat seseorang yang berkeberatan disebutkan namanya. Semula si penerima undangan ~katakanlah namanya "X"~ mengerutkan keningnya, karena tidak mengenali si pengirim undangan. Namun setelah diteliti, terungkaplah bahwa undangan itu berasal dari kenalannya yang sudah dua kali menjanda, tapi agaknya telah menikah kembali. Si penerima undangan mengenali benar nama pengantin perempuan yang akan dinikahkan itu.

Acara diadakan dua kali. Jumat pagi di rumah kediaman mereka akan dilangsungkan akad nikah, yang diharapkan dihadiri juga oleh "X'. Diikuti dengan resepsi di sebuah gedung bertingkat yang ditaksir harga sewanya mendekati dua ratus juta rupiah karena si pengundang adalah pejabat terhormat yang merangkap pengusaha. Tentu saja karenanya relasinya sangat banyak.

Mengingat acara resepsi akan diselenggarakan malam hari, sedangkan sekarang sudah masuk musim penghujan yang selalu mewarnai udara malam dengan percikan airnya, "X" memilih hadir di akad nikah. Sebelum melangkah ke sana, "X" sendiri sudah bertanya-tanya, mengapa pengantin perempuan yang tertera di undangan ditulis merupakan putri pertama keluarga bapak "D" yang tak lain dan tak bukan suami terbaru ibunya dengan si ibu kandung "Z" yang mengundang "X" ini. Begitu pulang dari acara akad nikah, meluncurlah banyak cerita mengesankan yang bisa kita ambil sebagai pelajaran untuk diri kita sendiri.

***

Di akad nikah itu, undangan yang hadir tidak banyak, mengingat rumah keluarga ibu "Z" tidak luas. Sebagian besar adalah keluarga pengantin, di mana "X" merasa nyaman bergabung. Ternyata keluarga pak "D" juga hadir di situ. Mereka saling berbisik dan memasang mata jeli untuk memantau siapa yang akan menikahkan pengantin sebab ayah kandung pengantin tak nampak hadir. Bahkan kehadiran mereka di acara itu sebenarnya lebih dipicu oleh kebingungan mereka waktu membaca undangan yang menyebutkan bahwa pengantin perempuan adalah anak bapak "D" dengan ibu "Z". Padahal sudah jelas pak "D" keluarga mereka adalah pendatang baru di rumah tangga itu.

Benar saja, pengantin yang menggunakan prosesi adat Jawa sesuai adat keluarga pengantin lelaki tidak dinikahkan oleh ayah kandungnya. Yang ada hanyalah kakak kandung si ayah yang datang dari kampung halaman mereka di Sumatera berdua dengan istrinya dan seorang anak mereka. Ya, cuma ketiga orang itulah keluarga dari pihak ayah kandung pengantin perempuan.

Sebagaimana lazimnya adat Jawa, pengantin perempuan tidak keluar dari kamar pengantin. Jadi pengantin tidak dipersandingkan dalam akad nikah. Penghulunya nampak masuk ke kamar pengantin membawa catatan yang nampaknya akan dipakai mencatat hasil tanya-jawab dengan si pengantin perempuan sebagai syarat pelengkap administrasi pernikahan. Setelah itu pembawa acara membuka kegiatan dengan menyebutkan bahwa akan dilaksanakan pernikahan putri bapak "D" dengan ibu "Z". Lalu bapak "D" dipersilahkan mengambil tempat, diikuti oleh uwak lelaki si pengantin, yakni kakak kandung ayah kandungnya. Di sini terjadi lagi tanya-jawab antara penghulu dengan mereka. Uwak pengantin kelihatan terbata-bata, matanya memerah lalu sedikit terisak. Baru selanjutnya disebutkan bahwa pengantin akan dinikahkan oleh uwaknya atas persetujuan dan izin ayah kandungnya, dengan disaksikan ayah tirinya, bapak "D".

Selesai akad nikah, si uwak kelihatan bergegas berpamitan. Sehingga menimbulkan keriuhan kecil selayaknya drama sinetron di televisi dengan disaksikan para undangan. Sebab keluarga ibu "Z" menahan beliau dengan alasan upacara adat akan dilangsungkan segera. Mereka diharapkan menyaksikannya. Meski bersikukuh untuk pulang, tetapi rupanya ada seorang di antara mereka yang cukup bijak. Dia menyampaikan permohonan dengan manis, sehingga si bapak tinggal duduk lagi di sudut ruang pada tangga naik menuju lantai atas rumah kediaman itu dengan istrinya. Mata mereka nampak basah menangis. Tak tahu apa yang ada di benak mereka.

Di akhir prosesi acara "Panggih Manten" yang berupa sungkeman atau menyembah sujud kepada para tetua, sepasang orang tua tadi dibiarkan saja tanpa dihampiri. Sehingga lagi-lagi mereka seperti tak dianggap penting sehingga kembali menangis diam-diam. Hal ini semakin memicu keingintahuan keluarga bapak "D" tentang apa yang terjadi. Mereka saling berbisik dan terus melirik ke arah tangga.

Singkat cerita, "X" berhasil menangkap isi pembicaraan orang dalam keluarga bapak "D" dan ibu "Z". Rupanya, ayah kandung pengantin perempuan dan keluarganya tersinggung atas sikap dan tindakan ibu "Z" yang bersifat sepihak sejak anak gadis mereka dilamar setahun yang lalu.

Pada waktu itu ibu "Z" baru saja menikah dengan bapak "D" yang terhormat. Bapak "D" dijadikan tokoh sentral di dalam acara lamaran anaknya, padahal ada bapak kandung si gadis di hari itu. Mengundang si bapak kandung tentu suatu keutamaan, bahkan wajib, karena bagaimana pun juga seharusnya justru beliau yang berperan menerima lamaran anaknya. Anehnya, figur bapak kandung ini diperlakukan sebagai angin lalu saja. Beliau tak didudukkan bersama mantan istrinya, melainkan disendirikan, sebab bapak "D" lah yang ada di sebelahnya menghadapi calon besan mereka. Begitu lamaran selesai, si calon pengantin diminta bersalaman. Dan dengan santainya dia melewati saja ayah kandungnya sendiri. Tentu saja beliau jadi merasa tersinggung dan merana. Padahal, anak gadis yang dibesarkannya dulu itu adalah lulusan perguruan tinggi ternama yang sekarang bekerja sebagai PNS di suatu instansi yang bergengsi seperti bapak tirinya, "D". Bagaimana mungkin orang dengan bekal ilmu serta pekerjaan seperti itu tidak tahu etika sopan santun terhadap orang tuanya? Saya dan "X" pun mengelus dada mendengar cerita ini.

Tak cukup sampai di situ, pak "D" dan bu "Z" tidak menghendaki ayah kandung si pengantin perempuan hadir di resepsi yang dikabarkan mengundang seribu lima ratus undangan yang sebagian besar merupakan para pejabat papan atas. Nah inilah yang memicu ketersinggungan si ayah hingga meluap-luap. Sebagai akibatnya, ya begitu tadi. Beliau menolak menikahkan anak gadisnya sendiri, menolak pula menginjakkan kaki di rumah itu. Lagi-lagi saya dan "X" mengelus dada.

***

Berkaca dari kehidupan nyata yang serunya melebihi drama sinetron betulan di televisi, saya cuma ingin menggaris bawahi bahwasannya cinta itu bisa menimbulkan luka. Kalau sudah demikian yang jadi pertanyaan saya, syahkah pernikahan si gadis mengingat ayah kandungnya masih hidup dan tidak kehilangan akal serta kemampuannya untuk menikahkan? Jawabnya hanya ada pada hati nurani masing-masing. Begitulah hendaknya..........

Semoga kita semua terhindar dari segala perbuatan yang tercela, insya Allah.

Selasa, 06 November 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (15)

Ketika saya tersakit-sakit, banyak orang menari di atas penderitaan saya. Itulah yang saya rasakan akhir-akhir ini. Sebab di saat hati saya sedang menangis, di seberang rumah saya orang asyik berpesta pora sambil mempertontonkan kehidupan mereka yang penuh kemudahan. Jadi saya merasa mereka kurang bisa berempati atas nasib saya. Sejujurnya saya tidak akan pernah mengatakan Allah telah berlaku tidak adil kepada saya dan anak-anak saya.

Sebagian orang mencibir ketika saya menyampaikan keluhan saya. Mereka bilang saya terlalu sensitif. Sebab saya sedang dalam keadaan tidak berdaya. Lebih daripada itu, pihak lain yang sedang menggelar pestanya itu adalah orang-orang budiman yang amat terhormat, sehingga mereka layak menggelar pesta mereka disertai keriuhan yang tiada tara. Toch mereka tak berniat mengganggu saya serta melakukan semuanya secara mandiri pula. Apa salah mereka? Begitu komentar orang-orang yang mendengarkan jeritan hati saya sewaktu mereka datang menengok saya ke rumah.

Saya akui sekali lagi, sejak jatuh sakit saya memang amat perasa. Akibatnya saya seperti terpojok dan ditinggalkan orang. Pasalnya mereka tak pernah berada di posisi saya, sehingga empati mereka nyaris tak ada. Doa yang telontar bersama simpati mereka hanyalah ucapan semu, begitu menurut saya. Sebab ketika saya butuhkan bantuan mereka ~di mana saya amat jarang minta bantuan~ satu demi satu memilih menghindar dengan tak menghubungi atau menengok saya lagi.

Tapi secara tak terduga kemarin kakak kandung saya datang menengok bersama sahabatnya seorang duda yang sangat akrab dengan keluarga kami. Semula saya duga kakak saya punya hubungan khusus dengan lelaki itu, tetapi ternyata dugaan saya keliru. Sebab lelaki itu bukan satu-satunya teman dekat lelakinya. Sedangkan para lelaki itu juga membawa banyak teman-teman wanitanya bersama-sama dengan kakak saya. Rupanya persahabatan yang mereka jalin semasa sekolah dulu abadi hingga tua. 

Abang R, sahabat kakak saya ini bercerita bahwa mendiang istrinya juga berpulang ke haribaan Tuhan akibat penyakit kanker payudara. Waktu itu mereka tinggal di Pulau Bangka. Namun sampai mereka pindah ke Jakarta, si istri tetap saja takut jika harus berhubungan dengan dokter dan rumah sakit. Karenanya penyakit si istri hanya dibawa kepada pengobat alternatif yang saya anggap lebih mirip paranormal dalam keadaan yang sudah sangat lanjut.

Setiap bulan bang R membawa istrinya berombongan naik kendaraan sewaan dari Jakarta bersama para pasien pengobat paranormal itu ke suatu daerah di Jawa Tengah. Di sana, para pasien akan diterapi dengan menggunakan alat-alat, kemudian dibekali sebotol air yang katanya sudah mengandung khasiat.

Nyonya R perempuan berusia lima puluh tahun yang beranak empat itu dibedah menggunakan peralatan yang bukan peralatan medis. Suaminya menyaksikan darah berceceran di pembaringan sang pengobat meski katanya si istri tidak meronta-ronta kesakitan. Darah itu serupa cairan hitam pekat, namun si pengobat memastikan bahwa itu adalah kanker payudara yang sudah lanjut. Diprediksi pasien ini tak berumur panjang, sebab sang pengobat pun menyerah ketika selesai menangani luka si pasien yang diakibatkan oleh torehannya sendiri. Hanya tiga kali pasien ini ditangani si pengobat. Itu pun tanpa dibekali jamu atau ramuan herbal sebagaimana yang saya terima dari sinshe saya. Sepanjang sakitnya itu pasien sama sekali menolak ditengok siapa pun juga termasuk saudara-saudaranya. Sebab, cerita bang R, dia sangat kesakitan hingga tak mampu lagi mengaduh.

Kedatangan bang R ke tempat saya, selain ingin menengok kondisi saya, juga memastikan bahwa saya tidak keliru memilih pengobatan. Demi mendengar penjelasan saya bahwa kanker tak boleh dilukai, dan juga saya menerima obat-obat herbal, legalah hati beliau. Dia sepakat dengan teori sinshe saya. Kanker dalam kondisi lanjut seharusnya memang dihambat dengan tumbuhan herbal tanpa dibedah.

***

Lelaki berperawakan tinggi yang sekilas mirip penyanyi dari tanah Batak itu mengingatkan saya akan teman lama saya yang memiliki putra penderita kanker darah (leukemia). Dulu sekali di tahun 1991 saya sudah melihat sendiri penyakit yang melumpuhkan aktivitas serta semangat hidup anak-anak itu. Karena waktu itu saya sedang mengikuti penempatan mantan suami saya di sebuah Perwakilan RI di luar negeri. Seandainya saya sedang tidak di sana, belum tentu saya mengerti sendiri tentang leukemia dan penderitaan anak-anak yang terserang itu.

Rocky nama anak lelaki itu baru saja lulus SMP dan sedang menikmati hidupnya di sebuah SMA di luar negeri. Karena belum lama tiba dari Indonesia, maka dia harus mengikuti kursus intensif bahasa setempat supaya bisa mengikuti pelajaran sekolahnya. Anaknya cenderung pendiam, lagi pula rajin. Jadi si bungsu dari empat bersaudara lelaki ini memang disukai banyak orang. 

Pada suatu hari dia ditugasi untuk menjadi petugas pengibaran bendera pada salah satu upacara hari nasional Indonesia di kantor ayahnya, KBRI. Bersamanya ada tiga orang anak lagi, dua wanita, satu di antaranya adalah kemenakan mantan suami saya. Latihan keras untuk upacara itu senantiasa diikutinya sore hari sepulang sekolah dan kursus bahasa. Semula semuanya berlangsung mulus. Saya pun kerap kali ikut menunggui mereka yang berlatih sambil menyiapkan minuman serta makanan kecil pengusir haus dan kelelahan mereka di siang hari musim panas yang tak pernah mendatangkan keringat itu. Seperti diketahui, di negara bermusim empat udara cenderung kering sehingga orang tak bisa berkeringat.

Sore itu tepat menjelang hari "H" Rocky mengeluhkan sakit perut ketika dia bercanda dengan temannya seorang pemuda remaja Tapanuli juga. Tanpa disengaja, perut Rocky terkena tendangan temannya. Seketika itu dia mengaduh, memegangi perutnya yang katanya menjadi mual, lalu nyaris jatuh pingsan. Kulitnya kelihatan pucat tanda sakit. Dia tak sanggup melanjutkan latihannya.

Keesokan sorenya begitu selesai menjalankan tugasnya di upacara bendera, dia dibawa orang tuanya memeriksakan diri ke dokter keluarga kami, seorang berkebangsaan setempat asal Indonesia. Sebab kami memang merasa aman dan nyaman jika berkomunikasi dengan dokter dalam bahasa Indonesia. Tentu saja disebabkan penguasaan bahasa setempat kami yang amat minim serta terbatasnya kosa kata bahasa Inggris kami yang berkaitan dengan deskripsi rasa sakit.

Ketika meraba bagian perut anak itu, dokter merasakan adanya pembengkakan di sekitar hati. Kemudian beliau mencermati kulitnya dan menemukan pendarahan di bawah kulit. Kata orang tuanya, anak itu juga sering mengalami perdarahan dari gusinya. 

Dokter yang berasal dari seputar pantai utara Jawa Barat ini amat lemah lembut. Dengan hati-hati beliau menyampaikan kecurigaannya tentang penyakit kanker darah yang mengerikan. Karena itu anak tersebut segera dirujuk ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Tentu saja teman saya, orang tuanya, amat terkejut. Dia tetap bersikeras bahwa anaknya baik-baik saja dan menganggap dokter kami berlebihan. Namun upaya lembut yang terus menerus dari dokter akhirnya membawa langkah mereka langsung menuju rumah sakit. Dalam pada itu si sakit memang kelihatan semakin layu. Tak ada makanan yang berhasil masuk ke perutnya, karena dia mengeluhkan rasa mual dan perut kembung.

Untungnya petugas rumah sakit di Eropa tempat kejadian berlangsung sangatlah cepat tanggap. Tak menunggu lama, dalam dua hari sudah dapat dipastikan anak itu menderita leukemia. Lalu dia dirawat di rumah sakit khusus yang menangani anak-anak penderita kanker. Karena letaknya berdampingan dengan rumah sakit anak-anak tempat anak saya dirawat penyakit asthmanya, saya sering melihat para penderita kanker yang masih di bawah umur itu. Rata-rata mereka tak punya rambut, sebagian pipinya bulat montok yang merupakan efek dari obat-obatan yang mereka terima (moon face). Bahkan kebanyakan nampak amat kesakitan meski mereka sedang dibiarkan bermain di area ruang bermain atau perpustakaan yang merupakan bagian dari rumah sakit itu. Kursi beroda ada di mana-mana dengan pasien lemah lesu berkulit nyaris seputih kertas.

Menurut penjelasan dokternya leukemia terdiri dari beberapa jenis, sebagaimana halnya kanker payudara. Jadi gejala yang dirasakan pada setiap pasien tidak akan selalu persis sama. Selanjutnya pasien menerima regimen kemoterapi diikuti radioterapi seperti pada kanker jenis lainnya. Cukup lama Rocky menghuni rumah sakit, sehingga kelas yang diikutinya terpaksa ditinggalkan begitu saja. Namun di waktu-waktu tertentu, seorang guru datang ke rumah sakit untuk membantunya belajar dalam batas-batas tertentu. Tentu saja demikian karena pasien kanker jenis apa pun mudah sekali merasa letih. Dan obatnya antara lain adalah beristirahat total.

Ketika rambut Rocky telah habis kena obat-obat kemo dan radiasi, dokter menyarankan keluarganya untuk memeriksakan darah serta sel sumsum tulang belakang mereka. Dikabarkan bahwa Rocky bisa tertolong seandainya keluarganya ada yang bersedia mendonorkan sumsum  tulang belakang mereka.  Nantinya akan dilakukan penyedotan sumsum tulang belakang dari bagian pinggul pendonor menggunakan jarum suntik raksasa yang selanjutnya dipindahkan ke dalam tulang belakang si pasien. Pekerjaan ini termasuk pekerjaan besar, sehingga baik pasien apalagi pendonornya tentu saja harus dibius total terlebih dulu. 

Beruntunglah salah satu abang Rocky mempunyai sel sumsum yang cocok sehingga tak perlu mencari pendonor lagi, operasi ini bisa segera dikerjakan. Si abang ikut menginap selama beberapa hari bersama adiknya sampai dia merasa pulih kembali. Dan ketika pada akhirnya penderitaan Rocky berakhir, rumah sakit yang telah menjadi rumah keduanya selama berbulan-bulan ditinggalkannya dengan langkah ringan dan semangat hidup yang tinggi nyaris seperti ketika dia belum sakit.

Kemarin air mata saya menggenang mengingat secara tidak sengaja episode sakitnya Rocky akibat kedatangan abang R sahabat kakak saya. Bang R mengira saya amat kesakitan dan takut menghadapi kematian seperti almarhumah istrinya yang tidak pernah kami kenal. Dia mengajak bicara saya dari hati ke hati. Matanya di arahkan ke jantung hati saya, menembus baju, kulit dan daging saya. "Dik Lik, jangan putus asa berobat. Abang tahu, kanker itu menyakitkan. Tapi adik sudah membuktikan bahwa adik bisa tegar melawannya. Bahkan di tengah guncangan badai kehidupan yang maha dahsyat pula. Bertawakkallah. Akan abang bantu doakan adik. Teruskan pengobatan itu, jangan pernah menyerah. Dan tuntaskan air matamu untuk mengurangi rasa yang amat menyiksamu. Tak perlu kau malu untuk melakukannya, abang sadari, kanker itu jahat dan tak kenal belas kasihan......"

Seketika mata abang R diusapnya sendiri. Di lehernya saya lihat jakunnya naik-turun selagi bibirnya tergetar oleh suaranya sendiri yang meluncur nyaris tercekat-cekat. Ya, kanker memang jahanam!

(Bersambung)


Jumat, 02 November 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (14)

Tidak boleh banyak berpikir. Itu satu nasehat terpenting untuk orang sakit, terutama penderita kanker. Sinshe saya menjelaskan, bahwa sel-sel syaraf di otak berhubungan dengan sel-sel kanker. Jika sel kanker dilukai baik dengan cara dibiopsi apalagi hingga dioperasi, maka sel kanker akan berontak dengan cara melaporkannya kepada otak. Kemudian otak akan menyuruh sel kanker mengamuk sehingga penyakit pasien menjadi-jadi, lalu timbul kembali bagi yang sudah dibuang tumornya. Karena itu amat penting menjaga kenyamanan daerah tubuh yang sakit, juga menjaga pikiran agar tidak menimbulkan reaksi otak yang negatif yang berimbas kepada meruyaknya jaringan tubuh yang sakit.

Tapi hal itu tak mudah dilaksanakan. Soalnya saya merasa sendiri bahwa orang sakit sangat mudah tersinggung. Belum lagi tubuh tidak merasa nyaman yang mengakibatkan jika pasien mendengar sedikit keributan menimbulkan amarah di dalam dada. Buruk sekali, bukan?

Saya teringat teman saya yang penyanyi itu. Beliau amat tidak sabaran jika menghendaki sesuatu. Salah seorang teman yang pernah menampungnya menginap selama berobat di Singapura menceritakan betapa setiap pulang dari kemoterapi, pasien yang satu ini selalu minta dilayani segera sambil menggerutu. Sehingga pembantu teman saya kewalahan. Tapi waktu itu alhamdulillah mereka masih bisa memaklumi, sehingga si pasien tidak terlantar.

Namun namanya juga manusia. Maka di suatu saat, teman kami ini benar-benar kewalahan dibuatnya. Pasalnya si sakit minta izin menginap di rumahnya ketika si pemilik rumah sedang berada di Indonesia karena putrinya datang dari Amerika Serikat. Sudah barang tentu rumahnya di Singapura cuma dijaga pembantunya. Tapi teman saya mengizinkan beliau datang menginap asal bersedia hanya ditemani pembantunya. Semula pasien setuju. Namun belakangan dia mengomel panjang pendek, dengan cara menelepon setiap hari ke ponsel teman saya yang susahnya tak mudah dihubungi karena sedang berada di desanya nun di kaki gunung yang pelit sinyal. Isi omelannya adalah dia merasa tidak diperhatikan oleh pembantu si nyonya rumah. 

Ketika teman kami ini mengeluhkan pengalamannya kepada saya, saya kemudian mengambil alih penginapan si pasien dengan menawarinya bermalam di rumah saya. Dan benar saja, kejadian yang sama nyaris terulang lagi. Segala hal yang saya persiapkan untuknya selalu ada saja kekurangannya membuat pembantu rumah tangga saya pun mengurut dada. Apalagi pembantu saya pun harus menghadapi saya yang juga sedang sakit yang sama dengan tetamu kami ini.

***

Sekarang sebagai pasien itu sendiri, saya pun ternyata tak luput dari kerewelan yang sama. Tanpa saya sadari saya menjadi sangat sensitif, sedikit-sedikit minta perhatian dan seterusnya. Bahkan hanya karena anak-anak saya menjatuhkan sebatang pensil di lantai atas yang persis berada di atas kamar saya, saya bisa menegur mereka dengan ketus. Pokoknya suasana harmonis jadi terganggu oleh sikap saya yang menyebalkan.

Minggu lalu ketika saya berobat ke sinshe, saya sudah mulai senang. Soalnya tumor payudara saya yang sudah sebesar biji alpukat ketika pertama saya periksakan, dikatakan mulai merespons pengobatan dengan baik. Tapi tiba-tiba saya dikejutkan oleh pernyataan seseorang yang amat dekat dengan keluarga saya yang isinya menikam perasaan saya. Walau kata-katanya amat terselubung, tapi saya bisa merasakan bahwa pernyataan itu ditujukan kepada keluarga saya. Semalaman saya tak nyenyak tidur, tumor saya menegang kembali sehingga ketika harinya saya diterapi sinshe, dia menerapkan regimen pengobatan yang lebih kuat lagi serta melarang saya beraktivitas apa pun. Pikiran saya pun harus dijaga, begitu pesannya kepada anak-anak saya. 

Saya berupaya mematuhinya. Diet saya benar-benar saya patuhi. Istirahat saya lakukan. Artinya saya tak mengerjakan apa pun yang membutuhkan tenaga. Namun entah mengapa, rasa terluka saya begitu hebat. Sehingga saya bahkan terserang batuk-batuk berkepanjangan yang saya tahu adalah batuk penderita asthma. Puncaknya semalam. Sehabis makan malam saya tak henti-hentinya terbatuk padahal obat asthma pemberian sinshe saya habis. Tepat tengah malam saya mengirimkan SMS kepada sinshe saya agar diizinkan makan obat bebas yang saya dapatkan dari toko. Saya berharap dia akan memberikan solusi untuk mengatasi batuk saya yang mulai membuat nafas saya putus-putus disertai keringat mengucur meski hari mulai dilingkupi hawa dingin. Sayang sinshe saya rupanya telah tidur.

Maka ketika saya terbangun tadi pagi, saya langsung menyalakan ponsel saya mengharap ada jawaban sinshe di sana. Begitu saya kecewa lagi oleh layar yang kosong saja, saya pun sekali lagi mengontaknya ke nomor yang kedua yang dimilikinya. Beruntunglah saya, dua jam kemudian dia menjawab. Setelah mengatakan tak mungkin mengirimkan obat untuk saya, dia menyetujui saya makan obat yang sudah saya beli itu asal berselisih dua jam dari saat saya makan jejamuan pemberiannya untuk kanker dan sinusitis serta radang usus saya. Lebih dari itu dia tak mengizinkan saya makan buah mangga, jeruk serta tentu saja goreng-gorengan. Lalu dia menekankan bahwa saya harus kembali memaku diri di atas kasur dengan pikiran kosong yang ditenangkan dzikir. Intinya, saya tak boleh beraktivitas termasuk berpikir. Sebab, ya, musuh utama orang sakit kanker adalah pikiran yang susah dan kelelahan fisik. Wah, repot juga ya jadi orang sakit? Sudahlah mesti mengeluarkan banyak biaya, tak boleh bergerak-gerak pula. Semoga Allah saja yang menolong saya keluar dari kendala menikmati indahnya hidup ini. 

(Bersambung)


Pita Pink