Powered By Blogger

Kamis, 12 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XV)

Kereta bawah laut yang membawaku dari Inggris baru mendarat di tepian utara negeri ini. Aku memang sengaja tak mau naik ferry sekalipun sudah barang tentu mobil suamiku bisa "duduk" nyaman di ferry. Maklum aku pemabuk dalam artian yang sesungguhnya. Tukang mabuk laut, maksudku.

Perjalanan yang kira-kira satu jam ini benar-benar kunikmati. Gelapnya kedalaman laut, justru menciptakan rasa sepi dan nyaman tersendiri buatku. Bahkan balitakupun tak rewel. dia tergolek pulas di car-seatnya sekalipun anak sulungku ribut merengek minta melihat laut dengan segala isinya. "Nggak ada mas, nggak kelihatan. Kalau kita bisa lihat air laut dan ikan-ikan itu, berarti kereta kita tenggelam dan kita mati di dalamnya hiiiii........" terangku pada si sulung. Mata itu kelihatan membola sebelum kemudian membentuk rasa kecewa yang kemudian dipuaskannya dengan memejam dan tidur.

Kami dalam perjalanan pulang liburan musim panas untuk menyenang-nyenangkan Buyung di Legoland, Windsor, Inggris. Seperti biasa di Eropa, sepulang liburan anak-anak akan selalu diminta gurunya menceritakan kegiatan liburan mereka. Dan mas Tri sengaja ingin memberikan pengalaman baru untuk Buyung di taman yang memajang mainan dengan gaya potongan-potongan balok lego. Disana kemarin Buyung tampak sangat menikmati. Begitu pula si bungsu yang asyik kunaikkan choo-choo trainnya. Mungkin kini dalam tidurnya Buyung dan Hardi pun tengah bermimpi naik mainan lego. Kulirik jam di tanganku, baru duapuluh menit kereta kami meninggalkan Dover. Calais, masih di ujung sana belum ada tanda-tandanya.

Kurapikan piring hiasan bergambar Lady Di yang kudapati di toko souvenir seputar Windsor Castle dengan sangat hati-hati. Perempuan cantik berambut pirang dengan gaun kuning, bertopi serta mutiara melingkar di lehernya nampak tersenyum padaku. Aku yakin, besok Ami pasti akan senang menerimanya. Sebab Ami termasuk salah satu pengagum sosok Lady Di.

Kereta kami tiba kemalaman di daratan Eropa. Sebetulnya bukan salah keretanya, melainkan kesalahanku juga sebab aku tadi terlalu lama memilih-milih souvenir untuk banyak kerabatku. Suamiku menggerutu panjang-pendek, "gara-gara ibu sih, kita jadi kemalaman 'kan?! Nggak bisa apa ya kalau milih souvenirnya dicepetin sedikit tadi itu? Kasihan anak-anak belum makan malam," gerutunya sambil terus menyetir keluar pelabuhan Calais. Di belakang kami anak-anak tertidur nyenyak, dan mobil-mobil dengan plaat kuning dari Inggris berbaris tertib mau menjemput belanjaan mereka besok pagi di negeri ini. Aku mahfum, rakyat Inggris selalu menganggap belanja kebutuhan lebih murah di daratan Eropa daripada di negeri mereka sendiri.

"Ma'af ya pak," kataku sambil berusaha meredakan ketegangan suamiku dengan senyum. "Sekarang kita cari restoran aja deh," usulku sambil melirik ke kiri-ke kanan mencari-cari barangkali ada restoran yang cocok.

Suamiku masih terus memberengut waktu kami menemukan sebuah restoran Cina di daerah pusat kota Calais yang sudah sepi. Pelayannya menolak kami dengan alasan makanan sudah habis. Aku cuma bisa menggigit bibir menandakan penyesalanku. Tak ada jalan lain, kami terpaksa memacu kendaraan lebih kencang agar masih bisa tiba di rumah sebelum tengah malam dan menjerang Indomie sebagai penahan lapar. Kuulurkan seportong sandwich kalkun yang tadi kubeli di daerah Windsor Castle ke tangan anakku yang mulai terbangun dan menerimanya dengan senang, Dia mengunyah perlahan selagi mobil kami melaju dalam sepi hingga pukul sebelas malam.

-ad-

Aku mendengar dari mas Tri bahwa Ami sakit lagi dan direncanakan akan dioperasi dalam waktu dekat. Aku mengecek kebenarannya dengan menelepon Erna. "Ya, bu Taufik punya kelainan di kandungan dan rencananya segera dioperasi. Mungkin pak Taufik terpaksa harus minta perpanjangan tugas mbak," jawab Erna menjelaskan.

"Pak Taufik akan segera pulang?" tanyaku tak mengerti.

"Betul, beliau dapat promosi di Jakarta," jawaban Erna dari seberang sana.

Hatiku senang bukan main, dan merasa bahagia untuk mereka. Ami yang selama ini dinilai suaminya bukan istri pendamping yang baik justru sebentar lagi akan dapat posisi sebagai istri pimpinan pula. Seketika aku teringat kepada Elis dengan segala upayanya mendoakan Ami dan Taufik di gereja di tengah kota dulu itu. Tuhan, batinku, Kau Maha Tahu dan Maha Mendengar, maka telah Kau balas doa tulus Elis dengan kenikmatan dan barokah untuk Ami yang tabah mendampingi suaminya. Ya, jika Taufik memang layak dianggap oleh pimpinan sebagai salah satu staff terbaik, maka bintang jasa itu harusnya juga disematkan di dada Ami, sebagaimana dia pernah berlagu, ".......for showing me the meaning of success." Berpadulah segala rasa di hatiku, antara senang campur haru yang menggebu.

Ketika kutanyakan kebenaran gossip dari Erna kepada mas Tri, dia membenarkannya. Bahkan menurut mas Tri, usulan itu sudah terdengar setengah tahun yang lalu, namun kemudian mereda sejalan dengan "kepergian" Ami yang amat tiba-tiba dan penuh tanda tanya itu.

Aku kemudian minta izin untuk menengok Ami keesokan harinya, yang diiyakan oleh mas Tri. "Jangan lupa sekalian bawa oleh-olehmu dan lego untuk anak-anak mereka," suamiku mengingatkan sebelum kami naik ke pembaringan. Akupun mulai merancang rencana selanjutnya. Aku akan menghadiahinya bunga casablanca putih yang jadi favoritenya. Tentu dia akan bersemangat kembali menghadapi operasinya.

-ad-

Ami sendiri yang membukakan pintu untukku, karena memang tak ada siapa pun yang menemaninya. Anak-anak Ami pada pukul sembilan pagi tentu sudah ada di kelasnya masing-masing.

Sorot mata Ami adalah sinar kebahagiaan. Dia memelukku dengan hangat sambil menggiringku ke ruang keluarga. Oleh-olehku diterimanya dengan antusias sambil dibuka bungkusnya, selagi aku berlalu ke dapur mencari jambangan bunga yang kuyakin pasti ada di salah satu lemari di situ.

Ternyata mudah kudapatkan, sebab tergeletak begitu saja di dalam sebuah kotak plastik besar bersama banyak lagi barang pecah-belah lainnya. "Mbak, kelihatannya kok seperti orang mau bungkus-bungkus barang?" teriakku dari dapur.

"Ya, mas Taufik ditarik pulang bulan depan," jawab Ami penuh gairah.

"Oktober?" tanyaku polos.

"Kemungkinan besar begitu, setidaknya penarikan Desember seperti biasanya," jawab Ami lagi.

"Saya dengar promosi ya mbak?"

Ami berjalan menghampiriku yang tengah menuangkan garam dapur dan air ke dalam vas beling bening miliknya. Serasi sekali dengan putihnya casablanca yang cantik namun sederhana.

"Aduh, cantiknya," pujinya, "ayo duduk dulu di depan kita ngobrol-ngobrol. Mau teh ya?" dia menawariku.

"Nggak usah repot-repot mbak, nanti aku ambil sendiri seperti biasanya," jawabku sambil menerima tawarannya duduk kembali di ruang keluarga. Foto Lady Di sudah ditegakkannya di meja sudut selagi lego-lego anaknya tertumpuk rapi. Senyum Lady Di yang juga dipancarkan lewat matanya seperti menangkap kebahagiaan kami.

-ad-

Ami menceritakan bahwa suaminya ditarik pulang untuk mengisi jabatan salah satu pimpinan yang sudah setengah tahun dibiarkan kosong. "Dulu jabatan itu juga ditawarkan kepada mas Taufik, tapi biasalah, kau tahu sendiri ada gula ada semut. Dan "bapak kita" akhirnya memutuskan untuk menetepkan orang lain sebagai pejabat sementara. Nah sekarang beliau sudah di ambang mutasi ke perwakilan, jadi mas Taufik harus segera pulang."

"Aku bahagia untukmu mbak, sudah aku bilang 'kan? Mbak terlalu sabar, jadi Allah memberikan hadiah, ganjaran yang tak terduga untuk mbak. Siapa bilang mbak bukan istri pendamping suami yang baik?" kataku.

"Suamiku dong, masa' orang lain sih?" jawab Ami sambil tersenyum-senyum ringan seakan-akan dia tak pernah menaruh kecewa atau sakit hati pada suaminya. Benar-benar ajaib, perempuan berhati santa! Semakin kutakjub padanya.

"Bagaimana dengan sakitnya? Dik Erna bilang mbak mau dioperasi, ya?" tanyaku langsung menuju sasaran.

"Ya, dan tidak. Aku sudah jadi ke dokter dengan mas Taufik. Ternyata permasalahanku ada pada kandungan. Ada jaringan yang tumbuh di kandunganku. Tepatnya di rahim dan di kedua indung telurku. Dokter kandungan menyarankan pengangkatan organ reproduksiku semuanya," jawabnya santai tanpa lupa meninggalkan seulas senyum di deretan gigi-giginya.

Cerita Ami, suatu hari penyakitnya kambuh lagi. Seperti biasanya menyerang paru-parunya juga. Bahkan kali itu dia tak mampu menyuap makanannya sendiri. Di tengah makan malam, sendok di tangannya terpelanting karena dia memaksakan diri untuk menyuap sendiri. Dan konon suaminya sangat terkejut bahkan panik sehingga dia diberinya pereda rasa sakit yang diperolehnya dari dokter gigi langganan mereka ketika suaminya sakit gigi dulu.

Dokter gigi yang dihubungi untuk dimintai pertimbangan menyarankan Taufik untuk segera membawa Ami kepada dokter kandungan relasinya. Namun untuk itu diperlukan surat pengantar dari dokter umum yang akan merujuknya. Kedua dokter itu adalah manusia-manusia berhati santa yang banyak memberikan pertolongan pada Ami dengan cepat.

Intinya, Ami sudah diperiksa dokter kandungan dengan diantar suaminya. Lalu dokter itu menganjurkan operasi setidak-tidaknya pengobatan dengan suntikan yang amat mahal harganya. Namun mengingat Taufik sudah di ambang mutasi, Ami memilih pengobatan suntikan yang juga akan diteruskan di tanah air dengan berbekal obat dari dokter di negeri ini.

"Sekarang gimana rasanya mbak setelah suntikan pertama?" tanyaku ingin tahu.

"Ya belum ada efeknya sih, tapi ini 'kan belum seminggu. Besok baru hari ke-enam. Kita lihat lah dalam sebulan-dua bulan ke depan," jawabnya santai. Dengan ringan juga dia menceritakan jarum suntik itu menembus kulit perutnya, yang bagiku sudah bisa menimbulkan kengerian. "Tapi mas Taufik sekarang ada di dekatku lho Nik," pamernya bangga, "persis waktu kami masih muda dulu,' senyum itu tertebar lagi lewat matanya sekaligus.

"Syukurlah mbak, berarti lagu "Woman"mu masuk ke hatinya tuh," sambutku dibalas tawa yang menggemakan kebahagiaan hati seorang perempuan dimabuk cinta.

Aku meninggalkan apartemen Ami sebelum pukul dua belas siang karena ada tugas dan tanggungjawabku sendiri terhadap rumah tanggaku terutama anak-anak kami. Kali ini dengan langkah ringan dan hati yang sarat kebahagiaan dan kebanggaan untuk perempuan secantik Ami.

(BERSAMBUNG)

18 komentar:

  1. Ntar tak susul bun, lagi ngurus cuti.. :D

    BalasHapus
  2. Aku dioleh-olehi binteng jahe karo geplak mBantul ya nduk?!

    BalasHapus
  3. Hihihi, seneng geplak pa bun?? Lina ga seneng, tlalu manis, menyaingi kemanisanku... *hahaha mulai deh...

    BalasHapus
  4. Eh, sing manis 'kan enak. ada juga lho disini. Tapi orang sini buatnya cuma merah jambu dan kelapanya diparut halus terus ditumbuk jadi tepung, dicampur tepung beras lagi kayaknya sih. Soal rasa wis persis sama! Cuma bentuknya jadi kayak dodol garut persegi-persegi dicetaki.

    BalasHapus
  5. Gaya penulisan Bunda yang detil mengingatkan saya pada Eyang NH Dini. Novel Namaku Hiroko, Pada Sebuah Kapal, Hati Yang Damai.... tapi saya lebih suka baca punya Bunda Julie. Sumprit, Bun! :D

    BalasHapus
  6. setujuuu...!!!
    ayoo bun bukukan donk jadi novel :)

    BalasHapus
  7. Sepertinya ada secercah harapan untuk Ami ya...

    BalasHapus
  8. Iya, memang saya niru bu Dini. Saya udah baca bukunya bu Dini dari jamannya belum ada Namaku Hiroko dan sejenisnya. Gaya penulisan beliau itu kan kuno. Gaya sastrawan '66.

    Saya memang penggemar bacaan-bacaan sastra sejak SD. Bayangin tuh, masih kelas IV SD udah baca "Anggia Murni" terbitan BP atau Djambatan gitu, saya lupa. Belum lagi novel-novel sastra Jawa "Untran-Untran Ing Banjar Anom", "Lolos Seka Nusa Kambangan" dan "Dawet Ayu" segala.......... edan kok mbak!

    SMP bacaan saya udah meningkat ke Majalah Sastra Horison. Bahkan essay-essay sastra "Siapa Suka Membaca Sastra" sebangsanya. Sampe saya dibilang antik sama temen-temen sekolah saya. Dulu, kalo suami saya ada PR kesusasteraan dan disuruh bikin resume buku, yang ngerjain saya, padahal dia dua tahun di atas saya. Alah, pe-de aja lagi! Alhamdulillah tuh katanya nilainya paling lumayan di kelasnya.

    Jadi, kesimpulannya saya memang seneng baca sastra, tapi saya bukan sastrawan, jadi nggak layaklah kalo dibandingkan sama bu Dini yang jelas-jelas pujaan saya itu mbak.

    Hayo mbak Niken, nulis yang seriusan coba-coba aja. Pasti aku baca! Dan pasti aku suka!

    BalasHapus
  9. Terima kasih, tunggu ya. Mudah-mudahan ada yang mau nerima.

    BalasHapus
  10. Ya, begitu 'kan perjalanan nasib orang, masa' mau sepet aja ya mbak? Moga-moa cerah deh nggak hanya secercah lagi. Terima kasih atas harapannya. Nanti saya sampaikan Ami. Hehehehe......

    BalasHapus
  11. mbak.. elu kagak nyeritani kehidupan si aku dan suaminya mbak? selingin juga kale mbak.. ya diskusi antara si saya dgn si suami tentang ami..

    salam
    Rendra
    (wakakakakakakaakaa!!)

    BalasHapus
  12. Oh iya ya, nice idea juga tuh. Entar dipikirin deh gimana gw masukinnya. BTW selamat atas bukunya ya. Yang nggak boleh pake Bahasa Inggris isinya toch? Judulnya oke aja?

    BalasHapus
  13. wah kenapa gak sekalian beli dua piring lady diana nya, saya juga suka bu.

    BalasHapus
  14. Oh, lha, Nonik nggak kenal sih sama bu Yudi. Halah!!

    BalasHapus
  15. Ya, betul. Gimana kabar bukunya? Wah, jadi dong memenuhi permintaan penerbit untuk bikin lanjutannya? Atau bikin serial RM gitu? Nggak dong ya, kalo soal keluarga sendiri mah nggak buat dijual 'kan?!

    BalasHapus

Pita Pink