Powered By Blogger

Kamis, 29 Agustus 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (105)

Awal pekan ini menjadi hari yang sangat menegangkan dalam hidup saya setelah akhir pekan sebelumnya saya dinyatakan tak boleh dikemoterapi dengan obat yang sedang diteliti itu karena terganjal sesuatu hal. Masalahnya meski hasil pemeriksaan darah saya baik, tapi rekam jantung saya buruk. Jantung yang buruk atau lemah denyutnya tentu saja merupakan ancaman jiwa terbesar. Betapa mengerikannya menghadang kematian dengan cara seperti ini. Saya tidak pernah menginginkannya.

Pintu menuju kesembuhan seketika "tertutup" untuk saya. Tak ada cara lain untuk mengobati diri secara medis. Apalagi dengan mengandalkan obat gratis meski berarti saya mesti bersedia ikut penelitian seakan-akan sebagai kelinci percobaan. Dulu ketika dokter onkologi saya pertama kali menemukan apa penyebab sel kanker saya, beliau sudah menganjurkan saya menggunakan obat-obatan mahal yang super keras itu dengan melamar menjadi partisipan penelitian. Karena sifatnya sangat keras, maka anak-anak saya berkeberatan mengizinkan saya ikut serta pada program yang bersifat penelitian. Padahal untuk saya mencoba ikut penelitian lebih baik daripada tidak terobati; dalam arti kata kalau saya tidak berhasil maka nyawa saya adalah amalan untuk para pasien lain sesudah saya. Tapi anak-anak saya menolak. Bagi mereka nyawa saya, satu-satunya orang tua yang bisa jadi panutan mereka, tentulah harta berharga yang tiada bandingannya. Ya, saya dapat mengerti perasaan mereka setelah kami melalui berbagai guncangan hidup selama ini.

***

Sewaktu akan menemui dokter senior ahli kemoterapi yang menjadi penanggung jawab penelitian itu pada Jumat (23/08) siang saya penuh percaya diri. Hasil laboratorium di tangan saya disebutkan anak saya sangat baik. Jadi apa lagi yang perlu dirisaukan, karena saya tidak tahu persis berapa sebetulnya denyut jantung normal seorang perempuan dewasa. Maka, meski menunggu sangat lama sampai sempat terkantuk-kantuk, saya punya harapan akan menandatangani perjanjian kerja sama pengobatan. Saya abaikan saja peringatan ibu Yani perawat kepala di situ tentang buruknya hasil rekam jantung saya. Saya cuma tersenyum seraya menjawab insya Allah saya akan bicarakan semuanya baik-baik dengan dokter.

Seorang lelaki Tapanuli duduk di dekat saya bersama perempuan yang semula saya kira saudaranya. Mereka berdua asyik mengobrol dalam bahasa Indonesia, sehingga pembicaraan mereka yang cukup lantang itu tertangkap jelas oleh saya. Dia menderita leukemia bertahun-tahun. Segala hal sudah dicobanya, kemoterapi juga sudah. Bahkan sempat berobat ke Penang, Malaysia. Di negeri tetangga itu dia mendapatkan cerita yang katanya sudah terbukti, ada seorang ahli bedah onkologis yang sanggup mengoperasi pasiennya hanya dalam sepuluh menit saja. Padahal itu operasi besar.

Penuturan ini tentu saja mencengangkan lawan bicaranya yang mengantarkan seorang penderita kanker kelenjar getah bening Non-Hodgkins Lymphoma. Kanker yang bersarang di rongga perutnya sudah berhasil dibuang, nyaris berdekatan waktunya dengan operasi by-pass jantung. Sekarang tinggal melanjutkan kemoterapi. Menurut perempuan itu alangkah pandainya dokter Malaysia itu dibandingkan dokter yang mengoperasi suaminya, walau saya justru berpendapat sebaliknya. Bayangkan saja, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyayat suatu organ, entah iru dinding dada entah perut. Belum lagi kemudian memotong tumor di organ yang dijangkiti dilanjutkan dengan pengerjaan penutupan kembali sayatan-sayatan itu. Saya sama sekali tak bisa membayangkan hasil kerja kilat macam itu. Pekerjaan yang menyangkut nyawa manusia sepertinya dilakukan tanpa pertimbangan dan perhitungan yang matang. Ngeri benar kalau begitu. Saya sendiri yang sudah mengalami 12 kali operasi sepanjang hidup dengan sebagian besar operasi berat, tidak pernah bisa diselesaikan hanya dalam tempo satu jam saja. Apalagi sepuluh menitan begitu.

Sedang saya menyimak obrolan para pasien ini tiba-tiba masuklah pasangan suami-istri keturunan Cina dengan logat Jawa Timuran yang medok minta izin duduk menjejeri anak saya. Begitu duduk sang nenek menanyai anak saya dengan gaya suaranya yang kental, "kamu sakit apa?" 

Karena tak menyangka akan ditegur sebegitu rupa anak saya lambat menjawab. Dia memandangi perempuan tua itu terlebih dulu sebelum kemudian menunjuk saya dengan mengatakan bahwa dia mengantar saya berobat. 

Seketika si nenek menanyai saya tentang keadaan saya. Lalu dia terperangah sendiri sambil menjungkitkan alisnya yang tipis dan mengomentari bahwa saya gemuk. Menurutnya penderita kanker tak ada yang gemuk. "Lha, kamu kok gemuk tho?! Orang sakit kanker payudara itu ndak iso gemuk je!" Celotehnya sambil terus menatap saya heran hingga akhirnya kami mengobrol akrab.

Perempuan tua itu kurus, sudah dua belas tahun menderita kanker payudara yang pada awalnya tak jelas benar. Benjolan tak teraba olehnya, apalagi sakit dan gatal di payudara seperti yang saya alami. Dia cuma merasa berat badannya turun, lekas lelah dan pusing. Selain itu bahunya pada sisi yang terserang kanker payudara kerap merasa nyeri seperti terkilir yang kemudian membaik setelah dipijat. Entah mengapa beliau tak menyebut-nyebut anaknya. Sebab yang dikatakannya mendorongnya berobat ke dokter justru adalah teman-teman sepekerjaannya. Mereka memintanya mengambil cuti untuk memeriksakan diri ke dokter. Karena mencurigai adanya kanker payudara, dokter mengirimnya kepada dokter onkologi di RS Gading Pluit yang berpraktek utama di RSK Dharmais. Itu sebabnya di tangan suaminya terdapat kantung hasil pemeriksaan radiologi yang bercap "RS Gading Pluit".

"Kamu doktere sopo?" Tanyanya lagi. "Dr. Bayu," jawab saya. Yang dengan segera dikomentarinya sebagai tenaga muda yang cerdas dan pandai menangani pasien-pasiennya. "Oh, doktermu itu terkenal pinter ndek sini," pujinya sesuai dengan pendapat saya serta banyak orang lagi di kota kami, kota asal dokter onkologi saya itu.

"Dokterku senior, aku kena stadium empat. Tapi aku bertahan sampek sekarang. Padahal waktu dokterku sedang pergi ke luar negeri karena dokter Dharmais sini 'kan banyak dikirim ke luar negeri ya, aku dipegang mbek dokter lain, sekarang aku ya masih berobat ndek Pluit ambek dokter iku," celotehnya seru tanpa saya tanya. Bahkan dengan antusias dia menceritakan proses kemoterapinya serta diet anti makanan hewani ditambah anti goreng-gorengan yang membuatnya mampu bertahan meski kankernya sempat kambuh di payudara lainnya hingga harus dioperasi sebulan yang lalu. Kemudian beliau mengeluarkan dua butir ubi rebus yang dimakan berdua dengan suaminya untuk pengganjal lapar karena sudah lewat waktunya makan siang. "Yo mik ngene iki manganku," pamernya dengan tangan nikmat mencubiti ubinya. Saya menelan ludah menahan lapar yang terganjal jadwal pertemuan dengan dokter ahli kemoterapi. Di dalam hati saya tercengang-cengang menyaksikan pengakuan penderita kanker stadium akhir ini yang bertolak belakang dengan penampilan fisiknya. Meski kurus, tapi tidak ringkih dan sanggup bertahan lebih dari satu dasa warsa. Ketika saya yang sudah berbalut pakaian muslimah tertutup kerudung sepinggang dengan kaus kaki dan sepatu pantofel bisa merasa kedinginan, beliau cuma tenang-tenang saja meski mengenakan rok selutut dengan blouse lengan pendek serta sandal sebagai alas kaki. 

"Ibu hebat, nggak merasa kedinginan di sini," lontar saya memujinya. 

"Ya dingin juga sih, tapi ndak sepiro. Lain kali aku tak pakek kaos kaki saja koyo kamu," jawabnya. Tapi dia kemudian bercerita bahwa sensor di kulit tangannya sudah mati rasa karena efek pengobatan yang diterimanya. Lalu dicubitnya sendiri lengan putih susu itu sambil menegaskan bahwa dia tak merasakan apa-apa. Bibir tipis itu tersenyum memperhatikan kami anak-beranak.

***

Kanker betapa pun hebatnya ternyata masih bisa dilawan. Mereka yang saya jumpai hari Jumat itu di RSKD adalah bukti-buktinya. Si pemuda Tapanuli malah sedang akan mempertimbangkan penanaman sumsum tulang belakang untuk memperbaiki kondisi leukemianya, begitu yang saya dengar dari obrolannya. Sesungguhnya kalau kita mau berjuang keras, kanker insya Allah masih bisa dilawan. Setidak-tidaknya itu nasehat yang saya terima dari dokter paliatif teman Dharma Wanita Persatuan saya yang tugasnya mendampingi pasien yang berada dalam keadaan belum tertangani dengan baik atau nyaris tak tertangani lagi. Dr. Maria Astheria bilang kemarin, saya termasuk pasien yang tangguh. Di kalangan teman-teman kami ceritanya, saya mendapat pujian karena terbukti sanggup mengalami segala rasa yang menyakitkan ini begitu lama tanpa banyak mengeluh. Sebab menurutnya saya punya keinginan yang keras untuk mencapai sesuatu. Termasuk meraih kesembuhan yang tak gampang itu.

Saya nyaris menangis di bahu teman saya itu ketika saya masuk ke kliniknya mengadukan kelainan jantung saya dan rencana pengobatan dengan obat yang diteliti pihaknya. Selama ini saya tak pernah menyangka saya butuh berada di dalam klinik paliatif meski dua minggu yang lalu perawat dari unit kerja paliatif menelepon saya menanyakan kondisi saya untuk pengamatan. Waktu itu saya katakan saya baik-baik saja dan dalam rencana akhir yang pasti untuk dikemoterapi lagi. Adapun hal ini sudah langsung saya laporkan kepada kawan saya atasannya itu. Perawat akhirnya menyatakan turut bahagia dan bersyukur. Agaknya nama saya ada di dalam daftar pasien yang memerlukan tindakan pengobatan paliatif tanpa sepengetahuan saya. 

Perawatan paliatif memang diselenggarakan bagi pasien dan keluarganya yang menemui kesulitan karena penyakitnya belum terdeteksi dengan baik atau bahkan mendekati ajalnya. Kebijakan baru yang digulirkan Menteri Kesehatan tahun 2007 ada di beberapa RS saja untuk menangani pasien yang mempunyai penyakit-penyakit berat semisal kanker. Itu sebabnya di RS-RS kecil kita tak pernah mendengar keberadaannya.

Mbak Ria segera mengontak dokter ahli kemoterapi untuk memperbincangkan kasus saya. Setelahnya mencoba mengontak dokter ahli jantung yang dibujukinya untuk memperbaiki dulu keadaan saya. Sayang dokter jantung tak bisa menerima telepon karena sedang menangani pasiennya. Maka dengan lembut diajaknya saya ke klinik jantung sebelum tiba waktunya saya dipanggil masuk. Beliau bersedia berbicara dulu dengan mbak Ria di kliniknya seselesainya menangani pasiennya itu.

Ada jalan khusus agaknya yang biasa digunakan dokter untuk masuk ke klinik mereka. Lewat pintu belakang teman saya masuk sendiri. Saya dan anak saya diminta menunggu di kursi tunggu keluarga pasien rawat inap yang sedang ditangani. Bersliweran tempat tidur dengan pasien yang amat kepayahan melintas di dekat saya membuat saya bersyukur tak seperti mereka. Sanak keluarganya pun letih semua nampaknya.

Cukup lama teman saya di dalam, sewaktu keluar saya langsung bisa menerka jawabanya bahwa saya tak bisa dikemoterapi dengan obat keras itu. Mbak Ria duduk di tengah-tengah saya dan anak saya. Lalu dengan sanggat hati-hati dan lembut menyampaikan bahwa dokter-dokter tak bisa mengemoterapi pasien dengan jantung lemah disebabkan kerasnya obat bisa memperberat kerja jantung. Jadi mereka minta maaf tak jadi memberikan kesempatan ini untuk saya. Namun kata mbak Ria, rapat dewan dokter sore hari itu akan mengangkat masalah saya. Dia berharapan ada obat lain yang tak mempengaruhi kerja jantung, meski artinya kami harus membeli sendiri.

Lagi-lagi mbak Ria mengatakan saya tak boleh berkecil hati dan merasa amat bersalah tak bisa berobat dengan baik seperti harapan teman-teman DWP kami. Sebab mereka justru tahu setiap manusia sekuat apa pun mempunyai titik kelemahan. Di mana ~katanya~ tak satu pun di antara kami yang tangguh menjalaninya seperti saya. Upaya mereka membawa saya berobat ke RS adalah merupakan bentuk penghargaan dan kekaguman mereka kepada kami anak-beranak. Lalu dia pun menasehati anak saya untuk juga memikirkan nasib dan masa depannya sendiri yang kini terbengkalai karena terpaku mengurusi saya. Sebelum kembali ke kliniknya dia menjanjikan untuk mendiskusikan kesulitan saya dengan teman-teman DWP kami malam harinya. Sebab mbak Ria tahu tak pernah ada jam kosong untuk saling berhubungan dikarenakan sebagian terbesar kami ada di luar negeri pada zona waktu yang berbeda. Saya mengucapkan terima kasih padanya sambil menahan air mata yang tiba-tiba membendung ketajaman penglihatan saya.



"Ya Tuhan, tolong bukakan pintuMu yang lain, berikan jalan padaku untuk menggapai kesembuhanku," begitu doa saya sambil melangkah pergi ke sisi lain berkumpul bersama para pasien rawat jalan. Dalam nasehatnya dokter Maria memang menyuruh saya menyerahkan diri seikhlas-ikhlasnya kepada Allah karena Dia lah yang Maha Kuasa. Sedangkan tumor saya dimintanya untuk tidak dijadikan sumber kebencian. "Mbak Lilik justru harus bersahabat dengannya. Elus-eluslah dia ketika mbak mandi. Ajaklah mengobrol seolah-olah dia bermulut. Katakan mbak bisa menerima kehadirannya, tapi mintalah agar dia tenang dan tak mau menjadi semakin besar lagi. Tumor itu sudah menjadi bagian dari hidup dan tubuh mbak sekarang," petuahnya seraya menatap wajah saya lembut. Saya menjadikannya pedoman sekarang ini.

***

Di selasar ruang tunggu pasien rawat jalan kepadatan terasa benar. Padahal dokter masih sibuk memeriksa pasien rawat inap. Saya tak berniat mengobrol dengan siapa pun, karena asyik melamun sendiri mencari jalan agar tetap bisa mendapat obat kemoterapi. Terpikir untuk minta perawatan rutin jantung. Kemudian nantinya saya akan minta dirujuk ke onkologis saya di Bogor saja supaya beliau merujuk saya kepada dokter jantung sejawatnya di Bogor agar tak semakin melelahkan saya. Untuk itu saya sudah berniat bicara dengan dokter jantung nanti, diikuti kunjungan ke klinik onkologi besok malamnya di Bogor. Saya rancang kata-kata yang masuk akal sebanyak-banyaknya sambil membunuh waktu. Untung tak lama kemudian perawat mulai memanggili kami. Sayang berhenti cukup lama di jam makan siang tanpa pemberitahuan yang jelas. Barulah ketika sebagian besar pasien dan pengantarnya tertidur kelelahan, perawat itu keluar mengumumkan jam istirahat secara resmi.

Kami segera beranjak ke kantin. Tapi saya tak ingin berlama-lama di sana karena pikiran saya terus saja tertuju kepada kondisi jantung saya serta penjelasan dokter tentangnya. Ketika kami kembali memang banyak tempat kosong persis di depan klinik dokter jantung. Saat itu hanya nampak sepasang suami istri kira-kira sebaya saya, jadi saya putuskan duduk di situ.

Ternyata kami pernah berkenalan sebelumnya. Dia pederita kanker payudara juga stadium II begitu pengakuannya. Tumornya sendiri sudah cukup besar, ketika dia memperlihatkannya kepada saya, tapi belum pecah. Permukaannya merah kebiru-biruan yang katanya diakibatkan oleh biopsi dengan jarum yang dilakukan oleh dokter di RS lain. Waktu itu dokternya menusuk hingga dua kali, masing-masing sesi tiga tusukan yang menyakitkan. Sungguh berbeda dari yang saya alami dengan metoda yang sama. Dokter spesialis bedah umum yang mewakili dokter onkologi saya cuma sekali menusuk saja tanpa nyeri. Akhirnya perempuan ini pindah berobat hingga sekarang. Dan di sinilah penyakitnya diobati dengan kemoterapi yang direncanakan berjalan enam atau tujuh kali disambung rencana operasi. Hari itu dia mempersiapkan kemoterapinya yang kelima. Dan sama halnya dengan saya, dulu dia juga sudah mengalami pengangkatan rahim. Sehingga dia beranggapan seperti saya, bahwasannya kista di organ reproduksi kami erat kaitannya dengan tumor payudara yang kini kami idap dengan nama kanker.

Dia menuturkan walau pun baru sakit setengah tahun tapi hartanya sudah terkuras banyak, mengingatkan saya kepada pengalaman saya sendiri. Bahkan dokternya mengatakan jika dia sampai menjual rumahnya pun, penyakitnya belum tentu sembuh. Ini dibuktikannya dengan menceritakan keluhan keluarga seorang pasien dari daerah yang terus kelabakan mendanai pengobatan kanker saudaranya sampai sekarang meski telah menjual empat buah rumah toko yang dimilikinya. Kini perempuan itu membantu mengempiskan tumornya sendiri dengan mengompresnya memakai rebusan daun kobis setengah matang. Pengetahuan yang diajarkan tetangganya diklaim olehnya sudah mengecilkan tumorya dengan bukti nyata yang diperolehnya dengan cara mengukur tinggi payudaranya dari atas ke bawah setiap minggu.

Tak terasa dokter berpraktek kembali. Juga tiba giliran saya persis sebelum perempuan Jawa itu. Dokter sangat menentang rencana kemoterapi saya yang sudah resmi terjadwal itu persis seperti informasi yang disampaikan teman saya. Sebab kelainan denyut irama jantung saya yang lemah dapat dipastikan sebagai efek ketiga jenis obat kemoterapi saya yang terdahulu. Menurutnya semua obat kemoterapi bersifat cardiotoxic alias meracuni jantung. Walau tak banyak pasien yang mengalaminya. Saya beruntung tidak mengalami keluhan di sistem pencernaan saya yang umumnya diderita pasien lain, tapi tak seberuntung mereka yang jantungnya kuat. Karenanya saya tidak akan mungkin menerima obat yang efeknya lebih kuat lagi. Ini mengingatkan penjelasan dokter Maria kepada saya, bahwa kalau saya nekad dikemoterapi maka saya tidak akan menerima manfaatnya sama sekali bahkan semakin menderita karena gangguan jantung. Buktinya dengan obat murah-meriah itu saja kini tumor saya sudah kembali membesar ditambah timbulnya gangguan jantung.

Mereka benar. Membuat saya menjadi semakin tersudut kebingungan dan takut. Tapi saya tetap berserah diri, apalagi mengingat dokter Maria akan membawa kasus saya ke rapat dewan dokter untuk dirundingkan jalan keluarnya. Sementara menunggu, kini saya makan obat dari dokter spesialis jantung itu dalam jumlah yang lumayan banyak. Pada obat-obatan ini saya berharap kondisi saya membaik sehingga saya bisa dipersiapkan untuk dikemoterapi juga. Ah rasanya hidup saya kini selalu tanpa kepastian.

(Bersambung)

Sabtu, 24 Agustus 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (104)

Akhir-akhir ini hari-hari saya habis di RS. Setidak-tidaknya dua hari sekali saya terjadwal untuk mendapat sesi fisioterapi di Instalasi Rehabilitasi Medik serta memeriksakan kesehatan untuk persiapan kemoterapi saya. Tidak terkecuali hari ini, Sabtu (24/08) yang seharusnya menjadi hari istirahat saya. Saya malah mengunjungi klinik dokter spesialis penyakit dalam karena ada hal-hal yang merisaukan saya.

Saya memilih berobat di RS Karya Bhakti Bogor agar tak harus ke Jakarta lagi. Di sini pun saya punya dokter yang biasa memantau kesehatan saya menghadapi kemoterapi dan setelahnya. Itu sebabnya saya datang kepadanya pagi ini.

Satpam yang bertugas memberikan nomor antrian pendaftaran pasien mengira saya akan ke onkologis. Dia memberitahukan bahwa beliau belum tentu membuka kliniknya. Tak mengapa, jawab saya, karena tujuan saya justru ke klinik dokter penyakit dalam. Lelaki itu mengangguk-angguk mengerti, seraya menyerahkan nomor kecil ke tangan saya. Benar-benar sepi pasien hari ini tak sebagaimana yang sudah-sudah. Entah apa sebabnya saya tak tahu. Yang pasti, saya pun mendapat nomor giliran kecil di klinik. Sayang dokter datang kesiangan, yang saya asumsikan habis membantu onkologis saya mengoperasi pasien tumor otak. Sebab itu alasan hari ini onkologis saya tak membuka klinik. Operasi tumor otak adalah perkara yang rumit karena menyangkut tulang tengkorak yang dipadati serabut-serabut syaraf yang banyak, halus lagi rumit. Di dalam hati saya memuji keberanian dokter saya melakukannya di sini, di kota kecil dengan fasilitas teater (ruang operasi) yang sederhana. Tapi saya yakin beliau percaya diri karena RS tempat kami berobat punya banyak spesialis termasuk spesialis bedah tulang dan bedah syaraf. Belum lagi waktu saya tengok papan daftar dokter, ada nama-nama baru bertugas di berbagai klinik dan instalasi menandakan RS ini sedang terus mengembangkan diri di usianya yang makin tua. Saya dengar rencananya RS ini akan diperluas dengan bangunan baru sama sekali di lokasi lain. Hidup matinya RS milik partai politik yang mendominasi pemerintahan Orde Baru ini sedang dimatangkan di tingkat pengambil keputusan mengingat izin operasionalnya akan segera habis. Saya dengar akan menjadi milik pemerintah karena kurangnya RS Pemerintah di dalam kota Bogor sejak dulu.

Bicara soal kemampuan onkologis saya, boleh dibilang sudah mahir. Soalnya ada pasien yang mengaku dirinya penderita kanker payudara stadium III tetapi dulu dioperasi hanya di sini, tak perlu dibawa ke RSKD seperti kasus saya. Juga perawat mengatakan meski tak sebanyak pasien onkologis kakak saya. tetap ada saja pasien onkologis saya yang dioperasi di sini. Menurut hemat saya kalau kondisi pasien tidak rumit sepertinya dokter lebih memilih mengoperasi pasiennya di sini. Rasanya ini bentuk penghematan biaya juga.

Ketika masuk ke klinik saya mengeluhkan soal tekanan darah saya yang cenderung tinggi. Padahal saya akan menerima obat kemoterapi terkuat. Sedangkan hasil pemeriksaan rekam jantung saya di Jakarta menunjukkan adanya gangguan pada fungsi bilik jantung kiri. Saya perlihatkan bundel hasil rekam jantung berikut keterangan dokter jantung yang antara lain bertuliskan "LV failure" yang menjadi tanda tanya pada saya yang awam. Ada apa kiranya dengan keadaan itu yang bilangannya di bawah standar, jauh dari keadaan sebulan sebelumnya ketika saya baru selesai dikemoterapi yang kelima memakai obat yang tidak bermanfaat bagi saya itu. Juga saya kaitkan dengan keadaan kulit kemerahan di sekujur lengan kiri saya yang membuat saya merasa ngeri sehingga menduga-duga adanya hubungan dengan kelainan di bilik jantung kiri saya. Belum lagi tekanan darah saya naik dalam minggu-minggu terakhir kemarin meski obat penurun tekanan darah sudah saya makan.

Dokter mencermati laporan saya dengan membaca dan membandingkan kedua hasil rekam jantung saya. Setelah mencatat hasil temuannya di bundel rekam medis saya, beliau mempersilahkan saya naik ke tempat tidur pemeriksaan. Dilakukannya pemeriksaan dada menggunakan stetoskopnya dengan hati-hati. Setelah itu beliau menyampaikan keterangannya. Memang kondisi bilik jantung saya perlu diperbaiki sebelum dikemoterapi. Keadaan ini sangat boleh jadi berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Tapi tak berkaitan dengan keadaan kemerahan di kulit lengan saya yang terserang pembengkakan. Pembengkakan itu menurutnya diakibatkan terjadinya penyumbatan aliran darah di sekujur lengan yang sakit, yaitu pada pangkalnya di sekitar ketiak saya yang dioperasi. Persis sama dengan penjelasan dokter spesialis penyakit dalam lainnya yang bertetangga dengan saya ketika kami berjumpa di RS serta bersalaman sebelum saya masuk ke klinik. Sayangnya saya tak mendapat obat apa pun, sebab saya mengaku tak merasa nyeri di lengan juga tak demam. Apalagi lengan saya tak terasa panas ketika diraba. 

Tapi untuk kondisi tekanan darah tinggi dan jantung saya, dokter memberikan tambahan obat-obatan yang harus saya habiskan. Yang semacam diberikan untuk dua hari, sehingga ketika saya menghadap dokter yang akan memberikan kemoterapi, diharapkan kondisi saya membaik. Saya pun dianjurkan untuk menjalani diet rendah garam, menghindari pikiran yang berat-berat serta melakukan olah raga ringan semisal jalan kaki selama beberapa waktu. Tak perlu jauh-jauh supaya tidak melelahkan bagi penderita kanker, begitu pesannya. 

Dalam daftar menu rendah garam antara lain tercakup makanan yang sudah diawetkan semisal ikan asin. Tentu saja saya sepakat, karena selain kandungan garamnya sangat tinggi, ikan asin termasuk makanan berpengawet yang sudah lama saya hindari sejak sinshe melarangnya. Habis sudah kenikmatan saya sekarang. Sangat bertambah panjang daftar makanan yang membahayakan saya. Rasanya saya tak akan sanggup mematuhinya. Tapi, demi nyawa saya dan kepentingan anak-anak sudah saya tekadkan untuk menepatinya sedapat-dapatnya. Tantangan yang berat itu kini tiba di depan mata saya.

***

Siang ini saya hanya makan sayur asam, tempe goreng dan telur dadar nyaris tanpa garam. Malamnya telur itu saya ganti dengan sepotong ikan goreng. Entah apa yang akan terjadi besok. Yang pasti saya mengonsumsi buah dua mangkuk seharian ini. Ditambah segenggam anggur dan sebutir kecil pear sebagai kudapan pagi tadi. 

Soal olah raga tentu belum saya jalankan karena saya masih kelelahan sehabis ke RS hingga siang hari. Stamina saya jauh menurun ketika saya mengidap penyakit kanker, apalagi pasca operasi. Sangat berbeda dari stamina ibu yang lebih senior dibandingkan saya yang sudah dua kali saya temui di RS.

Tuturnya beliau menderita kanker payudara stadium II yang juga dioperasi dokter kami selama 5 jam di RSKD. Entah kondisi apa yang membuat dokter lebih memilih mengoperasi beliau di sana, yang jelas payudaranya tidak diangkat. Hanya benjolan tumornya saja yang diambil. Saya pun tak paham mengapa tumor kecil itu serta operasi pengangkatan tumor saja memakan waktu lebih lama daripada operasi pengangkatan payudara dan kelenjar getah bening di ketiak saya yang menghabiskan waktu 4 jam. 

Perempuan itu tadi saya lihat sedang duduk di muka apotek PT Askes bersama suaminya waktu saya sedang menguruskan obat kemoterapi kakak saya yang didanai PT Askes. Beliau agaknya lupa-lupa ingat sewaktu melihat wajah saya. Namun beliau merasa pernah mendengar suara saya. Karena itu beliau memberanikan diri mengusulkan kepada saya untuk mengalihkan pengobatan pasien ke RSKD yang menurut pengalamannya memfasilitasi peserta Askes lebih baik dibandingkan di daerah. Ketika dioperasi di Jakarta beliau tidak membayar apa pun kecuali uang pendaftaran pasien yang cuma sepuluh ribu rupiah. Lalu obat-obatan kemoterapinya tersedia dan selalu siap digunakan jika pasien sudah bisa mendapatkan ruangan rawat. 

"Oh, ibu, assalamu'alaikum. Ingat saya, bu?" Sambut saya menyalaminya dan  suami. Setelah saya menjelaskan pertemuan pertama kami, barulah beliau yakin siapa saya. Saya katakan kakak saya tidak berobat pada onkologis kami serta tak bersedia berobat di Jakarta karena baginya terlalu jauh dan merepotkan. Itu sebabnya saya menanyakan koktail obat kemoterapi kakak saya ke apotek ini.

Pasien itu menyayangkan. Katanya pelayanan PT Askes di sini membutuhkan kesabaran dari pihak pasien. Ini juga yang sedang dialaminya sekarang. Obat-obat yang dibutuhkannya tak tersedia langsung. Sehingga beliau perlu menunggu pihak apotek menelepon dulu supaya ketika akan mengambil tak sia-sia. Saya sependapat dengannya. Namun berhubung tidak pernah ada telepon pemberitahuan dari apotek, maka saya berinisiatif untuk datang sendiri menanyakan ke sana. 

Saya mendatangi loket pasien jaminan PT Askes sesuai saran perawat kepala. Di situ dikatakan mereka tak ada kaitannya dengan penyediaan obat, karena hal itu menjadi tugas apotek. Saya diminta langsung ke apotek yang saya lakukan kemudian setelah saya makan pagi di kantin RS supaya bisa segera makan obat. Dan begitu saya tiba di apotek, petugasnya langsung mengerti permasalahan yang saya ajukan. Katanya pihak loket PT Askes telah menegur atas keterlambatan jadwal kemoterapi kakak saya satu bulan lamanya. Lalu dia segera menghubungi gudang pusat distribusi obat di RS lainnya. Dia menerima jawaban bahwa obat sudah lama tersedia, tetapi belum didistribusikan entah dengan alasan apa. Inilah kelemahan semangat kerja petugas di RS milik pemerintah, demikian batin saya.

Ternyata selain obat yang digudangkan terlalu lama itu, kendala lainnya adalah daftar tunggu giliran pasien karena terbatasnya ruang kemoterapi. Saya sangat mengerti masalah ini. Tapi tetap saya katakan sebagai pengguna Jamkesda obat saya serta giliran tunggu tak pernah mencapai satu bulan lamanya. Akhirnya petugas itu meminta maaf sambil memperlihatkan buku daftar pasien. Katanya pasien yang dikemoterapi hari itu adalah pasien yang tercatat persis di atas nama kakak saya. Jadi dia menjanjikan memanggil kakak saya dalam minggu depan ini. 

Setelah mengucapkan terima kasih saya bergegas menemui perawat kepala guna menyampaikan hasil penyelidikan saya sekalian minta agar kakak saya bisa didahulukan. Sebab semua orang tahu setelah dioperasi sel kanker cenderung semakin mengganas seperti sudah terbukti pada saya. Karenanya pasien harus sesegera mungkin dikemoterapi sebagai upaya pencegahannya. Ini yang tak terjadi pada kakak saya meski beliau menggunakan fasilitas asuransinya sebagai pensiunan PNS, bukan mencari-cari sendiri obat gratisan seperti saya orang tak berpunya. Ironis sekali layanan asuransi PNS yang preminya dibayar dari pemotongan gaji karena pemberian bantuan biaya yang diperoleh cuma sedikit sekali. Rasanya jadi berbanding terbalik dengan kami penerima bantuan cuma-cuma dari pemerintah yang selayaknya sangat bersyukur. Sebab meski mendapat obat generik atau semurah mungkin, tetapi kami tak perlu menunggu lama. Juga biaya operasi dan perawatan yang cuma mendapat fasilitas kelas III diberi seutuhnya oleh pemerintah.

Ibu Maimunah kenalan saya tadi kemudian mengusulkan agar lain waktu kakak saya membeli obat sendiri terlebih dulu, baru kemudian dimintakan penggantian kepada PT Askes. Itu yang dilakukannya setiap akan membeli obat termasuk obat kemoterapinya yang ternyata obat per-oral alias dimakan bukan diinfuskan atau disuntikkan. Tentu saja rasanya tak mungkin bagi kami karena gaji pensiunan kakak saya tak sebanding dengan masing-masing satu labu infus koktail kemoterapinya yang ternyata terdiri dari Taxotere, Doxorubicin dan Cyclosporin seperti yang saya pakai dulu. Barangkali saja faktor penyebab kanker kakak saya memang berbeda dari saya. Saya berharapan demikian agar kakak saya tertolong dengan memakai obat-obatan yang tak bisa memperbaiki kondisi saya ini. Saya semakin merasa susah karenanya. Padahal kesusahan dan pikiran yang berat diharuskan dihindari oleh para pengidap kanker. Bukan main mudahnya menetapkan aturan dan saran ini tanpa pernah mengalami situasi dan rasanya sendiri. Saya kembali menelan pil pahit kehidupan saya.

"Ibu sedemikian pedulinya pada pasien ini," cetus zuster Maria sang perawat kepala. "Ya, bu Sitanggang, ibu kami sudah tiada, orang tua tak tersisa satu pun, kalau beliau tidak tertolong lagi, saya mesti beribu kepada siapa? Kepada anda kah?" Seketika terlontar jawaban saya begitu saja yang membuat perawat tersenyum lalu tertawa kecil. "Oh, oke kalau begitu, segera setelah obatnya tiba di apotek saya sediakan ruang untuk kakak ibu ya. Tenang lah ibu sekarang, fokuskan diri kepada kesehatan sendiri," pesannya seraya menatap wajah saya mesra. Membuat lega hati saya yang muram durja. Untung bukan durjana. :-D

***

Hari ini saya baca di rubrik konsultasi masalah kesehatan sebuah harian nasional ternama, obat-obatan kanker itu belum ada yang generik. Artinya belum bisa dijual murah sebab masih dikuasai perusahaan obat secara eksklusif sampai habis izin penguasaannya yang masih sangat lama. Dokter menjelaskan itu sebabnya harga obat kanker payudara menjadi sangat mahal. Lima puluh juta, menurut si penanya yang harus dikalikan enam pemakaian untuk memenuhi satu siklus kemoterapi. Saya mengerti obat apa yang dimaksud, karena saya beruntung akan diikutkan penelitian Kementerian Kesehatan dan digratiskan. Lima puluh dua juta tepatnya, karena yang dua jenis masing-masing berharga dua puluh jutaan yang satunya obat disuntikkan dibandrol dua belas juta. Konon menurut penuturan pasien yang sudah memakai, menjadi lima puluh sembilan juta karena belum termasuk ongkos perawatan.

Pengadaan obat dan terapi ini momok ngeri bagi penderita kanker payudara, termasuk mereka yang cuma diradiasi (disinar). Seorang pasien yang kemarin itu juga saya temui sedang menunggu keputusan onkologis kami tentang kesiapan praktek di kliniknya mengatakan, tujuh tahun yang lalu dia diradiasi oleh almarhum ayah onkologis kami. Ongkosnya dua belas juta sekali radiasi. Siklusnya mencapai 30 hari. Itu tak sepenuhnya didanai PT Askes. Terbayang bukan kesulitan yang menghimpit kami?

Lalu bersalah kah saya jika dilanda kecemasan tingkat tinggi? Saya rasa sih tidak juga. Karena ikatan batin dan ketergantungan antar saudara sekandung biasanya sedemikian erat. Jadi mereka yang menasehati saya untuk fokus memikirkan kesehatan saya sendiri saja adalah orang-orang yang kurang peka perasaannya. Ataukah saya yang terlampau perasa? Bingung juga saya memikirkannya sehingga tumor saya terasa menyakiti saya lagi. Ya Allah, tolong lah saya lagi untuk keluar dengan selamat dari persoalan yang membelit keluarga saya. Begitu batin saya merintih menangiskan permintaan yang tiada habis-habisnya ke RibaanNya.

(Bersambung)

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (103)

Kamis pagi saya kembali mengurus perolehan Surat Keterangan warga Tidak Mampu (SKTM) untuk mendapatkan dana Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) supaya saya bisa memeriksakan diri terlebih dahulu ke dokter spesialis penyakit dalam sebelum dikemoterapi. Sebab tekanan darah saya akhir-akhir ini cenderung tinggi, serta hitungan sel darah putih saya rendah karena saya pernah dikemoterapi sebelumnya. Tujuannya agar ketika kelak saya dipersiapkan untuk kemoterapi saya sudah dalam keadaan fit. Jadi seraya menanti panggilan dari peneliti tentang ketersediaan obat, saya akan berupaya merawat kesehatan saya dulu.

Dokter onkologi saya sepakat dengan rencana saya. Apalagi beliau amat memikirkan kondisi saya yang dari hari ke hari semakin mengkhawatirkan karena tumor saya membesar dengan cepat. Beliau tersenyum senang mendengar permintaan saya yang "ajaib" itu. Lalu beliau meminta lembar permintaan pemeriksaan laboratorium saya yang telah dikeluarkan sejawatnya di Jakarta untuk ditirunya bagi pemeriksaan serupa di Bogor. Berdasarkan obrolan saya dengan beliau kini saya tahu bahwa perempuan belia yang selama ini saya kira peneliti utama, ternyata koordinator penelitian itu. Sedangkan peneliti utamanya tentu saja dokter ahli kemoterapi yang merupakan dokter senior di RS itu. 

Onkologis saya pun ingin tekanan darah saya normal lebih dulu sebelum menghadap sejawatnya di Jakarta. Jadi memeriksakan diri di Bogor adalah langkah preventif yang bijak. Kalau keadaan umum saya baik dipastikan saya akan segera dikemoterapi. Sebab tak ada lagi hambatan untuk itu.

Untuk mencapai maksud ini, seharian kemarin dulu saya pergi mengurus SKTM saya yang bisa saya pakai mendanai pengobatan saya setara dengan kartu Jamkesda. Pelaksanaan pembuatan perpanjangan SKTM ini sempat tertunda dua hari karena kelalaian kami dan pihak pengurus RT. Tapi tak mengapa daripada tidak dapat SKTM sama sekali yang artinya akan semakin memberatkan pengeluaran kami.

Di halaman Kelurahan Kasi Kesra menyapa saya dengan ramahnya. Beliau mengharap saya sudah membaik. Lalu kekecewaan tergambar di wajahnya waktu saya nyatakan tumor saya justru sudah tumbuh lagi, namun berkat perjuangan dan pengorbanan warga kami yang kini menjadi onkologis saya upaya penyembuhan sedang akan terus dicoba. Setelah itu beliau mengumbar senyum lega sambil menyetujui bualan saya seandainya dalam rangka HUT RI kemarin diadakan pemilihan warga teladan maka onkologis saya lah yang berhak mendapatkannya. Kasi Kesra mengakui sejak ayah beliau masih ada, keluarga itu sudah kelihatan amat menonjol rasa sosialnya.

Hari itu banyak orang berurusan di Kelurahan, sehingga SKTM saya diselesaikan dalam waktu hampir satu jam. Tapi tak mengapa karena Puskesmas Desa yang akan membuatkan rujukan serta memeriksa keabsahan SKTM letaknya di situ juga. Pun dokternya cepat tanggap begitu melihat kedatangan saya. Tak pakai lama, begitu istilahnya yang tepat, urusan saya diselesaikan sambil beliau mengontrol kondisi kesehatan saya dengan peralatan minimal yang dimilikinya. Dokter sepakat saya harus berobat di RS Kanker begitu meraba dan mengamat-amati tumor saya. "Ikhlaskan hati dan tekadkan merawat ibu ya dik, insya Allah kelak akan diberi banyak kemudahan oleh Allah sebagai ganjarannya," pesan dokter belia itu kepada anak saya seraya mengungkapkan bahwa ketika ibundanya sendiri juga sedang sakit dan butuh perhatian, maka praktek umumnya di rumah akan ditutup demi sang bunda. Terharu saya mendengarnya. Apalagi ketika dia dan temannya menjabat tangan saya erat-erat disertai ucapan semoga lekas sembuh.

Dari Puskesmas seperti biasa kami ke Kecamatan untuk minta pengesahan Camat. Di sana kebetulan tak ada warga yang datang jadi urusan pun segera selesai, sehingga kami tiba di Dinas Kesehatan Kota (DKK) sebelum tiba saatnya istirahat makan siang. 

Dari jauh kelihatan kerumunan warga yang duduk menunggu giliran, membuat anak saya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak disangka, sehabis hari raya orang sakit semakin banyak dibanding sebelumnya. Ketua-Ketua Kader Posyandu dari berbagai penjuru kota juga nampak amat banyak. Sebagian mengenali saya, lalu memeluk sambil menanyai kondisi saya. Mereka tak mengira saya akan datang mengurus sendiri, mengingat kondisi saya semakin lemah setelah dioperasi. Mereka pun bertanya-tanya soal pembalut yang saya gunakan di lengan serta jari saya. Dikira saya jatuh lalu patah tangan. Sama sekali tak ada yang menduga kanker di kelenjar getah bening saya lah penyebab pembengkakan ini. Baru ketika saya mencoba menjelaskan sebisa-bisanya mereka mulai paham. Menurut hemat saya, penjelasan ala orang bodoh justru bisa diterima nalar pasien awam.

Para Ketua Kader Posyandu membantu warga mereka menggunakan Jamkesmas, Jamkesda maupun SKTM. Tak banyak yang tahu bahwa mereka bekerja suka rela. Menurut pengakuan mereka, tak diupah pun mereka sudi mengingat di lingkungan tempat tinggal mereka rata-rata pasien tak memiliki harta apa-apa. Meski begitu mereka mengakui ada juga yang mencibir dan menuduh mereka mengharapkan imbalan dari kegiatan sosial yang mereka lakukan. "Ah, kalau saya diupahi, buat apa saya makan sebungkus bihun goreng gope'an," tutur salah seorang di antaranya. Gope'an yang dimaksudkannya saya pahami sebagai harga murah meriah sekedar pengganjal perut. Memang jika menilik penampilannya, ibu itu cukup sederhana. Dia mencangklong tas kulit imitasi dengan sandal murahan yang di dalamnya terisi dompet tipis serta kotak pensil, bukan kotak kosmetika sebagaimana layaknya perempuan gedongan. Ceritanya sendiri tanpa ditanya, suaminya yang bertugas sebagai Ketua RT sedang bekerja di luar rumah sebagai pemborong kecil-kecilan. Jadi hari itu dia datang sendiri tidak dibonceng sepeda motor suaminya. Barulah saya tahu, di daerah-daerah padat penduduk dengan strata sosial menengah ke bawah agaknya Ketua Kader Posyandu dibebankan kepada istri Ketua RT. Sedangkan Ketua RT itu sendiri dipilih dari kalangan pegawai swasta atau wiraswastawan. Mungkin alasannya adalah agar jika warga membutuhkan bantuan dia mudah meninggalkan pekerjaannya.

Banyak orang yang pulang-balik mengurus surat-surat mereka dikarenakan ketidak lengkapan administrasi. Untung saja meski lama, tapi surat-surat saya tidak dipersoalkan sehingga tak harus meninggalkan tempat dulu. Namun tetap saja urusan baru selesai mendekati pukul empat sore mendahului banyak lagi pasien di belakang saya. Tak terbayangkan betapa lelahnya pejabat di kantor itu menghadapi kami semua yang banyak juga yang ngotot minta dipermudah dengan alasan pasien sakit keras. Tapi mereka tak berniat melayani permintaan semacam ini. Saya merasa lega dan tak sia-sia menghabiskan waktu tanpa istirahat yang jadi keharusan untuk saya.

Lebih lega lagi malam harinya. Saya menerima pemberitahuan lewat pesan pendek dari koordinator tim peneliti bahwa obat yang akan diberikan kepada saya sudah tiba di kantor mereka. Tidak terlalu lama seperti bayangan kami semula. Saya kemudian dipesani untuk segera menguji darah saya di laboratorium juga memeriksakan kondisi jantung saya keesokan harinya supaya bisa segera dinilai Ketua Tim agar nama saya masuk ke dalam daftar tunggu pasien kemoterapi.

***

Hari ini, Jumat (23/08) saya bergegas melaksanakan kewajiban saya di RSK Dharmais. Saya serahkan pembuluh darah saya yang kebetulan sudah sehat semua ke laboratorium untuk pengambilan sampel darah. Walau mesti ditusuk dua kali karena petugas laboratorium yang pertama tak bisa melihat pembuluh darah saya yang halus dengan baik, tapi saya tetap senang sebab mengharapkan hasilnya memadai untuk segera dikemoterapi. Jika buruk pun saya sudah punya SKTM yang akan mendanai saya menormalkan kondisi lebih dulu.

Setelah itu saya ke ruangan fisioterapi sebagaimana biasanya. Di situ saya jumpai keadaan sepi pasien. Saya juga tak melihat lagi pasien yang menderita karena kepapaannya yang saya ceritakan kemarin dulu. Perawat mengatakan dia cuma sanggup datang seminggu sekali meski tangannya yang bengkak sudah tak berbentuk lagi. Pasien semacam itu ternyata cukup banyak, dan seringkali mendapat perhatian khusus dari para perawat. Perawat kerap iba lalu mengumpulkan uang untuk disumbangkan kepada mereka. Ternyata perawat juga manusia berhati emas tak ubahnya dokter saya.

Dari sana saya beranjak ke klinik diagnostik dokter spesialis jantung yang diserahi untuk memantau kondisi detak jantung saya. Nampak dua lelaki, yang seorang uzur seorang lainnya paruh baya menggunakan kursi roda. Kakek uzur itu duduk mempermainkan BB di tangannya, tapi kemudian bangkit minta berbaring menggunakan pangkuan istrinya. Sedangkan si lelaki paruh baya sudah sejak saya tiba merebahkan dirinya di kursi, meski ada pasien lain yang terpaksa berdiri karena tak ada tempat kosong. Padahal bangku di sebelah saya cuma "diduduki" tas si kakek. Seperti itulah keadaan masyarakat sekarang.

Lelaki paruh baya itu berlogat Sumatera yang kental serasi dengan wajahnya asyik makan salak bersama keluarga yang mengantarnya sambil diselingi menjawab panggilan telepon. Saya perhatikan lengannya bengkak sebelah seperti saya. Kedengaran keluarganya bercerita kepada ibu pengidap kanker payudara di dekatnya bahwa abangnya itu menderita tumor di otot lengannya. Sedangkan si ibu mengatakan dirinya pengidap kanker payudara kambuhan yang sudah pernah dioperasi pada tahun 2006 serta dikemoterapi dengan obat hormon. Kankernya sembuh selama sekian tahun, lalu kambuh kembali karena dia tak mematuhi jadwal kontrol yang diminta dokternya. Kini dia memiliki keluhan di jantungnya akibat obat hormonal itu. 

Pengalamannya membuka mata saya bahwa penyebab kanker berbeda-beda. Namun upaya penyembuhannya sama, yakni kemoterapi, radiasi atau campuran keduanya. Seringkali juga dioperasi. Untuk itu meski sudah dinyatakan bersih dari sel-sel kanker, pasien wajib mematuhi jadwal kontrol termasuk acara pemeriksaan kondisi kesehatan tubuh seperti ketika masih sakit. Tujuannya untuk mencegah kekambuhan kembali. Saya harus belajar dari pengalaman ibu itu.

Cukup lama saya menunggu hingga lelaki paruh baya itu selesai diperiksa dan meninggalkan tempat dengan menuai protes pasien lain disebabkan sampah bekas buah salak yang dimakannya bertebaran di lantai. Waktu akhirnya tiba giliran saya, dokter menanyai dari mana saja saya pagi itu. Ketika sadar bahwa saya habis difisioterapi, beliau terpana melihat lengan saya yang terbungkus rapat sehingga menyulitkan katoda alat pemeriksaannya disangkutkan di lengan kiri saya. Raut wajah beliau yang serius menandakan beliau harus berpikir keras untuk memeriksa saya. Belum lagi saya menyeringai ketika alat-alat itu menyentuh bekas luka operasi di dada saya. Padahal beliau melakukannya sangat hati-hati bak penari serimpi menggerakkan jemarinya. Dulu saya tak pernah merasakan hal begini.

Berdua bersama perawat yang mengasisteninya akhirnya beliau memperoleh tempat yang pas sebagai sangkutan katoda, yakni di ujung ibu jari saya. Apa boleh buat, tiada rotan akar pun jadilah. Lalu beliau merekam detak jantung saya dan membicarakan hasilnya dengan menggunakan pemeriksaan bulan lalu sebagai pembanding. 

Alangkah takutnya batin saya, karena keadaan serambi jantung kiri saya buruk dibandingkan bulan lalu seminggu sehabis saya dikemoterapi yang terakhir. Bilangan yang didapat bulan ini tak memadai untuk dikatakan normal sebagai acuan siap tidaknya saya menerima kemoterapi. Saya lalu menanyakan apakah yang dapat diperbuat, serta bagaimana prediksi dokter jantung ini tentang kemungkinan segera terlaksananya kemoterapi. Beliau cuma menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berujar tak tahu persis persyaratan yang diminta dokter ahli kemoterapi untuk memutuskan boleh tidaknya menerima obat dalam keadaan begini. Tentu saja saya gelisah. Terbayang kemoterapi saya tertunda lagi, sedangkan tumor saya tumbuh sangat cepat. Terngiang lagi pesan dokter onkologi kepada anak-anak agar mengizinkan saya menerima obat yang diteliti sebab saya sedang berpacu melawan maut. Ya Allah, jangan izinkan kemoterapi saya terhambat, saya belum mau mati. Saya belum sanggup meninggalkan anak-anak sebelum saya tahu hidup mereka tertata dengan masa depan yang pasti. Begitu jerit saya di dalam hati yang selalu diistilahkan An teman saya sebagai upaya memohon bantuan Allah dengan bertawakal, sabar serta mengharap kun fayakunNya. Ungkapan yang senantiasa membuat saya merasa tersudut seakan-akan saya tak pernah bersabar dan bertawakal menghadapi banyak masalah selama ini. Tapi tak mengapa. Itu urusan hubungan saya dengan Tuhan.

Meski begitu, ada sedikit kenyataan yang sempat menghibur saya. Tekanan darah saya kedapatan normal. Lebih dari itu di lantai bawah RS saya bertemu dengan pasien onkologi saya yang tengah hamil dalam keadaan terkena tumor. Dari suaminya saya ketahui bahwa dokter kami tidak percaya begitu saja pada hasil pemeriksaan jaringan tumor ibu muda itu yang dianggap ahli patologi mengarah kepada keganasan. Menurut dokter kami itu tumor payudara jinak, namun tetap harus diwaspadai karena dalam sebulan pertumbuhannya cepat. Oleh karena itu pasien dibawanya ke RSKD untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut serta dioperasi pengangkatan payudara demi menyelamatkan si ibu. Dokter menganjurkan untuk mengakhiri kehamilan setelah berkonsultasi dengan dokter spesialis kebidanan dan kandungan, mengingat efek pengobatan pada si ibu dipastikan membawa akibat buruk bagi janin yang dikandungnya. Yang melegakan saya, siang itu si suami mengatakan dengan tegas dia menyetujui semua rencana dokter. Mengharukan sekali alasannya : Dia lebih memilih mempertahankan istrinya yang jelas-jelas bernyawa dan diketahui karakternya, dibandingkan mempunyai anak yang entah akan cacat atau tidak nantinya. Ya Allah, cinta sejati menghinggapi dirinya. Saya bayangkan apel ranum yang siap menghilangkan lapar dan dahaga petani pemilik pohonnya. Semoga Allah memberkahi mereka dengan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Saya tersenyum untuk mereka.

(Bersambung)



Rabu, 21 Agustus 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (102)

Banyak orang yang belum paham benar mengapa pasien kanker memilih pengobatan alternatif. Termasuk sopir mobil sewaan yang mengantar saya ke RS kemarin dulu. Saya terpaksa menyewa disebabkan kenalan saya berhalangan mengantarkan saya sejak Jumat di saat saya seharusnya bertemu langsung dengan Doktor ahli kemoterapi seperti yang sudah diceritakan. Begitu saya beritahu bahwa ongkos kemoterapi berbilang puluhan juta untuk satu kali, maka dia berkomentar bahwa setidaknya keseluruhan biaya adalah seharga rumah batu kualitas baik. Saya membenarkannya sebab beberapa kali mendengar keluhan keluarga pasien yang katanya sudah tak tahu harus menjual apalagi demi memenuhi biaya pengobatan keluarganya setelah rumah tinggalnya tergadai. Rasanya sesak di dada, bak menelan ludah pahit pula.

Sambil beristirahat sering terlintas mereka yang saya jumpai di RS. Ada anak lelaki sekitar sepuluh tahun yang duduk di atas kursi roda dengan kaki bengkak sebelah diserang kanker mulai dari pangkal pahanya. Warnanya kemarahan, mirip lengan saya yang bengkak sekarang ini. Padanya lebih mengerikan lagi, sangat malah, karena lututnya menonjol nyaris sebesar bola berkilat-kilat mencirikan nyeri yang hebat. Waktu itu dia baru keluar dari klinik seorang dokter senior ahli bedah tulang. Orang tuanya kelihatan mendorongnya sambil melangkah membelah kerumuman pasien di selasar ruang tunggu klinik, selagi dokternya memerintahkan seorang perawat untuk membantu mereka ke instalasi radiologi. Rupanya anak itu pasien baru yang masih memerlukan serangkaian pemeriksaan lengkap melalui metoda pencitraan (scanning). Seketika terbayang beratnya biaya yang harus ditanggung kedua orang tuanya, belum termasuk langkah pengobatan selanjutnya yang saya duga perawatan inap untuk pemantauan lebih lanjut, bahkan mungkin saja operasi atau amputasi. Seandainya dia datang dari daerah, dipastikan seperti saya bukan penerima Kartu Jakarta Sehat serta belum tentu Jaminan Kesehatannya bisa dimanfaatkan di RSKD. Jika demikian, maka mereka harus jungkir balik mencari dana untuk si sakit.

Cerita itu berlanjut hari ini, ketika saya diterapi di Instalasi Rehabilitasi Medik. Di dekat saya sudah duduk seorang ibu kira-kira sebaya saya dengan kondisi lengan yang sama dengan saya. Perempuan itu sempat saya lihat di selasar lantai II dua hari lalu. Lengannya yang bengkak diganjal dengan boneka kain berbentuk kartun Walt Disney yang digantungkan di bahu, sehingga menarik perhatian anak bungsu saya. Kali ini dia ada persis di samping saya, di muka layar televisi di selasar ruang tunggu pasien. Entah mengapa matanya malah membelakangi layar TV dan menatap saya yang dengan acuh tak acuh asyik menonton siaran SCTV. Walau jengah, saya tak berniat bertegur sapa dengannya. Tapi sebaliknya, perempuan yang ternyata bernama Siti penduduk Tangerang itu malah menanyai saya tanpa sapaan basa-basi.

"Itu tangannya kenapa?" Ucapnya seraya memerhatikan tangan lalu ke wajah saya. Agak terkejut juga saya karenanya.

"Oh, limfedema, sehabis dioperasi di sini," jawab saya seraya menunjuk area tubuh saya yang sakit. "Tapi bengkak begini sudah sejak sebelum saya dioperasi juga kok," lanjut saya tenang.

"Ibu tiap hari ke sini ya?" Timpalnya seperti menyelidik. Sangat boleh jadi wajah saya dihafal banyak orang di RS ini termasuk para pasien seperti dirinya.

"Oh, nggak, dua hari sekali bu, mana saya sanggup. Saya tinggal di Bogor sih," jelas saya kepadanya.

"Saya juga dari Tangerang kok," ujarya tanpa ditanya. Bahkan dia memancing pertanyaan saya. "Ibu sudah dioperasi ya?"

"Belum," jawabnya.

"Sudah sakit berapa lama bu, di payudara juga kan?" Balik saya yang menanyainya gencar.

"Dua tahunan, tapi belum dioperasi," terangnya.

"Oh sama, tapi saya sudah, karena luka pecahan tumor saya sulit dihilangkan. Padahal saya sudah dikemoterapi dengan dana Jamkesda. Sekarang saya dibawa dokter saya ke sini mau dikemoterapi dengan obat lain yang lebih cocok untuk saya. Saya diikutkan penelitian di sini, semua atas kebaikan dokter saya," kini giliran saya bicara panjang lebar.

Ternyata dia juga menderita luka pecah tumor bahkan menurutnya luas sekali, kira-kira lebih luas dari luka saya. "Sakit nggak bu? Luka saya kok sakit ya," tanyanya kepada saya. Saya katakan setelah dioperasi tidak sakit lagi meski dulunya tentu saja nyaris tak tertahankan. Saya jelaskan juga bahwa dulu saya berobat di sinshe, tapi sinshe tak punya obat untuk luka tumor sehingga akhirnya saya dibantu teman-teman saya berobat ke RS. Saya perlihatkan obat dari sinshe saya, yang kata perempuan itu juga diminumnya karena dia juga pasien sinshe. Tapi entah mengapa dia merasa tak begitu tertolong oleh jamu sinshenya termasuk jamu rebusan yang justru tak pernah saya minum karena harganya amat mahal. Akhirnya dia mengatakan bahwa dia juga penderita stadium III tapi dokter tak mengoperasinya, cuma memberinya obat kemoterapi. Dia bilang, saya beruntung dapat obat yang bagus untuk saya atas jasa dokter di RS. Ya, betul sekali, saya memang beruntung apalagi mengingat kanker saya masih bisa dioperasi tidak seperti kankernya yang tak dioperasi sampai sekarang setelah dua tahun diderita bahkan menimbulkan luka luas. Saya bersedih untuknya.

Tapi kesedihan ini bukan kesedihan terburuk yang saya rasakan. Hati saya dan anak bungsu saya benar-benar menangis ketika di dalam ruang fisioterapi mendengar seorang pasien ditegur keras oleh para perawat. Belakangan perawat mengungkapkan bahwa dia seorang nenek-nenek dari kalangan tidak mampu yang hanya hidup berdua dengan suaminya yang renta dan tidak berpenghasilan. Karena datang dari Cikampek, maka mereka berdua tinggal di rumah singgah penderita kanker di sekitar belakang RSKD. Dengan membayar sepuluh ribu rupiah sehari, mereka boleh menumpang tidur dan mendapat sepiring nasi tanpa lauk-pauknya. Untuk itu mereka harus bergulat mencari lauk di luar rumah singgah, yang kerap kali justru tak terbeli sehingga mereka siasati hanya dengan menaburkan garam ke atas nasi. Perawat pun nyaris meneteskan air mata ketika menceritakan kisah mereka. Suaranya tercekat keluar dari setangkup bibir merah delima yang membuat kulit kuning langsat perempuan Dayak itu makin berseri.

Kondisinya yang tak terawat membuat perawat menegurnya cukup keras, bahkan membawa seorang rohaniwan untuk berbicara dari hati ke hati dengannya. Kulit nenek renta itu tentu saja berkeriput. Tapi selain berkeriput, dia hitam legam penuh kotoran karena ternyata dia tak pernah mandi. Belum lagi luka tumor di payudaranya seluas dada hingga nyaris mencapai perutnya. Luka itu dibungkus rapat, tetapi sama halnya dengan pembalut di lengannya, tak pernah dibuka selama seminggu. Apalagi dibersihkan.  Jadi, bau tubuhnya amat menyengat membuat perawat nyaris tak bisa bekerja untuknya. Digunakannya masker waktu merawat si nenek.

Nenek itu bilang dia tak sanggup lagi bangkit apalagi mandi dan membersihkan tubuh. Bahkan menurutnya, maaf, setelah buang air pun dia tak bisa membersihkannya kecuali dibantu orang lain yang artinya hanya suaminya yang uzur itu sebab mereka tak punya keturunan. Untuk mandi dia tak hendak melakukannya, meski perawat mengatakan tubuh yang tak pernah dibersihkan justru menjadi sarang penyakit yang memperberat keadaannya. 

Akhirnya waktu saya simak kedengaran dia ditanya mengenai caranya beribadah. Sebagai muslimah yang tergambar dari namanya, dia mengakui meninggalkan shalatnya. Meski dia tahu itu kewajiban, tetapi dia tetap nekad sebab dia benar-benar tak mampu bangkit dan tak mau menyentuh air. Itulah sebabnya kemudian saya dengar seseorang yang semula saya duga perawat mengajari tentang kebersihan dan keimanan sambil menerangkan pentingnya membersihkan tubuh dan shalat meski cuma sekedar memakai debu lalu berbaring menghadap kiblat. Rupanya dia memang rohaniwati Islam. Sang rohaniwati kemudian menanyai suaminya tentang kemampuannya membaca huruf Arab. Kelihatannya dia ingin mengecek seberapa agamis kah pasangan tua ini.

Kisah mengharukan kembali hadir di gendang telinga saya malam harinya. Karena saya membutuhkan konsultasi untuk lengan saya yang sakit yang tiba-tiba kemerah-merahan tanpa rasa nyeri dan demam, saya mendatangi dokter saya di klinik RS di Bogor tempat saya selama ini berobat rutin. Lagi pula saya membutuhkan surat rujukan untuk memeriksakan kesehatan saya sebelum kemoterapi. Dengan surat rujukan itu saya bisa diperiksa di laboratorium dan dokter ahli penyakit dalam terlebih dulu, sehingga ketika kelak saya disuruh melakukan pemeriksaan di Jakarta, saya sudah dalam keadaan amat prima. Dalam persiapan kemoterapi, kondisi pasien mutlak dalam keadaan baik, tekanan darah normal, tak ada keluhan pada ginjal, jantung dan hati, serta hitungan sel darah merah dan darah putih pun normal. Jika salah satunya tak memenuhi syarat, kemoterapi akan ditunda hingga pasien pulih. Itu sebabnya hari ini saya kembali melakukan "tour d'hopital".

Dokter datang sudah larut malam, pukul setengah sembilan. Pasien kini tak sebanyak dulu lagi, meski pun masih cukup banyak. Saya paham, kebanyakan pasien lama merasa dipermainkan oleh seringnya dokter kami mangkir disebabkan tugasnya yang bertumpuk di Jakarta. Jadwal praktek resminya yang dua minggu sekali sekarang tinggal seminggu sekali. Ini pun tak tepat waktu seperti malam ini.

Saya dipanggil masuk ketika pasien sebelum saya yang muda masih di dalam ruang praktek bersama suami dan adiknya. Saya pikir mereka tak lama lagi akan keluar. Ternyata dugaan saya meleset. Dokter masih asyik berbincang dengan pasien dan keluarganya, yang ternyata ibu muda yang tengah mengandung anak keduanya, delapan minggu. 

Perempuan itu menderita tumor payudara kiri dan kanan, nampaknya, sebab di mata saya agak tersamar oleh tubuhnya yang tambun. Dokter tak bisa memastikan keselamatan anak yang dikandungnya jika membiarkan tumor itu tak dibasmi. Tapi untuk membasminya pun bukan hal mudah. Bisa saja pasien itu dioperasi pengangkatan payudara tanpa menggugurkan kandungannya. Namun akibatnya kelak dia tak bisa memberikan ASI sebab tak lagi memiliki payudara untuk menyusui. Ini pun tak menjamin bayinya lahir normal karena efek obat anestesi atau bius pada orang mengandung sangat berbahaya. Satu hal lagi, bisa saja payudaranya dipertahankan dengan memberikan kemoterapi. Hal yang sama juga dilakukan kepada saya, yaitu neo adjuvant therapy, pengangkatan payudara setelah dikemoterapi terlebih dulu lalu kelak dilanjutkan dengan kemoterapi lagi setelah operasi. Tapi pengobatan ini juga bukan hal yang aman. Sebab efek obat kemoterapi sangatlah ganasnya. Pada pasien yang tak mengandung saja sudah menyiksa, apalagi untuk orang mengandung yang butuh gizi serta tenaga yang bagus.

Pasien kedengaran bimbang menetapkan pilihannya. Sebab agaknya anak kedua ini amat dinanti-nanti mereka. Karenanya dokter kami segera berinisiatif mengontak koleganya melalui telepon mendiskusikan kasus itu. Dengan gaya anak muda masa kini berbasis bahasa gaul pembicaraan serius itu terselesaikan dengan baik. Pasien tetap dianjurkan untuk menggugurkan kandungannya dan dioperasi. Tetapi lagi-lagi agaknya dokter tak sanggup mengoperasi di Bogor. Kedengaran dia mengeluh bahwa pekerjaan operasi itu pada kasus pasien ini butuh ketelitian dan banyak pertimbangan dari sekelompok dokter. Karenanya lagi-lagi dia menawari untuk dioperasi di Jakarta. Terjadilah kemudian perdebatan yang membuahkan hasil pasien menurut. Untuk itu sebagaimana halnya saya dulu, lusa dokter menunggu mereka di kantornya di Jakarta dan operasi direncanakan dalam waktu dekat meski tak disebutkan waktunya seperti operasi saya yang tergolong harus disegerakan. Pasien dan suaminya nampak kebingungan untuk menjangkau RS di Jakarta dengan kendaraan umum, sehingga memancing kami untuk kemudian menularkan pengetahuan tentang peta perjalanan ke Jakarta naik KRL. Kelihatan betapa leganya si suami mendengar pemberitahuan saya yang baru sepotong saya sampaikan karena dokter sudah menunggu saya di ruang dalam begitu mendengar suara saya. 

"Ya, saya dok, assalamu'alaikum, duh maaf tadi saya nggak sempat ke UDT langsung pulang saja," sahut saya seraya beranjak duduk di dalam ruang pemeriksaan.

"Baguslah bu, pasien saya di UDT saja tadi 30 orang je, mabok saya," keluhnya setengah bergurau. Kami bersalam-salaman sebagaimana biasanya karena dia senantiasa mengulurkan tangan kepada setiap pasiennya tanpa pilih-pilih.

"Wah, bagus dong, ngetop tuh. Percaya nggak, saudara saya di Indraprasta 'kan ada yang baru nengok saya. Dia tanya saya berobat di dokter siapa. Waktu saya sebut nama mas dokter, saya dibilang sudah pinter milih dokter yang tepat," sahut saya membuat dia tersipu-sipu malu. 

Saya kemudian mengeluhkan lengan saya yang memerah seperti erythema tapi tanpa disertai rasa sakit maupun demam. Hanya tumor saya saja yang semakin membesar, kini sudah menonjol sebesar bulatan bakso. Sedangkan luka di bekas jahitan kelenjar getah bening ketiak saya, berhasil menutup mengering setelah saya olesi salep luka kanker yang ternyata stocknya masih cukup banyak di lemari obat saya.

Dokter segera memeriksa tangan saya juga tumor itu. Menurutnya tak usah dikhawatirkan karena kemerah-merahan itu berasal dari peradangan di kelenjar getah bening saya yang termanifestasikan oleh nyeri pada tumor saya. Yang jelas beliau bersyukur saya sudah berhasil lolos test partisipan penelitian, dan sedang bersabar menunggu obat kemoterapi yang konon sedang dalam perjalanan dari pabriknya di Eropa. Katanya sih, hanya obat mahal dan super keras itu saja yang mampu memerangi sel kanker saya. Duh, saya jadi semakin termimpi-mimpi ingin segera dikemoterapi lagi. Tapi kali ini tentu saja dengan obat sekelas "dewa" ini. Karenanya saya telah bertekad untuk memeriksakan diri ke dokter penyakit dalam supaya segera bisa mencapai tekanan darah yang normal serta hitungan sel-sel darah yang cukup. Tunggu saja besok pagi, saya akan kembali ke Dinas Kesehatan Kota untuk minta bantuan Jaminan Kesehatan Daerah. Biasanya sih pejabatnya banyak cakap banyak tanya, tapi saya sudah siap akan menghadapinya. Selamat malam!

(Bersambung)

Senin, 19 Agustus 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (101)





Akhirnya saya mendapat persetujuan untuk diluluskan menjadi objek penelitian obat kanker payudara yang mahal sekali dan bergengsi itu. Awal pekan ini tim peneliti sudah menyatakan "acc" untuk mengambil saya sebagai pasien yang akan mereka beri obat yang sedang diteliti.

Ada rasa bangga menyelimuti keharuan serta kesyukuran saya yang bahkan untuk sekedar ongkos ke RS pun terpaksa mengandalkan bantuan dan pemberian orang lain. Sebab apalah daya, saya cuma pengangguran yang belum bisa memanfaatkan Jaminan Kesehatan Nasional yang diwacanakan pemerintah pusat untuk menolong segenap rakyatnya itu. Masih jauh panggang dari api.

Setelah mundur dari janji saya bertemu Doktor ahli kemoterapi sesuai keinginan onkologis saya, akhirnya Senin (19/08) saya bertemu dengan seluruh tim peneliti lengkap. Ibu Doktor nampak terkejut sewaktu menjumpai saya di selasar ruang tunggu kliniknya, sebab menurutnya beliau sudah membubuhkan tanda tangan resmi di lembar persetujuan kemoterapi saya yang didanai pihak RS. Saya yang sama sekali tak tahu soal itu mengatakan bahwa dokter onkologi saya menghendaki saya langsung bertemu dan menerima penegasan sendiri dari beliau. Lalu Doktor keibuan yang bijaksana itu memupus kesia-siaan ini dengan meminta saya menemui sejawatnya di dalam tim yang berpraktek di klinik sebelah utara tak jauh dari situ. Menurutnya, ketua tim peneliti adalah sejawatnya itu. 

Bergegaslah saya ke sana, menjumpai beliau yang sudah selesai dengan prakteknya dan akan menutup klinik. Alhamdulillah saya diizinkan bertemu setelah beliau bersantap siang. Penegasan dari beliau membuat saya aman dan tenang menunggu obat sampai di Indonesia untuk saya gunakan. Ya, obat ini menurut peneliti utamanya didatangkan langsung dari pabriknya di luar negeri. Minggu lalu sudah dijelaskannya pula kepada saya agar saya tak terburu-buru melakukan persiapan kemoterapi berupa pemeriksaan darah lengkap berikut rekam jantung. Dua komponen ini memang amat diperlukan untuk menilai kesiapan fisik pasien dalam menjalani pengobatannya yang boleh dikatakan amat berat. Lalu dengan langkah gembira dan mata berbinar segera saya laporkan hasil kunjungan saya tersebut kepada onkologis saya dan dokter paliatif yang menjadi penanggung jawab program pengobatan saya atas keinginan pengurus DWP di mana saya menjadi anggotanya seperempat abad lamanya. Cukup dengan berkirim SMS karena masing-masing masih menyelesaikan tugasnya di klinik di lantai bawah. Bagi saya tak penting betul menerima jawabannya apalagi bertatap muka saat itu. Yang terutama beliau berdua tahu persis progres pengobatan saya. Karenanya saya pun tak merasa kecewa ketika hanya teman DWP saya itu saja yang menjawab dengan respons gembira. Singkat padat tapi membahagiakan. Sedangkan jawaban onkologis saya masuk seiring dengan munculnya matahari pagi di ufuk timur.

Untuk segala fasilitas yang saya terima selama berobat di RSKD hanya ada satu kata yang patut saya lontarkan : "Magnifique!!" Alias tidak mengecewakan sama sekali, LUAR BIASA!! Para staf administrasi selalu memudahkan kami mencapai tempat praktek dokter yang dituju melalui penjelasan mereka yang rinci. Para tenaga medis pembantu dokter melayani saya dengan ramah dan hati yang memancarkan kehangatan. Apalagi para dokter, tak ada yang membuat hati saya ketakutan apalagi layu lalu patah semangat. Bahkan petugas kebersihan yang selalu saya jumpai berjaga-jaga di sekitar toilet senantiasa menunaikan tugasnya dengan baik, menyiram dan mengepel lantai toilet dengan baik sesudah dan sewaktu akan digunakan pasien. Senyum di wajah mereka ketika membalas salam pengunjung juga membuat hati pasien tenteram. Hanya satu yang paling saya takuti di RS ini, yakni satpam perempuan yang dulu menggunakan bentakan di dalam mengatur pasien yang diizinkan menunggu di ruang tunggu di muka klinik lantai II, meski kini tak seperti itu lagi. Seumur-umur jadi pasien bahkan sampai memperoleh perpanjangan nyawa, hanya di RS inilah hubungan pasien dengan tenaga medis termasuk dokter bisa dilakukan melalui telepon atau E-mail. Inilah yang membuat saya tak ingin lari juga dari RS ini meski sulit dijangkau dan butuh biaya banyak untuk kami.

***

Untuk mempersiapkan kemoterapi yang sudah di depan mata ini, sejak sekarang saya harus menjaga kesehatan. Pasalnya kemoterapi merupakan pengobatan dengan obat keras yang dimaksudkan merusak sel-sel kanker, bahkan bisa berimbas kepada sel-sel sehat juga. Karenanya pasien akan merasa sakit setelahnya. Apalagi kemoterapi  yang akan datang menggunakan obat yang lebih keras dibandingkan yang dulu mengingat sel kanker saya sangat ganas dan agresif. Buktinya saya tak sembuh dengan koktail kemoterapi pemberian Dinas Kesehatan Kota (DKK) melalui dana Jamkesda. Bahkan tumor saya itu membesar kembali hanya dalam waktu dua minggu setelah dioperasi. Inilah yang menjadi alasan utama untuk mengganti koktail obat kemoterapi saya, termasuk mengutamakan meloloskan saya menerima obat yang dalam penelitian itu. Dokter pernah mengatakan bahwa tumor saya yang tidak menyebar serta kondisi kesehatan umum saya yang baik menjadi faktor plus penentu kelulusan saya dalam penyaringan yang mereka adakan. Puji syukur alhamdulillah!

Persoalan saya kini terpusat pada kanker di kelenjar getah bening ketiak yang dulu tak mempan diobati dengan obat dari DKK. Sebab dia memanifestasikan diri di tulang selangka saya. Pertumbuhannya yang nyaris tak terkendali sudah menimbulkan nyeri juga tonjolan nyata yang mudah sekali diraba. Jadi saya segera ingin obat itu tiba untuk digunakan.





Benjolan adalah serupa bayang-bayang hitam yang menakutkan pada siapa pun yang memilikinya di tubuh mereka. Tak terkecuali jika benjolan itu tumbuh di ketiak. Dia telah menakut-nakuti anak teman lama saya yang masih remaja, meski ukurannya cuma sebesar biji kedelai.

Gadis tujuh belas tahun ini memilikinya di ketiak kiri, tanpa disertai rasa sakit. Tapi dia nampak lesu, mudah lelah dan rambutnya menipis tanpa sebab. Kerontokan tak terkendali itu membuat ibundanya mewaspadai adanya gangguan kesehatan padanya. Benjolan kecil itu diperiksakan ke dokter praktek dua puluh empat jam di dekat rumahnya. Dokter itu tentu saja dokter umum yang kemudian membawanya ke RS Fatmawati yang memiliki ahli bedah untuk dibiopsi. Setelah menjalani perawatan pengamatan lima hari diketahui bahwa benjolan itu adalah tumor jinak. Anak gadis itu kemudian dirawat jalan di klinik 24 jam dengan pemberian obat-obatan yang tak boleh terlupa ditelan. Sesudah berlangsung delapan bulan, ibunya mengatakan kemarin dulu tumor itu mengecil. Jadi tak perlu ada tindak lanjut lainnya baik berupa kemoterapi maupun radiasi seperti pada pasien kanker kelenjar getah bening. Saya ikut bahagia untuk mereka, sebab sesungguhnya tindakan kemoterapi dan radiasi itu menyiksa tubuh pasien dan kantung keluarganya. Radiasi dilakukan setiap hari dengan biaya yang tentunya tak murah. Sedangkan kemoterapi dilakukan beberapa kali tergantung berat ringannya penyakit serta lokasi tumor dengan jeda setiap tiga minggu sekali. Yang saya alami, saya dikemoterapi lima kali hingga merontokkan rambut dan melemahkan tubuh saya. Belum lagi karena tak membawa hasil yang diharapkan, kemoterapi harus diulang dari awal dengan obat lain lagi.

Sejenis benjolan lain adalah TBC kelenjar yang biasanya menyerang bagian leher dekat telinga. Istri kenalan saya mengalaminya. Gejalanya selain letih-lesu juga rasa sakit dan demam tanpa kerontokan rambut. Dia sembuh dengan pemberian obat yang disuntikkan di Puskesmas dekat rumahnya selama sebulan terus-menerus. Bahkan di akhir pekan dia mendatangi rumah perawat untuk disuntik. Karena bukan kanker, maka pengobatannya juga tanpa dikemoterapi atau radiasi. Cukup dengan disuntik obat TBC yang disebabkan kuman.

Kelenjar getah bening terdapat di sekujur tubuh manusia mulai dari bagian atas hingga bawah. Tugasnya sebetulnya bagus, yakni penyaring dan pelawan kuman yang masuk dibawa aliran darah ke dalam tubuh. Contohnya tonsil atau yang kita kenal sebagai amandel itu. Dengan sendirinya jika kelenjar getah bening kita sakit, maka orang itu akan memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Itu sebabnya penyakit apa pun di kelenjar getah bening tak boleh dibiarkan saja.



KELENJAR GETAH BENING

Untuk saya, pembengkakan di kelenjar getah bening ini dilawan dengan kemoterapi. Sayang saya agak kurang siap menghadapinya karena kondisi tekanan darah saya terbilang tinggi sekali meski sudah saya periksakan ke dokter spesialis penyakit dalam dan mendapat obat dosis tinggi yang harus saya makan tiap pagi. Agaknya saya kurang baik menjaga asupan makanan saya, sebab saya tak menghindari garam. Padahal pasien hipertensi harus mengikuti diet rendah garam serta menghindari banyak daging-dagingan. Saya akui selama ini saya cenderung ceroboh dan menganggap ringan penyakit ini, padahal sebagai penyandang bakat bawaan dari orang tua saya seharusnya saya sangat berhati-hati. Jadi langkah pertama saya minggu ini adalah berkonsultasi kembali dengan dokter spesialis penyakit dalam serta mengatur diet. Hal terakhir inilah yang berat untuk dilakukan. Bayangkan saja di saat penyakit kanker saya menyuruh saya menghindari daging-dagingan serta gula, saya pun tak boleh makan yang asin-asin. Padahal makanan bercita rasa asam sejak dulu saya hindari disebabkan kelemahan pada sistem pencernaan saya terutama di usus. Tapi apa hendak dikata, sudah tak ada pilihan untuk saya. Jadi amat berat bagi saya jika mesti memenuhi undangan makan dari orang lain. Namun satu hal yang harus saya tanamkan pada diri saya adalah kata "SEMANGAT" sebab saya telah berhasil memenangkan perebutan mendapatkan obat kemoterapi gratis yang jadi impian banyak pasien kanker. Mari..........

(Bersambung)



Jumat, 16 Agustus 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (100)



Tak terasa sudah seratus kali saya mencatatkan riwayat penyakit saya di buku harian elektronik ini. Tapi kanker saya belum juga bisa pergi. Ketika ini terjadi harusnya saya akan merasa sangat terpuruk, susah, ketakutan dan semacamnya. Karena setiap opsi pengobatan yang sudah saya jalani ada terekam di sini untuk dipelajari, tanpa hasil akhir yang sempurna. Mestinya saya sedih dan putus asa. Keadaan itu juga yang saya jumpai pada sebagian besar pasien kanker yang tak sembuh-sembuh. Termasuk apa yang dikatakan teman lama saya yang kemarin datang menjenguk bersama istrinya setelah berpuluh-puluh tahun kami berpisahan, mereka mengira saya dalam kelemahan yang sangat di atas kursi roda yang menopang tubuh hidup enggan mati tak mau saya.

Ketika itu saya sedang menanti giliran ditemui peneliti yang akan meluluskan pemberian obat yang sedang dicobakan dalam penelitian kepada saya. Telepon genggam saya bergetar, menampilkan panggilan dari nomor tak dikenal. Tak biasa, kali ini saya justru langsung menyambut panggilan itu untuk mendapati siapa di seberang sana. Entah dorongan apa yang membuat saya ingin bicara.

Suara wanita yang tak saya kenali menyapa riang. Dia menggunakan nama kecil saya, seraya menyebut jati dirinya. Seketika saya teringat dia dan suaminya, teman lama yang kebetulan sepupu dari seorang teman yang kini menduduki jabatan penting di pemerintahan sebagai wakil utama pemerintah kita di Amerika. Tapi status sosial itu tak penting betul untuk saya. Yang terpenting adalah saya tak menyangka manusia dengan keadaan rendah seperti saya masih dikenali dan diingat oleh orang-orang sibuk yang selalu kehabisan waktu untuk orang lain. 

"Subhanallah, teteh........? Bener ini teh Dian? Masih ingat saya?" Seru saya separuh memekik di keramaian pasien yang memadati ruang tunggu berbagai klinik untuk kepentingan kemoterapi mereka. Setelah mendengarkan jawabannya yang singkat padat, barulah saya yakin tentang dirinya yang juga sesama penduduk asli Bogor dulunya. Saya teringat Ratmanah sahabatnya di SMP yang jadi teman sepermainan saya waktu kecil dulu. Ya, ini Dian yang baik hati temannya teman saya itu.

Dia mendapat nomor saya dari kenalan baru yang datang menjenguk saya suatu hari dulu bersama beberapa teman Dharma Wanita Persatuan saya. Untuk Dian dia juga kenalan baru. Dia melihat foto kami di laman FB teman baru itu, lalu dia menanyakan apakah orang dengan tutup kepala hitam di dekatnya pada foto yang diunggahnya adalah teman lamanya dulu. Tapi dia menyebut nama kecil saya yang untungnya juga cukup populer di kalangan teman-teman saya. Ketika dibenarkan, mereka kemudian terlibat pembicaraan mengenai saya. Maka berawal dari obrolan itulah terbersit keinginan teh Dian dan suaminya uda Ade untuk menjenguk saya.



Sangat menggembirakan ketika akhirnya kemarin siang mereka datang. Banyak cerita yang mereka kisahkan. Pun banyak yang ingin mereka ketahui dari saya. Sepupu mereka yang menderita kanker kelenjar getah bening Non-Hodgkins (Lymphoma) beberapa tahun lalu yang pernah saya kisahkan di sini, hingga sekarang masih terus makan obat. Penyakitnya belum sembuh juga, meski sudah dioperasi dan diobati onkologis ternama di Singapura. Uda Ade mengatakan pasien itu pernah berniat berobat di Boston, Amerika Serikat namun terkendala biaya. Jadi, meski masih belum sembuh betul dia terpaksa terus produktif bekerja menafkahi keluarganya.

Itulah realita yang dihadapi para penderita kanker. Penyakitnya jika lambat diketahui, tidak ditangani dengan tepat pula memerlukan semakin banyak biaya yang tak dapat dikatakan murah. Setahu saya pasien yang satu itu sempat berobat ke dokter ahli syaraf bergelar profesor di RS besar di Jakarta tanpa hasil. Bahkan sedihnya, tak ada upaya dokter itu untuk merujuknya ke dokter lain untuk mencari pembanding atas diagnosanya. Berobat ke negeri tetangga dulu adalah atas inisiatifnya sendiri setelah putus asa di Indonesia. Dan ketika secara tak sengaja di Singapura dia berpapasan dengan profesor itu, sang profesor hanya mengangguk-angguk mendengarkan laporannya tentang kasus penyakitnya yang ternyata bukan penyakit syaraf. 

Kemarin teman saya bilang, sepertinya dia tak akan percaya bahwa saya penderita kanker stadium akhir tanpa melihat dengan matanya sendiri sosok saya sekarang. Sebab baik di foto maupun secara nyata, saya masih seperti dulu sehat wal afiat. Cuma pembalut di tangan dan lengan saya lah yang bisa meyakinkannya. Siapa pun sependapat dengan mereka, karena tangan kiri dan kanan saya jelas berbeda ukuran.




Ini penampakkan saya sebelum dioperasi dulu. Sekarang bahkan lebih bengkak lagi.

Mereka menanyai saya apakah merasa lemah, mual, muntah, sakit dan berambut rontok sehabis dikemoterapi? Tanpa ragu-ragu saya jawab bahwa saya cukup sehat, tidak mual apalagi muntah, pun tak terkena sariawan. Namun jangan salah, rambut saya tentu saja rontok. Segera saya lepas jilbab saya disambut seruan "owwww....... masya Allah," dari suami istri itu. Mata mereka membelalak kaget, tak mengira saya botak dengan sendirinya seperti pasien-pasien lain. "Aduh maaf, ngageti, ya?" Kata saya tersipu-sipu. "Ya," jawab mereka lagi-lagi serempak. "Luar biasa, nggak kelihatan kayak orang sakit serius sih," sambung si suami membuat saya makin tersipu-sipu.

Lagi-lagi mereka masuk barisan orang yang terkagum-kagum pada saya. "Wah, heran saya, kok kamu kuat banget ya? Benar tuh apa yang dibicarakan teman-teman kita. Hebat, luar biasa," kata Dian tetap terperangah. Maka saya pun membeberkan rahasia pengobatan ganda saya ke sinshe yang ditanggapinya positif. Apalagi begitu saya katakan sel kanker saya sudah terkunci di seputar payudara dan ketiak saja oleh pengobatan itu.

Seperti kebanyakan teman-teman saya lainnya, Dian minta dihubungkan dengan sinshe saya karena punya saudara yang juga menderita kanker. Kondisi saudaranya tak sesegar kondisi saya. Karenanya saya menjadi semakin yakin bahwa pengobatan dokter akan lebih sempurna jika ditunjang oleh pengobatan herbal Cina berikut peraturan dietnya yang khusus yang justru tak dikehendaki dokter.

Siang itu menjadi saat terindah untuk menjemput senja, sebab saya makin yakin bahwa teman-teman saya di luaran sana semakin banyak saja yang menyayangi saya. Dian pun menyampaikan salam dan doa dari teman kami nun di Vancouver, Kanada yang juga sudah tahu keadaan saya dari "bisik-bisik tetangga". Konon beliau berjanji menjenguk saya jika suatu saat berkesempatan pulang ke Indonesia. Dan sore itu pun jadi saat terbaik untuk lagi-lagi menyukuri nikmat Illahi. Saya antarkan sepasang suami istri itu mencapai mobil mereka yang membawa mereka tiba di rumah saya. Dari dalam mobil Dian menjanjikan akan kembali lagi membawa tantenya yang tak lain dan tak bukan atasan pertama saya di Kepengurusan Dharma Wanita Persatuan dulu sekali semasa saya pengantin baru yang bersinar-sinar. Mobil itu pun menderu perlahan ke arah utara meninggalkan kesan yang menyenangkan.

(Bersambung)


Rabu, 14 Agustus 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (99)

Libur lebaran telah usai. Berbondong-bondong orang menuju ke kantor mereka masing-masing. Tentu saja tak terkecuali para dokter. Mereka kembali ke RS untuk kami para pasien yang membutuhkan pertolongan dengan menahan segala sakit dan rasa yang mengganggu kami. 

Hari ini, Rabu, 14/08 saya pun kembali ke RS Kanker Dharmais, akan menemui peneliti yang sedianya menerima saya untuk membicarakan soal rencana kemoterapi saya dengan obat terbaru yang amat keras. Perempuan muda belia itu berjanji menemui saya di klinik dokter spesialis kemoterapi pada pagi hari. Jadi sengaja saya berangkat pukul enam dari rumah sebab saya pun harus menjumpai onkologis saya serta difisoterapi. Libur lebaran seminggu mengharuskan saya menyelesaikan semuanya sehari ini. Tangan saya yang membengkak tidak pernah menjadi lembek, kaku dan keras selalu sehingga saya membutuhkan mesin fisioterapi. Barangkali pasalnya saya kebanyakan menggunakan tangan saya selama persiapan hari raya kemarin meski sebagian besar sudah dikerjakan anak-anak saya. Semisal memasak hidangan hari raya seperti ini :




Hidangan olahan anak-anak saya itu sedikitnya saya awasi pembuatannya. Untuk itu tangan saya ikut meracik bahan dan bumbunya. Maka kini beginilah akibatnya. Saya langsung teringat pasien di kubikel sebelah yang saya tempati sebelum libur hari raya. Tangannya yang keras dan kaku dipersalahkan salah seorang perawat sebagai akibat pekerjaannya mengiris-iris bawang merah di dapur menghadapi hari raya. Tak ada bedanya dengan keadaan saya kini. Apa boleh buat.

Perawat fisioterapi yang bertugas belum banyak. Saya ditangani oleh orang yang belum pernah saya kenal meski selalu bertemu. Beliau termasuk tipe perawat yang penuh perhatian, karenanya banyak mengomentari kondisi pasien dan memberikan nasehat. Khusus untuk kondisi lengan saya beliau bilang tak akan pernah pulih lagi selamanya. Artinya yang sudah terkena pembengkakan akan tetap lebih besar dibandingkan yang sehat. Saya diminta mencari tahu apa sebabnya kepada dokter bedah onkologis saya, karena beliau menganggap tak bisa menerangkan dengan tepat hal ini kepada pasien. Sama halnya dengan jawabannya pada pasien pasca histerektomi (pengangkatan kandungan) yang mengeluhkan sulit buang air kecil meski telah dibantu dengan kateter. Ibu berpenampilan sederhana itu diminta menghadap perawat di ruang perawatannya ketika dioperasi dulu, sebab katanya mereka yang wajib mengajari pasien sampai paham benar. Berkali-kali itu ditekankan kepada si ibu hingga kelihatan seperti tak sabaran. Saya tersenyum kecut mendengarkannya. Begitulah suasana di ruang fisioterapi, pasien dibaringkan di satu kamar besar yang di antara masing-masingnya dibatasi oleh tirai kain sebagai penyekat. Jadi rahasia pasien mudah terbongkar. Ruangan itu pun menjadi semacam ruang publik jua.

Selesai difisioterapi saya beralih ke klinik onkologi, untuk berpesan kepada perawat bahwa saya harus menjumpai peneliti dulu sebelum menghadap dokter saya. Jadi andaikata nama saya dipanggil saya belum nampak, saya minta digeser ke nomor terakhir. Dengan santai perawat mengatakan saya hanya perlu lapor diri saja nantinya. Agaknya perawat sudah hafal betul kepada saya meski saya terbilang pasien baru di situ sejak dokter membawa saya pindah RS dari kampung.

Kemudian kami beranjak ke klinik Doktor ahli kemoterapi yang dijanjikan menjadi tempat pertemuan saya dengan sang peneliti, meski ternyata batal karena bu Doktor belum masuk kerja. Saya dialamati menuju kantor badan penelitian dan pengembangan yang agak sulit dicapai karena letaknya terpisah dari klinik-klinik. Tapi nasib baik mempertemukan kami di lift yang akan menuju ke kantornya. Nasib sangat baik justru adalah ketika saya tidak hafal wajah sang peneliti yang baru pernah sekali saya temui, beliau langsung menyapa kami dengan menyebut nama saya. Selanjutnya saya diminta menunggu di klinik dokter lain yang ternyata menjadi co-partner Doktor ahli kemoterapi itu. Dengan agak ragu saya berjalan ke sana menembus pintu yang dijaga Satpam perempuan yang amat galak yang dulu pernah mengusiri pasien.

Sang peneliti agaknya sedang sibuk, jadi saya dibiarkannya menunggu selagi dirinya wara-wiri melangkahkan kakinya yang langsing separuh berlari ke sana-sini. Lagi-lagi saya terpaksa menangkap nuansa memiriskan. Ada seorang pasien yang terbaring di brankar seorang diri di sudut terdalam ruangan. Pengantarnya yang berumur sedikit di atas umur anak saya sedang berdebat dengan perawat kepala di situ, ditemani perawat dari mobil ambulans yang membawa pasien dari rumahnya. Menilik pakaiannya, ambulans itu tentu sewaan dari RS lain. Entah apa persoalannya, yang jelas mereka dipersalahkan perawat karena tiba kesiangan ketika dokter sudah tidak di klinik itu lagi. Si pengantar mencoba menjelaskan dengan berbagai alasan separuh mengiba-iba supaya dimaklumi. Sedangkan si perawat ambulans juga mendukung pernyataan itu. Tapi bukan jawaban enak yang mereka terima, melainkan bentakan perawat kepala beraroma kegemasan dan kejengkelan. Akhirnya setelah seperempat jam keluarga pasien mengalah meski tak mau juga pergi. Dia menghampiri brankar, menyapa pasien di atasnya dan bercakap-cakap dengan diselingi pandangan mata kosong. Barangkali saja pasien itu sudah benar-benar kesakitan, sementara keluarga yang mengantarkannya pun kehabisan akal untuk mendapatkan pertolongan karena keterlambatan kedatangan mereka. Hal ini mengingatkan saya pada keluhan gadis di dalam lift yang membawa saya naik ke lantai atas. Sambil memandang geram kepada staf RS yang kebetulan ada di lift dia mengeluhkan buruknya pelayanan terhadap orang tak mampu. Menurutnya, jika belum mau mati, maka pasien tidak akan diterima dan dilayani dengan baik yang dibenarkan oleh keluarga pasien lainnya di lift itu. Bahkan ditambahkannya bahwa ada pasien yang terlambat ditangani di ruang HCU serta bangsal tempat perawatan keluarganya, sehingga hanya dalam bilangan jam hingga sehari nyawanya lepas tak tertolong. Ya, RS Kanker memang selalu membuat nyali saya menciut sedih.

Saya layangkan pandangan ke seputar ruang tunggu. Banyak pasien yang agaknya sudah saling mengenal karena sering bersama-sama di suatu klinik atau treatment. Mereka mengobrolkan penyakit mereka serta upaya yang dilakukan dokter. Tapi tak kedengaran ada pasien dokter onkologi saya di situ. Bahkan seorang ibu yang tampil cantik dengan balutan busana batik yang sudah beberapa kali saya lihat di RS, juga ternyata bukan pasien dokter saya. Namun saya yakin dia ada di sini untuk mempersiapkan kemoterapinya juga. Maka tak salah duga ketika sang peneliti junior datang serta merta memanggilnya masuk ke klinik yang kebetulan kosong sebab dokter penggunanya tak ada. Mereka akan membicarakan kemoterapi juga.

Begitu pasien itu selesai, saya diundang masuk. Rekam medis saya yang sedang dicari-cari belum diketemukan, sehingga tanpa rekam medis saya berhadapan langsung dengan sang peneliti yang saya duga gadis baru lulus kuliah. Saya katakan rekam medis saya pasti ada di dokter bedah onkologi saya karena saya akan berkonsultasi di sana siang itu. Gadis itu mengangguk-angguk, lalu mulai mewawancarai saya soal terdiagnosanya penyakit saya untuk pertama kali serta perkembangan dan penanganannya hingga kini. Alhamdulillah saya bisa menjawab dengan baik, tepat pula, mengingat semua saya catatkan di dalam buku harian ini. Hai, inilah gunanya kita membuat sebuah buku harian, bukan?!

Dia mengungkapkan bahwa obat yang akan saya gunakan dalam perjalanan dari pabriknya di luar negeri. Bila akan sampai belum diketahui, apalagi menyangkut prosedur kepabeanan biasanya agak lama. Tapi insya Allah saya bisa mendapatkannya karena menilik laporan saya dengan ditunjang oleh foto-foto hasil pemeriksaan terbaru bulan lalu saya dinilai cukup sehat. Dia hanya memerlukan persetujuan Doktor ahli kemoterapi saya dan co-partnernya yang sesungguhnya juga sedang mengajukan pasien beliau untuk mendapatkan kemoterapi gratis ini. Sayang, pasien itu dianggap tak memenuhi syarat tanpa diperinci apa alasannya. Sehingga tinggal saya lah yang menjadi calon penerima bantuan itu. Ini kesempatan satu-satunya sebab program yang sudah lama bergulir itu nyaris sempurna mendekati saatnya dipelajari. Ah, tak salah lagi, perempuan berbaju batik itu tadi pasti pasien yang dimaksudkannya. Pantas saja dia kelihatan gundah melangkah gontai dari dalam klinik. Saya bersimpati untuknya dan mendoakan semoga dia bisa mendapatkan dana sendiri untuk mengatasi keganasan penyakitnya.

Walau pasien yang tertolak itu juga kelihatan cukup fit, tetapi peneliti menganggap saya lebih baik karena saya masih kelihatan produktif penuh vitalitas. Saya hanya perlu menjaga dan mempertahankan kondisi saya saja agar benar-benar siap menerima kemoterapi yang kuat ini. Yang kalau tidak salah tangkap adalah dari jenis obat Taxotere, Carboplatin dan Herceptin. Setahu saya obat yang sangat popular di Amerika ini memang impian pasien yang menderita karena faktor HER2 positif dengan hormon negatif. Tak dinyana kemungkinan besar saya akan segera menikmatinya. Dan sang peneliti meminta saya terus berdoa untuk itu. Apalagi dia kemudian saya beritahu bahwa saya pasien dengan jaminan kesehatan "Kasio" yaitu atas belas kasihan orang termasuk sejumlah dokter di situ.

Malukah saya menjadi orang tak mampu? Sesungguhnya tidak, cuma merasa pedih mengenangkan nasib yang membebani pundak orang lain. Saya tersenyum getir menelan ludah sendiri yang asam.

Soal mengapa penelitian ini diadakan kini saya tahu jawabnya. Obat ini sengaja dibuat untuk memangkas biaya perawatan pasien yang cukup mahal. Nantinya diharapkan pasien bisa menjalani kemoterapi di rumahnya dengan hanya menyuntikkan obat Herceptin sendiiri selama lima menit saja, begitu penjelasan sang peneliti. Sedangkan dua obat lain yang mengiringinya memang harus tetap diinfuskan. Dengan begitu pasien tak perlu ke RS minta bantuan yang tentunya harus berbayar. Itu sebabnya World Health Organization (WHO) menggerakkan negara anggotanya untuk melaksanakan penelitian ini. Mendengar penjelasan itu rasanya kini saya jadi lebih bersyukur lagi karena saya diberi ganjaran penyakit di waktu yang tepat dengan penelitian ini.



OBAT YANG SEDANG DITELITI ITU 
  
Seusai bertemu sang peneliti saya ke klinik onkologi lagi. Ya ampun, saya belum juga dipanggil masuk karena dokter baru pindah praktek dari lantai bawah tanah yang melayani pasien mandiri berbayar mahal. Tapi tak mengapa itu artinya kami bisa makan siang terlebih dulu. Saya kemudian memesan satu-satunya makanan yang paling aman di kantin RS, yakni siomay organik. Kata pedagangnya yang orang Tegal sih aman, tak berpengawet.

Ketika selesai makan saya mendapati nama saya belum juga dipanggil, jadi setelah mengedarkan pandangan dan tak melihat kursi kosong di dekat klinik, saya memilih duduk di ruang tunggu utama yang berhadapan dengan pintu masuk RS. Di dekat perempuan berjilbab yang tengah mengobrol saya meletakkan tubuh. Pikiran saya sudah cukup tenang meski ada hal yang akan saya keluhkan kepada dokter saya. 

Telinga saya menangkap pembicaraan yang menyeramkan dari kedua perempuan itu. Yang berisi kemoterapi yang mereka jalani serta pengalaman mereka dengan teman-teman sesama penderita yang kerap mereka jumpai di RS dulunya. Konon seseorang yang dikatakan cantik bernama Yeyen sudah wafat sebab kondisinya semakin memburuk saja. Tulang-tulangnya terserang meski semula dia penderita kanker payudara. Bahkan di beberapa bagian katanya sudah dipasangi pen. Si ibu yang seorang menyahuti bahwa Uni Elpa, begitu dia menyebutnya, juga sudah tak pernah nampak lagi. Kemungkinan besar dia telah menyerah juga ditaklukkan ganasnya kanker. Merinding saya mendengarnya, meski bukan karena mencuri-curi dengar. Apalagi si teman yang diajak bicara mengatakan bahwa dirinya kini juga menderita kanker kandungan selain kanker payudara. Ugh, menyakitkan benar, mirip penyakit-penyakit yang mampir di tubuh saya yang sejak dulu sudah mulai saya perangi di meja bedah. Tapi, tak mau juga saya menyerah seperti mereka yang disebutkannya telah mendahului menghadap ke HaribaanNya. 

Buru-buru saya menyingkir menjauhi mereka supaya merasa lebih nyaman. Saya tak ingin ketenangan batin saya terusik karenanya. Di barisan bangku lain saya mendengar komunikasi keluarga dua pasien dokter yang katanya pasiennya di situ sangat jarang. Mereka berharap dokter segera datang dari RS swasta tempatnya berpraktek saat itu mengingat kondisi si pasien sudah tua dan kelelahan di kursi rodanya. Di ujung kursi memang saya lihat lelaki berkopiah duduk tenang tak bergerak-gerak. Apakah penyakitnya sudah merenggut segenap daya hidup dan semangatnya, saya tak tahu.

Saya perhatikan dari kejauhan pasien keluar-masuk klinik dokter saya. Perkiraan dan hitungan saya tepat, saya mesti masuk ke ruang tunggu sekarang bertepatan dengan lambaian tangan perawat yang memanggil saya. Dokter belia yang santun itu menyambut dengan senyum, sapa ramah dan jabat tangannya seraya bangkit dari duduknya dan membungkuk sedikit. Itulah yang saya kagumi padanya, dia tak melupakan pelajaran pendidikan budi pekerti yang ditanamkan guru-guru kami di sekolah dulu. Saya yakin ibu Henny dan kawan-kawannya akan bangga kepadanya.

Sebelum saya mulai bicara beliau sudah mendahului menanyakan mengenai pertemuan saya dengan Doktor ahli kemoterapi yang menjadi konsulennya. Kelihatan benar bahwa beliau mengingini kemoterapi saya dapat gratisan dan berlangsung segera, sebab beliau mengerti benar kondisi saya luar dan dalam padahal beliau sendiri sudah angkat tangan menghadapi ganasnya penyakit saya.

Pembicaraan saya mulai secara kronologis dengan menceritakan keluhan di bekas jahitan pada ketiak saya, serta prospek pembengkakan yang saya alami. Sambil mendengarkan dokter mnecatat apa yang saya sampaikan. Diterangkannya bahwa limfedema itu akan menetap. Penyebab limfedema tentu karena kelenjar ketiak saya dibuang banyak sekali mengikuti tumor ganas yang tumbuh di situ tapi tetap tak bisa terbabat habis. "Terus terang 'kan saya bilang dulu susah sekali saya mengoperasi limfe ibu. Saya akhirnya menyayat sana-sini sampai makan waktu lama sekali, jadi ya ketiak ibu sudah kehilangan banyak bagian-bagiannya," terang dokter itu seraya menatap saya dari balik kaca mata minusnya.

Saya menangkap maksudnya dengan otak dangkal saya bahwasannya ketiak saya sudah kehilangan penyangganya sehingga mengakibatkan pembengkakan. Ini berarti harus sangat saya waspadai, karena seingat saya fungsi kelenjar getah bening untuk menyaring kuman-kuman penyebab infeksi yang terbawa di sepanjang aliran darah. Itu sebabnya perwat fisioterapi tadi mengingatkan saya agar menjaga tangan dan lengan bengkak itu dari kemungkinan terluka. Juga saya dilarang membawa beban di tangan itu serta tak membiarkannya mengangkat barang-barang panas.

Setelahnya baru saya sampaikan pertemuan saya dengan staf penelitian tanpa dihadiri bu Doktor yang masih cuti. Dokter saya kembali mengeluh. Tapi saya dimintanya menghubungi perawat di klinik bu Doktor saat itu juga untuk memastikan kapan beliau bisa menerima saya. Lagi-lagi kelihatan saya amat diistimewakan dan disegerakan. Layak saja saya sempat menimbulkan tanda tanya di kalangan pasien dan staf RS yang tahu hal itu. Meski saya tahu alasan dokter melakukannya demi berlomba melawan maut.

Berhubung saya takut ditolak masuk oleh satpam segalak singa yang tadi pagi sudah mengizinkan saya masuk menemui peneliti, maka saya haya berkirim SMS kepada bu Doktor. Alhamdulillah katanya beliau masuk kantor keesokan harinya. Jadi saya putuskan saja untuk menghadap beliau hari Jumat besok sekalian difisioterapi. Sebab bagaimana pun juga untuk penderita kanker perjalanan ke Jakarta itu sungguh melelahkan.

(Bersambung)

Pita Pink