Powered By Blogger

Sabtu, 14 Februari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XVIII)

"Dear mbak Ami, salam lekum," ketikku di awal E-mail untuk Ami.

"Semoga mbak Ami dan keluarga senantiasa dalam lindungan dan tuntunanNya dalam melewati hari-hari yang berat di Jakarta. Kami semua kangen mbak Ami dan keluarga, karena sejauh ini hanya mbak Ami yang senantiasa bisa menghibur kami baik melalui suara mbak  yang merdu maupun lewat sapaan-sapaan hangat mbak Ami kepada siapa saja.

Apa kabar sekolah Rizqi? Semoga dia dapat yang terbaik dan cocok untuknya. Juga semoga mbak dapat menjalankan tugas dan peran mbak sebagai istri yang baik untuk pak Taufik. Tentunya dengan posisi beliau sekarang mbak Ami semakin sibuk 'kan? Walau pasti tidak untuk menghibur tetamu lagi.

Masa itu sudah berlalu, tapi keberadaan mbak Ami dan segala kiprah mbak tetap tak tergantikan. Semoga mbak senantiasa sukses di manapun berada, seperti kami melihat segala kebaikan dan keberhasilan mbak sewaktu di sini. Terus terang aku sangat kehilangan mbak dengan segala bimbingan mbak yang tak terkesan menggurui.

Do'aku untuk mbak Ami sekeluarga. Selamat berkarya di Jakarta. Semoga senantiasa sehat dan dapat melawan penyakit mbak untuk menggapai kesuksesan dalam mendampingi suami melayani masyarakat.

Peluk cium dan rinduku, Retnoningdyah."

Kututup E-mail itu dengan mencantumkan nama lengkapku sebelum kumulai mengetik untuk Elis. Semoga saja Elis tidak berganti alamat sebagaimana Ami.

Tapi aku ragu untuk mengetikkannya. Kututup kembali jendela E-mailku, lalu aku beralih membaca berita-berita dari tanah air. Jauh dalam hatiku aku ingin jadi istri yang berpengetahuan luas sebagaimana mbak Ami yang kukenal sesungguhnya.

-ad-

Hampir tiga minggu kutunggu balasan Ami, sampai suatu pagi yang tak terduga, di inbox-ku masuk sapaan Ami dan Elis bersamaan. Dorongan rasa penasaran dan rinduku pada Elis menyebabkan aku membuka E-mail Elis lebih dulu.

"Nonik dan Ami yang baik, salam sejahtera untuk anda berdua!

Hatiku sedang berbunga-bunga. Tapi aku mohon maaf terlebih dulu, selama ini aku "menghilang dari peredaran". Ya, aku dalam masa adaptasi di Depok yang ternyata lebih ruwet macetnya daripada di Surabaya kampung halamanku. Belum lagi aku harus menyesuaikan diri dengan statusku sebagai istri pegawai negeri sekarang. Kalau mengingat ini, aku langsung teringat kalian berdua dan tertawa sendiri. Ternyata seru dan asyik juga ya?!

Ada kabar gembira untuk kalian. Aku telah berhasil mengatasi semua kelemahan kandunganku, dan kini aku tengah hamil lima bulan. Sengaja aku tidak segera mengabarkannya ke mana-mana, mengingat aku takut keguguran lagi. Tapi, biarpun begitu, aku tetap akan merepotkan kalian, dengan meminta keikhlasan kalian mendoakan kehamilanku setiap malam sebagaimana satu di antara kalian dulu bangun malam hari untuk memintakan jodoh pada Tuhan untukku. Aku sendiri tetap melaksanakan doa novenaku di sebuah gereja di dekat Stasiun Gambir. Aku tetap berharap dan tetap menyimpan kebahagiaan ini di dalam hatiku atas kandunganku ini.

Sekarang aku tinggal di pusat kota Depok, menyewa rumah seseorang keturunan Belanda Depok yang pernah kukenal waktu kami jalan-jalan ke Roterdam dulu. Rumahnya kuno, katanya sih peninggalan nenek-moyang mereka. Tapi tak mengapa, aku betah kok, karena dekat stasiun, pasar dan dokter.

Jumpailah aku kalau kalian kebetulan berada di Indonesia. Jangan lupakan kami, sampaikan salam pada keluarga kalian dan anak-anak kalian yang selalu menyenangkan."

Aku tertegun dibuatnya. Elisabeth  menjalani hidupnya sebagai istri pegawai negeri yang kutahu pasti jauh dari kehidupannya sebagai anak seorang konglomerat bekas pemilik suatu perusahaan di Eropa sini dulu. Dan lagi, Elis hamil pula!

Segera kubalas E-mailnya dengan isi yang riang serta doa tulus untuknya. Tak lupa kukabarkan bahwa kini aku punya kawan baru Erna namanya, sebagai pengganti dia dan Ami. Amipun ada di Indonesia, ceritaku.

E-mail kedua dari Ami juga segera kubaca, "Nonik yang baik, assalamu'alaikum, ma'af aku sangat terlambat membalas E-mailmu. Maklum belum ada jaringan internet di rumahku, dan rasanya riskan kalau aku harus mengetik E-mail di warnet dengan anak-anak remaja itu. Nanti apa kata anak-anakku sendiri?" bukanya. Aku mengangguk dalam hati, mengerti mengapa dia lama tak berkabar.

"Rizqi akhirnya diterima di SMP Negeri karena tak ada Sekolah Internasional di dekat rumah kami. Tapi alhamdulillah dia kelihatan senang, teman-teman lamanya dari SD dulu sebagian kecil ada juga disitu sehingga dia dapat bergaul dengan baik.

Aku tidak aktif di kepengurusan Nik, maklum kondisiku tak memungkinkan aku berlama-lama di jalanan. Kau tahu 'kan di Jakarta ini tidak ada jarak yang singkat. Semua serba berputar-putar dan terbentur di tengah-tengah kemacetan yang parah. Aku rindu tinggal di situ dengan segala kenyamanan transportasi umumnya. Juga rindu pada persahabatan kita. Di sini aku justru sendirian Nik, sebab umumnya tetanggaku ibu-ibu kantoran hahaha......

Perumahan ini terlalu sepi di siang hari, dan baru akan ramai malam nanti waktu masing-masing penghuninya bertemu di ruko, belanja untuk makan malam keluarga mereka masing-masing.

Rumahkupun juga sepi karena mas Taufik makin sering pulang malam dan ke luar kota, bahkan ke luar negeri, ke Bangkok. Aku mengerti, sejalan dengan kenaikan posisinya dibutuhkan pengorbanan waktu yang tak sedikit dan keikhlasan kami. Bahkan hari inipun suamiku sedang di luar Jawa untuk kepentingan dinasnya. Insya Allah lusa dia pulang dengan bika ambon legit kesukaanku. Mau Nik? Ayo ambil sendiri ke sini," tulisnya.

Terbayang di pelupuk mataku Ami yang cerah ceria sedang menyodorkan sepiring kue padaku sambil tersenyum manis. Ah, aku jadi semakin rindu pada Ami.

"Aku masih tetap menderita seperti dulu. Lebih-lebih lagi suntikan itu di sini tak kurang dari satu juta seratus satu ampul. Aduh, menyiksa sekali. Tapi apa boleh buat, mas Taufik tetap akan mengupayakannya untukku. Dia sebetulnya sangat sayang dan perhatiannya tak pernah berkurang," papar Ami memuji suaminya. Aku tersenyum masam membayangkannya. Taufik, ah ya, dia, semua orang sudah tahu karakternya yang aneh dan sukar diterka.

Ami menutup E-mailnya dengan berkirim salam pada teman-teman semua. Ternyata Ami tetaplah teman kami yang dulu yang tak ada sombong-sombongnya. Aku lega mendapatinya.

-ad-

"Mas, kasihan ya bu Taufik, dia terpaksa nggak kemana-mana lho. Sebab sakitnya itu tetap menyiksa, mana obat suntiknya di Indonesia mahal sekali. Untung katanya pak Taufik sering dinas ke luar kota bahkan pernah sampai ke Bangkok. Jadi semua bisa menunjang biaya pengobatannya," ceritaku pada mas Tri di depan TV ketika aku sedang merebahkan diri di pangkuannya. Anak-anak kami bermain mobil-mobilan di karpet di bawah kaki kami.

"Kau dengar dari mana?" tanya suamiku sambil terus menatap layar kaca yang menampilkan gambar sekelompok pemuda menggebrak panggung dengan gitar-gitar di tangan mereka.

"Ya dari bu Taufik sendiri, kami 'kan berkirim E-mail," terangku.

"Sering ke luar kota perlu diawasi juga tuh, apalagi kalau bu Taufik nggak ikut, kadang-kadang ada kejadian yang tak terduga," balas suamiku tenang.

"Maksudnya apa?" tanyaku lagi tak mengerti

"Ya....," suamiku berhenti sebentar, menghela nafasnya dan seakan-akan menyusun kalimat penjelasannya, "benarkah suaminya keluar kota untuk urusan pekerjaan? Kadang-kadang perlu dipikirkan juga suami nyeleweng dan mencari-cari alasan dengan berdalih dinas ke luar kota," jawab suamiku.

Hatiku tercekat. Aku serta merta teringat kembali perempuan lain yang dipergoki Elis berjalan bergandengan dengan pak Taufik dulu. Ah ya, jangan-jangan suamiku tahu juga soal itu. Dan apa yang diungkapkan Elis padaku selama ini benar belaka.

"Memang semasa di sini bapak mencurigai pak Taufik ada affair dengan orang lain, 'gitu?" tanyaku tak yakin sendiri.

"Ya nggak sih, tapi kemungkinan itu pasti 'kan ada. Ingat, pepatah mengatakan 'semakin tinggi sebuah pohon, semakin mudah dia diguncang angin,'  begitu toch?" tanya suamiku.

"Ya sih, tapi kayaknya pak Taufik 'kan bukan tipe begituan," sergahku.

Suamiku melirik padaku, mengalihkan pandangannya dari TV ke mukaku yang bulat di pangkuannya. "Mana tahu, 'kan?" katanya.

"Hm, ya juga ya," hanya itu yang dapat terlontar dari mulutku. "Kalau mas yang begitu, awas lho!" serangku sambil mencubit pahanya. sehingga dia meringis.

"Idih, perempuan galak begini, mana mau aku sakiti?" balas suamiku sambil ganti mencubit pipiku. Kami bersama-sama terkikik sehingga memancing perhatian anak-anak kami.

"Hayo, orang tua-tua malah ketawa-ketawa, makan dong yuk," pinta Buyung sambil memperhatikan kami.

Aku tersenyum jengah serasa disentakkan oleh anakku untuk menatap realita. "Iya, ayo sayang," jawabku seraya bangkit ke dapur menyiapkan makan malam yang telah dipanasi pembantuku. Malam itu demikian membekas di hatiku. Kemudian terbawa dalam mimpi, kusaksikan Ami sedang tersedu-sedu mendapati dirinya kembali bergulat melawan penyakitnya seorang diri. Tanpa Taufik di sisinya.

(BERSAMBUNG)

11 komentar:

  1. oh bunda bu Ami sedang sakit ya? semoga cepat sembuh
    selamat akhir pekan dan peluk cium dari jauh untuk bunda

    BalasHapus
  2. Hallo cantik! Gimana penelitiannya ke tengah belantara? Sekarang sedang nengok ke kota nih? Semoga kamu bisa melewatinya dengan baik ya.

    Ini percobaan mengarang. Udah sampe bab 18. Kata orang-orang ramai sih disuruh bawa ke Gramdedia. Tapi takut nggak laku ah.............

    BalasHapus
  3. bu Retno mesra juga ya dengan suaminya

    BalasHapus
  4. Nanti kalo saya bikin nggak mesra, pembaca protes dong Wat, kok ceritanya asem dan pahit semua sih xixixixi.......

    BalasHapus
  5. huaaduh mba kok tau2 sudah ke XVIII....hiks kelewat banyak nih...gimana ngejar baca semuanya yaa...

    BalasHapus
  6. Bun! Email buat ami,salamnya apa ga lebih bgus ditulis lengkap bukan salam lekum?

    BalasHapus
  7. Wah kasihan......., mbak, maaf ya, coba di save aja dulu. Kapan-kapan bisa diprint dan dibacanya nyicil. Itupun kalo tertarik mbak, maklum yang nulis amatiran hihihi......

    BalasHapus
  8. Emoh, kayak resmi gitu, ini 'kan antara sahabat yang sudah akrab jadi ditulis gini aja.

    BalasHapus
  9. Yang ini mungkin agak anehnya Pak Tri yang ngomongin kemungkinan selingkuh. Biasanya kan yang 'bocor' begini ibu-ibu :D. Apalagi ini soal kaumnya sendiri, tidakkah biasanya ada perasaan melindungi si teman atau menutupi agar istri sendiri nggak kepikiran?

    BalasHapus
  10. Oh nggambarinnya kebablasen ya aku? Hahaha..... maklum dudu pengalam pribadi, jadi terlalu ngarang nih. Hiiiii hiiiiiii geli deh!

    BalasHapus
  11. pede aja lagi bun :)
    tulisan bunda bagus2
    ayo bun.... kirimin ke gramedia

    penelitian tengah belantara terus berlangsung bun
    skrg lagi libur sih, menikmati suasana kota sedikit
    sedang terserang batuk ...
    apa obatnya yg ampuh ya bun?

    salam sayang!

    BalasHapus

Pita Pink