Powered By Blogger

Minggu, 29 Juni 2008

BIRU

Pagi yang senyap di Cape Town. Bahkan jengkerik yang pernah aku dengar malam-malam yang lalu kini seakan tiada nafsu untuk berbunyi. Menambah keterpurukanku saja.
Aku bangun tidur pukul tiga pagi, padahal sesudah makan malam aku terpaksa menelan dua butir obat pereda rasa sakit untuk mencoba menghalau semua perasaan yang bersarang di tulangku, walaupun mungkin perasaan itu hanya ada dalam bayanganku saja. Tapi obat itu tak memberi efek apapun. Juga setelah kucoba menarik selimut sambil menyetel irama keroncong kegemaranku dan suami.

Sebelum berangkat naik ke kasur, kupasang suara Sri Widadi melantunkan "Senandung Bidari" sambil menyimak buku agama oleh-oleh terbaru suamiku dari tanah air. Suamiku sibuk di muka komputer mengetuk-ngetuk bilah keyboard menyelesaikan pekerjaannya yang tidak pernah habis. Kitab Suci bersampul hijau ada di dekatku, siap kubuka jika aku memerlukan referensi atas bacaanku. Sekarang hidupku bagai tanah tandus, yang senantiasa merasa kekeringan dan haus sentuhan Illahi. Dan kutahu, air itu mengalir dari Qur'anku.

Sulit rasanya memusatkan perhatian dalam kondisi badan lemah begini. Sebentar-sebentar kurabai bahuku. Kupijit-pijit sambil kuamati. Bekas tusukan pisau bedah itu sudah kering nyaris sempurna. Tapi benjolan di dalamnya masih serupa dua biji kemiri. Ngilu. Seringai di mulutku menyiratkan semua itu.

Suamiku mengawasi dari tempat duduknya. "Tidurlah,' sarannya. Aku menggeleng, merasa kajianku hari ini belum cukup. Apalagi kusadari dulu aku seorang buta huruf yang memandang Al Qur'an hanya sebagai kitab suci yang tak mungkin kusentuh dengan kekotoran jiwaku. "Aku cuma pegal-pegal sedikit," kataku mencoba menutupi kenyataan sambil melanjutkan membaca. Buku setengah tebalnya Qur'an dengan sampul tipis itupun terus kubuka dengan sebelah tangan saja, menghindari beban pada bahu kiriku.

Seluruh putaran CD selesai di mesin pemutarnya sana. Suara Toto Salmon dengan "Stambul Baju Biru" belum lama berakhir. Gemanya masih ada di pendengaranku, seperti halnya dalam jiwa suamiku yang berhenti mengetik untuk mengetuk-ngetuk meja sesuai irama kesukaan kami tersebut. "Bapak ingat hari perkawinan kita bukan?" tanyaku dari atas kasur. Suamiku tidak menjawab. Diputarnya ulang suara Toto Salmon favorite kami seakan-akan sebuah kenikmatan yang belum terpuaskan.

-ad-

Kami menikah di Hotel Salak, di muka Istana Kepresidenan yang hampir setiap hari kami lalui menuju ke sekolah, awal Januari delapanpuluhtiga. Di tahun kesepuluh kebersamaan kami.
Waktu itu ibuku sudah sangat sakit dan tak mungkin hadir di selamatan pernikahan kami. Bapak berdampingan dengan mbak Wiek, mbakyuku yang tertua menerima salam dari para kerabat yang banyaknya di luar dugaan kami. Bahkan para wisatawan manca negara juga menghentikan langkahnya dan memandang ke arah kami dengan ketakjuban yang terpancar nyata. Waktu itu Hotel Salak jadi satu-satunya hotel terbaik di kota kami yang sekalipun berdekatan dengan ibu kota negara bukanlah kota besar sebagaimana ibu kota propinsi. Mas Dj diantarkan oleh ibunya serta paman yang telah mengambil alih peran almarhum ayah mertuaku. Kami melangkah masuk gedung dengan senyum dikulum, menyadari hari bahagia kami sangat cemerlangnya. Nyaris tanpa tetesan hujan yang biasanya masih turun di kota kami.

Hari itu hujan baru turun jam setengah tiga sore, begitu kami meninggalkan loby hotel. Gelap memayungi angkasa, menyebabkan aku ingin terus merapat saja ke pelukan suamiku. Kulirik dia di sisi kananku. Ada binar bahagia di matanya. Hari itu kami jadi satu kesatuan yang alhamdulillah tak terpisahkan hingga kini, dengan lagu Stambul Baju Biru dan Keroncong Tanah Airku sebagai bunga pesta kami.

Kami memang pasangan unik. Di saat orang-orang meninggalkan irama keroncong, aku dan dia justru saling terpaut. Dan dua lagu terbaru itulah yang kemudian ingin kami putar mengiringi pernikahan kami. Theo, teman suamiku di atas KRL bersedia bertugas di meja audio untuk itu. Sungguh suatu hal yang sangat berharga bagi kami melebihi apapun karena Theo ikhlas melakukannya sebagai hadiah pernikahan kami tanpa menertawakan atau mencela.

-ad-

Entah bagaimana mulanya, lama-lama aku menjauh dari bacaanku. Yang ada hanyalah sepenggal peristiwa di kamar mandi rumah mungil kami yang dihadiahkan oleh ibu mertuaku di saat aku masih remaja dulu. Rumah di pinggir Kanaal Cidepit itu.

Aku sedang asyik mengguyuri tubuhku di kamar mandi sempit kami dengan gayung plastik biru. Jelas sekali aroma sabun lux naik ke hidungku. Sejuknya air Gunung Salak membangkitkan kenyamanan dan rasa melankolis yang tinggi. Kurabai janin di kandunganku yang menggeliat pelan. Kandungan yang sangat kecil itu telah mencapai bulan ke-enam. Hasil simpanan kami dari masa puasa yang begitu panjang. Wujud dari angan-angan kami ketika kami masih sama-sama remaja dulu. Di ruang tamu sana kudengar "Stambul Baju Biru" mengalun merdu memecah senja yang sunyi.

Aku segera melangkah keluar kamar ingin menemui suamiku yang sedang asyik menyirami viooltjes dan anggrek-anggrek kesayangannya. Tubuhnya yang tak seberapa gemuk kelihatan bugar dibalut kaus biru. "Mas, aku tahu sekarang, kenapa mas tiba-tiba suka lagu ini," kataku membuka percakapan. "Apa?" tanyanya lugu. Kudekati dia dan kubiarkan tubuhku duduk di teras sempit kami. "Mas mau nyindir aku ya? Ingat 'kan waktu mas dulu tiba-tiba mogok main denganku?" berondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba tercurah begitu saja dari dasar hatiku.

Suamiku menghentikan kerjanya, lalu menatapku heran. "Kapan? Ada apa sih?" tanyanya. "Dulu waktu kita di SMA. Sampai kemudian aku harus minta kepada Allah untuk menunjukkan kesalahanku padamu atau menjauhkan aku sama sekali darimu," jawabku mencoba mengingatkan. Kerut di dahi itu nyata sekali tak memahami makna kata-kataku. "Apa sih?" desaknya lagi. "Ya mas, aku tiba-tiba sadar. Bahwa dulu kau pernah membenciku, tapi Allah juga yang kemudian menjadikan kita sepasang suami-istri. Aku ingat waktu itu baju favoritemu kaus biru......." tegasku dengan nada bergetar yang kemudian luruh menjadi isak tak berketentuan.

Suamiku berubah wajah. Air muka itu kini mengerti. Dan timbul gelaknya dari setangkup bibir yang kuberi hak untuk meyentuhku pertama kali dan untuk seterusnya. Hanya bibir itu. "Kamu lucu," protesnya. "Kok tiba-tiba kamu ngomong gitu?" Dicubitnya pipiku dengan gemas. "Iya dulu kuakui tiba-tiba aku ingin melamarmu jadi pacar, tapi belum berani sampai tiba-tiba juga aku ingin mengikutimu kemanapun kamu melangkah," katanya. "Dan baju biru itu? Memang favoriteku,' tegasnya. Kini tawanya makin melebar membuncahkan kemarahan padaku. Aku merajuk dan menarik tubuhku menjauh dari jangkauannya.

"Dengar," katanya. "Cinta itu ajaib, dia datang dan pergi dengan sendirinya. Jadi kenapa pula aku tidak boleh mencintaimu?' Lalu tangannya mengelus perutku yang mulai menggemuk. "Aku tidak menyindirmu. Stambul Baju Biru bukan sindiran, hanya kebetulan nyantel ya dengan kehidupan kita?' katanya lagi seperti minta persetujuan. Dihentikannya kerja menyiram tanaman. Air yang mulai menuruni pipiku diusapnya lembut. Begitu pula bibirku dikulumnya. 

"Kita memang harus selalu bersama," katanya sambil duduk menjejeriku. Sore itu pelangi di barat kota nampak indah memendarkan segala warna. Aku tertunduk malu menyembunyikan diri di dadanya. Di luar pagar rumah, pak Djoko tukang bakso keliling membunyikan mangkuknya dengan sendok mengganggu keasyikan kami.

-ad-

Dahiku serasa disentuh orang. Aku terkejut dan menatap wajah di depan mataku. Mas Dj suamiku memberi isyarat untuk bangun. "Makan siang dulu," katanya mengingatkan. Masih seperti dulu lembut dan penuh sayang. Aku terdiam, memusatkan pikiran kembali. Mimpi itu rasanya masih segar diingatanku.

Lelaki yang sama dengan lelaki di dalam mimpiku kini melakukan hal yang sama pula. Ada di dekatku, menyentuhku mesra dan tidak akan membiarkanku seorang diri lagi. Lelakiku, sahabat hidupku si baju biru yang telah membuktikan semua niatnya untuk menjadi imam pendamping dan pembimbing hidupku. Aku kembali teringat tulisanku sendiri di salah satu buku harian kami berdua dulu "Be my leader, be my protector, be my everything, Djati, forever mine!"

Jumat, 27 Juni 2008

KUTAHU TUHAN ITU ADA

Aku bukanlah seorang penganut agama Islam yang baik. Itu kusadari sejak dulu. Keluargaku datang dari kampung dengan agama warna-warni. Tapi ibuku dididik oleh simbah kakungku untuk mengikuti agama beliau. Dan alhmadulillah ibuku taat mendirikan shalat termasuk di saat beliau terbaring tiada berdaya karena penyakitnya selama sepuluh tahun.

Ayahku, yang masih bersaudara dengan ibuku, penganut aliran kepercayaan yang kusaksikan sendiri di waktu-waktu tertentu selalu menyepi, diam dalam perenungannya. Dan ayahku, kuanggap manusia yang baik. Hingga akhir hayatnya ayahku nyaris tiada cacat-cela. Orang-orang di rumah mengatakan, pada waktu pemakaman beliau banyak sekali pelayat menyampaikan doa. Begitu juga kata sahabat-sahabatku yang turut ke pemakaman sekalipun waktu beliau berpulang aku sedang dalam akhir pengembaraanku yang ke dua, jauh di Eropa sana.

Sesungguhnya orang tuaku memang tidak istimewa, tapi kami senantiasa mendapat kebaikan dan pertolongan orang banyak berkat nama ayah yang kami sandang. Aku bersyukur untuk itu.

Dari kedua orang tua yang demikian ditambah kakek-nenek Kristenku, tumbuhlah aku sebagai manusia yang "sangat pas-pasan". Shalat kudirikan disaat aku tidak merasa malas untuk bangun pagi. Mengaji, baru kupelajari dengan baik setelah umurku mencapai empat puluh lima tahun. Dan aku tak malu untuk mengakuinya, karena, sekalipun aku bukan golongan muslimah yang baik, tapi alhamdulillah aku tidak pernah merasa ditinggalkanNya.

-ad-

Siang ini aku mengaku, bahwa aku terpaksa harus tidur. Memejamkan mata untuk melupakan semua ketidaknyamanan tubuhku. Aku ingin membuang ngilu dan sakit pada tulangku, juga rasa lesu dan letih yang berkepanjangan itu. Selepas mengantar suamiku ke pintu rumah untuk kembali ke kantor setelah shalat Jumat besama anak kami dan makan siang bersama, kurebahkan tubuhku di kasur. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga, karena waktu dzuhur disini baru pukul satu siang. Padahal setengah empat sore nanti masuk ashar.

Rasanya aku betul-betul menyerah. Layu lunglai tanpa daya. Tapi selalu kuingat saran-saran teman-teman baikku di Mp ini. Lily bilang, lupakan sakitmu, jangan selalu merasa malang. Dian mengingatkan, jangan banyak minum obat pereda nyeri, hati-hati ginjalmu. Karenanya kucoba untuk melupakan semuanya dengan mengosongkan pikiran dan tidur. Aku sangat ingin mengikuti saran karib-karib mayaku yang penuh perhatian ini.

Tidurku memang lena. Tak kusadari senja telah merayap ke bumi. Kabut di Table Mountain dari Devil's Peak di belakang rumahku sudah turun menghadirkan panorama indah layaknya Niagara Falls di negeri tempat perantauanku yang pertama dulu. Beralun-alun bak air terjun yang gemuruh menggetarkan jiwa. Dan aku berdiri di muka jendela, mengamatinya sebaik aku bangun tidur tadi.

Subhanallah! Keluhku. Aku telah kehilangan shalat ashar karena lampu taman yang biru terang sudah menyala menandakan malam datang. Kini aku merasa sangat tiada berdaya. Kehilangan kesempatan emasku untuk bertemu Tuhanku.

-ad-

Niagara Falls memang hadir dalam mimpiku tadi. Rasanya, aku masih diriku yang dulu. Langsing, penuh gairah sekalipun memang tak juga sebaik orang-orang pada umumnya.  Aku berjalan berdua dengan mas Dj suamiku. Menyusuri boulevard yang indah penuh bunga dan rumput hijau. Kami berbimbingan mendekati air terjun raksasa ciptaan Illahi yang memimpikannyapun kami tak pernah. Terlalu jauh panggang dari api. kami hanya orang biasa yang tak akan mungkin mampu mengongkosi semua perjalanan jauh apalagi sampai ke Niagara Falls di ujung dunia sana. Tapi inilah nyatanya.

Tangan mas Dj di pinggangku. Kami berpelukan mesra. Di tubuh kami baju hujan plastik kuning terselubung rapi mulai dari puncak kepala. Di sekitar kami manusia berjejal-jejal berdiri menanti kesempatan turun ke air di bawah sana untuk merasakan sensasinya. Aku menggigil ngeri. Tapi lengan kekar itu masih ada di pinggangku, dan aku merasa aman bersamanya.

Di bawah ketinggian lima puluh dua meter, air membuncah menciptakan warna putih yang menakjubkan. Konon, pemandu wisata kami mengatakan, seratus enampuluh delapan meter kubik air setiap saat diturunkan dari atas sana ke Horseshoe Falls, tempat kami berada dalam perahu sekarang. Lagi-lagi aku menggigil ngeri. Dan lagi-lagi pula kehangatan tangan itu menenteramkanku.

Kupasang telingaku baik-baik menyimak pemandu wisata kami yang canggih itu. Konon Niagara Falls adalah bukti terakhir dari sisa jaman es belasan ribu tahun yang lalu.

Ontario, propinsi tempat tugas suamiku yang pertama kalinya di luar negeri ini berbatasan dengan New York di Amerika Serikat sana. Karena itu Niagara Falls dapat dinikmati dari dua sisi di dua negara yang berbeda. Namun dulunya di jaman es, Niagara Falls hanya berupa lapisan es setebal hampir tiga kilometer. Duabelas ribu tahun kemudian cairlah jaman beku ini sehingga menciptakan air terjun serta lelehan air yang mengalir menjadi beberapa danau dan sungai, di antaranya Niagara River dan St. Lawrence River tak jauh dari "kampung" kami di Kanada sini. Menakjubkan.

"Di tengah sana ada Pulau, Goat Island, namanya," kudengar pemandu wisata kami menunjuk ke kejauhan. "Pembatas dengan wilayah Amerika Serikat," lanjutnya lagi sambil terus mengarahkan pandangan ke kejauhan. Kabut tipis serupa uap menyeruak ke angkasa, dilanjutkan dengan penjelasannya "selama musim dingin, air itu tak pernah membeku dan senantiasa menyiratkan keindahannya yang abadi." kami terus menyimak. Suamiku menempelkan hidungya di rambutku, "seperti keindahan wanita,' bisiknya mesra. Aku tersenyum padanya dengan gigi-gigiku yang gingsul.

Tak habis-habisnya kami menikmati keagungan Tuhan di Niagara Falls, sekalipun kami tahu kami butuh waktu semalam penuh untuk kembali ke Ottawa dengan kendaraan kecil yang disupiri sendiri oleh suamiku. Bayangkan, dari kota besar terdekat, Toronto saja, Niagara Falls berjarak seratus duapuluh kilometer. Tapi hati kami sudah terlanjur tertambat pada keindahannya, maka kami habiskan sore itu hingga tengah malam dengan menyaksikan pendaran kembang api raksasa yang baru sekali itu seumur hidupku kusaksikan. Perayaan Canada Day. Hari nasional bangsa Kanada yang jatuh satu Juli untuk memperingati bersatunya daerah-derah koloni Inggris dengan propinsi-propinsi lain pada tahun 1867.

Si Genduk dari desa berdecak kagum dan tak jemu-jemu memandang langit yang seketika meriah penuh warna. Bunga-bunga api merah, kuning, hijau dan biru berpendaran memekakkan telinga. Menyadarkan diriku bahwa aku hanya seorang perempuan desa dari tengah Bogor yang sepi.

Tiba-tiba aku tersadar kembali. Niagara Falls itu cuma dalam mimpi tidur siangku. Yang melontarkan aku ke masa muda. Yang kemudian menyadarkanku bahwa diriku kini sudah diambang senja. Maka sepatutnya aku bersujud. Menyembah padaNya, mengakui betapa agungnya Tuhanku. Aku tahu, Tuhan itu ada, Setiap saat, terlebih-lebih ketika aku dilanda bingung seperti malam Minggu yang lalu. "Keagungan Tuhan" muncul menjadi penyelamatku untuk melaksanakan tugasku. Alhamdulillah, Tuhan tak membenciku. Dan dituntunNya aku selalu agar senantiasa ingat dan tunduk kepadaNya.

Kuambil air sembahyang, kubuka kitab suciku dan kuhabiskan sisa-sisa ayat suci yang belum habis kukaji, sebelum aku mulai membaca QS Al-Anfal, Tuhan datang padaku dengan caraNya yang halus. Duh, Gusti, terima kasihku hanya padaMu.

Minggu, 22 Juni 2008

KEAGUNGAN TUHAN (II)

Di panggung besar itu pesta akan dimulai. Di situ juga harga diri bangsaku akan dipertaruhkan. Kusapukan mata ke segala penjuru. Para penonton duduk menikmati aliran suasana yang tenang terbungkus hujan di luar sana.

Yusra cantik duduk membaur dengan keluarga kami di meja VIP dekat panggung. Bajunya yang serba hitam menambah keanggunannya sekalipun dia baru menginjak delapanbelas tahun. Dia siap dengan "Masih Ada Waktu" koleksi Kris Dayanti. Sementara aku masih bingung. Seumur hidupku belum pernah aku tampil di muka umum tanpa kesiapan sama sekali termasuk tidak melakukan sound checking terlebih dulu.

Panitia hanya mengangkat bahu ketika aku minta ijin untuk melakukan sound checking. Padahal waktu tinggal limabelas menit lagi. Anakku Harry membantuku untuk merundingkan soal ini dengan petugas tata suara di depan panggung. Dan atas inisiatifnya diputarlah dulu CD bawaanku di komputer mereka. Semula aku berkeras menyanyikan "Keroncong Bandar Jakarta" sebagai pembuka acara dan kelak akan kututup dengan "Pakarena" sesuai dengan permintaan suamiku. Walaupun sebetulnya aku tidak begitu sepaham.

Pakarena adalah lagu gembira yang jelas tidak akan sejalan dengan nuansa sebuah radio muslim. Tapi suamiku insist karena Pakarena merupakan lagu daerah Sulawesi Selatan, tempat asal Syekh Yusuf bapak ummat muslim Afrika Selatan. Apa boleh buat, aku harus sanggup menyanyikannya sekalipun aku tidak tahu artinya dan tak seberapa hafal syairnya. Malam itu aku berharap dapat membaca syairnya lewat layar VCD demi suamiku. Dari dulu sifatnya selalu begitu, ingin selalu dituruti. Aku menarik nafas dalam mencoba memberangus kegundahanku.

Di layar komputer tampil "Keagungan Tuhan" sebagai lagu pertama sehingga membingungkan kami. Kucoba untuk menelusuri hingga track terakhir, dan alhamdulillah Pakarena muncul di tengah-tengah, tapi tanpa "Keroncong Bandar Jakarta" favoriteku yang akan membangkitkan kenanganku pada almarhum ayah. Aku saling berpandangan dengan anakku. Masing-masing mengangkat bahu menyiratkan kebingungan. "Gimana nih?" tanyaku panik. "Pasti ibu salah ambil CD", kata anakku menduga. "Kan kamu sendiri yang mencabutnya dari mesin", bantahku nyaris histeris. Terbayang penampilan yang bakal berantakan nanti dan wajah gundah suamiku. Padahal aku sudah bersumpah padanya untuk tidak sekali-kali mempermalukannya di depan umum. Keringat mulai mencucuri kostum panggungku yang lumayan licin. Maklum, kain brocade itu kulapisi dengan satin yang lembut.

Aku menyurutkan langkah, menarik kursi di belakangku dan duduk menenangkan diri. Anakku berjalan mondar-mandir sambil menenteng angklungnya. Di sudut panitia sana, kesibukan terus berlangsung sambil kulihat sang Pembawa Acara bersiap-siap naik pentas. Kukosongkan pikiran sambil memusatkan diri pada Alfatihah, Al Ikhlas diakhiri Ayat Kursi. Tiba-tiba muncul pikiran cerdasku untuk menggunakan saja "Keagungan Tuhan". Bila perlu justru tanpa "Pakarena" mengingat diriku juga agak kurang fit. Nyeri di bahu dan tangan kiriku masih saja berdenyut-denyut. Apalagi sudah dua hari aku berhenti makan obat mengingat saran Dian Soedaryo temanku di dunia maya yang begitu baik hati, penuh perhatian sekaligus sangat cerdas. "Hat-hati bahaya kerusakan ginjal yang ditimbulkan oleh obat penahan sakit", begitu ungkap Dian penuh sayang. Dan aku sepakat mengingat aku sendiri pernah melihat korban pain killer yang "jatuh" di dekat kami.

Kuhampiri petugas penata suara dan kubisikkan aku hanya akan menyanyikan "Keagungan Tuhan". Dia mengangguk paham melegakan hatiku. Sementara itu acara mulai berlangsung. Kunikmati semuanya dengan degupan kencang di dada, mengingat semua ketidaksiapanku. Aku bersandar di tangan Allah. Terasa begitu dekatnya Dia di sisiku malam ini.

-ad-

Seremonial yang panjang itu sudah selesai. Angklung kami sudah naik pentas. Tiba saatnya Pembawa Acara akan memanggilku. Alhamdulillah permainan sederhana kami mendapat sambutan hangat juga. Lebih-lebih ketika "Anging Mamiri" diperdengarkan. Masyarakat Cape Malay meningkahinya dengan shalawat yang dibunyikan persis dengan melodi lagu itu, menimbulkan keterperangahan kami. "Ya, kami biasa menyanyikan lagu ini sebagai shalawat," ungkap sahabat kami keluarga Adam Philander yang duduk semeja dengan kami. Kepalanya mengangguk-angguk sesuai irama lagu yang lembut yang seakan-akan berayun-ayun.

Kemudian diakhir lagu itu Master Ceremony menyebut namaku, "Gracious of God will be sung by Julie Andradjati", serunya. Kucoba menguasai demam panggung yang tiba-tiba muncul lagi. Kusambut uluran tangan yang menyodorkan microphone itu, sementara kakiku melangkah menuju tengah arena. Nuansa temaram yang dipancarkan dari lilin-lilin di meja dan lampu-lampu redup membantuku menenteramkan hati. Ingatanku jauh melayang ke jaman dulu ketika posisku masih sebagai istri staff junior. Aku biasa tampil penuh percaya diri agar tidak mengundang teguran pimpinan kami.

Dan musikpun mulai mengalun lembut. Seketika itu aku lupa akan segala-galanya. Juga keresahan itu. Larut jadi satu dalam kesyahduan lagu yang terdengar ke segala penjuru gedung.

Di mataku hanya ada wajah Titiek Sandhora. Segala kelembutannya memancar menjadi panduku untuk menyelesaikan Keagungan Tuhan. Lagu yang kusebutkan sebagai "the very old Indonesian nasheed which is very popular back to the sixties."

Wajah-wajah itu sangat buram dimana-mana menyelamatkanku dari demam panggung tadi, sampai akhir lagu yang kusyukuri berlangsung dengan baik. Aku membungkuk hormat menjawab tepuk riuh yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Dan malam itu seakan-akan jadi milikku sendiri.

Aku turun dari panggung tepat ketika Pembawa Acara itu keliru menyebutkan identitasku sebagai penyanyi dari Jakarta. Semua menyentak perasaanku. Aku merasa tidak pada tempatnya. Sebab, selain aku bukan penyanyi, Jakarta juga sangat asing bagiku. Maklum aku hanya Genduk dari kampung di Jawa Barat sana. Aku merasa jengah.

Lagi-lagi predikat itu membuatku bingung, sama bingungnya dengan keadaanku sebelum tampil tadi. Tapi di meja kami, Zubaidah Philander sahabatku telah bangkit dari duduknya, menyambutku dengan salam dan kecup hangat di pipi. "Thank you Julie, well done," katanya menyemangatiku. Kubalas dengan pelukan erat. Aku bahagia bisa menyenangkan mereka saudara-saudara kami di tanah rantau. Imam Adam Philander juga tak lupa mengulurkan tangannya, sementara suamiku kelihatan tersenyum lega. Dari arah panggung  Yusra van der Schyff nampak menyanyi penuh percaya diri sama indahnya dengan suara dan aksi panggung Kris Dayanti.

Aku melanjutkan makan malam yang tertunda masih dengan deburan di dada sebab tugasku belum selesai. Pakarena yang sangat tidak kuharapkan itu masih jadi ganjalan. Kucoba menenangkan diri dengan mengobrol ringan bersama Zubaidah di sebelahku, sampai tiba-tiba panitia menghampirku dan menyampaikan bahwa mereka setuju untuk tidak menampilkan Pakarena. Seketika hatiku lega bagai tersiram es yang banyak. Mataku terbelalak senang. Di sampingku kulirik suamiku tersenyum kecut. Namun tak urung setuju juga pada akhirnya.

-ad-

Yusra turun panggung dengan lenggoknya yang gemulai. Kusambut di tangga dengan peluk erat campur air mata bahagia. Aku bangga padanya. Pada gadis Afrika Selatan yang mampu mewakili bangsaku jauh lebih baik daripada kami sendiri. Kini kutahu dan kurasakan betapa semua itu benar adanya. Keagungan Tuhanlah yang jadi sandaranku. Tanpa sifatnya yang Maha Agung, tak mungkin dua bangsa ini bersatu lagi setelah terpisah sejarah dan waktu berabad-abad lamaya. Tak dapat kukatakan betapa kagumnya aku pada Tuanku. Sang Guru, Allah Yang Maha Perkasa. Subhanallah!

KEAGUNGAN TUHAN (I)

Aku bingung harus bilang apa. Aku bukan seorang penyanyi, tapi Pembawa Acara di acara "Winter 2008 Banquette" Radio Voice of the Cape milik masyarakat muslim Afrika Selatan memperkenalkanku sebagai seorang penyanyi dari Jakarta. Sementara itu seribu lima ratus penonton yang menyesaki gedung pertemuan tua "Good Hope Centre" terlanjur bertepuk riuh. Mike di tanganku yang baru selesai mengantarkan "Keagungan Tuhan" ke telinga penonton sudah terlanjur ditarik kembali oleh salah satu dari duo pembawa acara tersebut. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi, melempar pandang dan senyum ke segala penjuru ruang lalu turun perlahan dari pentas besar itu.

-ad-

Siapakah diriku? Aku hanya seorang perempuan biasa, wanita penghibur dadakan yang manggung jika pekerjaan mengharuskan begitu. Bukan penyanyi profesional penghasil puluhan keping rekaman yang memang mencari nafkah dengan menjual suara.

Itulah sebabnya aku sempat panik ketika tiba-tiba Radio Voice of the Cape menghubungi kantor suamiku dan meminta kesediaan kami untuk mengisi acara dalam gala dinner yang mereka selenggarakan bersamaan dengan peluncuran acara "Indonesian Connection Programme" yang dimaksudkan untuk menjembatani warga Cape Malay dengan tanah Melayu. Personal di kantor suamiku sangat terbatas. Kami hanya berlima plus sekian tenaga tambahan. Jumlahnya tidak dapat menggenapi sepuluh jari yang direntangkan tangan. Jika ditambah dengan anak-anak kami termasuk para balita, baru bisa menggenapi rangkain jari di tangan dan kaki-kaki kami. Karena itu aku nyaris putus asa.

Untung Yuliana Harjana temanku mantan guru SD di Bandung bersedia melatih angklung sedapat-dapatnya. Juga dia menyediakan anak gadisnya untuk dilatih Tari Merak. Padahal aku tahu, dia sendiri tidak berbekal kemampuan bermusik atau menari. Namun untuk urusan melatih tari, sekarang dapat dilakukan dengan memutar video. Apa boleh buat, suamiku sebagai pimpinan di kantor terpaksa menyetujui ide gila tersebut disertai rasa was-was pada kami semua terutama para staff di kantor suamiku.

"Bapak, kita perlu seorang penyanyi untuk tambahan," usulku pada suami. "Siapa yang akan dimintai tolong, ibu bisa menunjuk orangnya?" tanya suamiku sinis. Aku terhenyak. Tak kusadari selama ini memang kami belum menemukan seorangpun di antara kami yang bisa dimintai tolong untuk mencoba olah vokal. Bahkan ketika aku menanyai kesiapan teman-teman mudaku untuk menaripun, mereka geleng kepala semua. Hm, aku menarik nafas dan berpikir keras.

Tiba-tiba aku teringat seorang gadis Cape Malay cantik jelita yang pernah kusaksikan menyanyikan "My Heart" lebih baik daripada penyanyi aslinya di panggung pesta warga masyarakat Cape Malay. Bayang wajah Yusra van der Schyff dengan postur yang tinggi langsing menari-nari di depan mataku. "Aku minta ijin menghubungi Yusra van der Schyff yang pernah dipakai di pesta SMACS ya pak," usulku. Suamiku mengernyitkan dahinya mencoba untuk mengingat Yusra. "Siapa dia?' tanyanya lugu. Lelaki ini selalu menggemaskanku. Tak pernah ada perhatiannya pada hal-hal yang kukagumi. "Gadis Rondebosch yang pintar menyanyikan My Heart itu lho," jawabku sambil menatapnya dalam-dalam. Jengah kutatap, suamiku ganti membuang pandang. Kucubit lengannya dengan gemas, "hm..., laki-laki selalu begitu. Pura-pura tidak tahu atau pura-pura lupa," keluhku. Lelaki pelabuhan hatiku ini diam saja. "Ingat?" desakku lagi. Dia mengangguk pada akhirnya. "Oke, " jawabku "besok aku upayakan untuk menghubunginya atau lebih tepat bapak yang minta staff dinas untuk berhubungan dengannya." Sepenggal akhir kalimat itu terus mendekam di dalam batinku.

-ad-

Sudah seminggu berlalu. Aku sudah selesai dioperasi, dan suamiku minta ijin meninggalkan kami untuk tugasnya di Indonesia. Tapi dengan naluriku yang terasah tajam menghadapi suami, aku tahu bahwa dia belum menghubungi penyanyi idamanku itu. Padahal, acara tinggal dua minggu lagi. Begitu selalu kebiasaan di Cape Town ini. Pekerjaan sering datang mendadak dan perlu disiapkan dengan tergesa-gesa. Sementara anak-anak disertai ibu mereka sudah langsung berlatih angklung sejak minggu sebelumnya segera setelah VOC Radio "melamar" kami.

"Bapak pasti belum berhubungan dengan Yusra 'kan?" sodokku tiba-tiba di dalam mobil dalam perjalanan menuju ke rumah dari rumah sakit. "Yusra siapa?" tanyanya acuh tak acuh. Gemas rasanya aku menghadapi lelaki semacam ini. Tapi segera kubangkitkan senjata pamungkasku menghadapinya. Sabar dan sabar saja. Sudah lebih dari tiga puluh tahun kami hidup bersama. Sepanjang itu pula aku harus menggunakan kesabaranku untuk menciptakan kedamain di sisinya.

"Itu gadis Cape Malay yang mau diminta tolong menyanyi untuk VOC" tegasku. Dia menggelengkan kepalanya tenang. Aku terpaksa menarik nafas panjang. Mengosongkan semua isi batinku dan membungkusnya kembali sebagai suatu sikap yang manis. "Betul aku mengerti, kesibukan bapak tidak menyisakan waktu untuk minta tolong orang menghubungi Yusra," kataku pada akhirnya. Dia menatapku lembut tanpa rasa bersalah, menelan ludahnya sendiri dan menyahut "ya, besok bapak tugaskan mereka bicara dengan Yusra." Dan mobil kamipun berjalan perlahan menyusuri kota, menghidar dari kemacetan yang akan mengakibatkan dia harus sering-sering menginjak rem. Suamiku memang perkecualian. Aku selalu bangga pada diri dan sikapnya. Dia jarang sekali menggunakan sopir dinas untuk keperluan pribadi kami, seperti ketika aku harus pergi dan kembali dari rumah sakit ini. Dia lebih suka menyetir sendiri dan mengemudikan sedan Jerman itu dengan sangat halus.

-ad-

Pada akhirnya Maya sekretaris suamiku memberitahukan bahwa Yusra bersedia menyanyi untuk kami, dan bersedia pula bertemu lebih dulu denganku karena suamiku sedang di Indonesia. Aku bingung sendiri. Tapi tak ada pilihan lain, staff suamiku baru semua dan tidak seorangpun yang mengenal Yusra. Akhirnya suatu hari aku datang juga ke kantor suamiku untuk berunding dengan Yusra. Gadis cantik itu masih seperti apa yang ada di benakku. Ramping, dengan rambut panjang, lesung pipit dan barisan gigi yang putih menawan bak biji ketimun. Dikatakannya bahwa dia hanya punya CD lagu-lagu populer. Tapi dia berjanji akan memilih yang paling sesuai dengan selera VOC Radio. Kuserahkan pilihan lagu padanya, dan kuminta untuk menyiapkan lebih dari dua lagu meningat VOC Radio merencanakan memakai kami selama dua hari berturut-turut.

Kukirim pemberitahuan kepada suamiku melalui SMS tentang dealingku dengan Yusra. Katanya aku harus bersiap diri juga barangkali lagu yang dibawakannya terlalu berselera muda atau bukan lagu daerah. Aku mengiyakan dengan panik. betapa tidak, sudah setahun lebih aku berhenti menghibur orang. Dan dalam minggu-minggu ini aku masih belum layak tampil di muka umum. Badanku yang lesu ditambah gendongan pada tanganku akan jadi pemandangan yang janggal di atas pentas. Tapi apa boleh buat. Demi imam keluargaku dan nama bangsaku kusanggupi sebisanya. Anak-anakpun terus kuanjurkan giat berlatih sesuai kemampuan mereka.

-ad-

Kami harus menahan sabar ketika kami dapati lagu-lagu sederhana yang akan dimainkan dengan angklung tidak begitu sesuai dengan notasi aslinya. Aku harus turun tangan mengubah sendiri. Tapi tak akan kubiarkan itu terjadi. Sebab aku ingin menghargai penulis partitur itu dulu, yang kini sudah kembali ke tanah air. Untung Tuhan mengerti kendala kami, sehingga kami merasa sangat bahagia ketika suatu hari secara tidak terduga datang seorang tamu yang kebetulan guru musik dan bersedia menulis ulang partitur lagu yang sudah dilatihkan.  Tinggal menunggu kesiapan Yusra dan diriku saja.

Untuk itu aku harus termangu menahan bingung. Mampukah aku? Kembali kukupas siapa diriku. Kami bukan entertanier sejati. Duh Tuhan, sambatku, berikanlah kepandaianmu kepada kami. Seiring dengan itu dada kami berdeburan dengan kencang.


Sabtu, 21 Juni 2008

WANITA PENGHIBUR

Tak akan pernah aku malu untuk menunjuk diriku sebagai wanita penghibur. Bahkan di masa lalu berpredikat wanita penghibur bayaran pula. Konotasi wanita penghibur pada diriku adalah wanita penghibur yang sesungguhnya. Jenis kelaminku wanita, dan tugas yang kerap dibebankan dinas (kantor suamiku) padaku adalah menghibur tetamu.

Tidak dulu, tidak pula kini. Aku masih harus maju untuk "menyelamatkan wajah bangsaku" sebisa-bisanya di kancah internasional. Kedengarannya memang terlalu muluk dan fantastis. Tapi memang tak ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkan itu semua.

Semua teman-teman Mpku yang berasal dari satu "kesatuan" denganku pasti mahfum itu. Terutama yang sudah "sekelas" denganku, turut berputar di segala penjuru bumi bersama suami di atas duapuluh tahun, tentu mengalami hal yang sama. Sebagai istri diplomat -pemegang paspor hitam-, kami wajib menguasai salah satu kesenian dan masak-memasak serta jamu-menjamu tamu. Masa itu, tidak ada kata tidak bisa, tidak mau atau sulit. Sebab, kemampuan perwakilan RI sangat terbatas, sehingga di pundak kamilah terbebankan semua tugas-tugas non substansial. Dan kami alhamdulillah menyadarinya sepenuh hati serta ikhlas berbakti.

Dulu, aku mengajukan diri untuk mengisi panggung hiburan dengan suaraku saja. Sebab, kemampuan tubuhku tak memungkinkan aku untuk menari. Sudah sejak kecil gerakanku kaku, sehingga tidak bagus untuk berlatih menari. Di kampungku dulu tinggal seorang pelatih tari kawakan yang kami panggil sebagai Pak Hapit. Kemampuan tarinya yang bagus, menjadikan pak Hapit sebagai guru tari untuk anak-anak muda. Bahkan Susi Yanita Madjid, salah satu teman SMPku ingin juga belajar padanya. Dia mengajakku serta, karena aku adalah tetangga terdekat pak Hapit. Tapi apa daya, aku telah menghancurkan semua keinginan dan cita-citanya menjadi penari. Sebab, gerakanku sangat kaku sehingga untuk menyelesaikan satu tarian "Asmarandana" saja, tak mampu. Pak Hapit seringkali menggunakan kakinya untuk menendangku, menunjukkan kejengkelan beliau. Dan aku mahfum saja, karena aku menyadari kekurangluwesanku. Bersama itu, tenggelamlah cita-cita Susi teman baikku dulu untuk menjaid penari.

Kembali ke masa SD di Sekolah Dasar (d/h Sekolah Rakjat) Kristen YPK Satu Bhakti, dulu aku hanya dijadikan sebagai "pelengkap penyerta" pada tableau natal di sekolah kami. Kenapa aku bersekolah disana? Ayahku yang seorang penganut aliran kepercayaan, datang dari lingkungan multi agama. Ada para haji di lingkungan keluarganya. Begitu pula dengan domine alias pendeta dan para penginjil. Nenek-kakekku pun masing-masing menganut agamanya sendiri-sendiri. Kakekku ada yang penganut Islam taat, tapi si nenek justru masuk ke gereja. Begitupun sebaliknya, kakekku ke gereja, nenekku pandai mengaji. Karena itu menurut bapakku, kami harus menerima pendidikan dasar Kristen agar tidak menjadi fanatik.

Ayahku yang bijak membukakan mata kami bahwa agama ibu kami yang diturunkan dari simbah kakung merupakan agama yang dapat diterima nalar. Bahwa Tuhan tidak pernah dilahirkan ke dunia dan karenanya kami tidak perlu merayakan hari kelahiran Tuhan, adalah sesuatu kebenaran yang nyata. Dan dengan menginjakkan kaki di sekolah Kristen kamipun jadi tahu, bahwa orang Kristen mempunyai dasar yang sama dengan kami, cinta kasih dan iman.

Dengan kebijakan ayahku, entah bagaimana mulanya pak Nicko Suratno kepala sekolah kami memintaku berdandan seperti bidadari, berdiri di sudut panggung dan merentangkan tangan yang diberi bersayap untuk menyanyikan lagu-lagu liturgi mengiringi lenggok gemulai kawan-kawan kami memainkan tableau natal. Dan setelah itu, menyanyi menjadi suatu kebahagiaan tersendiri untukku. Apalagi saat kuperhatikan bapakku sangat senang mendengarkan aku berdendang lagu-lagu keroncong. Keroncong Bandar Jakarta dan Langgam Di Bawah Sinar Bulan Purnama itu akan selalu dinikmatinya dengan menatapku lembut, lalu jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja seirama laguku. Ah, mesranya kenangan itu.

-ad-

Semalam aku menerima berita yang sangat melegakan. Untuk acara peresmian programma Indonesia di Radio Voice of the Cape milik umat Islam Afrika Selatan, hanya akan berlangsung satu acara tunggal. Charity dinner tanpa lain-lain. Dan itu berarti meringankan tugasku. Aku hanya wajib sekali saja mengisi acara. Lega rasanya, sebab sesungguhnya untuk malam nanti aku sama sekali tidak siap. Apalagi tidak ada musik pengiring yang bisa didatangkan dinas untuk mengiringiku, tidak pula ada pemusik "dadakan" yang sanggup menggoyang keyboard untuk menutupi kelemahan suaraku yang pas-pasan.

Itulah sebabanya, aku tidur sangat nyenyak. Aku cuma terbangun sekali pada pukul dua pagi, lalu tertidur kembali sampai saatnya suamiku bangkit dari pembaringan dan menyalakan komputer untuk membaca berita terpagi dari tanah air. Sekarang memang sudah jaman modern. Tidak ada lagi lembaran kertas putih dan merah jambu atau kuning yang panjang menjuntai ke lantai sebagai "sumber informasi" dari tanah air. Dulu, kertas-kertas itulah yang jadi penghubung kami dengan Indonesia. Lembaran putih yang dinamai "Dirpen news" adalah "koran bajakan" yang memuat berita-berita terhangat dari koran resmi tanah air sebagai bahan pengetahuan para diplomat RI di seluruh dunia. Kami menyebutnya sebagai selendang sutera yang dihasilkan oleh mesin teleks yang bunyinya cukup riuh. Dirpen news yang datang tiap hari itu sekarang sudah masuk kategori kenangan karena tergantikan oleh teknologi internet yang canggih. Aduhai masa, betapa cepatnya berlari.

Tapi aku bukanlah Dirpen news. Akut idak pernah bisa melarikan diri dari keadaan. Dan itu berarti nanti malam aku masih harus tampil sebagai wanita penghibur. Ah, aku menghela nafas panjang. Selepas mandi dan shalat shubuh, suamiku menanyakan kesiapanku. "Iya, aku masih mau nyanyi," jawabku tegas. "Tak ada pilihan lain, bukan?" Dia mengangguk dan melanjutkan, "lagu apa?" tanyanya sambil terus memerhatikan layar komputernya. "Terserah keinginan mereka," jawabku pula. "Hei, pilih sendiri, dong" serunya. Aku terdiam mematung. "Apa?" tanyanya lagi mendesak. "Bapak aja yang pilihkan, mana yang representatif untuk acara nanti malam kan hanya bapak yang tau," jawabku. "Aku nggak ada ide karena aku nggak tau apa yang bapak bicarakan dengan VOC Radio," sambungku sambil merapikan rambut. Lagi-lagi dengan sebelah tangan karena tangan kiriku masih sulit diangkat. Dia menghentikan kegiatannya sejenak, mengawasiku lalu meraih CD yang sudah kusiapkan sebagai pengganti mas Papang partner abadiku tiga tahun lamanya di Singapura dulu. Aku tidak perlu menunggu jawabannya. Segera aku keluar kamar menghindar darinya dan sibuk sendiri membaca berita dari komputer di ruang belajar sambil menyeduh kopi. Lagi-lagi aroma Liong Bulan menyegarkan memorilku, mengingatkan aku akan masa silam yang seharusnya sudah tak perlu lagi kuulang kini.

-ad-

Pertama aku tampil adalah "pelengkap penyerta" juga. Bahkan ketika itu suamiku belum menggenggam predikat diplomat tulen. Dia datang di Jenewa sebagai staff baru Deplu untuk mengikuti sidang di PBB. Tiga bulan bukanlah masa yang singkat. Karenanya, aku menyusul selama enam minggu sambil melaksanakan belated honeymoon kami sekaligus menghibur diri setelah kepergian Dimasdjati anak sulung kami yang belum sempat kubelai.  Di Swiss itu, aku turut berdinas untuk yang pertama kalinya. Bersama ibu-ibu dan para staff PTRI Jenewa kami mengisi acara di Bern. Dan selapis suaraku turut dipakai menggantikan teman yang kebetulan harus mudik ke Bogor karena mendadak ayahnya wafat.

Sejak itu aku tahu bahwa menghibur tetamu adalah pekerjaan utama anggota Dharma Wanita Deplu, sehingga ketika si Genduk pergi ke Ottawa sudah bisa melaksanakan tugasnya dengan lebih baik.

Kenekadanku menghibur, pernah mengernyitkan dahi orang banyak. Ketika itu kami datang di acara akhir tahun merayakan natal bersama organisasi wanita internasional di Kanada. Panitia mengharapkan hadirin menyanyikan Malam Kudus dalam bahasa masing-masing di pesta itu. Dan, secara aklamsi teman-teman Indonesiaku menunjuk aku bersama mbak Tuty temanku yang kebetulan seorang Kristen untuk mewakili meja kami. Jadilah aku dengan kenekadan itu didasari semangat menghibur, melagukan Malam Kudus dalam dua bahasa : Indonesia dan Jawa. Setelah itu, banyak mata tertuju padaku. Kutahu, selain kekaguman -bukan atas suaraku, melainkan atas kemampuan berbahasa daerahku- ada juga cibiran. Tapi, tanpa terduga sehabis itu masih ada lagi acara-acara lain yang mengharapkan suaraku sebagai bagian dari acara hiburan. Aku tersenyum kecut.

-ad-

"Ibu mau nyanyi Pakarena?" tiba-tiba kudengar suamiku menyapa dari pintu ruang belajar sambil mendongakkan kepalanya. "Apapun yang terbaik menurut bapak, aku ikuti," jawabku. "Toch, dalam hukum agama kita aku makmum yang harus ikut bapak sebagai imam, ya 'kan?" kusunggingkan senyum kepadanya. Dia mengangguk melegakan hatiku. Kemudian kucoba melafalkannya sebaris-dua baris. "Semoga aku masih bisa jadi penghibur, ya pak, semua ini demi namamu juga," ucapku sambil mematikan komputer. Aku turun ke dapur menyiapkan makan pagi kami. Terbayang sudah masa lalu itu yang harus kuulang lagi malam ini ketika seharusnya "layar" untukku sudah hampir turun........... Apa boleh buat........... Seketika di mataku terbayang kegemulaian sahabat baikku Senny Syahfinar melenggok di atas panggung menarikan tari tradisional dengan sangat luwes. Layar belum harus tutup untuk kita, bu Edi, gumamku dalam hati. Semoga beliau membaca postinganku ini dan akan menyetujui apa yang kuungkapkan.

Jumat, 20 Juni 2008

SI GENDUK PERGI KE KOTA

(DALAM SEBUAH LAGU SELALU ADA INTRO. POSTINGAN SEBELUM INI ADALAH INTRO PEMBUKA DARI JALANNYA RODA KEHIDUPANKU MENGIKUTI SUAMI. INILAH BAGIAN PETAMA DARI PERJALANAN PANJANG ITU)

-ad-

Umurku baru dua puluh lima tahun ketika semua itu terjadi. Pernikahanku dengan mas Dj, my child hood sweet heart, kelahiran anak pertama kami yang berbuah sorga, serta kepergian ibu mertuaku tiga minggu setelahnya. Semua berlangsung di umurku yang baru seperempat abad.

Dengan berlinang air mata, kutinggalkan rumah di tepi kanaal Cidepit di tengah pusat kota Bogor itu. Hatiku risau, sebab aku tak tahu bagaimana aku harus melangkah ke luar duniaku yang sempit untuk menjejak dunia baru yang luas dan penuh gebyar.

Selama ini pengalamanku ke luar rumah hanyalah menuju ibu kota propisni dan ke propinsi tetangga menengok kampung halaman nenek-moyang kami. Tidak lebih, tidak pula kurang.

Kutatapi lekat-lekat semua barang dan ruang di rumah mungil di bibir jurang itu. Potret mertuaku tergantung di situ, namun potret-potretku dengan suami sudah masuk ke dalam kopor President warna biruku yang akan segera kukunci. Di luar rumah bang Udin dengan keluarganya -kerabat suamiku- sudah siap hendak mengantarkanku menyusul mas Dj yang sudah lebih dulu berangkat ke Ottawa. Anggrek-anggrek, kaktus dan viooltjes kesayangan suamiku kusiram lebih dulu. Padanya kutitipkan harapan untuk menyerikan rumah kami agar tak nampak suram sepeninggalku. Sebab tak akan pernah ada lagi riuhnya denndang dari mulutku baik pagi maupun sore hari sambil menatap rumah adat Minagkabau di kejauhan sana yang indah bagai lukisan. Yang senantiasa membangkitkan rasa cintaku pada kampung halaman ini.

Lalu aku melangkah mantap ke luar rumah diiringi lambaian tangan para pedagang makanan di sekitar rumah yang biasa melayani murid-murid SD Negeri Panaragan di sekitar rumah kami. Aku memberanikan diri untuk terbang ke negeri yang jauh tanpa teman, tanpa kemampuan bicara yang cukup. Maklum aku hanyalah gadis desa yang serba kurang.

-ad-

Pesawat biru putih itu telah melambungkanku jauh menuju Amsterdam, melintasi angkasa yang bagai serakan kapas di sekeliling kami. Di sisiku seorang lelaki paruh baya duduk tenang melipat jasnya, membuka majalah dan asyik membaca. Pada bagian lain, seorang ibu asyik melayani anaknya yang masih balita. Menjelaskan tiap-tiap gambar yang melintas pada layar kaca di dekat mereka. Aku tak tahu harus mengapa. Perasaanku senang akan bertemu dengan suamiku, sekaligus bingung sebab di belakangku telah kutinggalkan ibuku yang sakitan dalam keadaan berduaan dengan bapakku yang renta ditemani dua kemenakan kecilku yang cepat menjadi dewasa karena keadaan. Ibu mereka mbakyuku, sibuk menuntut ilmu di Texas memenuhi tuntutan tugasnya sebagai pegawai negeri. Ayah mereka, sibuk sendiri dengan urusan dagangnya yang tak jelas di luar kota, menyisakan tanggungjawb kepada dua anak-anak yang kelak kemudian menjadi dua anakku tertua.

Kupejamkan mata. Aku sama sekali enggan melakukan apa-apa, bahkan tidak juga ingin makan. Hanya sekali-kali kuterima tawaran menu dari pramugari Belanda yang bertubuh besar tegap dengan kulit pucat dan mata birunya. Waktu terasa berjalan sangat lambat menyebabkan aku menjadi juru hitung yang cermat. Sudah lebih dari dua belas jam kami di udara, ketika pada akhirnya kelihatan sinar matahari pagi merebak di balik awan. Lalu tiba peringatan untuk merapikan kembali meja-kursi dan posisi duduk kami karena landasan bandar udara Schiphol sudah di depan mata. Aku menarik nafas lega sekaligus gelisah lagi.Karena kutahu aku akan singgah lama disini, sebelum pesawat berikutnya membawa aku ke tujuan utama, kota Montreal di benua Amerika sana.

-ad-

Si Genduk kebingungan. Itulah istilah yang pantas diberikan padaku. Aku yang "buta huruf" tanpa pendamping kebetulan tipe manusia pemalu, sehingga untuk urusan pindah pesawatpun aku tak tahu harus bagaimana. Namun Tuhan memihakku. Tanpa kuduga seseorang penumpang berbaik hati menanyaiku dan menemaniku untuk urusan transit. Tapi kemudian dia meninggalkanku seorang diri, sampai akhirnya entah bagaimana aku terdampar di bagian muka bandara Schiphol dan bersirobok dengan Zus Jetty serta suaminya, sepupu suamiku yang bertukar kewarganegaraan. Suatu anugerah yang tak terkira. Ternyata, beliau tahu dari kerabat di kampung bahwa aku akan lewat Amsterdam dalam perjalanan pindah ke Ottawa, Lalu mereka sengaja menunggu KLM terpagi dari Jakarta dengan harapan bertemu aku.

Atas kebaikan mereka, aku diarahkan ke meja imigrasi untuk mengurus visa transitku, kemudian membawaku ke luar bandara; mengitari bagian belakang bandara menuju ke luar kota, ke rumah mereka di Alkmaar. Belanda yang senyap. Itulah kesan pertamaku. Negeri datar tanpa hutan dan pegunungan menjadi ciri baginya. Laut, kanaal dan angin yang kencang mewarnai rona wajah negeri ini. Kincir angin di tengah-tengah ladang gandum seakan-akan melambai padaku memperkenalkan diri.

"Julie, harus terbiasa hidup di negeri seperti ini," kata Zus Jetty menuturiku. "Semua serba sepi, besih dan teratur," sambungnya sambil menunjuk beberapa tempat yang kulalui. Hanya padang datar yang memang nyaris tanpa sampah. Bebauan yang berasal dari kotoran binatang menyengat menusuk hidung dihembuskan angin kencang yang lewat di sisi-sisi jendela mobil Escort kak Charles.

Anak-anak sekolah tak nampak. Tetapi orang-orang lalu lalang dengan sepeda masih banyak, mengingatkanku akan kota Yogyakarta. Mereka akan ke kantor, begitu penuturan Zus Jetty sambil meminta kak Charles mengarahkan mobilnya ke sebuah kedai yang lebih pantas disebut toko untuk ukuran di kampungku.

Hawa dingin terasa menyengat kulit tropisku yang hanya berbalut sweater tipis yang kubeli di Bandung dulu. Dia mengajak singgah ke dalam kedai nasi, yang ternyata menjual berbagai lauk-pauk serupa di kampung kita. Zus Jetty berbaris di belakang seseorang sebelum mengambil nomor dari mesin di sudut ruang. Kemudian dengan sabar dia menunggu gilirannya dipanggil untuk dilayani. Aku memperhatikan dengan cermat, mencoba mempelajari tata cara hidup di negeri barat yang sebentar lagi tentu akan kujalani juga. Si Genduk pergi belajar, pikirku.

Sekotak daging berkuah merah dibawanya pulang bersama sayur tauge campur tahu yang tidak ada pedas-pedasnya. Menurut zus Jetty itu adalah rendang a-la Belanda. Jadilah hari itu aku makan menu Belanda yang disebut "rijstafel" untuk pertama kalinya. Lalu kami mengobrol hingga sore ketika Zus Jetty dan kak Charles siap mengantarkanku kembali melanjutkan perjalanan ke benua lain. Sudah sepuluh jam aku tinggal bersama mereka, melepas rindu. Zus Jetty banyak bertanya mengenai kerabat kami. Perhatiannya masih tetap besar, sekalipun sekarang zus Jetty dengan kulit putih bersih, mata cokelat muda dan rambut mulai beruban jadi lebih mirip orang Belanda bahkan mengadopsi sebagian sikap mereka.

"Zus titip suamimu ya, adik zus yang satu itu betul-betul baik hatinya, tolong jangan sakiti dia," pesannya sebelum mengecup lembut pipi dan keningku melepas aku masuk bandara Schiphol untuk memulai kehidupan baruku di luar negeri. Persis sama dengan pesan ceu Kustini, kakak sulungnya sesaat sebelum menutup mata beberapa bulan sebelumnya. Aku mengangguk mantap. Siapa yang tidak mengakui kebaikan hati suamiku, batinku. "Percayalah zus, insya Allah aku akan ikuti semua keinginannya," janjiku. Bibir ini menyungging senyum sebelum zus Jetty dan kak Charles hilang dari pandangan mataku.

-ad-

Perjalanan itu menjadi awal dari segala keterikatanku pada suami. Aku menjumpainya kemudian di bandara Mirabelle sedikit di luar kota Montreal sudah menungguku dengan kehangatan cinta dan senyumnya yang abadi. Kemudian aku dibawanya ke sebuah studio apartemen, rumah satu kamar berderetan dengan kamar-kamar penghuni lain di tengah kota Ottawa. Letaknya di Daly Avenue bercat putih. Disitu dia mengajari bermacam-macam hal baru yang untuk pertama kalinya ada di depan mataku dalam kehidupan ini. Termasuk menyalakan kompor, meyalakan mesin cuci serta memasak. Dia sangat memaklumi kekuranganku, karena sepanjang hidup memang dia ada di sisiku sehingga dia tahu persis siapa diriku dan apa kekuranganku.

"Dik," katanya suatu hari. "Hidup kita masih akan sangat panjang.Ini adalah langkah pertama kita, teruslah belajar dan mempelajari semua kiat hidup. Semoga Allah berkenan meluluskan semua cita-cita kita untuk mengabdi bagi kepentingan orang banyak," tegasnya ketika suatu hari dia mendapatiku menangis kebingungan menerima tugasku yang pertama dari Ketua Dharma Wanita. Tugas yang sederhana. Membuat kue dan mengisi acara dinas. Aku ditantang harus sanggup tampil di muka undangan dengan berkain kebaya. Bagiku kain  kebaya bukan sesuatu yang sulit, tapi menyanggul rambut adalah perkara lain. Aku nyaris menghabiskan waktu dua jam di depan cermin hingga tanganku kaku dan rambutku kusut masai tak karuan. Kemudian datanglah bu Imam salah seorang istri pegawai setempat di kantor suamiku yang memang terkenal luwes dan pandai berdandan. Tangannya yang cekatan membantuku memasang sanggul palsu. Jadilah hari itu aku tampil di muka tetamu resepsi diplomatik HUT RI ke-39 menghibur tetamu untuk yang pertama kalinya. Dan urusan kue itu? Alhamdulillah aku masih diijinkan belajar dari bu Sunkar dan bu Suwandi dua istri diplomat senior di kantor suamiku,

-ad-

Semua kenangan itu datang lagi pagi ini. Ketika aku sedang tiada berdaya melawan rasa sakitku sambil menghadapi kegiatan dinas yang akan berlangsung besok sore hingga lusa. Ingin rasanya aku minta permisi. Tapi seketika itu segera kuingat pesan saudara-saudara suamiku dan suamiku sendiri ketika aku akan berangkat ke pos pertama, "Kita harus berusaha mengatasi keadaan untuk membahagiakan orang banyak. Ini bentuk pengabdian yang dapat kita persembahkan," begitu yang sekarang terngiang kembali di telingaku. Lalu pesan itu juga, "jangan sakiti hati adikku yang baik......." Mataku nanar menatap masa-masa yang sudah lama berlalu dalam bayangku dan masa depan yang belum selesai kujalani. Tuhanku, kuatkanlah diriku, pintaku seraya mengatupkan kedua tanganku penuh harap.

Kamis, 19 Juni 2008

MENJELANG SENJA

Langit mendung di atas kota, pertanda hari akan hujan, Begitu kenyataan yang ada. Seperti hari ini, sejak aku bangun tidur hingga aku selesai dengan tugas belanja dapur kami, hujan terus saja turun sebab langit tidak kunjung "menyala".

Diriku yang malang kini tidak sanggup lagi mengerjakan tugas-tugas rumah tangga seperti dulu. Padahal nanti malam kami akan makan bersama dengan tetamu dari Indonesia di rumah. Namun ketiadaberdayaanku memaksa aku untuk berpasrah diri, menurut saja kepada Bu Mintarsih dan bu Titik di belakang sana. Beliau berdua mengatakan akan menjadi pelaksana dari rangkaian menata ruang hingga memasak. Aku hanya diijinkan belanja yang tidak menuntut banyak tenaga, sebab pak Bambang akan menyopiriku serta mengambilkan semua kebutuhan di toko. Aku tinggal duduk di dalam mobil, berjalan kiri-kanan di supermarket, lalu pulang. Sudah hanya itu.

Aku menuruti kemauan orang di rumah. Dengan membungkus badan rapat-rapat serta memasang gendongan pada tanganku, aku ikut pak Bambang ke supermarket. Belum seluruhnya terbeli. kami masih butuh beras dan tahu. Tapi itu semua harus dibeli di toko Cina, karena itu pak Bambang memutuskan pulang dulu untuk menurunkan daging, sayur, telur dan kawan-kawannya. Lagi-lagi aku menurut. Kali ini selain karena keinginan mereka, aku sendiri merasa sudah lelah. Kutarik nafas dalam-dalam sambil merebahkan diri di kursi depan mobil dinas kami. Keringat dingin mulai membanjiri keningku di hawa yang mulai dingin ini. Rasanya sungguh tidak nyaman, membuat aku sedikit gelisah. Lagi-lagi kusadari sekarang aku sudah tua.

"Aku pulang saja, pak Bambang," kataku sambil menyerahkan uang belanja ke tangan pak Bambang yang siap-siap akan menurunkan belanjaan di rumah. Matanya mengawasi aku, seakan-akan meneliti apa yang tidak beres pada diriku. "Nggih, ibu istirahat kemawon," katanya kemudian sambil meraih tangkai pintu yang ternyata juga diraih anakku dari dalam. Dia sedang libur akhir tahun ajaran, dan menghabiskan liburannya hanya dengan membaca dan asyik di depan komputer. Wajahnya tampan menurut ukuranku, karena kami sama sekali tidak ada yang bagus. Tampang pas-pasan, begitulah. Tingginya sudah melebihi tinggiku. Tentu saja, karena dia beroleh gizi yang jauh lebih baik daripada giziku dulu, dan kini umurnya sudah lewat dari angka tujuhbelas. "Kok udah pulang?" tanyanya singkat. "Capek," jawabku tak kalah singkat. Dia turut mengamatiku, lalu membantuku melepaskan mantel musim dinginku dan menggantungkannya di pinggir pintu masuk. "Ya., istirahat deh kalau begitu, jangan sampai tamu datang ibu kuyu," nasehatnya sok tua. Aku tersenyum sendiri sambil berlalu ke dalam kamar.

Gelap melingkupi seisi rumah, sekalipun dinding kaca lebar memenuhi seluruh kamarku. Angin mulai mempermainkan dedaunan di pohon alpukat dan jambu bol yng tinggi rindang. Kurebahkan tubuhku di atas kasur sambil menghela nafas. Ada rasa sakit dan ngilu di beberapa bagian tulangku.

-ad-

Dulu, bagiku hawa seperti ini tak ada artinya. Rumah kami di luar negeri yang pertama kali betul-betul di daerah dingin. Ottawa di Kanada pertengahan tahun delapanpuluhan masih jadi tempat yang sangat menggigilkan. Kesanalah aku pertama kali dibawa suamiku. Aku masih jadi perempuan desa, katrok, yang tidak mengerti apa-apa. Untukku, urusan rumah tangga masih barang baru. Lebih-lebih dengan perangkat listrik. Jangankan melihat, membayangkannyapun aku tak pernah.

Namun, di Coronation Avenue nomor 642 di daerah Alta Vista yang berkelas, semua peralatan adalah listrik. Rumah kami terdiri dari tiga kamar tidur di atas, yang dilengkapi oleh sebuah kamar mandi dengan bath-tub yang baru pertamakali itu kusentuh. Di bawahnya adalah ruang tamu, ruang makan dan dapur serta di bassement ada garasi ruang keluarga yang menghubungkan penghuni rumah dengan garasi.

Kompor kami listrik, yang sangat mudah untuk dinyalakan, sekaligus sangat aman untuk pernafasanku. Mesin cuci kami tentu saja listrik juga. Semua adalah pengalaman baru untukku. Sangat bertolak belakang dengan kehidupoanku yang sederhana, semi primitif. Aku biasa menyalakan kompor minyak tanah, dan memanggang semua kueku di oven kaleng made in Cibinong, serta mencuci baju-baju kami di lantai kamar mandi dengan bantuan papan cucian yang terbuat dari kayu yang bergelombang. Rasanya, aku seperti mendapat berkah sekaligus bingung. Aku sering tergeli-geli sendiri mengenangkan pengalaman pertamaku hidup di luar negeri, jauh dari Kanaal Cidepit yang bau anyir dan sampah busuk di muka rumah kami.

Pengalaman itu adalah guruku yang terbaik dan setia. Yang tak akan pernah bisa kubuang demikian saja, sebab telah mengajariku untuk menjadi manusia yang lebih cermat dan rapi.

Ingatan itu selalu hadir, jika aku menghadapi sebuah mesin cuci berpintu di samping depan. Ketika itu aku baru saja memutuskan keluar dari bangku sekolah. Bahasa Inggrisku masih seadanya. Sebetulnya ada keinginan untuk belajar lagi dengan intensif. Tapi aku terlanjur hamil dan haru sangat berhati-hati menjaganya, karena kehamilan pertamaku di kampung telah menghadirkan peristiwa tragis. Anak kami kembali kepadaNya sebelum aku sempat untuk menimangnya, karena kelainan pada kandunganku.

 

Rabu, 18 Juni 2008

SUATU PAGI MENGENANG TANTE MIEN DAN OOM TOK

Tadi pagi aku bangun agak terlalu pagi. Belum lagi jam empat, mataku sudah menolak untuk dibawa tidur. Sekit di bahuku tidak seberapa, karena sebelum tidur aku sudah menelan obat penahan rasa sakit sekaligus dua butir. Aku berharap dapat mimpi indah di dalam tidur nyenyakku.

Alhamdulillah aku memang tidur sangat nyenyak, hanya sekali terbangun sekitar pukul dua belas tengah malam. Tapi itupun tak membuataku sempat melamun, segera tertidur kembali.

Niatku bangun tidur tadi ingin bangkit dan bersembahyang malam. Maklum disini subuh baru akan tiba pukul enam lebih duapuluhlima menit. Tapi, masya Allah, sendri-sendi dan sekujur tulang lengan kiriku ngilunya bukan main. Maka kuurungkan mengambil air sembahyang. Alih-alih kunyalakan lampu baca, dan kubuka kitab agama hadiah suamiku yang terbaru. Tapi entah mengapa, hatiku tidak disitu. Apa yang tersurat hanya nyangkut di mata dan tidak mau berdiam di dalam otakku. Maka kututup kembali buku itu seirama dengan gerakan suamiku memindah posisi tidurnya.

Matanya sedikit terbuka, dan menatapku lurus. Tapi dia tidak bicara apa-apa. Dilanjutkannya tidurnya. "Beginilah hidup, kalau sudah tua kata oom Tok dulu, akan jadi sulit tidur," gumamku tanpa diminta. Suamiku diam saja meneruskan mendengkur kembali. Betulkah begitu? Sesuatu yang tak terbukti pada suamiku. Dia nyenyak mengukir mimpinya.

-ad-

Oom Tok, begitu aku memanggilnya, adalah kenalan lama kami semasa suamiku bertugas di luar negeri pertama kalinya. Beliau bertugas sebagai Atase Perhubungan, dan tinggal berdua saja bersama tante Mien istrinya di Montreal. Ada yang istimewa pada tante Mien. Selain enerjik, tante Mien punya daya ingat yang sangat tajam.

Siang itu aku berkunjung ke rumah beliau untuk memperkenalkan diri. Di rumahnya yang luas di tengah kota metropolis Montreal, sudah banyak tetamunya yang hadir. Agaknya oom Tok dan tante Mien memang luwes bergaul dan disenangi banyak orang. Kuperhatikan semuanya keluar-masuk rumah langsung menuju area dapur dan ruang makan membawa piring hidangan dari rumah masing-masing. Itulah yang kami santap bersama sambil menikmati pemandangan di luar yang bagus. Ada pohon besar dengan tupai-tupai serta skunk yang berlompatan di sekitarnya. Bulu-bulu yang lebat itu mengayun-ayun gemulai di sekitar ekor mereka. Summer delapanpuluhempat di Kanada.

Tahun pertama aku tinggal di luar negeri, dibawa mas Dj suamiku. Rumahku sendiri juga luas dan berpohon lebat. Jejeran maple menghiasi halaman depan dan belakang, sementara pagar hidup berbunga biji-biji merah mengelilingi halaman sebagai pembatas dengan lahan belakang rumah tetangga. Di waktu musim gugur, indahnya daun daun hijau itu berubah menjadi merah dan kuning yang mempesona. Lalu akan gugur bertebaran dibawa angin yang menyebabkan kami harus bekerja keras untuk menyapunya dan mengumpulkan di dalam plastik sampah hitam yang besar itu. Setelah itu akan tiba musim dingin yang menggigit tulang karena temperatur yang berpuluh-puluh derajat di bawah nol celcius.

-ad-

Di Kanada itu aku mengenal oom Tok dan tante Mien. "Nak," sapa tante Mien dari arah dapur ketika aku duduk di depan meja makan mengawasi kecekatannya melayani tetamu seorang diri. "Kampung halamanmu di Jawa Tengah ya?" tanya tante Mien sambil mengamat-amatiku. "Saya dari Bogor, bu," jawabku sopan. "Bukan, maksudku nenek-moyangmu dari Jawa Tengah 'kan?" tegasnya lagi sambil menyebut suatu daerah yang persis dengan kampung halaman orang tuaku. "Ya, ada apa bu?" tanyaku takjub. "Kamu seperti bagian dari masa lalu saya, panggillah saya tante Mien saja," jawabnya setengah menginstruksikan. Aku terperangah. "Tante?" tanyaku tak percaya takut dianggap orang kurang sopan santun. "Ya, tante. Aku yakin, kamu bagian dari keluargaku yang terpisah," tegasnya lagi. Kemudian tante Mien duduk menjejeriku melupakan semua tetamu yang harus dijamunya dan membiarkan mereka melayani diri sendiri, asyik mengobrol denganku.

Tante Mien membuka riwayat keluarganya tanpa kuminta. Dan akupun menceritakan pengetahuan yang kudapati dari orang tuaku tentang keluarga besar kami di kampung sana. "Oh, ya 'kan?! Kamu menyebut nama salah seorang temanku dan nama kakak-kakakku," serunya senang. Mata tua itu berbinar-binar. "Oh, kecilnya dunia," seru tante Mien berdecak kagum menunjukkan kegembiraannya pula.

Lalu diceritakannya semua hal masa lalu, termasuk yang sering kudengar dari ibuku. Di kampung nenek moyang kami, kakekku dulu bekerja sebagai guru. Ibuku berkawan akrab dengan salah seorang sepupu tante Mien, bahkan juga dengan kakak tante Mien. Setiap hari mereka berkendaraan dokar -delman di kampung orang tuaku- ke sekolah. Otak tua itu masih saja runut membongkar masa lalunya. Aku terkagum-kagum tiada habisnya pada tante Mien.

-ad-

Oom Tok pernah bilang, usia tua menyebabkan kita sering terjaga dari tidur. Dan biasanya kemudian akan mengganggu teman tidur kita. Beliau benar semata. Pagi ini aku bangun sangat dini, dan mengusik lelap tidur suamiku. Aku tersenyum sendiri, sekalipun senyum pahit.

Masa lalu itu sudah sangat lama kulewati. Hampir seperempat abad berlalu. Namun kini terasa baru kemarin terjadi. Tante Mien dan oom Tok serasa masih ada. Aku saakan-akan mengendus wangi parfumnya. Wangi kenangan yang menggugah semangat hidup.

Seingatku, ketika itu umur tate Mien jauh di atasku sekarang. Hampir mencapai enampuluh tahun. Tapi beliau nyata benar bedanya dengan kondisiku kini. Tubuhnya tidak gemuk, tak pula kurus.  Langkah kakinya masih tegap dengan gerak cekatan. Aku? Ah, malu rasanya untuk kuungkap. Baru setengah abad jalanku sudah mulai tertatih-tatih terkadang bungkuk menahan nyeri di perut. Belum lagi, kini lengan kiriku menjadi kaku dan kurang produktif.

Seandainya bisa kembali ke masa lampau, ingin aku berada di Kanada kembali. menikmati semua masa mudaku yang indah. Menerima karunia Illahi yang terbaik, lahirnya Andri cintaku. Ah waktu, betapa cepatnya kau berlalu.

Aku gelisah seorang diri. mencermati lagi apa yang sudah kuperbuat untuk persiapanku sewaktu Tuhan memanggil kelak. Ternyata aku belum punya apa-apa. Hanya membawa seonggok daging tanpa jiwa. Betapa ngerinya.

-ad-

Aku menangkupkan wajah pada bantal, berusaha mencari perlindungan. Tapi segera kusadari bahwa hanya Allahlah yang akan melindungiku. Kulawan rasa ngilu di tulangku. Aku bangkit mengguyur tubuh di keran air panas, menyucikan diri siap menghadap padaNya untuk memohon perlindungan serta mengisi kekosongan jiwaku. Semoga Allah berkenan menerimaku pagi ini, esok dan hari-hari selanjutnya. Tante Mien, oom Tok, terima kasih atas kenangan sekilas tadi. Ijinkan aku mendoakan kebahagian bagi tante dan oomku sayang yang entah dimana kini berada. Yang kutahu, sudah sangat lama, oom Tok telah menghadap padaNya kembali ke haribaanNya. Semoga Allah membahagiakan beliau dengan jamuan yang nikmat di sorga yang abadi itu.

Selasa, 17 Juni 2008

'IBU SOSIAL'

Seharian ini aku bingung tidak tahu harus melakukan apa. Semua sendi-sendi tangan kiriku seperti malas diajak bekerja sama. Lemah dan ngilu pada tulangku. Belum lagi sudah dua hari nafsu makanku berkurang jauh. Rasanya semua makanan yang masuk ke perut tidak mau bertahan disitu. Aku bingung sendiri.

Sebentar aku menyalakan komputer mengecek e-mail dan sapaan-sapaan sayang yang masuk dari kawanku di seluruh dunia. Tapi, sebentar itu juga kuhentikan kegemaranku yang satu ini. Rasanya aku ingin berbaring-baring saja dan membaca buku seperti biasanya. Kuhabiskan membaca novel trilogi "Ibu Maluku" yang menggigit jantungku. Kisah pengabdian seorang bule Belgia campur Belanda dimasa awal abad ke duapuluh di pedalaman Maluku sana. Dimulai dari kisah masa kecilnya yang kurang kasih sayang disebabkan rumah tangga orang tuanya yang tidak sempurna, dilanjutkan dengan perjumpaannya dengan seorang pria Belanda yang kemudian melamarnya untuk jadi "Ibu Sosial" di Maluku sana.

Aku terhenyak sendiri membayangkan predikat "Ibu Sosial" yang melekat pada Mevrouw Van Diejen Roemen alias ibu Jeanne. Buku itu memang mengisahkan kehidupannya yang serba minim. Pertama beliau tiba di Maluku, adalah sebagai seorang calon pengantin yang menyusul perjakanya naik kapal berbulan-bulan dari negeri seribu cahaya di Eropa sana, menuju ke kegelapan abadi di timur Nusantara. Dengan apik beliau menuturkan pengalaman pertamanya berkubang di lumpur dalam, dan merebahkan diri di bilik bambu tanpa pelita di tengah hutan yang dibuka suaminya menjadi ladang damar. Dengan baik pula diungkapkannya semua pengalamannya menjalani sakit dan celaka di tengah hutan tanpa fasilitas tenaga medis. Dan dengan tegar diceritakannya pula semua kepahitannya menanggungkan kodrat sebagai perempuan "mandul" disebabkan ketiadaan tenaga medis yang mampu menangani kehamilannya dengan cakap.

Rangkaian operasi kandungan di awal abad ke duapuluh yang harus dilaluinya seorang diri di Surabaya yang jauh dari kebun suaminya di Tobelo, Maluku Utara, menggetarkan hatiku. Mengecilkan jiwaku. menegurku yang cengeng. Seharusnya aku malu, sebab aku hidup di era abad ke duapuluhsatu dengan fasilitas yang serba canggih, di luar negeri pula, tetapi aku masih senantiasa mengeluhkan keadaanku yang sesungguhnya tiada seberapa dibandingkan dengan keadaan Mevrouw Van Diejen. Inilah yang mengakibatkan aku ingin segera menuntaskan buku bacaannku.

Perempuan perkasa itu telah melewati sebagian besar hidupnya dalam kesulitan. Medan perang juga jadi bagian dari romantika hidupnya, sehingga beliau terpaksa berpisah dengan suaminya untuk selama-lamanya tanpa pernah diberi kesempatan melihat jasadnya. Namun, beliau tak pernah sampai jatuh terpuruk. Semangatnya senantiasa tinggi, mengangkat beliau kemudian menjadi warga negara kelas satu di propinsi Maluku pada waktu Indonesia baru merdeka, sampai tiba masanya pengusiran warga Belanda dari bumi pertiwi.

-ad-

Beratnya buku tebal itu menyingkirkan minatku untuk membaca.Tanganku tak kuat menyangganya. Terpaksa kuletakkan kembali di meja sekenanya. Kemudian kubaringkan tubuhku yang lemah sambil memejamkan mata.

Aku masih teringat kakangku serta keluarga mereka. Apalagi Indra kemenakanku yang bagiku sangat baik. Kucermati lagi segala pembicaraanku dengannya. Membuatku angkat topi. Ingin kusampaikan kepadanya, bahwa aku bahagia memiliki kemenakan seperti dirinya. "Aku belum sempat membahagiakan papa Bul, maklum rumah tangga baru," katanya. "Tapi ijinkan aku mendoakan ketentraman dan kebahagiaan surgawi untuk papaku,' pintanya. "Indra, aku tidak pernah membencimu," tegasku. "Aku cukup mengerti akan semua keterbatasanmu, bersabarlah dan banyak berbuat baik. Teruskan berdoa, dan kutitipkan mama padamu," kataku lagi. "Bul, hatiku tenang, dan aku terharu membaca semua kenangan manis bulik dengan mama dan papa. Kurasa papaku tersenyum dari alam baka membaca semua penuturan adik yang kutahu dikasihinya," katanya.

Ah, itu lagi. Kakang dan kakang selalu yang ada di dalam pembicaraan dan pikiranku hari-hari terakhir ini. Bagiku rasanya berat ditinggal kakangku. Di balik kekurangannya sebagai manusia, toch bagiku kakang punya segudang kebaikan yang membekas di hatiku. Dan suamikupun mengakuinya, sebab kami tumbuh bersama-sama sejak muda.

-ad-

Heningnya rumah ditinggal suamiku ke kantor menyebabkan aku bisa sedikit terlena. Dan dalam nyenyak tidurku aku seperti berhadapan dengan Mevrouw Van Diejen. Gambaran kehidupannya di tengah pedalaman Maluku nyata-nyata hidup dalam tidurku. Episode ketika beliau berperahu ke tengah laut luas untuk memberantas penyakit kusta, juga kecintaan beliau kepada rakyat yang menderita. Serta rangkaian pengorbanan dan pengabdian di kamp konsentrasi Jepang itu. "Ibu Sosial", itulah kata yang layak diberikan padanya dan kudengar berulang-ulang dalam mimpiku. "Bangkitlah pemimpi, lupakan sakitmu. Banyak pekerjaan menunggumu," begitu kata beliau di telingaku. Lalu kedua tangannya yang perkasa mengangkatku berdiri di sebelahnya. Aku menggeliat menahan nyeri.

Bayangan itu hilang begitu saja. Tidak ada Mevrouw Van Diejen. Disini, di kamarku di Edniburgh Drive 56 hanya ada aku dan bayangan diriku di cermin. Di situ kulihat prempuan kuyu kurang semangat. Rambut sebahu yang dulu terkuncir rapi kini berserakan kusut masai. Pipi itu juga kehilangan serinya. Hanya ada setangkup bibir yang nyaris pudar tanpa warna.

Aku malu menyaksikan dirku sendiri. Ibu rumah tangga yang tak berguna. Segera kucuci mukaku. dan kusisiri rambutku dengan sebelah tangan saja. Lalu seulas lipstik merah tua yang lama kusimpan keluar dari tempatnya menyerikan wajahku. Sedikit segar rasanya. Kemudian ingatanku kembali sempurna. Aku harus bangkit dan mencoba berlatih enam lagu yang akan kubawakan untuk pelucuran programma bahasa Indonesia di Radio "Voice of the Cape" akhir pekan ini. Masih ada waktu empat hari untuk mempelajarinya, sekalipun kekuatan kantongku yang ikut sakit tidak bisa mendatangkan "inang pengasuh"ku, mas Papang yang setia pemain organ tunggal yang biasa menemaniku di Singapura dulu.

Ada yang masih bisa kulakukan unuk mengharumkan nama bangsaku. Aku akan bangkit dengan lagu-lagu itu semampuku, sekalipun lusa aku akan tampil seperti badut dengan balutan pada bahuku yang terpaksa kugendong. Dari laci ruang keluargaku kuambil sejumlah VCD dan kuhidupkan mesin karaoke untuk mencoba bernyanyi sebisanya. Aku hanya berharap akan kasih Tuhanku saja. Semoga Beliau berkanan mendampingiku mengangkat diri menjadi makhluk berguna, seperti Mevrouw Van Diejen Roemen alias Ibu Sosial itu.

Minggu, 15 Juni 2008

RANGKAIAN KESABARAN

Semalam aku terbangun beberapa kali. Bukan oleh rasa sakit yang "ajaib" itu, melainkan oleh rasa pegal dan ngilu yang menjalari bekas operasiku. Dan kali ini tanpa sengatan yang tiba-tiba seperti dulu, sehingga tidak membangunkan suamiku.

Kulirik jam di HP yang senantiasa ada di dekatku karena kemampuan mataku yang buruk sejak kecil tidak mungkin menatap jam dinding besar di dekat kasur kami. Yang pertama. Baru jam sebelas lewat empat puluh lima menit. Kuubah posisi tidurku. Aku menyamping, menghadap suamiku ynag baru naik ke peraduan setelah selesai menonton pertandingan bola sepak di televisi bersama si bungsu. Rasanya belum juga pas. Masih agak kaku dan menimbulkan nyeri. Aku ingat dokter Vrettos bilang, ini akan berlangsung beberapa bulan, sekalipun pada kasusku dia menemukan suatu keajaiban karena cepatnya proses pemulihan.

Kuputar lagi tubuhku membelakangi suamiku. Kali ini terasa lebih nyaman. Aku mencoba memejamkan mata, mengosongkan semua pikiranku dengan dzikir. Aku berharap dzikirku bisa mengusir ketidak nyamanan dan pikiran yang akan melenggang kemana-mana. Di luar sana angin kencang serupa Cape Doctor yang jadi ciri khas angin teluk di Semenanjung Harapan ini menderu-deru mengerikan. 

Entah berapa lama aku berdzikir ketika dia datang lagi padaku. Rasanya masih seperti dulu, tegap dan perkasa. Tubuhnya tidak tambun. Dia mengendarai mobil bapakku Fiat 124 biru tua dan siap melaju ke suatu tempat bersama ibu dan mbak Ien. "Kang, aku ikut," pintaku dari dalam kamar. "Ssstt! Jangan, jangan berisik. Mau nonton film tujuh belas ke atas," katanya pelan. "Nanti bapak bangun, kita diem-diem nih," lanjutnya sambil menutup pintu pagar belakang meninggalkan aku yang kecewa seorang diri.

Rasanya belum lama. Aku masih lima belas tahun, dan mereka akan menonton Widyawati dan Sophan Sophian membintangi "Pengantin Remaja" di Sukasari Theater. Kang Ain memang sudah lama berada di tengah-tengah keluarga kami, layaknya anak kandung orang tuaku. Persahabatan dengan mbakyuku dimulai ketika dia ingin membeli sepatu sandal platik yang di awal tahun tujuhpuluhan sedang jadi mode. Bapaknya yang memiliki Toko Sepatu Bata di dekat rumah kami, menyuruh akang melayani sendiri mbakyuku. Dari situlah persahabatan terus terjalin sampai bapakku pun tak perlu datang ke tokonya untuk mendapatkan sepasang sepatu yang diingini beliau. Cukup dengan menyebutkan model dan ukuran kaki lalu memberikan sejumlah uang, maka sepatu yang nyaman dan pas di kaki itu sudah akan sampai di hadapan bapakku.

Akang adalah sosok istimewa buat mbakyuku. Kepandaiannya menggambar dimanfaatkan mbakyuku untuk membantunya mengerjakan PR menggambar yang ketika itu masih saja jadi salah satu mata ajaran di SMA. Dan biasanya setelah itu, guru gambar mbakyuku, pak Daos namanya, akan tervcengang-cengang dan bertanya-tanya darimana kakakku mendapatkan kemampuan menggambar dengan tiba-tiba begitu. Tentu saja kakakku tidak akan menjawab dan sebagai hukumannya kertas gambar itu disobek pak Daos.

Akang kunilai sebagai lelaki yang sabar. Dan kesabarannya sering juga kumanfaatkan untuk memenuhi keinginanku. Suatu Minggu sore ketika toko-toko nyaris tutup semua -dimasa itu toko akan tutup pada hari Minggu-, aku merengek minta dibelikan piringan hitam berisi instrumentalia lagu "Bulan Pake Payung". Lagu ajaib, menurut sepupuku Netty yang seumuran denganku. Sama ajaibnya dengan selera musikku yang mengarah ke keroncong. Padahal, di usia muda anak-anak sibuk mendengarkan lagu pop yang masa itu sedang di ramaikan oleh grup-grup musik Koes Plus, Panbers, The Mercys, Favorite Group dan sejenisnya serta para penyanyi solo setenar Titiek Sandhora, Vivie Sumanti, Emilia Contessa serta Boery Marantika. Marantika, ya, Marantika, karena waktu itu dia belum menyandang nama Pessulima disebabkan dia ingin menghormati paman yang telah mengasuhnya.

"Ayo dong kang, anter beli "Bulan Pake Payung", rajukku sambil menggenggam erat bagian belakang kemeja akang. "Besok, sekarang semua toko tutup, tahu?" balas akang tegas. "Nggak mau, aku mau sekarang, kalo nggak akang jangan main kesini lagi," lagi-lagi aku merajuk. "Ni anak, nggak mau tau aja," katanya gemas. Namun tak urung dia mengantarku juga mengunjungi Toko Irama Nusantara milik pak Sungkar yang kala itu masih  belum jadi tetangga kami. Aku tersenyum puas, dan piringan hitam itu betul-betul jadi favoriteku sampai suaranya rusak bergoyang-goyang karena permukaan piringan hitam tergores-gores tidak karuan. Kebaikan dan kesabaran akang selalu jadi panutanku. Menyebabkan aku tak ingin meniru sifat mbakyuku yang cenderung tidak sabaran dan pemarah . Duluuuuu, itu duluuuuu ketika kami masih sama-sama muda. Rasanya Bulan Pake Payung selalu hinggap di telingaku sampai kapanku, juga pada tidurku malam tadi yang berlanjut pada keadaan terjaga untuk yang kedua kalinya.

-ad-

Tubuhku terasa lemah. Cramp dan ngilu pada bekas operasiku menggigit lagi. Aku kembali terbangun, mencermati sakit yang mengoyak mimpiku tadi. Bayangan kakang dengan segala kesabarannya masih ada di benakku. Tiba-tiba kuingat mbakyuku sendiri pernah menelurkan testomony bahwa dia bukanlah istri  yang berbakti. "Aku kan udah capek kerja di kantor, masa' tiap dia pulang ngantor aku harus siap di depan pintu menyambutnya dengan segelas air dan handuk bersih segala?" tanya mbakyuku ironis. "Ya, lah," jawabku. "Jangan lupa mbak, kewajibanmu sebagai istri adalah melayani kebutuhan suami dengan ikhlas disertai senyummu," jawabku sok tua dan menggurui. "Hmmmm, mau'nye" timpal mbakyuku nakal sambil mencubit kakang. Aku tersenyum sendiri mengenangkan kepolosan dan kehangatan mereka. Kakang cuma tersenyum dan memincingkan matanya nakal menatapku. "Bener Lie, kan kewajiban dia mah di dalem rumah," serunya sambil berlari menjauh. Kami semua tertawa bersama. Kakang dan keluarga kami adalah suatu kesatuan. Nyaris tak ada rahasia dan rasa sungkan, sebagaimana yang diajarkan orang tua kami, bapak dan ibu.

Berpuluh tahun kakang membina rumah tangga dengan mbakyuku dalam damai. Setidak-tidaknya mencoba untuk senantiasa saling mencari kedamaian. Walaupun tak kunafikan hidup memang sering diterpa gelombang, tapi alhamdulillah bahtera mereka tak pernah sampai terbalik maupun karam.

Mereka pernah tinggal di dalam rumah yang sangat sederhana. Berlantaikan semen yang sudah mengelupas disana-sini, berdindingkan separuh bambu. Disitulah Anneke kemenakanku yang putih dan bulat menggemaskan lahir. Tapi mbakyuku tidak pernah mengeluh, sehingga mas Dj pernah berujar. "bahagianya kang Ain, punya istri yang penuh pengertian." Ketika itu kami belum lagi menikah. Mas Dj dan aku masih sama-sama mahasiswa  yang sibuk menyusun masa depan. Akang berkerja di suatu pabrik tekstil sebagai kepala teknisi mesin rajut, sedangkan mbakyuku sudah mengabdikan diri di kantor seorang notaris wanita sebagai sekretaris. Tapi kuingat jelas, dalam keadaan yang serba terbatas itu, mereka berdua adalah insan-insan yang tangguh dan mandiri. Mereka tak pernah menadahkan tangan. Tidak juga mengeluhkan keterbatasan mereka, kecuali suatu hari kakakku menceritakan ironinya dia pergi ke kantor. "Aku mesti naik kendaraan dinding terbuka. atap terpal seperti mobil Dinas Kesehatan yang dulu dipakai memberantas malaria. Bersama kambing-kambing, lagi........" paparnya dengan senyum. Giginya yang sedikit gingsul menyembul memikat hati. Tapi sekali lagi kukatakan mereka adalah makhluk-makhluk yang tawakal. Bahkan di hari raya mereka senantiasa rela berbagi dengan kami. Dia selalu mengulurkan dua potong bahan pakaian yang dibelinya dari pabrik untuk kami berdua. Senantiasa dibuat kembaran. "Ongkos jahitnya minta sama ibu ya?" pesannya sambil menyarahkan dua helai kain bergambar pemain golf ke tangan kami. "Aku pilih yang ijo ya mas," pintaku. Mas Dj yang waktu itu masih saja setia jadi sahabatku mengangguk mengiyakan "terserah, aku dikasih juga udah untung kok, terima kasih dari kami berdua," katanya sambil melipat kembali kain itu. Lalu, di hari lebaran kami bisa jalan ke makam ayah mas Dj berdua dengan pakaian yang seragam cuma beda warna. Semuanya membekas indah, mengingatkan aku bahwa hidup adalah rangkaian kesabaran dan kasih sayang belaka.

-ad-

Aku tak tahu kapan akhirnya aku mulai tertidur lelap. Yang kusadari hanyalah kantuk yang tiba-tiba hilang berganti perasaan segar. Aku membuka mataku lebar-lebar. Jam empat tigapuluh empat menit pagi. Aku menggeliat malas. Di luar angin sudah senyap, tapi hujan belum juga reda. Bahkan hingga kini ketika aku mengetik catatan harianku hari ini. Catatan sederhana yang tidak layak dibaca oleh siapapun. Tapi aku yakin, ada maknanya untuk kedua kemenakannku Indra dan Anneke. Bahwa, kesabaran itu adalah sesuatu yang dicontohkan orang tua mereka untuk mencapai riddha Illahi. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa dan kekhilafan kakangku, serta tuntunlah mbakyuku untuk melalui hari depannya dengan kebaikan sebagai buah atas kesabaran mereka.


(Dedicated to kang Ain and mbak Ien. Be a guidance to you, dear Indra).

Jumat, 13 Juni 2008

AKHIR PERJALANAN ITU (IV)

Suamiku sudah kembali ke rumah. Aku sendiri yang menjemputnya tadi pagi ke bandara. Di tangannya sebentuk kardus nampak tercerai-berai isinya. Namun, ternyata ada kerupuk, teh dan beberapa oleh-oleh khas tanah air di dalamnya.

Dia mendaratkan hidungnya ke pipiku, membelai lembut kerudungku dan mengajakku masuk mobil. Kehangatan cinta yang senantiasa terus ditumbuhkan dan dijaganya, sekalipun kini kami menjadi semakin tua. Di luar matahari yang sudah dua hari sembunyi di balik hujan deras kali ini kelihatan menyembul dari balik awan yang jernih. Mencipratkan sinar hangatnya yang merayuku untuk membuka mantel penghangat tubuhku. Semua seakan-akan menyambut kegembiraan kepulangan suamiku. Lalu kami duduk di bagian belakang mobil, bersisian melepas rindu dengan saling bertanya. "Gimana recoverymu?" itu yang pertama keluar di saat kami sudah duduk manis. Bahkan akupun masih belum selesai memosisikan tanganku yang masih kugendong dengan baik.

Aku menoleh, memandangi wajahnya yang jujur saja, sering menimbulkan rindu. Mata itu begitu jernih dan penuh semangat. Kugeser tubuhku pelan-pelan untuk menghindari rasa sakit waktu menghadap padanya. Dengan senyum kusampaikan bahwa alhamdulillah kondisiku sangat baik. Dokter tercengang waktu memeriksaku. Sebab, katanya, beliau tidak membayangkan aku bisa melakukan segala gerakan dengan baik mengingat luka yang sangat meruyak di balik ototku ynag menebal. "Ini pertama kali ada pasien datang dengan kondisi seperti aku," jawabku tersenyum bangga. Suamiku menatapku dengan senyum yang kutahu menunjukkan keraguan. "Percayalah, aku nggak pernah bohong koq," jawabku. Dan mobil kamipun melaju ke rumah.

-ad-

Jujur saja, segera setelah kemarin dokter mengatakan hasil pemeriksaan pasca operasiku, aku sendiri terperangah. Tak kusangka, aku termasuk pasien yang terbaik. Sebab sesungguhnya aku masih merasakan nyeri dan kekakuan pada otot-otot bahuku. "Rasanya seperti tulang saya tergelincir dari tempatnya," kataku memberi masukan. Dr. Vrettos tertawa lebar. "That's what I've already told you. You will experience some uncomfortable and stiffness for a while," katanya sambil menunjukkan berkas-berkas operasiku.

Aku berpikir keras sendiri. Dan di saat hening itu, meluncur jernih sebuah kesimpulan yang bagus. Aku merasa Tuhan telah menetapkan yang terbaik bagiku. Dengan melakukan gerakan shalat yang diperintahkanNya, aku telah melakukan latihan pelemasan otot sebaik yang dianjurkan fisioterapis di Rumah Sakit, bahkan lebih baik lagi. Aku telah mencoba gerakan membungkuk dan bersujud, meski tidak sempurna. Suatu gerakan yang tidak diajarkan oleh fisoterapis itu.

Di mobil, mas Dj mendengarkan semua penurturanku dengan baik. Dia tersenyum dan melirikku mesra, senyum yang membidik jantung hatiku untuk merasa selalu harus mendekatinya. "Itulah sebabnya aku bersyukur bapak telah menjadi Imamku, ya?" kataku polos kepadanya. "Bapak telah menanamkan kebaikan beribadah padaku, barakallahu!" ucapku lagi sambil menggenggam tangannya. Kehangatan itu terasa begitu intens.

-ad-

Suamiku sibuk membongkar bawaannya. Dan aku mengumpulkan pakaian kotor ke dalam keranjang cucian. Juga bahan-bahan bacaan yang banyak serta setumpuk CD. Kupilah-pilah mana milik anakku, mana kepunyaannya dan mana untukku.

"Itu CD pesananmu," katanya. "Masih mau nyanyi untuk aku 'kan?" tanyanya sambil mengangsurkan kantung obat-obatanku yang keluar belakangan. Aku menerimanya dengan anggukan seraya membuka kantung Raffles Hospital. Delapan buah semuanya. Menurut perkiraanku cukup untuk empat bulan kedepan. "Terima kasih ya pak," seruku senang. Kuciumi obat-obatan itu layaknya aku menciumi kekasih hatiku. Dia masih saja asyik mengosongkan kopor pakaiannya.

"Kemarin mbak Ning bilang, dia dapat kabar kau sekarang jadi kurus," tiba-tiba dia bersuara lagi. "Dengar darimana?" tanyaku tak mengerti. Di tanganku sebuah tabloid wanita nyaris jatuh ke lantai. "Dari temannya yang menengok kita dulu itu," jawab suamiku. "Ah, jangan dipercaya, mbak Ning memang kuperhatikan sudah lama kurang suka padaku," sahutku apa adanya. Kakakku yang satu itu memang punya sifat yang sedikit aneh. Ada saatnya dia menjadi dewa penolong yang terlalu baik, tapi ada kalanya tiba-tiba dia berubah membenci seseorang tanpa alasan.

Terbayang olehku tubuhnya yang subur, berjalan terseok-seok disangga kedua kaki tuanya. Kami dulu pernah menumpang hidup padanya. Ketika kami berdua masih sekolah, dia dan suaminya menjadi penyuplai kebutuhan kuliah kami tanpa diminta.

"Sudahlah jangan dibahas. Aku nggak mau mikirin dia koq," pungkasku. "Iya, aku mengerti, makanya aku nggak banyak ngomong toch?" timpalnya pula datar-datar saja seraya berlalu masuk ke kamar mandi. Kurapikan satu persatu tanda sayang suamiku ke tempat penyimpanannya masing-masing. Tapi sebetulnya hatiku sendiri tak habis pikir, mengapa mbak Ning nampak semakin benci saja kepadaku.

-ad-

Kilas balik itu muncul lagi. Kepada masa ketika kami belum punya daya apa-apa. Dia selalu datang di akhir pekan untuk membawa kami keliling kota dan mampir ke toko buku yang diketahuinya sebagai favorit kami, diakhiri dengan makan malam yang nikmat. Sikapnya selalu penuh perhatian. Begitu juga dengan mas Adnan suaminya. Beliau berdualah yang membantu suamiku jadi sarjana. Bahkan kini anak lelakiku yang tertua juga ada di bawah pengasuhan anak mereka sepeninggal kami ke luar negeri.

Malam itu aku masuk Gramedia di Jalan Merdeka, Bandung toko buku termodern yang terdekat dengan tempat tinggal kami. Di tengah keasyikan memilih buku tiba-tiba buku di tanganku diraih tangan seorang anak kecil utnuk dimasukkan ke dalam keranjang belanjaannya. Dan mataku bersirobok dengan mata Nita, kemenakanku sendiri. "Bu, sini biar papa yang bayar," katanya tersenyum sangat manis. Bibirnya tipis, matanya jernih. Poni lurus itu menutupi dahinya yang bidang. "Hai, ada kalian rupanya?" seruku terkaget-kaget. "Iya dengan mama dan papa," jawabnya sambil menunjuk ke arah kakak iparku yang ternyata sudah asyik mengobrol dengan mas Dj dan mengambil juga buku di tangan suamiku. Malam itu kami seperti ketiban ndaru, diakhiri dengan makan malam di kedai ayam bakar di tepian Jalan Sunda yang tak mungkin terjangkau oleh kantung mahasiswa kami. Begitulah mesranya keluarga kami, sehingga sering menimbulkan rasa iri di kalangan kerabat. "Jadilah keluarga yang rukun seperti keluarga pakde Suhar," begitu selalu kudengar pesan paman dan bibiku kepada putra-putri mereka. Ah, maninsya kebersamaan itu.

-ad-

Itu memang penggalan kehidupan yang sudah sangat lama. Ketika kami belum lagi menikah. Ketika iparku masih ada. Sayang mas Nan tidak panjang umur. Beliau wafat ketika anak sulungnya baru lulus SMA, sedangkan mbakyuku tidak biasa mandiri. Mas nan pergi tanpa sakit yang lama dan banyak seperti aku. Tuhan mengambilnya dengan mudah begitu saja.Perbuatan manusia memang sangat terbatas. Dibatasi oleh kehendak Allah Yang Kuasa.

Pelan-pelan keluarga kakakku mulai meredup, menjadi manusia biasa yang nyaris tiada daya. Sementara itu suamiku menjadi tua dan bisa mandiri. Tapi justru saat ini aku menjadi lemah dan bolak-balik "reparasi mesin" di Rumah Sakit. Aku merasa kini aku jadi makhluk yang rupanya hanya merepotkan semua orang saja. Setidak-tidaknya menguras pikiran dan kesabaran keluarga besarku. Hatiku terasa berat, dipenuhi oleh rasa bersalah pada mereka campur kecewa pada diriku sendiri.

"Mas," tutupku, "kita belum bisa menyenangkan mbak Ning dan membalas budinya. Tapi aku sudah terlanjur sakitan dan sibuk dengan urusan diriku sendiri rupanya," lalu kuteguk sedikit jus anggur dari gelas bening di meja kami. Suamiku berdiri menatapku. "Maksudmu apa?' tanyanya. "Ya, aku merasa berdosa. Telah menyiksa pikiran dan hati kakak-kakakku. Pantas mbak Ning mendo'akan aku cepat pergi," sambungku getir. Mas Dj menghampiriku dan menutup mulutku dengan jari-jarinya. "Dik, jangan katakan itu. Akhir dari perjalanan hidup seseorang hanya Tuhanlah yang tahu. Katakan bahwa kau masih sudi mendampingiku dan anak-anak kita," katanya. Dipeluknya aku erat-erat. Getar-getar nafas itu hangat menjalari kulit wajahku. Suamiku menangis untukku. Dan akupun rebahlah di pelukannya.

Kamis, 12 Juni 2008

AKHIR PERJALANAN ITU (III)

Kamis, 12 Juni 2008. Saatnya aku kembali ke dokter untuk memeriksakan luka operasiku seminggu yang lalu. Besok suamiku pulang. Berarti sudah seminggu mbakyuku menjanda. Suatu keadaan yang tidak dikehendaki oleh siapapun, tapi tetap yang terbaik untuk mbakyuku. Kakang, suaminya sudah setahun lebih mengidap kanker yang mengerikan itu. Mula-mula pada kandung kemih, kemudian menjalar hingga mencapai hati dan paru-parunya. Suatu penderitaan yang berat, yang nyaris tak ada yang sanggup menanggungnya. Bebarapa pasien bertumbangan di depanku. Mbakyu Henny, teh Lilis, Lina, dan kini dia. Hanya menyisakan yu Sri, Iwan dan kurasa Risky, satu-satunya pasien yang tidak pernah kudengar lagi kabarnya.

-ad-

Mbakyu Henny nama perempuan cantik dan cerdas itu. jabatannya sebagai Duta Besar (perempuan) memaksanya hanya berputreri seorang yang belum selesai dengan pendidikannya di perguruan tinggi. Di negeri yang dingin dan "dingin" beliau harus melalui semua siksaan itu.

Ketika levernya mulai pecah untuk yang pertama kali, hanya sebuah dinding dingin tanpa alat pemanas yang menampung tubuhnya. Lalu ketiadaan peralatan kesehatan yang memadai, mengharuskan "mbakyuku" ini menerima suntikan dengan jarum besi yang besarnya seujung lidi, seperti peralartan mantri kesehatan yang di tahun enampuluhan biasa datang ke sekolahku untuk memberikan vaksinasi. Belum lagi infus yang harus ditancapkan ke tubuh kurusnya dengan peralatan seadanya, tanpa tiang. "Dua orang suster akan bergantian berdiri setiap limabelas menit sekali memegangi botol infusku", begitu penjeasan mbakyuku dengan tabah ketika menceritakan pengalamannya di nergeri yang nyaris tak bernama di belahan bumi Asia itu. "Obat-obatnya jangan ditanya, semua nyaris kadaluwarsa, seperti bahan pangan kami di pasaran," katanya lagi sambil meneguk ludah yang terasa pahit. Jemarinya yang cepat menjadi keriput menggenggam tanganku, mencari kehangatan padanya. Mata lincah itu kini cekung dan redup. Hanya bibirnya yang tetap berseri dibalut seulas lipstick yang sudah jadi alat solek favoritnya sejak dulu.

Kami biasa berdua, duduk-duduk menghabiskan sore di halaman rumah dinas suamiku di Singapura. Aku sendiri masih dalam taraf pemulihan dari serangkaian operasi pada perutku yang ternyata kemudian masih juga berlanjut setelah kepergian mbakyu Henny. Dia menjejeriku sambil kadang-kadang mengelus pahaku, walaupun kami baru saling mengenal. Sebetulnya suamikulah orang yang pertama kali mengenalnya.

Ketika suamiku baru saja jadi pegawai negeri, mbakyu Henny sudah duduk di posisi menengah. Beliau berkawan dengan boss suamiku yang pertama. Disitulah suamiku mengenal beliau, seorang wanita enerjik yang cantik.

Rambutnya hitam legam dan tebal, dipotong pendek serta sering disisiri dengan jari-jarinya yang lentik. Kini jari itu juga yang menyentuh tanganku, dan suatu hari memasukkan cincin bermata hijau lonjong ke dalamnya. "Pakailah ini jeng. Aku ingin kau kelihatan menawan dengan cincin kesayanganku ini," katanya. Aku tertegun. Dan kurabai juga cincin yang kebesaran di jariku lalu kutatap matanya. "Mbakyu ikhlas?" tanyaku ragu. "Memang ini kesayanganku, karena itu aku hanya akan memberikannya pada orang yang aku sayangi," jawabnya sambil terus memindah-mindah cincin emas itu dari satu jari ke jari lainnya mencari jariku yang paling cocok, Lama sekali cincin itu kubiarkan "menganggur" di dalam lemariku, sampai tiba saatnya aku menjadi gemuk dan bisa memakainya tanpa takut jatuh, Dan ketika itu terjadi, mbakyu Henny tinggal kenangan saja lagi. Beliau sudah kulepas dari ICU Raffles Hospital Singapura yang kutitipi di hari terakhir beliau akan meninggalkan kami. Kemudian semuanya berakhir dengan damai, namun menyisakan duka yang dalam karena tugas beliau sebagai seorang ibu dan seorang abdi negara belum selesai.

-ad-

Lalu di saat aku mempersiapkan pembedahan berikutnya untuk mengambil tumbuhan besar yang dicurigai dokter berada di usus besarku, Risky datang. Dia kemenakan temanku yang pernah kehilangan putrinya karena kanker, juga kedua orang tua dan saudara kandungnya. Dugaan kami tidak meleset, Risky divonnis mengidap kanker kelenjar getah bening yang bersarang pada usus besarnya. Aku memompakan semangat kepadanya. Kukatakan, kami akan berjuang bersama melawan sengatan kanker itu.

Malam berikutnya ketika dia keluar dari ruang bedah Mount Elizabeth Hospital, aku ucapkan rasa syukurku karena dia bisa mengatasi semuanya dengan baik. Dan kuminta dia mendoakanku yang akan dapat giliran masuk ruang bedah di hari berikutnya. Pemuda yang tampan itu hanya bisa mengangguk lemah, menyeringai menahan sakitnya sendiri. "Semoga kita bisa pulang ke rumah dengan selamat, ya tante," bisiknya nyaris tak terdengar. Di sisi pembaringannya tiang infus mendecit-decit memanggil perawat karena nadi disitu mulai buntu akibat bengkak. Aku tersenyum getir, mencoba mengingat-ingat sendiri rasa yang pernah kualami dan akan kualami lagi keesokan harinya.

-ad-

Risky datang ke ruang perawatanku ketika aku baru ke luar dari ICU. Aspirator baru selesai dicabut, dan ventilator masih setia memasok oksigen untukku yang nyaris melayang di meja bedah. Belum ada makanan yang bisa masuk ke dalam perutku. Semua akan dimuntahkan kembali, menyisakan mual yang berkepanjangan serta sakit yang tak terkatakan di perutku. "Tante, terima kasih atas doa tulus tante. percayalah, orang sebaik tante tentu juga akan bisa melewati masa-masa penuh kesakitan ini dengan baik," hiburnya. Dibawakannya aku serangkai bunga yang warna-warninya sangat indah menjelma pelangi.

Kucoba tersenyum untuknya dan merangkai kata terima kasih di sela-sela nafasku yang pendek memburu. Ini hari ketujuh sejak aku menengoknya. Berarti dia melewatkan waktu lebih singkat dari perkiraan kami sebelumnya. Seakan mengerti isi pikiranku, ibunya berkata, "dia hanya lima hari di Mount E. Semua sudah membaik, kami tinggal menunggu hasil pathologi saja. lusa kami pulang dulu. Dik Julie istirahat baik-baik ya?" Dan pasangan ibu beranak itu masing-masing mengecup keningku lembut. Terasa tetesan bening menempel di kulit pipiku. Hangat, sehangat doa tulus yang terucap. Sehabis itu Risky tak pernah menjumpaiku lagi karena aku juga tak mungkin turut merawatnya selama dia di Singapura. Aku hanya bisa berdoa untuknya, semoga dia mendapatkan kebahagian bersama kekasih yang akan segera dinikahinya. Semoga perempuan itu bisa mengerti artinya merawat dan mengorbankan diri menjadi perawat orang sakit. Di mataku kemudian terbayang wajah suamiku, perawatku sejak bocah ketika batukku tak ada habisnya dan kakiku membusuk dimakan eksim. Pandanganku buram tersaput keharuan.

-ad-

Beberapa hari di rumah setelah perawatanku yang lima belas hari di rumah sakit, kamar tidur tetamuku terisi kembali. Kali ini Iwan Djalal putra salah satu boss suamiku masuk memasrahkan diri karena sengatan tumbuhan ganas pada rongga dadanya. Kondisi yang nyaris serupa dengan Risky, hanya berbeda lokasi. Aku hanya bisa menjenguknya sekali-kali ke rumah sakit sebab aku sendiri masih berjalan tertatih-tatih.

Setalah itu kami menghabiskan hari-hari bersama di ruang tamu kami sambil membaca, mendiskusikan penyakit kami masing-masing dan opsi pengobatannya. Namun Iwan punya modal berupa pengetahuan yang luas, sehingga dia bisa lebih cepat bangkit melawan sakitnya. Dan Iwan pulalah yang menyemangatiku untuk bangkit ketika aku kembali terpuruk di rumah sakit sebab kelelahan yang mengganggu. "Mbak, di luar sana banyak orang bisa melalui penderitaan ini. Padahal mereka tidak sekuat mbak, kenapa mbak menyerah? Aku pamit pulang ke Jakarta dulu, dan aku kepingin ketemu mbak lagi dalam keadaan sehat nanti, ya?" katanya sebelum meninggalkan aku untuk mempersiapkan diri menerima radiasi tahap selanjutnya. Iwan memang kembali lagi dalam keadaan lebih sehat, sehingga akupun memacu diri untuk menjadi lebih baik. Alhamdulillah, Tuhan mengabulkan pinta semua orang yang menyemangatiku.

-ad-

Menjelang operasiku kesembilan yang kuharap sebagai operasi terakhir, kak Lilis Suryani penyanyi favoriteku di tahun enampuluhan masuk karena serangan penyakit yang sama denganku. Dia tinggal melalui radiasi dan kemoterapi setelah pengambilan indung telurnya di Jakarta.

Bersamanya kuhabiskan hari di depan mesin karaoke menghibur diri. Suaranya masih semerdu dulu walau sekarang nafasnya nampak semakin pendek. Kadang-kadang kami mendendangkan lagu-lagu lawas miliknya yang tak banyak lagi dikenal orang. Bahkan, dirinya sendiripun kerap lupa. Ingatannya rusak oleh penyakit yang menguras tidak saja keuangannya melainkan juga kesabaran dan ketahanan dirinya. Seringkali dia nampak basah air mata atau menyeringai menahan belitan kanker yang menggerogotinya. Kalau sudah demikian, akan kutuntun kak Lilis masuk kamar untuk kubaluri dengan minyak tawon yang diyakininya bisa meredakan rasa sakit.

Kenangan itu tak akan bisa kulupakan, bahkan ketika aku meninggalkannya untuk merantau mengikuti suamiku ke Afrika Selatan. Di rumahku yang baru ini, tak seorangpun anggota keluargaku yang kuijinkan memakai minyak tawon. Apalagi kemudian kuterima kabar dari mbak Tetty Kadi sahabat kami yang juga penyanyi bahwa kak Lilis telah menyerah menghadapi pergulatan dengan kanker. Dan tak akan pernah lagi ada kak Lilis dengan harum minyak tawon di tubuhnya yang datang kepadaku. Semua bertumbangan satu-satu.

-ad-

Seperti halnya Lina temanku mengaji yang dulu justru jadi supporterku yang utama. Ketika aku terbaring di ICU, Lina lah satu-satunya teman  yang hanya menengok sebentar, meletakkan tangannya di tanganku, mengusapkannya juga di anak rambutku. Lalu mulutnya mengucapkan doa diakhiri senyum. Tak akan pernah kulupakan seumur hidupku, bahwa ternyata di balik sikapnya yang manis itu Lina justru menggenggam kanker pada paru-parunya. Kemudian Lina menyerah di usia yang masih sangat muda, mendahuluiku juga.

Lina, sebuah contoh betapa penyakit itu datang tanpa diundang dan pergi dengan enteng seakan-akan tiada bersalah. Mula-mula Lina tidak menyadari adanya penyakit itu, sampai hasil pemeriksaan kesehatan tahunan kami masing-masing ke luar dari Raffles Hospital Ternyata Lina merupakan salah satu peserta dengan skor buruk, berlawanan dengan aku yang justru dianggap baik di beberapa sisi. Disini kubuktikan bahwa Tuhan Maha Kuasa. Apa yang jadi kehendakNya sering tak dapat diduga oleh kita manusia biasa. Sebagaimana halnya aku yang hingga hari ini masih diijinkan terus bertahan dengan kondisi yang serba "pas-pasan". Dan juga yu Sri, kawanku pengidap kanker payudara yang dioperasi ketika aku baru sehari tiba di Singapura. Kini aku harus terus mempertahankan diri bersama yu Sri, yang alhamdulillah hanya sekali itu saja bersentuhan dengan meja operasi.

-ad-

Pagi ini kutuntaskan buku harianku untuk mendengar pendapat dokter yang akan memeriksa bekas lukaku. Maka segera ku persiapkan jiwa-ragaku untuk menerima apa yang akan dikatakannya. Namun di dalam hatiku, aku terus berdoa dan mengenangkan kembali doa-doa semua orang yang telah berbaik hati mendoakanku. Semoga aku dinyatakan sembuh sempurna, dan besok pagi, aku bisa lari menghambur ke pelukan hangat suamiku tanpa rasa takut sakit ketika kami bertatapan kembali di Cape Town International Airport. Semoga!

Pita Pink