Aku bangun tidur pukul tiga pagi, padahal sesudah makan malam aku terpaksa menelan dua butir obat pereda rasa sakit untuk mencoba menghalau semua perasaan yang bersarang di tulangku, walaupun mungkin perasaan itu hanya ada dalam bayanganku saja. Tapi obat itu tak memberi efek apapun. Juga setelah kucoba menarik selimut sambil menyetel irama keroncong kegemaranku dan suami.
Sebelum berangkat naik ke kasur, kupasang suara Sri Widadi melantunkan "Senandung Bidari" sambil menyimak buku agama oleh-oleh terbaru suamiku dari tanah air. Suamiku sibuk di muka komputer mengetuk-ngetuk bilah keyboard menyelesaikan pekerjaannya yang tidak pernah habis. Kitab Suci bersampul hijau ada di dekatku, siap kubuka jika aku memerlukan referensi atas bacaanku. Sekarang hidupku bagai tanah tandus, yang senantiasa merasa kekeringan dan haus sentuhan Illahi. Dan kutahu, air itu mengalir dari Qur'anku.
Sulit rasanya memusatkan perhatian dalam kondisi badan lemah begini. Sebentar-sebentar kurabai bahuku. Kupijit-pijit sambil kuamati. Bekas tusukan pisau bedah itu sudah kering nyaris sempurna. Tapi benjolan di dalamnya masih serupa dua biji kemiri. Ngilu. Seringai di mulutku menyiratkan semua itu.
Suamiku mengawasi dari tempat duduknya. "Tidurlah,' sarannya. Aku menggeleng, merasa kajianku hari ini belum cukup. Apalagi kusadari dulu aku seorang buta huruf yang memandang Al Qur'an hanya sebagai kitab suci yang tak mungkin kusentuh dengan kekotoran jiwaku. "Aku cuma pegal-pegal sedikit," kataku mencoba menutupi kenyataan sambil melanjutkan membaca. Buku setengah tebalnya Qur'an dengan sampul tipis itupun terus kubuka dengan sebelah tangan saja, menghindari beban pada bahu kiriku.
Seluruh putaran CD selesai di mesin pemutarnya sana. Suara Toto Salmon dengan "Stambul Baju Biru" belum lama berakhir. Gemanya masih ada di pendengaranku, seperti halnya dalam jiwa suamiku yang berhenti mengetik untuk mengetuk-ngetuk meja sesuai irama kesukaan kami tersebut. "Bapak ingat hari perkawinan kita bukan?" tanyaku dari atas kasur. Suamiku tidak menjawab. Diputarnya ulang suara Toto Salmon favorite kami seakan-akan sebuah kenikmatan yang belum terpuaskan.
-ad-
Kami menikah di Hotel Salak, di muka Istana Kepresidenan yang hampir setiap hari kami lalui menuju ke sekolah, awal Januari delapanpuluhtiga. Di tahun kesepuluh kebersamaan kami.
Waktu itu ibuku sudah sangat sakit dan tak mungkin hadir di selamatan pernikahan kami. Bapak berdampingan dengan mbak Wiek, mbakyuku yang tertua menerima salam dari para kerabat yang banyaknya di luar dugaan kami. Bahkan para wisatawan manca negara juga menghentikan langkahnya dan memandang ke arah kami dengan ketakjuban yang terpancar nyata. Waktu itu Hotel Salak jadi satu-satunya hotel terbaik di kota kami yang sekalipun berdekatan dengan ibu kota negara bukanlah kota besar sebagaimana ibu kota propinsi. Mas Dj diantarkan oleh ibunya serta paman yang telah mengambil alih peran almarhum ayah mertuaku. Kami melangkah masuk gedung dengan senyum dikulum, menyadari hari bahagia kami sangat cemerlangnya. Nyaris tanpa tetesan hujan yang biasanya masih turun di kota kami.
Hari itu hujan baru turun jam setengah tiga sore, begitu kami meninggalkan loby hotel. Gelap memayungi angkasa, menyebabkan aku ingin terus merapat saja ke pelukan suamiku. Kulirik dia di sisi kananku. Ada binar bahagia di matanya. Hari itu kami jadi satu kesatuan yang alhamdulillah tak terpisahkan hingga kini, dengan lagu Stambul Baju Biru dan Keroncong Tanah Airku sebagai bunga pesta kami.
Kami memang pasangan unik. Di saat orang-orang meninggalkan irama keroncong, aku dan dia justru saling terpaut. Dan dua lagu terbaru itulah yang kemudian ingin kami putar mengiringi pernikahan kami. Theo, teman suamiku di atas KRL bersedia bertugas di meja audio untuk itu. Sungguh suatu hal yang sangat berharga bagi kami melebihi apapun karena Theo ikhlas melakukannya sebagai hadiah pernikahan kami tanpa menertawakan atau mencela.
-ad-
Entah bagaimana mulanya, lama-lama aku menjauh dari bacaanku. Yang ada hanyalah sepenggal peristiwa di kamar mandi rumah mungil kami yang dihadiahkan oleh ibu mertuaku di saat aku masih remaja dulu. Rumah di pinggir Kanaal Cidepit itu.
Aku sedang asyik mengguyuri tubuhku di kamar mandi sempit kami dengan gayung plastik biru. Jelas sekali aroma sabun lux naik ke hidungku. Sejuknya air Gunung Salak membangkitkan kenyamanan dan rasa melankolis yang tinggi. Kurabai janin di kandunganku yang menggeliat pelan. Kandungan yang sangat kecil itu telah mencapai bulan ke-enam. Hasil simpanan kami dari masa puasa yang begitu panjang. Wujud dari angan-angan kami ketika kami masih sama-sama remaja dulu. Di ruang tamu sana kudengar "Stambul Baju Biru" mengalun merdu memecah senja yang sunyi.
Aku segera melangkah keluar kamar ingin menemui suamiku yang sedang asyik menyirami viooltjes dan anggrek-anggrek kesayangannya. Tubuhnya yang tak seberapa gemuk kelihatan bugar dibalut kaus biru. "Mas, aku tahu sekarang, kenapa mas tiba-tiba suka lagu ini," kataku membuka percakapan. "Apa?" tanyanya lugu. Kudekati dia dan kubiarkan tubuhku duduk di teras sempit kami. "Mas mau nyindir aku ya? Ingat 'kan waktu mas dulu tiba-tiba mogok main denganku?" berondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba tercurah begitu saja dari dasar hatiku.
Suamiku menghentikan kerjanya, lalu menatapku heran. "Kapan? Ada apa sih?" tanyanya. "Dulu waktu kita di SMA. Sampai kemudian aku harus minta kepada Allah untuk menunjukkan kesalahanku padamu atau menjauhkan aku sama sekali darimu," jawabku mencoba mengingatkan. Kerut di dahi itu nyata sekali tak memahami makna kata-kataku. "Apa sih?" desaknya lagi. "Ya mas, aku tiba-tiba sadar. Bahwa dulu kau pernah membenciku, tapi Allah juga yang kemudian menjadikan kita sepasang suami-istri. Aku ingat waktu itu baju favoritemu kaus biru......." tegasku dengan nada bergetar yang kemudian luruh menjadi isak tak berketentuan.
Suamiku berubah wajah. Air muka itu kini mengerti. Dan timbul gelaknya dari setangkup bibir yang kuberi hak untuk meyentuhku pertama kali dan untuk seterusnya. Hanya bibir itu. "Kamu lucu," protesnya. "Kok tiba-tiba kamu ngomong gitu?" Dicubitnya pipiku dengan gemas. "Iya dulu kuakui tiba-tiba aku ingin melamarmu jadi pacar, tapi belum berani sampai tiba-tiba juga aku ingin mengikutimu kemanapun kamu melangkah," katanya. "Dan baju biru itu? Memang favoriteku,' tegasnya. Kini tawanya makin melebar membuncahkan kemarahan padaku. Aku merajuk dan menarik tubuhku menjauh dari jangkauannya.
"Dengar," katanya. "Cinta itu ajaib, dia datang dan pergi dengan sendirinya. Jadi kenapa pula aku tidak boleh mencintaimu?' Lalu tangannya mengelus perutku yang mulai menggemuk. "Aku tidak menyindirmu. Stambul Baju Biru bukan sindiran, hanya kebetulan nyantel ya dengan kehidupan kita?' katanya lagi seperti minta persetujuan. Dihentikannya kerja menyiram tanaman. Air yang mulai menuruni pipiku diusapnya lembut. Begitu pula bibirku dikulumnya.
"Kita memang harus selalu bersama," katanya sambil duduk menjejeriku. Sore itu pelangi di barat kota nampak indah memendarkan segala warna. Aku tertunduk malu menyembunyikan diri di dadanya. Di luar pagar rumah, pak Djoko tukang bakso keliling membunyikan mangkuknya dengan sendok mengganggu keasyikan kami.
-ad-
Dahiku serasa disentuh orang. Aku terkejut dan menatap wajah di depan mataku. Mas Dj suamiku memberi isyarat untuk bangun. "Makan siang dulu," katanya mengingatkan. Masih seperti dulu lembut dan penuh sayang. Aku terdiam, memusatkan pikiran kembali. Mimpi itu rasanya masih segar diingatanku.
Lelaki yang sama dengan lelaki di dalam mimpiku kini melakukan hal yang sama pula. Ada di dekatku, menyentuhku mesra dan tidak akan membiarkanku seorang diri lagi. Lelakiku, sahabat hidupku si baju biru yang telah membuktikan semua niatnya untuk menjadi imam pendamping dan pembimbing hidupku. Aku kembali teringat tulisanku sendiri di salah satu buku harian kami berdua dulu "Be my leader, be my protector, be my everything, Djati, forever mine!"